• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN HUKUM PERBANDINGAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DI INDONESIA DENGAN RESTRUKTURISASI UTANG DI AMERIKA SERIKAT SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN HUKUM PERBANDINGAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DI INDONESIA DENGAN RESTRUKTURISASI UTANG DI AMERIKA SERIKAT SKRIPSI"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Hukum

OLEH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

MALIK ABDUL HAMID SP 150200274

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

(2)
(3)

Nama : Malik Abdul Hamid Sp NIM : 150200274

Departemen : Hukum Ekonomi

Judul Skripsi :Kajian Hukum Perbandingan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia dengan Restrukturisasi Utang di Amerika Serikat.

Menyatakan bahwa tulisan skripsi saya adalah benar dari penelitian/penulisan saya sendiri dan bukan hasil plagiat.Apabila dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini hasil plagiat, saya bersedia menerima segala konsekuensi hukum yang diberlakukan kepada saya.

Medan, 24 Mei 2019

Malik Abdul Hamid Sp

NIM:150200274

(4)

Malik Abdul Hamid Sp*

Sunarmi**

Detania Sukarja***

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaturan mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan Restrukturisasi Utang di Amerika Serikat berdasarkan Chapter 11 US Bankruptcy Code serta memberikan analisis perbandingan atas pelaksanaan kedua hal tersebut. Penulis mempergunakan metode penelitian normatif dengan studi kepustakaan yang dilengkapi dengan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara PKPU dalam konsep Hukum Kepailitan Indonesia dengan Restrukturisasi Utang dalam Hukum Kepailitan Amerika Serikat.Perbedaan tersebut terletak pada kedudukan masa penundaan kewajiban pembayaran utang itu sendiri;

jangka waktu penundaan kewajiban pembayaran utang di antara keduanya; serta prosedur yang berlaku pada masing- masing konsep, yakni dalam hal eksistensi Pengurus atau Trustee pada PKPU dan Reorganisasi Perusahaan.

Kata Kunci: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Restrukturisasi Utang, Reorganisasi Perusahaan

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah S.W.T atas segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga karya tulis skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Penulisan skripsi yang berjudul: Kajian Hukum Perbandingan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia dengan Restrukturisasi Utang di Amerika Serikat adalah untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karenanya, sangat diharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maunpun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta Bapak Sulaiman Pasaribu dan Ibu Hasriyah Simanungkalit yang telah membesarkan, mendidik, dan terus mendoakan hingga dapat menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu (S1) ini.

Penulis juga ingin menympaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing I. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu Dr. Detania Sukarja, S.H., L.L.M., selaku Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing II. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

8. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh Staf Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dana membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Abang dan Kakak kandung saya yang selalu memotivasi dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(7)

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2019

Penulis,

(8)

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 6

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DAN RESTRUKTURISASI UTANG DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Sejarah Lembaga Kepailitan di Indonesia ... 12

B. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Hukum Kepailitan ... 19

C. Jenis-jenis Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 22

D. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 24

E. Persyaratan Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 38

(9)

... 58 H. Restrukturisasi dalam Hukum Kepailitan ... 62 BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG DI INDONESIA DAN RESTRUKTURISASI UTANG DI AMERIKA SERIKAT

A. Lembaga Kepailitan di Amerika Serikat ... 70 B. Reorganisasi Perusahaan berdasarkan Chapter 11 US

Bankruptcy Code ... 72 C. Perbandingan Hukum Kepailitan Indonesia dengan Hukum

Kepailitan Amerika Serikat ... 87 D. Analisis Perbandingan ... 93 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 105 B. Saran ... 109 DAFTAR PUSTAKA ... 112

(10)

A. Latar Belakang Masalah

Peraturan mengenai kepailitan di Indonesia sudah berlaku sejak tahun 1960 dengan lahirnya Faillssementsverordening. Peraturan tersebut berlaku sampai lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 digantikan oleh Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.1Salah satunya tujuan dari dibentuknya UU Kepailitan adalah untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha sebagian besar pada umumnya merupakan pinjaman yang berasal dariberbagai sumber, baik melalui bank, penanaman modal, penerbitan obligasi, maupun cara lain yang diperbolehkan, hal ini telah menimbulkan banyak permasalahan terutama mengenai penyelesaian utang piutang dalam kehidupan masyarakat.2

Sudah sejak prinsip konkordansi diberlakukan di Indonesia, Hukum Kepailitan Indonesia telah mengenal konsep Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Konsep ini telah tertuang di dalam Staatsblad 1905 No. 217 jo. Staatsblad 1906 No. 348, yang juga telah diperbaharui dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan juga perbaharuan terakhir dalam UU Kepailitan.

1Erman Rajagukguk, dalam Kata Pengantar Buku Karangan Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan debitor Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia (Yogyakarta: Kreasi Total Media. 2008, hlm. V.

2 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No.37 Tahun 2004, LN No.131 Tahun 2004, TLN. No.4443, Penjelasan Umum.

(11)

PKPU yang ditawarkan di dalam Hukum Kepailitan Indonesia adalah melakukan PKPU dalam waktu tertentu bagi seluruh kreditor terkait, dan selama penundaan tersebut, debitor diharapkan dapat melakukan perdamaian dengan kreditornya.Setidaknya dalam waktu tersebut antara debitor dan kreditornya telah melakukan konsolidasi dalam penyelesaian utang piutang diantara debitor dan kreditornya.Tujuan Utama dari PKPU adalah adanya perdamaian.3

PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Undang-Undang melalui putusan hakim niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyarawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana, baik untuk pembayaran seluruh utang maupun sebagaiannya saja, termasuk dalam hal diperlukan adanya restrukturisasi utang.4

Di Amerika Serikat sendiri terdapat ketentuan yang berbeda mengenai upaya proteksi yang dapat dilakukan, baik oleh kreditor maupun debitor, ketika terdapat pihak yang memiiki kewajiban membayar utang namun tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kewajiban tersebut ketika jatuh tempo. Keadaan debitor yang insolven sering kali berujung pada masalah kepailitan.Namun, dengan adanya asas kelangsungan usaha yang melandasi keberlakuan US Bankruptcy Code, maka terdapat suatu upaya penyehatan kembali perusahaan yang sedang dalam konsisi insolven tersebut. Melalui

3 Manahan MP. Sitompul, Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian di Dalam atau di Luar Proses Kepailitan (studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang )Disertasi Pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. 2009.

4Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek: Edisi Revisi (disesuaikan dengan UU No.37 Tahun 2004), (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,2005), hlm.171.

(12)

Chapter11,12,13USBankcuptcy Code, dikenal dengan adanya konsep rehabilitation. Mengenai konsp tersebut , Sutan Remy Sjahdeini sebagaimana dikutip di bawah ini memberikan pendapatnya:

Dalam suatu kasus rehabilitation,yang dilihat oleh para kreditor adalah pendapatan debitor yang akan dating untuk melunasi tagihan-tagian mereka, bukan melihat harta kekayaan debitor pada waktu proses kepailitan dimulai. Pada kasus rehabilitasi yang diatur Chapter 11,12,13 US Bankruptcy Code tersebut, debitor pada umumnya tetap menguasai harta kekayaannya dan melakukan pelunasan-pelunasan kepada kreditornya dari pendapatan yang diperoleh setelah diajukannya proses rehabilitasi sesuai dengan rencana rehabilitasi yang disetujui pengadilan.5 US bankruptcy Code , Chapter 11 Reorganization (reorganisasi) mengatur tentang kepailitan sebuah badan usaha atau korporasi yang mengalami kesulitan keuangan cukup parah. Dalam Reorganisai, debitor tetap beroperasi seperti biasa sambil tetap melakukan pelunasan utang terhadap para kreditornya. Dalam hal pengajuan Reorganisasi, debitor tidak perlu menuggu sampai keadaan insolven untuk mengajukan permohonan dalam kepailitan.Pengajuan tersebut dapat dilakukan ketika tagihan kreditor terhadap debitor telah melebihi asset yang ada.Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa restrukturisasi utang merupakan salah satu alternatif penyelesaian utang piutang antara kreditor dan debitor memiliki kesulitan dalam melakukan pembayaran maupun melanjutkan utangnya. Restrukturisasi utang di Indonesia salah satunya dapat dilaksanakan melalui proses PKPU, yakni melalui rencana perdamaian yang disepakati oleh para kreditor dan debitor. Proses PKPU, perdamaian serta restrukturisasi utang memegang peranan yang penting dalam menentukan kelangsungan utang piutang

5 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, cet. 4 (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2010), hlm. 372.

(13)

maupun usaha dari debitor. Adapun di Amerika Serikat, rangkaian proses penyelesaian utang piutang dalam hal terjadinya kepailitan dapat juga diselesaikan melalui reorganisasi Perusahaan sebagaimana diatur dalam Chapter 11 US Bankruptcy Code.6

Proses PKPU maupun Reorganisasi Perusahaan merupakan suatu cara yang dapat ditempuh bagi para debitor yang mengalami kesulitan pembayaran dalam memenuhi kewajibannya kepada para kreditornya. Kedua cara tersebut dapat digunakan untuk melindungi usaha yang sedang berjalan dari ancaman likuidasi atas adanya pengajuan permohonan kepailitan. Sengan mempertimbangkan kepentingan serta kondisi debitor dan para kreditor, proses penyelesaian utang piutang yang dipilih diharapkan akan membawa dampak positif bagi kedua belah pihak terkait usahanya masig-masing. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang melalui restrukturisasi utang maupun reorganisasi perusahaan itu sendiri sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya merupakan unsur penting dalam rangka pemulihan kembali perekonomian nasional, di mana perusahaan-perusahaan yang sedang mengalami masalah dapat bersepakat dengan para kredtor untuk melakukan penyelesaian kewajiban yang ada diantara mereka.

Adanya urgensi sebagaimana tersebut di atas mendorong peneliti untuk menelaah proses penyelesaian utang piutang melalui lembaga PKPU yang termasuk di dalamnya proses restrukturisasi utang. Selain itu akan dilakukan penelitian terhadap bagaimana Reorganisasi Perusahaan dalam Hukum Kepailitan di

6Ibid.,hlm. 372

(14)

Amerika serikat berlangsung sehingga dapat mencakup pula proses restruktursasi utang debitor.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Restrukturisasi Utang dalam Hukum Kepailitan Indonesia?

2. Apakah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia sama dengan Restrukturisasi Utang di Amerika Serikat?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalahsebagai berikut:

1. Mendapatkan pengetahuan yang komprehensif mengenai pengaturan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang dan Restrukturisan Utang dalam Hukum Kepailitan.

2. Mendapatkan pengetahuan mengenai perbandingan antara penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia dengan restrukturisasi di Amerika Serikat.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis

(15)

Untuk memperkaya khasanah pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum ekonomi, khusunya Hukum Kepailitan mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Restruktrusisai Utang baik di Indonesia maupun di Negara Amerika Serikat.

b. Secara praktis

Pembahasan ini diharapkan dapat memberika masukan bagi pembaca dan masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kepailitan terkhusus mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Restrukturisai Utang jika terjadi Kepailitan.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, judul skripsi “ Kajian Hukum Perbandingan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia dengan Restrukturisasi Utang di Amerika Serikat” telah diperiksa dan tidak ada judul yang sama.

Sehubungan dengan keaslian judul ini, peneliti telah melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul ini belum pernah diteliti orang lain dilingkungan universitas sumatera utara, sehingga peneliti bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah suatu masa yang diberikan oleh Undang-Undang melalui Putusan hakim niaga dimana

(16)

dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarakan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran terhadap seluruh atau sebagian utangnya

2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.7

3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.8 4. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dqapat dinyatakan dalam

jumlah uang baik dalam mata uang Indonsia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang aan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi debitor dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayan debitor.9 5. Restrukturisasi Utang adalah penyesuaian atau penyusunan kembali

struktur utang yang mencerminkan kesempatan kepada debitor merencanakan pemenhuhan kewajiban utangnya.10

6. Reorganisasi, berdasarkan definisi yang tercantum pada kamus Istilah Keuangan dan Investasi, adalah merestrukturisasi kembali keuangan perusahaan dalam kebangkrutan.11

7 Indonesia (Kepailitan), Op Cit.,Pasal.1 butir 2.

8Pasal. 1 butir 3 UU Kepailitan

9Pasal 1 butir 6 UU Kepailitan

10 Jae K.Shim dan Joel G. Siegel, CFO: Tools for Excecutives, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1994), hlm. 129

11 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit,.hlm.19

(17)

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.12

1. Bahan HukumPrimer

Dalam penelitian ini akan digunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat normatif.

Alat pengumpulan data adalah studi kepustakaan yang meliputi:

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat.Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Selain itu, US Bankruptcy Code, atau yang merupakan Undang-Undang Kepailitan di Amerika Serikat, juga akan menjadi bahan hukum primer dalam penelitian ini, khususnya pada Chapter 11 peraturan tersebut yang memiliki fokus pengaturan dalam ReorganisasiPerusahaan.

1. Bahan HukumSekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan dalam penulisan penelitian hukum yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta bagaimana implementasi dari bahan hukum primer yang ada.Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa skripsi, tesis, disertasi, literatur bacaan yang bersumber dari media cetak maupun elektronik serta buku-buku yang yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Buku-buku

12Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Cet. 3., (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 42.

(18)

yang dipakai antara lain adalah sebagai berikut: Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek: Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU No. 37 Tahun 2004), Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: Menurut Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (Suatu Telaah Perbandingan), Hukum Kepailitan (Edisi Revisi), Hukum Kepailitan:

Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Selain buku- buku yang telah disebutkan, terdapat kemungkinan bahwa penelitiakan menggunakan sumber buku lain ataupun jurnal hukum sepanjang memiliki relevansi yang baik serta dapat menjadi bahan referensi yang berkualitas guna mendukung pembahasan penelitianini.

2. Bahan HukumTersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia, atau kamus.Dalam penelitian kamus yang digunakan utamanya adalah kamus hukum.

Alat pengumpulan data dalam penelitian skripsi ini adalah dengan studi dokumen, dimana studi dokumen merupakan alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan “content analysis”.13

G. Sistematika Penulisan

Berdasarkan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa jenis data yang dipakai adalah data sekunder yakni data yang berasal dari studi pustaka.

13Ibid.,hlm. 52

(19)

Dalam mnghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus disusun secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya penguraian dalam bab per bab secara teratur dan berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang pada pokoknya menguraikan tentang latar belakang pengangkatan judul skripsi, perumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam bab pembahasan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN HUKUMPENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG DAN RESTRUKTURISASI UTANG DALAM HUKUM KEPAILITAN

Berisikan tentang bagaimana sejarah lembaga Kepailitan di Indonesia, bagaimana Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Hukum kepailitan, jenis-jenis PKPU, prosedur PKPU, akibat PKPU, persyaratan pengajuan PKPU,perdamaian dalam PKPU, serta membahas restukturisasi utang dalam hukum kepailitan.

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DI INDONESIA DAN RESTRUKTURISASI UTANG DI NEGARA AMERIKA SERIKAT

Berisikan tentang bagaimana lembaga Kepailitan Amerika Serikat, bagaimana reorganisasi perusahaan berdasarkan Chapter 11 US

(20)

Bankruptcy Code, perbandingan Hukum Kepailitan Indonesia dengan Hukum Kepailitan Amerika Serikat, serta membahas analisis perbandingan.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bagian penutup yang sekaligus merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini yang mengemukakan mengenai kesimpulan dan saranyang berkaitan dengan pembahasan yang sebelumnya dalam skripsi ini.

(21)

BAB II

TINJAUAN HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DAN RESTRUKTURISASI UTANG DALAM HUKUM

KEPAILITAN INDONESIA

A. Sejarah Lembaga Kepailitan di Indonesia

Pada tanggal 22 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tanggal 22 April 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan (Lembaran Negara R.I Tahun 1998 No. 87 (Undang-undang Kepailitan) Perpu tersebut kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi Undang-undang dan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi Undang-undang tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara RI Tahun 1998 No.

135).14

Meskipun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, namun Hukum Kepailitan termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.Guna menelusuri sejarah Hukum Kepailitan yang berlaku di Indonesia, diperlukan pula penelusuran sejarah hukum dagang yang berlaku di negeri Belanda khususnya Faillisiment Wet (FW).15

14Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hlm. 24.

15Sunarmi, Hukum Kepailitan: Edisi 2, hlm. 7.

Adanya asas konkordansi menyebabkan Indonesia menganut hukum yang sama dengan hukum yang berlaku di Belanda pada

(22)

.16

1. Periode sebelum berlakunyaFaillisementsverordening

Peraturan Kepailitan di Indonesia mengalami perkembangan dari mulai ketika Pemerintahan Penjajahan Belanda sampai dengan Pemerintahan Republik Indonesia.Sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di Indonesia, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) periode, yakni periode sebelum berlakunya Faillisementsverodening; periode saat berlakunya Faillisementsverodening;

periode berlakunya Produk Hukum Nasional.

Pada Tahun 1883 pembuat Undang-undang di Negeri Belanda menyusun Wetboek van Koophandel (WvK).Di dalam Buku III dari WvK tersebut terdapat pengaturan mengenai Kepailitan yang hanya berlaku untuk para pedagang.Adapun, pengaturan mengenai Kepailitan yang berlaku bagi pihak yang bukan pedagang terletak pada Buku III Titel 8 Wetboek Van Burgerlijke Rectsvordering (BRV).Dengan demikian, maka terdapat dualisme pengaturan mengenai Kepailitan di Negeri Belanda pada waktu itu.17Oleh karena itu, sejak tahun 1848 di Indonesia pun berlaku peraturan kepailitan yang bersifat dualistis.18Terdapatnya dua buah pengaturan kepailitan tersebut menimbulkan kesulitan-kesulitan serta ketidakpastian hukum di dalam praktik. Garis batas antara pengertian pedagang dan bukan pedagang seperti yang disebutkan dalam

16Asas Konkordansi menyatakan bahwa peraturan yang berlaku di negeri Belanda berlaku pula pada pemerintahan HindiaBelanda.

17Dualisme hukum mengandung arti bahwa terdapat 2 (dua) produk hukum yang berbeda dan berlaku untuk waktu yang sama dalam hal mengatur hal yang sifatnya sejenis.

18Man. S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2006), hlm. 5.

(23)

Pasal 2 sampai Pasal 5 WvK dianggap terlampau sempit dan tidak memenuhi kebutuhan bisnis.

2. Periode Saat BerlakunyaFaillisementsverordening

Pada tahun 1887, Molengraff membuat naskah kepailitan dalam buku tersendiri guna mengatasi kerancuan atas dualisme pengaturan mengenai kepailitan tersebut.Peraturan tersebut berlaku pada tahun 1896, yang juga sekaligus mencabut keberlakuan dari Buku III WvK dan Buku III Titel 8 BRV.

Adapun untuk Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu) melalui K.B 19 November 1904 Nomor 46 LN 1905 Nomor 217 jo. LN 1906 Nomor 448 ditetapkan bahwa Buku III WvK dan Buku III BRV telah dihapus dan tidak berlaku lagi.19Kemudian dengan Stb. 1905 Nomor 217 peraturan kepailitan yang baru dinyatakan berlaku, yakni Faillisementsverodening(FV).

FV ini hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa, karena adanya asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk Hindia Belanda pada waktu itu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, pada masa itu penduduk Hindia Belagi terbagi atas beberapa golongan, yakni Golongan Eropa, Golongan Bumiputra, dan Golongan Timur Asing.20

19Ibid., hlm. 7.

20Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit,.hlm.19

Meskipun FV hanya berlaku bagi golongan Eropa, namun golongan penduduk Hindia Belanda selain golongan Eropa, dapat mula menggunakan FV tersebut, tidak terkecuali Golongan Timur Asing Cina.Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga

(24)

penerapan hukum (toepasselijkeverklaring) sebagaimana diatur dalam ketentuan yang dimuat dalam S.1924 No. 556.21Kemudian dengan adanya Lembaga Penundukan Diri secara Sukarela kepada Hukum Perdata Barat (Vrijvillige onderwerping) (Stb. 1917 Nomor 12), FV juga berlaku bagi golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing bukan Cina.22

Setelah Indonesia merdeka, FV tetap berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Dengan landasan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, FV tetap berlaku di Indonesia.Selanjutnya, dalam perkembangannya, praktik FV tersebut dianggap sebagai Hukum Kepailitan Indonesia.Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissementen 1947). 23

21Ibid., hlm 20.

22Man. S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, hlm. 7.

23Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hlm 21

Adapun tujuan dari penerbitan peraturan tersebut adalah untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Setelah tujuan tersebut terpenuhi maka Peraturan Darurat Kepailitan 1947 tidak lagi berlaku, sehingga FV kembali berlaku secara penuh sebagai peraturan mengenai kepailitan di Indonesa. FV terus berlaku hingga tahun 1998, yakni sampai dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 pada tanggal 22 April 1998.Dengan dikeluarkannya PERPU tersebut menandakan berakhirnya periode keberlakuan FV, yang kemudian disusul dengan mulainya

(25)

periode keberlakuan Produk Hukum Nasional dalam Hukum KepailitanIndonesia.

3. Periode Berlakunya Produk HukumNasional

Pada bulan Juli 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia yang mengakibatkan utang-utang pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap para kreditor luar negeri, menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor Indonesia tidak mampu membayar utang- utangnya. Di samping itu, kredit macet pada perbankan dalam negeri juga meningkat secara luar biasa, yang merupakan akibat dari terpuruknya sektor riil.Pada saat itu upaya penyelesaian utang piutang menjadi sedemikian sulit.Restrukturisasi utang menjadi salah satu alternatif penyelesaian utang piutang yang sulit ditempuh.Upaya restruktursisasi utang hanya mungkin dapat dilaksanakan apabila debitor bersedia bertemu dan duduk berunding dengan kreditor atau sebaliknya, sedangkan pada saat itu banyak debitor yang sulit dihubungi.24Selain itu, restrukturisasi utang mensyaratkan adanya prospek yang baik untuk mendatangankan revenue sebagai sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu, yang mana pada saat itu prospek usaha sedang dalam kondisi yang tidak jelas dan mengkhawatirkan.25Penyelesaian utang piutang melalui Lembaga Kepailitan pun sulit dilakukan.Peraturan Kepailitan yang ada, yakni FV, dirasa sangat tidak dapatdiandalkan.26

Mengingat upaya restukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan

24Dino Irwin Tengkano, “Perdamaian Pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang Kepailitan (Studi Kasus PT Ometraco di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat),” (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta, 2007), hlm.33.

25Ibid.

26Ibid.hlm. 34

(26)

berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan FV yang berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya, maka masyarakat kreditor, terutama masyarakat kreditor luar negeri, menghendaki agar peraturan kepailitan Indonesia, yaitu FV, secepatnya dirubah.27

Hal ini berarti bahwa secara yuridis, peraturan kepailitan yang lama masih tetap berlaku. Namun, karena pasal-pasal yang diubah, diganti dan ditambah tersebut sedemikan banyaknya, maka meskipun secara material Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 hanya mengubah peraturan yang lama, namun secara formal, Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut telah mengganti peraturan yang lama.

Dalam rangka untuk mengatasi permasalahan utang piutang tersebut, Pemerintah pada tanggal 22 Aapril 1998 mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan. Perpu No. 1 Tahun 1998 tersebut selanjutnya dikuatkan dan disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan menjadiUndang-Undang.

Apabila diperhatikan lebih jauh, sesungguhnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 ini tidak menggantikan peraturan kepailitan yang lama, melainkan hanya mengubah, menambah dan memperjelas peraturan kepailitan yang lama.

28

Terdapat perbedaan pendapat antara pihak DPR dan Pemerintah ketika lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1998 yang pada akhirnya menjadi Undang-Undang

27Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hlm 23.

28Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Penerbit PT.

Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.6.

(27)

No. 4 Tahun 1998 tersebut. Kalangan DPR menginginkan agar materi yang diatur dalam Perpu itu diubah karena banyak hal yang tidak memadai pengaturanya.

Akan tetapi, Pemerintah berpendapat bahwa sebaiknya Perpu itu diterima dan disahkan sebagai Undang-undang oleh DPR, dengan alasan adanya deadline yang ditetapkan dalam Letter of Intent yang telah ditandatangi anatara IMF dengan Pemerintah yang mengharuskan Indonesia untuk segera mengundangkan Undang- undang Kepailitan yang baru. Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut, maka DPR dan Pemerintah melakukan kompromi, yan menghasilkan kesepakatan bahwa Pemerintah dalam jangka waktu paling lama satu tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 diundangkan, yakni 9 September 1998, akan menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru kepada DPR RI.29

B. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam Hukum Kepailitan.

Penyusunan RUU Kepailitan yang baru, yang seharusnya selesai pada 9 September 1999, ternyata tertunda karena adanya berbagai hambatan. Akhirnya, pada tanggal 18 November 2004 disahkan dan diundangkanlah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang hingga saat ini berlaku sebagai Hukum Kepailitan diIndonesia.

Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (PKPU) merupakan suatu istilah yang sering dihubungkan dengan masalah “insolvensi” atau “keadaan tidak mampu membayar” dari debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan

29 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hlm 27.

(28)

dapat ditagih seketika dimana PKPU harus ditetapkan oleh Hakim Pengadilan atas permohonan dari debitor yang berada dalam keadaan “insolvensi” tersebut.30

Pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan PKPU adalah :31

2. Kreditor (dalam hal ini baik kreditor konkurenmaupunkreditor preferen) yang memperkirakan bahwa debitor yang tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapatmemohon agar kepada debitor diberi PKPU untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor (Pasal 222 ayat (3) UU Kepailitan).

1. Debitor yang mempunyai lebih dari 1 kreditor, atau debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor (Pasal 222 ayat (2) UUKepailitan).

32

3. Pengecualian untuk Debitor Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentinganPublik.33

a. Dalam hal debitornya adalah bank, maka permohonan PKPU hanya dapat

30 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 113

31 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 169-170.

32 Bernard Nainggolan, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan Pihak- Pihak Berkepentingan Dalam Kepailitan, (Bandung: PT Alumni,2011), hlm. 78

33Bandingkan dengan Pasal 55 Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

(29)

diajukan oleh Bank Indonesia;

b. Dalam hal debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal;

c. Dalam hal debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan Publik, maka permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Berdasarkan hal-hal di atas, tampak bahwa tujuan PKPU selain untuk mencegah kepailitan juga untuk membantu debitor yang beritikad baik.Dalam hal ini integritas dari debitor benar-benar menjadi ujian apakah mereka sungguh- sungguh ingin melunasi utang yang sudah menjadi kewajibannya tersebut. Oleh karena itulah, tujuan PKPU tidak lagi semata-mata demi kepentingandebitor, akan tetapi juga untuk kepentingankreditor.34

Elijana berpendapat tujuan PKPU sekarang bukan sekedar debitor bisa bangkit lagi untuk kemudian bisa membayar utangnya, tetapi memberikan waktu kepada debitor untuk mengajukan rencana perdamaian kepada kreditor.35

Hal ini dikarenakan putusan pernyataan pailit akan membawa akibat hukum terhadap debitor. Pasal 19 UU No 4 Tahun 1998 j o Pasal 21 UU Kepailitan No 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pailit itu diucapkan beserta segala sesuatu

34 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan Kepailitan, (Bandung: CV Nuansa Aulia), hlm .38.

35 Elijana dalam Sentosa Sembiring, Ibid.,

(30)

yang diperoleh selama kepailitan. Akibat hukum lainnya adalah bahwa debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit.“Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan terhitung sejak saat putusan pailit diucapkan.36

Meskipundikatakan bahwa seluruh ketentuan mengenai proses pendaftaran permohonan kepailitan berlaku juga untuk setiap permohonan PKPU yang diajukan, namun dalam hal terjadi dua macam permohonan yang berbeda, dimana satu permohonan merupakan permohonan kepailitan dan permohonan lainnya merupakan permohonan PKPU atau dalam hal diajukannyapermohonan PKPU yang menyusul suatu permohonan kepailitan yang tengah disidangkan.

Maka UU Kepailitan dalam Pasal 229 ayat (3) menentukan bahwa permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu.37

C. Jenis-jenis Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Berdasarkan sifat permohonannya, PKPU terbagi menjadi 2 yaitu:38 1. Permohonan PKPU murni (voluntarily petition);

Adalah permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor sebagai pemohon tanpa menarik pihak lain (kreditor) sebagai termohon dimana inisiatif berperkara ada pada debitor.

2. Permohonan PKPU tidak murni (involuntarily petition).

36Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 85.

37Ahmad Yani dan Gunawan widjaja, Op Cit, hlm. 114-115

38 Syamsudin Manan Sinaga, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 18.

(31)

Adalah Permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor sebagai tangkisan atau counter terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor terhadap debitor dimana inisiatif berperkara ada pada kreditor.

Sedangkan berdasarkan pada sifat saat dijatuhkannya PKPU oleh Pengadilan terhadap debitor, maka dikenal adanya dua macam PKPU, yaitu:39

1. Penundaan sementara kewajiban pembayaran utang;

Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya permohonan harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan serta mengangkat 1 orang atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.

Apabila permohonan diajukan itu oleh kreditor, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 hari sejak tanggal didaftarkannya permohonan harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan serta mengangkat 1 orang atau lebih Pengurus yang bersamadengandebitormengurus hartadebitor.40

Pada saat sidang pengadilan, Hakim harus mendengar Debitor, Hakim Pengawas, Pengurus dan Kreditor yang hadir, wakilnya atau kuasa yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Pada sidang tersebut, kreditor harus menentukan pemberianataupenolakan PKPU Tetap. Apabila PKPUTetap disetujui maka PKPU tetap berikut dengan perpanjangannya tidakboleh melebihi 270 hari

2. Penundaan kewajiban pembayaran utang yang bersifat tetap.

39Ahmad Yani dan Gunawan widjaja, Op Cit, hlm.116.

40Ibid.

(32)

setelah PKPU sementara diucapkan.41

PKPU yang telah ditetapkan oleh Pengadilan mengakibatkan

“diberhentikannya untuk sementara” kewajiban pembayaran utang debitor yang telah jatuh tempo sampai dengan dicapainya kesepakatan baru antara kreditor dan debitor mengenai syarat-syarat dan tata cara pembayaran baru yang disetujui bersama.42

PKPU tidak menghapuskan kewajiban untuk melakukan pembayaran utang, tidak juga mengurangi besarnya utang yang wajib dibayar oleh debitor, melainkan hanya bersifat “penundaan sementara” untuk mencapai “penjadwalan baru” atas utang-utang yang telah jatuh tempo tersebut dimana jangka waktu PKPU baik untuk yang sementara maupun yang tetap berikutdenganperpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari terhitung dari tanggal sejak putusan penundaan sementara kewajiban pembayaran utangditetapkan.43

PKPU dapat diakhiri baik atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih kreditor atau atas prakarsa Pengadilan dalamhal:44

3. Debitor melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 240 ayat (1) UU 1. Debitor selama waktu PKPU bertindak dengan itikad buruk dalam

melakukan pengurusan terhadap hartanya;

2. Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya;

41Ibid, hlm 120.

42Ibid, hlm 116

43Ibid.

44 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008), hlm. 243. Bandingkan dengan Sentosa Sembiring, Op Cit, hlm.

41

(33)

Kepailitan;

4. Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh Pengadilan pada saat/setelah PKPU diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta debitor.

5. Selama waktu PKPU, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU alias merosot;

6. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannyaterhadap para kreditor padawaktunya.

D. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Akibat hukum adalah segala konsekuensi yang terjadi dari setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang bersangkutan.Akibat hukum itu sendiri dapat lahir karena adanya suatu peristiwa hukum.

Mengenai peristiwa hukum, Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Hukum” menyatakanbahwa:

Peristiwa hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur. Dengan kata lain, peristiwa hukum

(34)

merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum.45

a. Akibat Hukum PKPU Terhadap Status HukumDebitor

PKPU itu sendiri tergolong ke dalam suatu peristiwa hukum, mengingat adanya PKPU akan memberikan akibat-akibat hukum terhadap pihak-pihak maupun hubungan-hubungan hukum sebagaimana ditentukan oleh Undang- undang Kepailitan.

Adanya PKPU memengaruhi status hukum debitor, khususnya yang terkait tindakan yang dapat dilakukannya.PKPU menimbulkan akibat hukum atas status hukum dari seorang debitor, yakni terhadap tindakan yang dilakukannya atas harta kekayannya.Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan adanya batasan bagi seorang debitor dalam PKPU untuk dapat melakukan tindakan atas harta yang dimilikinya.Berdasarkan ketentuan pasal tersebut debitor memerlukan adanya persetujuan dari Pengurus untuk melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.Dengan adanya PKPU terlihat bahwa status hukum debitor sebagai pemilik harta kekayaanya tidak lagi mutlak.Sebagaimana yang kita tahu bahwa hak kebendaan atas suatu benda pada dasarnya memberikan kekuasaan langsung atas benda itu dan dapat dipertahankan terhadap tuntutan setiap orang. 46

45 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 35.

46Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan- Jilid I, (Jakarta: Penerbit Ind-Hil-Co, 2005), hlm. 52

Namun, dalam halberlakunya PKPU kekuasaan debitor tersebut menjadi di-reduksi oleh ketentuan yang termuat dalan Undang-undang Kepailitan dan PKPU.Adapun konsekuensi apabila ternyata debitor melanggar ketentuan sebagaimana disebut di

(35)

atas adalah Pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan karena tindakandebitor tersebut.47

Adanya PKPU tidak mempengaruhi status hukum debitor di muka pengadilan.Dalam hal ini PKPU tidak dapat menghentikan perkara atas debitor

Di samping itu, ditentukan menurut Pasal 240 ayat (3) Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 bahwa kewajiban debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta debitor sejauh hal itu menguntungkan harta debitor.

Terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh debitor dalam ranah hukum perjanjian, yang dalam Undang-undang Kepailitan pasal 240 ayat (4) ditentukan secara limitatif terhadap pengikatan perjanjian pinjaman dari pihak ketiga, debitor hanya dapat melakukannya apabila terdapat persetujuan yang diberikan oleh pengurus. Hal tersebut pun hanya boleh dilakukan sepanjang guna meningkatkan nilai harta debitor.Lebih lanjut ditentukan bahwa apabila diperlukan adanya agunan, pembebanan harta debitor dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, hanya dapat dilakukan apabila pinjaman tersebut telah memperoleh persetujuan dari Hakim Pengawas (Pasal 240 ayat (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004).Adapun pembebanan atas harta debitor tersebut, hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta debitor yang memang belum dijadikan jaminan utang.Hal tersebut diatur dalam Pasal 240 ayat (6) Undang-Undang No. 37 Tahun2004.

47Indonesia (Kepailitan), Op Cit.,Ps. 240 ayat(2).

(36)

yang sudah mulai diperiksa serta tidak pula menghalangi pihak manapun untuk mengajukan gugatan terhadap debitor atas suatu perkara baru.Hal tersebut diatur dalam Pasal 243 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Walaupun demikian, Pasal 243 ayat (2) menentukan bahwa dalam hal perkara yang semata- mata mengenai tuntutan pembayaran suatu tagihan yang telah diakui oleh debitor sendiri, akan tetapi kreditor tidak mempunyai kepentingan untuk mendapat suatu putusan guna melaksanakan haknya terhadap pihak ketiga, maka setelah pengakuan debitor tersebut dicatat, hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal itu sampai berakhirnya PKPU. Di sisi lain, debitor selama masa PKPU tidak boleh menjadi penggugat maupun tergugat dalam perkara mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta kekayaannya tanpa bantuan pihak Pengurus. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 243 ayat (3) Undang- undang Kepailitan, yang mana merupakan konsekuensi atas adanya ketentuan dalam Pasal 240 ayat (1) undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa selama PKPU, debitor tanpa persetujuan Pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.

b. Akibat Hukum PKPU Terhadap Status Sita dan EksekusiJaminan

Adanya PKPU juga menimbulkan akibat hukum terhadap status sita dan eksekusi jaminan. PKPU mengakibatkan ditangguhkannya semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang (Pasal 242 ayat(1) Undang-Undang No 37 Tahun 2004). Dengan demikian maka, debitor selama masa PKPU tidak dapat dipaksa untuk membayar utangnya, karena pada

(37)

dasarnya memang pada periode ini Pengadilan Niaga memberikan kesempatan bagi debitor untuk mengajukan rencana perdamaian sehingga kewajiban pembayaran utang pun ditunda. Keadaan ini berlangsung baik selama PKPU Sementara maupun selama PKPUTetap.48

Pada dasarnya kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, Lebih lanjut diatur bahwa semua sita yang telah diletakkan gugur setelah diucapkan putusan PKPU Tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta debitor. Ketentuan tersebut dikecualikan dalam hal Pengadilan berdasarkan permintaan Pengurus telah menetapkan tanggal sita yang lebih awal. Adapun apabila debitor disandera, ketentuan Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa debitor pun harus dilepaskan segera setelah diucapkan putusan PKPU Tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan pengguguran eksekusi sebagaimana diuraikan sebelumnya juga berlaku pula terhadap eksekusi dan sita yang telah dimulai atas benda yang tidak dibebani,sekalipuneksekusidansitatersebutberkenaandengantagihankreditor yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau dengan hak yang harus diistimewakan berkaitan dengan kekayaan tertentu berdasarkan undang-undang (Pasal 242 ayat (3) Undang- Undang No. 37 Tahun 2004).

48Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hlm 358.

(38)

hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, berdasarkan Pasal 55 Undang- Undang No. 37 Tahun 2004, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, sepanjang memenuhi ketentuan pasal 56, 57 sampai 58 dalam undang- undang tersebut. Namun, dalam hal berlakunya PKPU, Pasal 246 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa hak kreditor tersebut ditangguhkan selama periode PKPU berjalan hingga PKPU berakhir. Dengan demikian terlihat bahwa status sita dan eksekusi jaminan selama PKPU menjadi ditunda.

c. Akibat Hukum PKPU Terhadap Kedudukan Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen

PKPU hanya berlaku bagi kreditor konkuren. Sebagaimana uraian mengenai Pasal 244 dab 246 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 di bawah ini, PKPU tidak berlaku bagi kreditor pemegang hak jaminan dan kreditor dengan hak istimewa. Pasal 244 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 mengatur mengenai kedudukan dari tagihan-tagihan kreditor yang dijamin dengan hak jaminan (gadai, fidusia, hak tanggungan, dan hipotek) dan tagihan-tagihan yang diistimewakan.

Pasal 244 ayat (1) menyatakan bahwa:

Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap:

a. tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya;

b. tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan Hakim Pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban

(39)

pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan;dan

c. tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik Debitor maupun terhadap seluruh harta Debitor yang tidak tercakup pada ayat (1) hurufb.49

Sehubungan dengan ketentuan di atas, Pasal 246 menyatakan bahwa:

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan hak Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan Kreditor yang diistimewakan, dengan ketentuan bahwa penangguhan berlaku selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang.50

Sebagaimana ketentuan di atas, maka dapat diketahui bahwa penaguhan berlaku selama berlangsunya PKPU. Penangguhan yang berlaku selama 90 hari untuk kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, bagi PKPU bukan terbatas hanya selama 90 hari, melakinkan berlaku selama jangka waktu PKPU itu sendiri. Dengan demikian maka bagi para kreditor dengan hak jaminan, selama masa PKPU masih berlangsung, mereka tidak dapat melakukan eksekusi hak jaminannya. Di sisi lain, kreditor dengan tagihan yang diistimewakan tidak dapat menagih piutangnya mendahului para kreditor lainnya.

Dengan berlakunya ketentuan Pasal 246 tersebut, maka ketentuan Pasal 244 ayat (1) pun menjadi tidak ada artinya bagi kreditor separatis dan kreditor preferen karena selama masa berlakunya PKPU itu para kreditor tersebut tidak dapat melaksanakan haknya. Adapun dalam hal kekayaan yang diagunkan dengan hak

49Indonesia (Kepailitan), Op Cit., Ps.244.

50Pasal 246 UU Kepailitan.

(40)

gadai, hak tanggungan dan hak agunan atas kebendaan lainnya tidak mencukupi untuk membayar tagihan, maka para kreditor yang dijamin dengan agunan tersebut mendapatkan hak sebagai kreditor konkuren, termasuk mendapatkan hak untuk mengeluarkan suara selama PKPU.51

d. Akibat Hukum PKPU Terhadap UtangDebitor

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa adanya PKPU menimbulkan akibat hukum terhadap kreditor preferen dan kreditor separatis, yakni status hukum mereka selama periode tersebut menjadi sama saja dengan status para kreditor konkuren, khususnya dalam hal melaksanakan eksekusi jaminan maupun penagihan piutang. Selain itu, dalam hal harta yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi tagihanyang ada, maka kreditor separatis tersebut pun beralih statusnya menjadi kreditor konkuren untuk bersama-sama melakukan sita umum atas harta kekayan debitor yang tersisa yang tidak dibebani dengan hak jaminan apapun.

Selama masa PKPU berlangsung, debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utangnya sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 242 jo. 245 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Pasal 245 tersebut menyatakan bawa:

Pembayaran semua utang, selain yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 yang sudah ada sebelum diberikannya penundaan kewajiban pembayaran utang selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang, tidak boleh dilakukan, kecuali pembayaran utang tersebut dilakukan kepada semua Kreditor, menurut perimbangan piutang masing-masing, tanpa mengurangi berlakunya juga ketentuan sebagaimana

51Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan: Edisi Revisi, hlm. 237.

(41)

dimaksud dalam Pasal 185 ayat(3).52

1. Diberlakukan sebagai suatu tagihan dengan syarat tangguh, artinya tagihan tersebut dimasukkan dalam daftar yangmemuat:

Adapun mengenai tagihan-tagihan yang ditujukan kepada debitor terkait utang yang ditangguhkan pelunasannya itu, apabila dianggap perlu maka dapat diselesaikan dengancara:

a. Nama dan tempat tinggal parakreditor

b. Jumlah piutang masing-masing besertapenjelasannya c. Status piutang tersebut apakah diakui ataudibantah

2. Diberlakukan sebagai piutang yang dapat ditagih pada waktu yang tidak dipastikan atau yang memberikan hak atas tunjangan berkala dan dimasukkan dalam daftar dengan nilai pada saat PKPU itu mulai berlaku

3. Diberlakukan sebagai piutang baru yang dapat ditagih setahun kemudian sejak PKPU berlaku, akan diberlakukan seolah-olah dapat ditagih pada saattersebut.53

Lebih lanjut, diatur bahwa terhadap pihak-pihak yang mempunyai utang dan piutang kepada debitor berdasarkan harta kekayaan debitor, boleh mengadakan perhitungan utang piutang untuk pengurusannya dengan memperhatikan ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 274 dan Pasal 275, bila utang piutangnya itu telah terjadi sebelum mulai berlakunya

52Indonesia (Kepailitan), Op Cit.,Ps.245.

53Rahayu Hartini, op.cit., hlm. 238.

(42)

PKPU.54

e. Akibat Hukum PKPU Terhadap Perjanjian YangMengikatDebitor

Dalam hal ini perhitungan utang piutang tersebut berarti perjumpaan utang atau kompensasi terhadap utang dan piutangnya.Hal tersebut diatur pada Pasal 247 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Mengenai perjumpaan utang piutang tersebut, Undang-undang Kepailitan menentukan bahwa pihak yang mengambil alih utang dari pihak ketiga kepada debitor atau mengambil alih piutang debitor dari pihak ketiga sebelum PKPU, tidak dapat melakukan perjumpaan utang apabila dalam pengambilalihan utang piutang tersebut ia tidak beritikad baik. Begitu pula dengan piutang atau utang yang diambil alih setelah dimulainya PKPU, tidaklah dapat diperjumpakan.Ketentuan tersebut tertuang pada Pasal 248 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 37 Tahun2004.

Debitorselainmempunyaikewajibanterhadapkreditornyadalambentuk pemenuhan pembayaran utang akibat suatu perjanjianmaupun undang-undang, juga memilikikewajibanlaindalammemenuhiprestasi-prestasilainnya. Kewajiban untuk memenuhi prestasi selain pembayaran utangmunculmanakala debitor mengikatkan diri dengan pihak lain melalui suatu perjanjian.PKPUselain mempengaruhikewajibandebitordalampemenuhanutang-utangnya,juga

mempengaruhi pemenuhan kewajiban atas suatu prestasi tertentuyangtertuang dalamperjanjianyangmengikatnya.HaltersebutdisebabkankarenaPKPUitu

sendiriakanmenimbulkanakibat-akibathukumterhadapperjanjianyang

mengikatdebitor.BerikutakandiuraikanakibathukumatasadanyaPKPUterhadap

54Ibid, hlm. 238

(43)

perjanjian-perjanjian yang mengikat debitor.

1. Perjanjian dengan KlausulArbitrase

Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian memengaruhi klausul perjanjian yang terkandung di dalamnya. Salah satu dampak dari adanya asas tersebut adalah para pihak memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana cara penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian itu. Dalam suatu perjanjian, apabila terdapat klausul arbitrase di dalamnya maka apabila terjadi persengketaan harus diselesaikan melalui suatu badan arbitrase dan dengan demikian pengadilan tidak berwenang menyelesaikan persengketaan tersebut. Namun demikian, menurut Pasal 303 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 sepanjang menyangkut permohonan pernyataan pailit terhadap salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian itu yang diajukan oleh mitra janjinya harus tetap diajukan kepada Pengadilan Niaga.55

Pasal 249 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 mengatur mengenai perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi pada saat putusan PKPU ditetapkan. Menurut Pasal 249 ayat (1), apabila pada saat putusan PKPU diucapkan terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta Dengan demikian maka dalam hal terjadi PKPU, klausul arbitrase dalam suatu perjanjian tidak dapat diberlakukan karena seluruh proses yang berkenaan dengan perkara kepailitan termasuk PKPU, hanya merupakan wewenang dari Pengadilan Niagasaja.

2. Perjanjian Timbal Balik

55Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hlm 362.

(44)

kepada Pengurus untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh Pengurus dan pihak tersebut.56Ayat (2) Pasal 249 tersebut menentukan bahwa dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai jangka waktu itu, Hakim Pengawas lah yang kemudian menetapkan jangka waktu tersebut. Selanjutnya ditentukan bahwa apabila dalam jangka waktu yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengurus dan pihak yang bersangkutan maupun ditetapkan atas penetapan HakimPengawas,ternyata Pengurus tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, perjanjian berakhir dan pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi sebagai kreditor konkuren. Adapun dalam hal Pengurus menyatakan kesanggupannya, Pengurus memberikan jaminan atas kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 249 ayat (5), apabila perjanjian itu wajib dilaksanakan oleh debitor sendiri, artinya tidak dapat diwakilkan kepada atau dipenuhi oleh orang lain, maka ketentuan Pasal 249 ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidakberlaku.57

Dalam hal perjanjian timbal balik memperjanjikan penyerahan benda yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu, dan sebelum penyerahan dilakukan telah diucapkan putusan PKPU, maka perjanjian tersebut menjadi hapus. Apabila dengan hapusnya perjanjian tersebut, pihak lawan dirugikan, ia boleh mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.

3. Perjanjian Penyerahan Barang

56Indonesia, (Kepailitan), Op Cit, Ps.249.

57Sutan Remy Sjahdeini ,Op Cit. hlm. 363.

(45)

Hal tersebut diatur dalam Pasal 250 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.Namun sebaliknya, apabila penghapusan itu merugikan harta debitor, maka pihak lawan wajib membayar kerugian tersebut.

4. Perjanjian Sewa-menyewa

Setelah adanya putusan PKPU, dengan persetujuan Pengurus, debitor yang menyewa suatu benda dapat menghentikan perjanjian sewa, sepanjang syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian, sebagaimana dengan adat kebiasaan setempat.Penghentian tersebut harus pula mengindahkan jangka waktu menurut perjanjian atau menurut kelaziman, dengan ketentuan bahwa jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari adalah cukup.58Namun, dalam hal debitor telah membayar uang sewa di muka, perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu sewa yang telah dibayar uang muka.59

5. Perjanjian Kerja

Adapun uang sewa menjadi utang harta debitor semenjak hari putusan PKPU Sementara diucapkan.Ketentuan mengenai akibat hukum yang ditimbulkan oleh PKPU terhadap perjanjian sewa menyewa ini diatur dalam Pasal 251 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Debitor memiliki hak untuk memutuskan hubungan kerjadengan karyawannya setelah putusan PKPU Sementara diucapkan, dengan tetap mengindahkan ketentuan sebagaimanadimaksuddalam Pasal 240 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Pemutusan hubungan kerja itu pun harus tetap mengindahkanjangka waktu menurut persetujuanatau ketentuan perundang-undangan

58Indonesia (Kepailitan), Op Cit,Ps. 223.

59Pasal 251 UU Kepailitan.

(46)

yang berlaku dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya.60

Persyaratan yang paling utama dalam hal pengajuan permohonan PKPU sebagaimana tercantum dalam pasal 222 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah debitor tersebut memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor.

Lebih lanjut ditentukan bahwa sejak mulai berlakunya PKPU Sementara maka gaji dan biaya lainyang timbul dalam hubungan kerja tersebut menjadi utang harta debitor. Ketentuan mengenaiperjanjian kerja setelah adanya PKPU tersebut diatur dalam Pasal 252 Undang-Undang No. 37 Tahun2004.

E. Persyaratan Pengajuan PKPU

61Pengajuan permohonan PKPU itu sendiri dapat dilakukan oleh debitor maupun kreditor. Hal ini merupakan perubahan yang terjadi pada peraturan perundang-undangan kepailitan yang baru, di mana pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 pada Pasal 21362

60Pasal 252 UU Kepailitan.

61Pasal 222 ayat 1UU Kepailitan.

dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan PKPU adalah debitor. Syarat bagi kreditor untuk dapat mengajukan PKPU itu sendiri, menurut Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah apabila kreditor tersebut memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sedangkan bagi debitor untuk dapat mengajukan PKPU bukan hanya setelah tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya, tetapi juga apabila debtor memperkirakan tidak

62Pasal 213 UU No. 4 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud Pasal 212 harus diajukan debitur kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dengan ditandatangani olehnya dan oleh penasihat hukumnya, dan disertai daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, beserta surat-surat bukti selayaknya.”

(47)

dapat melanjutkan membayar utang-utangnya itu ketika nantinya utang-utang itu jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004). 63

Dalam hal Debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, LembagaKliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negarayang bergerakdi bidang kepentinganpublik maka yangdapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaranutang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

DengandemikianmakaapabilaisidariPasal222ayat(2)danayat(3) disimak dengan baik, maka terlihat bahwa terdapat perbedaan mengenai syarat dapat diajukannya PKPU oleh debitor dan oleh kreditor.

Adapun terhadap debitor yang merupakan Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik terdapat persyaratan khusus perihal pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU.

Dalam hal ini, pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU atas lembaga- lembaga tersebut adalah sama dengan pihak yang mengajukan permohonan pailit terhadap lembaga itu. Pasal 223 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 secara rinci menyatakanbahwa:

64

Debitor yang merupakan sebuah bank, pengajuan permohonan PKPU harus dilakukan oleh Bank Indonesia. Adapun dalam hal debitor adalah

63Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hlm 331.

64Indonesia (Kepailitan), Op Cit, Ps. 223.

(48)

Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan PKPU adalah Badan Pengawas Pasar Modal. Sedangkan dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Pada dasarnya Pasal 224 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 memuat ketentuan mengenai persyaratan administratif pengajuan permohonan PKPU, baik bagi pemohon yang merupakan debitor itu sendiri maupun pemohon yang merupakan kreditor. Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 mengatur bahwa dalam hal pengajuan permohonan PKPU yang dilakukan oleh debitor maupun kreditor, permohonan tersebut haruslah pula ditandatangani oleh kuasa hukumnya (advokat). Dalam hal ini terlihat bahwa advokat memegang peranan penting dalam membantu pihak-pihak yang hendak mengajukan permohonan PKPU. Adapun ketentuan pasal tersebut berbunyi sebagai berikut

”Permohonan penundaan kewajibanpembayaranutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya”.65

Pengajuan permohonan PKPU sebagaimana disebutkan sebelumnya pun harus dilakukan denganmengindahkan ketentuanyang terdapat pada Pasal 3 Undang- UndangNo.37 Tahun 2004.Dengan demikian maka, selain harus ditandatangani oleh advokat dari pemohon, pengajuan permohonan PKPU harus ditujukan kepada

65Pasal 224 ayat (1) UU Kepailitan.

Gambar

Tabel Perbandingan

Referensi

Dokumen terkait

Siti Rahayu (1985), menyatakan bahwa anak dan menyatakan bahwa anak dan permainan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kilpatricik, Swafford, dan Findell, 2001: 16 (dalam Hudiono, 2007: 57) yang menyatakan bahwa siswa dikatakan

Persamaan dasar ( governing equation ) fluida ideal dalam formulasi Lagrange telah digunakan oleh Grimshaw (1981)[3] untuk menurunkan persamaan Korteweg-de Vries (KdV) bagi

Selaras dengan amanah dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

Fulgensius., 2015, Pengaruh Ekstrak Etanol Herba Putri Malu (Mimosa Pudica L.) pada Histologi Organ Mencit Betina sebagai Penunjang Uji Toksisitas Subkronis,

Berdasarkan hasil analisis RPP Tema 1, kesesuaian komponen materi ajar menurut kurikulum 2013 yang telah dinilai oleh 3 penilai, dilihat dari aspek kesesuaian materi ajar

Jika dibantu oleh orang awas, tunanetra merasa kurang puas karena jenis hidangan yang diambilkan tidak sesuai dengan selera, atau kondisi nasi dan lauk pauk yang diambilkan di

kendaraan dijalan raya dengan kecepatan pelan hingga kencang Direkam nilai data minimal hingga data maksimal Sukses 3 Menyimpan data putaran mesin kendaraan normal