1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pantai Parangtritis merupakan salah satu pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta yang paling banyak menyumbangkan pendapatan daerah, khususnya bagi Kabupaten Bantul. Pantai Parangtritis juga merupakan salah satu pantai yang menjadi maskot wisata Kabupaten Bantul. Pantai ini selalu menjadi destinasi wisata utama wisatawan yang berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lokasinya terletak di ujung Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul yang berdekatan dengan Kabupaten Gunungkidul.
Angin yang bertiup di kawasan Parangtritis cenderung berasal dari arah tenggara karena angin yang bertiup ke daratan dibelokkan oleh perbukitan karst Gunungsewu di bagian timur Parangtritis. Kekuatan angin yang besar seringkali mampu membawa dan menerbangkan pasir. Kombinasi antara kekuatan angin yang besar dengan pasir pantai yang kering menyebabkan banyak terjadi pergerakan pasir yang disebabkan oleh angin. Besarnya kekuatan angin yang bertiup menyebabkan pasir mampu bergerak secara merayap, meloncat, sampai melayang di udara. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pada kawasan Parangtritis terjadi deflasi pasir. Proses deflasi menyebabkan tiupan angin dapat membawa pasir. Deflasi merupakan perpindahan material pasir atau debu karena aktivitas angina (Cooke dan Doornkamp, 1974). Proses tersebut mengakibatkan terbentuknya jalur gumuk pasir selebar dua kilometer yang mempunyai azimut antara 335
o-340
odari arah karst Gunungsewu (Verstappen, 2013).
Deflasi di kawasan Parangtritis dapat menjadi masalah bagi para pengunjung karena dapat mengganggu kenyamanan berwisata. Pedagang dan penjaga wahana di Pantai Parangtritis juga terganggu oleh fenomena deflasi.
Selain itu, deflasi berpengaruh juga terhadap fasilitas wisata seperti jalan
penghubung Pantai Parangtritis dengan Pantai Parangkusumo. Banyak sekali pasir
2 yang masuk ke jalan, sehingga sangat mengganggu kenyamanan orang berkendara atau pejalan kaki. Pergerakan pasir yang diakibatkan oleh proses deflasi masih belum bisa dihambat oleh adanya pohon perindang yang difungsikan sebagai penahan laju pasir.
Fenomena deflasi yang terjadi di kawasan Pantai Parangtritis pada dasarnya merupakan fenomena alam biasa, namun karena pesatnya perkembangan kegiatan pariwisata di Parangtritis fenomena deflasi ini dapat menjadi salah satu tipe bahaya di kawasan Parangtritis. Kerugian dapat ditimbulkan akibat adanya deflasi bila tidak dikelola dengan baik. Fenomena deflasi di kawasan Parangtritis harus tetap berjalan karena merupakan salah satu proses geomorfologis, namun kerugian yang ditimbulkan terhadap kegiatan pariwisata juga harus ditekan.
Kajian mengenai deflasi di kawasan Parangtritis menjadi sangat penting karena pengelolaan bahaya deflasi perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian kegiatan pariwisata. Memerhatikan pentingnya hal tersebut, maka karakteristik deflasi di kawasan Pantai Parangtritis perlu diketahui. Selain itu observasi terhadap pihak yang terdampak langsung oleh deflasi juga diperlukan untuk mengetahui pengaruh deflasi dan dampaknya terhadap kegiatan pariwisata.
1.2. Perumusan Masalah
Perkembangan kegiatan pariwisata di kawasan Pantai Parangtritis yang
cukup pesat menyababkan munculnya masalah yang berkaitan dengan proses
alam. Aprilia (2003) menyebutkan bahwa besar deflasi di kawasan Paragtritis
yaitu di sekitar gumuk pasir rata-rata sebesar 0,051 gr/detik. Proses alam seperti
deflasi yang ada di kawasan Parangtritis menjadi terganggu karena pada jalur
pergerakan pasir dibangun berbagai fasilitas penunjang pariwisata seperti jalan,
toko, dan bangunan lain. Proses alam yang berjalan ini pada dasarnya bukan
merupakan suatu masalah, tetapi karena prosesnya terganggu oleh kegiatan
manusia maka berubah menjadi masalah dan menjadi salah satu tipe bahaya di
kawasan Pantai Parangtritis. Deflasi yang terjadi ini tentunya mempunyai
kekuatan yang cukup besar karena sudah menjadi salah bahaya yang dapat
merugikan.
3 Deflasi yang terjadi di kawasan Pantai Parangtritis memliki karakteristik tertentu. Karakteristik deflasi dapat diteliti dengan mengetahui besar kejadiannya pada saat waktu siang dan malam. Selain itu karakteristik deflasi juga dapat diketahui secara fisiknya, yaitu dengan mengetahui ukuran butir, kebulatan, dan kebundaran material terdeflasi, arah deflasi, serta ambang batas kecepatan angin.
Pasir yang bergerak akibat proses deflasi dapat mengganggu kenyaman pengunjung dan dapat menganggu saluran pernafasan. Selain itu, akibat deflasi juga dapat memengaruhi omzet pedagang karena pasir mampu mengotori barang yang dijual pedagang. Lebih jauh lagi pergerakan pasir yang sangat intensif mampu masuk ke jalan sehingga mengganggu para pengendara dan pejalan kaki.
Akibatnya kegiatan pariwisata di kawasan Pantai Parangtritis dapat terganggu.
Berdasarkan masalah tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut.
1. Berapa besar deflasi yang terjadi di kawasan Parangtritis?
2. Bagaimana karakteristik deflasi di kawasan Parangtritis?
3. Apa dampak deflasi terhadap aktivitas pariwisata di kawasan Parangtritis?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui besar deflasi pasir di kawasan Parangtritis.
2. Mengetahui karakteristik deflasi pada kawasan Parangtritis.
3. Menemukenali dampak deflasi terhadap aktivitas pariwisata di kawasan Parangtritis.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang besarnya
deflasi yang terjadi di kawasan Parangtritis dan dampak yang ditimbulkan akibat
proses tersebut terhadap pariwisata. Informasi ini dapat digunakan oleh
pemerintah daerah sebagai bahan masukan atau pertimbangan untuk pengelolaan
kawasan Parangtritis agar proses deflasi tetap berjalan sebagaimana mestinya dan
dilain pihak kegiatan pariwisata tidak terganggu. Penelitian ini juga bermanfaat
4 untuk pengembangan studi geomorfologi yang berkaitan dengan fenomena antropogenik.
1.5.Telaah Pustaka
1.5.1. Proses Angin dalam Studi Geomorfologi
Obyek kajian utama geomorfologi merupakan bentuklahan. Dalam studi geomorfologi, terdapat kajian mengenai tenaga geomorfik. Tenaga geomorfik merupakan tenaga yang bekerja mengahasilkan perkembangan bentuklahan.
Angin merupakan salah satu tenaga geomorfik yang menghasilkan bentukan aeolian. Angin memiliki kekuatan untuk mengangkat dan mentransportasikan partikel debu pada jarak tertentu. Selain itu kecepatan dan arah angin juga menetukan keragaman bentukan asal proses angin (aeolian) (Thornburry, 1954).
Fenomena aeolian pada lokasi-lokasi tertentu dapat berkombinasi dengan proses marine. Fenomena ini terjadi di kawasan Parangtritis. Verstappen (1957) menyebutkan bahwa sumber utama material pasir yang membentang di kawasan Parangtritis berasal dari Gunungapi Merapi yang tersusun oleh magnetit, gelas vulkanik, fragmen batuan andesitik, plagioklas, augit, hiperstin, dan beberapa ilmenit. Proses marine berupa arus berperan mendeposisikan pasir yang terbawa aliran sungai. Angin juga berperan dalam mendeposisikan material pasir di kawasan ini. Kondisi inilah menyebabkan pada kawasan Parangtritis terbentuk gumuk pasir (sand dune). Virginia Marine Resource Comission (1993) dan King (1966) menyebutkan bahwa fenomena sand dune di wilayah pesisir merupakan fenomena alam yang menarik dan atraktif untuk berkembangnya pariwisata.
Proses aeolian secara mendasar dipengaruhi oleh erosivitas dan
erodibiltas. Erosivitas mencakup angin permukaan dan iklim, sedangkan
erodibilitas mencakup material dan kondisi permukaan. Erosi oleh angin terjadi
ketika tekanan udara pada permukaan tanah atau pasir lebih besar dari pada
gravitasi. Angin permukaan yang mampu membawa pasir merupakan angin yang
bergerak secara turbulen. Kecepatan angin permukaan semakin besar jika semakin
tinggi dari permukaan tanah (Cooke dan Doornkamp, 1990).
5 1.5.2. Pergerakan Pasir
Pergerakan pasir sangat erat hubungannya dengan kecepatan angin.
Pergerakan material pasir atau debu karena ativitas angin merupakan fenomena deflasi (Cooke dan Doornkamp, 1974). Pethick (1984) menyebutkan bahwa awal pergerakan pasir berada pada kecepatan angin yang bertiup 5 m/detik. Namun demikian, bila kecepatan angin sudah mulai konstan maka pasir mampu bergerak dengan kecepatan angin 4 m/detik. Kecepatan angin yang bertiup dapat menyebabkan perbedaan pergerakan pasir. Pasir mampu bergerak secara merayap, meloncat, dan melayang. Pasir yang merayap berada pada ketinggian maksimal 1 cm dari atas permukaan pasir, Pasir yang bergerak pada ketinggian 1 cm sampai 1 meter di atas permukaan pasir merupakan pasir yang bergerak secara meloncat.
Pasir yang bergerak di atas 1 meter dari permukaan pasir merupakan pasir yang bergerak secara melayang.
Studi yang dilakukan Chepil (1963, dalam Cooke dan Doornkamp, 1990) mengestimasikan bahwa 50-75% dari total material yang tererosi bergerak secara meloncat, 3-40% bergerak melayang, dan 5-25% bergerak secara merayap.
Berbeda halnya dengan studi yang dilakukan oleh Susmayadi dkk. (2009) mengemukaan bahwa pasir di kawasan Parangtritis yaitu di gumuk pasir bergerak secara merayap sebanyak 84,81%, bergerak secara meloncat sebanyak 15,17%, dan bergerak secara melayang sebanyak 0,02% dari total pergerakan pasir.
Perbedaan persentase pergerakan pasir ini disebabkan oleh liputan vegetasi, sumber material, dan kecepatan angin.
Ukuran butir pasir dan kelembapan pasir mempunyai pengaruh terhadap
pergerakan pasir. Oleh sebab itu, pada musim kering pasir akan lebih mudah
mengalami pergerakan. King (1966) mengemukakan bahwa pada kondisi alami,
material pasir yang pertama terbawa oleh angin adalah material pasir yang paling
halus. Ketika material yang berukuran paling besar mampu terbawa angin, maka
kecepatan angin tersebut merupakan ambang batas kecepatan angin (threshold
6 velocity). Berbeda halnya pada kondisi material pasir yang telah mengalami
sortasi, pasir pada berbagai ukuran dapat bergerak secara bersamaan.
1.5.3. Deflasi di Kawasan Parangtritis
Material pasir yang ada di kawasan Parangtritis berjumlah banyak, namun demikian gumuk pasir pesisir yang ada di kawasan Parangtritis relatif datar. Bird (1969) menjelaskan bahwa sedimen pasir yang ada di pantai dengan ukuran yang halus akan membentuk gumuk pasir pesisir yang relatif datar. Hal ini mengindikasikan bahwa material pasir yang ada di Parangtritis cenderung memiliki ukuran pasir halus. Menurut Verstappen (2013) bentang karst yang memiliki gawir pada bagian timur Parangtritis menyebabkan angin munson timur membelok menuju kawasan Parangtritis yang mampu menambah besar kekuatan angin untuk membawa pasir. Kondisi ini mampu mengakibatkan terjadinya deflasi pada kawasan Parangtritis.
Pergerakan pasir yang terjadi di kawasan Parangtritis merupakan proses alamiah biasa. Susmayadi dkk. (2009) menyebutkan bahwa masuknya proses antropogenik berupa kepariwisataan kedalam wilayah yang berpotensi deflasi mengakibatkan munculnya ancaman deflasi yang mampu mengakibatkan bencana. Ancaman deflasi ini mampu menimbulkan kerusakan pada intensitas dan skala yang berbeda. Ancaman bahaya deflasi di kawasan Parangtritis ini berupa terpaan angin yang disertai material pasir, timbunan pasir, dan gangguan kesehatan oleh material pasir yang berukuran mikro. Kawasan Parangtritis menjadi rentan terhadap ancaman bahaya deflasi karena rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap deflasi dan sikap masyarakat yang cenderung mengabikan fenomena deflasi. Pembangunan rumah yang terlalu dekat dengan pantai dan berada pada koridor angin, serta tata ruang kawasan yang kurang ekologis menyebabkan kerentanan kawasan Parangtritis terhadap deflasi semakin besar.
1.5.4. Variabel dan Pengukuran Deflasi
Shear stress (tegangan geser) yang ada di permukaan pasir merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan pasir. Ketika tegangan geser
7 mencapai keadaan kritis, maka pasir akan mulai bergerak. Tegangan geser mempunyai hubungan dengan kecepatan angin, yaitu yang dinyatakan dalam shear velocity atau gradien kecepatan angin. Gradien kecepatan angin (V*) inilah yang menjadi tenaga penggerak utama pergerakan pasir (Belly, 1964). Banyak sekali studi yang telah mempelajari tentang deflasi. Dong et al. (2003) merangkum beberapa metode dalam perhitungan deflasi seperti pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Beberapa Metode untuk Menentukan Besarnya Deflasi
No. Rumus Kontributor Tahun
1 q = C(d/D)
0.5(ρ/g)V
*3
Bagnold 1941
2 q = C(d/D)
0.75(ρ/g)V
*3
Zingg 1953
3 q = (1/gd)
1.5e
(4.97d-0.47)V
*3