• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu Dan Ekonomis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu Dan Ekonomis."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

A. Judul Penelitian : SISTEM PENGENDALIAN HAMA TIKUS SECARA KONTINU DAN EKONOMIS B. Ketua Peneliti

a. Nama lengkap & Gelar : Dr.H. W.Daradjat Natawigena,Ir.,MSi. b.Jenis Kelamin : Laki-laki

c.Pangkat/ Golongan/NIP : Lektor Kepala/ IVa/ 131 653 088 d. Bidang Keahlian : Pengendalian Vertebrata Hama

e Fakultas/Jurusan : Pertanian/Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan f.Bidang ilmu yang diteliti : Pengendalian hama tikus

C. Tim Peneliti

N a m a Bidang Keahlian Fakultas/Jur Perguruan Tinggi Dr.H.W.Daradjat

Natawigena,Ir.MSi

Ahli Pengendalian Vertebrata Hama

Pertanian/JHPT UNPAD

Ichsan Nurulbari,SP Ahli Tikus Pertanian/JHPT UNPAD

D. Pendanaan dan jangka waktu penelitian

Jangka waktu penelitian yang diusulkan : Satu (1) Tahun Biaya total yang diusulkan : Rp. 38.250.000,- Jangka waktu penelitian yang disetujui : Delapan (8) Bulan Biaya yang disetujui tahun 2006 : Rp. 21.000.000,-

(2)

To overcome rat pest problem in rat pest endemic areas, There have been some research activities to find new concept in controlling rat pest. This new concept is called “continually and economically rat pest controlling”. This system is environmentally friendly by integrating several compatible activities and these activities are harmony each other. The system refers to the development of a plaited rattan rat trap type which is combined with rat attractive substance and the use of rat body as economical things which could encourage people to catch rat on and on.

The research is begun by choosing rat endemic area, identification of rat species both morphology and non-morphology, and rat behavior. In addition, it is designed new model of rat trap which could catch rat at once time. There are some steps in choosing and implementing new design of rat trap, namely: information, creative, analytical, development, and recommendation. This new development of rat trap is also supported by the introduction of new rat attractive substance.

This research also goes further to the use of rat body as economical things, for instance through skin tanning process and arts touch, rat skin could be made for handy crafts such as key ring, mobile phone bag, and other crafts made from skin. The rat body could provide benefit as protein sources in fish food process. The fish food is made in long life pellet type. Rat bones, oxtail, and intestines could be processed to be fertilizer by natural degradation process and packed for sale.

(3)
(4)

Untuk menanggulangi masalah hama tikus di daerah endemik hama tikus, telah dilakukan serangkaian kegiatan penelitian untuk menemukan konsep baru cara mengendalikan hama tikus. Cara baru pengendalian hama tikus tersebut adalah: ”Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis” Sistem ini adalah sistem pengendalian hama tikus yang ramah lingkungan dengan memadukan beberapa kegiatan yang kompetibel dan serasi satu dengan lainnya yaitu : pengembangan suatu tipe perangkap bubu tikus yang dipadukan dengan zat atraktan tikus serta pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomis, sehingga dapat merangsang orang untuk menangkapi tikus secara terus menerus/kontinu (catch a rat a day).

Penelitian dimulai dengan pemilihan kawasan daerah endemik tikus. kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tikus yang ada meliputi pendekatan karakter morfologis dan non morfologis, juga meneliti kajian perilaku tikus yang ada di kawasan tersebut. Untuk selanjutnya dibuat rancang bangun perangkap tikus model baru yang dapat menangkap beberapa tikus sekaligus (pengembangan dari perangkap sistem bubu yang ada sekarang). Dalam pembuatan perangkap ini dilengkapi dengan kegiatan studi pembuatan zat atraktan untuk menarik datangnya tikus ke perangkap bubu. Beberapa tahapan kegiatan yang telah dilakukan dalam memilih dan mengembangkan desain alat perangkap bubu tikus tersebut adalah melalui : Tahap Informasi, tahap kreatif, tahap analisis, tahap pengembangan dan tahap rekomendasi.

(5)

sistem rencana kerja, pelatihan dalam pemanfaatan tubuh tikus dan pembuatan rancang bangun perangkap bubu tikus, serta strategi pemasangan perangkap bubu tikus di lapangan.

(6)

Dalam rangka mencari pengendalian hama tikus yang ramah lingkungan, ekonomis dan dapat dilakukan secara terus menerus, maka perlu dicari suatu terobosan baru dalam cara mengendalikan hama tikus. Cara baru pengendalian hama tikus tersebut adalah dengan cara: ”Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis”

Penelitian ini diharapkan dapat mengemukakan informasi baru mengenai konsep cara pembuatan perangkap bubu yang dipadukan dengan atractan tikus serta cara pemanfaatan tikus agar bernilai ekonomi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pihak-pihak tertentu dalam pengembangan strategi baru dalam pengendalian hama tikus secara kontinu.

Biaya penelitian ini diperoleh dari Bantuan Biaya Penelitian Unpad Tahun Anggaran 2006 No. Kontrak : 389.E4/J06.14/LP/PL/2006 Tanggal 6 Mei 2006 Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi mereka yang ingin mengendalikan hama tikus di lapangan.

(7)

Bab Halaman

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ... i

SUMMARY ... ii

4.1. Identifikasi Jenis Tikus dan Studi Perilaku Tikus pada Areal Persawahan... 11

4.2. Pembuatan Zat Atractan Tikus... 11

4.3. Rancang Bangun Alat Perangkap Bubu Tikus ... 12

4.4. Pemanfaatan Kulit Tikus Sebagai Bahan yang Mempunyai Arti Ekomomi ... 13

4.5. Pemanfaatan Tubuh Tikus Sebagai Pakan Ikan Buatan dalam Bentuk Pellet ... 13

4.6. Pemanfaatan Tulang, Ekor dan Usus Tikus Sebagai Pupuk Organik ... 14

4.7. Penerapan Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis di Lapangan ... 14

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

5.1. Identifikasi Jenis Tikus dan Studi Perilaku Tikus ... 15

5.1.1. Identifikasi Jenis Tikus ... 15

(8)

terhadap Tikus ………. 19

5.2.2. Kondisi Suhu dan Kelembaban Udara Saat Penelitian ………. 23

5.2.3 Analisis Ekonomi ………. 23

5.2.4 Daya Tahan Umpan terhadap Jamur dan Bakteri dan Daya Tahan Aroma Umpan ……….. 24

5.2.5 Daya Tahan Umpan Terhadap Cuaca Panas dan Kondisi Hujan ... 25

5.3. Rancang Bangun Alat Perangkap Bubu Tikus ... 27

5.3.1. Perangkap Dengan Pintu Sistem Gravitasi A... 27

5.3.2. Perangkap Dengan Pintu Sistem Gravitasi B... 28

5.3.3. Perangkap Dengan Pintu Sistem Jungkat-Jungkit. ... 29

5.3.4. Perangkap Bubu kontrol dengan Pintu mirif bubu untuk Ikan ... 30

5.3.5 Jumlah Tikus yang Tertangkap dari setiap jenis Perangkap Bubu ... 31

5.4. Pemanfaatan Kulit Tikus sebagai Bahan yang Mempunyai Arti Ekonomi ………. 33

5.5.Pemanfaatan Tepung daging Tikus untuk pakan Ikan Hias ... 35

5.6. Pemanfaatan Ekor,Tulang dan Usus Tikus Sebagai Pupuk Bokashi Plus ... 39

5.7. Penerapan Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis di Lapangan ... 40

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1. Kesimpulan ... 41

6.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(9)

No. Judul Halaman

1 Urutan tikus yang paling sering dijumpai sampai yang paling jarang ditemukan

di sekitar persawahan dan pemukiman penduduk ……… 18

2 Rata-rata jumlah umpan yang dimakan

tikus sawah (g/hari) ……….. 20

3 Persentase umpan yang dimakan tikus dan daya

pikat umpan dari masing-masing perlakuan ……… 22

4 Biaya pembuatan umpan ... 23

5 Daya tahan umpan terhadap jamur ... 24

6 Daya tahan umpan terhadap cuaca panas

dan kondisi hujan ... 25

7 Jumlah tikus tertangkap dari setiap

(10)

No. Judul Halaman

1 Jamur Aspergillus sp. ... 25

2 Atractan Tikus Formulasi Keju ... 26

3 Bentuk perangkap Gravitasi A dilihat dari samping ... 27

4 Bentuk perangkap Gravitasi A dilihat dari atas ... 28

5 Bentuk perangkap Gravitasi B dilihat dari samping... 29

6 Bentuk perangkap Gravitasi B dilihat dari atas ... 29

7 Bentuk perangkap Gravitasi C dilihat dari samping ... 30

8 Bentuk perangkap Gravitasi C dilihat dari atas ... 30

9 Perangkap Bubu konvensional dilihat dari samping (sebagai kontrol)... 31

10 Perangkap Bubu Tipe B, yang direkomendasikan sebagai perangkap Bubu tikus ... 32

11 Sarung Hp terbuat dari kulit tikus ... 34

12 Hiasan dari Kulit Tikus untuk pembatas buku ... 34

13 Asesoris Gantungan Kunci dari Kulit Tikus ... 35

14 Beberapa formula pakan ikan hias dari tepung daging tikus... 37

15 Pengujian Preferensi Pelet Ikan dari tepung daging tikus ... 38

(11)

No Judul Halaman

1 Tata Letak Percobaan ...48

2 Skema Pembuatan Atractan ...49

3 Data Analisis Ekonomi Pembuatan Atractan ...50

4 Data Jumlah Umpan (g) yang Dimakan Tikus ...54

5 Data Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan Tikus Rumah dari Semua Perlakuan (g) ...55

6 Dokumentasi Pengujian Atractan ...55

(12)

SECARA KONTINU DAN EKONOMIS

LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006

Pelaksana :

Dr.H.Wahyu Daradjat Natawigena, Ir.MSi Ichsan Nurul Bari, SP

DIBIAYAI BANTUAN DANA UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2006 DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN

NOMOR : 389.E4/J06.14/LP/PL/2006 TANGGAL 16 MEI 2006

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PADJADJARAN

(13)

SECARA KONTINU DAN EKONOMIS

LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006

Pelaksana :

Dr.H.Wahyu Daradjat Natawigena, Ir.MSi Ichsan Nurul Bari, SP

DIBIAYAI BANTUAN DANA UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2006 DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN

NOMOR : 389.E4/J06.14/LP/PL/2006 TANGGAL 16 MEI 2006

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PADJADJARAN

(14)

1.1. Latar Belakang

Untuk menanggulangi masalah hama tikus di daerah endemik tikus, berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, tetapi sampai sekarang upaya

tersebut belum mampu mengendalikan tikus secara tuntas dan permanen. Hasil permanen, dalam arti penurunan tingkat populasi yang lama, hanya mungkin dapat dicapai dengan menerapkan suatu konsep cara pengendalian tikus yang terus menerus (kontinu).

Konsep tersebut dapat terwujud dengan jalan : pengembangan suatu tipe perangkap bubu tikus yang dipadukan dengan zat atraktan tikus serta pemanfaatan

tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomis, sehingga akan merangsang orang untuk menangkapi tikus secara terus menerus (catch a rat a day).

Penelitian dimulai dengan pemilihan kawasan daerah endemik tikus, kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tikus yang ada meliputi pendekatan

karakter morfologis dan non morfologis, juga meneliti kajian perilaku tikus yang ada di kawasan tersebut. Untuk selanjutnya dibuat rancang bangun perangkap tikus model baru yang dapat menangkap beberapa tikus sekaligus (pengembangan dari perangkap sistem bubu yang ada sekarang). Dalam pembuatan perangkap ini juga dilengkapi dengan kegiatan studi pembuatan zat atraktan untuk menarik datangnya tikus ke perangkap bubu. Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan

dalam memilih dan mengembangkan desain alat perangkap tikus tersebut adalah melalui : Tahap Informasi, tahap kreatif, tahap analisis, tahap pengembangan dan tahap rekomendasi.

Penelitian lanjutan diarahkan terhadap pemanfaatan tubuh tikus sebagai

bahan yang memiliki arti ekonomi tertentu. Kulitnya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan barang dari kulit dan tubuhnya dimanfaatkan sebagai sumber protein dalam pembuatan pakan binatang peliharaan atau pakan binatang ternak Tulang dan sisa-sisa usus lainnya dimanfaatkan sebagai pupuk yang bermanfaat melalui

(15)

proses degradasi alamiah dengan melibatkan teknologi biokimia, serta dikemas dalam wadah tertentu sehingga dapat dijual.

Sebagai akhir dari serangkaian penelitian ini adalah mengimplementasikan strategi penerapannya di lapangan meliputi : studi kelayakannya di lapangan, pencarian metode terbaik agar penerapan sistem ini dapat direalisasikan di lapangan, pembentukan organisasi dan sistem rencana kerja, pelatihan dalam

pemanfaatan tubuh tikus dan pembuatan rancang bangun perangkap tikus, strategi pemasangan perangkap di lapangan dan strategi pemasaran produk hasil olahan bahan dasar dari tubuh tikus.

Penelitian ini sangat penting dan mendesak untuk dilakukan karena penelitian ini merupakan salah satu konsep system engendalian yang sangat ramah lingkungan, selain akan menurunkan populasi hama tikus (menyelamatkan padi

dari kerusakan oleh tikus) juga membuka peluang wirausaha baru, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber alami, memperluas kesempatan kerja, menambah penghasilan masyarakat, menambah pendapatan daerah dan mengurangi import rodentisida yang sangat mahal harganya, yang pada akhirnya turut menyelamatkan sumber pangan secara

nasional.

Dalam rangka penerapan sistem pengendalian hama tikus secara kontinu dan ekonomis, ada beberapa permasalahan pokok yang perlu dipecahkan antara lain :

1. Tipe perangkap bubu yang bagaimanakah yang dapat menangkap tikus secara efektif dan dapat menangkap beberapa tikus sekaligus dalam jumlah banyak

pada areal persawahan.

2. Zat penarik (atraktan) yang bagaimanakah yang memiliki freferensi tingi terhadap tikus yang dapat dipadukan dengan tipe perangkap sistem bubu, sehingga alat perangkap tersebut lebih efektif.

3. Bagaimanakah cara memanfaatkan tubuh tikus agar supaya bernilai ekonomi tinggi

(16)

BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

2.1 Tujuan Penelitian

1. Kegiatan ini dapat menurunkan populasi hama tikus secara drastis sehingga

kerusakan padi akibat gangguan hama tikus dapat teratasi.

2. Kegiatan ini dapat membuka wirausaha baru, mengurangi pengangguran, menambah income perkapita, menambah pendapatan daerah dan mengurangi pemakaian rodentisida yang sangat mahal harganya.

2.2. Manfaat Penelitian

1. Rancang bangun perangkap tikus sistem bubu yang dipadukan dengan penggunaan zat atraktan tikus, merupakan alat perangkap tikus paling canggih yang dapat menangkap tikus secara kontinu dalam jumlah yang banyak. 2. Pemanfaatan tubuh tikus menjadi bahan yang memiliki arti ekonomis tertentu

merupakan terobosan baru untuk merangsang orang untuk menangkap tikus

secara terus menerus dalam waktu yang lama dan permanen.

(17)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Tikus merupakan hewan liar yang sering kali berasosiasi dengan kehidupan manusia. Asosiasi tikus dengan manusia sering kali bersifat parasitisme, dimana tikus mendapatkan keuntungan sedangkan manusia dirugikan.

Tikus telah lama dikenal sebagai hama penting di Indonesia, karena tingkat kerusakan yang diakibatkannya cukup tinggi dan hampir terjadi pada setiap musim.

Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat, luas serangan tikus di lahan persawahan pada musim tanam tahun 2001 mencapai 44.729 ha dengan intensitas serangan 22,8%.

Pada musim tanam 2004 kerusakan pertanaman di lahan petani rata-rata 15-30% per tahun, bahkan kadang-kadang terjadi kerusakan yang parah antara 50-100% (Anonim, 2004), sedangkan menurut Departemen Pertanian, kerugian akibat serangan Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT) dalam 10 tahun terakhir, selama periode Januari - Juli mencapai 130.349 ton Gabah Kering Giling (GKG)

atau setara 225,2 miliar rupiah, yang sebagian besar diakibatkan oleh serangan tikus. Luas serangan tikus secara nasional selama periode Januari - Juli 2005 mencapai 60.196 ha, diantaranya 1.371 ha terjadi dibeberapa wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Lampung (Anonim, 2005)

Tikus saat ini masih merupakan hama utama tanaman pangan di Indonesia

khususnya padi. Luas serangan tikus pada tanaman padi rata-rata setiap tahunnya mencapai 141.743 ha dengan intensitas serangan rata-rata 16,7 % (Direktorat Perlintan 1999). Bahkan di beberapa daerah terjadi kekurangan pangan karena sawahnya gagal total akibat serangan tikus (Lei, TJ.L. at al., 1998).

Tikus merupakan salah satu binatang hama yang sulit dikendalikan dibandingkan dengan hama lainnya. Daya adaptasi hama ini terhadap lingkungannya sangat baik, yaitu dapat memanfaatkan sumber makanan dari berbagai jenis (omnivora). Hewan inipun berperilaku cerdik. Segala aktivitas dilakukan malam hari dengan dukungan indera terlatih sehingga mobilitasnya

(18)

tinggi dan dalam habitat yang memadai cepat berkembang biak dengan daya reproduksi tinggi dan berumur panjang dibandingkan hama lainnya. Tikus betina sudah memasuki umur dewasa seksual pada usia 3 bulan dan dapat beranak 4 kali dalam satu tahun. Masa kehamilannya hanya sekitar 21 hari, denganrata-rata kelahiran anak sebanyak 6 ekor ( 2 s/d 18 ekor). Sehingga secara teoretis, sepasang tikus dewasa seksual apabila dapat melahirkan anak rata-rata 6

ekor/kelahiran (3 jantan dan 3 betina) maka pada bulan ke 13 akan menghasilkan sejumlah 2046 tikus (Natawigena H., 1993). Oleh sebab itu dalam cara pengendaliannya harus mengacu pada konsep meminimalkan populasi awal tikus.

Beberapa cara pengendalian yang dapat diterapkan dalam mengendalikan hama tikus adalah : (a). Penanaman/mengusahakan agar panen serentak dalam areal yang seluas-luasnya yang dimaksudkan untuk menciptakan periode bera/fase

vegetatif yang seragam sehingga tikus tidak mendapatkan kesempatan berkembang biak secara sempurna, karena terbatasnya sumber makanan dan kualitas makanan. Disamping itu, karena pertumbuhan tanaman yang seragam, maka pola pertumbuhan populasi tikus juga relatif seragam dan mudah dideteksi. (b). Gropyokan atau perburuan tikus dilakukan dengan cara pemukulan terhadap

individu-individu tikus secara langsung, membongkar lubang aktif dengan bantuan anjing maupun dipukul langsung, berburu dengan alat jala kremat dan cara-cara setempat lainnya. Kadang-kadang gropyokan dilaksanakan juga pada saat fase persemaian dengan cara pemukulan tikus pada malam hari dengan alat penerang patromaks. (c). Sanitasi lingkungan dengan membuang semak-semak atau rerumputan, akan mengurangi kesempatan hidup dan berkembang biak tikus.

(d). Pemanfaatan musuh alami tikus yang ada di alam, seperti kucing, anjing, burung hantu, ular dan lain-lain. Pemanfaatan musuh alami burung hantu cukup berhasil dalam menekan populasi hama tikus pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Namun penggunaan predator tersebut pada tanaman pangan

(19)

Dari sekian banyak alternatif cara pengendalian tikus yang dapat dilakukan, ternyata Pengendalian Hama Tikus dengan Tanaman Perangkap, Pagar Plastik, dan Bubu Perangkap, merupakan cara pengendalian yang paling murah dan paling ramah lingkungan. Pengendalian tikus dengan tanaman perangkap yaitu melakukan penanaman padi lebih awal atau menanam varietas yang berumur pendek dan paling disukai sehingga tanaman tersebut mencapai stadium generatif

pada saat tanaman disekitarnya stadium vegetatif. Populasi tikus akan berkunjung dan terakumulasi pada tanaman perangkap tersebut sehingga pengendaliannya dapat difokuskan di lokasi tersebut. Penggunaan tanaman perangkap atau persemaian perangkap (tikus sangat tertarik pada persemaian yang baru disebar) juga dapat dikombinasikan dengan pemagaran plastik dan pemasangan bubu perangkap. Penggunaan bubu perangkap tikus dengan kombinasi pagar plastik

pada saat persemaian akan lebih efisien apabila dilaksanakan pada persemaian berkelompok. Pada saat lahan masih bera/belum ada pertanaman selain persemaian (sumber makanan masih terbatas). Maka tikus akan terpancing untuk mendatangi areal persemaian dan tikus terperangkap dalam bubu.

Perangkap bubu tikus merupakan alat bantu untuk memudahkan dalam

usaha pemerangkapan tikus pada areal persawahan yang sangat luas, juga sebagai penentu keberhasilan dalam meminimumkan populasi awal tikus. Teknologi perangkap bubu yang beredar dan dikenal saat ini masih sangat sederhana yaitu menggunakan sistem seperti bubu untuk ikan. Penggunaan perangkap bubu khususnya pada persemaian dapat menekan atau menghindari peningkatanm populasi/kerusakan oleh tikus pada fase pertanaman. Dalam uji pendahuluan yang

pernah dilakukan, penggunaan perangkap bubu tikus dan tanaman perangkap dinilai cukup efektif dan tampaknya berpotensi besar dalam penekanan populasi tikus namun perlu dikaji kembali aplikasinya dalam skala luas, efektifitas maupun efisiensinya.

(20)

tikus yang benar seyogyanya dilakukan secara terus menerus, dan tidak hanya pada saat-saat terjadi eksplosi saja (Liem J.S., 1991).

Agar pengendalian dapat dilakukan secara terus menerus maka perlu dicari suatu terobosan dalam cara mengendalikan tikus. Salah satu konsep cara pengendalian tikus yang mempunyai prospek baik adalah dengan jalan mengkombinasikan alat perangkap bubu tikus dan menaikkan nilai ekonomi tikus.

Apabila tikus bernilai ekomomi maka diharapkan banyak orang akan berebut mencari dan menangkap tikus. KUD Tani Mukti di daerah Cirebon telah merintis pemanfaatan kulit tikus (pengembangan secara kecil-kecilan) : Kulit tikus telah dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan jaket kulit dan tas (Kantor Departemen Perdagangan Cirebon, 1989). Meskipun kecil, manfat/sumbangsih dari usaha ini sangatlah berarti bagi semua pihak khususnya para petani. Karena nilai guna

(utility) dari pemanfaatan tikus yang semula merupakan musuh petani pada umumnya, sekarang dijadikan ajang penghasilan bagi petani itu sendiri, yang pada akhirnya berkaitan dengan pengupayaan swasembada pangan yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Disamping itu kulit tikus dapat dimanfaatkan sebagai usaha terobosan baru untuk komoditas ekspor dari kulit hewan, dalam

rangka penganeka ragaman penyediaan komoditas kulit. Mengingat penyediaan kulit untuk kebutuhan dalam dan luar negeri masih kurang karena penyediaannya masih terbatas pada kulit sapi, kambing, domba dan kerbau yang untuk mendapatkannya memerlukn waktu yang cukup lama karena tergantung jumlah ternak yang dipotong.

Beberapa tipe perangkap yang banyak beredar di pasaran yaitu berupa

perangkap hidup (live trap), perangkap mati (snap trap) dan perangkap berperekat (sticky-board trap) (Priyambodo, 2003). Perangkap yang banyak digunakan oleh petani yaitu tipe perangkap hidup yang sering disebut dengan perangkap bubu. Perangkap bubu biasanya terbuat dari bahan ram kawat dengan pintu berbentuk

(21)

pemerangkapan berikutnya tikus yang tertangkap lebih sedikit dan bahkan tidak ada yang tertangkap.

Dalam usaha mengembangkan potensi perangkap tikus, kendala yang dihadapi yaitu masih sedikitnya sumber daya manusia yang mengeksplorasi potensi perangkap tikus, sehingga perangkap yang saat ini digunakan masih bersifat tradisional dengan daya tangkap yang kurang baik dan dapat

menimbulkan jera terhadap tikus. Di samping itu nilai estetika perangkap yang masih rendah membuat lingkungan terlihat kumuh dan kotor apabila digunakan di rumah ataupun di gudang penyimpanan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka perlu dilakukan uji coba berbagai modifikasi tipe perangkap agar dihasilkan tipe perangkap yang memiliki daya tangkap tinggi, tidak menimbulkan jera terhadap tikus serta tidak menguranagi nilai estetika perangkap.

Dalam usaha mengendaliakan hama tikus, konsep yang menjadi acuan adalah konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan kordinasi pengelolaan. Teknik pengendalian yang merupakan

bagian dari PHT yaitu teknik pengendalian secara mekanik. Pengendalian secara mekanik bertujuan untuk mematikan atau memindahkan hama secara langsung baik dengan tangan atau dengan bantuan alat dan bahan lain. Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian secara mekanik perlu dipelajari mengenai fenologi hama, perilaku dan penyebaran hama. Dengan demikian dapat ditetapkan waktu pengendalian secara mekanik yang tepat dan fase hidup yang menjadi sasaran

(Untung, 1993).

Teknik pengendalian secara mekanik untuk tikus gudang dapat dilakukan dengan pemerangkapan yaitu dengan menggunakan perangkap hidup. Menurut Priyambodo (2003), di dalam melakukan pemerangkapan tikus, yang perlu

(22)

dengan menyesuaikan ukuran tubuh tikus yang paling besar. Dari beberapa jenis tikus yang ditemui tersebut, tikus yang memiliki ukuran tubuh paling besar yaitu tikus dari jenis B. indica dengan panjang tubuh rata-rata 360 - 510 mm dan bobot tubuh 200 - 800 mm. Sedangkan untuk menentukan cara kerja pintu perangkap yang akan digunakan, dapat dilihat dari perilaku tikus yang memiliki sifat neo fobia (takut pada hal-hal yang baru). Dengan sifat neo fobia yang dimilikinya,

membuat tikus lebih berhati-hati dalam melakukan segala aktivitasnya sehingga tidak menyukai situasi mencurigakan yang dapat mengancam dirinya. Untuk mensiasati agar sifat neo fobia dan situasi yang mencurigakan tidak terjadi pada saat pemerangkapan, maka tipe pintu yang digunakan yaitu pintu dengan sistem gravitasi dan sistem jungkat-jungkit.

Pintu dengan sistem gravitasi merupakan pintu masuk pada perangkap

yang dipasang secara horizontal atau vertikal sehingga berada pada titik keseimbangan. Cara kerja pintu ini yaitu pintu akan membuka ketika tikus mendorongnya dan akan menutup setelah tikus melewatinya, sehingga pintu kembali pada titik keseimbangannya. Sedangkan pintu dengan sistem jungkat-jungkit merupakan pintu masuk perangkap yang dipasang secara horizontal

dibagian atas perangkap dan berada pada keadaan seimbang. Cara kerja pintu ini yaitu dengan memanfaatkan berat badan tikus pada saat berada pada pintu masuk, sehingga pintu akan mendapat tekanan dan akan terbuka. Selanjutnya pintu akan menutup kembali ketika tikus tidak membebani pintu tersebut.

Selain tipe pintu, faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan pemerangkapan adalah jumlah pintu perangkap dan penempatan perangkap.

Semakin banyak jumlah pintu yang terdapat pada perangkap, maka akan semakin besar kesempatan perangkap untuk dapat dimasuki oleh tikus. Sedangkan untuk penempatan perangkap, sedapat mungkin diletakan di jalur-jalur yang sering dilalui oleh tikus, karena pada umumnya pergerakan tikus selalu mengikuti jejak

(23)

sekelompoknya serta mendeteksi tikus betina yang sedang estrus. Selain itu penciuman tikus dapat digunakan untuk mencari menemukan makanannya.

Untuk meningkatkan keberhasilan pada saat melakukan pemerangkapan, penggunaan atraktan dalam bentuk umpan yang disimpan dalam perangkap merupakan langkah sederhana agar tikus mau masuk ke dalam perangkap. Secara umum tikus merupakan binatang yang tidak tahan terhadap lapar, sehingga akan

mencari makanan ke berbagai tempat yang terdapat makanannya baik dengan cara sendiri-sendiri maupun berkelompok (Anonim, 1995). Menurut Rochman dkk (1999), semua jenis tikus pada umumnya dapat memakan berbagai jenis pakan, dari yang bergizi tinggi sampai yang bergizi rendah untuk bertahan hidup. Tetapi jika ketersediaan makanan disekitarnya berlimpah, maka tikus akan memilih jenis makanan yang paling baik dari yang lainnya. Dengan demikian atraktan yang

(24)

BAB IV.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada skala laboratorium dan skala lapangan. Beberapa Laboratorium yang terlibat dalam penelitian ini adalah : Lab. Vertebrata Hama Jurusam Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan, Fak. Pertanian

UNPAD; Lab. Alat mesin dan Tenaga Pertanian, Fakultas Teknik Industri dan Alat Mesin Pertanian UNPAD. Lab. Produksi Ternak Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan UNPAD. Lab. Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan UNPAD. Serta pada lahan persawahan milik petani di Sumedang., Tasik dan Banjaran. Kegiatan penelitian meliputi limat kajian pokok yaitu : Identifikasi jenis tikus dan studi perilakunya, Pembuatan atractan bagi tikus, Pembuatan rancang bangun

perangkap bubu tikus, Pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomi dan penerapannya di lapangan.

4.1. Identifikasi jenis tikus dan studi perilaku tikus pada areal persawahan

Penelitian diawali dengan penentuan daerah endemik tikus pada areal

persawahan di beberapa lokasi di wilayah Sumedang, Tasik dan Banjaran.. Pada lokasi terpilih diadakan penangkapan tikus dengan menggunakan perangkap (life trap) untuk mengetahui jenis tikus yang dominan pada areal persawahan tersebut. Identifikasi jenis tikus dilakukan secara sederhana dengan menggunakan metode karakter morfologi dan non morfologi. Baik spesies tikus yang dominan maupun yang tidak, dilakukan studi perilaku tikus terutama : daya loncat horizontal dan

vertikal, kelincahan, daya cengkram, daya ingat, kemampuan memanjat pada bidang datar dengan kemiringan tertentu, dll. Identifikasi jenis tikus dan kajian perilaku tikus dilakukan sebagai penelitian penunjang untuk keberhasilan alat perangkap bubu model baru yang telah dibuat.

4.2. Pembuatan Zat Atractan Tikus

Zat atractan tikus adalah suatu zat yang mempunyai aroma tertentu yang sangat disukai oleh tikus, sehingga mengundang datangnya tikus ke tempat tertentu. Untuk memperoleh zat atractan tersebut, pertama-tama dilakukan analisa

(25)

lambung tikus dari sejumlah tikus secara random untuk menentukan jenis makanan yang disukai oleh tikus. Jenis makanan yang teridentifikasi dikelompok-kelompokkan antara jenis makanan yang dapat menimbulkan aroma dan tidak. Jenis makanan yang menimbulkan aroma tertentu diuji preferensinya terhadap tikus di laporatorium dengan menggunakan rancangan acak kelompok dan diuji secara statistik. Jenis makanan yang menimbulkan aroma tertentu sebagai zat

atractan tikus dapat digunakan sebagai umpan untuk menarik tikus datang ke perangkap bubu tikus.

4.3. Rancang bangun alat perangkap bubu tikus

Pada penelitian ini telah dirancang suatu model alat perangkap bubu tikus yang lebih canggih dari yang pernah ada. Perangkap bubu ini memanfaatkan

sistem grafitasi bumi dengan per harus automatis tanpa penggunaan listrik. Penelitian pendahuluan menggunakan metode analisis survey deskriptif dengan tujuan untuk mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan alat perangkap tikus dan kemungkinan model alat yang dapat dikembangkan. Dalam kegiatan ini juga mencangkup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan alat

perangkap hewan vertebrata yang sudah pernah dikembangkan. Pada gilirannya desain yang ada tersebut turut pula dianalisis tingkat keberhasilannya dan tingkat efisiensi biaya penggunaannya. Analisis didasarkan atas : (a). Faktor penentu pemilihan alternatif alat yang diperlukan pemakai secara umum. (b). Peningkatan fungsi kegunaan alat dan struktur desain perangkap tikus yang dapat dikembangkan dan memiliki nilai fungsi yang tinggi dengan biaya pembuatan

yang serendah mungkin.

Tahap selanjutnya adalah membuat dan menganalisis alat perangkap tikus dengan skala pilot plan yang efektif, praktis dan ergonomis dengan biaya pembuatan yang seefisien mungkin. Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan

dalam memilih dan mengembangkan desain model alat perangkap bubu tikus adalah sebagai berikut :

(26)

Tahap kreatif, yaitu tahap pengembangan alternatif desain yang dapat dibuat dan dikembangkan.

Tahap Analisis, yaitu mengembangkan ide-ide kreatif untuk melihat kelebihan dan kekurangan disain yang ada yang dibuat. Dengan demikian pada tahapan ini dapat dibangkitkan serangkaian alternatif disain yang mungkin diwujudkan.

Tahap Pengembangan, yaitu memilih dan mengembangkan alternatif disain yang paling baik ditinjau dari beberapa faktor, seperti : teknis, ergonomi, lingkungan, sosial dan ekonomi serta berbagai faktor lainnya.

Tahap Presentasi dan Rekomendasi, yaitu mengimplementasikan disain yang dihasilkan serta merekomendasikan penggunaannya dengan mengacu pada standarisasi pemakaian yang ada.

4.4. Pemanfaatan kulit tikus sebagai bahan yang mempunyai arti ekomomi

Kulit tikus dimanfaatkan menjadi bahan yang bernilai ekonomi. Bagian-bagian yang diambil hanya kulit Bagian-bagian badannya saja (kepala ekor, dan Bagian-bagian kaki dipisahkan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ikan, pakan hewan dan

pupuk). Setelah dipotong lalu dikuliti, dengan membelah dari tengah di bagian dadanya (perut). Potongan-potongan kulit yang masih berbulu kemudian direntangkan supaya lurus ditempat yang teduh Selanjutnya dapat diberi warna sesuai dengan rencana produksi. Potongan-potongan kulit tikus tadi kemudian dijahit satu dengan yang lainnya Untuk selanjutnya dapat dibuat barang produk yang dikehendaki.

4.5. Pemanfaatan tubuh tikus sebagai pakan ikan buatan dalam bentuk pellet

Dalam proses pembuatan pellet ikan, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : Tubuh tikus sebagai sumber protein dihancurkan dengan alat

penggiling daging dan diproses melalui proses dehidrasi sehingga berbentuk tepung. Tepung tikus dicampur dengan dedak halus, tapioka/cmc serta beberapa mineral dan vitamin. Pellet dibuat dalam beberapa jenis formulasi dengan

perbandingan persentase yang berbeda, dengan batasan : Protein 30%, Serat

(27)

laboratorium. Pengamatan dilihat dari pengaruh perbedaan imbangan prosentase jenis formulasi pellet terhadap pertumbuhan dan kesehatan ikan mas kecil. Ikan mas yang digunakan pada penelitian ini pada stadia 'fingerling'. Formulasi pellet ikan yang terbaik kemudian disempurnakan pembuatannya dengan memperhatikan beberapa aspek tertentu seperti : Kehalusan bahan bakunya, kekerasannya, daya tahannya dalam air, daya mengapungnya, kandungan zat gizi,

dan preferensinya terhadap hewan pengonsumsi, cara pengemasan, cara pemasaran, sehingga mempunyai prospek untuk dijual.

4.6. Pemanfaatan tulang, ekor dan usus tikus sebagai pupuk organik

Tulang dan sisa-sisa lainnya dari tikus dihancurkan dengan alat penggiling, kemudian dicampur dengan bahan organik dan limbah serbuk gergaji

untuk selanjutnya diberi beberapa perlakuan bakteri dan mikroba yang efektif dalam mempercepat proses degradasi alamiah. Perlakuan terdiri dari, jenis bakteri, mikroba yang digunakan serta pengaruh sinergisme dan antagonisme. Setelah melaui proses degradasi secara sempurna, bahan tersebut di keringkan untuk selanjutnya diuji dalam pemanfaatannya sebagai pupuk. Tepung kering

berupa pupuk alamiah diuji efektifitasnya sebagai penyubur tanaman. Formulasi pupuk terbaik kemudian dikemas dalam wadah tertentu sehingga dapat dijual.

4.7. Penerapan sistem pengendalian hama tikus secara kontinu dan ekonomis di lapangan

Penerapan sistem pengendalian hama tikus secara kontinu dan ekonomis di lapangan melalui rancang bangun perangkap bubu tikus (plus atractan) dan pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang mempunyai arti ekonomi tertentu, perlu diuji keberhasilannya di lapangan. Penerapan sistem pengendalian hama

(28)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Identifikasi Jenis Tikus dan Studi Perilaku Tikus

5.1.1. Identifikasi Jenis Tikus

Dari daerah endemik tikus di wilayah Sumedang, Tasik dan Banjaran dapat

diketahui jenis tikus dominan yang merupakan hama di wilayah tersebut.

Identifikasi dapat dilakukan dengan pendekatan karakter morfologi dan non

morfologi. Pendekatan karakter morfologi dengan jalan mengukur karakter fisik

dari tikus mencangkup : Panjang tubuh dan kepala;Panjang telinga ;Panjang

telapak kaki belakang ;Bobot badan (gram) ;Perbandingan ekor dan kepala

;Lebar gigi pengerat ;Rumus puting susu dan Tekstur rambutnya sedang karakter

nonmorfologi dengan mengetahui habitat tempat tikus tersebut ditemukan.

Identifikasi tikus dominan berdasarkan urutannya adalah sebagai berikut :

A. Hasil identifikasi pada tikus dominan yang mewakili didapat data sebagai

berikut :

1. Habitat tempat tikus ditemukan : persawahan

2. Panjang kepala + badan (mm) : 389

3. Panjang telinga (mm) : 13

4. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 29

5. Bobot tubuh (gram) : 155

6. Lebar gigi pengerat (mm) : 1

7. Jumlah puting susu (pasang) : -

8. Perbandingan ekor/tubuh : 168 : 121

9. Tekstur rambut : Agak halu

10. Warna rambut : Coklat kelabu

Tikus yang teridentifikasi tersebut diduga adalah Rattus argentiventer Rob. & Kloss. (Tikus Sawah)

(29)

B. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Habitat tempat tikus ditemukan : persawahan dekat perumahan

2. Panjang kepala + badan (mm) : 522

3. Panjang telinga (mm) : 26

4. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 48

5. Bobot tubuh (gram) : -

6. Lebar gigi pengerat (mm) : 3

7. Jumlah puting susu (pasang) : -

8. Perbandingan ekor/tubuh : 239 : 283

9. Tekstur rambut : Lurus dan kasar

10.Warna rambut : coklat keabu-abuan

Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Bandicota indica (Tikus wirok)

C. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Tekstur rambut : Lembut

2. Warna rambut : Coklat kelabu

3. Habitat : persawahan

4. Panjang kepala + badan (mm) : 55-85

5. Panjang telinga (mm) : 9-12

6. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 12-18

7. Bobot tubuh (gram) : 20

8. Lebar gigi pengerat (mm) : < 1,5

9. Jumlah puting susu (pasang) : 3 + 2

10. Perbandingan ekor/tubuh : <

Tikus yang teridentifikasi tersebut diduga adalah Mus caroli Kloss (Mencit Sawah)

D. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Habitat tempat tikus ditemukan : persawahan dekat rumah penduduk

2. Panjang tubuh dan kepala : 205 mm

(30)

4. Panjang telapak kaki belakang : 40 mm

Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Rattus-rattus diardii

Linn (Tikus Rumah)

E. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Tekstur rambut : Halus

2. Warna rambut : Coklat

3. Habitat : rumah dekat sawah

4. Panjang kepala + badan (mm) : 195

5. Panjang telinga (mm) : 1

6. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 17

7. Bobot tubuh (gram) : -

8. Lebar gigi pengerat (mm) : 1

9. Jumlah puting susu (pasang) : -

10. Perbandingan ekor/tubuh : 86 : 109

Tikus yang teridentifikasi tersebut diduga adalah Mus musculus Waterhouse (Mencit Rumah)

F. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Tekstur rambut : Panjang dan Halus

2. Warna rambut : Coklat

3. Habitat : Sawah

4. Panjang kepala + badan (mm) : 224

5. Panjang telinga (mm) : 14

(31)

7. Bobot tubuh (gram) : 47

G. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Tekstur rambut : Panjang dan halus

2. Warna rambut : Coklat kelabu

3. Habitat : kebun bambu dekat pemukiman

4. Panjang kepala + badan (mm) : 294

5. Panjang telinga (mm) : 21

6. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 36

7. Bobot tubuh (gram) : 162

8. Lebar gigi pengerat (mm) : 2.8

9. Jumlah puting susu (pasang) : -

10. Perbandingan ekor/tubuh : 186 :206

Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Rattus tiomanicus Miller (Tikus Belukar)

Berdasarkan hasil identifikasi tikus tersebut urutan tikus dari yang paling

dominan sampai yang paling jarang ditemukan di sekitar persawahan dan

pemukiman adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Urutan Tikus yang Paling Sering Dijumpai Sampai yang Paling Jarana Ditemukan Disekitar Persawahan dan Pemukiman Penduduk

Urutan Jenis Tikus

1 Rattus argentiventer Rob. & Kloss. (Tikus Sawah) 2 Bandicota indica (Tikus wirok)

3 Mus caroli Kloss (Mencit Sawah)

(32)

4.1.2. Studi Perilaku Tikus

Baik spesies tikus yang dominan maupun yang tidak, dilakukan studi

perilaku tikus. Hasil uji perilaku tikus terhadap kemampuan fisik terungkap

bahwa tikus sangat terampil mendaki atau memanjati dinding

berpermukaan kasar yang berdiri tegak. berjalan pada seutas kawat. Tikus

juga dapat meloncat vertikal setinggi 60-100 cm dan untuk mencit 25 cm.

Tikus dapat meloncat sejauh 120-240 cm. Tikus merupakan binatang yang

dapat berenang dengan baik dan dapat menembus pipa paralon yang berair.

Tikus mempunyai kekerasan enamel pada ujung gigi seri sebelah luar pada

5,5 (kekerasan geologi). Bahan-bahan yang mempunyai skala kekerasan

geologi lebih dari 5,5 tidak dapat dirusak oleh tikus. Disamping kemampuan

fisik yang baik panca indera tikus juga memiliki kemampuan yang baik pula,

Indera sentuhnya sangat baik. Tikus memiliki rambut syaraf (Vibrissae)

berupa rambut peraba yang panjang dan tumbuh di depan matanya, kumis,

alis dan rambut panjang di antara bulu-bulunya.

Indera penglihatannya kurang baik. Tikus buta warna terhadap warna

merah. Indera penciumannya tajam. Hingga tikus dapat membedakan

antara lawan dengan kawan.. bagi tikus yang birahi dapat dengan mudah

mencari tikus pasangannya. Indera pendengarannya tajam. Dapat

menangkap getaran suara ultrasonik, tikus (10-100kHz), mencit (10-90 kHz).

Respon yang paling baik pada tikus (40 kHz), mencit (20 kHz). Indera

perasanya sangat baik. Mampu membedakan rasa pahit, rasa tidak enakdan

rasa manis.. Tikus memiliki sifat neofobi : tikus takut pada segala yang baru

baginya (asing). Kejeraan ini biasanya berlangsung kura-kira 3 hari.Tikus

memiliki sifat thigmotaxis : yaitu orientasi gerakan yang diakibatkan oleh

rangsangan indera peraba. Tikus biasanya memiliki jalur-jalur tertantu

untuk gerak-geriknya (run way). Tikus sebagai hewan omnivora (pemakan

segala). Makanan utamanya adalah zat pati (karbohidrat). Kebutuhan pakan

tikus (10-15% dari BB tikus/hari) dan untuk mencit (20% dari BB

mencit/hari). Kebutuhan minum tikus (15-30 cc air/hari) dan untuk mencit 3

(33)

adalah 30-200 m. Pada saat kurang pakan akan terjadi migrasi

(perpindahan) yang dapat mencapai 700 m atau lebih.

5.2. Pembuatan Zat Attractant Tikus

5.2.1. Pengujian Daya Pikat Beberapa Formulasi Umpan terhadap Tikus

Pengamatan terhadap daya pikat beberapa formulasi umpan dilakukan

dengan cara menimbang umpan yang tersisa berikut dengan serpihan-serpihan

umpan sisa yang dikumpulkan dalam wadah plastik yang kemudian ditimbang dan

diganti setiap 24 jam sekali. Penelitian ini menggunakan metode percobaan

dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari 8 perlakuan dan 4 ulangan.

Masing-masing formulasi perlakuan tersebut adalah 51% beras + 0,5%

Menurut Emiati (1990), tikus sangat tanggap terhadap setiap perubahan

lingkungan, sumber makanan atau benda-benda yang baru dijumpainya. Jika ada

perubahan maka tikus akan langsung curiga sambil mengamati perubahan tersebut

selama beberapa waktu. Hasil pengamatan hari pertama diketahui bahwa

umumnya tikus sawah tidak langsung mengonsumsi umpan yang diberikan.

Sebelum dikonsumsi, umpan tersebut dikenali terlebih dahulu dengan cara umpan

tersebut didekati, dikelilingi dan dicicipi terlebih dahulu sebelum umpan tersebut

dirasa sesuai untuk dikonsumsi. Menurut Du (2002) tikus sawah mempunyai sifat

hati-hati terhadap sesuatu yang baru ditemukannya (neofobi), walaupun jenis umpan yang diberikan dirasa cukup enak untuk dikonsumsi namun karena kondisi

lingkungan dalam kurungan berbeda dengan seperti biasanya maka tikus sawah

cenderung memiliki sifat waspada dan curiga dengan benda asing yang ada

dihadapannya. Selama perlakuan, aktivitas makan tikus terjadi menjelang malam

(34)

hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal), sehingga mencari makanpun dilakukan menjelang malam hari sampai menjelang subuh (Rochman, 1992).

Daya pikat salah satu jenis formulasi umpan sudah dapat diketahui pada

hari ke dua sampai hari ke delapan setelah umpan diberikan, umpan dengan

formulasi telur burung puyuh merupakan umpan yang paling disukai tikus sawah

dengan rata-rata umpan yang dimakan mencapai 2,4486 g per hari.

Pengujian daya pikat beberapa formulasi umpan terhadap tikus sawah

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan Tikus Sawah (g/hari)

Perlakuan Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan (g/hari)

Formulasi keju 1,7359 ab

Formulasi cokelat 1,2546 abc

Formulasi ikan asin 0,8191 bcd

Formulasi tepung kulit udang 0,3753 d

Formulasi kelapa bakar 0,6606 cd

Formulasi telur burung puyuh 2,4486 a

Umpan pembanding 0,3793 d

Umpan kontrol 0,5182 cd

Keterangan :

Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut Uji

Jarak Berganda Duncan taraf 5%.

Umpan dengan formulasi telur burung puyuh merupakan umpan yang

paling banyak dimakan oleh tikus sawah dengan rata-rata jumlah umpan yang di

makan sebanyak 2.4486 g per hari. Hal ini diduga karena umpan dengan formulasi

telur burung puyuh merupakan bahan penyedap yang paling tepat dicampurkan

dengan komposisi bahan-bahan pembuatan umpan. Menurut Suparman (1993)

tikus mempunyai indera perasa yang mampu membedakan makanan yang enak

dan tidak enak, pahit dan tidak pahit, mengandung racun dan tidak mengandung

racun, oleh sebab itu umpan dengan formulasi telur burung puyuh adalah umpan

yang cenderung dipilih tikus karena umpan ini diduga memiliki rasa yang lebih

enak jika dibandingkan dengan formulasi umpan lainnya.

Telur burung puyuh mengandung protein, lemak, vitamin, mineral (besi,

(35)

puyuh memiliki kandungan gizi paling lengkap jika dibandingkan dengan

kandungan gizi yang terdapat pada bahan penyedap lainnya. Hal ini juga yang

menjadi alasan mengapa tikus lebih memilih umpan dengan formulasi telur

burung puyuh, karena tikus memerlukan kandungan gizi yang lengkap dan

seimbang untuk kelangsungan hidupnya.

Lain halnya dengan umpan formulasi tepung kulit udang, umpan ini lebih

sedikit dimakan oleh tikus sawah jika dibandingkan dengan umpan formulasi telur

burung puyuh, keju, cokelat, ikan asin, dan kelapa bakar. Tepung kulit udang

merupakan limbah yang berasal dari industri pengolahan udang dan biasanya

digunakan untuk pakan ternak (Anonim, 2005c),. Karena tepung kulit udang

merupakan limbah, maka kandungan gizi yang terdapat didalamnya lebih sedikit

dibandingkan dengan kandungan gizi yang terdapat pada telur burung, puyuh,

keju, cokelat, ikan asin, dan kelapa bakar.

Hasil perhitungan persentase umpan yang dimakan dan nilai daya pikat

masing-masing umpan yang dimakan tikus rumah, menunjukkan bahwa umpan

dengan formulasi telur burung puyuh memiliki nilai persentase dan nilai daya

pikat yang paling tinggi dibandingkan dengan nilai persentase dan nilai daya pikat

formulasi umpan lainnya. Nilai persentase umpan yang dimakan tikus dari semua

formulasi dari yang paling besar hingga yang paling kecil secara berturut-turut

adalah formulasi telur burung puyuh, formulasi keju, formulasi cokelat, formulasi

ikan asin, formulasi kelapa bakar, umpan kontrol, formulasi tepung kulit udang,

dan umpan pembanding (Tabel 3).

Sedangkan nilai daya pikat umpan dari semua perlakuan (Tabel 3), umpan

dengan formulasi telur burung puyuh memiliki nilai daya pikat yang paling tinggi

yakni 5 kali lipat dibanding kontrol. Perlakuan umpan yang memiliki nilai daya

pikat lebih besar dari 1 merupakan umpan yang paling disukai tikus, dengan

demikian umpan dengan formulasi telur burung puyuh, keju, cokelat, ikan asin,

(36)

Tabel 3. Persentase Umpan yang Dimakan Tikus dan Daya Pikat Umpan dari

Dari data hasil pengamatan diketahui bahwa semua perlakuan umpan yang

diberikan setiap harinya dimakan oleh tikus dengan jumlah yang berbeda-beda

Hal ini terjadi karena tikus adalah binatang yang selalu curiga terhadap segala

sesuatu yang baru, tetapi juga memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar,

karenanya tikus akan mencoba atau mencicipi umpan yang diganti setiap hari

walaupun umpan itu sudah dikenalnya. Tikus memiliki indera pengecap yang

sangat sensitif dan dapat mengetahui zat-zat yang terkandung dalam suatu bahan

makanan melalui indera pengecapnya itu. Oleh karena itu untuk menentukan

zat-zat yang dibutuhkannya, tikus mencicipi makanan yang tersedia terlebih dahulu.

Tikus dapat menentukan jumlah zat-zat yang diperlukan untuk kelangsungan

hidupnya. Zat-zat pada setiap jenis umpan yang tersedia berbeda-beda sehingga

untuk memenuhi kebutuhannya, tikus setiap hari mengonsumsi semua jenis

(37)

5.2.2. Kondisi Suhu dan Kelembaban Udara Saat Penelitian

Berdasarkan pencatatan suhu dan kelembaban udara dengan menggunakan

termohigrometer selama percobaan berlangsung, diketahui bahwa suhu

maksimum adalah 30,5°C, suhu minimum adalah 27°C dan suhu rata-rata 28°C.

Kelembaban maksimum adalah 76%, kelembaban minimum adalah 60% dan

kelembaban rata-rata 73%. Kisaran suhu dan kelembaban tersebut termasuk dalam

kisaran suhu dan kelembaban yang normal bagi kehidupan tikus (Satriadi, 1994).

5.2.3. Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi pembuatan umpan dihitung untuk mengetahui berapa

biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan umpan dari masing-masing formulasi

umpan. Berdasarkan penghitungan diketahui bahwa biaya yang paling banyak

dikeluarkan adalah untuk pembuatan umpan dengan bahan penyedap keju, dan

biaya yang paling sedikit dikeluarkan adalah untuk pembuatan umpan kontrol.

Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan umpan dari mulai yang paling tinggi

hingga yang paling rendah secara berturut-turut adalah umpan dengan formulasi

keju, cokelat, telur burung puyuh, ikan asin, tepung kulit udang, kelapa bakar, dan

umpan kontrol (Tabel 4).

Tabel 4 Biaya Pembuatan Umpan

Perlakuan Biaya Pembuatan Umpan Sebanyak 1 Kg (Rp)

Formulasi keju 29.986

Formulasi cokelat 29.062

Formulasi ikan asin 14.856

Formulasi tepung kulit udang 14.031

Formulasi kelapa bakar 13.205

Formulasi telur burung puyuh 15.021

(38)

5.2.4. Daya Tahan Umpan terhadap Jamur dan Bakteri dan Daya Tahan Aroma Umpan

Daya tahan umpan terhadap jamur di udara terbuka dan tertutup plastik di

dalam kemasan disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Daya Tahan Umpan Terhadap Jamur

Perlakuan Udara Terbuka

Formulasi tepung kulit udang 34 93

Formulasi kelapa bakar 34 93

Formulasi telur burung puyuh 12 65

Umpan pembanding 34 93

Umpan kontrol 34 93

Pada hari ke-12 setelah umpan dikeluarkan dari kemasan, umpan dengan

bahan penyedap telur burung puyuh mulai ditumbuhi jamur, setelah diidentifikasi

ternyata jamur tersebut adalah jamur Aspergillus sp. (Gambar 1). Jamur ini berasal pada beras yang tersimpan (Joedo, 2005). Telur burung puyuh yang mengandung

banyak air tercampur dengan beras yang terkontaminasi jamur Aspergillus sp. Menyebabkan perkembangan jamur menjadi lebih cepat. Sedangkan pada umpan

berbahan penyedap ikan asin, tepung kulit udang, keju, cokelat, kelapa bakar,

umpan pembanding dan umpan kontrol di udara terbuka mulai muncul jamur

Aspergillus sp. Pada hari ke 34 setelah umpan dikeluarkan dari kemasan. Hal ini diduga karena udara lembab yang membawa butiran-butiran air terserap oleh

umpan, sehingga lama kelamaan umpan tersebut mengandung lebih banyak air

(39)

Pengujian daya tahan umpan terhadap jamur pada udara tertutup, pada

umpan dengan bahan penyedap telur burung puyuh terdapat jamur yang mulai

muncul pada hari ke 65 setelah umpan dibuat. Daya tahan umpan berbahan

penyedap ikan asin, tepung kulit udang, keju, cokelat, kelapa bakar, umpan

pembanding dan umpan kontrol terhadap jamur di udara tertutup adalah 93 hari

setelah umpan dibuat.

Penggunaan asam benzoate pada pembuatan umpan ini dapat mencegah

munculnya bakteri, selama pengamatan umpan pada udara tertutup dan udara

terbuka tidak terdapat bakteri yang menyerang umpan, karena asam benzoate

berfungsi sebagai bahan pengawet yang mencegah munculnya bakteri

(Departemen Kesehatan, 2005).

Daya tahan aroma umpan berbahan penyedap keju, cokelat, ikan asin,

tepung kulit udang, dan kelapa bakar adalah 93 hari setelah umpan di buat..

Gambar 1. Jamur Aspergillus sp.

5.2.5. Daya Tahan Umpan Terhadap Cuaca Panas dan Kondisi Hujan

Daya tahan umpan terhadap cuaca panas dan kondisi hujan disajikan

dalam Tabel 6.

Tabel 6. Daya Tahan umpan terhadap Cuaca Panas dan Kondisi Hujan

Perlakuan Cuaca Panas

(Hari)

Kondisi Hujan (Hari)

Formulasi keju 83 19

Formulasi cokelat 83 19

Formulasi ikan asin 83 19

Formulasi tepung kulit udang 83 19

(40)

Formulasi telur burung puyuh 83 19

Umpan pembanding 83 4

Umpan kontrol 83 19

Berdasarkan hasil pengamatan, semua umpan perlakuan yang dijemur di

bawah terik matahari tidak mengalami kerusakan (umpan tidak berubah bentuk),

bahkan aroma umpan tidak hilang. Hal ini di duga karena suhu pada saat

penjemuran umpan berlangsung tidak terlalu panas, sehingga tidak cukup untuk

melelehkan parafin padat yang merupakan bahan yang dapat memberi bentuk dari

umpan. Umpan tahan terhadap cuaca panas selama 83 hari setelah di jemur.

Pada uji daya tahan umpan terhadap kondisi hujan, umpan pembanding

mengalami kerusakan lebih cepat yakni dalam waktu 4 hari setelah umpan disiram

melalui pancuran air (shower), umpan pembanding tersebut telah hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Umpan berbahan penyedap keju, cokelat, ikan asin, telur

burung puyuh, tepung kulit udang, kelapa bakar, dan umpan kontrol dapat

bertahan lebih lama terhadap kondisi hujan yakni 19 hari. Hal ini diduga karena

paraffin padat yang digunakan pada umpan pembanding memiliki kualitas yang

lebih rendah dan jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan paraffin

padat yang digunakan pada umpan uji lainnya, sehingga dalam kondisi hujan

(41)
(42)

5.3. Rancang Bangun Alat Perangkap Bubu Tikus

Beberapa langkah kerja yang dilakukan dalam pembuatan perangkap ini

disebut Eight-Step Job Plan yang terdiri dari tahap seleksi, tahap informasi, tahap

kreativitas, tahap analisis, tahap pengembangan, tahap rekomendasi, tahap

implementasi dan tahap verifikasi. Pembuatan perangkap yang dilakukan pada

tahap implementasi dapat deskripsikan sebagai berikut :

5.3.1. Perangkap Dengan Pintu Sistem Gravitasi A.

Perangkap dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 10 cm dengan

menggunakan bahan ram kawat dan plat besi. Perangkap ini memiliki empat buah

lubang pintu masuk disetiap sudutnya dan satu buah pintu keluar disalah satu

bagian sisi perangkap dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Pintu masuk perangkap

terdiri dari beberapa batang besi kecil dengan panjang ± 9 cm yang disusun secara

vertikal dengan pusat putaran dibagian atas sehingga berada pada titik

keseimbangan. Batang besi tersebut diletakan di tengah-tengah lorong pintu

masuk yang berukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm. Agar pintu dapat membuka satu

arah (ke arah bagian dalam perangkap), maka dibagian terluar dari titik

keseimbangan pintu dipasang pembatas kecil yang terbuat dari plat besi yang

berfungsi sebagai kunci. Sedangkan untuk pintu keluar bahan yang digunakan

yaitu plat besi dan tidak memiliki lorong pintu. Untuk menyimpan atraktan dibuat

kotak dengan bahan ram kawat yang berukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm dan

diletakan di tengah-tengah perangkap.

(43)

Gambar 4. Bentuk Perangkap dilihat dari atas

5.3.2. Perangkap Dengan Pintu Sistem Gravitasi B.

Perangkap dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 10 cm dengan

menggunakan bahan ram kawat dan plat besi. Perangkap ini memiliki empat buah

pintu masuk dan satu pintu keluar dengan menggunakan bahan yang berbeda.

Pintu yang terbuat dari bahan ram kawat dan plat besi dengan ukuran 9 cm x 10

cm, sedangkan lorong pintunya berukuran 10 cm x 10 cm. Seperti halnya pada

perangkap dengan pintu sistem gravitasi A, pintu inipun diletakan secara vertikal

dengan pusat putaran dibagian atas dan hanya dapat membuka pada satu arah

yaitu ke bagain dalam perangkap. Perangkap tipe ini memiliki dua buah ruangan

di bagian dalam sehingga pintu masuk terbagi menjadi dua bagian. Dua buah

pintu yang diletakan di sisi perangkap dipasang dengan posisi agak menjorok ke

bagian dalam perangkap sepanjang 3 cm, sedangkan dua buah pintu dibagian

dalam perangkap dipasang secara berurutan dengan jarak 10 cm. Untuk

menyimpan atraktan dibuat ruangan berbentuk setengah tabung dengan ukuran

sisi-sisinya 10 cm dan jari-jarinya 5 cm. Ruangan ini terbuat dari bahan ram kawat

(44)

Gambar 5. Perangkap Tikus Bubu dilihat dari samping

Gambar 6. Perangkap tikus bubu dilihat dari atas

5.3.3. Perangkap Dengan Pintu Sistem Jungkat-Jungkit.

Perangkap dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 10 cm dengan

menggunakan bahan dari plat besi. Perangkap ini memiliki tiga buah pintu masuk

yang diletakan dibagian atas perangkap dan satu pintu keluar yang diletakan di

pinggir perangkap. Pintu masuk perangkap ini berbentuk balok yang terbuat dari

bahan plat besi dengan ukuran 30 cm x 10 cm x 10 cm. Pintu ini diletakan secara

horizontal dengan titik tumpu dibagian tengah dan hanya dapat membuka pada

satu arah yaitu ke bagain dalam perangkap (ke bawah). Sedangkan untuk pintu

(45)

dalam ruangan pintu masuk perangkap yang dibatasi oleh ram kawat, sehingga

terdapat dua ruangan dalam pintu masuk perangkap.

Gambar 7. Dilihat dari samping

Gambar 8. Dilihat dari atas

5.3.4. Perangkap Bubu kontrol dengan Pintu mirif bubu untuk Ikan.

Perangkap ini adalah perangkap bubu tikus yang sudah biasa digunakan

oleh petani, bentuknya sangat sederhana. Perangkap dibuat dengan ukuran 40 cm

x 40 cm x 10 cm dengan menggunakan bahan dari ram kawat. Perangkap ini

memiliki satu buah pintu masuk yang diletakan di bagian samping perangkap.

Pintu masuk perangkap ini berbentuk bulatan yang terbuat dari bahan kawat

dengan diameter 10 cm. Perangkap bubu ini dijadikan perangkap bubu

(46)

Gambar 9. Perangkap Bubu konvensional dilihat dari samping (sebagai kontrol)

5.3.5. Jumlah Tikus yang Tertangkap dari setiap jenis Perangkap Bubu

Pengamatan dilakukan setiap tiga hari sekali (dua kali berturut-turut) pada

enam lokasi yang berbeda (sebagai ulangan). Hasil pengamatan tertera pada Tabel

8 di bawah ini.

Tabel 7. Jumlah tikus tertangkap dari setiap tipe Perangkap bubu

Lokasi Penangkapan (sebagai ulangan) Tipe

Perangkap I II III IV V VI

Total

tangkapan

Rata-rata

A 3 1 2 2 3 1 12 2,00

B 5 3 1 2 4 2 17 2,83

C 3 1 2 1 1 - 8 1,33

Kontrol 1 1 - 1 2 - 4 0,67

Jumlah tangkapan tikus dengan menggunakan perangkap bubu tikus yang

dikembangkan memiliki perbedaaan yang nyata dibandingkan dengan tipe

perangkap bubu biasa (kontrol.). Tipe perangkap A rata-rata memiliki jumlah

tangkapan tikus sebesar1,83 ekor, Tipe perangkap B rata-rata memiliki jumlah

tangkapan tikus sebesar 2,17 ekor, Tipe perangkap C rata-rata memiliki jumlah

tangkapan tikus sebesar1,33 ekor, Tipe perangkap D (kontrol) rata-rata memiliki

(47)

bubu ini tergolong sedikit, hal ini berkaitan dengan kemarau yang sangat panjang

yang menyebabkan populasi tikus di beberapa wilayah tertentu turun cukup tajam.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui jenis perangkap tipe B memiliki

jumlah tangkapan yang paling banyak dibandingkan dengan tipe perangkap yang

lainnya. Tipe perangkap B lebih baik dibandingkan dengan perangkap lainnya hal

ini diduga kuat karena pada tipe perangkap B memiliki desain yang baik sebagai

perangkap bubu, pada desain perangkap B, apabila ada tikus yang masuk maka

tikus tersebut akan terpaksa tergiring pada tempat tertentu yang lebih tersembunyi,

tempat tersebut cukup menjorok ke belakang dan terhalang oleh sekat dari plat

baja sehingga tidak dimungkinkan ada komunikasi antar tikus. Sehingga tikus

yang belakangan akan masuk peramngkap tidak melihat adanya tanda bahaya.

Berbeda dengan perangkap tipe lainnya yang tetap memungkinkan adanya

komunikasi antar tikus, sehingga tikus yang sudah tertangkap akan

memperlihatkan kegelisahan dan menjadikan tikus yang baru datang akan takut

dan mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam perangkap bubu tersebut.

Sehingga untuk selanjutnya perangkap bubu tipe B dapat direkomendasikan

sebagai tipe perangkap bubu masa depan.

(48)

5.4. Pemanfaatan Kulit Tikus sebagai Bahan yang Mempunyai Arti Ekonomi.

Saat ini gaya hidup semakin berkembang sejalan dengan perkembangan

teknologi. Hand phone adalah suatu alat yang saat ini berkembang dengan pesat

dimasyarakat dikarenakan fungsinya yang sangat penting. Untuk mengamanakan

alat yang sangat penting tersebut dari ganguan seperti terjatuh, terkena air hujan,

atau sebagainya dan untuk mempermudah dalam bepergian maka diciptakan

pelindung/ bungkus HP, tapi sekarang ini fungsinya tidak hanya untuk pelindung

tetapi juga sebagai asesoris untuk menarik perhaitan orang.

Tikus memiliki struktur bulu yang halus sama seperti bulu kelinci. Dari

alasan tersebut maka tikus dapat dimanfaatkan sebagai asesoris tempat HP, atau

produk lainnya seperti asesoris gantungan kunci, taplak meja, taplak gelas, gelang,

ikat ramput, bondu dan lain-lain. Oleh karena itu ini merupakan prospek yang

sangat bangus untuk dkembangkan.

Prosedur cara Pemanfaatan Kulit Tikus sebagai Sarung HP adalah sebagai

berikut : Matikan tikus dengan cara di bius menggunakan chloroform 90 %.

Diamkan sampai jantungnya berhenti berdenyut.Pembedahan dimulai dengan

menggunting pada bagian bawah perutnya ± 1,5 cm lalu mengelupaskan kulit

sampai pada bagian kaki, selanjutnya potong bagian-bagian kakinya dan ekor .

Kuliti terus sampai pada bagian mata dan telinga, hati-hati jangan sampai robek.

Kulit yang sudah terpisah dari badannya selanjutnya direntangkan pada sereform

dengan menggunakan jarum pentul. Selanjutnya membuat larutan garam-tawas

yaitu dengan memasukan tawas pada larutan air, kemudian air dipanaskan sampai

mendidih selanjutnya masukan sedikit garam. Diamkan larutan tawas tersebut

sampai tidak terlalu panas, masukan kulit tersebut dengan merendam selama 30

detik. Keringkan dan rentangkan sehingga menghasilkan bulu yang halus dan

kuat. Kulit yang sudah jadi dijahit dan dibentuk seperti bungkus HP yang pada

akhirnya akan menjadi bungkus HP yang cantik dan indah dan tidak menyangka

bahwa itu terbuat dari kulit tikus. Sedangkan untuk membuat asesoris dan hiasan

kulit lainnya tinggal dibentuk sekehendak kita berdasarkan keingan produk yang

(49)

Gambar 6. Sarung Hp terbuat dari kulit tikus

(50)

Gambar 8. Asesoris Gantungan Kunci dari Kulit Tikus

5.5. Pemanfaatan Tepung daging Tikus untuk Pakan Ikan Hias

Kandungan protein tikus sekitar 60-62% atau lebih tinggi 30%

dibandingkan tepung ikan memungkinkan tepung daging tikus dapat dijadikan

sebagai alternatif sumber protein yang berpotensi tinggi. Daging tikus mempunyai

kandungan nutrisi yang sangat tinggi diantaranya dari daging tikus per 100 gram

berat basah yaitu Protein = 62,2 gram; Lemak = 24 gram; Karbohidrat = 6,6 gram;

Fosfor = 61 mg; Sodium = 40 mg; Potassium = 17 mg; Riboflavin = 12 mg; Niacin = 1,8 mg. Kandungan nutrisi lainnya adalah Vitamin C, Zinc, Cu, Mn, dan Yodium. Sehingga tepung daging tikus dapat dimanfaatkan sebagai pelet ikan hias.ataupun binatang peliharaan lainnya seperti kucing, kura-kura, ular dll.

A. Pembuatan Pelet Ikan hias (Formula I)

Pisahkan daging tikus dari kulit, tulang dan jeroan tikus selanjutnya

daging tikus dioven salama 24 jam pada suhun 70º C , yang pada akhirnya daging

tikus akan menjadi keras dan rapuh. Daging yang telah matang tadi selanjutnya

ditumbuk dengan menggunakan mortil sampai menjadi tepung. Tepung yang

sudah jadi selanjutnya dicampur dengan tepung tapioka dan kuning telur sehingga

menjadi adonan. Adonan selanjutnya dibentuk menjadi bulat-bulat kecil dan

Gambar

Tabel 1. Urutan Tikus yang Paling Sering Dijumpai Sampai yang Paling Jarana Ditemukan Disekitar Persawahan dan Pemukiman Penduduk
Tabel 2.   Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan Tikus Sawah (g/hari)
Tabel 3.   Persentase Umpan yang Dimakan Tikus dan Daya Pikat Umpan dari Masing-masing Perlakuan
Tabel  4  Biaya Pembuatan Umpan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yang pertama-tama anda ingat adalah bahwa situasi yang anda bayangkan itu kredibel dan vital untuk dimasukkan ke dalam novel. Setelah itu ciptakan atmosfer dan suasana yang

Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi peranan PC dalam meningkatkan hasil klinis dan kualitas hidup pasien penderita DM, serta untuk mengidentifikasi parameter- parameter lainnya

Teori-teori yang banyak dipakai dalam menjelaskan perilaku split-ticket voting menempatkan pemilih pada level high information dengan niat dan kemampuan pemilih untuk

Dalam percobaan kloning &#34;Bintje&#34; yang mengandung gen thionin dari daun barli (DB4) yang memakai promoter 35S cauliflower mosaic virus (CaMV), dengan

1) Tanaman obat yang dibudidayakan secara luas dan masih terkendala oleh serangan hama dan penyakit, seperti jahe, maka prioritas penelitian difokuskan pada

menvalidasi username dan password yang dimasukan.. oleh orang tua jika username dan password yang dimasukan benar maka sistem akan menampilkan halaman dashboard

Peserta Pelatihan Pelatih (TOT) Pendamping Akreditasi Puskesmas di tingkat Pusat terdiri dari Widyaiswara dan staf Dinas Kesehatan Provinsi atau peserta dari

penggunaan suatu produk tertentu.  Periklanan dapat menambah nilai yang lebih positip terhadap produk dan gengsi serta derajat konsumen kalau konsumen selalu