BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penulis akan menulis landasan-landasan teori yang akan menolong
penulis dalam memahami Bab II ini, yaitu mengenai definisi rentenir, definisi
konseling feminis, karakteristik rentenir, dinamika kehidupan para rentenir
perempuan, dampak pekerjaan rentenir terhadap kehidupan pribadi dan orang lain.
2.1. Definisi Rentenir
Rentenir berasal dari kata „rente‟ yang berarti bunga. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rentenir berarti: orang yang mencari nafkah
dengan membungakan uang, tukang riba, pelepas uang (moneylenders). Dari
pengertian ini, maka dapat dilihat bahwa kata „rente‟ tidak jauh berbeda dengan
makna riba, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam. Institusi
yang memperoleh profit melalui penarikan bunga disebut sebagai lembaga rente,
seperti bank, koperasi dan lembaga perkreditan lainnya. Individu yang
memperoleh profit melalui penarikan bunga disebut rentenir.30 Istilah „pelepas
uang‟ (moneylenders) atau rentenir menurut Dale W. Adams adalah individu yang
memberikan pinjaman kredit berjangka pendek, tidak menggunakan jaminan yang
pasti, bunga relatif tinggi dan selalu berupaya melanggengkan hubungan kredit
dengan nasabahnya. Profesi ini sebagian besar beroperasi di pasar-pasar, desa atau
juga berkunjung dari rumah ke rumah secara aktif.31
2.2. Karakteristik Rentenir
Pada dasarnya aktivitas perkreditan yang dikelola rentenir dapat
dikategorikan sebagai sektor informal yang bergerak untuk mencari bunga dan
sifat rentenir itu tergolong dalam pekerjaan ekonomi gelap.32 Inilah salah satu
karakteristik dari negara-negara dunia ketiga, sebagaimana dilukiskan Robert P.
Clark dalam bukunya „Power and Policy in the Third Word‟, yang
mengungkapkan salah satu laporan pemerintah di kota Lima, Peru tahun 1987
yang memperkirakan bahwa sepertiga dari angkatan kerja kota telah memasuki
ekonomi gelap. Meskipun begitu, apa yang diketahui oleh semua orang adalah
pedagang-pedagang yang bergerak di sektor informal tersebut beroperasi secara
ilegal.33 Rentenir di Eropa pun bekerja secara diam-diam, sehingga hampir tidak
ada data mereka.34
Sementara itu Hernando De Soto juga mengungkapkan keberhasilan
peran sektor informal di Peru selama 40 tahun terakhir ini. Aktivitas sektor
informal telah menjadi tempat bagi 48% penduduk Peru, yang giat dalam
31 Adams, Dale W. (1989), “Taking a Fresh Look of Informal Financial”, Economics and Sociology
Occational paper No.1592, Study in Rural Finance Series, Agricultural Finance Program, Department of Agricultural Economics and Rural Sociology, The Ohio State University, Juli 17, 1989, 2-3.
32
Soegiarto, Heru N. & Moeljarto, Vidhyandika (1994), “Debitur Potensial di Pedesaan Jawa, Kasus Penerimaan Masyarakat Terhadap Aktivitas Pelepas Uang”, Dalam Prisma, (Jakarta: LP3ES, 1994), 56.
33 Clark, Robert P. (1991), “Power and Policy in the Third World”, (New York: MacMillan Publishing
Company, Fourth Edition, 1991), 172.
34
perekonomian dan 61,2% jam kerja diabadikan pada kegiatan-kegiatan informal
yang memberikan sumbangan sebesar 30,9% pada produk domestik bruto (PDB)
yang tercatat dalam neraca pendapatan negara. Diperkirakan aktivitas rentenir ini
akan terus berkembang, dan pada tahun 2000 akan menghasilkan 61,3% dari PDB
yang tercatat dalam neraca pendapatan. Sementara itu, peranan sektor informal di
bidang keuangan sebagai pengamat empiris, yang dilakukan.35 Si Dam Kim,
memperlihatkan bahwa di Korea, pasar kredit/rentenir perkotaan juga didominasi
oleh apa yang disebutnya sebagai „informal credit markets‟.36
Seseorang yang merasa dirinya memiliki kelebihan materi dari segi
finansial, maka berpotensi untuk mengkultuskan dirinya sebagai pihak yang
superior, sehingga di sisi lain ada keyakinan dalam dirinya bahwa ada orangorang
di sekitarnya dan pihak-pihak lain yang dianggapnya sebagai pihak yang interior
dan membutuhkan kucuran dana cepat dan mudah. Dalam hal ini pihak rentenir
yang eksis di tengah-tengah masyarakat yang bias dikatakan sebagai pihak
superior dengan mudah memberikan pinjaman uang kepada pihak-pihak yang
membutuhkan dana.37 Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh rentenir juga
mampu menjadikan masyarakat ketergantungan terhadap transaksi hutang-piutang
berbunga tersebut. Sehingga setiap membutuhkan uang, tanpa pikir panjang,
masyarakat langsung mendatangi rentenir dan meminjam uang kepadanya. Bunga
yang besar biasanya dipikirkan belakangan, yang terpenting adalah dana langsung
cair dan segera dapat dipergunakan. Biasanya rentenir menawar-nawarkan modal
35
De Soto, Hernando (1992), “Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia
Ketiga”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), 14.
36 Kim, Si Dam (1986), “Some Issue in the Study of Informal Credit Market”, Resources Paper for
the ADB Workshop, 1986, 15.
kepada pedagang-pedagang kecil seperti di pasar kaki lima (pedagang sayur, ikan,
daging, dll.), asongan, maupun usaha-usaha kecil lainnya. Apabila masyarakat
memiliki masalah mendadak dengan keuangan mereka seperti berobat ke rumah
sakit, biaya pulang kampung dan kebutuhan modal untuk usaha mereka, maka
mereka akan mencari rentenir untuk memperoleh uang dengan cepat.38
Bank daerah tidak dapat menolong mereka, karena meminjam uang di
bank daerah harus ada agunan dan usaha bank ini bersifat besar-besaran.39 Usaha
pedagang kecil tidak pernah mendapat perhatian pemerintah dalam bentuk
bantuan pinjaman modal dengan bunga rendah, di samping itu tidak memiliki
barang untuk dijadikan agunan untuk meminjam uang ke pemerintah. Pemerintah
sebenarnya sudah menyalurkan dana kepada masyarakat dengan dana mikro tanpa
agunan, tetapi di lapangan pihak perbankan tidak ada yang meminjamkan dananya
tanpa agunan dengan kekawatiran pinjaman yang diberikan kepada masyarakat
tidak kembali yang menjadi tunggakan abadi yang berakibat pimpinan bank yang
bertanggung-jawab. Dengan kata lain, semua dana tersebut dipinjamkan kepada
masyarakat dengan agunan dan agunan ini yang sangat sulit dipenuhi pedagang
kecil, di samping itu, bank pemerintah jika memberikan pinjaman jutaan atau
paling sedikit 5 juta rupiah, padahal pedagang kecil hanya butuh pinjaman
berkisar 50.000 – 200.000 rupiah; dan juga daerah tertentu bank pemerintah
mencoba memberikan pinjaman tanpa agunan, tetapi dirasakan tidak mencapai
sasaran yang dikehendaki, maka untuk menjalankan usahanya pedagang kecil
38
Siboro, Ilas Korwati (2015), Ibid, 11.
39
mendapat pinjaman lewat rentenir.40 Adanya keterbatasan kemampuan dari
pedagang kecil memenuhi agunan mengakibatkan rentenir semakin berkembang
meskipun bunganya sangat tinggi.41
Rentenir merupakan perkembangan dari hutang-piutang yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat. Pada tatanan ini rentenir sudah merupakan salah
satu bentuk profesi bagi pemilik modal untuk dapat mengembangkan modalnya
dengan mendapat bunga. Rentenir menjalankan bisnisnya di antara anggota
masyarakat, baik antara famili maupun tetangga atau atas dasar kepentingan
masing-masing pihak. Aktivitas rentenir yang hidup dalam masyarakat,
merupakan profil dari praktik perkreditan yang dikelola secara individual yang
tidak terorganisasi dan pada umumnya mempunyai pengaruh yang kurang baik
terhadap peminjamnya. Hal ini disebabkan bunganya yang tinggi yang harus
dibayar dari penghasilan yang sangat kecil.4243
Pada umumnya jenis rentenir yang berada di pasar merupakan wujud
dari optimalisasi sumber daya finansial para pedagang dalam mencari keuntungan.
Siapakah rentenir itu? Rentenir dipahami oleh orang-orang awam sebagai „lintah
darat‟ dan praktik-praktiknya menciptakan „penghambaan bunga‟, citra negatif ini
masih ada hingga saat ini. Namun demikian, sebutan itu tidak menyurutkan para
rentenir menjalankan profesinya. Keuntungan yang diperoleh dari praktik ini
40 Siahaan, Monang (2014), “Rentenir, Penolong Pedagang Kecil?”, (Jakarta: Gramedia - Elex
Media Komputindo, ISBN:978-602-02-5597-2, 2015), 10-12.
41
Darmojuwono, Subarjo & Subagio, Pangestu (1986), “Badan Kredit Kecamatan di Jawa Tengah,
dalam Mubyanto & Edi Swandi Hamid, Kredit Pedesaan di Indonesia”, (Yogyakarta: BPFE 1986), 17.
menjadi motivasi untuk tetap beroperasi.44 Pada umumnya rentenir memulai
aktivitas ekonominya dengan perdagangan dan memvariasikan bisnisnya. Pada
umumnya, sebelum sukses jadi rentenir biasanya ia menjalankan bisnisnya dengan
berdagang dan dilanjutkan menjadi pedagang uang atau rentenir.45 Selama
menjadi pedagang mereka mencoba memvariasikan perdagangan dengan bisnis
kredit termasuk ke dalamnya kredit uang, hingga pada akhirnya mereka
menjadikan kredit uang sebagai profesi utama. Dan cara rentenir mengambil uang
atau prosedur pekerjaannya dimulai dari menawarkan barang (perdagangan) lalu
dilanjutkan dengan menawarkan uang (rentenir).45
Jenis rentenir ada dua yaitu, rentenir internal (yaitu rentenir dan
berdagang), dan rentenir eksternal (hanya sebagai rentenir) yang datang dari luar
ke pasar untuk menawarkan uangnya. Hal pokok yang membedakan rentenir
internal dari rentenir eksternal adalah rentenir internal berinteraksi secara intens
dengan para nasabah dan pedagang sekitarnya. Rentenir yang sehari-harinya juga
berprofesi sebagai pedagang di dalam pasar akan mudah berinteraksi dengan yang
lain, karena rentenir internal juga mempunyai profesi utama sebagai pedagang
yang berbaur dengan aktivitas pasar. Situasi seperti ini menyebabkan rentenir
bebas berinteraksi dengan sesama pedagang meskipun bukan nasabahnya. Hal ini
berbeda dengan rentenir eksternal yang memiliki batas waktu dan ruang dalam
berkomunikasi mencari nasabah. Rentenir eksternal (berada di luar pasar), para
rentenir tersebut jarang terlihat berbaur dengan pedagang setempat. Mereka hanya
44 Nugroho, Heru (2001), “Uang Rentenir dan Hutang-piutang di Jawa”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), 250.
45
menarik „harian‟ kepada pedagang yang menjadi nasabahnya, kemudian pergi
tanpa berbincang-bincang dengan pedagang yang lain. Keterbatasan interaksi
tersebut membuat rentenir eksternal sulit untuk mencari nasabah.46 Dari kedua
jenis rentenir di atas, penulis melihat bahwa problem yang dihadapi rentenir
berkenaan dengan upaya mencari nasabah. Rentenir eksternal lebih sulit mencari
nasabah bila dibandingkan dengan rentenir internal yang lebih leluasa waktunya
berhubungan dengan nasabah ataupun bukan nasabah.
Problem utama yang dihadapi rentenir pada umumnya adalah masalah
nasabah yang sulit membayar dan masalah modal. Sedangkan masalah yang
khusus dihadapi perempuan rentenir adalah masalah kompleksitas kejiwaan,
bahwa di satu sisi perempuan bersikap lembut, tetapi di sisi lain jika berhadapan
dengan nasabah yang bermasalah perempuan harus mampu untuk bersikap
kasar.47
Hal lain yang diperhatikan dengan rentenir masih relevan
keberadaannya terutama di masyarakat Jawa, meskipun keberadaan rentenir atau
pelepas uang (moneylenders) di Indonesia sulit terdeteksi pihak luar (outsiders)
karena cenderung bersifat tertutup. Kondisi tersebut dikarenakan dalam kehidupan
masyarakat luas di Indonesia, pekerjaan sebagai rentenir dipandang sebagai
pekerjaan yang negatif.48 Dalam hal kekuasaan, rentenir juga memiliki kekuasaan
menentukan tingkat bunga tertinggi jika dibandingkan dengan LKM (Lembaga
46
Hamka, Aldrin Ali & Danarti,Tyas, Ibid, 64-65.
47
Wawancara dengan ibu Len.
Keuangan Mikro) dan bank.49
Beberapa karakteristik rentenir antara lain:50
• Dana mudah diperoleh kapan saja dan dimana saja
• Prosedural yang sederhana dan tidak diperlukan pengisian formulir
permohonan
• Terdapat kaitan yang erat antara kebutuhan nasabah dalam
pemenuhan kebutuhan input, kredit dan pemasaran hasil
• Saling mempercayai tanpa menekankan jaminan
• Biaya transaksi yang ditanggung peminjam relatif rendah
• Pencairan dana dengan cepat sesuai dengan kebutuhan mendadak
• Penggunaan dana leluasa, tidak terbatas untuk kegiatan ekonomi
(produksi)
• Merupakan sumber penghasilan dan investasi yang menguntungkan
bagi pemilik uang yang enggan menitipkan uangnya di bank
Meskipun memiliki implikasi negatif dari rentenir sesuai dengan
karakteristik dan praktiknya, penulis melihat rentenir juga mempunyai peranan
penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat yang berpenghasilan rendah yang
membutuhkan modal, seperti pedagang di pasar Salatiga. Bahkan dapat dikatakan
rentenir mempunyai peranan sebagai alternatif di samping menjadi sumber dana
pokok pedagang, baik bagi golongan lemah maupun golongan permodalan kuat,
yang memerlukan dana dalam waktu singkat serta prosedur sederhana.
49
Mukherjee, Saswatee (2013), “A Comparative Analysys of Interest Rates”, Journal of
Developmental Entrepreneurship, Vol.18 No.1 (2013), 1350007 (6 pages), World Scientific Publishing Company, Dep of Jdaypur Univ. India, 2013 1.
50 Ng, Beoy Kui (1985), “Some Aspects of the Informal Financial Sector in the SEACEN Countries”,
2.3. Dinamika Kehidupan Rentenir Perempuan
Jenis kelamin tidak mempengaruhi profesi rentenir, baik laki-laki
maupun perempuan dapat terjun dalam profesi ini. Perempuan lebih banyak
rentenir jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai
sosial yang berkaitan dengan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Bahwa
pada umumnya banyak perempuan yang bekerja untuk meningkatkan pendapatan
ekonomi keluarga. Di samping itu, perempuan juga memiliki tugas untuk
memutuskan penggunaan uang dalam keluarga. Laki-laki dianggap sebagai
pencari nafkah utama, yang harus bertanggung jawab memberikan penghasilannya
kepada para istri, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akibatnya secara
psikologis, perempuan lebih mampu dan berpengalaman dalam penggunaan uang.
Pengetahuan dan pengalaman dalam mengatur keuangan tersebut juga
diaplikasikan dalam bidang perdagangan dan hutang-piutang uang.51
Perempuan yang bekerja di luar rumah berusaha menyeimbangkan
karier dan tuntutan rumah tangga. Perempuan karier berusaha berbagi tanggung
jawab dalam menjalankan peran ganda. Perempuan yang menjalankan fungsi
ganda tidak tertutup kemungkinan untuk mencapai kesuksesan.52 Meskipun dalam
mencapai kesuksesan itu banyak masalah yang dihadapi perempuan yang
menikah, seperti yang dipaparkan oleh Dana Heller Levitt, bahwa seorang
perempuan yang menikah, bekerja dan memiliki anak cenderung mengalami stres.
51 Yoserizal, Yessi, Ibid, 7.
52
Keseimbangan antara karier dan keluarga adalah salah satu tantangan yang paling
berat.53
Sebagaimana kaum perempuan yang memegang banyak peran dan
dituntut banyak, pasti juga menghadapi tekanan jiwa dan ketegangan.
Kadangkadang tekanan itu dapat menambah kegembiraan dan minat pada
kehidupan kita, tetapi kerap kali juga merupakan masalah. Nampaknya begitu
banyak yang harus dikerjakan sehingga banyak perempuan menghadapi
pertentangan, bahkan keresahan. Tekanan jiwa dapat menyebabkan sakit kepala,
sakit punggung dan penyakit fisik lainnya. Satu kenyataan penting tentang
tekanan jiwa ialah bahwa tekanan itu beragam kadar beratnya, sejalan dengan
umur seseorang. Kalangan perempuan muda, tidak menikah atau tidak punya anak
dan pada awal jenjang pekerjaan mereka, cenderung merasa tidak begitu tertekan
daripada golongan perempuan yang tengah membesarkan anak.54 Hal ini
konsekuensi dari
perempuan karier.55
Di satu sisi perempuan harus setia mengurus keluarga, anak-anak, dan
di sisi lain berusaha untuk lebih menonjol dalam hal karier.56 Satu masalah dalam
hal ini yaitu kurangnya dukungan lingkungan sekitar terhadap perempuan yang
53
Levitt, Dana Heller (2010), “Women and Leadership A Developmental Paradox”, ADULTSPAN Journal Full 2010 Vol.9 No.2, Montclair State University, 2010, 68.
54
Wolfman, Brunetta R. (1988), “Peran Kaum Wanita: Bagaimana Menjadi Cakap dan Seimbang dalam Aneka Peran (ROLES: How to Balance Many Different Relationship. Be Versatile And Play Varied Roles Successfully”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 75-78.
55
Roberts, Helen (1981), “Doing Feminist Research”, British Library Cataloguing in Publication Data (New York: Rouledge 11New Fetter, ISBN 0-415-02547-8), 1986, 13.
56
Benishek, Lois A.; Kathleen, J. Bieschke; Park, Jeeseon; and Slattery, Suzanne M. (2004), “A
bekerja.57 Menurut saldo, perempuan itu punya batas kekuasaan karena dibatasi
keluarga dan norma budaya.58 Perempuan harus berjuang menunjukkan
kemampuannya atau keahliannya dalam melakukan pekerjaan yang digeluti dan
tidak hanya mampu melakukan pekerjaan domestik.59
Perempuan yang ingin berkarier masih menghadapi berbagai kendala,
antara lain: faktor eksternal dan faktor internal: 60
Faktor Eksternal:
a. Peranan alamiah perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam sudut pandang
budaya yang sempit menyebabkan prospek pengembangan karier perempuan
belum memperoleh dukungan masyarakat secara luas.
b. Pengembangan karier perempuan dalam lembaga-lembaga pemerintahan belum
optimal, karena pegawai perempuan yang telah menikah selalu memiliki status
ikut suami, sehingga mobilitas kerjanya relatif terbatas.
Faktor Internal:
a. Rasa bersalah karena adanya perasaan telah menelantarkan keluarga, terutama
bila anak-anak masih kecil.
b. Sikap mendua antara membina peran di luar rumah dengan keinginan sebagai
ibu rumah tangga.
57 McBrid, Martha C. (1990), “Autonomy and the Struggle for Female Identity - Implications for Counseling Women”, Journal of Counseling & Development, September/October 1990 Vol.69, Department of Counseling and Educational Pshychology, University of Nevada-Las Vegas, 4505 Maryland Parkway, Las Vegas, Nevada 89154, 1990, 72.
58 March, Kathryn S; and Taqqu, Rachelle L. (1986), “Women’s Informal Associations in Developing
Countries: Catalyst or Change?”, Woman in Cross-Cultural Perspective, Colorado: Westview Press, Inc. USA, ISBN 0-86531-856-5, 1986), 12.
59
Kahn, Sharon E., Ibid, 245-246.
60 Mudzhar, H.M. Anto; Alvi, Sadja S. & Sadli, Saparinah (Editor) (2001), “Wanita dalam
c. Sikap konvensional dari suami yang beranggapan bahwa tugas perempuan
adalah di rumah tangga sebagai istri dan ibu.
Dari pendapat para ahli di atas, penulis melihat bahwa masalah dan
tantangan yang dihadapi perempuan yang bekerja di luar rumah adalah sangat
kompleks, terutama berhubungan dengan kemampuan untuk membagi waktu
antara pekerjaan domestik dan tuntutan karier. Masalah perempuan yang bekerja
ini juga dialami perempuan rentenir. Namun perempuan rentenir lebih mempunyai
masalah yang berat mengingat stigma masyarakat yang melekat pada perempuan
rentenir, stigma-stigma tersebut di antaranya adalah berhubungan dengan citra
negatif yang melekat pada rentenir dianggap tidak bermoral, karena mengambil
suku bunga yang tinggi, seorang rentenir juga dianggap membuat „perangkap
situasi‟, bahwa pihak rentenir ini tidak memberikan informasi pada nasabahnya
tentang jumlah utang yang harus dibayarkan sehingga hal ini memperburuk
keadaan nasabah.61 Perempuan rentenir ini menjalankan bisnis perkreditan dari
sumber kekayaan yang dimiliki serta ditopang pula dengan keberanian watak yang
tegas dan keras, sehingga tidak sedikit rentenir berhasil menjalankan atau
mengembangkan profesinya.62 Menurut penulis, masalah yang dihadapi
perempuan rentenir ini adalah citra negatif terhadap perempuan yang keras dan
dianggap tidak bermoral hanyalah sebagai tuntutan dari pekerjaan yang dia jalani,
bahwa perempuan rentenir tidak nyaman dengan pekerjaannya, tetapi karena
tuntutan kebutuhan hidup, mereka terpaksa menjalaninya.
61 Siyongwana, Pakama Q. (2004), “Informal Moneylenders in the Limpopo, Gauteng and Eastern Cape, Provinces of South Africa”, Development Southern Africa, Cartax Publishing, Vol.21 No.5, December 2004, 15.
Dari masalah yang dihadapi perempuan bekerja maka perlu diadakan
pendekatan konseling feminis untuk lebih membebaskan pria dan perempuan
dalam mengekspresikan diri mereka sendiri sesuai kualitasnya, kesetaraan dalam
hak suara dan gaji di tempat kerja. Dari perspektif konseling feminis bertujuan
untuk kesetaraan yang harus ditunjukkan laki-laki dan perempuan dengan
memiliki relasional satu dengan yang lain seperti teori feminis dimana mendorong
laki-laki dan perempuan mengeksplorasi potensi mereka dan siap untuk
menyongsong perubahan.
Adapun tujuan konseling feminis adalah mengatasi
ketidakseimbangan kekuatan, konselor membentuk kolaborasi kemitraan dengan
konseli untuk mengatasi dan membahas yang dihadapi serta membantu
mengidentifikasi kekuatan sumber daya konseli serta membangun cara berpikir
dengan paradigma baru, jauh dari ketidakadilan dan penindasan.63
2.4. Dampak Pekerjaan Rentenir Terhadap Kehidupan Pribadi dan Orang Lain
Rentenir diibaratkan sebagai sosok yang dipandang sebelah mata
namun dicari oleh masyarakat sebagai pilihan terakhir guna membantu
menghidupkan jalannya ekonomi masyarakat dengan cara peminjaman modal
usaha. Ia diibaratkan sebagai lintah darat yang juga merugikan masyarakat sebagai
pengguna jasanya. Meskipun profesi rentenir sendiri dilihat tidak pantas namun
hingga saat ini pelakunya tidak mungkin untuk dihentikan, karena masyarakat
63
Bready, Peggy-Amoon (2011), “Humanism, Feminism, and Multiculturalism Essential Elements of
membutuhkannya. Hal seperti ini memberikan sebuah kekuatan tersendiri bagi
bisnis rentenir untuk bisa hidup berdampingan di dalam masyarakat. Scott dan
Jerry mengatakan bahwa ada sebuah elemen utama dari relasi, yaitu adanya
pertukaran atau „exchanges’. Di dalam kasus rentenir ini, ada sebuah pertukaran
yang diberikan oleh rentenir yaitu penyediaan jasa kredit ekonomi dengan
profitprofit keuntungan sebagai sebuah exchanges yang diberikan atau diperoleh
dari nasabahnya.64
Di satu sisi, dampak rentenir ini memberikan pertolongan kepada
ekonomi lemah dalam hal penyediaan modal, tapi di sisi lain, rentenir ini membuat
masalah bagi nasabah itu sendiri karena bunga yang terlalu tinggi. Seperti yang
terjadi di negara India, banyak perempuan India pedesaan yang bunuh diri massal
akibat tertipu oleh rentenir. Sehingga pada tahun 2010 pemerintah India, Andhra
Pradesh membuat undang-undang untuk melindungi orang miskin dari rentenir
yang tidak bermoral. Undang-undang ini mengatur tentang organisasi rentenir
untuk didaftarkan pada pemerintah dan perlindungan terhadap peminjam
(nasabah) dimana para rentenir membuat suku bunga secara merata.65 Adapun
alasan pemerintah membuat undang-undang ini adalah untuk melindungi nasabah
dari rentenir yang mempunyai citra negatif bahwa rentenir tidak bermoral dan
dengan membuat suku bunga tinggi. Dan rentenir ini biasnya tersebar luas di
antara „kulit hitam terpinggirkan‟ dan masyarakat ekonomi rendah.66
Faktor alasan masyarakat meminjam pada rentenir, yaitu: pertama,
adanya kebutuhan yang sangat mendesak; kedua, kecenderungan untuk
64
Scott, James (1993), “Perlawanan Kaum Tani”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), 7.
65
Kandaswamy, Deepa (2011), “Money-lenders Bilk Indian Woman”, Herizons Summer, 2011, 7.
66
mengabaikan tanggung jawab dan kebutuhan-kebutuhan mendatang; ketiga, secara
umum masyarakat kurang berpengetahuan tentang soal-soal keuangan. Bunga dari
pihak yang menyediakan kredit itu mencakup bunga yang tinggi dan jaminan yang
agak riskan. Salah satu perdebatan penting tentang rentenir di pedesaan adalah
mereka memiliki kekuatan monopoli.66
Hubungan antara rentenir dengan peminjam, biasanya cukup dekat
karena proses pembayaran cicilan pinjaman dipungut sendiri oleh rentenir (atau
orang suruhannya) dan dilakukan setiap hari.68
Bentuk hubungan sosial rentenir ini terhadap nasabahnya, antara lain,
hubungan kepercayaan, hubungan saling ketergantungan, hubungan eksploitasi
dan pertentangan.
a. Hubungan Kepercayaan
Kepercayaan merupakan dasar terbentuknya suatu hubungan antara
rentenir dengan nasabahnya. Secara umum dapat dikatakan, bahwa saling percaya
antara rentenir dengan nasabahnya akan menjadi basis dari transaksi kredit. Para
rentenir akan memperlakukan masing-masing nasabah dengan cara yang berbeda,
tergantung pada derajat kepercayaan yang mereka kembangkan kepada si nasabah,
begitu pula sebaliknya. Jaringan sosial dan trust (kepercayaan) menjadi
mekanisme yang sangat penting. Hal ini berguna untuk sistem rekrutmen dan
seleksi terhadap peminjam dan terutama kontrol kepatuhan terhadap komitmen
untuk membayar kembali pinjaman. Hal ini terutama diperlukan karena dalam
66
pekerjaan rentenir ini tidak dikenal adanya agunan atau surat pinjaman sebagai
penguat komitmen.67
b. Hubungan Saling Ketergantungan
Ada semacam hubungan timbal balik antara rentenir dengan
nasabahnya, bahwa para nasabah memberi penghasilan berupa profit dari bunga
pinjaman kepada rentenir, dan satu pihak rentenir memberi bantuan kepada para
nasabah dalam memenuhi kebutuhannya akan uang. Di dalam hubungan
ketergantungan ini rentenir juga menjalin „hubungan persahabatan‟ dengan
nasabah agar pengembalian uangnya lebih baik atau lancar.68
c. Hubungan Eksploitasi
Gambaran tentang semakin permisifnya masyarakat terhadap praktik-
praktik para rentenir seyogianya tidak disalah tafsirkan sebagai hilangnya konotasi
negatif rentenir. Sebahagian penduduk yang tidak terlibat secara langsung dalam
aktivitas kredit rentenir, baik sebagai nasabah atau pemberi kredit masih
memelihara stereotip bahwa rentenir adalah “lintah darat”. Mereka hidup di atas
rantai kemiskinan orang dengan mengekstraksi bunga, karena aktivitas rentenir
memiliki etos “memperoleh uang sebanyak mungkin” dicurigai sebagai penyebab
terjerumusnya para nasabah dalam “perangkap hutang” yang akan membawa pada
“perbudakan bunga”. Situasi ini dianggap tercipta oleh perilaku rentenir, yang
dilakukan dengan cara memelihara ketergantungan nasabah terhadapnya, sehingga
67
Kartono, Drajat Tri, Ibid, 7-8.
mereka dapat membawa nasabah pada perangkap hutang. Cara untuk menjamin
ketergantungan ini yaitu melalui strategi dimana bunga diwajibkan dibayar dalam
setiap cicilan, baik kredit dibayar belakangan, jadi hubungan di antara keduanya
bersifat eksploitatif.
Pada tahun 1970 Bhaduri mengemukakan bahwa hubungan antara
rentenir dan nasabah bersifat eksploitatif karena kreditur mengontrol pasar lain
dimana peminjam juga tergantung kepada rentenir. Komponen suku bunga
menunjukkan bukti monopoli keuntungan atau eksploitatif.69 Suku bunga
ditetapkan secara bervariasi sesuai tempat.72
Ada 3 tipe eksploitasi: Tipe pertama: A (negara maju) mengambil
bahan mentah begitu saja dari B (negara dunia ketiga) tanpa memberi keuntungan
sedikit pun. Tipe kedua: A mulai memberikan sesuatu keuntungan pada B, namun
tetap dalam hubungan yang kurang seimbang. Tipe ketiga: dalam tahap ini, bisa
juga sudah tercipta keseimbangan dalam efek interpelaku antar A dan B, yaitu
pertukaran nilai yang seimbang antara pelaku-pelaku itu. Namun belum ada efek
interpelaku yaitu efek di dalam pelaku B, sebabnya adalah kesenjangan dalam
tingkat „pengolahan‟ antara produksi bahan mentah di B dan produksi
barangbarang jadi di A. Kesenjangan dalam pengolahan ini mengakibatkan efek
interpelaku A jauh lebih besar dari efek interpelaku B.70
69 Patole, Meenal; and Ruthven, Orlanda (2001), “Metro Moneylenders, Microcredit Providers for Delhi’s Poor”, For Small Enterprise Development Journal IT Publications, Institute for Development Policy and Management Working Paper 28, Draft 3rd Agust 2001,1. 72 Schrader, Heiko (1994), Ibid,
2.
70
d. Kekerasan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ”kekerasan” diartikan
sebagai sifat (hal dan sebagainya) keras: kegiatan, kekuatan, paksaan.71 Sementara
itu dalam Kamus Sosiologi, ”kekerasan” lebih dipahami sebagai penggunaan
kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda.72 Namun C.A.J. Coady
mengingatkan bahwa definisi dan konsep kekerasan tidak dapat dibatasi hanya
pada fisik, sebab kekerasan itu juga mencakup kekerasan psikologis. Kekerasan
psikologis itu terjadi ketika seseorang mengganggu perasaan orang lain dengan
kata-kata atau pun perbuatan. Menurutnya, definisi kekerasan memberikan sebuah
ilustrasi luas yang saling mempengaruhi antara konsep dan komitmen. Sedikitnya
ada 3 tipe definisi kekerasan yang dapat ditemui dalam berbagai diskusi tentang
kekerasan.73
Ketiga tipe tersebut dikategorikan ke dalam istilah: luas (wide),
terbatas (restricted), dan sah (legitimated). Lebih jauh Coady menjelaskan ketiga
tipe tersebut sebagai berikut:77
1. Wide Defenition
Wide Defenition menunjuk pada apa yang disebut kekerasan struktural.
Definisi ini cenderung digunakan untuk kepentingan politis kelompok kiri
yang memperluas kajian istilah kekerasan dalam hubungannya dengan
71 Poerwadarminta, W.J.S. (1996), “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka,
1996), 488.
72
Soekamto, Soejono (1983), “Kamus Sosiologi”, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), 538.
ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat. Misalnya
masyarakat tidak memperoleh kebutuhan ekonomi secara memadai akibat
pengabaian tanggung jawab pemerintah.
2. Restricted Defenition
Dalam Restricted Defenition dimengerti bahwa setiap tindakan negatif adalah
kekerasan. Tindakan negatif tersebut terlihat lewat adanya paksaan yang
berakibat pada luka fisik. Dalam definisi tersebut tidak dipersoalkan
bagaimana kekerasan itu dilakukan, tetapi penekanannya pada kerusakan fisik
yang ditimbulkan.
3. Legitimated Definition
Definisi ini terlihat dalam aras pikir konservatif atau pemikiran politis liberal
sayap kanan yang menekankan bahwa sebuah tindakan dapat disebut sebagai
kekerasan, tergantung kepada siapa yang melakukannya. Jika demi
kepentingan negara, misalnya tindakan aparat negara untuk menjaga
ketertiban tidak dikategorikan sebagai kekerasan.
Dom Helder Camara dalam teorinya tentang spiral kekerasan
mengemukakan 3 bentuk kekerasan:74
1. Kekerasan Personal
Kekerasan Personal terlihat dalam berbagai bentuk ketidakadilan yang dapat
dialami oleh perorangan, kelompok maupun negara akibat adanya kelompok
elite nasional yang mempertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara
74
sebuah struktur yang mendorong terbentuknya kondisi ”sub human”, yaitu
kondisi hidup di bawah standar layak untuk sebagai manusia normal.
2. Kekerasan Institusional
Kekerasan yang muncul akibat pemberontakan sipil. Kondisi ”sub human”
manusia menderita tekanan alienasi, dehumanisasi, martabat, kemudian
mendorong mereka untuk melakukan pemberontakan.
3. Kekerasan Struktural
Kekerasan terlihat dalam represi negara terhadap masyarakat sipil. Negara
menggunakan kekuatan dan cara-cara kekerasan untuk menekan masyarakat.
Kekerasan paling mendasar adalah bahwa orang sudah tidak dihargai
martabatnya dan tidak diperbolehkan berbicara, bahkan sebelum bicara pun sudah
disalahkan. Kekerasan juga bersifat hierarkis dan ‟menular‟: negara adidaya
menekan negara miskin, pemerintah menekan rakyat, atasan menekan bawahan,
suami menekan bahkan berbuat kasar kepada istri, istri memarahi anak, anak
menyiksa binatang piaraan. Kekerasan memiliki dua wajah: kekerasan fisik dan
kekerasan berselubung ideologi. Kekerasan fisik adalah yang paling nyata dan
kasat mata, bisa antar manusia, antar komunitas, negara, alam, lingkungan;
sedangkan kekerasan ideologi bersifat tak tampak dan halus karena diselubungi
ideologi yang membuat kekerasan itu seolah-olah „wajar‟.75
Menurut Galtung, kekerasan ada dua: kekerasan personal dan
75
Lan, May (2002), “Pers, Negara, & Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada
struktural. Sifat kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati,
memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan.
Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu
dan tidak tampak. Lebih lanjut Galtung menjelaskan bahwa di dalam suatu
masyarakat statis, kekerasan personal akan diperhatikan, sementara kekerasan
struktural dianggap wajar saja. Namun dalam suatu masyarakat yang dinamis
kekerasan personal bisa dilihat sebagai hal yang berbahaya dan salah, sementara
kekerasan struktural semakin nyata menampilkan diri.76
Menurut Sasant, kekerasan berbasis gender adalah penyalahgunaan
dan pelanggaran hak asasi manusia yang berakar ketidaksetaraan gender dan
nilainilai patriakal. Hal ini lebih banyak dialami oleh perempuan daripada
laki-laki dan mencakup berbagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pelecehan
seksual, perdagangan perempuan, dan perdagangan anak perempuan serta
perkawinan paksa.81
Dari pengertian kekerasan di atas, penulis melihat bahwa kekerasan itu ada
kekerasan fisik dan ada kekerasan verbal (kata-kata) dan bentuk kekerasan ini
juga terjadi dalam praktik rentenir, hubungan antara rentenir dan nasabah.
Konflik tidak selalu dicerminkan sebagai tindakan kekerasan atau adu
fisik. Tetapi lebih dari itu, bisa menyangkut masalah hati, kewajiban serta tuntutan
di antara kedua belah pihak, yang terkadang tidak sejalan dan berbeda
kepentingan. Begitu pula dalam hubungan antara rentenir dengan nasabahnya,
menurut pengakuan kelima rentenir pertentangan kecil kerap terjadi bilamana
76 Windhu, I. Marsana (1992), “Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung”, (Yogyakarta:
nasabah bersembunyi, mengelak atau sengaja menunda/tidak membayar cicilan
atau bunga kredit, terjadi kesalahpahaman mengenai perhitungan hari pembayaran
kredit. Demikian pula halnya dengan nasabah mereka menyatakan tidak pernah
terjadi pertikaian yang menjurus pada tindakan fisik atau kekerasan.77
e. Hubungan Sosial-Budaya
Di Jawa profesi rentenir sangat popular, yaitu yang menawarkan
pinjaman jangka pendek tanpa jaminan, tetapi memiliki tingkat bunga yang relatif
tinggi (sekitar 20-30%) dan mereka juga berusaha untuk menjaga hubungan kredit
dengan nasabah-nasabahnya melalui hubungan inter-personal maupun kultural78.
Hubungan antar rentenir dan nasabah bersifat kompleks, kadang-kadang tidak
hanya menunjukkan transaksi ekonomi semata, akan tetapi juga melibatkan aspek
sosial-budaya.79 Menurut Heru Nugroho, alasan mengapa kredit rentenir lebih
atraktif, bukan semata-mata prosedur arogansi administratif lembaga finansial
formal terhadap orang-orang lapis bawah, tetapi terletak pada persoalan budaya
ekonomi masyarakat. Perilaku ekonomi rentenir berkaitan dengan budaya lokal.
Dalam praktik mereka selalu membangun citra diri lewat penguatan kapital
budaya. Seperti menolong nasabah yang susah, bersifat dermawan, menyumbang
aktivitas keagamaan karena sumbangan yang diberikannya bisa membantu
rentenir untuk menjaga dan memperkuat hubungannya dengan nasabahnya.80
77
Yoserizal, Yessi, Ibid, 11-12.
78 Labat, Alyssa & Block, Walter E. (2012), “Money Does Not Grow on Trees: An Argument for Usury”, Journal of Business Ethics, 106:383-387, Agust 2012, 1.
79
Sosrodiharjo, Soedjito, (1978), “Aspek Sosial Budaya Dalam Pembangunan Pedesaan”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 67-70.
80
Semakin tinggi kapital budaya yang dimiliki oleh rentenir, maka citranya semakin
baik sehingga praktik-praktiknya tidak banyak terusik oleh citra buruk warisan
tradisi. Biaya-biaya sosial dalam rangka peningkatan kapital budaya dihitung
secara rasional sebagai biaya ekonomi dalam menopang praktiknya.81
Rentenir harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan peminjam
dengan jujur, jika tidak maka akan sulit bagi mereka untuk meminjam dengan
efektif. Rentenir harus mampu menghitung berapa lama rentenir bisa memenuhi
permintaan nasabah. Rentenir harus mampu memberikan pinjaman kepada
nasabah karena sekali nasabah kecewa akan sulit untuk mendapat kesempatan
kembali, dia akan beralih mencari rentenir lainnya.82 Rentenir memperoleh
manfaat atau laba dari nasabah. Nasabah kesulitan modal, maka rentenir
memberikan pinjaman dengan menetapkan bunga yang lebih tinggi.83 Faktanya,
masyarakat kecil (pedagang golongan bawah dengan modal yang relatif kecil)
sebagai sasaran utama rentenir sering tidak menghiraukan bunga tinggi yang
ditawarkan. Mereka hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan
dengan adanya penambahan modal usaha.84
Dari pendapat di atas, alasan nasabah meminjam kepada rentenir
adalah hanya karena prosesnya mudah namun bunganya sangat tinggi, sehingga
dampak rentenir terhadap kehidupan nasabah adalah mencekik dengan suku bunga
81 Nugroho, Heru, Ibid, 4.
82 Katzt, Robert D. (2012), “An Entrepreneur’s Lender”, The Secured Lender, December 2012, 1-2. 83 Kolasinski, Adam C., Freed, V.; and Mattghew C. Ringgenberg (2013), “A Multiple Lender
Approach to Understanding Supply and Search in the Equity Lending Market”, The Journal of
yang tinggi, sedangkan bagi rentenir itu sendiri memberikan keuntungan yang
dapat menambahi kekayaannya.
2.5. Definisi Konseling Feminis
Konseling diartikan sebagai „proses interaksi antara konselor dengan
klien baik secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung (melalui media:
internet, telepon) dalam rangka membantu klien agar dapat mengembangkan
potensi dirinya atau memecahkan masalah yang dialaminya‟.85
Konseling adalah
proses pertolongan yang pada hakikatnya adalah psikologis antara seorang
penolong dan seorang atau beberapa orang yang ditolongnya dengan maksud
meringankan penderitaan dari yang ditolong. Melalui proses itu, diharapkan
konseling dapat memperoleh kekuatan baru dan wawasan yang baru untuk
memahami dan jika mungkin mengatasi masalah yang dihadapinya.86
Menurut Dr. Magdalena Tomatala, secara etimologi, kata „konseling‟
berasal dari kata „counsel‟, yang diangkat dari kata Latin „çonsiiium‟ dari kata
dasar „consileri‟, yang berarti ‟to consult‟, yaitu mencari pandangan atau nasihat
orang lain, yang berfungsi sebagai penuntun untuk pertimbangan dan pembuatan
keputusan.87 Dari pengertian di atas, konseling dapat dijabarkan sebagai suatu
proses menyampaikan nasihat, petunjuk, peringatan, teguran, dan ajaran yang
memberikan pertimbangan guna membuat keputusan yang bijaksana sebagai
85 Padmomartono, Sumardjono dan Setyorini (2014), “Bimbingan dan konseling Pribadi-Sosial”,
(Salatiga: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, Juni 2014), ISBN: 978-979-729-052-8, 21.
86
Martin van Beck, Aart (1987), “Konseling Pastoral, Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di Indonesia”, (Semarang: Satya Wacana, Agustus 1987), 6.
87
Tomatala, Magdalena (2003), “Konselor Kompeten, Pengantar Konseling Terapi untuk
upaya mengatasi masalah serta menangani atau menyelaraskan perilaku.88 Dalam
proses konseling, konselor mendengarkan secara empati, karena empati adalah
penerimaan, peneguhan, dan pengertian akan gema suara hati manusia yang
ditimbulkan oleh diri (self). Empati adalah suatu kebutuhan psikologis yang hakiki
dan tanpa itu konselor/konseli tidak mungkin menghayati hidup yang
bernilai.89
Menurut Toril Moi, arti feminis, dalam esainya: feminis, female,
feminine, femininitas adalah satu rangkaian karakteristik yang didefinisi secara
kultural, feminisme adalah posisi politis, sementara femaleness (yang paling tepat
diterjemahkan sebagai „kebetinaan‟) adalah hal biologis. Jenis kelamin dan
„kebetinaan‟ adalah realitas biologis, dengan demikian segala fakta biologis;
mendapat menstruasi, kemampuan untuk melahirkan, menyusui, dapat dianggap
sebagai „takdir‟ yang kurang lebih tidak dapat diubah. Apa yang dianggap
feminine bergantung pada siapa yang mendefinisinya, tempat orang-orang itu
berada dalam apa yang telah mempengaruhi hidup mereka. Ideologi yang
menyadari ketimpangan konstruksi ini dan kemudian mengarahkan dirinya kepada
perubahan atas ketimpangan inilah yang disebut feminisme. Pemikiran bahwa
bekerja di luar rumah mencari uang adalah tugas laki-laki sementara bekerja di
rumah adalah tugas perempuan adalah konstruksi gender dan bukan merupakan
takdir, karena itu dapat dinegosiasikan. Kesadaran bahwa pembagian seperti itu
88
Soewarno, Andreas (2012), “Pastoral Konseling, Manfaat dan Penerapannya untuk Pelayanan
Masa Kini”, (Pati: Fire Publisher, Percetakan Kanisius, ISBN: 978-602-99126-3-0, Maret 2012, 5.
89 Clinebell, Howard (1984), “Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral”, (Jakarta:
bukan saja tidak menguntungkan bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki dan
berusaha agar konstruksi itu lebih seimbang adalah berkesadaran feminis.90
Pemikiran dan gerakan feminis lahir dengan konteks tertentu, baik itu
budaya, agama, ras, etnik, keadaan sejarah tertentu dan lain sebagainya. Pemikiran
yang disebutkannya tadi memang merupakan bagian dari feminis, tapi yang lahir
dalam konteks spesifik ketika seksualitas perempuan di barat tengah mengalami
penekanan yang sangat hebat, misalnya eksploitasi seksualitas perempuan,
pornografi, dan sebagainya, sehingga perempuan feminis radikal merasa perlu
untuk merebut kembali klaim atas tubuh dan seksualitasnya. Pemahaman dasar
atas feminis ini penting untuk melihat dengan lebih bening bahwa feminisme
bukanlah semata-mata milik perempuan. Laki-laki maupun perempuan yang
menyadari adanya ketimpangan struktur pada dasarnya adalah seorang feminis.91
Tujuan pokok dari teori feminis adalah memahami penindasan
perempuan secara ras, gender, kelas, dan pilihan seksual, serta bagaimana
mengubahnya. Teori feminis mengungkapkan nilai penting individu perempuan
beserta pengalaman yang dialami bersama dan perjuangan yang mereka lakukan.
Ia menganalisis bagaimana perbedaan seksual dibangun di dalam setiap dunia
sosial dan intelektual serta bagaimana ia membuat penjelasan mengenai
pengalaman dari berbagai perbedaan ini.92
Menurut Anne M. Clifford, feminisme adalah sebuah wawasan sosial,
90 Padmomartono, Sumardjono dan Setyorini, Ibid, 22. 91 Padmomartono, Sumardjono dan Setyorini, Ibid, 23.
92 Humm, Maggie (2002),”Ensiklopedia Feminisme (Dictionary of Feminist Theories)”, (Yogyakarta:
yang berakar dalam pengalaman kaum perempuan menyangkut diskriminasi dan
penindasan oleh karena jenis kelamin, suatu gerakan yang memperjuangkan
pembebasan kaum perempuan dari semua bentuk seksisme, dan sebuah metode
analisis ilmiah yang digunakan pada hampir semua cabang ilmu.93 Feminisme
secara gamblang menolak determinisme biologis sebagai alasan penentuan peran
tertentu entah kepada laki-laki atau perempuan.94 Fokus feminis global adalah
eksploitasi perempuan melalui seks perdagangan dan pariwisata, prostitusi, dan
kekerasan seksual. Feminis global berfokus pada pentingnya menghormati
perbedaan, tetapi masih berjuang untuk menangani secara efektif dan spesifik
praktik-praktik budaya yang berkontribusi terhadap penindasan kaum
perempuan.95
Kaum feminis berusaha untuk meluruskan persepsi dan pandangan
yang keliru, yaitu yang menempatkan kegiatan ekonomi sebagai dunia laki-laki
dan sebaliknya segala sesuatu yang berkaitan dengan non-ekonomi dipandang
sebagai ranah perempuan. Tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, mengasuh
anak, membersihkan rumah, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
reproduksi atau konsumsi dipandang sebagai kegiatan yang non-ekonomi. Kaum
feminis berusaha untuk menunjukkan bahwa kaum perempuan memberikan
93 Clifford, Anne M. (2001), “Memperkenalkan Teologi Feminis”, Ledalero, Maumere, 2002,
(Semarang: Bina Putera, Desember 2002), 28-29.
94 Ibid, 30.
95 Enns, Carolyn Zerb;, Sinacore, Ada L.; Ancis, Julia R.; and Philips, Julia (2004), “Toward
kontribusi yang sangat signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun mereka
mempunyai status sebagai ibu rumah tangga.96
Gerakan feminis sejak awal telah mencoba untuk menawarkan analisa
yang mendalam tentang “apa artinya menjadi perempuan”, serta mempertanyakan
dasar relasi sosial yang tercipta antara laki-laki dan perempuan, baik di dalam
masyarakat maupun keluarga. Suatu perubahan pun terjadi, ketika kaum feminis
menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi perempuan, yakni
hak perempuan untuk politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara
intelektual.97
Pemahaman konseling feminis memberi dukungan/kesempatan pada
perempuan untuk berkarier dan mendorong pribadi perempuan itu agar berani
untuk mengekspresikan diri.98 Menurut Carolyn Zerb Enns, feminisme adalah
sebagai komitmen untuk menghilangkan segala bentuk penindasan di dalam ras,
seks, heteroseksual, dan kelas.104 Jill Rader et al. mengemukakan bahwa
konseling feminis merupakan sebuah pendekatan konseling yang relatif baru yang
muncul pada sebuah lingkungan pergaulan tahun 1970an dari kelompokkelompok
peningkatan kesadaran dan dari paham feminis gelombang kedua.99 Marecek et
al. menegaskan bahwa konseling feminis berusaha untuk
96
Sairin, Sjafri; Semedi, Pujo & Hudfayana, Bambang (2001), “Pengantar Antropologi Ekonomi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ISBN: 979-9483-88-0, Maret 2002), 197.
97 Gross, F. “What is Feminist Theory?”, dalam C. Pateman dan E. Gross, Feminist Chalange:
Social and Political Theory,(Boston: Norteasten University Press), 190.
98
Juntunen, Cindy (1996), “Relationship Between a Feminist Approach to Career Counseling and Career Self-Effiacy Beliefs”, Journal of Employment Counseling Vol.33, September 1996, 131. 104 Enns, Carolyn Zerb;, Sinacore, Ada L.; Ancis, Julia R.; and Philips, Julia, Ibid, 451.
99
Rader, Jill; and Bilbert, Lucia Albino (2015), “The Egalitarian Relationship in Feminist Teraphy,
Phsycology of Woman Quarterly”, 29, No.4: 427, 2005, Academic Search Complete,
memberdayakan perempuan dan laki-laki dengan menyoroti persoalan sosialisasi
gender dan sejauh mana peranan gender yang kaku itu menghalangi pertumbuhan
klien dalam dunia pribadi dan profesional.100 Rader et al. menambahkan, pada
usaha awal konseling feminis berfokus kepada penilaian pengalaman perempuan,
seluruh perhatian terhadap kenyataan politikal mereka, dan sebuah advokasi untuk
persoalan-persoalan unik mereka di dalam sistem patriarki yang biasanya
mengabaikan atau menyebabkan persoalan-persoalan tersebut.101 Sementara itu
Suzanne E. Degges-White et al. menegaskan bahwa teori konseling feminis
berusaha untuk mengenal dan merekonsiliasi perbedaan-perbedaan mengenai
gender yang bersinggungan dengan ras, kelas, orientasi seksual, dan konsep
sosiologis lainnya di dalam konteks konseling dengan maksud untuk
memberdayakan klien dan meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat
keputusan demi memperkokoh kehidupan. Konseling feminis berfokus pada
pemberdayaan perempuan dan membantu mereka menemukan cara untuk
memecahkan stereotip dan beberapa peran tradisional perempuan yang
mengasumsikan bahwa banyak masalah klien yang berasal dari budaya
patriakal.102
Dari beberapa pemikiran ini penulis berpendapat bahwa teori
konseling feminis berfokus pada kekuatan klien serta memberdayakan klien untuk
dapat bertumbuh menjadi seseorang yang mampu menyikapi perbedaanperbedaan
100 Rader, Jill; and Bilbert, Lucia Albino, Ibid, 427. 101
Degges-White, E. Suzanne; Colon, Bonnie R.; and Borzumato-Gainey, Christine (2015),
“Counseling Supervision within a Feminis Framework: Guidelines for Intervention”, Journal of Humanistic Counseling 52, No.1: 92, 2013, Academic Search Complete EBSCHO Host, Accessed, May 20, 2015, 52.
102 Surabhi (2014), “Feminism in the Therapeutic Space”, Teraphy Today 25, No.1, February 2014,
dalam dunia pribadi maupun profesional serta mampu mengambil keputusan
untuk kebaikan hidupnya. Adapun tujuan konseling feminis adalah mengatasi
ketidakseimbangan kekuatan.103 Dari pendapat ahli tersebut, penulis melihat
perspektif konseling feminis bertujuan untuk kesetaraan yang harus ditunjukkan
laki-laki dan perempuan dengan memiliki relasional satu dengan yang lain. Teori
konseling feminis mendorong laki-laki dan perempuan mengeksplorasi potensi
mereka dan siap untuk menyongsong perubahan. Permasalahan yang dihadapi
para perempuan bekerja di luar rumah menuntut pendekatan konseling feminis
untuk lebih membebaskan laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan diri
mereka sendiri sesuai kualitasnya.
Dari pemakaian konseling feminis di atas, analisis ini penting untuk
penulisan kajian perempuan rentenir dari perspektif konseling feminis ini.
2.5.1. Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis
Untuk memahami kondisi perempuan rentenir ini maka perlu
pendampingan konseling berbasis feminis dimana tujuan konseling feminis adalah
mendobrak kebekuan dan kekakuan epistemologi konseling dalam memahami
kompleksitas masalah perempuan, serta memberi bantuan untuk memanusiakan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang sama-sama luhur di sisi
Tuhan.110 Menurut Enns, beberapa tujuan konseling feminis ialah pemberdayaan,
menghargai dan meneguhkan keragaman, berjuang untuk perubahan daripada
penyesuaian, kesetaraan, kemandirian, dan persamaan ketergantungan, perubahan
103
sosial, pengasuhan diri, membantu individu dalam melihat diri mereka sebagai
agen aktif bagi kehidupan mereka maupun orang lain.104 Menurut pemahaman
Enns, konseling feminis itu menyoroti bidang yang lebih luas, yaitu kehidupan
sosial, ekonomi, budaya, politik dan kekeluargaan. Konseling feminis itu bukan
semata-mata hanya menyoroti konflik perseorangan/individu.105
Melihat hubungan rentenir dan nasabah ini bersifat eksploitasi, bahwa
rentenir menikmati keuntungan atau tingkat suku bunga yang begitu tinggi dan
menindas masyarakat, maka perlu diadakan pendampingan konseling feminis
terhadap perempuan rentenir jemaat HKBP Salatiga yang beroperasi di wilayah
pasar Jalan Sudirman Salatiga dengan memakai teori Enns. Konseli yang
membutuhkan pendampingan mempunyai daya atau kekuatan dalam dirinya
sendiri untuk berubah, bertumbuh dan menyembuhkan diri. Dengan demikian,
pendampingan berperan sebagai katalisator proses perubahan, pertumbuhan dan
penyembuhan. Pertolongan demikian bertujuan untuk menolong konseli agar
dapat memfungsikan dirinya secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari.
Pendampingan dan konseling tidak hanya berguna bagi orang yang didampingi itu
sendiri, melainkan juga bagi orang di sekitarnya.106
Pendampingan tidak hanya melakukan tindakan penyembuhan,
melainkan juga pencegahan, peningkatan, pemulihan, dan pemberdayaan. Sebuah
layanan yang bersifat komprehensif. Pendamping dapat membantu menghilangkan
rasa susah, marah, terkejut, bingung, tertekan, dan putus asa. Kemudian,
104 Corey G., Ibid, 235.
105
Ballou, Mary, (2006), “Critical Self Reflection Necessary but Not Sufficient”, International Journal of Reality Teraphy, Fall 2006 Vol.XXVI Number 1, 2006, 1.
106
pendamping dapat menolong konseli menjadi pendamping bagi dirinya pada masa
depan atau menolong orang di sekitarnya. Pendampingan menciptakan agen
perubahan bagi konseli sendiri dan lingkungannya.107
Tujuan pendampingan pastoral adalah memberikan pelayanan kasih
sebagai ungkapan iman sekaligus jawaban konkret atas pemanggilan hidup
kristiani dengan kepedulian dan keprihatinan maupun perhatian kepada mereka
yang menderita untuk meringankan beban psikisnya.108 Pendekatan konseling
feminis yang muncul dari perspektif perkembangan manusia ini telah dirangkum
oleh Jordan et al. (1991) dan Jordan (2000) dalam kerangka seri inti: 109
a. Orang-orang tumbuh melalui dan mengarah kepada hubungan sepanjang
rentang kehidupan mereka
b. Gerakan yang lebih mengarah kepada mutualitas ketimbang keterpisahan
disifati oleh kedewasaan fungsi
c. Perbedaan dan elaborasi relasional merupakan ciri pertumbuhan
d. Saling empati dan saling memberdayakan adalah inti dari hubungan yang
menumbuhkan perkembangan
e. Dalam hubungan yang merangsang pertumbuhan, semua orang memberikan
kontribusi dan tumbuh atau mendapatkan keuntungan; perkembangan
bukanlah jalan satu arah
f. Hubungan konseling ditandai oleh jenis mutualitas khusus
g. Empati mutual adalah kendaraan untuk perubahan dalam terapi
107 Wiryasaputra, Totok S., Ibid, 73. 108
Engel, J. D. (2003), “Konseling Dasar dan Pendampingan Pastoral”, (Salatiga: Widya Sari Press Salatiga, 2003), 84.
109 McLeod, John (2003), “Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus”, (Jakarta: Kencana -
h. Keterlibatan nyata dan autentisitas konseling diperlukan untuk
mengembangkan empati mutual
Jordan (1991) menunjukkan bahwa teori yang didominasi pria
cenderung menekankan target pengembangan „kekuatan ego‟, yang ditandai
dengan ikatan yang kuat antara self (diri) dan yang lain. Sebaliknya konsepsi
feminis tentang hubungan diri lebih banyak berupa perasaan saling terhubung
antar person. Hubungan ini dipertahankan melalui kemampuan untuk merespons
orang lain secara empati, dan karena itu konsep empati merupakan elemen inti
dalam pendekatan Stone Center. Dalam Teori Stone Center, empati dianggap
sebagai karakteristik fundamental cara perempuan untuk mengetahui dan
berhubungan.110
Menurut penulis, pria cenderung menekankan kekuatan ego,
sedangkan feminis lebih menekankan empati di dalam menjalin hubungan dengan
orang lain.