UPAYA KELUARGA MENYEKOLAHKAN ANAK
DI SEKOLAH DASAR(Studi Kasus Pada Sebuah Keluarga di Pemukiman Sukapakir
Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kotamadya Bandung)
T H E S I S
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh Ujian Sidang Program S-2
Bidang Studi Pendidikan Umum
4&
Oleh:
M. Umar Djani Martasuta
NIM.9132398
Program Studi: Pendidikan Umum
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis dengan judul
"UPAYA KELUARGA MENYEKOLAHKAN ANAK DI SEKOLAH
(Studi Kasus Pada Sebuah Keluarga di Pemukiman Sukapakir Kelurahan Jamika
Kecamatan Bojongloa Kaler Kotamadya Bandung)", ini beserta seluruh isinya
adalah benar-benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau
pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam
masyarakat keilmuwan.
Atas pernyataan ini saya siap menanggung sanksi yang dijatuhkan kepada
saya apabila ditemukan adanya pelanggaran atas etika keilmuwan dalam karya
saya atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, 20 September 2000 Yang Membuat Pernyataan,
fadututi- &edutuU Hu&att&u, toutycfuk tiafkdaA teuttcut itcc
tefidoUK 6dU& (cUtcdU) &<Uim<U-Acdi*nat HufautAu,
medtyiuK *K<euHi ctakuufaut UuH&a/iatt AeScut^aA itu (fuda.) "
(/4t-2m '«* S«*«t. 1%: 109)
*7e6c6 utc toufa fr&iAem&aA&eM. faefcada:
Oiattfy too, deut It&U tencwta,
tenia ohoA,-cwaMtt:
Mengetahui/Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. HM. Numan Somantri, M.Sc. Prof. Drs. A. Kosasih Djahiri
Ketira Program
Studi Pendidikan Umum
ABSTRAKSI
Kebanyakan pendidikan dasar bagi sebagian masyarakat Indonesia dewasa ini merupakan suatu hal yang "mutlak" diperlukan, meliputi kepentingan berbagai tingkat dan status sosial masyarakat. Hal ini terjadi karena pendidikan adalah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, dan sekolah dasar merupakan sarana pendidikan yang pertama-tama mereka butuhkan. Kebutuhan tersebut selain sebagai pra-syarat bagi mereka yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah, juga merupakan wahana minimal bagi mereka yang akan
terjun ke masyarakat.
Lingkungan keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama bagi anak. Orang tua secara alamiah sebagai pendidikan pertama dan utama, berkewajiban untuk mendidik anak agar mempunyai perubahan yang baik.
Kemiskinan yang dialami oleh sekelompok masyarakat dapat mengakibatkan produktivitas yang rendah dalam segala aktivitas kehidupannya. Hal tersebut apabila berlangsung dalam jangka panjang dapat berakibat fatal bagi pengembangan sumber daya manusia.
Fokus permasalahan penelitian ini adalah untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan orang tua dalam upaya menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah dasar.
Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui/memperoleh suatu deskripsi mengenai situasi kehidupan pendidikan dalam suatu keluarga yang hidup di
pemukiman kumuh.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Naturalistik Kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, telaah dokumen dan kuantifikasi sesuai dengan keperluan.
Sedangkan aspek-aspek yang diteliti meliputi nafkah orang tua dan beban yang dipikulnya, Sukapakir: sebuah kampung tempat tinggal keluarga Warjiman,
upaya menyekolahkan anak dan pandangan-pandangannya, serta manfaat
bersekolah dan beberapa kasus.
Hasil penelitian adalah menunjukkan status sosial-ekonomi yang rendah yang diwujudkan dalam bentuk gaya hidup kemiskinan, kondisi perumahan yang buruk, pola konsumsi yang terbatas, serta latar belakang pendidikan yang rendah, menjadikan upaya menyekolahkan anak-anaknya sebagai sesuatu yang mahal dan
berat.
Kesimpulan yang diperoleh, bahwa penduduk di pemukiman kumuh memandang bahwa sekolah dasar berfungsi sebagai lembaga pembentukkan
kepribadian, hal ini diungkapkan dengan tipikal di kalangan mereka: "Semakin
lama seorang anak bersekolah, biasanya semakin taat dan patuh kepada orang
tuanya". Begitu pula mereka memandang fungsi sekolah secara pragmatis dilihat
DAFTARISI
Halaman
ABSTRAKSI i
KATA PENGANTAR ii
UCAPAN TERIMA KASIH iv
DAFTARISI vi
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 3
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 13
D. Definisi Operasional Judul 15
BAB II TINJAUAN KONSEPTUAL
A. Konsep Pendidikan Umum
1. Latar Belakang Penyelenggaraan Pendidikan Umum 16
2. Pengertian Pendidikan Umum 18
3. Tujuan Pendidikan Umum 21
4. Lingkup Kurikulum Pendidikan Umum 26
B. Pendidikan Umum dalam Keluarga 28
C. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Keluarga
1. Konsep Keluarga 31
2. Fungsi Keluarga 33
3. Keluarga sebagai Tempat Pendidikan 39
4. Kewajiban Orang tua dalam Pendidikan 40 D. Sekolah Dasar sebagai Lembaga Pendidikan Umum 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metodologi dan Pendekatan Penelitian 46
B. Instrumen Penelitian 46
C. Teknik Pengumpulan Data 48
D. Pengumpulan Data Penelitian 54
E. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian 57
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Pemukiman Sukapakir 61
B. Gambaran Umum Subjek Penelitian 72
C. Penyajian, Analisis Data dan Penelusuran Makna Esensial
data Penelitian .-. „ 75
D. Temuan Hasil Penelitian 99
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI HASIL PENELinAN
A. Kesimpulan 111
B. Rekomendasi Hasil Penelitian 120
DAFTAR PUSTAKA 122
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I Responden dan Informan 125
Lampiranll Field Note/Fieldiary 127
Lampiran III Hasil Pengambilan Foto 130
Lampiran IV Surat-surat Perijinan 134
BAB I
PENDAHTJLUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tiga pusat pendidikan yaitu, pemerintah, masyarakat, dan keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan landasan utama
pendidikan, karena dalam keluargalah anak mulai hidup, bahkan hampir
setengahnya kehidupan manusia tinggal bersama keluarga, tumbuh kembangnya
seorang individu paling banyak diwarnai oleh keluarganya. Karena itu wajar apabila orang memandang keluarga sebagai dasar dan landasan utama pendidikan anak-anak (Lindgren, 1962:83). Pengalaman-pengalaman yang bermakna mulai dipersepsi oleh anak dalam keluarga sehingga membentuk pola-pola sikap yang mungkin berkembang dalam kehidupannya di masa-masa akan datang. Kontribusi keluarga dalam pembentukan sikap anak-anak, tidak dapat dipungkiri. Namun dalam kecenderungan kehidupan berubahnya pola-pola kehidupan dari masyarakat yang begitu cepat dan begitu kompleks, keluarga tidak lagi dapat
memberikan kontribusi yang cukup bagi pembentukan sikap mental anak. Karena
itu, keluarga mulai meminta bantuan sekolah, atau lembaga lainnya untuk melakukan pendidikan terhadap anak-anaknya. Harapan-harapan mengenai pendidikan anaknya telah diamanatkan pada lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal. Apakah lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah sesuai dengan harapan-harapan orang tua. Ini adalah soal lain yang mengharuskan keluarga mengkaji ulang mengenai harapan-harapan pendidikan anaknya dalam
Keberadaan pendidikan dasar bagi sebagian besar masyarakat Indonesia
dewasa ini merupakan suatu hal yang "mutlak" diperlukan, meliputi kepentingan
berbagai tingkat dan status sosial masyarakat. Hal ini terjadi karena pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, dan Sekolah Dasar merupakan
sarana pendidikan formal yang pertama-tama mereka butuhkan. Kebutuhan
tersebut selain sebagai pra-syarat bagi mereka yang akan melanjutkan ke jenjang
pendidikan menengah, juga merupakan wahana minimal bagi mereka yang akan
"terjun" ke masyarakat.
Pendidikan sekolah dasar ditinjau dari segi landasan yuridis tertera dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989, yang antara lain mengemukakan rumusan tujuan sebagai berikut:
1) ... untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam bermasyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi
persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
(Bab V Bagian Kedua Pasal 13:11)
Klausul di atas mengungkapkan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan dasar pada hakikatnya mengandung dua hal pokok, yakni: pertama, sebagai bekal hidup bermasyarakat; kedua, sebagai persiapan untuk melanjutkan
ke jenjang pendidikan menengah.
"Ruang lingkup dan mutu partisipasi seseorang dalam keluarga dan kehidupan bangsa sebagian besar tergantung kepada pendidikannya. Oleh sebab itu, tiap-tiap warga negara perlu diwajibkan pendidikan yang sekurang-kurangnya dapat membekali dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang biasa disebut kemampuan melek huruf fungsional. Kemampuan ini meliputi membaca, menulis, berhitung, bahasa Indonesia, pengetahuan umum, keterampilan dasar, serta pendidikan agama dan kewarganegaraan".
Lima tahun kemudian tepatnya tanggal 2 Mei 1984 salah satu dampak positif dari pernyataan di atas adalah dicanangkan gerakan Wajib Belajar (Wajar) 6 tahun, kemudian tanggal 2 Mei 1994 menjadi Wajib Belajar 9 tahun sampai jenjang pendidikan dasar oleh pemerintah Indonesia, beserta ketentuan lain yang menyertainya seperti: pembangunan gedung sekolah, pengadaan guru serta peningkatan mutunya, perbaikan kurikulum, dan Iain-lain. Namun mengingat area yang ditangani sangat luas dan tersebar di ribuan pulau serta jumlah
penduduk usia sekolah yang banyak sekitar 40 juta, mengakibatkan permasalahan
pendidikan dasar ini belum dapat dituntaskan dengan sempurna. Dengan demikian secara makro kondisi pendidikan dasar seperti ini dapat dikatakan masih sedang mencari "jati dirinya" yang kukuh, termasuk diantaranya melalui upaya terakhir
dikeluarkannya UUSPN Nomor 2/1989.
Adapun apabila dirunut perihal permasalahan pendidikan dasar secara
makro di negara kita, pada hakikatnya paling sedikit terdapat empat faktor, yakni:
1) Faktor kependudukan terutama berkenaan dengan laju pertambahan
jumlah penduduk yang relatif masih cukup tinggi dan kualitasnya yang
relatif rendah dan tidak produktif.
2) Faktor pembiayaan pendidikan, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun orang tua dan masyarakat.
3) Faktor relevansi isi pendidikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta kebutuhan lingkungan dalam menghasilkan tenaga
4) Faktor perjenjangan pendidikan dewasa ini masih terdiri atas Sekolah Dasar 6 tahun, SLTP 3 tahun, SLTA 3 tahun dan Perguruan Tinggi. Sekolah Dasar dewasa ini yang menerima murid usia 6 atau 7 tahun, berarti melepas mereka sebagai lulusan pada usia 12 atau 13 tahun.
Berdasarkan keempat faktor di atas itulah, pada umumnya penyelenggaraan pendidikan dasar di negara kita belum dapat memecahkan permasalahannya secara tuntas. Dengan demikian hampir pada setiap daerah baik di pedesaan maupun di perkotaan masih banyak ditemui permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan dasar yang bermuara pada keempat faktor di atas.
Khusus untuk penyelenggaraan pendidikan dasar di daerah perkotaan
tepatnya bagi mereka yang tinggal di pemukiman kumuh, sampai saat ini masih sering kita dengar bahwa kegiatan bersekolah walaupun hanya tingkat sekolah dasar sering dikatakan sebagai sesuatu yang mahal dan berat. Padahal gerakan Wajib Belajar telah cukup lama dicanangkan termasuk pembebasan biaya sekolah dan sejumlah keringanan lainnya. Namun kenyataan di lapangan muncul pembebanan lain pengganti SPP seperti BP-3 hingga sumbangan wajib dan sumbangan sukarela lainnya. Bagi penduduk di pemukiman kumuh yang inheren dengan status sosial ekonomi yang rendah serta keadaan kemiskinan lainnya, upah menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah dasar sering mengalami kegagalan baik berupa tinggal kelas maupun putus sekolah. Dengan demikian keadaan ini secara makro merupakan suatu tantangan tersendiri bagi para perencana maupun para praktisi di bidang penyelenggaraan pendidikan dasar khususnya di pemukiman
Salah satu bentuk tantangan tersebut diantaranya dikemukakan oleh Astrid
S Susanto (1984:144) yang mengupas peranan pendidikan dalam meningkatkan
taraf hidup dari penduduk yang mengalami kemiskinan termasuk di antaranya yang tinggal di pemukiman kumuh:
"..., hambatan utama dalam upaya meningkatkan taraf hidup (sosial dan ekonomi) dari masyarakat yang (pernah) terjadi kemiskinan ialah sikapnya sendiri yang telah menjadi sub-budaya. Karena itulah tugas pendidikan antara
lain bukan sekedar pengetahuan baru atau pun suatu keterampilan, melainkan mengubah sikap individu yang ingin ditolong, dengan mengutamakan perubahan jangka panjang, dari pada nilai baru dalam masyarakat yang dapat dijangkau sebagai warga negara penuh dari bangsanya".
Berdasarkan pernyataan di atas, dapatkah pendidikan dasar berperan sebagai agen pembaharuan di antara penduduk di pemukiman kumuh? Hal inilah yang merupakan harapan sekaligus sebagai tugas utama pendidikan dasar sehingga upaya meningkatkan taraf hidup di kalangan mereka dapat tercapai
dengan baik.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dalam penelitian ini akan berupaya
mengungkapkan permasalahan yang dialami penduduk, khususnya orang tua
murid yang tinggal di pemukiman kumuh dalam konteks upaya menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah dasar. Diharapkan melalui penelitian ini dapat
diungkapkan deskripsi yang menyeluruh dan mendalam perihal permasalahan
yang dialaminya.
B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Perumusan masalah diarahkan melalui fokus penelitian yang telah
lapangan berlangsung. Mengingat terjadi beberapa penyesuaian baik terhadap
subyek penelitian maupun penelitian sendiri, maka ditetapkan perumusan masalah
melalui fokus penelitian seperti di bawah ini.
Daerah Sukapakir di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler
Kotamadya Bandung, selama ini oleh berbagai kalangan masyarakat dikenal
sebagai daerah pemukiman kumuh. Predikat ini menarik perhatian penulis untuk menyingkap lebih jauh perihal penduduknya dalam upaya menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah dasar.
Dalam penelitian ini pengertian penduduk Sukapakir difokuskan kepada
sebuah kasus keluarga (batih) yang terjadi atas ayah, ibu, anak, serta orang-orang
di sekitar keluarga ini yang dapat membantu mengungkapkan secara utuh sesuai
topik penelitian ini.
Lingkup kajian "upaya penduduk" dalam hal menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah dasar dipandu oleh empat sub topik.
Adapun keempat sub topik tersebut:
1. Nafkah orang tua dan beban yang dipikulnya
2. Sukapakir: sebuah kampung tempat tinggal keluarga Warjiman
3. Upaya menyekolahkan anak dan pandangan-pandangannya
4. Manfaat bersekolah dan beberapa kasus.
Secara gamblang dapat dikatakan bahwa misi pendidikan identik dengan upaya meningkatkan taraf hidup manusia. Artinya melalui keterlibatannya minimal dalam pendidikan dasar, seseorang akan memperoleh sejumlah "bekal"
yang berguna dalam kehidupannya kelak. Dengan kata lain upaya pendidikan
tersebut berarti:
"..., which are introduced into a child^s eduaction be few and important, and let them be thrown into every combination possible. The child should make them his own, and should understand their application here and now in the circumstances ofhis actual life ".
(Whitehead, 1995:3)
Itulah yang menjadi hakikat utama upaya pendidikan, yakni: menjadikan
seseorang dari yang "tidak mandiri" menjadi "mandiri" (dewasa) serta memahami
bagaimana seharusnya mengaplikasikan bekal hidupnya dari proses pendidikan yang dijalaninya dalam kehidupan nyata. Pada hakekatnya proses ini merupakan upaya peningkatan taraf hidup manusia dalam segala seginya.
Namun dibalik aspek normatif dari pengertian pendidikan di atas, dalam
kenyataannya dapat saja terjadi kegagalan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu contoh dari proses pendidikan yang mengalami kegagalan ditinjau dari upaya peningkatan taraf hidup, adalah seperti yang terjadi pada penduduk di
pemukiman kumuh.
Istilah pemukiman kumuh sering digunakan para pakar ilmu sosial untuk menggambarkan pemukiman miskin, namun seperti halnya konsep-konsep lain
dalam ilmu sosial, istilah ini belum memiliki kesatuan konseptual yang baku.
Bergel (1970:39-40) merumuskan: "Pemukiman kumuh sebagai suatu kawasan
yang di atasnya terletak bangunan-bangunann berkondisi substandar, yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat". Pendapat ini hanya merumuskan pemukiman dalam pengertian fisik dan sosial, walaupun demikian rumusan ini lebih dapat
Berbagai rumusan karakteristik diberikan terhadap pemukiman kumuh, salah satu yang dianggap oleh penulis cukup memadai diantaranya dikemukakan
Raman Surbakti (1984:64), ringkasannya sebagai berikut:
"Pertama, pemukiman ini dihuni oleh penduduk yang padat, karena pertumbuhan alamiah maupun migrasi dari pedesaan. Kedua, dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah.Ketiga,perumahannya berkualitas rendah atau darurat. Keempat, terdapat kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah. Kelima, langka terdapat sarana dan prasarana pelayanan kota. Keenam, pertumbuhannya tidak terencana. Ketujuh, gaya hidup pedesaan masih dominan. Kedelapan, secara sosial terisolasi dari pemukiman lapisan masyarakat lainnya.Kesembilan, umumnya berlokasi di sekitar pusat kota, dan tidak jelas status hukum yang ditempatinya".
Bagi sekolah dasar yang terletak di pemukiman kumuh dengan karakteristik seperti di atas, setidak-tidaknya dalam penyelenggaraannya terdapat saling mempengaruhi diantara mereka. Perihal saling pengaruh antara masyarakat
dan sekolah ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1988:176) mengemukakan:
"Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat,
sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana sekolah itu
berbeda".
Dengan demikian bagi sekolah yang berada di dan sekitar pemukiman kumuhpun, pengaruhnya terhadap penyelenggaraannya tentu ada. Bentuk
pengaruh ini tampak misalnya melaui tingkat kecerdasan yang rata-rata rendah
karena sebagian besar muridnya berasal dari keluarga lapisan bawah, atau
berstatus sosial-ekonomi rendah.
"Bagi sekolah dasar yang berada disekitar pemukiman kumuh, biasanya
mengalami kesulitan dalam penyelenggaraannya. Kesulitan ini bermula dari latar belakang keluarga anak itu sendiri. Rata-rata mereka berpendapatan rendah karena pekerjaan orang tuanya hanya mengandalkan keterampilan rendah. Begitu pula latar belakang pendidikan orang tua yang rendah, mengakibatkan kecil sekali ikatan kerjasama antara sekolah dengan penduduk sekitar. Walaupun ada beberapa orang tua yang sadar untuk menyekolahkan anaknya, namun karena kesulitan biaya hidup yang lebih mendesak, akhirnya mereka gagal juga. Tanda-tanda paling umum bagi sekolah seperti ini adalah tingginya tingkat putus sekolah, dibandingkan dengan jenis sekolah yang sama yang berada di daerah yang dihuni oleh kalangan masyarakat diatasnya"
Demikianpula Oscar Lewis (1959:3-17) mengemukakan perihal fenomena yang hampir secara universal menyangkut keadaan serta perilaku keluarga yang hidup di pemukiman kumuh sehubungan dengan upaya peningkatan taraf hidup melalui upaya pendidikan anak-anak:
"Para orang tua menunjukkan sedikit keinginan untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka dan tidak memberikan nilai yang tinggi kepada pendidikan, kesehatan, serta perencanaan hidup bagi mereka sendiri maupun
bagi anak-anaknya. Akibatnya yang terjadi adalah 'kemandekan' dalam taraf
kehidupannya".
Dua buah pendapat terakhir di atas diharapkan dapat memberi sumbangan ke arah penjelasan yang lebih utuh tentang hakikat karakteristik penduduk di
pemukiman kumuh yang dihubungkan dengan keberadaan pendidikan sekolah
dasar di daerah ini. Berdasarkan pemaparan ini, kita telah dihadapkan pada
dimensi kehidupan unik yakni dimensi kehidupan kemiskinan. Namun kemiskinan pada kurun dewasa ini adalah sangat berbeda. Kemiskinan ini
menunjukkan adanya pertentangan kelas, masalah-masalah sosial, serta perlunya perubahan; demi peningkatan taraf hidup. Dan yang terpenting adalah kenyataan kemiskinan telah menjadi faktor yang mempengaruhi partisipasi dalam kehidupan
10
Berdasarkan fenomena tersebut kemiskiknan dalam penelitian ini akan dikaji dalam hal struktur keluarga sebagai satuan sosial terkecil, pola hubungan keluarga dengan pranata sosial lainnya, pola hubungan suami-istri dan orang tua-anak, pola pengeluaran (konsumsi), sistem nilai, yang semuanya akan mengacu pada upaya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah dasar. Adapun pemukiman kumuh selain dijadikan sebagai setting penelitian ini juga terkait dengan
karakteristik khas dari penduduk yang mendiaminya.
Kemiskinan yang dialami oleh penduduk di pemukiman kumuh dalam hal
tertentu erat kaitannya dengan masalah pendidikan yang mereka alami. Keterkaitan ini dipaparkan oleh Robinson (1976:24-25):
"Education is related to poverty at both the micro and macro level. At the
micro level is under-achievement ofan individual comingfrom a home which might be insecure, lacking in material resources and possessing a wealth of society's disadvantages. At the other hand there is the persistent under achievement ofparticular social classfive and areas ofthe inner-city ".
Berdasarkan pemaparan di atas. kemiskinan merupakan faktor dalam hal
terjadinya ketidaktercapaian tujuan-tujuan pendidikan baik dalam tingkat mikro
maupun makro. Oleh karena itu sekolah sebagai salah satu pranata sosial yang ditugasi untuk menyampaikan misi pendidikan dalam hal tertentu mengalami
keterbatasan untuk menanganinya. Secara mikro mungkin sekolah dapat
menangani masalah kemiskinan ini, namun secara makro penanganan kemiskinan
in berada diluar jangkauannya.
Pada pihak lain gejala kemiskinan yang dialami oleh penduduk di
11
"..., ditemukan bahwa perbedaan kedudukan dalam pelapisan sosial berkaitan dengan perbedaan persepsi dan sikap serta cita-cita dan rencana
pendidikan. Perbedaan tersebut ditemukan dikalangan orang tua maupun kaum remaja. Cita diri {self concept)juga berbeda-beda sesuai dengan status dalam stratifikasi sosial. Hal-hal tersebut besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar sekolah. Tentu keberhasilan ini didukung oleh kemampuan dan dorongan orang tua untuk menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang diperlukan. Mengenai yang terakhir ini kurang terdapat pada
keluarga lapisan bawah".
(Sudardja Adiwikarta, 1988:51)
Pemaparan di atas menjelaskan bahwa dengan kemiskinan yang
dideritanya pada orang tua memiliki keterbatasan untuk mendorong keberhasilan
pendidikan anak-anaknya. Keterbatasan ini meliputi banyak hal mulai dari
kemampuan ekonomi, dorongan psikologis, hingga ke orientasi hidup yang tidak
dapat direncanakan.
Dalam skala makro kemiskinan dan masalah pendidikan inipun
mengakibatkan dampak negatif terhadap kualitas penduduk, seperti diungkapkan
Hadari Nawawi (1989:39):
"Kualitas penduduk yang relatif rendah dapat mengakibatkan kv.*.!itas penduduk yang kurang atau tidak produktif. Sebagian besar penduduk itu
adalah hasil proses pendidikan di sekolah terutama dari jenjang pendidikan
sekolah dasar. Masalah ini sangat menantang untuk dicari pemecahannya, agar generasi mendatang menjadi penduduk yang berkualitas dan produktif
setelah melalui sekurang-kurangnya jenjang pendidikan dasar. Tantangan ini
selain menyentuh aspek isi pendidikan maupun kurikulum, juga berhubungan dengan perbaikan proses belajar-mengajar melalui peningkatan mutu guru, peranan orang tua murid sebagai pendidik pertama di lingkungan keluarga serta sebagai mitra guru yang penting".
Mata pelajaran-mata pelajaran yang termasuk dalam keterampilan dasar umum ini adalah seperti menulis, membaca, dan berhitung. Seperti dikemukakan oleh Smith yang diungkapkan oleh Hallahan dan Kauffman (1978:63) sebagai
12
"Smith view of the relative emphases on readiness, academic (or specific tool subject skill), and occupational and social training. The academic program is tool oriented in the sense the use of such subject as writing, readingand arithmeticfor the purposes ofevery day living and employment".
Pernyataan di atas diartikan secara bebas sebagai berikut: Smith mengemukakan pandangannya tentang hubungan yang menekankan pada kesiapan akademik (kemampuan khusus tentang tool subject), kegiatan dan latihan sosialisasi. Program akademis adalah alat yang berorientasi pada makna yang menenkankan pada materi menulis, membaca dan berhitung yang berguna
bagi kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penelitian di atas, penelitian ini akan difokuskan pada sebuah kasus keluarga (batih) yang memiliki anak yang sedang bersekolah di sekolah dasar. Adapun keterikatan antara kehidupan keluarga ini dengan kegiatan pendidikan anak-anaknya, kelak akan dikaji berdasarkan konsep pendidikan
umum di sekolah dasar.
Berkaitan dengan perumusan masalah di atas, di bawah ini dipaparkan sejumlah pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah persepsi penduduk Sukapakir yang menyekolahkan anak di sekolah dasar dalam hal tujuannya, dan hal apakah yang mempengaruhinya? 2. Harapan apakah yang hendak dicapai oleh penduduk Sukapakir?
3. Upaya-upaya apakah yang dilakukan penduduk Sukapakir untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut baik dalam hal ide maupun praktek?
13
Deretan pernyataan di atas merupakan panduan khususnya bagi pemaparan deskripsi hasil penelitian lapangan, begitu juga sebagai panduan pembahasan hasil
penelitian ini secara keseluruhan.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui dan menyingkap upaya keluarga dalam upaya
menyekolahkan anaknya, secara operasional tujuan penelitian ini untuk
mengetahui peranan serta harapan orang tua dalam menyekolahkan
anaknya di Sekolah Dasar.
b) Secara konsepsional penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan alternatif pemecahan masalah dengan jalan menyimpulkan sejumlah
pengetahuan yang memadai dan terarah kepada upaya memahami serta
menjelaskan faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah pendidikan
dasar yang dialami oleh penduduk di pemukiman kumuh pada umumnya,
dan penduduk Sukapakir pada khususnya.
c) Menumbuhkan alternatif pemecahan masalah yang berkaitan dengan
masalah penduduk Sukapakir padahal menyekolahkan anak-anaknya di
Sekolah Dasar, sehingg dapat menimbulkan pengertian dan pemikiran
tentang hakikat pendidikan keluarga, serta pola pengasuhan anak,
14
2. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memiliki kegunaan baik
bersifat praktis maupun teoritis. Adapun pihak-pihak yang diharapkan memperoleh kegunaan penelitian ini, antara lain:
a) Para orang tua murid sekolah dasar diharapkan memperoleh manfaat brupa
perluasan wawasan tentang deskiipsi kehidupan pendidikan dari
orang-orang yang hidup di pemukiman kumuh.
b) Para guru sekolah dasar diharapkan memperoleh manfaat berupa deskiipsi tentang permasalahan dari orang tua murid yang tinggal di pemukiman kumuh dalam hal upaya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah dasar. c) Bidang pendidikan masyarakat diharapkan memperoleh manfaat berupa
deskripsi tentang permasalahan pendidikan sekolah dasar dari penduduk yang tinggal di pemukiman kumuh, sehingga dapat dijadikan sebagai
bahan pembuatan keputusan dan kebijaksanaan baik secara teoritis
maupun praktis bagi daerah yang memiliki karakteristik yang hampir sama
seperti ini.
d) Para pembuat kebijaksanaan dan keputusan pendidikan sekolah dasar, khususnya bidang penelitian dan pengembangan kurikulum kelompok bidang studi pendidikan umum. diharapkan memperoleh manfaat berupa
deskripsi dan hasil analisis permasalahan pendidikan sekolah dasar bagi penduduk di pemukiman kumuh.
15
deskripsi maupun analisis permasalahan pendidikan sekolah dasar bagi penduduk di pemukiman kumuh. Dan secara umum diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai studi banding dalam kajian ilmu pendidikan.
D. Definisi Opreasional Judul
1. Upaya keluarga menyekolahkan anak di Sekolah Dasar, yang dimaksud dalam pengertian disini adalah usaha, tekad, harapan sebuah keluarga miskin yang tinggal di pemukiman kumuh dalam menyekolahkan
anak-anaknya.
2. Pemukiman Sukapakir Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler
Kotamadya Bandung, adalah sebuah pemukiman yang berada didalam
kota dikenal sebagai daerah pemukiman kumuh. Dikatakan demikian
karena di daerah ini ditemukan ciri-ciri menonjol akan predikat tersebut,
terutama jika dibandingkan dengan jenis pemukiman lain yang dihuni oleh
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode dan Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dengan menggunakan pendekatan naturailistik fenomenologis. Metode ini dipilih
karena masalah yang dikajii adalah menyangkut hal-hal yang sedang beriangsung
dalam masyarakat, khususnya dalam keluarga. Dengan harapan dapat
dikumpulkan sebanyak mungkin, dengan tetap memperlihatkan segi kualitas data.
Pendekatan naturalistik dipilih dengan alasan data tentang gejala-gejala
yang akan diperoleh dari lapangan lebih banyak menyangkut perbuatan dan
kata-kata dari responden yang sedapat mungkin tidak dipengaruhi dari luar, sehingga
bersifat alami, apa adanya. Subino Hadisubroto (1988:2) beipendapat bahwa "data
yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif, lebih berupa kata-kata daripada
angka-angka". Meskipun demikian, peneliti jelas tidak mengabaikan data yang
bersifat dokumen, sepanjang data tersebut memang menunjang pencapaian tujuan
penelitian.
B. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti langsung melibatkan diri
sebagai instrumen. Keterlibatan peneliti secara langsung memungkinkan data
yang diperoleh akan lebih bermakna (Uus Ruswandi, 2000:55). Menurut S.
Nasution (1988:6) mengemukakan bahwa peneliti merupakan "key instrument"
47
artinya peneliti sebagai alat peneliti utama, walaupun menggunakan rekaman atau kamera, peneliti tetap memiliki peranan utama. Ia tidak menggunakan alat-alat seperti test atau angket seperti lazim digunakan dalam penelitian kuantitatif. Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden.
Keterlibatan langsung peneliti di lapangan sangat menentukan hasil penelitian, karena dalam penelitian kualitatifdata-data yang sifatnya primer hams langsung didapatkan oleh peneliti sendiri tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. Hal ini sangat penting artinya, karena hal-hal yang berkenan dengan pengamatan dan suasana yang terjadi di lapangan akan sulit dianalisis secara mendalam oleh peneliti bila data-data pokok penelitiannya diperoleh dari tangan kedua atau ketiga.
Dalam menjaring data, peneliti harus berpedoman pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
a) Peneliti bemsaha menyesuaikan diri terhadap situasi.
b) Peneliti memperhatikan setiap situasi secara totalitas, respon yang spontan dari objek penelitian dapa mempertinggi tingkat kredibilitas penelitian.
c) Peneliti harus peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan.
48
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan studi dokumentasi, serta kegiatan tambahan.
1. Observasi
Teknik observasi secara intensif digunakan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan pendidikan dalam keluarga khususnya upaya orang tua
menyekolahkan anaknya.
Dengan harapan peneliti lebih dapat memahami apa-apa yang mereka telah lakukan dan apa-apa yang sedang dikerjakan serta mendengar langsung hal-hal yang diucapkan. Selanjutnya agar data yang diperoleh memiliki makna setiap informasi dikaitkan dengan konteksnya.
Menurut M.Q. Patton (S. Nasution, 1988:59-60) manfaat pengamatan secara langsung adalah:
a. Dengan berada di lapangan peneliti mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi, dapat memperoleh pandanganholistik.
b. Pengalaman langsung memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, dan membuka kemungkinan melakukan discovery.
c. Peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau yang tidak diamati orang, khususnya orang berada dalam lingkungan itu, dan yang tidak akan terungkapkan dalam wawancara.
d. Peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.
49
Observasi penelitian ini sejak pra penelitian hingga ke penelitian
lapangan diwujudkan dalam bentuk
fieldnotes, field diary,
dan
field memo.
Beberapa pedoman tentang bagaimana sebainya melakukan serta mencatat
pelaporannya, dalam penelitian ini didasarkan pada Bogdan dan Biklen
(1982:73-92), Nasution (1988:52-66), dan Lexy J. Moleong (1989:128-147).
Dalam pelaksanaan di lapangan peneliti telah melakukan beberapa
penyesuaian terhadap pedoman observasi dari para pakar di atas, hal tersebut
dilakukan untuk menyesuaikan dengan keadaan responden dan informan di
lapangan.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
yang
diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.
Wawancara dilakukan dengan cara yang tidak terstruktur, dimana responden
mendapat kebebasan dan kesempatan untuk mengeluarkan buah pikiran,
pandangan dan perasaannya tanpa diatur oleh peneliti, kemuadian setelah
peneliti memperoleh sejumlah keterengan peneliti mengadakan wawancara
yang lebih terstruktur dan disusun berdasarkan apa yang telah disampaikan
oleh subjek penelitian, dengan kata lain data pertama mengandung non
directive, yaitu menurut pikiran dan perasaan subjek penelitian. Sedangkan
dalam kegiatan selanjutnya data bersifat directive yaitu ditinjau dari
50
S. Nasution (1988) mengemukakan dalam melaksanakan wawancara setidak-tidaknya dihadapkan kepada dua hal. Pertama kita harus secara
mengadakan interaksi dengan subjek penelitian. Kedua, kita mengahadapi
kenyataan, adanya pandangan orang lain yang mungkin berbeda dengan
pandangan kita.
Dalam melaksanakan wawancara peneliti dapat melakukan tiga macam pendekatan, sebagaimana yang dikemukakan S. Nasution (1988:74) yakni:
a. Dalam bentuk percakapan informal, mengandung unsur spontanitas,
kesanataian, tanpa pola atau arah yang ditentukan.
b. Menggunakan lembaran berisi garis besar pokok-pokok, topik atau
masalah yang dijadikan pegangan dalam pembicaraan.
c. Menggunakan daftar pertanyaan yang lebih rinci, namun bersifat terbuka yang telah dipersiapkan lebih dahulu dan akan diajukan menurut urutan
dan rumusan yang tercantum.
51
Oleh karena itu kebanyakan wawancara ini beriangsung seperti
percakapan biasa. Namun demikian peneliti senantiasa berprinsip pada
informasi "emic", yaitu berusaha mengungkapkan bagaimana responden
memandang dari segi perspektifnya.
Selain wawancara peneliti juga menggunakan metoda genealogis (lihat:
Koentjaraningrat, 1986:146-151). Metoda ini digunakan untuk mengungkapkan
kedudukan responden diantara kerabat lainnya serta untuk mengetahui
peningkatan taraf hidup serta status dan latar belakang keluarganya.
Secara teknis hasil wawancara berupa
"interview transcript"
ditempatkan dalam kumpulan fieldnotes bagi responden dan dalam kumpulan
field diary bagi para informan. Dalam pelaksanaannya wawancara ini
dilakukan setelah timbul suasana "rapport" antara peneliti dengan responden
maupun informan.
3. Telaah Dokumentasi
Telaah terhadap dokumen dilakukan baik berdasarkan sumber dokumen
pribadi khususnya dari responden, maupun dokumen resmi yang sebagian
besar berasal dari informan.
Khusus
untuk dokumen pribadi,
peneliti
memperolehnya
dari
responden setelah terjadi suasana "rapport" antara peneliti dengan responden.
Hal ini terjadi karena ada beberapa dokumen pribadi pada awalnya tidak
pemah diungkapkan keberadaannya,
namun diluar dugaan
akhirnya
diperlihatkan kepada peneliti. Dengan demikian dokumen pribadi ini
52
Dokumen pribadi yang bersumber dari responden terdiri atas:
(1) kuitansi hutang Warjiman kepada rentenir, (2) kartu pembayaran SPP atas
nama Eros yang duduk di kelas V SD Bina Warga, (3) kartu iuran BP-3 atas nama Eros yang duduk di kelas IV SDN Cibadak I. Sedangkan dokumen resmi yang bersumber dari informan terdiri atas: (1) Daftar Potensi Desa
Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kotamadya Bandung
1997/1998, (2) Peta Wilayah Kelurahan Jamika, (3) Rencana Pengembangan
Jangka Menengah Kelurahan Jamika 1989-1994, (4) Laporan Perkembangan
Penduduk Kelurahan Jamika 1998, (5) Peta Wilayah RW 08 Kelurahan Jamika, dan (6) Monografi RW 08 Kelurahan Jamika.
Berdasarkan dokumen di atas, peneliti akan menyajikan data yang
terdapat di dalamnya serta kepentingannya disesuaikan dengan fokus
penelitian ini.
4. Kegiatan Tambahan
Pengertian kegiatan tambahan ini dimaksudkan sebagai suatu gambaran bahwa peneliti selama mengumpulkan data di lapangan, juga melakukan kegiatan "diluar" yang disebutkan di atas, namun kegunaannya hampir setara dengan proses pengumpulan data.
Adapun kegiatan tambahan ini merupakan upaya untuk memperlancar proses pengumpulan data di atas, baik yang dilaksanakan sesuai rencana
53
Beberapa kegiatan tambahan tersebut diantaranya :
a. Pengambilanfoto
Pengambilan foto dilaksanakan menjelang penelitian lapangan berakhir dari tanggal 21-22 September 1998. Obyek pengambilan foto tersebut diarahkan sedemikian rupa sehingga mampu mengungkapkan informasi sesuai fokus penelitian ini. Asas utama proses pengambilan foto ini adalah keadaan responden dalam kaitannya dengan tempat dan kegiatan
yang dilakukannya sehari-hari. Secara teknis keseluruhan hasil
pengambilan foto ini ditempatkan ke dalam field diary.
Bersamaan waktu dengan pengambilan foto di atas, peneliti melakukan "member check" secara total baik terhadap responden maupun kepada informan. Hal ini dilakukan karena pada kesempatan ini, peneliti relatif memiliki waktu luang dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa "member check" ini sebenamya setiap saat paling sedikit berselang-selang - diantara satu perteniuan dengan pertemuan lainnya baik terhadap responden maupun informan.
b. Obsevasipartisipasi
Untuk melengkapi data penelitian, peneliti melakukan observasi
partisipasi dengan jalan:
1) Melakukan penyuluhan bagi pemuda setempat (Karang Taruna),
dengan mengambil tempat di Kantor Kelurahan Jamika. Materi
54
Penyuluhan ini dilakukan atas permintaan lurah dan pimpinan Karang Taruna setempat.
2) Membuat peta wilayah RW 08 Kelurahan Jamika, yakni dengan memperbesar peta yang sudah ada untuk ditempel di ruang sekretariat RW 08. Kegiatan ini dilakukan atas permintaan ketua RW setempat. 3) Terlihat sebagai supporter saat dilangsungkan kejuaraan bola voli antar
kecamatan di daerah ini serta beberapa kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Manfaat utama dari kegiatan tambahan di atas, bagi peneliti dirasakan sangat besar terutama dalam hal memperlancar hubungan dengan warga setempat. Melalui kegiatan tambahan ini peneliti lebih cepat diterima sebagai "orang dalam", sehingga kesan sebagai "orang luar" pada tahap awal memasuki daerah ini lebih cepat hilang dari yang direncanakan.
D. Pengumpulan Data Penelitian
Rangkaian kegiatan pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam beberapa
tahapan, yaitu tahap perencanaan awal, tahap orientasi, tahap member check dan
tahap triangulasi
1. Tahap Perencanaan Awal
Tahap ini dilakukan dalam bentuk diskusi dengan teman-teman satu angkatan dan beberapa dosen IKIP/UPI Bandung dan selanjutnya
dikonsuhasikan dengan dosen pembina mata kuliah Studi Individual dan
55
2. Tahap Orientasi
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap orientasi ini antara lain sebagai
berikut:
a. Mencari informasi tentang kondisi Sukapakir Kelurahan Jamika
Kecamatan Bojongloa Kaler Kotamadya Bandung dan masyarakatnya secara umum dengan survey dan wawancara dengan Lurah dan tokoh
masyarakat setempat.
b. Mencari infonnasi yang bersifat umum guna memperoleh fokus penelitian
yang telah peneliti mulai sejak survey pendahuluan.
c. Melakukan survey ke lokasi penelitian khususnya lingkungan keluarga.
3. Tahap Eksplorasi
Tahap ini merupakan kegiatan penggalian data secara mendalam,
dengan mengenai lebih dekat kepada subjek penelitian, mengadakan
pengamatan permulaan terhadap lingkungan keluarga subjek penelitian.
Kegiatan-kegiatan dan interaksi antara orang tua dan anak, baik interaksi
dengan kata-kata maupun interaksi dengan perilaku, kemudian diadakan
kegiatan partisipasi bersama subjek penelitian dengan menggunakan
wawancara baik dengan orang tua maupun dengan anak. Juga kegiatan yang
lebih mendalam dilakukan dalam tahap ini adalah:
a. Menyusun instrumen, pedoman wawancara yang berkembang pada waktu
di lapangan merupakan instrumen pembantu peneliti dan mengenai lebih
dekat dengan subjek penelitian.
56
c. Menetapkan data yang diperlukan sesuai dengan permasalahan yang
sedang dikaji dalam penelitian ini.
d. Melakukan kegiatan penyusunan hasil laporan yang meliputi kegiatan mendiskripsikan, menganalisis, menafsirkan data penelitian, secara terus
menerus sampai diperkirakan mencapai gejala ketuntasan.
4. Tahap Member Check
Yang dilakukan dalam tahap ini adalah:
a. Menyusun laporan penelitian yang diperoleh pada tahap eksplorasi yang
terjadi dalam keluarga.
b. Meminta tanggapan informan guna mencek tentang kebenaran data yang
telah disusun.
c. Mengoreksi dan melengkapi hal-hal yang dirasa masih kurang atau tidak sesuai dengan fokus masalah.
5. Tahap Triangulasi
Pada tahap ini dilakukan pengecekan, pemeriksaan dari data yang telah diperoleh dari lapangan terutama untuk memperoleh keabsahan data. Hal ini
sebagaimana dikemukakan Moleong "merupakan tahap pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh yang memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu".
Pada tahap ini dilakukan cara-cara sebagai berikut: a. Membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara.
b. Membandingkan informasi dari orang tua dengan informasi dari anak atas
57
c. Membandingkan wawancara ketika subjek penelitian sendirian dengan
ketika ada orang lain.
d. Membandingkan situasi dan kondisi subjek penelitian dengan situasi dan
kondisi orang luamya.
e. Membandingkan data yang diperoleh dan pendekatan yang sama dalam
rentang waktu yang berbeda.
E. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian
Sesuai dengan jenis dan sifat penelitian ini yaitu naturalistik (kualitatif),
maka metoda analisis data yang digunakan berdasarkan pada prinsip-pronsip
penelitian ini. Adapun prinsip tersebut ditinjau dari segi prosesnya menurut Lexy
J. Moleong (1989:113) diantaranya: "..., berarti pelaksanaannya sudah dimulai
sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah
meninggalkan lapangan". Implikasinya analisis data tersebut sesegera mungkin
harus diolah agar tidak menjadi "dingin", sehingga sukar ditemukan maknanya.
Berdasarkan pendapat di atas, dalam penelitian ini peneliti sebenamya
telah melakukan analisis data sejak penyusunan fieldnotes, field diary, fieldnote
memo, interview transcript, dan pengumpulan dokumen di lapangan.
Namun mengingat perlu ada laporan rinci perihal metoda analisis data
yang lengkap. Peneliti dalam hal ini akan menjelaskan tahapan analisis data
setelah data tersebut dikumpulkan, walaupun demikian bukan berarti sama sekali
58
secara keseluruhan pada dasamya telah dilaksanakan analisis data pada saat
pengumpulan data ini beriangsung.
Adapun model analisis data ini secara keseluruhan didasarkan pada pendapat Bogdan dan Biklen, yang dalam satu kesempatan menyatakan perihal bagaimana analisis data tersebut harus dilakukan: "..., organizing it, breaking it into manageable units, synthesizing it, searchingfor patterns, discovering what is
important and what is to be learned, and deciding what you will tell other".
(1982:145)
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti telah secara implisit dan eksplisit melakukan pedoman di atas, dan untuk itu akan diuraikan dua tahapan utama analisis data sebagai pembuka jalan untuk menemukan apa yang harus dikaji lebih mendalam serta keputusan untuk mengungkapkan makna obyek penelitian ini.
Dua tahapan utama tersebut diantaranya rekapitulasi data sebagai
perwujudan dari proses mengorganisasikan data, pemilahan ke dalam unit-unit, serta sintesa data dari lapangan. Tahap selanjutnya adalah kategorisasi data sebagai upaya untuk menemukan pola dari obyek penelitian ini.
59
Untuk mengatur, mengolah data, mengorganisasikan data diperlukan ketekunan dengan penuh kesungguhan dalam memberikan makna, sekaitan
dengan analisis data, Patton (1990) menjelaskan bahwa "analisis data adalah proses mengatur data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, katagori dan satu uraian dasar". Ia membedakan dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang
signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola urutan, dan mencari hubungan di
antara dimensi-dimensi uraian. S. Nasution (1988:126) mengemukakan bahwa "analisis data adalah sebagai proses yang merinci upaya secara formal untuk menemukan thema dan merumuskan hipotesis (ide) sebagai yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada thema dan hipotesis itu".
Dari ketiga rumusan tersebut, Lexy J. Moleong (1988:88) mengemukakan bahwa "analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, katagori dan satuan uraian dasar sedemikian rupa sehingga dapat ditemukan thema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja sebagai yang dirasakan
data".
Dalam penelitian kualitatif tidak ada ketentuan untuk mengikuti satu pola
baku yang dijadikan pijakan dalam menganalisis data, sehingga peneliti mencari
sendiri metode yang dirasakan lebih cocok dengan masalah penelitiannya sesuai
dengan pendapat tersebut, Subino Hadisubroto (1988:20) mengemukakan sebagai
berikut:
60
Penelitian kualitatif dilakukan dengan menggunakan berfikir induktif.
Pospoprodjo (1986:17) mengemukakan bahwa: "suatu jalan pikiran disebut
induksi manakala berupa penarikan kesimpulan yang umum (berlaku untuk
semua.banyak) atas dasar pengetahuan tentang hal-hal yang khusus
(beberapa/sedikit).
Dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam kehidupan berkeluarga
banyak terdapat peristiwa induksi. Hal ini seperti dikemukakan oleh Pranjoto
Soetjoatmodjo (1988:18) "bahwa banyak contoh peristiwa induksi, baik dari
peristiwa ilmu maupun kehidupan sehari-hari". Untuk mendapatkan
gambaran tekniknya ditelaah melalui tahap sebagai berikut: mencari
hubungan antar data yang diperoleh, mereduksi data, mendisplay data,
menyusun draf dan sub judul, selanjutnya diperhalus dengan langkah-langkah
(a) mengolah data, (b) memilah data primer dan sekunder dan lain-lainnya,
(c) mencari data pendukung bagi data yang ditingkat keterandalannya rendah.
Kegiatan yang terakhir adalah menginterpretasikan data yang sudah
dikhususkan untuk selanjutnya dimaknakan dengan bahasa yang baik dan
benar kemudian disimpulkan.
S. Nasution (1988) dalam menganalisis data penelitian kualitatif dapat
dilakukan dengan langkah-langkah (a) reduksi data, (b) display data,
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI HASIL PENELITIAN
Pada bab terakhir ini akan dipaparkan rangkuman isi bab yang telah
dikemukakan sebelumnya, berikut kesimpulan dan rekomendasi berkenaan
dengan masalah yang diketengahkan berdasarkan hasil
penelitian
ini. Termasuk
diantaranya pemaparan mengenai ganjalan pelaksanaan studi ini secara
keseluruhan.
A. Kesimpulan
1. Pemukiman Sukapakir adalah salah satu dari sejumlah pemukiman kumuh
di Kotamadya Bandung. Dikatakan demikian karena didaerah ini
ditemukan ciri-ciri menonjol akan predikat tersebut, terutama jika
dibandingkan dengan jenis pemukiman lain yang dihuni oleh kalangan
masyarakat di atasnya. Adapun ciri-ciri yang menonjol tersebut, adalah:
secara demografis pemukiman ini dihuni oleh penduduk yang padat, baik
karena pertumbuhan alamiah maupun migrasi dari pedesaan. Secara
ekonomi rata-rata berpenghasilan rendah karena bekerja disektor-sektor
informal. Sebagian besar kondisi perumahannya berkualitas rendah atau
darurat. Kondisi kesehatan dan sanitasi lingkungan di daerah ini rendah,
sehingga dari waktu ke waktu sering dijangkiti penyakit menular. Langka
terdapat sarana dan prasarana pelayanan kota,
apabila adapun
keberadaannya tidak beriangsung lama. Pertumbuhannya terutama dari
112
segi fisik tidak terencana, pembangunan fisip rata-rata 'bersifat tambal
sulam dan berjangka pendek. Gaya hidup pedesaan maupun kemiskinan
masih dominan di daerah ini, salah satu indikatomya ditemukan banyak
rentemir serta banyak pula terjerat olehnya. Secara sosial terisolasi dari
kalangan masyarakat di atasnya,
dan secara politik keberadaan
penduduknya sering dijadikan sebagai objek bagi kepentingan politik
tertentu. Berdasarkan ciri-ciri di atas di daerah ini ditemukan pula gejala
penyimpangan perilaku yang cukup tinggi baik berbentuk kenakalan remaja, kriminal, perjudian, maupun prostitusi, dua hal terakhir ini dilakukan secara terbuka maupun terselubung.
2. Berdasarkan ciri-ciri yang menonjol di atas, penduduk daerah ini menyandang status sosial ekonomi yang rendah. Perwujudannya di
uraikan di bawah ini:
2.1 Gaya hidup
Kemiskinan yang dialaminya telah menjadi sub budaya dengan implikasi : orientasi hidup yang berjangka pendek dan praktis, secepat mungkin mengharapkan anak-anaknya "mandiri" tanpa membekali keterampilan memadai bagi masa depannya, dan dalam hal-hal
tertentu mengharapkan perubahan hidupnya melalui cara-cara
tradisional (mistik dan bersipat spekulatif) 2.2 Kondisi Perumahan
Kondisi perumahan yang buruk serta tingkat hunian yang melebihi
113
usahanya, mengakibatkan secara : spikologis, kesehatan, sanitasi perumahan, rumah tersebut tidak layak untuk dihuni.
2.3 Pola Konsumsi
Seluruh penghasilan pada hari itu kadang-kadang tidak dapat memenuhi kebutuhan primer, terutama pangan. Oleh karena itu keadaan ini memaksa mereka menomorduakan kebutuhan lainnya seperti sandang, kesehatan, perbaikan rumah maupun pendidikan anak-anaknya.
2.4 Latar Belakang Pendidikan Orang Tua
Putus sekolah pada jenjang pendidikan SD maupun SLTP adalah rata-rata latar belakang pendidikan orang tua di daerah ini. Apalagi jika di runut kebelakang satu generasi dari para orang tua (saat ini), dahulunya orang tua (kakek dan neneknya anak-anak) mayoritas sebagai buruh tani buta hurup di pedesaan. Berdasarkan kenyataan ini para orang tua (saat ini) ditambah dengan keterbatasan lainnya, merasa kesulitan untuk menyekolalikan anak-anak pada jenjang
pendidikan SD apalagi di atasnya. Kesulitan-kesulitan tersebut
berkisar pada : bagaimana membiayainya, bagaimana memotivasi
serta menghadapi kesulitan belajar anak dan bagaimana memahami
apa makna (manfaat, tujuan, dan fungsi) sekolah bagi kehidupannya. 3. Berkenaan dengan keberadaan penduduk di daerah ini yang rata-rata
berstatus sosial ekonomi rendah, ditemukan sejumlah kriteria utama dalam
114
3.1 Sedapat mungkin jaraknya harus dekat dengan rumah dan bisa
ditempuh dengan berjalan kaki, maksudnya untuk menghilangkan
biaya transportasi.3.2 Biaya (SPP - sumbangan pembiayaan pendidikan) yang dalam hal ini
dikelola BP3 diusahakan serendah mungkin.
3.3 Tindakan guru dan kepala sekolah dalam hal pungutan-pungutan lain
di luar SPP (BP3), dalam hal ini didasarkan pada : bagaimana situasi
tabungan anak-anaknya, berapa besar biaya perpisahan murid kelas
VI, berapa besar biaya piknik dan pungutan (sumbangan) wajib
maupun sukarela lainnya.
3.4 Besamya NEM (Nilai Evaluasi Mumi), karena melalui rata-rata NEM yang baik dari sekolah ini, memungkinkan anak tersebut di terima
SLTP Negeri. Hal ini dapat menghemat biaya sekolah dibandingkan
jika anak tersebut melanjutkan pendidikan ke SLTP Swasta.
4. Berdasarkan butir 3 di atas, kenyataannya penduduk di daerah ini dalam
kurun waktu 1993 - 1998 sangatlah sedikit di terima di SD Negeri. Hal ini
terjadi karena pada saat itu kapasitas SD Negeri masih terbatas
dibandingkan dengan calon murid sehingga diperlukan seleksi yang relatif
ketat dalam berbagai hal akibatnya :
4.1 Banyak yang tidak diterima di SD Negeri sehingga dengan sangat
terpaksa mereka bersekolah di SD Swasta yang biaya sekolahnya
relatif lebih tinggi serta mutunya rata-rata dibawah SD Negeri. Namun
anak-anak yang bersekolah di SD Swasta ini rata-rata mereka tidak
beriangsung sebagaimana mestinya sehingga banyak diantaranya
115
5. Sejak dicanangkan wajib belajar tanggal 2 Mei 1984 hingga sekarang,
penyelenggaraan pendidikan dasar di daerah ini mengalami perubahan.
Perubahan tersebut, diantaranya :
5.1 Hampir seluruh anak usia sekolah dasar termasuk yang berusia lebih
dari tujuh dan delapan tahun diterima menjadi murid SD Negeri.
5.2 Kriteria pemilihan sekolah seperti dipaparkan butir 3 di atas, tidak lagi
dilakukan berdasarkan antar kompleks sekolah (biasanya terdapat
beberapa sekolah dasar) melainkan dilakukan antar satu sekolah dasar
dari setiap kompleks sekolah.
5.3 Beberapa buah SD swasta di daerah ini mengalami kekurangan murid,
malahan beberapa diantaranya menutup kegiatannya. Menurut para
guru dan kepala sekolah juga aparat pemerintah setempat, gejala ini
timbul selain karena dibangunnya gedung-gedung SD Negeri baru
juga karena keberhasilan program Keluarga Berencana.
5.4 Satu hal yang menonjol dari masuknya anak-anak berusia lebih dari tujuh dan diterima menjadi murid kelas satu pada saat awal pencanangan gerakan wajib belajar, mereka ini lebih sering mengalami kegagalan baik tinggal kelas maupun putus sekolah, dibandingkan anak-anak yang pada saat kelas satu berusia enam tahun. Menurut para guru dan kepala sekolah, diduga penyebabnya mereka merasa malu karena secara fisik bisanya lebih besar dari
teman-temannya, begitu juga umumya lebih tua. Semua ini
menimbulkan ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan
116
6. Dalam konteks mikro yaitu keluarga, penyebab kegagalan bersekolah baik
berupa tinggal kelas maupun putus sekolah ditingkat sekolah dasar,
berpusat disekitar :
6.1 Orang Tua
Status sosial-ekonomi yang rendah yang diwujudkan dalam bentuk
gaya hidup kemiskinan, kondisi perumahan yang buruk, pola
konsumsi yang terbatas, serta latar belakang pendidikan yang rendah,
menjadikan upaya menyekolahkan anak-anaknya sebagai sesuatu yang
mahal dan berat. Mengingat rata-rata mereka ini berkeluarga besar
(lebih dari dua anak) : anak yang lebih tua terutama anak sulung
diharapkan secepatnya "mengundurkan diri" atau putus sekolah, agar
kedudukannya dapat diganti oleh adik-adiknya, apalagi jika anak yang
bersangkutan pemah mengalami tinggal kelas, cara ini mereka
namakan giliran bersekolah; cara lain yaitu dengan menunda
mendaftarkan anaknya bersekolah walaupun umur anak yang
bersangkutan telah termasuk usia sekolah dasar; bagi sebagian
keluarga yang masih memiliki sifat-sifat "nomaden" antara daerah
asalnya dengan tempat tinggal sekarang, mereka sering merasa
kerepotan
mengurus
pendidikan
anak-anaknya
karena
sering
berpindah tempat tinggal.
6.2 Keberadaan orang tua dengan segala keterbatasannya khususnya
dalam hal status sosial ekonomi yang rendah, ditambah faktor internal
117
disekitar intelektual, fisik dan kesehatan, serta mental, menjadikan
kegiatan bersekolah sebagai sesuatu yang tidak menggairahkannya.
Beban ini oleh anak-anak diantaranya diekspersikan dalam bentuk
reaksi negatif baik terhadap dirinya sendiri, orang tua, guru dan
sekolah, maupun kepada lingkungannya.
7. Terdapat dua pilihan utama bagi anak-anak yang mengalami putus sekolah
ditingkat sekolah dasar; pertama, menjadi penganggur usia muda; kedua,
memasuki dunia kerja. Dua pilihan tersebut pada hakikatnya merupakan
suatu "keterpaksaan" memasuki kehidupan masyarakat secara dini, karena
kesiapan mental, fisik, psikologis, dan sosial sama sekali belum memadai.
8. Gejala putus sekolah yang dialami anak-anak di daerah ini pada
tahap-tahap awal mereka di sekolah dasar, mengakibatkan sebagian besar
darinya menyandang buta hurup. Terlepas dari penyebab terjadinya putus
sekolah, adanya gejala buta hurup itu sendiri dikalangan anak-anak di
daerah ini merupakan pencerminan belum atau tidak tercapainya misi
pendidikan umum dalam pengertian elementer (membaca, menulis, dan
berhitung), dari penyelenggaraan pendidikan dasar di daerah ini.
9. Penduduk di pemukiman kumuh mendatang bahwa sekolah dasar
berfungsi sebagai lembaga pembentukan kepribadian, hal ini diungkapkan
dengan tipikal di kalangan mereka: "semakin lama seorang anak
118
pula mereka memandang fungsi sekolah secara pragmatis dilihat dari
pembinaan kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Tiga kemampuan dasar ini perlu dimiliki dengan tujuan tipikal: "supaya
tidka mudah ditipu orang".
10. Kenyataannya persepsi penduduk di pemukiman kumuh seperti
dedeskripsikan butir 1 di atas, upaya menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah dasar dianggap sebagai sesuatu yang mahal dan berat. Mahal
bukan berarti pemenuhan biaya secara perorangan bagi kepentingan anak
yang bersangkutan belaka, melainkan menyangkut perimbangan keuangan
dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok seluruh anggota keluarga
sehari-hari. Dan berat dalam arti keterbatasan kemampuan bagaimana
memecahkan segala masalah yang ditimbulkannya tennasuk bagaimana
memotivasi belajar anak, semua ini berada di luar jangkauannya.
11. Mengingat penduduk di pemukimam kumuh ini sudah menempatkan
kemiskinan yang dideritanya sebagai sub budaya, demikian pula dalam hal
menghadapi kegagalan pendidikan anak-anaknya, mereka menganggap
bukan suatu masalah melainkan sebagai sesuatu yang lumrah. Lumrah
dalam arti kegagalan pendidikan tersebut sudah merupakan bagian dari
sikap mental mereka. Oleh karena itu apabila terjadi kegagalan dalam
mengupayakan pendidikan anak-anaknya, mereka telah "siap" menghadapi
119
12. Dilihat menurut proses berlangsungya kegagalan pendidikan baik tinggal
kelas maupun putus sekolah, salah satu penyebab utama selain karena
problema pribadi anak dan pengaruh lingkungan, juga karena penerapan
pola pengasuhan anak "statis" oleh orang tuanya. Oleh karena itu dalam
kenyataannya apabila ditinjau dari segi peningkatan taraf hidup keluarga
melalui upaya pendidikan, yang terjadi adalah "stagnasi" yang cenderung
ke arah penurunan taraf hidup. Hal ini terjadi karena walaupun orang
tuanya berlatar belakang pendidikan rendah namun tidak menyandang buta
huruf, sebaliknya banyak diantara anak-anaknya saat ini yang mengalami
putus sekolah namun menyandang buta huruf.
13. Bagi anak-anak yang mengalami putus sekolah di tingkat sekolah dasar,
mereka dihadapkan pada situasi "keterpaksaan" untuk memasuki
kehidupan masyarakat secara dini.
14. Kasus-kasus kegagalan pendidikan beserta implikasinya seperti yang
diuraikan di atas, merupakan umpan balik yang berharga bagi
pengembangan pendidikan umum baik sebagai suatu konseptual maupun
sebagai suatu program. Dengan demikian diharapkan untuk masa-masa
mendatang misi pendidikan umum seperti yang secara implisit dikandung
dalam gerakan wajib belajar, dapat ditingkatkan lagi intensitas dan
120
B. Rekomendasi Hasil Penelitian
1. Penelitian tentang upaya menyekolahkan anak di pemukiman kumuh seperti ini baru dilaksanakan pada tahap permulaan, sehingga banyak aspek yang belum dapat diungkapkan karena keterbatasan penguasaan metoda, keterbatasan waktu, tenaga, dan dukungan dana. Oleh karena itu perlu ada penelitian lebih lanjut yang lebih terarah, mendalam serta menyeluruh dalam segala seginya. Sejumlah pemahaman yang lebih utuh dan berdaya guna bagi pengembangan pendidikan pada umumnya.
2. Ditinjau dari pencanangan gerakan wajib belajar sejak tanggnal 2 Mei 1984, layaknya semua anak usia sekolah dasar khususnya di perkotaan dalam hal ini di pemukiman kumuh, telah mengenyam pendidikan dasar serta mampu menamatkannya hingga sekurang-kurangnya kemampuan melek hurup fungsional. Namun dalam kenyataannya bagi penduduk di pemukiman kumuh, masih terdapat beberapa pihak yang telah mengenyam beberapa tahun pendidikan dasar, karena berbagai hal berkaitan dengan status sosial ekonomi rendah yang mereka alami, secara "terpaksa" harus mengalami putus sekolah dengan masih menyandang buta hurup.
3. Keberadaan anak-anak usia sekolah dasar yang mengalami putus sekolah
khususnya yang masih menyandang buta hurup, merupakan gejala yang mengkhawatirkan terutama apabila ditinjau dari pengembangan sumber daya manusia yang saat ini sedang digalakkan. Oleh karena itu diperlukan
lembaga pendidikan alternatif berupa pendidikan non-fomial mulai dari
121
pendidikan alternatif tersebut dapat ditumbuh-kembangkan segi-segi kognisi, afeksi, dan psikomotor anak-anak dikalangan penduduk pemukiman kumuh yang selama ini belum digarap sebagaimanamestinya.
4. Mengingat masyarakat di pemukiman kumuh rata-rata memiliki
karakteristik yang khas dibandingkan dengan kalangan masyarakat di atasnya, oleh karena itu perlu ada pendekatan khusus demi menghilangkan sekecil faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pendidikan diantara mereka. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan sekolah dasar di pemukiman ini selain kepala sekolah dan guru, juga
DAFTAR PUSTAKA
Abas Asyafah. 1990.
Pendidikan Umum dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional-Makalah:
disajikan dalam diskusi rutin
dosen-dosen Jurusan MKDU-FPIPS IKIP Bandung.
Ag. Soedjono. 1980.
Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum,
Bandung : CV Ilmu.
Astrid S. Susanto.
1984Sosiologi Pembangunan,
Jakarta : Bina Cipta.
Bergel E.E. 1970. The Nature of Slums - dalam Desain dan Devades Pillai
(Ed.) Slum and Urbanization,
Bombay : Popular Prakashan.
Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Biklen. 1982.
Qualitattive Research fo
Education : An Introduction to Theory and Methods,
Boston : Allyn
and Bacon. Inc.Brown J., Francis. 1961.
Educational Sociology,
Tokyo : Prentice Hall, Inc.
Burgess. 1986Sociology, Education and School : An Introduction to The Sociology of Education,London : B.T Batsford Ltd.
Combs W, Arthur et. Al. 1988.
Pendidikan Humanistik : Tujuan dan Penilaian
(Terjemahan : Adang Affandi), Bandung : Ewing Offset.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1979.
Pokok-pokok Pikiran
Pembaruan Pendidikan Nasional : Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional, Jakarta : Dept. P & K.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989.
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Penjelasannya,Jakarta : Dept. P & K.
French, Will, et.al. 1957.
Behavioral Goal af General Education in High
School,New York : Russel Sage Publication.Hadari Nawawi. 1989. Pengelolaan Pendidikan Dasar 9 Tahun untuk Menjawab Tantangan Masa Depan - Mimbar Pendidikan No. 4
Tahun VIII Desember 1989,
hal. 37 - 44, Bandung : University Press
IKIP Bandung.
Hallahan, Daniel P. dan Kauffman James M. 1978.
Exceptional Children
Introduction to Special Education. USA: Prentice Hall Inc.
123
Halsey A.H. 1972.
Educational Priority,
London
:
HMSO
Jamil Bakar. 1989.
Pokok-pokok Pikiran tentang Pendidikan Dasar 9 Tahun
untuk Menjawab Tantangan Masa Depan - Mimbar Pendidikan No.
3 Tahun VIII September 1989,
hal. 23 - 33, Bandung : University Press
IKIP Bandung.
Koentjaraningrat. 1986.
Metode-metode Penelitian Masyarakat,
Jakarta: Gramedia.
Le Vine A. Robert & White I. Merry. 1986.
Human Conditions : The Culture
Basis of Educational Development,
New York : Routledge & Kegan
Paul.
Lewis, Oscar. 1988.
Kisah Lima Keluarga : Telaah-telaah Kasus Orang
Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan,
(Terjemahan : Rochmulyati
Hamzah), Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Lexy J. Moleong. 1989.
Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung : CV
Remadja Karya.
Nana Syaodih Sukmadinata. 1984.
Prinsip dan Landasan Pengembangan
Kurikulum,Jakarta : PL2 LPTK.
Nasution S. 1988.
Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif,
Bandung : Tarsito
Nursid Sumaatmadja. 1989.
Studi Lingkungan Hidup,
Bandung: Alumni.
Nursid Sumaatmadja. 1998.
Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan
Lingkungan Hidup,Bandung: Alfabeta.
O'Connor, Mauren. 1977.
Your Child's Primary School,
London : HMSO.
Phenix, Philip H. 1964.
Realems of Meaning
A
Philosophy of Curriculum of
General Education, New York : Mc. Graw Hill.
Ramlan Surbakti. 1984.
Kemiskinan di Kota dan Program Perbaikan
Kampung - Prisma 6,1984 Tahun XIII, Jakarta : LP3ES.Robinson, Philip. 1976.
Education and Proverty - Contemporary Sociology og
The School, London : Mathuen.
Schatzman, Leonard & Strauss, L. Anselm. 1973.
Fields Research : Strategies
for a Natural Sociology, London : Prentice Hall.
Sudardja Adiwakarta. 1988.
Sosiologi Pendidikan : Isyu dan Hipotesis tentang
124
Taylor &Ayres. 1969.
Born and Bred Unequal,
London : Longman
Whitehead A. N. 1955.
The Aims of Education and Other
Essays, London:
William and Norgate Limited.
Winamo Surakhmad. 1980.
Mewujudkan Nilai-nilai Hidup Tingkah Laku: