BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses pembelajaran adalah proses pendidikan dalam lingkup
persekolahan. Di dalamnya terjadi proses sosialisasi individu siswa dengan
lingkungan sekolah, seperti guru, sumber/fasilitas, dan teman sesama siswa. Pola
interaksi antara guru dengan siswa pada hakekatnya adalah hubungan antara dua
pihak yang setara, yaitu interaksi antara dua manusia yang tengah mendewasakan
diri, meskipun yang satu telah ada pada tahap yang seharusnya lebih maju dalam
aspek akal, moral, maupun emosional. Dengan kata lain guru dan siswa
merupakan subyek, karena masing-masing memiliki kesadaran dan kebebasan
secara aktif. Menyadari pola interaksi tersebut akan dimungkinkan keterlibatan
mental siswa secara optimal dalam merealisasikan pengalaman belajar.
Pada tahap awal, matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam
dunianya secara empiris, karena matematika sebagai aktivitas manusia kemudian
pengalaman itu diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis
dengan penalaran di dalam struktur kognitif, sehingga sampailah pada suatu
kesimpulan berupa konsep-konsep matematika. Agar konsep-konsep matematika
yang telah terbentuk itu dapat dipahami orang lain dan dapat dengan mudah
dimanipulasi secara tepat, maka digunakan notasi dan istilah yang cermat yang
disepakati bersama secara global (universal) yang dikenal dengan bahasa
Matematika adalah salah satu pelajaran yang dikembangkan di seluruh
negara di dunia. Ini tidak terlepas dari sifatnya sebagai pelayan ilmu pegetahuan
yang lain. Matematika juga telah banyak memberikan sumbangan dalam
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak konsep
matematika yang erat sekali kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Untuk mengaitkan matematika dalam kehidupan sehari-hari diperlukan
penunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum
matematika perlu dirancang sedemikian rupa sehingga konsep matematika yang
abstrak dengan contoh dalam kehidupan nyata. Pada penerapan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru matematika diharapkan dapat
melakukan penyesuaian atau perubahan terhadap pendekatan dalam menyajikan
matematika kepada siswanya. Guru matematika diharapkan bersedia
meninggalkan pendekatan pengajaran matematika pola lama yang sekiranya sulit
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang lebih menekankan pada penataan nalar
matematika.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006), pembelajaran
matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah sesuai dengan situasi.
Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing
untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan
pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya.
Soedjadi (2000) menilai bahwa selama ini sebagian besar guru
siswanya dengan tahap-tahap: menyajikan teori, definisi atau teorema dilanjutkan
dengan memberikan contoh dan diakhiri dengan latihan soal-soal. Pendapat ini
memang mempunyai kesesuaian dengan apa yang dialami maupun diamati oleh
peneliti di lapangan. Tahap awal pengajaran matematika yang demikian
dimaksudkan oleh guru sebagai upaya “penanaman” konsep atau prinsip ke dalam
pikiran siswa. Guru berkeyakinan bahwa hanya dengan diberikannya konsep atau
prinsip sejak awal, maka para siswa akan dapat menyelesaikan soal-soal yang
diberikan selanjutnya.
Pada model pembelajaran secara konvensional, ternyata hasil belajar
siswa jauh dari harapan. Hasil belajar yang dimaksud adalah meliputi: keaktifan
siswa dalam belajar, kemampuan berpikir matematis yang dimiliki dalam
memecahkan masalah, prestasi belajar dan nilai tes akhir siswa. Kenyataan di
lapangan masih banyak kita jumpai siswa yang prestasi matematikanya rendah,
bahkan Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa “terdapat banyak anak yang setelah
belajar matematika bagian yang sederhana pun banyak yang tidak dipahaminya,
bahkan banyak konsep yang dipahami secara keliru. Matematika dianggap sebagai
ilmu yang sukar, ruwet dan banyak memperdayakan”. Hal ini membuktikan
bahwa banyak anak yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika, karena
kebanyakan dari mereka bukan memahami konsepnya melainkan menghapalnya.
Anggapan negatif terhadap matematika terjadi dalam pembelajaran
matematika di Madrasah Aliyah (MA). Matematika masih dianggap sebagai mata
pelajaran yang sulit dan banyak siswa yang merasa takut jika belajar matematika.
2011/2012 untuk tingkat MA yang masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) sehingga guru harus melakukan kegiatan remedial untuk
tercapainya KKM. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran
matematika adalah kemampuan guru serta sikap guru dalam memberikan
pembelajaran dan menggunakan strategi pembelajaran. Dari hasil studi
pendahuluan diperoleh bahwa pada umumnya di madrasah-madrasah yang berada
di Kabupaten Majalengka pembelajaran hanya terfokus pada menghapal materi
pembelajaran yang mengakibatkan lemahnya proses berpikir siswa. Mereka hanya
dituntut menghafal dan mengingat informasi dan mengumpulkannya tanpa
dituntut memahami informasi yang diperolehnya. Kemampuan berpikir kritis
yang dirasakan guru masih belum maksimal tertanam dalam siswa. Selain itu,
kegiatan pembelajaran biasanya difokuskan untuk melatih siswa terampil
menjawab soal matematika dan selalu berorientasi hanya kepada nilai akhir
(angka), sehingga penguasaan dan penalaran matematika terabaikan.
Permasalahan di atas tidak bisa ditumpahkan semuanya kepada guru
sebagai pengajar. Menurut Departeman Pendidikan Nasional (2003), kemampuan
berpikir kritis, kreatif, sistematis dan logis sangat mungkin dimunculkan dalam
pembelajaran matematika di MA karena mengingat semua kemampuan tersebut
merupakan bagian dari tujuan pembelajaran matematika.
Pentingnya mengajarkan dan mengembangkan kemampuan berpikir
kritis harus dipandang sebagai sesuatu yang urgen dan tidak bisa disepelekan lagi.
Sungguh sangat naif apabila kemampuan berpikir kritis diabaikan oleh guru.
sangat penting, mengingat beberapa hasil penelitian masih mengindikasikan
rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia.
Tim Survey IMSTEP-JICA (1999) di kota Bandung menemukan
sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk mempelajarinya dan oleh
guru untuk mengajarkannya antara lain, pembuktian pemecahan masalah yang
memerlukan penalaran matematis, menemukan, generalisasi atau konjektur, dan
menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan.
Kegiatan-kegiatan yang dianggap sulit tersebut, kalau kita perhatikan merupakan Kegiatan-kegiatan
yang menuntut kemampuan berpikir kritis. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hasil survei tersebut menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan jika
dihadapkan kepada persoalan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis.
Hasil penelitian Wahyudin (1999) menemukan bahwa rata-rata tingkat
penguasaan matematika siswa dalam pelajaran matematika adalah 19,4% dengan
simpangan baku 9,8. Juga diketahui bahwa model kurva berkaitan dengan tingkat
penguasaan para siswa adalah positif (miring ke kiri) yang berarti sebaran tingkat
penguasaan siswa tersebut cenderung rendah.
Secara rinci Wahyudin (1999) menemukan bahwa salah satu
kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik
pokok-pokok bahasan dalam matematika yaitu siswa kurang memahami dan
menggunakan nalar yang baik dalam menyelesaikan soal atau persoalan yang
diberikan.
Untuk itu diperlukan sebuah model pembelajaran sebagai pola interaksi
di kelas. Peneliti memperkirakan bahwa penggunaan model pembelajaran
kooperatif merupakan salah satu alternatif untuk dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis dan penalaran matematis siswa. Pada model pembelajaran
kooperatif diperlukan keterampilan dan kerjasama siswa dan kelompoknya,
melatih siswa dalam berpikir kritis sehingga kemampuan siswa dalam memahami
materi pelajaran yang disampaikan dapat meningkat. Menurut Hamalik (1990)
pengertian pembelajaran kooperatif adalah prosedur belajar mengajar melalui
kegiatan bersama untuk mencapai suatu tujuan.
Falsafah yang mendasari model pembelajaran kooperatif dalam
pendidikan adalah falsafah homo homini socius. Berlawanan dengan teori Darwin
(siapa yang kuat adalah siapa yang menang dan bertahan dalam kehidupan),
falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerjasama
merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup.
Tanpa kerjasama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah.
Ironisnya, model pembelajaran cooperative learning belum banyak
diterapkan dalam pendidikan, walaupun orang Indonesia sangat membanggakan
sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan guru enggan
menerapkan sistem kerjasama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan yang
utama adalah kekhawatiran bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan siswa tidak
belajar jika mereka ditempatkan dalam grup. Selain itu, banyak orang mempunyai
kesan negatif mengenai kegiatan kerjasama atau belajar dalam kelompok. Banyak
siswa juga tidak senang disuruh bekerjasama dengan yang lain. Siswa yang tekun
siswa yang kurang mampu merasa minder ditempatkan dalam satu grup dengan
siswa yang lebih pandai.
Kesan negatif mengenai kegiatan bekerja/belajar dalam kelompok ini
juga bisa timbul karena ada perasaan was-was pada anggota kelompok akan
hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan
diri dengan kelompok.
Sebenarnya, pembagian kerja yang kurang adil tidak perlu terjadi dalam
kerja kelompok, jika pengajar benar-benar menerapkan prosedur model
pembelajaran kooperatif. Banyak guru hanya membagi siswa dalam kelompok
lalu memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu tanpa pedoman mengenai
pembagian tugas. Akibatnya, siswa merasa ditinggal sendiri, dan karena mereka
belum berpengalaman, merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus
bekerjasama menyelesaikan tugas tersebut. Kekacauan dan kegaduhanlah yang
terjadi.
Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam
kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya
dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur
model cooperative learning dengan benar akan memungkinkan pendidik
mengelola kelas dengan lebih efektif.
Lie (2002) menyebutkan bahwa ada 5 unsur model pembelajaran
cooperative learning, yaitu:
2. Adanya tanggung jawab perseorangan. Artinya setiap anggota kelompok harus
melaksanakan tugasnya dengan baik untuk keberhasilan tugas kelompok.
3. Adanya tatap muka, setiap kelompok harus diberi kesempatan untuk bertatap
muka dan berdiskusi.
4. Harus ada komunikasi antar anggota. Dalam hal ini tentu siswa harus dibekali
dengan teknik berkomunikasi.
5. Adanya evaluasi proses kelompok, yang dijadwalkan dan dilaksanakan oleh
guru.
Terdapat beberapa tipe pembelajaran menurut jenis kegiatannya dalam
pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin (1995) pembelajaran kooperatif
dibedakan dalam beberapa tipe, diantaranya:
Student-Teams-Achievement-Division (STAD), Teams-Games-Tournaments (TGT),
Teams-Assisted-Individualizations (TAI), Cooperative-Integrated-Reading and Composition
(CIRC), Jigsaw Group-Investigation-Go-a Round (JGIGR), Think-Pair and Share
(TPS), Make a Match, Numbered-Head-Teams (NHT).
Pembelajaran TGT merupakan pembelajaran kooperatif yang cukup
mudah dan sederhana untuk diterapkan di kelas serta melibatkan aktivitas seluruh
siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor
sebaya dan mengandung unsur permainan dan penguatan (reinforcement).
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran
kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping
menumbuhkan tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan
lainnya adalah pada TGT menggunakan turnamen akademik, menggunakan
kuis-kuis, dan sistem skor kemajuan individu sehingga para siswa berlomba sebagai
wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kemampuan akademiknya setara.
Hasilnya, siswa-siswa yang berprestasi rendah pada setiap kelompok memiliki
peluang yang sama untuk memperoleh poin bagi kelompoknya sebagai siswa yang
berprestasi tinggi. Meskipun keanggotaan kelompok tetap sama, tetapi siswa yang
mewakili kelompok untuk bertanding dapat berubah-ubah atas dasar penampilan
dan prestasi masing-masing anggota. Misalnya mereka yang berprestasi rendah,
yang mula-mula bertanding melawan siswa-siswa kemampuannya sama dapat
bertanding melawan siswa-siswa yang berprestasi tinggi ketika mereka menjadi
lebih mampu.
Alasan mengapa dalam penelitian ini TGT dilakukan di MA adalah
menumbuhkan motivasi belajar siswa MA yang cenderung kurang. Adanya
dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan dalam model
pembelajaran kooperatif tipe TGT, diharapkan dapat di nikmati siswa sebagai
proses pembelajaran dengan situasi yang menyenangkan dan termotivasi untuk
belajar lebih giat yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat konsentrasi,
kecepatan menyerap materi pelajaran, dan kematangan pemahaman dan penalaran
terhadap sejumlah materi pelajaran sehingga hasil belajar mencapai optimal.
Berdasarkan teori kognitif (Slavin:1995) yang menyatakan bahwa
interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugas-tugas yang sesuai
meningkatkan penguasaan mereka terhadap konsep kritik serta mampu
kemampuan berpikir kritis dan penalaran matematis siswa digali melalui
pembelajaran kooperatif tipe TGT.
Pembelajaran kooperatif tipe TGT sesuai bila diterapkan dalam
pembelajaran matematika pada materi pokok Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers
karena pada materi ini menuntut siswa untuk dapat berpikir kritis dan
menggunakan penalaran untuk menyelesaikannya. Sementara itu, siswa banyak
mengalami kesulitan dalam mempelajari materi tersebut dan kebanyakan siswa
kurang aktif untuk bertanya kepada guru mereka tentang kesulitan yang mereka
alami, sehingga dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe TGT
diharapkan siswa dapat aktif dalam memahami materi yang disampaikan dengan
aktif berdiskusi dan saling bertukar pengetahuan dengan teman sekelompok.
Menurut Hurt (2008) menggunakan model pembelajaran kooperatif TGT
di kelas membantu guru untuk meningkatkan keterlibatan di antara siswa. Dalam
pembelajaran kooperatif tipe TGT ini kelompok merupakan komponen terpenting,
setiap anggota kelompok diharapkan dapat melakukan sesuatu yang terbaik untuk
kelompoknya. Guru berkeyakinan bahwa dengan melibatkan siswa secara aktif ke
dalam pengalaman konkrit, subjek yang diajarkan dapat mudah dimengerti oleh
siswa dan membuat siswa lebih mengerti, akan meningkatkan daya minat siswa,
siswa lebih percaya diri, dan akhirnya akan bersemangat untuk terus
mempelajarinya.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rangka memperbaiki mutu
pendidikan di Indonesia khususnya meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
berkaitan dengan pembelajaran kooperatif yang diberi judul “Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-Games-Tournaments untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Penalaran Matematis Siswa Madrasah Aliyah”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Sejauh manakah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa MA yang
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT dibandingkan dengan siswa
yang menggunakan pembelajaran biasa?
2. Sejauh manakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa MA yang
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT dibandingkan dengan siswa
yang menggunakan pembelajaran biasa?
3. Bagaimanakah aktivitas siswa MA dalam pembelajaran matematika yang
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT?
4. Bagaimanakah sikap siswa MA terhadap pembelajaran kooperatif tipe TGT?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran tentang peningkatan kemampuan berpikir kritis
siswa MA yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe TGT dibandingkan
dengan siswa yang menggunakan pembelajaran biasa.
2. Untuk memperoleh gambaran tentang peningkatan kemampuan penalaran
matematis siswa MA yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe TGT
3. Untuk mengetahui aktivitas siswa MA dalam pembelajaran matematika yang
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT.
4. Untuk mengetahui sikap siswa MA dalam pembelajaran matematika yang
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai suatu pembelajaran
alternatif yang berarti bagi guru, siswa dan sekolah. Untuk lebih jelasnya manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi guru, dapat menjadi masukan dalam mengembangkan pembelajaran yang
berpusat pada siswa serta memperluas pengetahuan dan wawasan mengenai
alternatif pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan kemampuan
berpikir kritis dan penalaran matematis siswa.
2. Bagi siswa, pembelajaran kooperatif tipe TGT mendorong siswa untuk belajar
mandiri dengan buku siswa dan Lembar Kerja Siswa (LKS).
3. Bagi para calon guru, sebagai bahan masukan untuk lebih mengetahui
alternatif-alternatif metode mengajar dalam usaha meningkatkan prestasi
belajar siswa.
4. Bagi peneliti bidang sejenis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah
satu dasar dan masukan dalam mengembangkan penelitian-penelitian
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa MA yang mendapat
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran biasa.
2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa MA yang mendapat
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran biasa.
F. Definisi Operasional
Dalam rangka memperoleh persamaan persepsi dan menghindarkan
penafsiran yang berbeda dari beberapa istilah dalam penelitian ini, maka perlu
diperjelas istilah-istilah yang digunakan supaya lebih operasional yaitu:
1. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah bentuk pembelajaran yang dilakukan oleh
suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk
menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan
sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya.
2. Pembelajaran kooperatif tipe TGT
Pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah semacam ajang kompetisi
(pertandingan) yang melibatkan semua siswa bersaing ketika mewakili
kelompok masing-masing. Dalam pembelajaran ini, siswa belajar dengan
bantuan bahan ajar dan LKS secara berkelompok, berdiskusi guna menemukan
jawab. Hasil belajar kelompok tersebut dipertandingkan dengan kelompok
lainnya guna memperoleh penghargaan berupa pujian (misalnya kelompok
super) dari guru. Dalam pembelajaran tipe TGT ini menekankan pada
penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, kemampuan
berkompetisi dan memperoleh kesempatan yang sama untuk berhasil bagi
setiap anggota kelompok.
3. Berpikir Kritis Matematis
Berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif
dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan,
mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-merupakan bentuk
berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah,
merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan
membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara
efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan
kegiatan mengevaluasi-mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil
manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan.
Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung
kepada fokus yang akan dituju. Berpikir kritis dalam matematika adalah
berpikir yang menguji, mempertanyakan, menghubungkan, mengevaluasi
semua aspek yang ada dalam suatu situasi ataupun suatu masalah.
4. Penalaran Matematis
Penalaran adalah proses berfikir yang dilakukan dengan satu cara untuk
kasus-kasus yang bersifat individual. Tetapi dapat pula sebaliknya, dari hal yang
bersifat individual menjadi kasus yang bersifat umum. Bernalar adalah
melakukan percobaan di dalam pikiran dengan hasil pada setiap langkah dalam
untaian percobaan itu telah diketahui oleh penalar dari pengalaman tersebut.
Penalaran matematis dilakukan dengan mengajukan dugaan, melakukan
manipulasi matematika, menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan
alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi, menarik kesimpulan dari
pernyataan, memeriksa kesahihan suatu argumen; menemukan pola atau sifat
dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
5. Pembelajaran biasa
Pembelajaran biasa adalah pembelajaran tradisional yang biasa dilakukan oleh
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dalam penerapan
pembelajaran kooperatif tipe TGT untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan penalaran matematis siswa. Penelitian ini dilakukan atas dasar hasil observasi
terhadap proses pembelajaran di MA. Pada MA, pembelajaran difokuskan untuk
melatih siswa terampil menjawab soal matematika dan selalu berorientasi hanya
kepada nilai akhir (angka), sehingga penguasaan dan penalaran matematika
terabaikan.
Rencana pembelajaran yang telah disusun berupa penerapan
pembelajaran koperatif tipe TGT. Kajian difokuskan pada aktivitas siswa selama
pembelajaran, cara berpikir kritis siswa, penalaran siswa dan sikap siswa terhadap
pembelajaran kooperatif tipe TGT.
B. Desain Penelitian
Desain merupakan kerangka, pola, atau rancangan yang menggambarkan
arah penelitian. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan desain
penelitian berbentuk Pre-test Post-test Control Group Design. Di dalamnya
terdapat langkah-langkah atau tahap-tahap yang menunjukkan suatu urutan
kegiatan penelitian yaitu pretes, perlakuan dan postes. Kelas yang pertama adalah
kelas eksperimen (X) dan kelas yang kedua adalah kelas kontrol. Menurut
A: O X O
A: O O
Keterangan:
A = Pemilihan sampel secara acak kelas
O = Tes awal, tes akhir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
Diagram 3.1 Alur Prosedur Penelitian
pretest
Pembelajaran biasa
Kelas kontrol
Penulisan Laporan
Postest
Pembelajaran dengan model TGT
Kelas eksperimen
Analisis data
Angket skala sikap
Observasi Wawancara Identifikasi masalah &
tujuan penelitian
Penyusunan instrumen dan bahan ajar
Uji coba instrumen
Analisis hasil uji coba
Perbaikan instrumen
C. Populasi dan Sampel
Siswa yang menjadi subjek penelitian ini adalah siswa yang mempunyai
kemampuan akademik beragam dalam mempelajari serta memahami mata
pelajaran matematika. Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi penelitian
adalah seluruh siswa Madrasah Aliyah.
Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Jatiwangi
kabupaten Majalengka. Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah kelas XI
IPS pada tahun pelajaran 2011/2012 dengan pertimbangan sebagai berikut: 1)
Siswa Madrasah Aliyah kelas XI IPS merupakan siswa menengah pada
jenjangnya yang dipandang sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekolahnya dibandingkan dengan siswa kelas X; 2) Siswa Madrasah Aliyah kelas
XI IPS telah mempunyai pengalaman dalam belajar matematika dibandingkan
dengan siswa kelas X, sedangkan siswa kelas XII dipersiapkan untuk menghadapi
Ujian Nasional (UN) sehingga apabila dijadikan subjek penelitian akan
mengganggu pada kegiatan yang telah dijadwalkan pihak sekolah; 3) Penyebaran
siswa yang mempunyai kemampuan akademik tinggi, sedang, dan rendah setiap
kelas XI IPS sudah merata berdasarkan nilai raport kelas X dibandingkan kelas XI
IPA yang memiliki kelas unggulan; 4) Setiap kelas XI IPS mempunyai jumlah
siswa laki-laki dan perempuan yang hampir seimbang dibandingkan dengan kelas
XI IPA. Dengan pertimbangan ini, siswa kelas XI IPS MAN Jatiwangi kabupaten
Majalengka dianggap mewakili para siswa Madrasah Aliyah pada umumnya.
Kelas XI IPS- 1 ditetapkan sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPS-2 sebagai
D. Data Penelitian
1. Data kemampuan siswa sebelum eksperimen adalah data dari hasil tes awal
siswa (pretes) sebelum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT
dan pembelajaran biasa.
a. Data ini dikumpulkan sebelum menggunakan pembelajaran kooperatif tipe
TGT. Tes diberikan pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.
b. Alat mengumpulkan data: tes
c. Bentuk data: skor tes
2. Data keterampilan kooperatif adalah data keterampilan khusus yang dimiliki
siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT pada saat siswa melaksanakan
belajar kelompok. Keterampilan kooperatif yang diamati dalam penelitian ini
adalah meliputi: berada dalam tugas, menghargai pendapat orang lain,
mendengarkan dengan aktif, mengambil giliran, berbagi tugas, dan bertanya.
a. Data ini dikumpulkan selama pembelajaran kooperatif tipe TGT pada kelas
eksperimen berlangsung.
b. Cara mengumpulkan data: observasi langsung
c. Bentuk data: berupa sejumlah catatan aktifitas yang menonjol selama
pembelajaran kooperatif tipe TGT berlangsung.
3. Data keterampilan berkompetisi adalah data yang khusus yang dimiliki siswa
dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT. Keterampilan berkompetisi ini
diperoleh saat siswa melaksanakan turnamen akademik.
a. Data ini dikumpulkan berdasarkan perolehan skor setiap siswa pada saat
b. Cara mengumpulkan data: tes dalam turnamen akademik
c. Bentuk data: skor turnamen akademik
4. Data kemampuan berpikir kritis dan penalaran matematis siswa adalah data
setelah siswa menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT. Data ini
didapat setelah mendapat tes akhir (postes). Postes dilaksanakan bagi siswa
pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.
a. Data ini dikumpulkan setelah selesai melaksanakan pembelajaran kooperatif
tipe TGT.
b. Alat mengumpulkan data: tes
c. Bentuk data: skor tes
5. Data sikap siswa mengenai pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah data yang
berupa sikap, pendapat, komentar yang berkaitan dengan pembelajaran
kooperatif tipe TGT yang telah dilaksanakan pada kelas eksperimen.
a. Data ini dikumpulkan setelah pembelajaran di kelas eksperimen selesai
dilaksanakaan.
b. Alat mengumpulkan data: skala sikap
c. Bentuk data: skor skala sikap
E. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang dapat dimodifikasi sehingga
mempengaruhi variabel lain, sedangkan variabel terikat adalah hasil yang
diharapkan setelah terjadi modifikasi pada variabel bebas. Menurut Fraenkel
mempengaruhi variabel lain, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel bebas.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika
dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournaments
(TGT). Sedangkan variabel terikat adalah kemampuan berpikir kritis dan
penalaran matematis siswa.
F. Instrumen Penelitian
Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas hasil penelitian,
yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Kualitas
instrumen penelitian berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen dan
kualitas pengumpulan data berkenaan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data. Oleh karena itu dalam penelitian ini, instrumen yang
digunakan adalah: (1) tes kemampuan siswa yang berbentuk uraian yang
digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan penalaran matematis
siswa, (2) angket untuk mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran
Teams-Games-Tournaments (TGT), (3) lembar observasi aktifitas siswa dalam
pembelajaran, dan (4) pedoman wawancara dengan siswa dan guru.
Uraian lebih rinci instrumen penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tes Kemampuan Siswa
Tes kemampuan siswa digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif
siswa dalam berpikir kritis dan penalaran matematis. Tes kemampuan siswa
disusun berdasarkan rumusan tujuan pembelajaran yang dituangkan dalam
dasar analisis uji coba. Selain itu dalam menyusun tes mengikuti
ketentuan-ketentuan yang berlaku, juga memperhatikan saran-saran yang diajukan guru.
Instrumen yang digunakan untuk menjaring data mengenai kemampuan
berpikir kritis dan penalaran matematis siswa. Tes kemampuan ini telah
diujicobakan dan disusun dengan cara meminta pertimbangan guru dan kepada
ahli (pembimbing). Tes yang digunakan berbentuk uraian, dengan maksud untuk
melihat proses pengerjaan yang dilakukan siswa agar dapat diketahui sejauhmana
kemampuan berpikir kritis dan penalaran matematis siswa.
Dalam penyusunan tes, diawali dengan penyusunan kisi-kisi yang
mencakup kompetensi dasar, indikator, aspek yang diukur beserta skor
penilaiannya dan nomor butir soal. Setelah membuat kisi-kisi soal, dilanjutkan
dengan menyusun soal beserta kunci jawabannya dan aturan pemberian skor
untuk masing-masing butir soal.
Bahan tes diambil dari materi pelajaran matematika MA kelas XI IPS
semester genap dengan mengacu pada kurikulum KTSP, yaitu pokok bahasan
Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers. Tes berbentuk uraian, dengan penyusunan
soal tes memperhatikan standar kompetensi, aspek berpikir kritis dan penalaran
Berikut pemberian skor untuk soal-soal berpikir kritis dan penalaran
matematis:
Tabel 3. 1
Pemberian Skor Soal Berpikir Kritis Matematis
Skor Respon siswa terhadap soal
4 Identifikasi argumen, memberikan alasan serta menganalisa dan memberikan kesimpulan
3 Identifikasi argumen, memberikan alasan serta mencoba menganalisa dan memberikan kesimpulan
2 Identifikasi salah, jarang menerangkan alasan dan pandangan berdasarkan minat diri atau praduga
1 Menggunakan argumen-argumen keliru atau alasan tidak sesuai, tidak memberikan hasil atau langkah atau penjelasan alasan
Sumber: Critical Thinking Scoring Rubric (1994)
Tabel 3. 2
Pemberian skor Soal Penalaran Matematis
Skor Respon siswa terhadap soal
0 Tidak ada jawaban/menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan/tidak ada yang benar
1 Hanya sebagian aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 2 Hampir semua aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 3 Semua aspek pertanyaan dijawab dengan lengkap/jelas dan benar Sumber: Cai, Lane, dan Jakabesin dalam Budiman (2008)
Sebelum soal diujicobakan, peneliti meminta pertimbangan kepada
rekan-rekan yang dianggap kompeten di bidangnya dan dosen pembimbing untuk
memberikan penilaian terhadap soal-soal tersebut. Akhirnya hasil uji coba ini
dianalisis validitas, realibilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda soal.
a. Analisis Validitas Tes
Validitas tes merupakan ukuran kesahihan tes yaitu kemampuan soal
Sebuah soal tes dikatakan valid bila mempunyai dukungan yang besar
terhadap skor total. Untuk dapat menentukan apakah suatu tes telah memiliki
validitas atau daya ketepatan mengukur, dapat dilakukan dari dua cara, yaitu: dari
tes itu sendiri sebagai suatu totalitas, dan segi item sebagai bagian tidak
terpisahkan dari tes tersebut (Sudijono, 2003).
Upaya yang ditempuh dalam rangka mengetahui validitas isi dan
validitas konstruk dalam penelitian ini adalah pembuatan soal disesuaikan dengan
kurikulum dan buku yang digunakan, kemudian didiskusikan dengan teman
sesama peneliti dan dosen pembimbing. Validitas isi dan validitas konstruk
dilakukan sebelum soal diujicobakan.
Pengujian Validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas banding,
yaitu nilai hasil uji coba dikorelasikan dengan nilai ulangan harian siswa yang
diasumsikan telah mencerminkan kemampuan siswa sebenarnya dalam
matematika. Dalam hal ini digunakan rumus korelasi product moment (Arikunto,
2002), yaitu:
Keterangan: = koefisien korelasi nilai x dengan nilai y
N = banyak siswa
X = skor butir soal yang dicari validitasnya
Y = skor total
Interpretasi mengenai besarnya koefisien korelasi menurut Arikunto
Tabel 3. 3
Dari hasil perhitungan validitas soal diperoleh nilai validitas tes soal
berpikir kritis sebesar 0,68 dan validitas tes soal penalaran sebesar 0,72.
Berdasarkan kriteria koefisien korelasi menunjukkan bahwa instrumen yang
dibuat memiliki validitas tinggi untuk tes kemampuan berpikir kritis dan
penalaran matematis.
b. Validitas Item Soal
Validitas butir item dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang
dimiliki oleh suatu butir item (yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tes
sebagai suatu totalitas), dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir
item tersebut (Sudijono, 2003). Sebuah soal tes dikatakan valid bila mempunyai
dukungan yang besar terhadap skor total. Untuk menguji validitas setiap item tes,
skor-skor yang ada pada item tes dikorelasikan dengan skor total. Perhitungan
validitas item tes dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment
Keterangan: = koefisien korelasi nilai x dengan nilai y
N = banyak siswa
X = skor butir soal yang dicari validitasnya
Y = skor total
Berdasarkan tabel harga kritis r product moment jika < maka
korelasi tersebut tidak signifikan (tidak valid). Jika harga > maka
korelasi tersebut signifikan (valid).
Perhitungan validitas item tes disajikan pada lampiran C2 dan C3. Untuk
tes kemampuan berpikir kritis matematis masing-masing berdasarkan kriteria
koefisien korelasi dengan n = 25 adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4
Rekapitulasi Validitas Item Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
No butir Soal
Nilai Nilai Keputusan Indeks Korelasi
Dari tabel 3.4 pada kemampuan berpikir kritis matematis diperoleh 1 soal
(soal nomor 1a) mempunyai validitas sangat tinggi, 5 soal (soal nomor 1b, 1c, 1d,
2a, dan 2b) mempunyai validasi tinggi, dan 1 soal (soal nomor 6) mempunyai
validasi cukup.
Untuk tes kemampuan penalaran matematis masing-masing berdasarkan
kriteria koefisien korelasi dengan n = 25 adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5
Rekapitulasi Validitas Item Tes Kemampuan Penalaran Matematis
No butir Soal
Nilai Nilai Keputusan Indeks
Korelasi
Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan (konsistensi) suatu tes, yaitu
sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang konsisten
(tidak berubah-ubah).
Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk
uraian dikenal dengan rumus Alpha (Suherman, 2003) yaitu:
11
=
−11
−
2
Dengan 11= reliabilitas tes secara keseluruhan
n = banyak butir soal
2 = varians skor setiap item
2 = varians skor total yang diperoleh siswa
Untuk koefisien reliabilitas yang menyatakan derajat keterandalan alat
evaluasi dapat digunakan tolak ukur yang dibuat oleh J.P. Guilford (Suherman,
2003) seperti pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6
Interpretasi Koefisien Korelasi Reliabilitas
Koefisien Korelasi Interpretasi
0,90 ≤ r11≤ 1,00 Sangat tinggi
0,70≤r11<0,90 Tinggi
0,40≤r11<0,70 Sedang
0,20≤r11<0,40 Rendah
r11<0,20 Sangat rendah
Dari hasil ujicoba Instrumen dengan menggunakan Anates diperoleh
reliabilitas instrument tes kemampuan berpikir kritis secara keseluruhan 0,81
(kategori tinggi) dan reliabilitas instrumen tes penalaran matematis secara
keseluruhan 0,92 (kategori sangat tinggi). Berdasarkan perhitungan, tes ini
tergolong baik karena memiliki koefisien reliabilitas tinggi dan sangat tinggi. Cara
perhitungan reliabilitas instrumen kemampuan berpikir kritis dan penalaran
matematis selengkapnya terdapat pada lampiran C.4 dan C.5.
d. Analisis Tingkat Kesukaran Soal
Bermutu atau tidaknya butir-butir item pada instrumen dapat diketahui
masing-masing butir item tersebut. Menurut Sudijono (2003) butir-butir item tes
hasil belajar dapat dinyatakan sebagai butir item yang baik apabila
butir-butir item tersebut tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu mudah. Butir-butir-butir tes
item baik, jika terdapat kesukaran item itu adalah sedang atau cukup.
Tingkat kesukaran pada masing-masing butir soal dihitung dengan
menggunakan rumus: TK = �
dengan TK = tingkat kesukaran
Sr = jumlah skor yang diperoleh seluruh siswa pada satu
butir soal yang diolah
Ir = jumlah skor ideal maksimum yang diperoleh pada satu
butir soal tersebut
Hasil perhitungan tingkat kesukaran diinterpretasikan dengan
menggunakan kriteria tingkat kesukaran butir soal yang dikemukakan oleh
Suherman (2003) yaitu pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7
Kriteria Tingkat Kesukaran
Tingkat Kesukaran Interpretasi
TK = 0,00 Soal terlalu sukar
0,00< TK≤ 0,30 Soal sukar
0,30< TK≤ 0,70 Soal sedang
0,70< TK < 1,00 Soal mudah
TK = 1,00 Soal terlalu mudah
Dari hasil ujicoba instrumen, diperoleh tingkat kesukaran soal
Tabel 3.8
Rekapitulasi Tingkat Kesukaran Soal Kemampuan Berpikir Kritis dan Penalaran Matematis
Jenis Tes Nomor Soal Tingkat
Kesukaran (%)
Dari Tabel 3.8 dapat dilihat bahwa untuk soal kemampuan berpikir kritis
matematis terdapat 1 soal yang memiliki tingkat kesukaran mudah yaitu soal
nomor 1b, 5 soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang yaitu nomor 1a, 1c, 1d,
2a, dan 2b, 2 soal yang memiliki tingkat kesukaran sukar yaitu soal nomor 6.
Untuk soal kemampuan penalaran matematis terdapat 2 soal yang memiliki
tingkat kesukaran mudah yaitu soal nomor 3a dan 3b, 3 soal yang memiliki
tingkat kesukaran sedang yaitu soal nomor 4a, 4b, dan 5, 2 soal yang memiliki
tingkat kesukaran sukar yaitu nomor soal 3c dan 4c. Cara perhitungan tingkat
kesukaran soal kemampuan berpikir kritis dan penalaran matematis siswa
e. Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda sebuah soal adalah kemampuan soal tersebut untuk dapat
membedakan antara siswa yang kemampuannya tinggi dengan siswa yang
kemampuannya rendah. Sebuah soal dikatakan memiliki daya pembeda yang baik
bila memang siswa yang pandai dapat mengerjakan dengan baik, dan siswa yang
kurang tidak dapat mengerjakan dengan baik. Daya pembeda dihitung dengan
membagi siswa ke dalam dua kelompok, yaitu: kelompok atas dan kelompok
bawah. Pembagiannya 27% untuk kelompok atas dan 27% kelompok bawah
(Sudijono, 2003).
Untuk menentukan daya pembeda digunakan rumus:
DP = � −�
dengan DP = daya pembeda
�
= jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah�
= jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah= jumlah skor ideal salah satu kelompok pada butir soal dipilih
Hasil perhitungan daya pembeda, kemudian diinterpretasikan dengan
klasifikasi yang dikemukakan oleh Suherman (2003) seperti pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9
Klasifikasi Daya Pembeda
Daya Pembeda Interpretasi
DP ≤ 0,00 Sangat Rendah
0,00 < DP ≤ 0,20 Rendah
0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup/Sedang
0,40 < DP ≤ 0,70 Baik
Dari hasil perhitungan, diperoleh daya pembeda tiap butir soal seperti
pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10
Rekapitulasi Daya Pembeda Soal Kemampuan Berpikir Kritis dan Penalaran Matematis
Jenis Tes Nomor Soal Daya Pembeda
(%)
soal nomor 1b, 1c, dan 1d, 1 soal yang mempunyai daya pembeda baik yaitu soal
nomor 1a, 2 soal yang mempunyai daya pembeda sangat baik yaitu soal nomor 2a
dan 2b. Sedangkan pada soal penalaran matematis terdapat 3 soal yang
mempunyai daya pembeda cukup/sedang yaitu soal nomor 3b, 3c, dan 4a, 4 soal
perhitungan daya pembeda soal kemampuan berpikir kritis dan penalaran
matematis siswa menggunakan Anates terdapat pada Lampiran C.8 dan C.9.
Berdasarkan analisis validitas item soal, analisis reliabilitas tes, analisis
tingkat kesukaran soal, dan analisis daya pembeda, akhirnya semua soal-soal yang
diujicobakan dapat digunakan untuk pretes.
2. Skala Sikap
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang pendapat siswa
terhadap pembelajaran matematika pada umumnya, pembelajaran kooperatif tipe
TGT, dan soal-soal kemampuan berpikir kritis dan penalaran matematis.
Sikap respon siswa yang digunakan terbagi ke dalam 4 (empat) kategori
yang tersusun secara bertingkat, mulai dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), dan Sangat Tidak setuju (STS). (Suherman & Kusumah, 1990).
Untuk mengetahui validitas isi dari skala sikap yang digunakan, peneliti
melakukan konstultasi dengan dosen pembimbing mengenai isi dari skala sikap
sehingga skala sikap yang dibuat sesuai dengan indikator-indikator yang telah
ditentukan dan akan memberikan informasi yang dibutuhkan.
Dalam menganalisis hasil angket, skala kualitatif ditransfer ke dalam
skala kuantitatif. Penskoran yang digunakan dalam menstransfer skala tersebut
berdasarkan pada distribusi jawaban siswa. Skor data angket tersebut diuraikan
sesuai dengan indikator-indikator yang terdapat dalam aspek-aspek sikap siswa.
Cara penghitungan skor skala sikap dengan lengkapnya, kisi-kisi dan skala sikap
siswa dapat dilihat pada Lampiran B.
Pengamatan dilakukan sejak awal kegiatan sampai guru menutup
pelajaran. Aktivitas siswa tersebut meliputi: mendengarkan atau memperhatikan
penjelasan guru/teman, membaca dan menelaah (buku teks, LKS), bekerja dengan
menggunakan alat/media, mencatat/bertanya antara siswa dengan guru,
berdiskusi/bertanya antara siswa dengan siswa, menjawab pertanyaan siswa/guru,
kemampuan berkompetisi, kejujuran. Lembar observasi yang digunakan terdiri
dari dua bagian yaitu lembar observasi aktivitas guru dan lembar observasi
aktivitas siswa. Observer dalam penelitian ini adalah guru yang mengajar mata
pelajaran matematika di sekolah yang sebelumnya diberi pengarahan terlebih
dahulu. Format lembar observasi yang digunakan terdapat pada lampiran B.
4. Pedoman Wawancara
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data yang tidak dapat
diperoleh pada saat tes atau observasi, karena wawancara sangat efektif untuk
menggali informasi yang berada dalam benak dan hati. Wawancara dilakukan
dengan beberapa orang siswa kelas eksperimen dan guru matematika di sekolah.
Wawancara dengan siswa digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih
lengkap dan mendalam mengenai perasaan dan sikap siswa kelompok eksperimen
terhadap pembelajaran kooperatif tipe TGT. Wawancara dengan guru digunakan
untuk memperoleh pendapat dan saran mengenai pembelajaran kooperatif tipe
TGT. Pedoman wawancara dilakukan dengan mengisi format pedoman
wawancara yang sudah disediakan seperti pada Lampiran B.
Bahan ajar yang digunakan pada penelitian ini disusun dalam bentuk
Lembar Kerja Siswa (LKS) dan soal-soal turnamen. Dengan LKS, siswa berusaha
memahami materi yang sedang dipelajari secara berkelompok, berdiskusi, saling
membantu sesama anggota kelompok untuk mempersiapkan turnamen sesuai
dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT.
Pada penelitian ini, materi pokok dalam LKS adalah Fungsi Komposisi
dan Fungsi Invers yang merujuk pada Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Matematika dalam kurikulum KTSP untuk SMA/MA dan dikembangkan dalam 4
LKS dan 4 soal-soal turnamen. Secara lengkap, Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), dan soal-soal turnamen dapat
dilihat pada Lampiran A.
6. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu:
a. Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini diantaranya adalah menyusun
kisi-kisi dan instrumen tes, serta mengujicobakan instrumen tes kepada kelas
XII IPS.
b. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan diawali dengan memberikan pretes di kelas
eksperimen (kelas XI IPS-1) dan kelas kontrol (kelas XI IPS-2) masing-masing
selama 90 menit. Pembelajaran di kelas eksperimen dan kelas kontrol dimulai
pada bulan April 2012 dengan jadwal sesuai dengan yang sudah ada.
dilaksanakan sebanyak 4 kali pertemuan. Setiap 1 kali pertemuan alokasi
waktunya adalah 90 menit. Saat pembelajaran berlangsung peneliti berperan
sebagai guru matematika dengan pertimbangan tidak terjadi pembiasan dalam
perlakuan terhadap masing-masing kelompok yang diteliti. Dengan demikian
pengamatan terhadap kegiatan siswa langsung dilakukan oleh guru
matematika.
Sebelum pembelajaran dilaksanakan peneliti mendata nilai ulangan
siswa kedua kelas penelitian. Data ini digunakan untuk mengetahui
kemampaun siswa sebelum memperoleh pembelajaran. Data ini juga
digunakan untuk pembagian kelompok kelas eksperimen. Siswa pada kelas
eksperimen yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT dibagi
menjadi beberapa kelompok yang tiap kelompoknya terdiri dari 5 orang siswa
dan heterogen dalam hal kemampuan akademik serta jenis kelamin. Hal ini
sesuai dengan aturan pembagian kelompok belajar dalam pembelajaran
kooperatif tipe TGT, agar setiap kelompok dapat saling membantu temannya
untuk memahami materi pelajaran. Sedangkan siswa pada kelas kontrol
menggunkan pembelajaran biasa yang dilakukan secara klasikal.
Siswa yang ada pada kelas XI IPS-1 sebagai kelas eksperimen
berjumlah 20 orang yang terdiri dari 8 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan.
Hasil pembentukan kelompok belajar dapat dilihat pada Lampiran E. Langkah
selanjutnya setelah kelompok belajar dibentuk adalah membentuk kelompok
turnamen pertama berdasarkan peringkat siswa yang sudah dibuat. Hasil
Lampiran E. Setelah semua perlengkapan untuk pembelajaran seperti LKS dan
perlengkapan turnamen sudah siap, maka pembelajaran dilaksanakan.
Setelah pembelajaran materi Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers
selesai, kelas eksperimen maupun kelas kontrol diberi postes. Kelas
eksperimen mengisi angket siswa dan wawancara tentang pembelajaran yang
baru saja dilaksanakan.
c. Tahap Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil tes baik pretes maupun postes serta
angket pendapat siswa kemudian dianalisis secara statistik. Sedangkan hasil
pengamatan aktivitas siswa serta hasil wawancara dengan siswa dianalisis
secara deskriptif.
1. Pengolahan Data Tes
Data yang diperoleh dari hasil tes awal dan tes akhir dianalisis untuk
mengetahui mutu peningkatan kemampuan berpikir kritis dan penalaran
matematis siswa. Besarnya mutu peningkatan sebelum dan sesudah pembelajaran
dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (normalized gain), sebagai berikut:
Gain ternormalisasi (g) = −
−
Dengan kriteria indeks gain menurut Hake (1999) seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.11
Kriteria Skor Gain Ternormalisasi
Skor Gain Interpretasi
g > 0,7 Tinggi
0,3 < g ≤0,7 Sedang
Pengolahan dan analisis data hasil tes kemampuan berpikir kritis dan
penalaran matematis dengan menggunakan uji statistik dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut:
a. Uji Normalitas
Menguji normalitas distribusi skor tes awal dan tes akhir dengan
menggunakan rumus Chi-kuadrat:
�
2= −
2
=1
Keterangan: n = banyaknya subjek
= frekunsi yang diamati
= frekuensi yang diharapkan
b. Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas variansi antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah varians
dua kelompok sama atau berbeda. Uji statistiknya menggunakan uji-F, dengan
rumus
�
=
�2
�2
Kriteria pengujiannya adalah terima jika � < � , dengan
� = (1− �)� ; −1dan tolak jika F mempunyai harga-harga lain
(Sudjana,1992).
c. Uji Kesamaan Dua Nilai Rata-rata
Uji kesamaan dua rata-rata ini digunakan untuk menguji kesamaan
kontrol. Kriteria pengujian adalah tolak H0 jika Sig.(2-tailed) < �= 0,05. Uji
kesamaan dua rata-rata ini digunakan untuk pengujian statistik pada hipotesis
penelitian, yaitu:
1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapat
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik daripada siswa yang
mendapat pembelajaran biasa.
2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik daripada siswa yang
mendapat pembelajaran biasa.
Hipotesis yang akan diuji adalah:
:
�
1=
�
21:
�
1>
�
2�
1 = rata-rata skor kelompok eksperimen�
2= rata-rata skor kelompok kontrol
2. Pengolahan Data Skala Sikap
Untuk menganalisis respon siswa terhadap pernyataan tiap butir skala
sikap adalah pemberian skor setiap item skala sikap, dilanjutkan mencari
persentase tiap item skala sikap dari keseluruhan siswa. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui letak sikap siswa secara umum terhadap pembelajaran yang telah
Dengan mengetahui persentase tiap item soal, maka terungkap
kecenderungan pilihan siswa per item soal, apakah merespon secara positif atau
negatif. Selanjutnya mencari tingkat persetujuan siswa secara umum.
3. Pengolahan Catatan Observasi
Observasi secara tertulis dilakukan untuk menganalisis aktivitas siswa
selama pembelajaran kooperatif tipe TGT berlangsung, dan observasi ini
dilakukan oleh peneliti, sedangkan observasi guru (peneliti) selama kegiatan
pembelajaran dilakukan oleh guru matematika di sekolah tempat penelitian
dengan menggunakan lembar observasi.
4. Pengolahan Hasil Wawancara
Untuk mengetahui pendapat siswa dan guru tentang pembelajaran
kooperatif tipe TGT, peneliti melakukan wawancara dengan siswa dan guru. Hasil
rekaman wawancara lisan baik dengan siswa maupun dengan guru dituangkan ke
dalam bentuk tertulis sebagai gambaran secara umum tentang pendapat siswa dan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini telah memberikan hasil sebagai berikut:
1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa MA yang mendapat
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik secara signifikan dibandingkan
dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa. Hal ini dapat dilihat dari gain
ternormalisasi pada kelas yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe TGT
lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang mendapat pembelajaran biasa.
Peningkatannya termasuk kategori tinggi.
2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa MA yang mendapat
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik secara signifikan dibandingkan
dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa. Hal ini dapat dilihat dari gain
ternormalisasi pada kelas yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe TGT
lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang mendapat pembelajaran biasa.
Peningkatannya termasuk kategori sedang.
3. Perbedaan siswa MA yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe TGT
dengan siswa MA yang mendapat pembelajaran biasa adalah siswa pada kelas
yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe TGT secara aktif berdiskusi dan
bekerjasama dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan dengan baik.
Hal ini terlihat dari hasil skala sikap, observasi, dan wawancara dengan siswa,
4. Secara keseluruhan, siswa MA yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe
TGT memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika, terhadap
pembelajaran kooperatif tipe TGT, begitu pula terhadap soal-soal kemampuan
berpikir kritis dan penalaran matematis yang diberikan. Walaupun
pembelajaran kooperatif tipe TGT membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan, dapat dikemukakan
saran-saran sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa kemampuan berpikir kritis
matematis siswa MA yang memperoleh pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa, maka penerapan pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT menjadi pilihan.
2. Agar implementasi model pembelajaran kooperatif tipe TGT berjalan dengan
baik, maka sebaiknya guru menggali kemampuan siswa lebih mendalam
sehingga tugas-tugas yang berkaitan dengan kegiatan TGT dapat dirancang
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
3. Untuk peneliti selanjutnya, hendaknya melakukan penelitian tentang