Pondok Bambu Jakarta Pada Harian Jawa Pos dan Kompas)
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur
SKRIPSI
OLEH :
Dwi Bagus Irawan
0643010149
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Oleh :
DWI BAGUS IRAWAN 0643010149
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal : 8 Juni 2010
Menyetujui,
PEMBIMBING TIM PENGUJI
1. Ketua
Zainal Abidin Achmad, M.Si, M.Ed Ir.H. Didiek Tranggono, M.Si NPT. 3 7305 99 0170 1 NIP. 19581225 199001 1001
2. Sekretaris
Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1
3. Anggota
Zainal Abidin Achmad, M.Si, M.Ed NPT. 3 7305 99 0170 1
Mengetahui, DEKAN
yang Maha Baik dan Penyayang sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal dengan judul “Pembingkaian Berita Sel Mewah Artalyta Di Rutan Pondok Bambu Jakarta (analisis framing berita sel mewah artalyta di rutan pondok bambu jakarta pada harian jawa pos 11-15 januari 2010 & kompas 11-13 januari 2010)”.
Penulis ingin sekali mengucapkan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya
kepada Mr. Zainal Abidin selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu
memberikan bimbingan serta dorongan kepada peneliti. Peneliti juga ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra.ec.hj. Suparwati, Msi dekan FISIP UPN “veteran” Jatim
2. Bpk Juwito, S.Sos, Msi Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN
“veteran” Jatim
3. Kedua orang tua yang telah membimbing dengan doa, kakak dan adiku yang baik
hati. (doa dan bantuan kalian saat detik-detik lisan sangat membantu
perjuanganku)
4. Kawan-kawan yang lagi menempuh buat masa depan : Yuan, Clo, Depi, Desi,
Stefi, Cebong. (lascar CUBBY) TANPA KALIAN SKRIPSIKU GAK MARI
ES….
5. Seseorang yang buat semua jadi berwarna…Ms. Niken Asik ae yo and ojok
suwe-suwe, serta ojok ngamukan cepet tuek engko.…hihihihihihihihihihihihi
Semangat…!!!!!!!
6. Orang di rumah yang telah mendukung dengan moral dan materi: om and tante,
mbak Agung ,mas Ace, Angel and Dewa.
bareng…amin…..)
9. Babe seng selalu asik ae….suwun enggone….hahahahahahaha…..!!!!!!!!!!!!!
10. Buat Richo, Widya, Itax, Caty, Venda, Hendra ndut, Embix, Etnis dan semua
teman-teman SMA yang gak bsa tak sebut satu2....
11. Asep “terima kasih atas pinjaman Laptop gadainya”
12. Teman – teman di facebook yg menemani saat aku jenuh.
(bagus180788@yahoo.com)
13. Buat semua maap keterbatasan memory untuk mengingat TANKS FOR ALL…
14. Ini agak narsis dikit….. My family…Prikitiu…!!!!
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Surabaya, Juni 2010
Peneliti
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR GAMBAR... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
ABSTRAKSI... ix
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 11
1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Manfaat Penelitian ... 12
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 12
1.4.2. Manfaat Praktis ... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13
2.1. Landasan Teori ... 13
2.1.1. Pers dan Tanggung Jawab Sosial ... 13
2.1.2. Wartawan dan Media Sebagai Kontruksi Realitas... 15
2.1.3. Elemen-Elemen Berita ... 20
2.2. Kerangka Berfikir ... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 36
3.1. Metode Penelitian ... 36
3.1.1 Definisi Operasional... 36
3.2. Subyek dan Obyek Penelitian ... 39
3.3. Unit Analisis ... 39
3.4. Populasi dan Porpus... 39
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 40
3.6. Teknik Analisis Data ... 41
3.7. Langkah-langkah Analisis Framing... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………..…… 43
4.1 Gambaran umum Jawa Pos dan Kompas……….. 43
4.1.1 Sejarah Perkembangan Jawa Pos…..……… 43
4.1.1.1 Sebaran dan Profil Pembaca Jawa Pos…..……… 50
4.1.1.2 Kebijakan Redaksional………. 50
4.1.2 Sejarah Perkembangan Kompas……….. 55
4.1.2.1 Sebaran dan Profil Pembaca Kompas………... 59
4.3.1.1 Bingkai inti Berita Jawa Pos tanggal 12 Januari 2010 70
4.3.2 Berita Tanggal 12 Januari 2010……… 71
4.3.2.1 Bingkai Inti Berita Jawa Pos Tanggal 12 Januari 2010 75
4.4 Berita Koran Kompas………. 76
4.4.1 Berita Tanggal 11 Januari 2010………... 76
4.4.1.1 Bingkai inti Berita Kompas tanggal 12 Januari 2010 78
4.4.2 Berita Tanggal 12 Januari 2010...………... 79
4.4.2.1 Bingkai inti Berita Kompas tanggal 12 Januari 2010 84
4.5 Perbandingan Frame Umum Jawa Pos dan Kompas……... 85
BAB V KESIMPULAN dan SARAN………. 89
5.1 Kesimpulan……….. 89
5.2 Saran……… 90
DAFTAR PUSTAKA
2.1. Perangkat Framing William A.Gamson dan Modigliani ... 31
4.1 Deskri[si halaman Jawa Pos pada Tahun 1985……….. 53
4.2 Deskripsi halaman Jawa Pos tahun 1996……… 54
4.3 Deskripsi halaman Jawa Pos………... 55
4.4 Deskripsi halaman Kompas………. 66
4.5 Bagan bingkai inti Jawa Pos 11 Januari 2010……… 71
4.6 Bagan bingkai inti Jawa Pos 12 Januari 2010……… 75
4.7 Bagan bingkai inti Kompas 11 Januari 2010………. 79
4.8 Bagan bingkai inti Kompas 12 Januari 2010………. 84
4.9 Bagan bingkai umum……….. 85
2.1. Hierarchy of Influence ... 32
2.2. Kerangka Berfikir ... 35
LAMPIRAN 2 “Berdalih buat Karaoke Bareng” (Tanggal 12 Januari 2010 Jawa
Pos)
LAMPIRAN 3 ”Artalyta Sedang Dirawat Wajahnya oleh Dokter Spesialis”
(Tanggal 11 Janauri 2010 KOMPAS)
LAMPIRAN 4 “ Bukti Ada Mafia Hukum “ (Tanggal 12 Januari 2010 Kompas)
Jakarta (analisis framing dalam surat kabar Jawa Pos dan Kompas).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pembingkaian berita pada Surat kabar Jawa Pos dan Kompas dalam berita Sel mewah Artalyta di rutan Pondok Bambu Jakarta.
Landasan teori yang dipakai dalam penelititan ini adalah Pers dan Tanggung Jawab Sosial, Wartawan dan media sebagai kontruksi realitas, Analisis Framing, Hierarchy of
Influence
Metode yang digunakan adalah media penelitian kualitatif menggunakan analisis graming Gamson modigliani yaitu data yang terkumpul sesuai dengan populasi dan korpus yang telah dikumpulkan oleh peneliti yaitu Jawa Pos dan Kompas pada tanggal 11-12 Januari 2010. Data dianlisis dengan menggunakan delapan struktur teks berita sebagai perangkat framing, yaitu methapors, catchphrases, exemplar, depiction, roots, appeals to principle dan
consequence.
Berdasarkan pembahsan frame dari kedua media. Harian Jawa Pos lebih memuat pada Menyudutkan aparat yang bisa memberi fasilitas buat Artalyta. Sedangkan Kompas Memberi fakta bahwa Artalyta mampu membeli hukum. Demikianlah hasil penelitian tentang berita sel mewah Artalyat di rutan Pondok Bambu Jakarta.
ABSTRACT
Bagus Dwi Irawan. News Framing Artalyta Luxury Cell at The Detention Center in Jakarta Bamboo huts (framing analysis in the Java Post and Kompas newspaper).
The purpose of this study was to determine the framing news on Java Newspapers Post and Kompas of luxury Tues Artalyta news on Rutan Pondok Bamboo Jakarta.
The method used was qualitative research of media uses Gamson Modigliani graming analysis of data collected in accordance with the population and the corpus that has been collected by the researcher is Javanese Post and Kompas on 11-12 January 2010. Dianlisis data by using the eight-story structure of the text as a framing device, namely methapors, catchphrases, exemplar, depiction, roots, Appeals to principle and consequence.
Based pembahsan frames of both media. Daily Post Java more cornering load on the apparatus that can provide facilities for Artalyta. Giving the fact that while the Compass Artalyta afford legal. Thus the results of research on luxury cell news Artalyat in Rutan Pondok Bambu Jakarta.
Kata Kunci : Analisis framing, Berita Sel Mewah Artalyta, Rutan Pondok Bambu, Jawa Pos
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Politik berasal dari kata Yunani, polis yang berarti kota atau negara.
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang
memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia
sebut zoon politikon. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan
kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah
melalui interaksi politik dengan orang lain. Politik merupakan upaya atau cara
untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang
beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara
atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa
aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang,
budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik
selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan
bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan
(individu).
Di zaman modern ini politik di Indonesia mengalami banyak
perkembangan. Semakin maju perkembangan dalam dunia politik tersebut
membuat terjadi banyak kegoncangan dalam pemerintahan karena keinginan
saat ini tidak memiliki barometer yang cocok buat perkembangan SDM (Sumber
Daya Manusia) yang ada di Indonesia. Dalam menentukan demokrasi yang
dijalankan, sehingga kemerdekaan untuk mengajukan pendapat tidak sesuai
dengan demokrasi yang sesungguhnya. Politik yang ada di Indonesia saat ini
sebagian besar dijadikan sebagai ajang pembuktian diri atas kekuasaan serta
menaikan harkat dan martabat saja. Karena dalam perkembangannya dari berbagai
kalangan dan lapisan masyarakat dapat terjun dalam dunia politik. Sehingga
terkadang dalam perjalanannya politik di Indonesia terjadi banyak kontroversi
yang mengakibatkan banyak kerugian bagi Negara. Terutama dalam permasalahan
pemberantasan korupsi.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, pasal 1 mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana.
Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang
korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah
korupsi, yang dilakukan menjadi “KKN”.
(http://intl.feedfury.com) diakses pada tanggal 17/02/2010 pukul 14.00.
Korupsi di Indonesia saat ini merupakan sebuah budaya baru yang sudah
mengakar pada benak setiap rakyat terutama wakil rakyat, wakil rakyat yang ada
di Indonesia kurang memiliki rasa kecintaan untuk membawa negara ini untuk
lebih berkembang sehingga mereka hanya mencari kekayaan sendiri tanpa
memikirkan keadaan rakyat yang ada dibawah mereka. Tanpa disadari, kerugian
negara semakin terpuruk, karena kerugian yang ditanggung sangatlah besar.
Pemerintah dengan segala kebijakannya membentuk badan khusus untuk
pemberantasan korupsi untuk menanggulangi kasus yang mengakar di negara
Indonesia. Contohnya saja kasus obligor BDNI (Bank Dagang Negara Indonesia)
yang sudah ada sejak tahun 2001. Kasus bank ini berbelit-belit karena banyak
campur tangan orang-orang besar yang membantu para koruptor untuk pemutihan
dalam kasus ini sehingga keberadaan Syamsul Nursalim sebagai bos dari bank
BDNI yng harus bertanggung jawab sampai detik ini belum diketahui
keberadaannya, Nursalim melarikan diri ke luar negri. Kasus ini begitu
menggelitik karena sudah empat periode kepresidenan belum juga dapat teratasi
kasus ini.
Pada tahun 2005 dibentuklah Badan anti korusi yang dinamakan Komisi
Pemberantasan Korupsi ( KPK ) yang dketuai oleh Antasari Ashar dan
rekan-rekan. Komisi ini telah banyak kasus-kasus korupsi yang diberantas oleh KPK.
Sehingga membuat masyarakat lebih transparan tentang keadaan perekonomian di
Indonesia. Berawal dari situ mulai terkuaklah berbagai macam kasus korupsi yang
mencengangkan serta merontokkan perekonomian negara. Satu persatu para
koruptor mulai kebakaran jenggot karena dihantui oleh para pemberantas korupsi.
Sehingga terjadi permainan politik yang panjang dan berbelit-belit. Apabila sudah
terbongkar satu kasus, maka terkuaklah siapa saja yang berada di belakangnya.
Berkelit dan saling tuduh kerap terjadi selama kasus korupsi tersebut diproses.
Salah satu kasus yang sempat menggemparkan dunia politik di Indonesia pada
sebagai Ketua Tim Penyelidik kasus BLBI sebesar USD660.000 atau sekitar
Rp.6,1miliar. (http://www.detiknews.com) diakses pada tanggal 17/02/2010 pukul
14.30
Artalyta sebagai tersangka dalam kasus suap kepada jaksa Urip yang juga
sebagai tangan kanan dari Bos BDNI Syamsul Nursalim yang tersangkut dengan
kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia kepada BDNI
sebesar Rp.37 triliun yang dianggap merugikan Negara sebesar Rp.10,9 Triliun.
Artalyta membantu Syamsul Nursalim untuk meyelesaikan kasus BLBI yang
sedang di tuduhkan padanya, dengan segala cara Artalyta membantu supaya kasus
yang menimpa Syamsul Nursalim bisa terselesaikan dengan cara apa saja. Pada
akhirnya tim KPK mengatahui rencana Artalyta dan jaksa Urip dengan
penyadapan perbincangan antara Artalyta Suryani dan jaksa Urip Tri Gunawan.
Artalyta akan menyuap jaksa Urip dan uangnya akan diberikan dalam bentuk
dollar Amerika di serahkan dikediaman Syamsul Nursalim Jalan Hanglekir Blok
WG No. 9 Kebayoran Jakarta Selatan. Jaksa Urip tertangkap dengan barang bukti
uang yang semua dalam bentuk pecahan dollar di dalam kardus. Saat
penangkapan jaksa urip sempat melakukan perlawanan dan dia berkelit kalau
uang itu untuk dagang berlian bersama artalyta. Tim tidak mau kecolongan atas
kasus ini sehingga jaksa itu dibawa ke kantor Kantor KPK di Jl HR Rasuna Said
Kuningan Jakarta untuk diperiksa lebih lanjut. Jaksa Urip digelandang ke kantor
KPK bersama Artalyta yang posisinya masih sebagai saksi. Pada akhirnya para
penjahat ini yaitu Artalyta dan jaksa Urip sah dijadikan tersangka dalam kasus
Artalyta yang berusaha untuk melicinkan kasus BDNI ini pada akhrinya
dikenai vonis kurungan penjara selama 5 tahun dan denda 250juta sedangkan
jaksa Urip yang disuap dikenai vonis 20 tahun penjara dan denda 500juta. Setelah
vonis yang diberikan kepada para tersangka korupsi uang negara tersebut,
masyarakat diingatkan kembali sesosok Artalyta Suryani dengan adanya kasus sel
mewah Artalyta yang di sidak oleh Satagas Anti Mafia hukum di Rutan Pondok
Bambu Jakarta.
Pada tanggal 10 januari 2010 pukul 19.00 WIB,satuan tugas mafia hukum
mengadakan sidak di Rutan Pondok Bambu tempat Artalyta menjalani masa
tahanan, masyarakat dikecewakan karena ada ruangan yang begitu mewah yang
dihuni oleh beberapa tahanan Rutan Pondok Bambu Jakarta. Sungguh
mengecewakan dan sangat ironis yang di dapat oleh satgas anti mafia hukum
karena pada sidak tersebut ruangan tahanan artalyta sangat mewah bisa dibilang
sepadan dengan hotel berbintang. Terdapat kamar mandi yang ada bath tup,
tempat tidur yang nyaman, AC (air conditioner),Televisi serta saat sidak tersebut
Artalyta memperkerjakan seorang pembantu yang juga seorang tahanan. Sidak ini
tidak tercium sama sekali oleh petugas Rutan Pondok Bambu maupun Artalyta
sebagai sasaran, karena begitu satgas anti mafia hukum datang Artalyta sedang
melakukan perawatan wajah yang mendatangkan dokter dari luar Rutan. Artalyta
kaget kedatangan tamu agung tersebut dan Artalyta berkilah kalau ditempat itu dia
hanya pagi sampai sore sedangkan kalau malam dia kembali ke selnya yang asli.
Dalam berjalannya waktu berita tentang kasus sel mewah Artalyta di Rutan
Pondok Bambu Jakarta media juga sangat ikut andil dalam penyebaran
perkembangan berita ini. Media massa merupakan salah satu sarana pemenuhan
kebutuhan akan informasi bagi masyarakat. Sedangkan definisi media massa itu
sendiri terbagi dalam dua macam, yaitu pers dalam arti sempit dan pers dalam arti
luas. Pers dalam arti sempit meliputi media cetak dan media elektronik.
(Rachmadi dalam Eriyanto, 2002 : 35). Pers itu sendiri memiliki empat fungsi
khusus, yaitu fungsi memberikan informasi, mendidik, menghibur dan
mempengaruhi, untuk kontrol social. Dari sini bias kita lihat bahwa media massa
memiliki peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat, baik dari segi
moral, sosial dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat.
Jalan kebebasan pers yang dibuka lebar-lebar sejak era informasi dimaknai
tidak untuk kepentingan kalangan jurnalis semata. Namun kebebasan dan
kemerdekaan pers tersebut demi kepentingan publik untuk mendapatkan berbagai
informasi yang trasparan, akurat dan objektif.
Independent dan obyektivitas merupakan dua kata kunci yang menjadi kiblat
dan klaim stiap jurnalis di seluruh dunia. Seorang jurnalis selalu menyatakan
dirinya telah bertindak obyektif, seimbang dan tidak berpihak pada kepentingan
apa pun kecuali keprihatinan dan hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran.
Meskipun sikap independen dan objektivitas menjadi kiblat setiap jurnalis,
pada kenyataannya seringkali didapati suguhan berita yang beraneka ragam dari
sebuah peristiwa yang sama. Berangkat dari peristiwa yang sama, media tertentu
yang lainnya meminimalisir, memelintir bahkan menutup sisi aspek tersebut dan
sebagainya. Ini semua menunjukan di balik jubah kebesaran independensi dan
objektivitas, seorang jurnalis menyimpan paradoks, tragedi bahkan ironi
(Eriyanto,2002:v)
Begitu juga pendapat yang dikemukakan oleh Althuser dan Gramsei bahwa
media massa bukan suatu yang bebas, independent tetapi memiliki keterkaitan
dengan realitas sosial, ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa
maka media massa tidak mungkin berdiri ditengah-tengah, dia akan bergerak
dinamis di antar pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. (Sobur,
2006:30). Lebih dari itu, penyampaian sebuah berita ternyata menyimpan
subjektivitas penulis. Namun, berbeda dengan kalangan tertentu yang ,memahami
betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu
dalam setiap penulisan berita menyimpan ideolagi atau latar belakang seorang
penulis. Penulis akan memasukan ide-ide mereka dalam analisis terhadap
data-data yang diperoleh di lapangan.
Media bukan hanya cuma menentukan realitas macam apa yang akan
mengemuka, namun juga siapa yang layak dan tidak layak masuk dalam realitas
itu. Dalam hal ini, media menjadi sebuah kontrol yang bukan lagi semata-mata
sebagaimana dicita-citakan, tetapi kontrol yang mampu mempengaruhi bahkan
mengatur isi pikiran dan keyakinan masyarakat itu sendiri (Sobur, 2003 : 14)
Ketika kebebasan pers marak seperti sekarang ini, banyak media cetak lebih
mengutamakan berita yang cenderung berbau sensasional. Masalah objektivitas
perdebatan yang mewakili dua pandangan pro dan kontra objektif adalah john C,
merril dan Everette E. Dennis. Merril berpendapat jurnalisme objektiv mustahil.
Semua karya jurnalistik pada dasarnya subjektif, mulai dari pencarian berita,
peliputan, penulisan sampai penyuntingan berita. Nilai- nilai subjektif wartawan
ikut mempengaruhi semua proses kerja jurnalistik. Sebaliknya, Dennis
mengatakan jurnalisme objektif bukan suatu yang mustahil, karena semua proses
kerja jurnalistik pada dasarnya dapat diukur dengan nilai-nilai objektiv, misalnya
memisahkan fakta dan opini, menghindari pandangan emosional dalam melihat
peristiwa dan meberikan perinsip keseimbangan dan keadilan serta melihat dari
dua sisi. Denis percaya jurnalisme objektiv mungkin jika mengadopsi metode dan
produser yang dapat membatasi subjektivitas wartawan maupun redaktur
(Siahaan, 2001 : 60-61)
Untuk membuat informasi menjadi lebih bermakna biasanya sebuah media
cetak melakukan penonjolan – penonjolan terhadap suatu berita. Dalam
pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan
nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah
berita (Sobur, 2001 : 153)
Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai peluang
besar untuk diperlihatkan khalyak dalam memahami realitas karena itu dalam
prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan
mengabaikan isu lain, serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan
Untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan
oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita peneliti memilih analisis
framing sebagai metode penelitian. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya
menentukan fakta apa yang diambil, bagaimana yang ditonjolkan dan dihilangkan,
dan hendak dibawa ke mana berita tersebut (Eriyanto, 2005 : 224)
Demikian juga halnya yang terjadi pada pemberitaan seputar sel mewah
Artalyta di Rutan Podok Bambu yang kedua media ini (Jawa Pos dan Kompas)
sama-sama mengangap berita ini memiliki nilai berita (news value) yang tinggi,
hal ini bisa dilihat dari seringnya berita ini di muat dikedua surat kabar tersebut
hanya saja porsinya yang berbeda, Jawa Pos mengangkat berita ini selama 5 hari
mulai tanggal 11 Januari samapai 15 Januari 2010 sedangkan Kompas hanya 3
hari saja mulai tanggal 11 Januari sampai 13 Januari 2010. Untuk porsi
pemberitaan jelas beda dan penulisannya media Jawa Pos lebih banyak dari pada
Kompas. Porsi penempatan Kompas tidak menaruh pada Headline melainkan
bagian depan bawah sedangkan Jawa Pos banyak menaruh kasus ini dalam
headline.
Alasan peneliti memilih harian Jawa Pos dan Kompas dikarenakan memiliki
versi pemberitaan yang berbeda itu dilakukan media cetak harian media cetak
Jawa Pos dan Kompas dalam membingkai sebuah peristiwa yang dipengaruhi oleh
beberapa macam hal. Alasan lain memilih surat kabar Jawa Pos karena adanya
kebijakan redaksionalnya, surat kabar ini mampu mengadakan kebebasan pers dan
tidak hanya mengungkap berita-berita bersifat umum melainkan juga berita-berita
politik dan kriminal. oleh karena itu dalam penyampaian berita menghendaki dan
mengarahkan pada sesuatu yang lain daripada yang lain, dengan menampilkan
rubrik tetentu sebagai nominasi unggulan, berita-berita, reportase, gambar kartun,
hiburan yang bersifat kreatif juga tidak ketinggalan berita yang bersifat
kesenangan.
Serta alasan peneliti memilih surat kabar Kompas karena surat kabar
Kompas dinilai merupakan surat kabar yang terkenal dan netral serta obyektif
dalam menulis beritanya. Selain itu Kompas merupakan harian yang memiliki
gaya penulisan cenderung “tertutup dan bersahaja dalam menggambarkan realitas
yang terjadi dimasyarakat, dan Kompas juga memiliki reputasi kedalam analisa
dan gaya penulisan yang rapi. Harian Kompas sangat diakui keberadaannya di
Indonesia dan tegas menulis realitas. Kompas termasuk media yang menganut
system both cover atau menyajikan dua sisi yang berbeda (Otama, 2001 : ini)
Perbedaan Kompas dan Jawa Pos dalam mengkontruksi atau membingkai
berita dikarenakan adanya perbedaan cara pandang wartawan dari masing-masing
media dalam mempersepsikan kasus tersebut. Perbedaan dari cara kedua harian
tersebut dalam mengemas berita disebabkan adanya perbedaan kebijakan redaksi
dan juga perbedaan kebijakan visi dan misis dari masing- masing media tersebut,
visi dan misi Jawa Pos adalah menjadikan surat kabar yang menginformasikan
misi bisnis sebagai pilar utama utntuk kelangsungan hidup perusahaan. Oleh
karena itu penyampaian berita menghendaki dan diarahkan pada sesuatu yang lain
daripada yang lain dengan menampilkan rubrik-rubriktertentu sebagai nominasi
unggulan berita-berita aktua, reportase, gambar kartun, hiburan- hiburan yang
bersifat kreatif juga tidak ketinggalan berita yang bersifat kesenangan (human
interest).
Sedangkan Kompas merupakan pers nasional yang mempunyai visi dalam
keredaksionalannya yaitu manusia dan kemanusiaan, sehingga harian ini berusaha
senantiasa peka akan nasib manusia dan meningkatkan yang mapan (Oetma, 2001
: 147), dipilihnya harian kompas karena harian yang paling laku di Indonesia
(lebih setengah juta kopi tejual setia harinya) dan juga merupakan surat kabar
berkualitas terbesar di Asia Tenggara, selain itu Kompas memiliki reputasi
kedalamaan analitis dan gaya penulisan yang rapi. Kompas juga memiliki
kerajaan bisnis yang terdiri dari 38 perusahaan yang dikenal sebagai
Gramedia Group. Melalui berbagai buku, majalah, dan surat kabar,
Kompas-Gramedia Group mendominasi industri penerbitan. (Sen and Hill, 2001: 68-69).
Periode yang dipilih dalam penelitian ini adalah pada Jawa Pos tanggal 11
januari – 13 januari 2010 dan Kompas 11 januari – 12 januari 2010 karena periode
tersebut pada harian Kompas dan Jawa Pos memuat berita tentang Sel mewah
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka
perumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana harian Jawa Pos dan Kompas membingkai berita tentang Sel Mewah
Artalyta Dirutan Pondok Bambu Jakarta?”
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pembingkaian berita
pada Surat kabar Jawa Pos dan Kompas dalam berita Sel mewah Artalyta di rutan
Pondok Bambu Jakarta.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Menambah kajian dalam bidang ilmu komunikasi terutama yang
menggunakan metode kualitatif dan terkhusus yang menggunakan analisis
framing. Dengan melakukan penelitian ini di harapkan dapat memperoleh
pengetahuan tentang strategis yang digunakan media dalam membingkai Berita
Sel Mewah Artalyta di Rutan Pondok Bambu Jakarta.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi jurnalistik serta media
massa, khususnya Jawa Pos dan Kompas dalam mengkontruksi berita yang
b. Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa ilmu komunikasi yang tertarik
dengan penelitian teks media khususnya yang menggunakan metode analisis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pers dan Tanggung Jawab Sosial
Pers lebih dikenal sebagai “Lembaga Kemasyarakatan” (sosial institution),
dimana memiliki intensitas independen diantara kehidupan bermasyarakat suatu
negara. Pers bebas dan bertanggung jawab, menginginkan pers sebagai institusi
media yang berada di tengah masyarakat, harus mempunyai tanggung jawab
dalam kebebasan pemberitaan realitas, dalam kehidupan bermasyarakat. Berada
dalam suatu negara, tetapi bukan merupakan bagian dari pemerintahan. Meski
demikian, baik pers, masyarakat maupun pemerintah memiliki keterkaitan yang
saling mempengaruhi. Pers sebagai komunikator massa bisa mempengaruhi
masyarakat dengan informasinya. Namun masyrakat juga melakukan seleksi
terhadap informasi yang disajikan . sedangkan peran pers bagi pemerintah sebagai
kontrol sosial di tengah masyarakat atas pelaksanaan pemerintahan. Dapat dilihat
bahwa hubungan antara ketiga institusi (pers, masyarakat, dan pemerintah) selalu
menyesuaikan dengan kehidupan sosial, budaya, bahkan politik negara.
Pers sebagai lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengumpulan
dan penyebaran informasi, terkait erat dengan tata nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Informasi yang ada harus bisa diterima dengan baik, bahkan harus
bisa di percaya kebenarannya. Masing-masing media harus bisa menyesuaikan
Kepentingan audience yang heterogen mengakibatkan timbul persaingan antar
media dalam menarik perhatian khalayak. Dampak dari persaingan itu
menyebabkan kehidupan pers yang idealis berubah menjadi pers industrialis,
dengan berita sebagai komoditi utama, dan orientasi yang menjadi profit taking.
(Djuroto, 2002:9)
Fungsi media massa sebagai media penyiaran didedikasikan untuk
kepentingan publik, dengan tugas utama memberikan informasi (inform),
menghibur (entertain), mendidik (educate) dan membangun kesadaran khalayak
sebagai anggota masyarakat yang demokratis. Menurut Collins, seperti disitir oleh
Hamzah, dalam konsepnya sebagai penyiaran publik, terkandung pula segi
pertanggungjawaban publik. Kepemilikan media dianggap sebagai sebuah “public
trust”, konsekuensinya media penyiaran memanggul kewajiban dan
pertanggungjawaban publik. Bahwa informasi yang disajikan harus lebih
mengandung segi kemanfaatan sosial daripada sekedar manfaat bisnis (Hamzah
dalam Jurnal ISKI, No. 6/ November 2001:108)
Media harus memberikan publisitas kepada institusi pemerintah dan politik
dengan ruang publik di media untuk mendiskusikan isu-isu politik dan
memfasilitasi pembentukan “public opinion”. Namun ternyata kebebasan media
yang ada seringkali tidak disertai dengan kesadaran media atas tanggung
jawabnya. Bahkan beberapa media melibatkan diri dalam fitnah politik karena
kepentingan ekonomi dari industri media itu sendiri dan aliansi-aliansi politik.
2.1.2 Wartawan dan media sebagai kontruksi realitas
Dalam pandangan positivitik pers atau surat kabar diharapkan mampu
menyajikan berita secara objektif dan tidak memihak. Pers surat kabar dituntut
menyajikan fakta apa adanya tanpa unsur subjektivitas pers sendiri dan
kekuatan-kekuatan diluar dirinya sehingga realitas sebenarnya. Pers yang objektif biasanya
selalu dikaitkan dengan perannya sebagai pembawa amanat hati nurani rakyat
dalam menciptakan pendapat umum sekaligus berfungsi sebagai kontrol sosial.
Namun pernyataan diatas berbeda dengan pandangan aliran konstruksionis
mengenai berita-berita disurat kabar. Kaum konstrusionis menyatakan bahwa
realitas yang dibangun oleh surat kabar merupakan hal yang subjektif. Realitas itu
hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Fakta bukan sesuatu
yang tinggal diambil, ada dan menjadi bahan dari berita. Fakta dan realitas pada
dasarnya dikontruksi oleh wartawan (Eriyanto, 2002:19).
Pandangan aliran konstrusionis surat kabar sebagai agen kontruksi. Surat
kabar bukanlah murni sebagai sarana saluran atau tempat bagaimana transaksi
pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Namun posisi media tidak
hanya sekedar saluran yang bebas, tetapi juga sebagai subjek yang mengkontruksi
realitas. (Eriyanto, 2002 : 23). Surat kabar bebas bergerak menetukan
penggambaran peristiwa yang terjadi. Surat kabar memiliki standart kategorisasi
apakah peristiwa tersebut mampu untuk dijadikan sebagai bahan berita yang
diutamakan, taukah peristiwanya dianggap tidak layak sebagai nilai berita.
Surat kabar adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk
ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Kalau ada demonstrasi
mahasiswa selalu diberitakan anarkis, hal itu bukan menunjukan realitas
sebenarnya, tetapi menggambarkan bagaimana surat kabar ikut berperan dalam
mengkontruksi realitas. Apa yang tersaji dalam berita adalah produk dari
pemberitaan realitas surat kabar melalui realitas mana yang diambil dan mana
yang tidak diambil. (Eriyanto,2002:23)
Kaum kontruksionis berpendapat, sebuah berita itu ibarat seperti drama.
Bukan menggambarkan realitas, layaknya sebuah drama ada pihak yang
didefinisikan sebgai pahlawan, tetapi ada juga pihak yang diiterpretasikan sebagai
musuh. Kontruksi dibentuk layaknya cerita yang dipertontonkan kepada publik.
(Eriyanto,2002:25). Karena semua drama yang ada pasti memiliki seorang dalang
untuk memainkan apa yang diceritakan.
Berita adalah produk dari institusi sosial, dan melekat dalam hubungannya
dengan institusi lainnya. Berita adalah produk yang profesionalisme yang
menetukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikontruksi. Karena
berita merupakan hasil kerja jurnalistik yang tidak bisa dinilai dengan
menggunakan sebuah standar yang absolute (Eriyanto,2002:27).
Dalam paradigma konstruksionis realitas yang sama bisa jadi menghasilkan
berita yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita
tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu kewajaran. Berita yang tercipta dari
wartawan, sekilas pembaca dari kalangan awam memiliki persepsi bahwa proses
berita merupakan semua gejala yang ada pada peristiwa. Berita telah menceritakan
adanya keberpihakan media terhadap kelompok tertentu tidak disadari oleh
pembaca. Pembaca menganggap berita hanya suatu informasi datangnya dari
wartawan kemudian ditransformasikan lewat media persnya.
Begitu pula dengan sebuah berita, dimana hasil pengkontruksiannya realita
yang menarik tidak akan lepas dari peran seorang wartawan dalam merangkai
sebuah peristiwa. Seorang wartawan harus memiliki kemampuan untuk
mengungkapkan fakta-fakta. Fakta ini dipilih oleh wartawan menurut sudut
pandangnya, mana angel yang harus ditonjolkan dan mana yang ditekankan, serta
membuang fakta tertentu yang dapat merugikan pihak pihak persnya.
Peran wartawan sebagai bagian dari media adalah tidak lebih sebagai
pelapor saja, wartawan harus menyajikan realitas secara benar, dengan
menyingkirkan keberpihakan dan pilihan moral sehingga apa yang diungkapkan
murni fakta, bukan penilaian individu wartawan. Tetapi pernyataan itu ditolak
keras oleh kaum kontruksionis, bahwa bukan hanya melaporkan fakta saja,
melainkan ikut mendefinisikan dan aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman
mereka. (Eriyanto,2002:28).
Dalam pandangan kontruksi juga,wartawan layaknya agen atau aktor
pembentuk realitas. Wartwan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu
saja. Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan
objektif, yang benar yang seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan.
Proses mengkontruksi yang berlangsung antara media dan wartawannya ini
akibat dari keberpihakan dan ideologi yang dipegang oleh wartawan dan
tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah
robot yang meliputi apa adanya apa yang dilihat. Etika moral dan keyakinana pada
kelompok adalah bagian yang intergral dan tidak bisa dihilangkan dalam
membentuk dan mengkontruksi realitas. (Sudibyo,2002:55)
Nilai berita (news value) merupakan standart yang menjadi panduan bagi
wartawan untuk menentukan realitas yang seperti apa yang layak diberitakan dan
realitas seperti apa pula yang tidak layak untuk diberitakan. Semakin banyak nilai
berita, semakin besar pula kemungkinan dari realitas tersebut untuk diberitakan.
Namun sebaliknya, semakin sedikit nilai berita semakin kecil pula kemungkinana
dari realitas tersebut untuk diberitakan. Dalam penentuan berita mana yang layak
menjadi head line pun juga demikian. Berita yang mempunyai nilai berita paling
banyak dan paling tinggi semakin besar kemingkinannya menjadi headline,
sebaliknya berita yang sedikit atau rendah nilai beritanya semakin sedikit
kemungkinannya menjadi head line. Pada akhirnya nilai berita menjadi landasan
atau pijakan berfikir bagi wartawan untuk memberikan realitas mana yang diliput
dan mana yang tidak diliput. Begitu juga berita yang seperti apa yang layak untuk
dimuat dan seperti apa pula yang tidak layak untuk dimuat. Pada akhirnya media
bukan hanya menetukan realitas macam apa yang akan mengemuka, namun juga
siapa yang layak dan juga tidak layak masuk menjadi bagian dari realitas tersebut.
Media menjadi kontrol yang mampu mempengaruhi bahkan mengatur isis pikiran
dan keyakinan-keyakinan masyarakat itu sendiri. Media menunjukan bukan hanya
apa yang dapat dan harus dipikirkan namun juga bagaimana masyarakat harus
Demikian pula dengan pengkatogorisasian berita menjadi hard news, soft
news, features dan seterusnya. Justru menjadi landasan atau pijakan bagi
wartawan untuk menetukan bukan hanya bagaimana sebuah realitas
diklarifikasikan, namun juga menetukan bagaimana sebuah realitas
diklarifikasikan, namun juga menetukan bagaimana peristiwa didefinisikan,
dipahami bahkan direkontruksi. Aspek apa yang diperhatikan dan bagian mana
dari peristiwa yang akan ditulis diantaranya dilihat dari bagaimana sebuah realitas
hendak dilihat dalam kategori berita tertentu. Hal yang sama pula apabila
berbicara tentang objektivitas berita.
Dalam proses manajemen redaksional, realitas sebenarnya selalu bersifat
subjektif. Realitas bisa ada karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan.
Realitas tercipta lewat kontruksi dan sudut pandang tertentuwartawannya. Dengan
demikian, tidak ada realitas yang bersifat objektif karena realitas tercipta lewat
kontruksi dan pandangan wartawan. Realitas pun dapat berbeda-beda, tergantung
konsepsi ketika realitas tersebut dipahami oleh wartawan yang memiliki
pandangan yang juga berbeda. Berita merupakan hasil kontruksi sosial dimana
selalu melibatkan pandangan,ideologi dan nilai-nilai dari wartawan ataupun dari
institusi medi dimana wartawan tersebut bekerja. Bagaimana realitas tersebut
dijadikan berita tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai.
Karena dalam proses kerjamanjemen redaksionalselalu akan melibatkan idiologi,
motif atau kepentingan serta nilai-nilai yang ada dalam diri wartawan dan institusi
media, akan menjadikan media sebagaisaluran yang tidak bebas nilai. Sehingga
mengkontruksi realitas, lengkap dengan pandangan serta bias dan pemihaknya.
Disini media dipandang sebagai agen kontruksi sosial yang mendefinisikan
realitas sesuai dengan kepentingannya. (Birowo,2004:175-177).
2.1.3 Elemen-Elemen Berita
Beberapa elemen nilai berita, yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah :
Immediacy, Proximity, Consequence, Conflict, Oddity, Sex, Emotion, Prominence,
Suspense, dan Progress. Didalam kisah berita bisa jadi terdapat beberapa elemen
berita yang saling mengisi dan terkait dengan peristiwa yang dilaporkan
wartawan.
1. Immediacy
Immediacy kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan
kesegaran peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan sebagai
laporan dari apa yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan
sejarah. Unsur waktu sangat penting disini.
2. Proximity
Khalayak berita akan tertarik dengan berbagai peristiwa yang terjadi
didekatnya, disekitar kehidupan sehari-harinya. Proximity ialah keterdekatan
peristiwa dengan pembaca atau pemirsa dalam keseharian hidup mereka.
Orang-orang akan tertarik dengan berita-berita yang menyangkut kehidupan
mereka, seperti keluarga atau kawan-kawan mereka, kota mereka beserta
klub-klub olahraga stasiun, terminal, dan tempat-tempat yang mereka kenali setiap
3. Consequence
Berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung
nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji pegawai negeri atau kenaikan
harga BBM (Bahan Bakar Minyak), masyarakat dengan segera akan
mengikutiya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari-hari
yang harus mereka hadapi. Putusan parlemen yang mengesahkan Banten
menjadi sebuah provinsi dan lepas dari kewilayahan Jawa Barat, akan
diperhatikan masyarakat dikarenakan konsekuensi (bagi para penduduk Banten
dan sekitarnya)
4. Conflict
Peristiwa-peristiwa perang, demonstrasi, atau kriminal merupakan contoh
elemen konflik di dalam pemberitaan. Persetruan antara individu, antar tim
atao kelompok, sampai antar negara merupakan elemen-elemen natural dari
berita-berita yang mengandung konflik.
5. Oddity
Peristiwa yang tidak biasa terjadi ialah sesuatu yang akan diperhatikan segera
oleh masyarakat. Kelahiran bayi kembar lima, goyang gempa berskala Richter
tinggi, pencalonan tukang sapu sebagai kandidiat calon guberrnur, dan
sebagainya, merupakan hal-hal yang akan jadi perhatian masyarakat.
6. Sex
Kerap seks emnajdi elemen utama dari sebuah pemberitaan, tapi seks sering
pula menjadi elemen tambahan bagi pemberitaan tertentu, seperti pada berita
dengan elemen seks. Berita politik impeachment Presiden AS, Bill Clinton,
banyak terkait dengan unsur seksnya.
7. Emotion
Elemen emotion ini kadangdinamakan dengan elemen human interest. Elemen
ini menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan, simpati,
ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau humor. Elemen emotion sama
dengan komedi, atau tragedi.
8. Prominence
Elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar istilah “names make news”, nama
membuat berita. Ketika seseorang menjadi terkenal, maka ia akan selalu
diburu oleh pembuat berita. Unsur keterkenalan ini tidak dibatasi atau hanya
ditunjukan kepada status VIP semata. Beberapa tempat, pendapat, dan
peristiwa termasuk ke dalam elemen ini. Bali, petuah-petuah hidup, dan hari
raya memiliki elemen keterkenalan yang diperhatikan banyak orang.
9. Suspense
Elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu terhadap sebuah
peristiwa oleh masyarakat. Adanya ketegangan menunggu pecahnya perang
(invasi) AS ke Irak , adalah salah satu contohnya. Namun, elemen ketegangan
ini tidak terkait dengan paparan kisah berita yang menyampaikan fakta-fakta
tetap merupakan hal yang penting. Penantian masyarakat pada pelaku “Bom
Bali” tetap mengandung kejelasan fakta. Namun, ketegangan masyarakat tetap
terjadi selama kasus tersebut dilaporkan media, khususnya kepada rincian
10.Progress
Elemen ini merupakan elemen “perkembangan” peristiwa yang ditunggu
masyarakat. Kesudahan invasi AS ke Irak misalnya, tetap ditunggu
masyarakat. Bagaiaman masyarakat Irak seusai perang tersebut membangun
pemerintahannya adalah elemen berita yang ditunggu masyarakat. Bagaimana
upaya negara-negara yang terkena wabah SARS, pemberitaanna masih
diminati masyarakat. (Santana, 2005:18-20)
2.1.4 Analisis Framing
Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story
telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara melihat”
terhadap realitas yang dijadikan berita. “Cara melihat” ini berpengaruh pada hasil
akhir dari konstruksi realitas. Analisis framing ini adalah analisis yang dipakai
untuk melihat bagaimana media merekonstruksi realitas. Analisis framing juga
dipakai untuk bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media. Tiap hari
bisa disaksikan dan dibaca bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh
media.
Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis
untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa
saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses
konstruksi. Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna
tertentu. Hasilnya, pemberitaan media pada sisi tertetnu atau wawancara
teknik jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan
ditampilkan. (Eriyanto, 2002:3)
Frame pada awalnya dimaknai sebagai konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik kebijakan, dan wawancara
yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.
Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahun 1974
yang mengandalkan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of
behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur,
2001:162). Realitas itu sendiri tercipta dalam konsepsi wartawan, sehingga
berbagai hal yang terjadi seperti faktor dan orang didistribusikan menjadi
peristiwa yang kemudian disajikan untuk khalayak.
Menurut pandangan G.J. Aditjondro framing adalah sebagai metode
penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari
secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan
terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah yang punya
konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya.
(Sudibyo dalam Sobur, 2001:165)
Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah
cara-cara ideologi media saat mekonstruksi fakta. Analisis ini mencermati
strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar menjadi
lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk
menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya, dengan kata lain,
pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menetukan fakta apa yang
diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa
kemana berita tersebut. (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis dalam Sobur, 2001:162)
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada
dalam kategori penelitian konstruksi. Paradigma ini memandang realitas
kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi.
Karenanya, konsentrasi peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan
cara apa konstruksi itu dibentuk. Ada dua karateristik penting dari pendekatan
konstruksionis. Pertama, pendekatan kostruksionis menekankan pada politik
pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang
realitas. Makna bukanlah sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan
dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang
dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana
pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia
memeriksa pesan bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima
pesa.(Eriyanto, 2002:40)
Dalam ranah studi komunikasi analisis framing mewakli tradisi yang
mengedepankan pendekatan multidisipliner untuk menganalisa fenomena atau
akyivitas komunikasi yang ada. Perspektif komunikasi framing dipakai untuk
mebedakan cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Karena
itu konsep framing selalu berkaitan erat dengan proses seleksi isu dan
Disini framing dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang
khas sehingga isu tertentu tersebut mendapatkan alokasi yang besar dari pada
isu-su yang lain.
Framing ini pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di
hadapan pembaca. Melalui framing inilah dapat ditentukan bagaimana realitas
itu harus dilihat, dianalisis dan diklasifikasikan dalam kategori tertentu. Dalam
hubungannya dengan penelitian berita, framing dapat mengakibatkan suatu
peristiwa yang sama dapat menhasilkan berita yang secara radikal berbeda
apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa
tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita, karena asumsi dasar dari
framing adalah bahwa individu wartawan selalu menyertakan pengalaman
hidup, pengalaman sosial, dan kecenderungan psikologinya ketika menafsirkan
pesan datang kepadanya.
Melalui analisis framing akan dapat diketahu siapa mengendalikan
siapa, iuntungkan dan siapa dirugkan, sipa menindas dan siapa tertindas.
Kesimpulan-kesimpulan seperti ini sangat mungkin di peroleh karena analisis
framing merupakan suatu seni-kreativitas yang memiliki kebebasan dalam
menafsirkan dengan menggunakan teori dan metodologi tertentu. (Eriyanto,
2002:vi).
2.1.5 Konsep Framing Gamson dan Modigliani
William A. Gamson adalah salah satu ahli yang paling banyak menulis
penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas
suatu isu atau peristiwa. Pendapat umum tidak cukup kalau hanya didasarkan pada
data survei khalayak, tetapi perlu dihubungkan dan dibandingkan dengan
bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu isu. Sebab, bagaimana media
menyajikan suatu isu menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti
suatu isu. (Eriyanto, 2002 : 217).
Gamson adalah seorang sosiolog, jadi titik perhatian Gamson adalah
tentang gerakan sosial (social movement), gerakan sosial Gamson tidak mau
menyinggung studi media, elemen penting dari gerakan sosial. Hal inilah yang
menimbulkan framing, frame merujuk pada skema pemahaman individu sehingga
seseorang dapat menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasi dan memberi label
peristiwa dalam pemahaman tertentu. (Eriyanto, 2002 : 218).
Dalam suatu peristiwa, frame berperan dalam mengorganisasi pengalaman
dan petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Dalam pemahaman
ini, frame tentu saja berperan dan menjadi aspek yang menentukan dalam
partisipasi gerakan sosial. Elit membingkai peristiwa sedemikian rupa sehingga
khalayak mempunyai perasaan yang sama. Keberhasilan gerakan atau protes
sosial diantaranya ditentukan oleh sejauh mana khalayak mempunyai pandangan
yang sama atas suatu isu, musuh bersama dan tujuan bersama. (Eriyanto, 2002 :
219).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis William A. Gamson.
Dalam hal ini Gamson dibantu oleh Modigliani, dalam formulasi yang mereka
yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa
yang berkaitan dengan suatu wacana. Framing adalah pendekatan untuk
mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh
wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Gamson dan Modigliani
menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package). Menurut mereka, frame
adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan
menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek
suatu wacana. Kemasan (package) adalah rangkaian ide-ide yang menunjukkan
isu apa dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam
skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi
makna pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna
pesan-pesan yang ia terima. (Eriyanto, 2002 :223-224)
2.1.6 Perangkat Framing Gamson dan Modigliani
Dalam pandangan Gamson, framing dipahami sebagai seperangkat gagasan
atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu.
Ide sentral ini akan didukung oleh perangkat wacana lain sehingga antara satu
bagian wacana dengan bagian lain saling kohesif.
Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan dalam teks
berita. Pertama, perangkat framing (framing device). Perangkat ini berhubungan
dan berkaitan langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam
teks berita. Perangkat framing ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat,
Perangkat penalaran berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks tersebut
yang merujuk pada gagasan tertentu. (Eriyanto, 2002 : 226-227).
Framing devices terdiri dari :
1. Methapors (perumpamaan atau pengandaian), secara literal dipahami sebagai
cara memindahkan makna sesuatu dengan merelasikan dua fakta memakai
analogi, sering berupa kiasan menggunakan “seperti” atau “bak/bagai”.
2. Catchphrases (frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana,
umumnya berupa jargon atau slogan), merupakan istilah, bentukan kata atau frase
khas cerminan fakta yang mrujuk pada pemikiran atau semangat sosial tetentu
guna mendukung politik kekuasaan. (Siahaan, 2001 : 85). Jargon adalah kata atau
istilah khas yang digunakan sebuah kelompok masyarakat tertentu, yang
kemudian diadopsi dalam konteks ideologi kekuasaan dan masyarakat luas.
Slogan yaitu kalimat pendek yang maknanya mudah diingat dan memberi
semangat dan membawa efek menggerakkan dukungan. (Siahaan, 2001 : 93).
3. Exemplaar (mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian teori, perbandingan
yang memperjelas bingkai). Exemplar adalah menguraikan atau mengemas fakta
tertentu secara mendalam agar memiliki bobot makna lebih pada satu sisi untuk
dijadikan rujukan. Posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana.
Tujuannya memperoleh pembenaran beroperasinya kukuasaan.
4. Depiction (penggambaran isu yang bersifat konotatif, umumnya berupa
kosakata, lesikon untuk melabeli sesuatu). Depiction sendiri adalah penggambaran
fakta memakai kata, istilah, kalimat bermakna konotatif dan bertendensi khusus
5. Visual Images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara
keseluruhan, berupa foto, kartun atau grafik untuk menekankan dan mendukung
pesan yang ingin disampaikan. Visual images gunanya untuk mengekspresikan
kesan, seperti perhatian atau penolakan dengan menggunakan huruf yang
dibesarkan/dikecilkan, ditebalkan/dimiringkan atau digaris bawahi serta
pemakaian bermacam warna.
1. Sedangkan reasoning devices terdiri dari :Roots (analisis kausal atau sebab
akibat), mengedepankan hubungan yang melibatkan suatu objek atau lebih yang
dianggap sebagai sebab terjadinya hal yang lain.
2. Appeals to Principle (premis dasar, klaim-klaim moral) adalah upaya
memberikan alasan pembenaran dengan memakai logika dan prinsip moral untuk
mengklaim sebuah kebenaran saat membangun wacana.
3. Consequences adalah efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai.
Tabel 2.1. Perangkat Framing William A. Gamson dan Modigliani
Frame
Central organizing idea for making senses of relevants events, suggesting, what is at issues (opini leader dalam suatu berita itu yang mempengaruhi suatu isu)
Framing Devices Reasoning Devices
(perangkat framing) : (perangkat penalaran) :
1. Methapors 1. Roots
2. Catchphrases 2. Appeals to Principle
3. Exemplaar 3. Concequences
4. Depiction
2.1.7 Hierarchy of Influence
Media pada dasarnya adalah cerminan dan refleksi dari masyarakat
secara umum. Karena itu, media bukanlah saluran yang bebas, media juga
subyek yang mengkonstruksi realitras, lengkap dengan pandangan, bias dan
pemihakannya.
Di dalam suatu pemberitaan, pembaca kerap berharap media bertindak
netral dan seimbang ketika memberitakan pihak-pihak yang berkonflik.
Kecenderungan atau erbedaan setiap media dalam memproduksi informasi
kepada khalayak dapat diketahui dari pelapisan-pelapisan yang melingkupi
institusi media. Pemela shoemaker dan Stephen D. Reese membuat “Hierarchy
of Influence” yang menjelaskan hal ini
Berikut adalah penjelasan dari gambar diatas:
1. Pengaruh individu-individu pekerja media. Diantaranya adalah
karateristik pekerja komunikasi, latar belkang personal dan profesional.
2. Pengaruh rutinitas media, apa yang dihasilkan oleh media massa
dipengaruhi oleh kegiatan seleksi-seleksi yang dilakukan oleh
komunikator, termasuk tenggat waktu (deadline) dan rintangtan waktu
yang lain, keterbatasan tempat (space), kepercayaan reporter pada
sumber-sumber resmi dalam berita yang dihasilkan
3. Pengaruh organisasional, salah satu tujuan yang penting dari media adalah
mencari keuntungan materiil. Tujuan-tujuan media akan berpengaruh pada
isi yang diberitakan.
4. Pengaruh dari luar organisasi media. Pseudoevent dari kelompok
kepentingan terhadap isis media. Pseudoevent dari praktisi public relations
dan pemerintah yang membuat peraturan-peraturan di bidang pers.
5. pengaruh ideologi, ideologi merupakan pengaruh yang paling menyeluruh
dari semua pengaruh. Ideologi disini diartikan sebagai mekanisme
simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang memeprsatukan di
dalam masyarakat. (Sobur, 2004:138-139)
2.2 Kerangka Berfikir
Artalyta sebagai suruhan dari Syamsul Nursalim untuk menyuap Ketua
tim penyidik kejaksaan dalam Kasus Bank BDNI, tidak licin dalam menjalankan
tertangkaplah Artalyta dan Jaksa Urip dengan bukti uang suap yang berjumlah
USD660.000. karena kasus tersebut Artalyta dikenai kurungan selama 5 tahun dan
denda 250 juta. Setelah berjalannya waktu Artalyta mulai dilupakan oleh
masyarakat dan ditutup oleh beberapa kasus besar yang menutupi berita tentang
Artalyta, masyarakat diingatkan kembali oleh Ratu suap ini karena adanya
penemuan Sel mewah di Rutan tempat Artalyta menjalani hukuman.
Ditemukannya sel mewah Artalyta oleh Satgas Anti Mafia Hukum Di Rutan
Pondok Bambu Jakarta merupakan kasus yang sangat menggelitik masyarakat
karena kasus ini membuktikan kebobrokan hukum di negara Indonesia. Fasilitas
yang diberikan setara dengan kamar hotel berbintang seperti adanya televise, AC,
spring bed, baby wolker dan barang-barang yang setara dengan hotel berbintang.
Sangat mencolok perbedaan yang terjadi dengan para tahanan yang lain, seperti
fasilitas yang diberikan. Setelah ditemukannya kasus ini pemerintah tidak tinggal
diam dalam menghadapi kasus ini. Pemerintah mencopot Karutan Pondok Bambu
Sarju Wibowo dan digantikan oleh Catur Budi Patayatin dan untuk Artalyta
ruangan sel mewahnya di kembalikan kepada fungsi semula serta memindah
Artalyta ke Lapas Tangerang dengan tidak ada fasilitas mewah seperti dia ada di
Rutan Pondok Bambu.
Peristiwa tersebut mendapatkan perhatian oleh media dalam berbagai
sudut pandang diantaranya media kompas dan Jawa Pos dimana pada kedua media
ini terdapat perbedaan dalam menuliskan, mengisahkan dan menceritakan tentang
peristiwa ini. perbedaan ini tidak lepas dari ideologi yang telah di bangun di
dilakukan oleh masing-masing media dengan mengambil jenis penelitian analisis
framing.
Di bawah ini adalah kerangka berpikir dalam penelitian ini :
Gambar 2.2. Kerangka berpikir
Central organizing idea for making senses of relevants events, suggesting, what is at issues
Framing Devices Reasoning Devices
(perangkat framing) : (perangkat penalaran) :
1. Methapors 1. Roots
2. Catchphrases 2. Appeals to Principle
3. Exemplaar 3. Concequences
4. Depiction
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penlitian
Metode penelitian yang dipakai ini adalah metode penelitian kualitatif
dengan menggunakan analisis framing. Analisis framing digunakan untuk
mengetahui bagaimana realitas (peristiwa,aktor,kelompok, dan lainsebagainya)
dikontruksi oleh media dengan cara tekhnik apa peristiwa ditekankan dan
ditonjolkan. Apakah dalam berita ittu ada bagian yang dihilangkan, tepat atau
bahkan disembunyikan dalam pemberitaan semua elemen tersebut tidak hanya
bagian dari teknisi jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai
dan ditampilkan (Eriyanto,2005:3)
Pada penelitian ini akan dijelaskan bagaimana cara media membingkai atau
mengkontruksi berita-berita mengenai “sel mewah Artalyta di Rutan Pondok
Bambu” Media yang digunakan oleh peneliti untuk mengkontruksi berita ini
terambil dari Jawa Pos dan Kompas.
3.1.1 Definisi Operasional
Berita yang di telit oleh peneliti dalam medi Jawa Pos dan Kompas
menggunakan analisiss teks media, frame utama yang mengandung simbol-simbol
dalam pesannya, diuraikan dengan menggunakan perangkat framing (metaphors,
exepmplars, catchphrases, depitcion, visual image) dan berangkat penalaran (root,
Methapors, yaitu melihat makna dari berita sel mewah Artalyta Di Rutan
Pondok Bambu di media Jawa Pos dan Kompas, dengan merelasikan fakta yang
berupa kiasan atau juga mentransfer kata yang memiliki simbol yang bisa
mewakili keseluruhan. Misalnya, seperti dikutip dari Jawa Pos 11 januari 2010 hal
1, “Satuan Tugas (Satgas) Pemberantas Mafia hukum mulai menunjukan
taringnya” menunjukan bahwa Satgas Anti Mafia hukum tanpa memandang orang
yang disidak dengan menggunakan kiasan “Taringnya”.
Catchphrases, yaitu melihat frase atau bentukkan kata yang menarik,
menonjol dalam berita Sel mewah Artalyta di rutan pondok bambu dalam Jawa
Pos dan Kompas, yang merujuk pada suap yang begitu kental di Indonesia pada
selama ini dan kasus ini sebagai bukti dari semua yang telah terjadi. Umunya
berupa jargon dan slogan, misalnya seperti “Kasus tersebut seperti puncak gunung
es” dikutip dari berita yang diangkat Jawa Pos 11 Januari 2010 hal 19.
Exemplars, yaitu uraian yang memperjelas bingkai dengan contoh,
perbandingan. Posisinya sebagai rajukan, pelengkap pembenaran. Seperti
misalnya dalam pemberitaan Sel mewah Artalyta di Rutan Pondok Bambu di
media Jawa Pos dan Kompas, contohnya: “Ayin juga pernah keluar tahanan.
Penyuap jaksa Urip Tri Gunawan itu mengaku dua kali keluar tahanan” diangkat
Jawa Pos 11 Januari 2010 hal 19.
Depiction, yaitu penggambaran fakta yang bersifat konotatif, bertendensi
khusus agar pemahaman khalayak terarah ke citra tertentu, memunculkan harapan,
atau bahkan ketakutan. Misalnya pada kalimat “Itu dilakukan untuk menghindari
januari 2010 halaman 19 Penggambaran kerajaan kecil adalah para napi yang
memiliki banyak uang bisa berkuasa di Rutan atau Lapas.
Visual image, yaitu dengan menampilkan foto yang mendukung berita sel
mewah artalyta du Rutan Pondok Bambu. Selain itu juga pengaturan lay out,
seperti penempatan halaman, lebar kolom, dan bentuk headline, yang dilakukan
oleh Jawa Pos dan Kompas, ikut serta mempengaruhi dan mendukung berita yang
di angkat.
Perangkat framing tersebut didukung dengan perangkat penalaran yang
ada, digunakan untuk memberi alasan pembenar. Dari berita sel mewah artalyta di
rutan pondok bambu yang diuraikan oleh Jawa Pos dan Kompas, terlihat roots
yang diuraikan oleh kompas tanggal 12 januari 2010 halaman 1 “Namun, ia
melihat gegap gempita sidak yang diliput media cenderung hanya untuk mencari
popularitas sesaat” terlihat kerja satgas yang seperti mencari muka didepan
masyarakat.
Appeals to praticiple adalah upaya memberikan alasan pembenar dengan
memakai logika dan prinsip moral untuk mengklaim sebuah kebenran. Seperti
terlihat pada kompas 12 Januari 2010 :
“Emerson juga mengakui di penjara itu bukan hal baru. Praktik semacam itu sebenarnya sudah berjalan lama sistematis, dan melibatkan semua pihak di LP atau rutan. Dengan demikian semua kalangan yang terlibat harus diberi sangsi”.
Consequences atau efek yang didapat dari bingkai berita Sel mewah
Adalah di mana khalayak dapat memahami dan mengerti betul akan sepak terjang
para mafia hukum di Indonesia.
3.2 Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah surat kabar harian Jawa Pos dan
Kompas. Sedangkan obyek penelitian adalah berita-berita tentang sel mewah
Artalyta di rutan pondok bambu yang dimuat pada surat kabar tersebut pada Jaw
Pos dan Kompas 2010.
3.3 Unit Analisis
Unit analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah uni reference, yaitu
unit yang digunakan untuk menganalisis kalimat dan kata yang dimuat dalam teks
berita mengenai sel mewah artalyta di rutan pondok bambu di dalam surat kabar
harian Jawa Pos dan Kompas.
Analisis teks media dengan melihat hubungan antar kalimat, foto, grafik,
dan ungkapan narasumber, untuk mengungkapkan pemaknaan terhadap perspektif
yang digunakan oleh media, Jawa Pos dan Kompas dalam melihat suatu peristiwa,
yaitu mengenai sel mewah Artalyta dirutan pondok bambu.
3.4 Populasi dan Korpus
Populasi penelitian ini adalah surat kabar Jawa Pos dan Kompas yang terbit