• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 i

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

UPAYA MENGATASI

PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

BERKELANJUTAN DI BALI

Oleh:

Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna Dr. Ir. Ni Wayan Tatik Inggriati

Dr. Ir. Sahat Pasaribu Ir. Rita Indrasti, M.Si Drh. Nata Kusuma, MMA

Nyoman Budiana, SPt I Gst. Made Widianta, SP

BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN E. Kebijakan pembangunan pertanian daerah

1. Regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya pertanian E.1.1. Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan

pertanian daerah

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN

BALI

(2)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 ii

UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

BERKELANJUTAN DI BALI

NAMA PENELITI UTAMA : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna

NIP : 19590907 198603 1 002

NAMA BPTP : BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN

(BPTP) BALI

INSTITUSI YANG TERLIBAT:

1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor 2. Balai Besar Pengembangan Pengkajian Tekonologi Pertanian, Bogor 3. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

4. Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar, Bali 5. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali

(3)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 iii

UPAYA MENGATASI

PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

BERKELANJUTAN DI BALI

1. Penanggung jawab : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna

2. NIP : 19590907 198603 1 002

3. Nama BPTP : BPTP Bali

4. Nama Pemda/Stakeholder

yang terlibat : Dinas Peternakan Provinsi Bali 5. Nama Pusat/Puslit/BB/Balit

yang terlibat : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

(4)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 iv Lembar Pengesahan

KERANGKA ACUAN

7. Judul Kegiatan : Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali

8. BPTP Pengusul : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali 9. Alamat : Jalan By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Bali 10. Diusulkan Melalui : Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian 11. Sifat Usulan Kegiatan : Baru 12. Peneliti Utama/

Penanggung jawab : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna 13. Personalia:

a. Peneliti/Penyuluh : 4 orang b. Pembantu Peneliti : 2 orang c. Teknisi : 1 orang d. Adminitrasi : 1 orang 14. Tahun dimulai kegiatan : 2015

15. Biaya Kegiatan Th. 2015 : Rp.131.575.000,- 16. Jangka Waktu Pelaksanaan: 2 (dua) tahun

a. Mulai dilaksanakan : 2015

b. Berakhir : 2016

Disetujui Kepala BPTP Penanggung jawab Kegiatan

(5)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 v

RINGKASAN

1. Judul : Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali.

2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali 3. Lokasi : 8 kabupaten, satu kota di Provinsi Bali

4. Tujuan :

a. Tujuan Antara adalah untuk mengetahui:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.

2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

b. Tujuan jangka panjang: Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani melalui swasembada daging sapi.

5. Deskripsi Penelitian:

Penelitian tentang, Upaya mengatasi pemotongan sapi betina produktif untuk mendukung swasembada daging sapi berkelanjutan di Bali, dilakukan selama dua tahun (2015-2016). Penelitian dilakukan di 8 kabupaten dan satu kota di Bali. Tujuan penelitian, adalah untuk menghindari terjadinya pemotongan sapi betina produktif melalui implementasi yang tepat dari kebijakan pemerintah. Sedangkan tujuan akhir dari penelitian adalah peningkatan pendapatan petani, dengan mempercepat pencapaian berkelanjutan swasembada sapi potong.

6. Metode Penelitian:

Metode penelitian adalah melalui observasi lapangan, survey, Focus Group Discussion (FGD), interview mendalam. Analisis data dilakukan secara deskriptif, tabulasi silang (Cross Tabulation), Regresi berganda metode Enter dan Stepwise. 7. Keluaran yang diharapkan dari Tahun berjalan: Data dan informasi, tentang jumlah

sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun, tingkat efektivitas kebijakan pemerintah terhadap pemotongan sapi betina produktif di Bali.

(6)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 vi 9. Biaya penelitian tahun 2015: Rp.131.575,000 (Seratus Tiga Puluh Satu Juta Lima

Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah). 10. Hasil Penelitian:

Hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain: 1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih

dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor. 2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang

terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. a. Faktor Peternak:

i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat; (2) adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli (saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina produktif dengan indicator tertentu, yang dipercaya kurang menguntungkan bagi peternak dan keluarganya (local wisdom), (5) sapi dianggap majir, karena tidak bunting setelah dikawinkan beberapa kali.

ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d) membiayai keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi betina lebih menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan tempat untuk beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d) tenaga kerja sapi tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan: (a) rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b) tidak mengetahui adanya larangan pemotongan sapi betina produktif. b. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan

(7)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 vii afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan saudagar tentang kreteria sapi betina produktif.

(8)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 viii

SUMMARY

1. Title : The Effort to Overcome, Slaughtering of Productive Bali Cow to Supporting Sustainable Beef Catle Self-Sufficiency in Bali.

2. Implementing Unit : Assessment Institute for Agriculture Technology (AIAT) Bali

3. Location : 8 Regencies and 1 city at Bali Province 4. Objectives :

a. Immediate Objectives:

1) Knowing the amount of productive bali cows slaughtered each year in Bali.

2) Knowing, Factors that cause the slaughtered productive bali cows in Bali. 3) Determine the effectiveness of government policies to overcome the

slaughtered productive bali cows in Bali.

b. Long Term Objectives: Increased income and welfare of farmers, as well as the achievement of sustainable beef self-sufficiency.

5. Description of Project:

Research on, The Effort to Overcome, Slaughtering Productive Bali Cow to Supporting Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, conducted for two year (2015-2016). The study located in 8 regencies and one city in Bali. The purpose of research, is to avoid the occurrence of productive bali cow slaughtered, through a proper implementation of government policy. While the ultimate goal of research is the increasing income of the farmers, by accelerating the achievement of sustainable self-sufficiency in beef cattle.

6. Methodology:

The research method is through observation, survey, Focus Group Discussion (FGD), in-depth interview. The data were analyzed descriptively, cross tabulation (Cross Tabulation), Multiple Regression with Enter and Stepwise method.

7. Expected Output of Year: Data and information, about the number of productive cows slaughtered each year, the level of effectiveness of government policy on cow slaughtered in Bali.

(9)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 ix 9. Proposed Budget in 2015: IDR.131.575,000 (One hundred and Thirty One Million

Five Hundrade and Seventy Five Thousand Indonesian Rupiah).

10. The results research of the efforts to avoid slugter of productive cows in Supporting Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, among others:

1) The number of productive cows slaughtered each year in Bali, reaching more than 80% of cows slaughtered in the abattoir and TPH. While the number of cows slaughtered in Bali the period from January to August 2015 to reach 11,287 head.

2) Factors that cause the slaughter productive cows in Bali, among others: a. Breeders factors:

i. External factors breeders include: (1) bovine growth slow; (2) the opportunities cattle prices are expensive; (3) impulse buyer (merchant or slaughterhouse); (4) trust in the productive cows with a specific indicator, which is believed less profitable for farmers and their families (local wisdom), (5) the cow is considered majir (can not be pregnant), because it is not pregnant after breeding a couple of times.

ii. Internal factors of farmers, among others: (1) economic factors: (a) the money for their children in school (b) religious ceremonies; (c) building a house; (d) finance for sick family; (e) pay the debt, (f) maintain more profitable cows. (2) technical factors: (a) it is hard to get a place for breeding; (b) farmers who are old; (c) the difficulty of feed, (d) labor replaceable cow with a tractor. (3) factor of knowledge: (a) lack of knowledge of farmers on productive cows; (b) is not aware of any prohibition of slaughter productive cows.

b. Factors slaughterhouse or officer: (1) Lack of government commitment and firmness in applying the applicable law; (b) It is difficult to get cows that are not productive; (c) the price of the bulls is much more expensive than the price of a cow; (d) cut veal cows especially more profitable than cows culled a lot of fat; (e) the lack of understanding about the butchers and merchants criteria productive cows.

(10)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 x

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ……… iv

RINGKASAN ………. v

SUMMARY……….. viii

DAFTAR ISI ………... x

DAFTAR TABEL ……… xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 3

1.3 Tujuan Penelitian ………..…….. 3

1.4 Keluaran yang Diharapkan ……….. 4

1.5 Manfaat dan Dampak ……… 4

1.5.1 Manfaat …….……… 4

1.5.2 Dampak ………...……… 4

1.6 Lingkup Kegiatan ……… 5

II TINJAUAN PUSTAKA ………. 6

2.1 Karakteristik Sapi Bali ………. 6

2.2 Keunggulan Sapi Bali ……….. 8

2.3 Kelemahan Sapi Bali ………...……… 10

2.4 Pengertian Sapi Betina Produktif ….………... 11

2.5 Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif ……… 13

2.6 Kebijakan pemerintah Pemerintah Tentang Penyelamatan Sapi Betina Produktive ……… 13

2.7 Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif ………. 14

2.8 Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif … 16 2.9 Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif ………. 17

2.9.1 Dampak Non Ekonomi ……… ….……… 18

(11)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xi

III METODELOGI PENELITIAN ………. 26

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ……….. 26

3.1.1 Waktu Penelitian ………. 26

3.1.2 Lokasi Penelitian ……… 26

3.2 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ……… 26

3.2.1 Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun ………..………….……… 26

3.2.2 Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ……… 26

3.2.3 Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali 27 IV HASIL PENELITIAN ………. 31

4.1 Karakteristik Peternak Sapi Bibit ………. 31

4.1.1 Umur Peternak dan pengalaman beternak …………..………… 31

4.1.2 Pendidikan Peternak ………..……… 31

4.1.3 Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina ……… 32

4.1.4 Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi Bibit ……… 33

4.1.5 Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit ………. 35

4.2 Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit ………. 36

4.3 Harapan Peternak Sapi Bibit ……… 37

4.4 Sikap Peternak ………. 38

4.5 Penyebaran pemotongan sapi betina produktif di Bali ……… 40

4.6 Pelaku pemotongan sapi betina produktif di Bali………. 42

4.7 Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali …… 44

4.8 Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ……….. 51

4.8.1 Di tingkat peternak sapi ………..…... 51

4.8.2 Di Tingkat Jagal dan Petugas Dinas Peternakan ……… 55

4.9 Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali ……… 61

(12)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xii

V SIMPULAN DAN SARAN ……… 65

5.1 Simpulan ………. 65

5.2 Saran ……… 66

(13)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xiii DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Halaman

1.1 Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk

dalam 16 tahun ……… 21

1.2 Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat

pemotongan sapi betina produktif di Indonesia ……… 23 1.3 Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi

Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam

Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali. 28 4.1 Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit ……… 31 4.2 Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali ……… 32 4.3 Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina …………. 33 4.4 Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi ……… 33 4.5 Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive ……… 34 4.6 Penting tidaknya memelihara sapi bibit ………... 35 4.7 Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit ………. 36 4.8 Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam

Pengembangan Sapi Bibit ………. 38 4.9 Sikap Peternak terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif ... 40 4.10 Penyebaran RPH dan TPH di Bali tahun 2015 ……… 44 4.11 Penyebaran Jagal di Bali ……….. 50 4.12 Jumlah sapi yang dipotong di Bali periode Januari-Juli 2015

(Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali,

(14)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xiv

DAFTAR GAMBAR

No Judul Gambar Halaman

2.1 Sapi Bali jantan berwarna merah bata sebelum dewasa

kelamin …. ……… 7

2.2 Sapi Bali jantan berwarna hitam setelah dewasa kelamin …… 7 2.3 Sapi Bali betina sebelum dewasa berwarna merah bata ……… 8 2.4 Sapi Bali betina setelah dewas, tetap berwarna merah bata … 8 2.5 Dampak pemotongan sapi betina produktif ……… 18 2.6 Analisis impor sapi dan daging sapi ………. 24 4.1 Lokasi RPH dan TPH di Bali ……… 41 4.2 Tingkat pemotongan sapi di Bali periode 2010-2014 dan

peluang terjadinya pemotongan dalam lima tahun berikutnya 45 4.3 Populasi sapi di Bali periode 2010-2013 dan kecederungannya

dalam empat tahun berikutnya ……… 46 4.4 Sapi betina productive yang akan dipotong di RPH Mambal,

Badung ……… 48

4.5 Sapi yang akan dipotong oleh seorang jaga di Kabupaten

Karangasem ……… ……….. 50

4.6 Sapi betina, yang beberapa di antaranya terindikasi sapi betina produktif yang akan dipotong di RPH Pesanggaran

(Denpasar) ……… ……… 49

4.7 Penting tindaknya memelihara sapi bibit menurut petani ……. 51 4.8 Alasan eksternal peternak menjual sapi betina ……… 52 4.9 Alasan Internal petenak untuk menjual sapi betina ………….. 53 4.10 Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif … 53 4.11 Sikap peternak apabila pemotongan ternak sapi diawasi

pemerintah ……… 54

4.12 Saran peternak agar tidak terjadi pemotongan sapi betina

produktif ……… 54

4.13 Pelaksanaan FGD di tingkat Provinsi Bali, yang juga dihadiri

dari unsur kepolisian, khususnya Polda Bali ……… 55 4.14 Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke

(15)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suwono (2011) menyatakan, bahwa 70% kebutuhan daging nasional yang mencapai sebesar 100 ribu ton per tahun, dipenuhi dari daging impor, hanya 30% yang dipasok dari industri dalam negeri. Salah satu penyebab rendahnya kemampuan nasional untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, adalah tingginya jumlah pemotongan sapi betina produktif yang mencapai 200 ribu ekor per tahun. Kondisi tersebut diperkirakan sebagai salah satu penyabab tidak tercapainya swasembada daging yang telah diprogramkan sejak 2005.

Direktorat Jenderal Peternakan (2010) mencatat bahwa 40% dari 1,7 juta ternak yang dipotong adalah betina. Dari 40% tersebut, sebanyak 25% di antaranya adalah betina produktif. Hal tersebut berarti sekitar 10% dari jumlah sapi yang dipotong adalah sapi betina produktif, atau setara dengan 170 ribu ekor setiap tahun. Apabila kondisi tersebut dibiarkan terus berlangsung maka populasi sapi dalam negeri semakin menurun.

Badan Pusat Statistik Bali (2013) menunjukkan bahwa populasi sapi bali pada tahun 2006 adalah sebanyak 257.551 ekor jantan dan 355.690 ekor betina. Pepulasi tersebut menjadi 267.032 ekor jantan dan 384.184 ekor betina pada tahun 2012. Hal tersebut berarti bahwa terjadi peningkatan populasi sapi jantan sebesar 3,68% dan sapi betina 8,01% dalam kurun waktu 5 tahun. Namun dalam waktu setahun (2012-2013) populasi sapi jantan menjadi 185.489 ekor atau menurun sebesar 30,54%. Sedangkan sapi betina menjadi 292.657 ekor atau menurun sebesar 23,82%. Belum ada data yang pasti tentang populasi sapi bali di Bali pada tahun 2014, namun beberapa media telah memberitakan bahwa populasi sapi bali menurun cukup dratis. Penurunan populasi sapi bali di Bali dapat berpengaruh terhadap meningkatnya impor sapi, yang pada akhirnya akan berdampak terhadap penggunaan devisa Negara. Karena Bali merupakan salah satu provinsi penting sebagai penghasil daging nasional.

(16)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 2 Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit. Di samping itu dalam Staatblad tahun 1936 dijelaskan juga bahwa dilarang menyembelih atau menyuruh menyembelih ternak besar bertanduk (sapi dan kerbau) yang betina. Bahkan menurut UU No 18 tahun 2009, yang direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahu 2014, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatakan bahwa pemotongan sapi betina produktif merupakan tindakan yang salah dan pelakunya dapat diancam 6 bulan kurungan. Artinya bahwa yang memotong dan yang menyuruh sama-sama dapat sangsi hukum. Alasan dan tujuan larangan tersebut yaitu untuk mencegah penurunan perkembangan ternak sapi dan kerbau, menjamin kelestarian dan meningkatkan produksi serta mencegah menurunnya jumlah populasi ternak sapi dan kerbau.

Secara nasional upaya tersebut hampir tidak memberikan hasil apapun, terbukti masih tingginya indikasi pemotongan sapi betina produktif yang mencpai sekitar 10% dari sapi yang dipotong dan tidak adanya “jagal” atau tukang potong sapi yang dihukum. Di Sumatra Barat, pemotongan sapi betina produktif mencapai 10.000 ekor tahun 2009. Kondisi di Bali tidak jauh berbeda, karena pemotongan sapi betina produktif nampaknya tetap dan terus berlangsung setiap hari.

Suci Emilia Fitri (2010), menyatakan bahwa populasi sapi di Indonesia, tidak lebih dari 10% jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan populasi sapi di Selandia Baru yang mencapai 12 juta ekor atau empat kali jumlah penduduknya yang kurang dari 4 juta orang. Kondisi tersebut menyebabkan hingga saat ini, Indonesia masih kekurangan daging sapi, sehingga harus mengimpor sapi hidup maupun daging sapi, untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

(17)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 3 Suardana, dkk. (2013) menyatakan bahwa persentase sapi bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif. Kondisi yang hampir sama juga terjadi di RPH Mambal, bahwa persentase sapi bali betina produktif yang dipotong di RPH tersebut sebesar 67,49%. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka populasi sapi bali akan cenderung terus berkurang dan suatu ketika, bukan tidak mungkin plasma nuftah sapi bali akan hilang. Padahal sapi bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia, yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan sapi lainnya.

Secara umum diperkirakan bahwa penyebab utama terjadinya pemotongan sapi betina produktif, adalah motif ekonomi. Namun belum ada data yang pasti tentang hal tersebut, termasuk solusi untuk mencegah terjadinya pemotongan sapi betina produktif, sehingga pemotongan sapi betina produktif terus berlanjut. Terkait dengan kondisi itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali”. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat serta akademisi, untuk mencapai program PSDS di Indonesia, yang telah diwacanakan sejak 2005 namun hingga kini belum pernah tercapai.

1.2. Rumusan Masalah

Untuk menetapkan langkah atau upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka perlu diketahui dengan baik dan benar tentang penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif. Terkait dengan hal tersebut, maka setidaknya terdapat tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, antara lain:

1)

Berapa jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali?

2)

Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina

produktif di Bali?

3)

Bagaimana tingkat efektivitas kebijakan pemerintah selama ini untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, bertujuan untuk mengetahui:

(18)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 4 2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. 3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali.

1.4. Luaran yang Diharapkan

Keluaran yang diharapkan dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain data dan informasi tentang:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.

2) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

1.5. Manfaat dan Dampak

Perkiraan manfaat dan dampak dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain:

1.5.1. Manfaat

a) Manfaat untuk pemerintah: (1) sebagai dasar pertimbangn dalam mengambil langkah kebijakan untuk mengantisipasi pemotongan sapi betina productive di masa mendatang; (2) mempercepat tercapainya program PSDS.

b) Manfaat untuk akademinisi: sebagai bahan kajian ilmiah atau penelitian dalam memperluas khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pemotongan sapi betina productive.

c) Manfaat untuk peternak: meningkatkan pengetahuan tentang dampak pemotongan sapi betina productive.

1.5.2. Dampak

Dampak yang berpeluang akan terjadi dari implementasi hasil penelitian ini antara lain:

1. Berkurangnya pemotongan sapi betina productive; 2. Meningkatnya populasi sapi bali di Bali;

(19)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 5 4. Tercapainya Bali sebagai sumber atau pusat penyedia bibit sapi bali

berkualitas baik, secara nasional;

5. Mengurangi penggunaan devisa negara untuk import daging sapi.

1.6. Lingkup Kegiatan

(20)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 6

III.

T)NJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Sapi Bali

Sapi bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai masa depan ekonomi yang cerah (a promising economic future) dan telah tersebar di 26 Provinsi (Gunawan, dkk., 2014). Merupakan domestikasi dari banteng (Bibos banteng Syndicus Bos sondaikus) yang telah terjadi sejak zaman prasejarah. Karakteristik sapi bali hampir sama dengan banteng (Bos sondaikus). Perbedaannya hanya pada bentuk badan sapi bali yang lebih kecil dibandingkan dengan banteng. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari proses penjinakan, yang menyebabkan bentuk tubuh sapi bali, menjadi lebih kecil, dibandingkan banteng yang asli, yang kini masih banyak hidup liar di Taman Nasional Ujung Kulon, Baluran, dan Alas Purwo. Berat dan tinggi gumba sapi bali menjadi lebih rendah dibandingkan dengan banteng. Semula yang beratnya mencapai 900 kg per ekor menjadi hanya 700 kg per ekor. Demikian pula tinggi gumba yang semula 170 cm, menjadi hanya 145 cm pada sapi bali (Prefer & Sinaga, 1964; Oka, 1991 dalam Gunawan, dkk., 2004). Taksonomi sapi bali termasuk Ordo:

Artiodactyla, Kelas: Ruminansia, Family: Bovidae, Genus: Bos dan Species:

Javanicus (Berata, 2008).

Sapi Bali, yang sering disebut “Balinese Cow”, memiliki berbagai keunggulan, sangat menarik dan potensial untuk dikembangkan (Suharto, 2006). Secara umum ciri sapi bali adalah: warna bulu kuning kemerah-merahan atau merah bata, pendek, halus dan licin sejak lahir. Memiliki bulu berwarna hitam pada pungung yang membentuk garis dari punggung hingga ke pangkal ekor, sehingga sering disebut garis punggung. Ciri yang paling khas adalah cermin atau mirror yaitu bulu berwarna putih pada pantat dan di bawah lutut. Warna putih pada lutut ke bawah, menyebabkan sapi bali sering disebut sapi yang selalu menggunakan “kaos kaki”.

(21)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 7 akhirnya seluruh bulu berwarna hitam pekat, kecuali warna bulu bagian pantat, lutut ke bawah dan telinga.

Gambar 2.1. Sapi Bali jantan berwarna merah bata sebelum dewasa kelamin

Gambar 2.2. Sapi Bali jantan berwarna hitam setelah dewasa kelamin

Warna hitam pada sapi jantan akan berubah kembali menjadi merah, secara perlahan mulai dari pangkal ekor menuju ke arah kepala, apabila sapi tersebut di kastrasi. Namun sekarang sangat jarang peternak melakukan kastrasi, karena nampaknya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Hal tersebut dapat dimengerti karena setelah dikastrasi, kemungkinan besar akan mengalami stress, sehingga mempengaruhi nafsu makan ternak, yang pada akhirnya akan berdampak pada laju pertumbuhan ternak. Dengan demikian nampak jelas bahwa perubahan warna bulu pada sapi bali jantan memiliki hubungan yang erat dengan sistem hormonal sapi bali, khususnya karena tidak diproduksinya hormon testosteron, hormon yang berhubungan dengan reproduksi ternak, yang dihasilkan oleh testis (Haryana, 1989). Sedangkan warna merah bata sapi bali betina tidak mengalami perubahan (warna konstan) selama hidupnya.

Warna tersebut merupakan warna standar sapi bali (Oka, 2006), yang tidak akan pernah berubah sejak lahir sampai mati (Gambar 2.3 & 2.4). Selanjutnya pemerintah dalam rangka pelestarian kemurnian sapi bali, menetapkan warna standar sapi bali antara lain (Gunawan, dkk., 2004): (1) Warna putih pada kedua paha belakang; (2) Warna putih pada persendian loncat dari keempat kaki; (3) Garis hitam pada jalur garis punggung dan (4) Warna hitam di bagian ujung ekor. Pada kasus tertentu juga terdapat warna sapi bali yang tidak standar, antara lain: (1) Sapi Injin

(22)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 8 kelainan pada ekor dengan warna, bercak-bercak putih, juga menurun secara dominan; (3) Sapi cundang, yaitu sapi yang sejak lahir memiliki gugusan warna putih pada bagian muka, yang bersifat dominan; (4) Sapi putih (albino) sering disebut sapi bule, yaitu sapi yang lahir hingga dewasa berwarna putih (albino), bersifat resesif; (5) Sapi

gading, yaitu sapi yang sejak lahir hingga dewasa memiliki warna bulu dan kulit yang putih pada bagian moncongnya. Sifat-sifat sapi gading menurun secara resesif; (6) Sapi panjut, yaitu sapi yang sejak lahir, ujung bulu ekornya berwarna putih, namun sifat tersebut tidak menurun; dan (7) Sapi tul-tul yaitu sapi yang sejak lahir berwarna tul-tul atau abu-abu, dan sifat inipun juga tidak menurun.

Gambar 2.3. Sapi Bali betina sebelum dewasa berwarna merah bata

Gambar 2.4. Sapi Bali betina setelah dewas, tetap berwarna merah bata

2.2. Keunggulan Sapi Bali

Sapi Bali lebih unggul dibandingkan dengan sapi lainnya, dalam berbagai hal seperti:

1. Angka kelahiran antara (40-85)%, yang ditunjang dengan calving interval yang relative cepat (379 hari), serta kemampuan menghasilkan embrio (super ovulasi) antara 7-14 buah, sehingga melalui embryo transfer seekor sapi jantan dapat menghasilkan keturunan sebanyak 30 ekor per tahun, sehingga populasi sapi Bali dapat berkembang dengan cepat (Gunawan, dkk., 2004).

(23)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 9 3. Memiliki daya adaptasi terhadap lingkunggan (heat tolerance) yang besar karena memiliki tata lintas air yang kecil dengan daya simpan air yang besar, sehingga daya tahan tubuh menjadi sangat tinggi, tahan terhadap cekaman cuaca panas. 4. Daya cerna unsur N (nitrogen) yang tinggi terutama dalam hijauan bergizi rendah,

karena memiliki kadar urea darah yang tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sapi lainnya. Sapi Bali juga memiliki kemampuan yang tinggi dalam mencerna pakan berserat kasar tinggi.

5. Memiliki persentase karkas yang mencapai 56,6% dengan rasa daging yang lembut dan gurih, karena kadungan lemak dalam dagingnya relative rendah antara 2-6,9%.

Sapi Bali mampu menghasilkan daging dengan kualitas “Prime Karkas” yaitu

karkas yang berkualitas prima (Gunawan, 2004).

6. Sebagai ternak kerja, khususnya di bidang pertanian, yang digunakan untuk mengolah lahan sawah maupun lahan kering. Penggunaan sapi Bali sebagai tenagan kerja mengolah lahan umumnya digunakan secara berpasangan dan untuk satu ha lahan tegalan diperlukan waktu sekitar 4 hari. Penggunaan sapi Bali sebagai tenaga pengolah lahan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembalian tenaga kerja, sehingga menjadi lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan tenaga kerja manusia. Selain digunakan mengolah lahan pertanian, di beberapa tempat sapi bali juga sering digunakan untuk menarik gerobak untuk mengangkut hasil pertanian ataupun barang lainnya. Namun dengan perkembangan alat transportasi masa kini, maka penggunaann sapi Bali sebagai tenaga kerja pengangkut barang mulai berkurang.

(24)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 10 dalam menghasilakan pupuk organik adalah jumlah pakan yang dihabiskan, terutama oleh ternak betina yang mencapai setidaknya 10% dari bobot badannya per ekor per hari. Dengan demikian akan mampu menghasilan bahan baku pupuk organik yang juga cukup banyak, dapat mencapai setidaknya 25-30 kg feses segar per ekor per hari untuk sapi jantan dengan bobot badan sekitar 300 kg. Selain itu sapi juga menghasilkan bahan pupuk organik dalam bentuk cair, berupa urine atau air kencing sapi, yang merupakan bahan baku pupuk organik cair berkualitas prima, karena memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi terutama N yang sangat dibutuhkan tanaman dan memiliki kandungan hara mikro yang cukup lengkap (Wiguna, dkk., 2007). Karena analisis terhadap bio-urine yang dihasilkan petani mengandung N-NO3 berkisar antara 27,6 dan 60,1 ppm; NH3 antara 68,38

dan 525,36 ppm; total P berkisar antara 8,2 dan 72,8 ppm serta kandungan K+ berkisar antara 1.634,6 dan 1.971,6 ppm. Kualitas bio-urine tersebut tergolong sangat baik, dengan kandungan nitrogen yang tinggi dapat menjadi sumber hara N bagi tanaman, sehingga Bio-urine tersebut berpeluang menggantikan pupuk urea. Pengakuan petani di Subak Wangaya Betan juga menyatakan bahwa penggunaan pupuk organik padat sebanyak 2 ton per ha dan 600 liter bio-urine, telah cukup memenuhi kebutan tanaman akan hara, sehingga tidak memerlukan tambahan pupuk anorganik baik urea, SP36 maupun KCl.

2.3. Kelemahan Sapi Bali

(25)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 11 Beberapa peneliti menyatakan bahwa ada interaksi antara kualitas pakan dengan tingkat agresifitas sapi. Sapi dengan pakan berkualitas tinggi umumnya lebih agresif dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan berkualitas rendah.

Serangan penyakit cacing hati (Faciola gigantica) merupakan salah satu kelemahan sapi Bali terhadap parasit. Sehingga sangat merugikan, karena dapat menyerang jaringan hati, dan sering menyebabkan penyakit kronis dan mematikan (Sweta, 1982). Selanjutnya serangan penyakit Jembrana, merupakan kelemahan lainnya dari sapi Bali, karena sapi Bali sangat rentan terhadap serangan penyakit Jembrana. Sekalipun penyebab penyakit Jembrana telah ditemukan, namun penyakit tersebut belum tuntas sampai saat ini, karena terhambatnya proses pembuatan vaksin, akibat dari sulitnya menumbuhkan virus Jembrana di luar tubuh sapi (Hartiningsih, 2006). Penyakit lain yang juga rentan pada sapi Bali adalah penyaklit Ingusan, Bali ziekte dan diare. Rendahnya kemampuan sapi Bali mencerna bahan organik, juga merupakan salah satu kelemahan sapi Bali. Selain itu sapi Bali juga sulit hidup dengan baik jika berdampingan dengan domba.

2.4. Pengertian Sapi Betina Produktif

(26)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 12 atau menderita penyakit yang dapat mengancam jiwa ternak sapi tersebut; 6) Membahayakan keselamatan manusia (tidak terkendali).

Pelarangan pemotongan sapi betina produktif merupakan salah satu upaya untuk mencegah menurunnya populasi ternak sapi, yang dapat mengancam kelestarian sumber bibit sapi. Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi yang dihandalkan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, sehingga pelarangan terhadap pemotongan sapi betina produktif merupakan hal yang sangat penting. Terkait dengan hal tersebut maka pengetahuan pelaku tentang dampak pemotongan sapi betina produktif sangat dibutuhkan agar dapat mentaati pelarangan tersebut.

Secara teoritis Bestable dalam Muchlisin (2013) menyatakan, bahwa pengetahuan adalah hasil dari ranah yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan rasa. Sebagian besar pengetahuan manusia melalui mata dan telinga. Pengertian lainnya tentang pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.

(27)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 13 Wikipedea (2014), secara lebih rinci dikemukakan tentang berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan, seperti pendidikan, media dan informasi. Pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan seseorang karena pendidikan mampu mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok, serta pendidikan juga mampu mendewasakan seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Selanjutnya peran media dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang terletak pada jangkauan media seperti televisi, radio, surat kabar yang demikian luas, serta peran media dalam mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa. Selanjutnya peran informasi dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang, terletak pada peran informasi sebagai sesuatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Mengacu pada berbagai definisi tentang pengetahuan, maka pengetahuan pelaku pemotongan sapi betina produktif adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran atau jiwa seorang petenak sapi, yang berkaitan dengan adanya pemotongan sapi betina produktif sebagai bentuk interaksi seorang peternak dengan lingkungan sekitarnya.

2.5. Dampak Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif.

Kondisi ekonomi peternak dalam penelitian ini adalah bagaimana cara peternak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi keluarga seperti kebutuhan akan pangan, sandang, rumah, dan untuk anak sekolah, dapat mendorong peternak untuk menjual komuditi yang dimilikinya, termasuk ternak sapi. Kebutuhan yang mendesak dapat menyebabkab peternak harus menjual tenak sapinya, walaupun kondisi sapi tersebut sedang bunting atau masih produktif. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Inggriati (2014) bahwa, faktor ekonomi keluarga berhubungan positif dengan perilaku peternak dalam menerapkan teknis dan manajemen produksi sapi bali perbibitan. Hal tersebut berarti bahwa semakin banyak kebutuhan ekonomi keluarga, maka peternak akan beternak sapi semakin banyak dengan tujuan untuk sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

2.6. Kebijakan pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktive

(28)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 14 penyelamatan betina produktif dengan cara memberikan insentif pada peternak sapi sebesar Rp. 500.000,- per ekor sapi bunting milik petani, diharapkan dapat meningkatkan motivasi peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi perbibitan Ditjen Peternakan (2010). Semakin kuat motivasi peternak, akan semakin baik perilakunya seperti pengetahuan semakin meningkat, sikap semakin positif, dan keterampilan semakin baik dalam menjalankan usaha ternak (Herzberg dalam Sudrajat, 2008).

Perilaku yang semakin baik dalam mengusahakan peternakan sapi bali perbibitan, akan dapat mengurungkan niat peternak untuk menjual sapi betina yang masih produktif, karena diyakini akan melahirkan anak sapi yang dapat dijual sebagai sumber pendapatan keluarga. Perilaku yang baik dalam beternak sapi bali perbibitan di Bali, akan dapat meningkatkan populasi sapi bali, yang pada gilirannya dapat mendukung Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (PSDS).

Kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif telah diatur dalam UU No. 18/2009 pasal 18 dan 86, yang pada dasarnya ditujukan bagi upaya pengembangan peternakan sapi potong di dalam negeri. Dalam hal ini, program penyelamatan dan atau penjaringan betina produktif merupakan salah satu upaya pemerintah untuk tetap mencegah terjadinya pengurasan populasi sapi di dalam negeri. Hal tersebut menjadi sangat penting, mengingat salah satu kriteria penunjang keberhasilan program swasembada daging adalah ketersediaan bibit sapi potong secara berkelanjutan. Namun upaya tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik, karena terbukti pemotongan sapi betina produktif demikian tinggi.

2.7. Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif

(29)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 15 Lokal dengan Brahman dan Angus (Brangus), Sapi silangan Lokal dengan Simmental (SIMPO), Sapi silangan Lokal dengan Limmousin (LIMPO), dan Peranakan Friesian Holsten (PFH), sedangkan untuk jenis sapi impor adalah ACC (Australia Commercial Cross).

Hasil penelitian Rochadi Tawaf, dkk. (2013) juga mendapatkan bahwa sapi yang didistribusikan ke Rumah Potong Hewan (RPH) yang dipotong selama periode pengamatan terdiri atas 73,59% sapi lokal (8.008 ekor) dan 26,41% sapi impor (2.874 ekor). Selanjutnya juga diketahui bahwa sapi lokal betina umur produktif yang dipotong di 20 RPH tersebut adalah sebanyak 2.489 ekor atau sekitar 31,08% dari jumlah sapi lokal yang dipotong (8.008 ekor). Sapi betina yang dipotong tersebut sebanyak 65,29% (1.623 ekor) memiliki bobot antara 117 kg–354 kg dengan umur kurang dari 4 tahun.

Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, Danny Suhadi di Kupang (Antara, 3 Mei 2015), bahwa angka pemotongan sapi betina produktif atau bunting, menjadi salah satu tantangan bagi tekad Pemerintah Provinsi NTT menjadi Provinsi Ternak, karena angka pemotongannya mencapai 65% atau lebih tinggi secara nasional yang hanya sekitar 28%. Lebih jauh ditegaskan bahwa dampaknya adalah hilangnya potensi kesempatan tambahan populasi dan kelahiran sebanyak 60 ekor sapi setiap pemotongan 100 betina produktif.

(30)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 16 Wiji Nurhayat (2012) dalam detik.com (12 Nopember 2012) juga mengemukakan bahwa sebanyak 30% sapi betina produktif dipotong di Jakarta. Hal tersebut dibenarkan oleh Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia (APPHI) alias Asosiasi Jagal Indonesia membenarkan isu soal pemotongan sapi betina produktif. Sebanyak 30% dari 1.200 sapi betina produktif dipotong di DKI Jakarta. Selain itu, Abud juga mengatakan bahwa, kondisi lebih parah terjadi di Jawa Timur, karena pemotongan sapi Jawa dan sapi Bali betina produktif mencapai 60%. Sebelumnya Menurut Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013) melaporkan bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan mencapai 150.000–200.000 ekor.

Memperhatikan dan menyimak data hasil penelitian yang dilakukan para peneliti, menunjukan betapa tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif yang dilakukan di Indonesia. Kondisi tersebut akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Tidak mengherankan jika program pemerintah tentang swasembada daging yang dicanangkan sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 tidak pernah berhasil. Persoalan tersebut, tentu tidak akan berhenti sampai di sana, karena dampak yang ditimbulkan demikian luas, baik ekonomi maupun non ekonomi bagi bangsa Indonesia.

2.8. Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif

Puskeswan Padang Panjang (2011) yang menyatakan bahwa adalah sebuah fakta, pemotongan sapi betina produktif paling sering terjadi pada pelaksanaan Qurban setiap tahunnya. Pada tahun 2010 tercatat pemotongan hewan qurban di Kota Padang Panjang berjumlah 632 ekor dan 80% di antarnya adalah sapi betina produktif.

(31)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 17 Alasan lain sebagai penyebab adanya pemotongan sapi betina produktif adalah harga sapi betina yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga sapi jantan. Di lain pihak harga daging sapi baik jantan maupun betina relatif sama, sehingga untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, maka pengusaha daging sapi akan cenderung memotong sapi betina. Sejalan dengan Badan Litbang Pertanian (2011) yang menayatakan bahwa Pemotongan sapi betina produktif dilakukan karena ada berbagai penyebab dan alasan. Lebih jauh Badan Litbang Pertanian (2011) menyatakan bahwa biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang

skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH “tidak resmi”. Namun, tidak jarang dapat

dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat pincang atau buta. Dengan demikian alasan cacat fisik dapat dijadikan pembenar dalam pemotongan sapi betina produktif.

Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan (2010) juga mengemukakan hal yang senada bahwa salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan populasi adalah terjadinya tindakan pemotongan sapi betina produktif yang semakin kurang terkendali. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara supplay dan demand sapi potong dalam negeri serta adanya desakan kebutuhan ekonomi bagi peternak. Didukung oleh situasi pasar yang menjadikan harga sapi betina lebih murah dari sapi jantan. Bahkan dapat diprediksikan bahwa kecenderungan penjualan sapi betina oleh peternak meningkat tajam ketika musim paceklik, mengingat pola beternak sapi adalah sebagai investasi keluarga, belum sebagai komoditi bisnis. Menurunnya populasi ternak sapi betina di masyarakat juga sebagai akibat kurangnya animo masyarakat memelihara sapi betina karena dianggap terlalu lama untuk menghasilkan.

2.9. Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif

(32)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 18 sebagai akibat pemotongan betina produktif, yaitu: (1) Dampak Non Ekonomi dan (2) Dampak Ekonomi.

Gambar 2.5. Dampak pemotongan sapi betina produktif (Sumber: Wiguna dan Tatik, 2015)

2.10. Dampak Non Ekonomi.

(33)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 19 tahun pencanangan swasembada daging sapi hingga 2007 yakni 2 tahun kemudian untuk Jatim, NTB, Lampung dan Indonesia hanya sekitar 0,004%; 2% dan 0,25% dan Indonesia 2,5 persen atau bertambah sebesar 267 ribu ekor. Padahal untuk mencapai tambahan 1.000 ekor sapi diperlukan pertumbuhan sebesar 10,1% per tahun termasuk kematian dan pemotongan.

Kondisi tersebut akan menyebabkan berkurangnya produksi daging sapi, sehingga kebutuhan daging untuk masyarakat tidak akan terpenuhi. Fenomena tersebut menyebabkan rendahnya konsumsi daging di Indonesia. Suswono dalam Antara (2010) menyatakan bahwa tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Konsumsi daging masyarakat Malaysia telah mencapai 30 kg per kapita per tahun, sedangkan Indonesia sangat rendah yaitu hanya 7 kg per kapita per tahun. Khusus untuk konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia pada tahun 2010 hanya 2,72 kg/kapita/tahun dan diperkirakan akan naik menjadi konsumsi 3,72 kg per kapita per tahun pada tahun 2020 (Bagus Fitriansyah, 2011).

(34)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 20 Kebutuhan protein hewani minimal 150 gram sekali makan sehari tiga kali. Kurang terpenuhinya konsumsi protein hewani, maka prevalensi orang bertubuh pendek dan gizi kurang menjadi tinggi (Minarto, 2012). Data Unicef tahun 2009, menyebutkan bahwa prevalensi orang pendek Indonesia 37 persen dan prevalensi gizi kurang 18 persen dari jumlah penduduk. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia kalah dibandingkan China (15 persen dan 6 persen), Thailand (16 persen dan 7 persen), Filipina (34 persen dan 21 persen), serta Vietnam (36 persen dan 20 persen). Minarto (2012) mengatakan, kualitas gizi masyarakat belum membaik tahun 2012. Data Kementerian Kesehatan, prevalensi orang pendek 36 persen, turun 1 persen dari tahun 2009. Sebaliknya, prevalensi gizi kurang 31 persen, meningkat 13 persen. Sebesar 40 persen dari 33 provinsi di Indonesia, angka pemenuhan protein hewaninya berada di bawah rata-rata nasional. Daerah tersebut antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Kondisi tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan kecenderungan pemotongan sapi betina produktif di daerah-daerah sentra produksi sapi.

Selanjutnya Tabel 1 menunjukan bahwa pemotongan sapi betina produktif menyebabkan hilangnya 62 ekor sapi dalam kurun waktu 16 tahun untuk setiap kematian sapi produktif umur 3 tahun (saat dikawinkan pertama kali). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap ekor sapi betina akan melahirkan mulai umur 4 tahun dan selanjutnya akan melahirkan seekor pedet setiap tahun, sehingga seekor sapi induk akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor selama umur produktif 8 tahun. Pedet yang lahir pertama, selanjutnya akan menjadi induk dan dalam masa pruduktifnya (8 tahun) juga akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor. Demikian seterusnya saat anak sapi yang ke-5 melahirkan sebanyak 5 kali (umur 8 tahun), maka anak pertama dari seekor induk juga akan melahirkan anak pertama. Demikian seterusnya, hingga keturunan yang ke-3 akan terdapat 62 ekor pedet yang berpeluang lahir dalam kurun waktu 16 tahun (ilustrasi Tabel 1.1).

(35)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 21 badan rataan 300 kg, maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan menyebabkan hilangnya 300 kg x 30 ekor = 9.000 kg sapi hidup. Jika seekor sapi bali mampu menghasilkan 53% karkas (Maria, dkk., 2011), maka setiap pemotongan seekor sapi bali betina produktif pada umur 3 tahun akan menyababkan kehilangan 4.770 kg karkas. Selain kehilangan daging yang bersumber dari sapi jantan, maka sapi betina yang telah berusia tidak produktif (lebih dari 8 tahun) juga dapat menyediakan daging, karena telah diperkenankan untuk dipotong.

Tabel 1.1

Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk dalam 16 tahun

(36)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 22

2.11. Kerugian Ekonomi

Pemotongan sapi betina produktif diyakini akan menurunkan populasi sapi, yang pada akhirnya akan menurunkan ketersediaan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta jiwa. Melalui perhitungan sederhana yang ditunjukan dalam Tabel 2, bahwa setiap pemotongan sapi betina produktif akan menghilangkan peluang kelahiran sebanyak 62 ekor sapi. Dengan tingkat mortalitas (kematian) sebesar 4% maka peluang sapi yang hidup adalah sebanyak 60 ekor. Secara genetik peluang kelahiran berdasarkan jenis kelamin adalah 50% jantan dan 50% betina. Sejalan dengan Berry dan Cromie, (2007) dalam Gatot Prasojo, dkk. (2010) bahwa jenis kelamin anak yang dilahirkan ditentukan pada saat fertilisasi hanya ada kombinasi antara satu gamet maternal dan dua gamet paternal yang menghasilkan kemungkinan 50% jantan dan 50% betina (Krzyzaniak dan Hafez, 1987) dalam Gatot Prasojo, dkk. (2010). Sedangkan hasil penelitian Gatot Prasojo, dkk. (2010) mendapatkan bahwa berdasarkan jumlah kelahiran sebanyak 799 ekor, ternyata pedet jantan sejumlah 445 (55,69%) ekor lebih banyak dibandingkan dengan pedet betina yaitu 354 (44,30%).

Mengacu pada peluang tersebut maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan menghilangkan peluang lahirnya 30 ekor sapi betina dan 30 ekor sapi jantan dalam kurun waktu 16 tahun. Berdasarkan perhitungan sederhana seperti Tabel 1.2, maka diketahui bahwa setiap pemotongan seekor sapi betina produksi akan berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp.461.280.000,- dalam kurun waktu 16 tahun atau sebesar Rp.28.830.000,- setiap tahun.

(37)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 23 berjenis kelamin jantan. Selanjutnya dari 201 ekor sapi betina yang dipotong di RPH Pesanggaran terdapat 200 ekor (99,0%) masih produktif. Sedangkan di RPH Mambal sebanyak 157 ekor (67,49%) adalah betina produktif yang berumur kurang dari 4 tahun.

Tabel 1.2

Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina produktif di Indonesia

Peluang kelahiran Ekor Harga (Rp)

Per ekor Total Harga

1 50% Jantan 30 5.000.000 148.800.000

2 50% Betina 30 10.500.000 312.480.000

Kerugian dalam 16 tahun dari serkor Induk 461.280.000 Kerugian per tahun sari seekor induk 28.830.000 Secara Nasional Pemotongan per tahun (ekor)

150.000 4.324.500.000.000 200.000 5.766.000.000.000

Keterangan: *) dalam waktu 16 tahun setelah seekor sapi betina produktif dipotong

Mengacu pada data pemotongan sapi tersebut maka rataan pemotongan sapi betina produktif di Bali mencapai 83,25% dari total sapi betina yang dipotong. Selanjutnya data pemotongan sapi di Bali pada tahun 2014 menurut Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2015) adalah sebanyak 18.004 ekor. Berdasarkan angka tersebut maka tingkat pemotongan betina produktif adalah sebanyak 83,25% dari 18.004 ekor atau 14.987 ekor pada tahun 2014. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kerugian sebesar lebih dari 432 Milayard Rupiah pada tahun 2014. Sejumlah kerugian yang tidak kecil, yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.

(38)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 24 Gambar 2.6. Analisis impor sapi dan daging sapi (Buyung Syahyudi, 2011)

Selanjutnya Rofi Munawar kepada merdeka.com di Jakarta, Sabtu (29 Nopember 2014), mengemukakan bahwa impor sapi yang mencapai 700.000 ekor pada tahun 2014 akan menguras devisa negara sebesar Rp 4,8 triliun hingga Rp 5 triliun. Dana tersebut, apabila dialihkan untuk pengembangan sapi lokal akan sangat bermanfaat dalam mendorong roda ekonomi dan konsumsi daging nasional. Selain itu penggunaan devisa negara untuk mengimpor sapi dan atau daging sapi, dapat menyebabkan meningkatnya hutang negara dan terganggunya pembiayaan sektor lainnya. Dampak lain yang tegolong dalam dampak ekonomi adalah menurunnya harga sapi lokal karena kalah bersaing dengan sapi import, serta berkurangnya pendapatan peternak, yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan sudah pasti akan membutuhkan pembiayaan yang tidak kecil. Sangat ironis karena di lain pihak pendapatan negara akan berkurang sebagai dampak kerugian karena pemotongan betina produktif.

(39)
(40)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 26

III. METODELOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1. Waktu Penelitian

Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, akan dilaksanakan selama 289 hari, mulai 25 Pebruari 2015 sampai dengan 10 Desember 2015.

3.1.2. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Bali, antara lain Kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Karangasem dan Kota Denpasar.

3.2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

3.2.1. Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun.

Teknik pengumpulan data untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap tahun, dilakukan dengan jalan inventarisasi jumlah sapi yang dipotong, setiap hari di setiap lokasi (RPH dan TPH). Jumlah sapi yang dipotong akan dibedakan menjadi dua yaitu jantan dan betina dengan umur masing-masing dalam tahun. Data pemotongan sapi di RPH pada setiap kabupaten akan dicatat setiap hari oleh petugas RPH, minimal dalam waktu 6 bulan. Pecatatan dilakukan berdasarkan form isian yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah data tersebut terkumpul, maka yang dipotong akan diklasifikasikan menjadi sapi betina productive dan tidak productive sesuai dengan standard yang ada. Melalui perhitungan sederhana terhadap data primer yang dikumpulkan tersebut, akan diketahui prosentase jumlah sapi betina productive yang dipotong selama enam bulan. Berdasarkan data sekunder (Laporan pemotongan sapi) oleh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota maka akan diketahui jumlah sapi betina productive yang dipotong setiap tahun termasuk sebarannya, di setiap kabupaten/kota di Bali.

3.2.2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

(41)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 27 survey dan Focus Group Discussion (FGD), terhadap: (1) peternak yang terindikasi pernah menjual sapi bentina productif; (2) tukang potong (jagal) baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Melalui analisis deskriptif kualitatif, akan diketahui faktor-faktor yang mendominasi sebagai penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif.

3.2.3. Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

Data dikumpulkan melalui survei terhadap peternak yang terindikasi menjual sapi betina produktif dan tukang potong atau “jagal” sapi, tentang pengetahuan, sikap dan faktor ekonomi responden yang mendorong terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali. Melalui analisis regresi linier berganda (Rumus 1) akan diketahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pemotongan sapi betina productive di Bali. Dengan mengetahui faktor yang paling berpengaruh atau paling menentukan tersebut maka, langkah antisipasi akan dapat dilakukan sesuai dengan kondisi permasalahan yang ada di tingkat lapangan.

Y = a + b1X1 + b2X2+ …….bnXn ………. Rumus 1

Y = variabel terikat (dependent variable) adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi bali betina productive.

a = konstanta b1, b2 = koefisien regresi

X1…X4 = variabel bebas (independent variable), antara lain: (1) pendidikan

peternak (X1), (2) pengalaman beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan

beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah dalam

memelihara sapi bibit (X4).

Variabel terikat (dependent variable) adalah variable yang dipengaruhi oleh berbagai factor bebas (independent variable). Variable terikat (Y) dalam penelitian ini adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Sedangkan variable bebas (X1….. X4), antara lain: (1) pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman

beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah

dalam memelihara sapi bibit (X4). Jumlah responden adalah sebanyak 90 orang

(42)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 28 di 8 kabupaten dan satu kota, dengan rincian seperti Tabel 1.3. Penetapan peternak responden dilakukan secara kuota teracak (quota random sampling). Selanjutnya data peternak dikoleksi melalui survey, dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur yang telah disiapkan sebelumnya.

Untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka data juga dikoleksi dari

“jaga” sapi, serta petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali dan Tingkat Kabupaten/Kota yang menangani Rumah Potong Hewan. Data dari “jagal” dan petugas Dinas Peternakan Kabupaten/Kota dikumpulkan melalui Focus Group Discussion (FGD). Melalui FGD terkolekasi informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pemotongan sapi betina produktif. Data atau informasi tersebut antara lain meliputi: (1) jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap hari oleh jagal; (2) factor-faktor pendorong yang menyebabkan adanya pemotongan sapi betina produktif; (3) upaya yang perlu dilakukan untuk menghindari adanya pemotogan sapi betina produktif; dan (4) pengetahuan jagal dan atau petugas Dinas Peternakan Kabupaten/Kota tentang sapi beina produktif berdasarkan Undang-Undang No 41 tahun 2014.

Tabel 1.3.

Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali

No Kabupaten/Kota Peternak Jagal atau RPH

Resmi*) Tidak Resmi*)

(43)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 29 Dalam penelitian ini, khususnya untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:

5) H0 = kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi

betina produktif di Bali belum atau tidak efektif

6) H1 = kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi

betina produktif di Bali telah efektif

Untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka analisis dilanjutkan dengan menghitung Koefisien Korelasi Berganda (R) melalui Rumus 2 dan Koefisien Determinasi (R2). Nilai R berkisar antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai R maka

hubungan antara variable terikat dengan variable tak bebas adalah semakin kuat. Sedangkan koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui apakah hipotesis yang diajukan diterima, atau apakah hubungan antara dependent variable dan independent variable tersebut nyata atau tidak nyata. Hal tersebut dapat diketahui melalui uji F, dengan Rumus 3.

b1∑X1Y + b2∑X2Y

∑Y2

R = Koefisien Korelasi Berganda

Y = variabel terikat (dependent variable) adalah jumlah sapi bali

R2 = Koefisien korelasi berganda N = Jumlah sample (responden) k = Jumlah variable bebas

Selanjutnya F hitung dibandingkan dengan F Tabel, apabila:

F Hitung ≥ F Tabel, maka H0 diterima, artinya bahwa variable Y tidak nyata

dipengaruhi oleh variable X.

R = ……… Rumus 2

(44)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 30 F Hitung > F Tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya bahwa variable

Y tidak nyata dipengaruhi oleh variable X.

(45)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 31

IV. HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Peternak Sapi Bibit

4.1.1.

Umur Peternak dan pengalaman beternak

Hasil penelitian menunjukan bahwa umur peternak berkisar antara 32-83 tahun, dengan rataan 52,48 tahun (Tabel 4.1 dan Gambar 4.1). Hal tersebut menunjukkan bahwa peternak tergolong dalam usia produktif, sesuai dengan Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 yang menetapkan penduduk usia produktif adalah antara umur 15 – 64 tahun. Peternak yang masih dalam usia produktif pada umumnya memiliki semangat untuk bekerja, sehingga memungkinkan untuk diberikan inovasi teknologi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit.

Tabel 4.1

Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit

Uraian N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Tabel 4.1 juga menunjukan tentang pengalaman peternak dalam beternak sapi bibit yaitu berkisar antara tiga sampai 60 tahun, dengan rataan 28,92 tahun (Tabel 4.1). Pengalaman dapat menyebabkan peternak memiliki pandangan (persepsi) tertentu terhadap usaha ternak sapi bibit, yang diikuti oleh keinginan (motivasi) untuk melanjutkan atau menghentikan usaha tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gerungan (1996) yang menyatakan bahwa, pengalaman pada dasarnya melalui proses yang diawali oleh rangsangan-rangsangan dari luar, melalui alat-alat pengamatan, kemudian diteruskan kepada pusat-pusat tertentu di dalam otak, lalu menafsirkan pengamatan tersebut.

4.1.2. Pendidikan Peternak

(46)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 32 penelitian Inggriati (2014), bahwa pendidikan formal pada peternak sapi bali perbibitan dapat meningkatkan wawasan peternak, sehingga peternak menjadi lebih inovatif.

Tabel 4.2

Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali

No

4.1.3. Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina

(47)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 33 Tabel 4.3

Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina No

Kabupaten Pernah menjual sapi betina Tidak pernah Pernah Total

1 Badung 0,0% 100,0% 100,0%

4.1.4. Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi Bibit

Hasil Penelitian menunjukan bahwa, sebagian besar peternak (75,6%) menyatakan bahwa untuk memperoleh bibit sapi yang terbaik adalah dengan membeli langsung pada peternak (Tabel 4.4).

Tabel 4.4

Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi

No Kabupaten

(48)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 34 diketahui dengan lebih baik oleh peternak yang akan membeli sapi. Namun cara peternak membeli sapi bibit langsung kepada peternakn juga mengindikasikan rendahnya pengetahuan peternak tentang adanya pusat pembibitan sapi Bali yang ada di Kabupaten Jemberana, yang setiap saat dapat menyediakan bibit berkualitas baik bagi peternak sapi di Bali.

4.1.5. Pengetahuan Peternak Tentang Sapi Betina Produktive

Sebagian besar pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif ada dalam katagori sangat rendah (62,2%), sebanyak 25,6% rendah, dan bahkan tidak ada peternak yang memiliki pengetahuan masuk dalam katagori tinggi maupun sangat tinggi (Tabel 4.5). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa sosialisasi Undang-Undang No 18 tahun 2009 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No 41 tahu 2014, belum dilakukan secara optimal. Rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina productive, dapat menyebabkan rendahnya perhatian peternak dalam menjual ataupun memelihara sapi bibit. Bahkan tidak tertutup kemungkinan peternak akan menjual ternak sapi tanpa memperhatikan apakah sapi tersebut dalam keadaan produktif atau tidak.

Tabel 4.5

Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive

No Kabupaten

Pengetahuan Peternak tentang Sapi Betina Produktive

Total Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat

(49)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 35 secara benar. Sesuai dengan pendapat Mardikanto (1993) yang menyatakan bahwa, melalui proses penyuluhan yang dilakukan pada masyarakat petani, dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan pada petani terhadap materi yang disuluhkan.

4.1.6. Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit

Tujuan peternak melakukan usaha peternakan sapi bali bibit, dapat dilihat dari seberapa besar kepentingan peternak dalam melakukan usaha peternakan sapi bibit. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 50,0% peternak menganggap beternak sapi bibit sangat tidak penting dilakukan (Tabel 4.6). Hal tersebut berarti bahwa, peternak memiliki belum tujuan yang jelas dalam berusaha ternak sapi bibit. Peternak yang kurang atau tidak memiliki tujuan yang jelas, akan menyulitkan dalam memberikan inovasi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit. Dedet Zelth (2013) menyatakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai sehingga merupakan sasaran, sedangkan perencanaan adalah alat untuk mencapai sasaran tersebut. Setiap usaha yang baik harus memiliki titik tolak, landasan dan tujuannya.

Tabel 4.6

(50)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 36 sebagai alasan ekonomi, agar sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

4.2. Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit

Dukungan pemerintah dalam usaha ternak sapi bibit diperluhan oleh peternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (70,0%) peternak mengatakan pemerintah kurang mendukung usaha ternak sapi bibit (Tabel 4.7). Bahkan terdapat sebanyak 4,4% petenak menyatakan bahwa pemerintah tidak mendukung peternka dalam pengembangan usaha peternakan sapi bibit. Hanya 6,7% yang menyatakan sangat mendukung dan 8,9% yang menyatakan mendukung, serta 10,0% yang menyatakan cukup mendukung. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan usaha peternakan sapi bibit, seperti Kredit Usaha Peternakan Sapi (KUPS) belum dirasakan oleh peternak. Selain itu pemerintah daerah Bali juga mengembangkan suatu program yang disebut dengan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), yang dengan jelas mengharuskan ternak sapi bibit adalah salah satu komponen penting dalam program tersebut. Oleh karena itu, maka pemerintah harus berupaya secara terus menerus untuk memberi dukungan berupa pembinaan dan penyediaan sarana produksi untuk meningkatkan usaha peternakan sapi bibit di Bali. Upaya tersebut sangat penting dilakukan dalam mendukung program pemerintah mencapai swasembada daging sapi secara berkelanjutan.

Tabel 4.7

Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit

No Kabupaten

Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit

(51)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 37 Sejalan dengan Anon (2013) yang menyatakan bahwa pengembangan sapi di Indonesia membutuhkan dukungan infrastruktur memadai untuk mempertahankan bobot sapi sebagai bentuk dukungan untuk menyukseskan program swasembada daging sapi 2014. Keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan sehingga membuat bobot (berat) badan sapi susut sampai 30 persen. Terkait dengan hal tersebut, Presiden RI dalam Anon (2013) menyatakan bahwa dukungannya terhadap program aksi terpadu mewujudkan swasembada pangan termasuk daging, yakni melalui ketersediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta pemanfaatan teknologi.

4.3. Harapan Peternak Sapi Bibit

(52)

Laporan Akhir KKP3SL-2015 38 Tabel 4.8

Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Sapi Bibit

No Kabupaten

Harapan peternak terhadap dukungan pemerintah dalam pengembangan sapi bibit

Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina priduktif dari sangat tidak setuju sampai ragu-ragu. Sebanyak 51,1% menyatakan tidak setuju dengan pemotongan sapi betina produktif, 44,4% menyatakan sangat tidak setuju, dan 4,4% ragu-ragu (Tabel 4.9). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya peternak tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi betina produktif. Ketidaksetujuan peternak dalam pemotongan sapi betina produktif, sebagai akibat dari penilaian peternak terhadap pentingnya memelihara sapi betina untuk mendapatkan anak sapi yang lebih banyak, untuk bisa dijual pada saat membutuhkan uang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siagian (1988), yang menyatakan bahwa sikap adalah pernyataan evaluatif dari seseorang terhadap suatu obyek. Usaha peternakan sapi bibit yang dilakukan peternak yang bertujuan atau bermotifkan ekonomi merupakan objek yang selalui dievaluasi oleh peternak.

Gambar

Gambar 2.5. Dampak pemotongan sapi betina produktif (Sumber: Wiguna dan Tatik,
Tabel 1.1 Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk dalam 16 tahun
Tabel 1.2 Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina
Gambar 2.6. Analisis impor sapi dan daging sapi (Buyung Syahyudi, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Habermas's thus attempts to resolve the contradiction within rationality by asserting the radical separation of labour and interaction, a view which confirms

 p Ponpes Modern  tetap mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama.. Mata Pelajaran yang diajarkan Fiqh Tasawuf Nahwu

Sedangkan acara seliannya berfungsi sebagai penyemarak seperti seni gulat okol, wayang kulit, ludruk, dan sebagainya; (c) dimensi-dimensi teologis dalam ritual sedekah

Gambar 2.2 DFD Leve menjelaskan tentang proses melakukan kegiatan input data taksiran data gadai yang akan database dan kemudian mela transaksi pembayaran dan melewati

Penulis menggunakan metode UML (Unified Modelling Language) dalam merancang sistem aplikasi website Buku Online dan menggunakan PHP untuk membuat program serta MySQL sebagai

Jenis komoditas wajib periksa karantina ikan, pengendalian mutu dan hasil perikanan yang selanjutnya disebut jenis komoditas wajib periksa karantina ikan adalah

membantu dalam hal ekonomi. selain itu dengan metode kedok Pemilik dan penggaap mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda. Pemilik mempunyai hak diantaranya adalah

Adapun variabel yang lebih dominan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada usaha mikro di kota Jambi tahun 1993 sampai 2010 adalah upah ril dibandingkan