• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma Viride Pada Ransum Terhadap Karkas dan Lemak Abdominal Ayam Broiler

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma Viride Pada Ransum Terhadap Karkas dan Lemak Abdominal Ayam Broiler"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tepung Limbah Udang

Udang sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi atas tiga macam,

yaitu (1) produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh

, (2) badan tanpa kepala dan (3) dagingnya saja. Pengolahan produksi udang

berdasarkan ketiga macam produk tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian

udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan kulitnya. Bagian tersebut

merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang

(Mudjima,1986 dalam Abun 2009).

Kepala udang merupakan limbah dari industri pengolahan udang beku

untuk diekspor atau pengolahan udang segar di pasar. Limbah udang di Indonesia

umumnya terdiri atas bagian kepala, ekor dan kulit udang serta udang yang rusak

dan afkir (Mirzah, 1990, 1997). Limbah ini sangat potensial dijadikan bahan

pakan sumber protein hewani karena ketersediaannya cukup banyak dan

mengandung zat-zat gizi yang tinggi, terutama protein dan mineralnya

(Okaye et al., 2005; Khempaka et al., 2006).

Limbah udang terdiri dari bagian kepala, ekor dan kulit serta udang-udang

kecil. Wanasuria (1990), melaporkan bahwa tidak seluruh komoditi udang

diekspor dalam bentuk udang segar, sebahagian besar diekspor dalam bentuk

olahan, yaitu diolah untuk membuang kepala dan kulit udang.

Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak berdasarkan pada dua

(2)

kebeberapa negara, seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat maka limbah yang

dihasilkan akan bertambah pula. Limbah udang tersebut pada umumnya terdiri

dari bagian kepala, kulit ekor dan udang kecil

-kecil disamping sedikit daging udang (Parakkasi, 1983 dalam Abun 2009).

Tepung limbah udang (TLU) terbuat dari limbah udang sisa hasil

pengolahan udang setelah diambil bagian dagingnya, sehingga yang tersisa adalah

bagian kepala, cangkang, ekor dan udang kecil utuh dalam jumlah sedikit.

Kualitas dan kandungan nutrien limbah udang sangat tergantung pada proporsi

bagian kepala dan cangkang udang (Djunaidi. dkk, 2009).

Pemanfaatan limbah udang sebagai salah satu bahan penyusun ransum

ternak unggas dapat dilakukan, disebabkan limbah tersebut mempunyai

kandungan zat-zat makanan yang cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya

Kandungan protein limbah udang yang cukup tinggi merupakan potensi yang

perlu dimanfaatkan. Disamping itu, limbah udang juga mengandung serat kasar

yang tinggi, yaitu berupa khitin. Purwaningsih (2000), menyatakan bahwa limbah

udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin ini

mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan

limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun ransum ternak unggas.

Tingginya kandungan serat kasar yang berasal dari khitin dan mineral

terutama kalsium, yang berikatan erat dalam bentuk ikatan khitin-protein-kalsium

karbonat merupakan kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan

protein yang terikat dalam khitin tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium

karbonatnya sampai 15-30%. Adanya ikatan khitinprotein- kalsium karbonat yang

(3)

pemanfaatannya belum optimal dibanding dengan potensi nilai gizinya.

(Foster dan Webber, 1960; Walton dan Blackwell, 1973).

Peningkatan kualitas dan pemanfaatan limbah udang secara maksimal

dalam ransum memerlukan pengolahan yang tepat sebelum diberikan pada ternak

untuk dapat meningkatkan kecernaan dan menurunkan kandungan khitinnya.

Penggunaan limbah udang sebagai bahan pakan ternak perlu sentuhan teknologi

untuk meningkatkan nilai gizinya,karena bahan ini mempunyai beberapa

kelemahan yaitu serat kasar tinggi, dan memiliki kecernaan protein yang rendah

karena mengandung zat anti nutrisi khitin (Hartadi et al., 1997).

Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam

Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan dekomposisi kitin limbah

udang melalui pengolahan di antaranya secara kimia, yaitu melalui perendaman

dengan larutan basa atau asam (Mirzah, 1990; Wahyuni & Budiastuti, 1991).

Namun dengan perendaman dengan bahan kimia, sisa-sisa bahan kimia yang ada

pada bahan juga berpengaruh pada ternak dan limbah bahan kimia proses

pengolahan juga dapat mencemari lingkungan.

Penggunaan bahan kimia sebenarnya dapat dihindari dengan menggunakan

larutan filtrat air abu sekam (alkali) yang tidak bersifat polutan. Hasil penelitian

Mirzah (2006), menunjukkan bahwa perendaman limbah udang dalam larutan

filtrat air abu sekam (FAAS) 10% selama 48 jam dan dikukus selama 45 menit

dapat menurunkan kitin dari 15,2% menjadi 9,87% dan meningkatkan kecernaan

(4)

lain tidak banyak berubah, yaitu bahan keringnya 86,40%, protein kasar 38,98%,

lemak 4,12%.

Salah satu cara pengolahan limbah udang adalah dengan cara pengukusan,

dimana sebelum dilakukan pengukusan limbah udang direndam terlebih dahulu

dalam air abu sekam 10% selama 48 jam untuk meregangkan ikatan khitin pada

limbah udang tersebut. Hasil penelitian Meizwarni (1995), dedak yang diberi

praperlakuan hidrolisis air abu sekam 10% memperlihatkan peningkatan kualitas

dedak yang dihasilkan. Sedangkan Resmi (2000) menyatakan bahwa pengolahan

limbah udang dengan cara pengukusan menghasilkan kandungan protein kasar

tertinggi dan kadar khitin terendah dibandingkan dengan cara direbus dan

disangrai.

Pengolahan limbah udang digunakan filtrat air abu sekam (FAAS) 10%.

Filtrat air abu sekam sebagai larutan untuk perendam dibuat dengan cara sekam

padi yang telah diabukan secara sempurna dilarutkan dalam air bersih. Larutan

abu sekam padi 10% diperoleh dengan melarutkan 100 g abu sekam padi dalam 1

liter air bersih. Larutan ini dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk

memperoleh filtratnya dan siap digunakan. Setelah direndam selama 48 jam

selanjutnya limbah udang dikukus selama 45 menit, dan dikeringkan dengan

cahaya matahari dan akhirnya digiling.

Fermentasi

Fermentasi sering didefenisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat

dan asam amino secara anaerob yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino

(5)

Fermentasi berperan melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi

lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan

menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan

tersebut (Hardjo et al, 1989).

Pakan tanpa fermentasi yang diberikan pada ayam akan menghasilkan nilai

daya cerna protein yang lebih rendah dibandingkan dengan pakan yang

difermentasikan terlebih dahulu. Pakan yang difermentasi cukup palatabel dan

disukai ternak (Rasyaf, 1997).

Fermentasi EM-4

Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu

terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa

menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang,

selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraseluler dan protein hasil

metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Winarno, 1986).

Menurut hasil penelitian Nwanna ( 2003), untuk pengolahan limbah udang

secara fermentasi dapat menggunakan inokulum Lactobacillus sp sebagai fermentor untuk pembuatan silase limbah udang, yaitu dalam waktu 14 hari.

Selain Lactobacillus sp, juga dapat digunakan inokulum EM-4, yaitu bakteri fermentasi yang berisi kultur campuran dari mikroorganisme yang

menguntungkan bagi pertumbuhan dan pruduksi ternak, sebagian besar terdiri dari

genus Lactobacillus sp, bakteri fotosintetik, Actinomycetes sp, Sreptomyces sp, jamur pengurai selulosa dan ragi yang berfungsi menguraikan selulosa atau khitin

(6)

Pengolahan dengan menggunakan kultur campuran EM-4 dapat

meningkatkan kandungan nilai gizi dan kualitas nutrisi tepung limbah udang

dibandingkan tepung limbah udang hasil preparasi dengan FAAS saja.

Penggunaan inokulum dengan kultur campuran (EM-4) lebih baik

dibandingkan inokulum dengan mono kultur (Lactobacillus sp). Produk tepung

limbah udang olahan terbaik diperoleh pada pengolahan dengan menggunakan

EM-4 dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dngan lama fermentasi 11 hari

(Harnentis, 2004).

Kapang Trichoderma viridae

Degradasi komplek senyawa protein-khitin-kalsium karbonat dengan

sempurna baru akan terjadi bila limbah udang diperlakukan dengan enzim yang

dihasilkan oleh kapang melalui proses fermentasi. Salah satu caranya

adalah menggunakan jasa kapang dari mikroorganisme penghasil enzim

khitinase. Terdapat beberapa jenis kapang yang dapat mengahasilkan enzim

khitinase, salah satunya kapang Trichoderma viridae (Yurnaliza, 2002; Volk, 2004) yang dapat mendegrasi khitin pada limbah udang.

Penggunakan kapang Trichoderma viridae dalam proses pengolahan bahan pakan memiliki kelebihan antara lain, protein enzim yang dihasilkan oleh

kapang tersebut kualitas yang sangat baik jika dibandingkan dengan jenis kapang

lainnya Enzim khitinase yang dihasilkan mikroorganisme tersebut merupakan

enzim yang mampu merombak polimer khitin menjadi unit monomer N-asetil

(7)

Menurut Poesponegoro (1976) bahwa kapang Trichoderma viridae mempunyai kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan

berselulosa dapat merangsang dikeluarkannya enzim selulase. Hal tersebut

disebabkan karena kapang Trichoderma viridae mampu memanfaatkan bahan organik yang terkandung dalam substrat untuk dirombak serta

mengkonversikannya menjadi peningkatan pada kandungan protein substrat

tepung limbah udang.

Menurut Winarno (1993), bahwa selama fermentasi kapang membutuhkan

waktu untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan miselia dan menafaatkan bahan

organik untuk proses degradasi. Literatur pendukung lainnya bahwa peningkatan

jumlah massa mikroba akan menyebabkan meningkatkan kandungan produk

fermentasi, dimana kandungan protein merupakan refleksi dari jumlah massa sel

(Nurhayani, 2000 ). Dimana dalam proses fermentasi mikroba akan menghasilkan

enzim yang akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks menjadi lebih

sederhana, dan mikroba juga akan mensistesis protein yang merupakan proses

protein enrichment yaitu pengkayaan protein bahan.

Miselium Trichoderma dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase (pendegradasi selulosa) dan khitinase

(pendegradasi khitin). Oleh karena adanya enzim selulase, Trichoderma dapat tumbuh secara langsung di atas kayu yang terdiri atas selulosa sebagai polimer

dari glukosa. Oleh karena adanya khitinase, Trichoderma dapat bersifat sebagai penghambat bagi jamur yang tidak menguntungkan (Volk, 2004).

Semakin lama waktu fermentasi semakin menurunkankan kandungan

(8)

berikutnya ada yang mengalami penurunan (fase kematian) dan ada yang

mengalami titik kestabilan (fase stationer), dimana ditinjau dari peningkatan

jumlah mikroba dan bakteri pada variabel perbedaan penambahan sumber

nitrogen pada waktu yang optimal fementasi substrat limbah udang dan dedak

padi. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa tahapan-tahapan pertumbuhan mikroba

yang utama ada 4 yaitu: lag phase (fase adaptasi), dimana pada saat ini posisi pertumbuhan lambat dan cenderung mikroba beradaptasi menyesuaikan

lingkungan yang baru; exponential/logarithmic phase (fase pertumbuhan); stationary phase (fase stasioner /fase dimana kematian seimbang dengan pertumbuhan); death phase (fase kematian),kematian lebih besar daripada pertumbuhan (Dwidjoseputro, 1985).

Kebutuhan Nutrisi Broiler

Ayam broiler merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya

pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam broiler memiliki pertumbuhan

dan bobot badan yang sangat cepat, efisiensi pakan cukup tinggi, ukuran badan

besar dengan bentuk dada lebar dan padat dan berisi sehingga sangat efisien

diproduksi dalam jangka waktu 5-6 minggu ayam broiler tersebut dapat mencapai

bobot hidup 1,4 – 1,6 kg. Secara umum broiler dapat memenuhi selera konsumen

atau masyarakat, selain dari pada itu broiler lebih dapat terjangkau masyarakat

karena harganya relatif murah (Rasyaf, 1997).

Untuk keperluan hidupnya dan untuk produksi, ayam membutuhkan

sejumlah nutrisi yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan

berkualitas, energi yang mengandun karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral

(9)

diberikan sangat bergantung dari jenis ayam yang dipelihara, sistem pemeliharaan

dan tujuan produksi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

berkaitan dengan genetik dan lingkungan tempat ternak itu dipelihara.

Pada penyusunan formulasi ransum secara praktis, perhitungan kebutuhan

nutrien hanya didasarkan pada kebutuhan energi dan protein, sedangkan

kebutuhan nutrien yang lain hanya disesuaikan. Apabila ternak menunjukkan

gejala defisiensi maka perlu ditambahkan suplemen terutama vitamin dan mineral.

Tingkat kandungan energi ransum harus disesuaikan dengan kandungan

proteinnya, karena protein sangat penting untuk pembentukan jaringan tubuh dan

produksi. Apabila energi terpenuhi namun proteinnya kurang maka laju

pertumbuhan dan produksi akan terganggu. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan

keseimbangan antara tingkat energi dan proteinsehingga penggunaan ransum

menjadi efisien (Suprijatna et all., 2005).

Perbedaan ransum yang diberikan tergantung pada kebutuhan broiler pada

fase pertumbuhannya. Kebutuhan zat makanan broiler pada fase yang berbeda

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Broiler Fase Starter dan Finisher.

Zat Nutrisi Starter Finisher

Protein kasar (%) 22 20

Lemak kasar (%) 4 – 5 3 – 4

Serat kasar (%) 3 – 5 3 – 5

Kalsium (%) 1 1

Pospor (%) 0,7 0,7

EM (kkal/kg) 3050 3050

(10)

Ransum Broiler

Ransum merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk

keberhasilan dalam usaha pemeliharaan ayam. Ransum adalah campuran

bahan-bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan

tepat. Seimbang dan tepat berarti zat makanan itu tidak berkelebihan dan tidak

kurang. Ransum yang diberikan haruslah mengandung protein, lemak,

karbohidrat, vitamin dan mineral (Rasyaf, 1997).

Fungsi makanan yang diberikan ke ayam pada prinsipnya memenuhi

kebutuhan pokok untuk hidup, membentuk sel-sel dan jaringan tubuh, serta

menggantikan bagian-bagian yang merupakan zat-zat yang diperlikan ayam

adalah karbohidrat, lemak dan protein akan membentuk energi sebagai hasil

pembakarannya (Sudaryani dan Santoso, 1995).

Air sangat penting untuk mengatur temperatur tubuh. Bila ayam hanya

diberi air dan tidak diberi makan dapat hidup lebih lama. Kekurangan air hanya

untuk satu hari saja dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan sangat

menurunkan kecepatan pertumbuhan broiler (Wahju, 1997).

Sistem Pencernaan Ayam

Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan

lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan

(11)

dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk

menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung

kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di

depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus

dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ

tersebut. Setelah itu, pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ

tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir, dan di dalamnya

pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, sekum

dan usus besar, dan berakhir di kloaka. Sistem pencernaan pada unggas tergolong

cepat karena membutuhkan waktu cerna hanya 2½ jam pada ayam petelur dan 8 ½

jam pada ayam lain (Scanes et al. 2004).

Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi

yang cukup untuk membantu reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan

mempertahankan suhu tubuh. Energi metabolis berarti kemampuan untuk

melakukan suatu kerja (Scott et all, 1982 ).

Nilai energi metabolis dari bahan-bahan pakan adalah penggunaan paling

banyak dan aplikasi yang praktis dalam ilmu nutrisi ternak unggas karena

penggunaan ini tersedia untuk semua tujuan termasuk peningkatan karkas ayam,

besarnya kandungan energi metabolisme yang dibutuhkan ayam broiler untuk

pertumbuhan maksimum adalah 2.900 sampai 3.200 kkal/kg ransum (NRC,

1994).

Kelebihan energi metabolis tidak dikeluarkan oleh tubuh hewan, oleh

karena itu paling efisien dalam pemberian pakan pada ayam yaitu membuat

(12)

Karkas Ayam Broiler

Karkas ayam dibuat klasifikasinya berdasarkan bagian-bagian tubuh

(Rasyaf, 2003). Selama proses pengolahan akan terjadi kehilangan berat hidup

kurang lebih 1/3 bagian (berat daging siap masak itu nantinya kurang lebih 2/3

dari berat hidupnya) karena bulu, kaki, cakar, leher, kepala, jeroan atau isi dalam

dan ekor dipisah dari bagian daging tubuh dengan demikian daging siap masak itu

hanya tinggal daging pada bagian tubuh tambah dengan siap masak itu 75% dari

berat hidup (Rasyaf, 2003).

Persentase karkas tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas karkas

namun penting pada penampilan ternak sebelum dipotong. Pembeli ternak akan

memperkirakan nilai karkas dari penampilan ternak sewaktu ternak tersebut masih

hidup. Bila pembeli menaksir persentase karkas terlalu tinggi misalnya 1% saja,

Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah konformasi tubuh dan

derajat kegemukan. Ternak yang gemuk, persentase karkasnya tinggi dan

umumnya berbentuk tebal seperti balok (Kartasudjana, 2001). Faktor lain yang

mempengaruhi persentase karkas adalah jumlah pakan dan air yang ada pada

saluran pencernaan ternak. Bila jumlahnya cukup banyak maka persentase

karkasnya akan rendah. Kulit yang besar dan juga tebal juga akan berpengaruh

(13)

Karkas yang baik harus mengandung daging yang banyak, bagian yang

dimakan harus baik, kadar lemak tidak terlalu tinggi, kesemuanya ini sangat

dipengaruhi oleh faktor pengelolaan dan pakan. Persentase kualitas berat karkas

ayam broiler yang mendapat protein sebesar 23% akan lebih besar dibandingkan

dengan ayam yang mendapat ransum dengan protein yang lebih rendah dari 23%

(Thamrin, 1984). Menurut Rasyaf (1994), Hasil samping udang kandungan

proteinnya sebesar 43% sampai 47% dan merupakan sumber protein yang baik

sehingga limbah udang merupakan bahan pakan yang berpengaruh baik terhadap

peningkatan kualitas karkas.

Untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik ternak unggas seperti

ayam, sebaiknya diistirahatkan sebelum di potong. Cara pemotongan unggas yang

lazim dilakukan di indonesia adalah cara Khosher yaitu memotong arteri karotis,

vena jungularis dan oesophagus. Pada saat penyembelihan, darah harus keluar

sebanyak mungkin. Jika darah dapat keluar secara sempurna, maka beratnya

sekitar 4 % dari berat tubuh. Proses pengeluaran darah ayam biasanya

berlangsung selama 50 – 120 detik, tergantung pada besar dan kecilnya ayam

yang dipotong (Soeparno, 1994).

Lemak Abdominal

Lemak abdominal merupakan lemak yang terdapat disekitar perut atau

juga disekitar ovarium. Zat lemak sebagai sumber energi sangat efisien dalam

jumlah yang sama atau lebih tinggi dari kandungan karbohidrat, namun

pemakaian lemak untuk konsumsi ayam buras hanya boleh diberikan berkisar 5%

(14)

akan menyebabkan penimbunan lemak disekitar daerah ovarium yang akan

menghambat ovulasi (AAK, 1994).

Menurut Soeparno (1994), proporsi lemak karkas yang tinggi sebagai

akibat dari perlakuan pakan yang berenergi tinggi, adalah karena sintesis lemak

dan karbohidrat yang lebih besar dibandingkan dengan pakan yang berenergi

rendah, terjadi kenaikan persentase lemak dan penurunan persentase kadar air.

Faktor yang mempengaruhi penimbunan lemak pada ayam yaitu strain

ayam, jenis kelamin, umur, kualitas dan kuantitas ransum serta faktor lingkungan

seperti kandang, musim, temperatur dan kelembapan (Wahju, 1997).

Salah satu cara mengurangi perlemakan pada ayam pedaging adalah

dengan memvariasikan pada nutrien ransum, terutama energi dan protein. Dengan

peningkatan kandungan energi ransum maka akan meningkat pula kandungan

lemak tubuh atau lemak abdominalnya secara keseluruhan, dan sebaliknya dengan

meningkatnya kandungan protein ransum maka jumlah lemak abdominalnya akan

menurun (Wahyu, 1988).

Penambahan serat kasar yang tinggi dalam ransum merupakan cara untuk

mengatasi tingginya lemak karkas ayam broiler. Penggunaan kepala udang yang

mengandung kitin (serat hewani) dapat dijadikan sebagai salah satu sumber serat

yang dapat ditambahkan dalam ransum ayam untuk menurunkan kandungan

lemak dan kolesterol daging ayam broiler. Selain mengandung kitin, kepala udang

Gambar

Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Broiler Fase Starter dan Finisher.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun perlakuan dalam penelitian ini adalah: P1= pakan komersil, P2= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 10% dan tanpa tepung limbah udang, P3= ransum formulasi

dalam proses pengolahan bahan pakan memiliki kelebihan antara lain, enzim yang dihasilkan oleh kapang tersebut kualitas yang sangat baik jika dibandingkan dengan jenis

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan tepung limbah udang dengan pengolahan filtrat air abu sekam, fermentasi EM4 dan kapang Trichoderma viride dapat

Difermentasi limbah udang dengan EM- 4 dengan dosis 20 mL/100 gram substrat dengan lama fermentasi 11

Total biaya produksi atau total pengeluaran yaitu biaya – biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk yang diperoleh dengan cara menghitung : biaya pakan, biaya

Semakin banyak ayam semakin besar pula biaya tidak tetap yang dikeluarkan dalam produksi peternakan secara total.. Pada pemeliharaan ayam pedaging, biaya pakan mencapai

Perlakuan yang digunakan adalah P 0a : Pakan komersil, P 0b : Ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 10% dan tanpa tepung limbah udang, P 1 : Ransum formulasi

banyaknya faktor, diantaranya adalah kecernaan bahan kering pakan, kandungan energi.. metabolisme pakan dan kandungan serat kasar pakan