TINJAUAN PUSTAKA
Tepung Limbah Udang
Udang sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi atas tiga macam,
yaitu (1) produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh
, (2) badan tanpa kepala dan (3) dagingnya saja. Pengolahan produksi udang
berdasarkan ketiga macam produk tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian
udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan kulitnya. Bagian tersebut
merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang
(Mudjima,1986 dalam Abun 2009).
Kepala udang merupakan limbah dari industri pengolahan udang beku
untuk diekspor atau pengolahan udang segar di pasar. Limbah udang di Indonesia
umumnya terdiri atas bagian kepala, ekor dan kulit udang serta udang yang rusak
dan afkir (Mirzah, 1990, 1997). Limbah ini sangat potensial dijadikan bahan
pakan sumber protein hewani karena ketersediaannya cukup banyak dan
mengandung zat-zat gizi yang tinggi, terutama protein dan mineralnya
(Okaye et al., 2005; Khempaka et al., 2006).
Limbah udang terdiri dari bagian kepala, ekor dan kulit serta udang-udang
kecil. Wanasuria (1990), melaporkan bahwa tidak seluruh komoditi udang
diekspor dalam bentuk udang segar, sebahagian besar diekspor dalam bentuk
olahan, yaitu diolah untuk membuang kepala dan kulit udang.
Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak berdasarkan pada dua
kebeberapa negara, seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat maka limbah yang
dihasilkan akan bertambah pula. Limbah udang tersebut pada umumnya terdiri
dari bagian kepala, kulit ekor dan udang kecil
-kecil disamping sedikit daging udang (Parakkasi, 1983 dalam Abun 2009).
Tepung limbah udang (TLU) terbuat dari limbah udang sisa hasil
pengolahan udang setelah diambil bagian dagingnya, sehingga yang tersisa adalah
bagian kepala, cangkang, ekor dan udang kecil utuh dalam jumlah sedikit.
Kualitas dan kandungan nutrien limbah udang sangat tergantung pada proporsi
bagian kepala dan cangkang udang (Djunaidi. dkk, 2009).
Pemanfaatan limbah udang sebagai salah satu bahan penyusun ransum
ternak unggas dapat dilakukan, disebabkan limbah tersebut mempunyai
kandungan zat-zat makanan yang cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya
Kandungan protein limbah udang yang cukup tinggi merupakan potensi yang
perlu dimanfaatkan. Disamping itu, limbah udang juga mengandung serat kasar
yang tinggi, yaitu berupa khitin. Purwaningsih (2000), menyatakan bahwa limbah
udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin ini
mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan
limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun ransum ternak unggas.
Tingginya kandungan serat kasar yang berasal dari khitin dan mineral
terutama kalsium, yang berikatan erat dalam bentuk ikatan khitin-protein-kalsium
karbonat merupakan kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan
protein yang terikat dalam khitin tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium
karbonatnya sampai 15-30%. Adanya ikatan khitinprotein- kalsium karbonat yang
pemanfaatannya belum optimal dibanding dengan potensi nilai gizinya.
(Foster dan Webber, 1960; Walton dan Blackwell, 1973).
Peningkatan kualitas dan pemanfaatan limbah udang secara maksimal
dalam ransum memerlukan pengolahan yang tepat sebelum diberikan pada ternak
untuk dapat meningkatkan kecernaan dan menurunkan kandungan khitinnya.
Penggunaan limbah udang sebagai bahan pakan ternak perlu sentuhan teknologi
untuk meningkatkan nilai gizinya,karena bahan ini mempunyai beberapa
kelemahan yaitu serat kasar tinggi, dan memiliki kecernaan protein yang rendah
karena mengandung zat anti nutrisi khitin (Hartadi et al., 1997).
Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam
Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan dekomposisi kitin limbah
udang melalui pengolahan di antaranya secara kimia, yaitu melalui perendaman
dengan larutan basa atau asam (Mirzah, 1990; Wahyuni & Budiastuti, 1991).
Namun dengan perendaman dengan bahan kimia, sisa-sisa bahan kimia yang ada
pada bahan juga berpengaruh pada ternak dan limbah bahan kimia proses
pengolahan juga dapat mencemari lingkungan.
Penggunaan bahan kimia sebenarnya dapat dihindari dengan menggunakan
larutan filtrat air abu sekam (alkali) yang tidak bersifat polutan. Hasil penelitian
Mirzah (2006), menunjukkan bahwa perendaman limbah udang dalam larutan
filtrat air abu sekam (FAAS) 10% selama 48 jam dan dikukus selama 45 menit
dapat menurunkan kitin dari 15,2% menjadi 9,87% dan meningkatkan kecernaan
lain tidak banyak berubah, yaitu bahan keringnya 86,40%, protein kasar 38,98%,
lemak 4,12%.
Salah satu cara pengolahan limbah udang adalah dengan cara pengukusan,
dimana sebelum dilakukan pengukusan limbah udang direndam terlebih dahulu
dalam air abu sekam 10% selama 48 jam untuk meregangkan ikatan khitin pada
limbah udang tersebut. Hasil penelitian Meizwarni (1995), dedak yang diberi
praperlakuan hidrolisis air abu sekam 10% memperlihatkan peningkatan kualitas
dedak yang dihasilkan. Sedangkan Resmi (2000) menyatakan bahwa pengolahan
limbah udang dengan cara pengukusan menghasilkan kandungan protein kasar
tertinggi dan kadar khitin terendah dibandingkan dengan cara direbus dan
disangrai.
Pengolahan limbah udang digunakan filtrat air abu sekam (FAAS) 10%.
Filtrat air abu sekam sebagai larutan untuk perendam dibuat dengan cara sekam
padi yang telah diabukan secara sempurna dilarutkan dalam air bersih. Larutan
abu sekam padi 10% diperoleh dengan melarutkan 100 g abu sekam padi dalam 1
liter air bersih. Larutan ini dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk
memperoleh filtratnya dan siap digunakan. Setelah direndam selama 48 jam
selanjutnya limbah udang dikukus selama 45 menit, dan dikeringkan dengan
cahaya matahari dan akhirnya digiling.
Fermentasi
Fermentasi sering didefenisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat
dan asam amino secara anaerob yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino
Fermentasi berperan melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi
lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan
tersebut (Hardjo et al, 1989).
Pakan tanpa fermentasi yang diberikan pada ayam akan menghasilkan nilai
daya cerna protein yang lebih rendah dibandingkan dengan pakan yang
difermentasikan terlebih dahulu. Pakan yang difermentasi cukup palatabel dan
disukai ternak (Rasyaf, 1997).
Fermentasi EM-4
Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu
terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa
menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang,
selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraseluler dan protein hasil
metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Winarno, 1986).
Menurut hasil penelitian Nwanna ( 2003), untuk pengolahan limbah udang
secara fermentasi dapat menggunakan inokulum Lactobacillus sp sebagai fermentor untuk pembuatan silase limbah udang, yaitu dalam waktu 14 hari.
Selain Lactobacillus sp, juga dapat digunakan inokulum EM-4, yaitu bakteri fermentasi yang berisi kultur campuran dari mikroorganisme yang
menguntungkan bagi pertumbuhan dan pruduksi ternak, sebagian besar terdiri dari
genus Lactobacillus sp, bakteri fotosintetik, Actinomycetes sp, Sreptomyces sp, jamur pengurai selulosa dan ragi yang berfungsi menguraikan selulosa atau khitin
Pengolahan dengan menggunakan kultur campuran EM-4 dapat
meningkatkan kandungan nilai gizi dan kualitas nutrisi tepung limbah udang
dibandingkan tepung limbah udang hasil preparasi dengan FAAS saja.
Penggunaan inokulum dengan kultur campuran (EM-4) lebih baik
dibandingkan inokulum dengan mono kultur (Lactobacillus sp). Produk tepung
limbah udang olahan terbaik diperoleh pada pengolahan dengan menggunakan
EM-4 dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dngan lama fermentasi 11 hari
(Harnentis, 2004).
Kapang Trichoderma viridae
Degradasi komplek senyawa protein-khitin-kalsium karbonat dengan
sempurna baru akan terjadi bila limbah udang diperlakukan dengan enzim yang
dihasilkan oleh kapang melalui proses fermentasi. Salah satu caranya
adalah menggunakan jasa kapang dari mikroorganisme penghasil enzim
khitinase. Terdapat beberapa jenis kapang yang dapat mengahasilkan enzim
khitinase, salah satunya kapang Trichoderma viridae (Yurnaliza, 2002; Volk, 2004) yang dapat mendegrasi khitin pada limbah udang.
Penggunakan kapang Trichoderma viridae dalam proses pengolahan bahan pakan memiliki kelebihan antara lain, protein enzim yang dihasilkan oleh
kapang tersebut kualitas yang sangat baik jika dibandingkan dengan jenis kapang
lainnya Enzim khitinase yang dihasilkan mikroorganisme tersebut merupakan
enzim yang mampu merombak polimer khitin menjadi unit monomer N-asetil
Menurut Poesponegoro (1976) bahwa kapang Trichoderma viridae mempunyai kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan
berselulosa dapat merangsang dikeluarkannya enzim selulase. Hal tersebut
disebabkan karena kapang Trichoderma viridae mampu memanfaatkan bahan organik yang terkandung dalam substrat untuk dirombak serta
mengkonversikannya menjadi peningkatan pada kandungan protein substrat
tepung limbah udang.
Menurut Winarno (1993), bahwa selama fermentasi kapang membutuhkan
waktu untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan miselia dan menafaatkan bahan
organik untuk proses degradasi. Literatur pendukung lainnya bahwa peningkatan
jumlah massa mikroba akan menyebabkan meningkatkan kandungan produk
fermentasi, dimana kandungan protein merupakan refleksi dari jumlah massa sel
(Nurhayani, 2000 ). Dimana dalam proses fermentasi mikroba akan menghasilkan
enzim yang akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks menjadi lebih
sederhana, dan mikroba juga akan mensistesis protein yang merupakan proses
protein enrichment yaitu pengkayaan protein bahan.
Miselium Trichoderma dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase (pendegradasi selulosa) dan khitinase
(pendegradasi khitin). Oleh karena adanya enzim selulase, Trichoderma dapat tumbuh secara langsung di atas kayu yang terdiri atas selulosa sebagai polimer
dari glukosa. Oleh karena adanya khitinase, Trichoderma dapat bersifat sebagai penghambat bagi jamur yang tidak menguntungkan (Volk, 2004).
Semakin lama waktu fermentasi semakin menurunkankan kandungan
berikutnya ada yang mengalami penurunan (fase kematian) dan ada yang
mengalami titik kestabilan (fase stationer), dimana ditinjau dari peningkatan
jumlah mikroba dan bakteri pada variabel perbedaan penambahan sumber
nitrogen pada waktu yang optimal fementasi substrat limbah udang dan dedak
padi. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa tahapan-tahapan pertumbuhan mikroba
yang utama ada 4 yaitu: lag phase (fase adaptasi), dimana pada saat ini posisi pertumbuhan lambat dan cenderung mikroba beradaptasi menyesuaikan
lingkungan yang baru; exponential/logarithmic phase (fase pertumbuhan); stationary phase (fase stasioner /fase dimana kematian seimbang dengan pertumbuhan); death phase (fase kematian),kematian lebih besar daripada pertumbuhan (Dwidjoseputro, 1985).
Kebutuhan Nutrisi Broiler
Ayam broiler merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya
pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam broiler memiliki pertumbuhan
dan bobot badan yang sangat cepat, efisiensi pakan cukup tinggi, ukuran badan
besar dengan bentuk dada lebar dan padat dan berisi sehingga sangat efisien
diproduksi dalam jangka waktu 5-6 minggu ayam broiler tersebut dapat mencapai
bobot hidup 1,4 – 1,6 kg. Secara umum broiler dapat memenuhi selera konsumen
atau masyarakat, selain dari pada itu broiler lebih dapat terjangkau masyarakat
karena harganya relatif murah (Rasyaf, 1997).
Untuk keperluan hidupnya dan untuk produksi, ayam membutuhkan
sejumlah nutrisi yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan
berkualitas, energi yang mengandun karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral
diberikan sangat bergantung dari jenis ayam yang dipelihara, sistem pemeliharaan
dan tujuan produksi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berkaitan dengan genetik dan lingkungan tempat ternak itu dipelihara.
Pada penyusunan formulasi ransum secara praktis, perhitungan kebutuhan
nutrien hanya didasarkan pada kebutuhan energi dan protein, sedangkan
kebutuhan nutrien yang lain hanya disesuaikan. Apabila ternak menunjukkan
gejala defisiensi maka perlu ditambahkan suplemen terutama vitamin dan mineral.
Tingkat kandungan energi ransum harus disesuaikan dengan kandungan
proteinnya, karena protein sangat penting untuk pembentukan jaringan tubuh dan
produksi. Apabila energi terpenuhi namun proteinnya kurang maka laju
pertumbuhan dan produksi akan terganggu. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan
keseimbangan antara tingkat energi dan proteinsehingga penggunaan ransum
menjadi efisien (Suprijatna et all., 2005).
Perbedaan ransum yang diberikan tergantung pada kebutuhan broiler pada
fase pertumbuhannya. Kebutuhan zat makanan broiler pada fase yang berbeda
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Broiler Fase Starter dan Finisher.
Zat Nutrisi Starter Finisher
Protein kasar (%) 22 20
Lemak kasar (%) 4 – 5 3 – 4
Serat kasar (%) 3 – 5 3 – 5
Kalsium (%) 1 1
Pospor (%) 0,7 0,7
EM (kkal/kg) 3050 3050
Ransum Broiler
Ransum merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk
keberhasilan dalam usaha pemeliharaan ayam. Ransum adalah campuran
bahan-bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan
tepat. Seimbang dan tepat berarti zat makanan itu tidak berkelebihan dan tidak
kurang. Ransum yang diberikan haruslah mengandung protein, lemak,
karbohidrat, vitamin dan mineral (Rasyaf, 1997).
Fungsi makanan yang diberikan ke ayam pada prinsipnya memenuhi
kebutuhan pokok untuk hidup, membentuk sel-sel dan jaringan tubuh, serta
menggantikan bagian-bagian yang merupakan zat-zat yang diperlikan ayam
adalah karbohidrat, lemak dan protein akan membentuk energi sebagai hasil
pembakarannya (Sudaryani dan Santoso, 1995).
Air sangat penting untuk mengatur temperatur tubuh. Bila ayam hanya
diberi air dan tidak diberi makan dapat hidup lebih lama. Kekurangan air hanya
untuk satu hari saja dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan sangat
menurunkan kecepatan pertumbuhan broiler (Wahju, 1997).
Sistem Pencernaan Ayam
Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan
lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan
dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk
menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung
kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di
depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus
dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ
tersebut. Setelah itu, pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ
tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir, dan di dalamnya
pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, sekum
dan usus besar, dan berakhir di kloaka. Sistem pencernaan pada unggas tergolong
cepat karena membutuhkan waktu cerna hanya 2½ jam pada ayam petelur dan 8 ½
jam pada ayam lain (Scanes et al. 2004).
Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi
yang cukup untuk membantu reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan
mempertahankan suhu tubuh. Energi metabolis berarti kemampuan untuk
melakukan suatu kerja (Scott et all, 1982 ).
Nilai energi metabolis dari bahan-bahan pakan adalah penggunaan paling
banyak dan aplikasi yang praktis dalam ilmu nutrisi ternak unggas karena
penggunaan ini tersedia untuk semua tujuan termasuk peningkatan karkas ayam,
besarnya kandungan energi metabolisme yang dibutuhkan ayam broiler untuk
pertumbuhan maksimum adalah 2.900 sampai 3.200 kkal/kg ransum (NRC,
1994).
Kelebihan energi metabolis tidak dikeluarkan oleh tubuh hewan, oleh
karena itu paling efisien dalam pemberian pakan pada ayam yaitu membuat
Karkas Ayam Broiler
Karkas ayam dibuat klasifikasinya berdasarkan bagian-bagian tubuh
(Rasyaf, 2003). Selama proses pengolahan akan terjadi kehilangan berat hidup
kurang lebih 1/3 bagian (berat daging siap masak itu nantinya kurang lebih 2/3
dari berat hidupnya) karena bulu, kaki, cakar, leher, kepala, jeroan atau isi dalam
dan ekor dipisah dari bagian daging tubuh dengan demikian daging siap masak itu
hanya tinggal daging pada bagian tubuh tambah dengan siap masak itu 75% dari
berat hidup (Rasyaf, 2003).
Persentase karkas tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas karkas
namun penting pada penampilan ternak sebelum dipotong. Pembeli ternak akan
memperkirakan nilai karkas dari penampilan ternak sewaktu ternak tersebut masih
hidup. Bila pembeli menaksir persentase karkas terlalu tinggi misalnya 1% saja,
Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah konformasi tubuh dan
derajat kegemukan. Ternak yang gemuk, persentase karkasnya tinggi dan
umumnya berbentuk tebal seperti balok (Kartasudjana, 2001). Faktor lain yang
mempengaruhi persentase karkas adalah jumlah pakan dan air yang ada pada
saluran pencernaan ternak. Bila jumlahnya cukup banyak maka persentase
karkasnya akan rendah. Kulit yang besar dan juga tebal juga akan berpengaruh
Karkas yang baik harus mengandung daging yang banyak, bagian yang
dimakan harus baik, kadar lemak tidak terlalu tinggi, kesemuanya ini sangat
dipengaruhi oleh faktor pengelolaan dan pakan. Persentase kualitas berat karkas
ayam broiler yang mendapat protein sebesar 23% akan lebih besar dibandingkan
dengan ayam yang mendapat ransum dengan protein yang lebih rendah dari 23%
(Thamrin, 1984). Menurut Rasyaf (1994), Hasil samping udang kandungan
proteinnya sebesar 43% sampai 47% dan merupakan sumber protein yang baik
sehingga limbah udang merupakan bahan pakan yang berpengaruh baik terhadap
peningkatan kualitas karkas.
Untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik ternak unggas seperti
ayam, sebaiknya diistirahatkan sebelum di potong. Cara pemotongan unggas yang
lazim dilakukan di indonesia adalah cara Khosher yaitu memotong arteri karotis,
vena jungularis dan oesophagus. Pada saat penyembelihan, darah harus keluar
sebanyak mungkin. Jika darah dapat keluar secara sempurna, maka beratnya
sekitar 4 % dari berat tubuh. Proses pengeluaran darah ayam biasanya
berlangsung selama 50 – 120 detik, tergantung pada besar dan kecilnya ayam
yang dipotong (Soeparno, 1994).
Lemak Abdominal
Lemak abdominal merupakan lemak yang terdapat disekitar perut atau
juga disekitar ovarium. Zat lemak sebagai sumber energi sangat efisien dalam
jumlah yang sama atau lebih tinggi dari kandungan karbohidrat, namun
pemakaian lemak untuk konsumsi ayam buras hanya boleh diberikan berkisar 5%
akan menyebabkan penimbunan lemak disekitar daerah ovarium yang akan
menghambat ovulasi (AAK, 1994).
Menurut Soeparno (1994), proporsi lemak karkas yang tinggi sebagai
akibat dari perlakuan pakan yang berenergi tinggi, adalah karena sintesis lemak
dan karbohidrat yang lebih besar dibandingkan dengan pakan yang berenergi
rendah, terjadi kenaikan persentase lemak dan penurunan persentase kadar air.
Faktor yang mempengaruhi penimbunan lemak pada ayam yaitu strain
ayam, jenis kelamin, umur, kualitas dan kuantitas ransum serta faktor lingkungan
seperti kandang, musim, temperatur dan kelembapan (Wahju, 1997).
Salah satu cara mengurangi perlemakan pada ayam pedaging adalah
dengan memvariasikan pada nutrien ransum, terutama energi dan protein. Dengan
peningkatan kandungan energi ransum maka akan meningkat pula kandungan
lemak tubuh atau lemak abdominalnya secara keseluruhan, dan sebaliknya dengan
meningkatnya kandungan protein ransum maka jumlah lemak abdominalnya akan
menurun (Wahyu, 1988).
Penambahan serat kasar yang tinggi dalam ransum merupakan cara untuk
mengatasi tingginya lemak karkas ayam broiler. Penggunaan kepala udang yang
mengandung kitin (serat hewani) dapat dijadikan sebagai salah satu sumber serat
yang dapat ditambahkan dalam ransum ayam untuk menurunkan kandungan
lemak dan kolesterol daging ayam broiler. Selain mengandung kitin, kepala udang