PENGGUNAAN TEPUNG LIMBAH UDANG DENGAN PENGOLAHAN
FILTRAT AIR ABU SEKAM, FERMENTASI EM-4, DAN KAPANG
Trichoderma viridae
TERHADAP DAYA CERNA
AYAM BROILER
SKRIPSI
Oleh :
AHMAD KAMAL 090306008
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGGUNAAN TEPUNG LIMBAH UDANG DENGAN PENGOLAHAN
FILTRAT AIR ABU SEKAM, FERMENTASI EM-4, DAN KAPANG
Trichoderma viridae
TERHADAP DAYA CERNA
PRODUKSI AYAM BROILER
SKRIPSI
Oleh :
AHMAD KAMAL 090306008/PETERNAKAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Skripsi : Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4, Dan Kapang Trichoderma viridae Terhadap Daya Cerna Ayam Broiler
Nama : Ahmad Kamal
NIM : 090306008
Program Studi : Peternakan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Usman Budi, S.Pt.MS Ir.R. Edhy Mirwandhono,M.Si Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan
ABSTRACT
AHMAD KAMAL, 2014: “ The Use of Starch Waste Shrimp With Rice Husk Ask Filtrate Processing, Fermentation EM-4, and Fungus Trichoderma viridae on The Digestibility of Broiler Chickens”. Under Supervised by USMAN BUDI and R. EDHY MIRWANDHONO.
The goal of the reasearch is to find out the effect of shrimp waste treatment to the dry matter of digestibility, organic matter and crude protein. This research conducted at the Laboratory of Animal Biology University of North Sumatra, Medan and Animal Nutrition Laboratory of the Faculty of Animal Husbandry Dairy IPB. The material used in this study is broyler chicken and shrimp waste obtained from PT Toba Surimi Industries. Medan Industrial Estate. The experimental design used in this study was a completely randomized design (CRD), which consists of 8 (eight) treated with 3 (three) replicates of each treatment. The treatment in this study are: P1 = commercial feed, P2 = ration formulation with the use of 10% fish meal and shrimp waste without flour, P3 = ration formulation with the use of fish meal 5% and 5% of shrimp processing waste meal FAAS, P4 = ration formulations with the use of fish meal 5% and 5% shrimp waste fermented flour EM-4, P5 = ration formulation with the use of fish meal 5% and 5% starch fermented shrimp waste fungi Trichoderma Viridae, P6 = ration formulation without the use of fish meal and 10% shrimp processing waste meal FAAS, P7 = ration formulation without the use of fish meal and 10% flour shrimp waste fermentation EM-4, P8 = ration formulation without the use of fish meal and 10% flour fermented shrimp waste fungus Trichoderma Viridae. The results of the study that treatment of very significant effect on the digestibility of dry matter, organic matter and crude protein.
ABSTRAK
AHMAD KAMAL, 2014: “ Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4, dan Kapang Trichoderma viridae Terhadap Daya Cerna Ayam Broiler”. Dibimbing oleh USMAN BUDI dan R. EDHY MIRWANDHONO.
Penelitian ini bertujuan untuk meihat pengaruh pengolahan limbah udang terhadap daya cerna bahan kering bahan organik, dan protein kasar. penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Ternak Universitas Sumatera Utara,Medan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB. Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam broyler dan limbah udang yang diperoleh dari PT Toba Surimi Industries Kawasan Industri Medan. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 8 (Delapan) perlakuan dengan 3 (Tiga) ulangan setiap perlakuan. Adapun perlakuan dalam penelitian ini adalah: P1= pakan komersil, P2= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 10% dan tanpa tepung limbah udang, P3= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang pengolahan FAAS, P4= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang fermentasi EM-4,P5= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang fermentasi kapang Trichoderma viridae,P6= ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang pengolahan FAAS,P7= ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang fermentasi EM-4, P8= ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang fermentasi kapang Trichoderma viridae. Hasil penelitian bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap daya cerna bahan kering,bahan organik dan protein kasar.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Ahmad Kamal dilahirkan di Panyabungan pada tanggal 8 Desember 1990 dari Ayah
Alm. Tamrin dan Ibu Nelly Wati. Penulis merupakan anak ke-6 dari 8 bersaudara.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah: Tahun 2009 Penulis lulus
dari SMA Ngeri 1 Panyabungan. Tahun 2009 Penulis diterima sebagai Mahasiswa di
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,Medan, melalui
jalur PMP.
Selama kuliah penulis juga aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan sebagai
berikut : Departemen Ukhuwah Islamiah BKM AL-MUKHLISIN FP USU (2010-2012),
Departemen Sosial,Kesenian dan Budaya DPC IMA MADINA USU
(2010-2011),Departemen Sosial,Kesenian dan Budaya HMP TABAGSEL (2011-2012),Stap
Departemen Ukhuwah Islamiah Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan (HIMMIP)
(2010-2011), Ketua Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan (HIMMIP) (2011-2012).
Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS) Bukit Sentang, Kecamatan Babalan,Kabupaten Langkat pada bulan Agustus sampai
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Tepung
Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4, dan Kapang
Trichoderma viridae Terhadap Kecernaan Ayam Broiler”. Tak lupa sholawat dan salam
dihadiahkan ke ruh junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah mengeluarkan
kita dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang
ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua
penulis yang telah mendidik, memberi semangat dan dukungan moril selama ini. Penulis juga
menyampaikan terimakasih kepada Bapak Usman Budi, S.Pt.MS dan
Ir. R. Edhy Mirwandhono, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan berbagai masukan kepada penulis.
Disamping itu penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua staf pengajar dan
pegawai di Program Studi Peternakan, serta semua rekan mahasiswa yang tidak dapat
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
Hipotesis Penelitian ... 4
Kegunaan Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Nutrisi Broiler... ... 12
Ransum Broiler ... 13 Tempat dan Waktu Penelitian ... 22
Bahan dan Alat Penelitian ... 22
Bahan ... 22
Alat ... 22
Metode Penelitian ... 23
Parameter Penelitian... ... 24
Pengambilan Data ... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Kecernaan Bahan Kering ... 26
Pengukuran Kecernaan Bahan Organik ... 29
Pengukuran Kecernaan Protein ... 32
Pertambahan Bobot Badan Mingguan ... 35
Kesimpulan ... 38 Saran ... 38
DAFTAR TABEL
No. Hal. 1. Kebutuhan Nutrisi Broiler Fase Starter dan Finisher ... 13
2. Rataan nilai kecernaan bahan kering ransum yang mengandung tepung limbah udang fermentasi pada ayam broiler. ... 26
3. Rataan nilai kecernaan bahan organik ransum yang mengandung tepung limbah udang fermentasi pada ayam broiler ... 29
4. Rataan nilai kecernaan protein kasar ransum yang mengandung tepung limbah udang fermentasi pada ayam broiler ... 32
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Gambar 1: koleksi ekskreta yang diperoleh dari ileum ... 19
2. Gambar 2: Grafik rataan kecernaan bahan kering . ... 27
3. Gambar 3: Grafik rataan kecernaan bahan organik ... 30
4. Gambar 4: Grafik rataan kecernaan protein kasar ... 33
ABSTRACT
AHMAD KAMAL, 2014: “ The Use of Starch Waste Shrimp With Rice Husk Ask Filtrate Processing, Fermentation EM-4, and Fungus Trichoderma viridae on The Digestibility of Broiler Chickens”. Under Supervised by USMAN BUDI and R. EDHY MIRWANDHONO.
The goal of the reasearch is to find out the effect of shrimp waste treatment to the dry matter of digestibility, organic matter and crude protein. This research conducted at the Laboratory of Animal Biology University of North Sumatra, Medan and Animal Nutrition Laboratory of the Faculty of Animal Husbandry Dairy IPB. The material used in this study is broyler chicken and shrimp waste obtained from PT Toba Surimi Industries. Medan Industrial Estate. The experimental design used in this study was a completely randomized design (CRD), which consists of 8 (eight) treated with 3 (three) replicates of each treatment. The treatment in this study are: P1 = commercial feed, P2 = ration formulation with the use of 10% fish meal and shrimp waste without flour, P3 = ration formulation with the use of fish meal 5% and 5% of shrimp processing waste meal FAAS, P4 = ration formulations with the use of fish meal 5% and 5% shrimp waste fermented flour EM-4, P5 = ration formulation with the use of fish meal 5% and 5% starch fermented shrimp waste fungi Trichoderma Viridae, P6 = ration formulation without the use of fish meal and 10% shrimp processing waste meal FAAS, P7 = ration formulation without the use of fish meal and 10% flour shrimp waste fermentation EM-4, P8 = ration formulation without the use of fish meal and 10% flour fermented shrimp waste fungus Trichoderma Viridae. The results of the study that treatment of very significant effect on the digestibility of dry matter, organic matter and crude protein.
ABSTRAK
AHMAD KAMAL, 2014: “ Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam, Fermentasi EM-4, dan Kapang Trichoderma viridae Terhadap Daya Cerna Ayam Broiler”. Dibimbing oleh USMAN BUDI dan R. EDHY MIRWANDHONO.
Penelitian ini bertujuan untuk meihat pengaruh pengolahan limbah udang terhadap daya cerna bahan kering bahan organik, dan protein kasar. penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Ternak Universitas Sumatera Utara,Medan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB. Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam broyler dan limbah udang yang diperoleh dari PT Toba Surimi Industries Kawasan Industri Medan. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 8 (Delapan) perlakuan dengan 3 (Tiga) ulangan setiap perlakuan. Adapun perlakuan dalam penelitian ini adalah: P1= pakan komersil, P2= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 10% dan tanpa tepung limbah udang, P3= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang pengolahan FAAS, P4= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang fermentasi EM-4,P5= ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang fermentasi kapang Trichoderma viridae,P6= ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang pengolahan FAAS,P7= ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang fermentasi EM-4, P8= ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang fermentasi kapang Trichoderma viridae. Hasil penelitian bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap daya cerna bahan kering,bahan organik dan protein kasar.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat
akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging mempunyai prospek
ke depan yang baik, maka ternak yang ideal untuk dikembangkan adalah ternak unggas
pedaging (Febriana, 2008).
Kebutuhan masyarakat akan protein khususnya sumber protein hewani semakin
meningkat karena bermanfaat sebagai zat pembuangun tubuh, hal ini mengakibatkan industry
unggas khususnya ayam broiler meningkat. Menurut Amrullah (2004), ayam broiler
merupakan ayam pedaging yang mempunyai pertumbuhan cepat dan mempunyai dada lebar
dengan timbangan daging yang banyak, umumnya dipasarkan pada berat hidup antara
1,3-1,6kg pada umur 5-6 minggu. Genetik ayam broiler telah mengalami perkembangan yang
nyata selama kurun waktu 20 tahun terakhir. Pada tahun 1984 rataan berat badan pada umur
lima minggu adalah 1,34kg dan pada umur tujuh minggu adalah 2,16kg. pada tahun 2004,
pada umur lima minggu ayam broiler mencapai rataan berat badan sebesar 1,88kg dan pada
umur tujuh minggu sebesar 3,05kg (Amrullah,2004).
Pakan merupakan hal yang sangat penting dalam dunia ternak ayam pedaging baik
secara semi intensif maupun intensif. Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan
berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan budi daya ternak. Biaya yang
dikeluarkan untuk bahan pakan (ransum) pada peternakan unggas adalah biaya terbesar yaitu
berkisar 60 – 70 persen dari seluruh biaya produksinya. Tinggi atau rendahnya harga bahan
tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan ternak akan zat gizi tertentu bahan baku pakan yang
berkualitas masih didatangkan dari luar negeri.
Tepung ikan merupakan bahan makanan sumber protein hewani yang sangat baik
untuk ayam. Secara umum bahan ini mengandung protein yang tinggi antara 50 – 70%.
Tepung ikan adalah bahan baku pakan yang menyebabkan mahalnya harga ransum, karena
tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sehingga lebih dari setengah, yaitu 200
ribu ton/tahun kebutuhan tepung ikan Indonesia disuplai dari impor. Oleh sebab itu untuk
memenuhi kebutuhan peternak skala kecil dan menengah perlu bahan pakan alternatif
sebagai pengganti tepung ikan ini. Salah satu bahan pakan alternatif adalah limbah udang
(shrimp head waste).
Menurut beberapa penelitian, limbah udang mengandung protein kasar yang cukup
tinggi yaitu sebesar 45 – 55%, namun protein yang tinggi ini tidak dapat dimanfaatkan secara
optimal terhadap ternak unggas karena terdapatnya faktor pembatas yaitu kandungan khitin
yang tinggi pada limbah udang. Kandungan khitin limbah udang ini mencapai 30% dari
bahan kering limbah udang (Purwaningsih, 2000). Khitin ini tidak dapat dicerna oleh unggas.
Khitin merupakan senyawa polisakarida struktural (seperti selulosa) yang mengandung
nitrogen dalam bentuk N-Aceylated-glucosaminpolysacharida. Protein atau nitrogen yang
ada pada limbah udang ini berikatan erat dengan khitin dan kalsium karbonat dalam bentuk
komplek ikatan senyawa protein-khitin-kalsium karbonat. Adanya khitin ini mengakibatkan
adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan limbah udang untuk dijadikan
bahan penyusun ransum ternak unggas jika digunakan secara langsung tanpa dilakukan
pengolahan.
Untuk mengurangi faktor pembatas berupa khitin yang terikat dalam serat kasar
pengolahan adalah dengan cara pengukusan, dimana sebelum dilakukan pengukusan limbah
udang direndam terlebih dahulu dalam air abu sekam 10% selama 48 jam untuk meregangkan
ikatan khitin pada limbah udang tersebut (Meizwarni, 1995). Menurut Resmi (2000)
pengolahan limbah udang dengan cara pengukusan mnghasilkan kandungan protein kasar
tertinggi dan kadar khitin terendah dibandingkan dengan cara direbus dan disangrai.
Pengolahan dengan menggunakan kultur campuran EM-4 dapat meningkatkan
kandungan nilai gizi dan kualitas nutrisi tepung limbah udang. Inokulum EM-4, yaitu bakteri
fermentasi yang berisi kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi
pertumbuhan dan pruduksi ternak, sebagian besar terdiri dari genus Lactobacillus sp, bakteri
fotosintetik, Actinomycetes sp, Sreptomyces sp, jamur pengurai selulosa dan ragi yang
berfungsi menguraikan selulosa atau khitin pada limbah udang ( Indriani, 2003).
Degradasi komplek senyawa protein-khitin-kalsium karbonat dengan sempurna baru
akan terjadi bila limbah udang diperlakukan dengan enzim yang dihasilkan oleh kapang
melalui proses fermentasi. Salah satu caranya adalah menggunakan jasa kapang dari
mikroorganisme penghasil enzim khitinase. Terdapat beberapa jenis kapang yang dapat
mengahasilkan enzim khitinase, salah satunya kapang Trichoderma viridae (Yurnaliza, 2002;
Volk, 2004) yang dapat mendegrasi khitin pada limbah udang. Penggunakan kapang
Trichoderma viridae dalam proses pengolahan bahan pakan memiliki kelebihan antara lain,
protein enzim yang dihasilkan oleh kapang tersebut kualitas yang sangat baik jika
dibandingkan dengan jenis kapang lainnya (Palupi et al., 2008).
Berdasarkan uraian diatas, penulis berkeinginan melakukan penelitian mengenai
penggunaan tepung limbah udang dengan pengolahan filtrat air abu sekam, fermentasi EM-4,
dan kapang Trichoderma viridae terhadap performans ayam broiler.
Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan tepung limbah udang dengan
pengolahan filtrat air abu sekam, fermentasi EM-4, dan kapang Trichoderma viridae dalam
ransum terhadap daya cerna ayam broiler.
Kegunaan penelitian
Sebagai bahan informasi bagi peternak, peneliti dan masyarakat mengenai
penggunaan tepung limbah udang dengan pengolahan filtrat air abu sekam, fermentasi EM-4,
dan kapang Trichoderma viridae di dalam ransum ayam broiler. Kegunaan dari penelitian ini
juga sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk menempuh
ujian sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Hipotesis Penelitian
Penggunaan tepung limbah udang dengan pengolahan filtrat air abu sekam,
fermentasi EM-4, dan kapang Trichoderma viridae dapat meningkatkan kecernaan protein,
TINJAUAN PUSTAKA
Tepung Limbah Udang
Udang sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi atas tiga macam, yaitu (1)
produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh , (2) badan tanpa
kepala dan (3) dagingnya saja. Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam
produk tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala,
ekor dan kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang
disebut limbah udang (Abun 2009).
Kepala udang merupakan limbah dari industri pengolahan udang beku untuk diekspor
atau pengolahan udang segar di pasar. Limbah udang di Indonesia umumnya terdiri atas
bagian kepala, ekor dan kulit udang serta udang yang rusak dan afkir (Mirzah, 1990, 1997).
Limbah ini sangat potensial dijadikan bahan pakan sumber protein hewani karena
ketersediaannya cukup banyak dan mengandung zat-zat gizi yang tinggi, terutama protein
dan mineralnya (Okaye et al., 2005; Khempaka et al., 2006).
Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak berdasarkan pada dua hal, yaitu
jumlah dan mutunya. Seiring dengan maraknya ekspor udang beku kebeberapa negara,
seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat maka limbah yang dihasilkan akan bertambah pula.
Limbah udang tersebut pada umumnya terdiri dari bagian kepala, kulit ekor dan udang
kecil -kecil disamping sedikit daging udang (Parakkasi, 1983 dalam Abun 2009).
Tepung limbah udang (TLU) terbuat dari limbah udang sisa hasil pengolahan udang
setelah diambil bagian dagingnya, sehingga yang tersisa adalah bagian kepala, cangkang,
ekor dan udang kecil utuh dalam jumlah sedikit. Kualitas dan kandungan nutrien limbah
udang sangat tergantung pada proporsi bagian kepala dan cangkang udang (Djunaidi. et al.,
Pemanfaatan limbah udang sebagai salah satu bahan penyusun ransum ternak unggas
dapat dilakukan, disebabkan limbah tersebut mempunyai kandungan zat-zat makanan yang
cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya Kandungan protein limbah udang yang cukup
tinggi merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan. Disamping itu, limbah udang juga
mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu berupa khitin. Purwaningsih (2000), menyatakan
bahwa limbah udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin ini
mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan limbah udang
untuk dijadikan bahan penyusun ransum ternak unggas.
Tingginya kandungan serat kasar yang berasal dari khitin dan mineral terutama
kalsium, yang berikatan erat dalam bentuk ikatan khitin-protein-kalsium karbonat merupakan
kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan protein yang terikat dalam khitin
tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium karbonatnya sampai 15-30%. Adanya ikatan
khitinprotein- kalsium karbonat yang kuat akan menurunkan daya cerna protein limbah
udang ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal dibanding dengan potensi nilai gizinya.
(Foster dan Webber, 1990).
Publikasi Sea Food Intrnational (1989) dalam Kusriani et al., (1998), Melaporkan bahwa
kitin dari limbah kulit udang dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan ayam pedaging.
Sejumlah 5% kitin dalam pakan dapat meningkatkan berat badan ayam pedaging 12% lebih
tinggi dibandingan kondisi tanpa khitin. Selanjutnya Supadmo dan Sutardi (1997), Menyatakan
bahwa suplementasi khitin dalam ransum ayam broiler menunjukkan performan paling baik
dibandingkan dengan perlakuan serat lainnya seperti selulosa dan agar-agar.
Peningkatan kualitas dan pemanfaatan limbah udang secara maksimal dalam ransum
memerlukan pengolahan yang tepat sebelum diberikan pada ternak untuk dapat
karena bahan ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu serat kasar tinggi, dan memiliki
kecernaan protein yang rendah karena mengandung zat anti nutrisi khitin (Hartadi et al.,
1997).
Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam
Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan dekomposisi khitin limbah udang
melalui pengolahan di antaranya secara kimia, yaitu melalui perendaman dengan larutan basa
atau asam (Mirzah, 1990; Wahyuni & Budiastuti, 1991). Namun dengan perendaman dengan
bahan kimia, sisa-sisa bahan kimia yang ada pada bahan juga berpengaruh pada ternak dan
limbah bahan kimia proses pengolahan juga dapat mencemari lingkungan.
Penggunaan bahan kimia sebenarnya dapat dihindari dengan menggunakan larutan
filtrat air abu sekam (alkali) yang tidak bersifat polutan. Hasil penelitian Mirzah (2006),
menunjukkan bahwa perendaman limbah udang dalam larutan filtrat air abu sekam (FAAS)
10% selama 48 jam dan dikukus selama 45 menit dapat menurunkan kitin dari 15,2%
menjadi 9,87% dan meningkatkan kecernaan protein kasar dari 50% menjadi 70,50%,
sedangkan kandungan zat-zat makanan lain tidak banyak berubah, yaitu bahan keringnya
86,40%, protein kasar 38,98%, lemak 4,12%.
Salah satu cara pengolahan limbah udang adalah dengan cara pengukusan, dimana
sebelum dilakukan pengukusan limbah udang direndam terlebih dahulu dalam air abu sekam
10% selama 48 jam untuk meregangkan ikatan khitin pada limbah udang tersebut. Hasil
penelitian Meizwarni (1995), dedak yang diberi praperlakuan hidrolisis air abu sekam 10%
memperlihatkan peningkatan kualitas dedak yang dihasilkan. Sedangkan Resmi (2000)
menyatakan bahwa pengolahan limbah udang dengan cara pengukusan menghasilkan
kandungan protein kasar tertinggi dan kadar khitin terendah dibandingkan dengan cara
Pengolahan limbah udang digunakan filtrat air abu sekam (FAAS) 10%. Filtrat air
abu sekam sebagai larutan untuk perendam dibuat dengan cara sekam padi yang telah
diabukan secara sempurna dilarutkan dalam air bersih. Larutan abu sekam padi 10%
diperoleh dengan melarutkan 100 g abu sekam padi dalam 1 liter air bersih. Larutan ini
dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk memperoleh filtratnya dan siap digunakan.
Setelah direndam selama 48 jam selanjutnya limbah udang dikukus selama 45 menit, dan
dikeringkan dengan cahaya matahari dan akhirnya digiling.
Fermentasi EM-4
Fermentasi sering didefenisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam
amino secara anaerob yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam
proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino dapat difermentasi oleh
beberapa jenis bakteri tertentu (Fardiaz, 1992).
Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu terhadap
bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana.
Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga
dihasilkan protein ekstra seluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi
peningkatan kadar protein (Winarno, 1986).
Menurut hasil penelitian Nwanna ( 2003), untuk pengolahan limbah udang secara
fermentasi dapat menggunakan inokulum Lactobacillus sp sebagai fermentor untuk
pembuatan silase limbah udang, yaitu dalam waktu 14 hari. Selain Lactobacillus sp, juga
dapat digunakan inokulum EM-4, yaitu bakteri fermentasi yang berisi kultur campuran dari
mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan pruduksi ternak, sebagian besar
jamur pengurai selulosa dan ragi yang berfungsi menguraikan selulosa atau khitin pada
limbah udang ( Indriani, 2003).
Pengolahan dengan menggunakan kultur campuran EM-4 dapat meningkatkan
kandungan nilai gizi dan kualitas nutrisi tepung limbah udang dibandingkan tepung limbah
udang hasil preparasi dengan FAAS saja. Penggunaan inokulum dengan kultur campuran
(EM-4) lebih baik dibandingkan inokulum dengan mono kultur (Lactobacillus sp). Produk
tepung limbah udang olahan terbaik diperoleh pada pengolahan dengan menggunakan EM-4
dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dngan lama fermentasi 11 hari.
Kapang Trichoderma viridae
Degradasi komplek senyawa protein-khitin-kalsium karbonat dengan sempurna baru
akan terjadi bila limbah udang diperlakukan dengan enzim yang dihasilkan oleh kapang
melalui proses fermentasi. Salah satu caranya adalah menggunakan jasa kapang dari
mikroorganisme penghasil enzim khitinase. Terdapat beberapa jenis kapang yang dapat
mengahasilkan enzim khitinase, salah satunya kapang Trichoderma viridae (Yurnaliza,
2002; Volk, 2004) yang dapat mendegrasi khitin pada limbah udang.
Penggunakan kapang Trichoderma viridae dalam proses pengolahan bahan pakan
memiliki kelebihan antara lain, protein enzim yang dihasilkan oleh kapang tersebut kualitas
yang sangat baik jika dibandingkan dengan jenis kapang lainnya Enzim khitinase yang
dihasilkan mikroorganisme tersebut merupakan enzim yang mampu merombak polimer
khitin menjadi unit monomer N-asetil glokosamin (Palupi et al, 2008).
Menurut Poesponegoro (1976) bahwa kapang Trichoderma viridae mempunyai
kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa dapat
merangsang dikeluarkannya enzim selulase. Hal tersebut disebabkan karena kapang
untuk dirombak serta mengkonversikannya menjadi peningkatan pada kandungan protein
substrat tepung limbah udang.
Menurut Winarno (1993), bahwa selama fermentasi kapang membutuhkan waktu
untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan miselia dan memanfaatkan bahan organik untuk
proses degradasi. Literatur pendukung lainnya bahwa peningkatan jumlah massa mikroba
akan menyebabkan meningkatkan kandungan produk fermentasi, dimana kandungan protein
merupakan refleksi dari jumlah massa sel (Nurhayani, 2000 ). Dimana dalam proses
fermentasi mikroba akan menghasilkan enzim yang akan mendegradasi senyawa-senyawa
kompleks menjadi lebih sederhana, dan mikroba juga akan mensistesis protein yang
merupakan proses proteinenrichment yaitu pengkayaan protein bahan.
Miselium Trichoderma dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam,
termasuk enzim selulase (pendegradasi selulosa) dan khitinase (pendegradasi khitin). Oleh
karena adanya enzim selulase, Trichoderma dapat tumbuh secara langsung di atas kayu yang
terdiri atas selulosa sebagai polimer dari glukosa. Oleh karena adanya khitinase, Trichoderma
dapat bersifat sebagai penghambat bagi jamur yang tidak menguntungkan (Volk, 2004).
Semakin lama waktu fermentasi semakin menurunkankan kandungan protein kasar,
dimana waktu yang optimal adalah 48 jam kemudian pada hari berikutnya ada yang
mengalami penurunan (fase kematian) dan ada yang mengalami titik kestabilan (fase
stationer), dimana ditinjau dari peningkatan jumlah mikroba dan bakteri pada variabel
perbedaan penambahan sumber nitrogen pada waktu yang optimal fementasi substrat limbah
udang dan dedak padi. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa tahapan-tahapan pertumbuhan
mikroba yang utama ada 4 yaitu: lag phase (fase adaptasi), dimana pada saat ini posisi
pertumbuhan lambat dan cenderung mikroba beradaptasi menyesuaikan lingkungan yang
/fase dimana kematian seimbang dengan pertumbuhan); death phase (fase kematian),
kematian lebih besar dari pada pertumbuhan (Dwidjoseputro, 1985).
Ayam Broiler
Ayam broiler merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya pemenuhan
kebutuhan protein hewani karena ayam broiler memiliki pertumbuhan dan bobot badan yang
sangat cepat, efisiensi pakan cukup tinggi, ukuran badan besar dengan bentuk dada lebar dan
padat dan berisi sehingga sangat efisien diproduksi dalam jangka waktu 5-6 minggu ayam
broiler tersebut dapat mencapai bobot hidup 1,4 – 1,6 kg. Secara umum broiler dapat
memenuhi selera konsumen atau masyarakat, selain dari pada itu broiler lebih dapat
terjangkau masyarakat karena harganya relatif murah (Rasyaf, 2000).
Hardjoswara dan Rukminasih (2000) menyatakan bahwa ayam broiler dapat
digolongkan kedalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara khusus untuk
menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : kerangka tubuh besar,
pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat, lebih efisien dalam mengubah
ransum menjadi daging.
Kebutuhan Nutrisi Broiler
Untuk keperluan hidupnya dan untuk produksi, ayam membutuhkan sejumlah nutrisi
yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan berkualitas, energi yang
mengandun karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Rasyaf, 1997). Kartadisastra (1994)
menyatakan bahwa jumlah ransum yang diberikan sangat bergantung dari jenis ayam yang
dipelihara, sistem pemeliharaan dan tujuan produksi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh
Pada penyusunan formulasi ransum secara praktis, perhitungan kebutuhan nutrien
hanya didasarkan pada kebutuhan energi dan protein, sedangkan kebutuhan nutrien yang lain
hanya disesuaikan. Apabila ternak menunjukkan gejala defisiensi maka perlu ditambahkan
suplemen terutama vitamin dan mineral. Tingkat kandungan energi ransum harus disesuaikan
dengan kandungan proteinnya, karena protein sangat penting untuk pembentukan jaringan
tubuh dan produksi. Apabila energi terpenuhi namun proteinnya kurang maka laju
pertumbuhan dan produksi akan terganggu. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan
keseimbangan antara tingkat energi dan protein, sehingga penggunaan ransum menjadi
efisien (Suprijatna et al., 2005).
Perbedaan ransum yang diberikan tergantung pada kebutuhan broiler pada fase
pertumbuhannya. Kebutuhan zat makanan broiler pada fase yang berbeda dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Broiler Fase Starter dan Finisher.
Zat Nutrisi Starter Finisher
Protein kasar (%) 22 20
Ransum merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk keberhasilan dalam
usaha pemeliharaan ayam. Ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk memenuhi
kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti zat
makanan itu tidak berkelebihan dan tidak kurang. Ransum yang diberikan haruslah
Fungsi makanan yang diberikan ke ayam pada prinsipnya memenuhi kebutuhan
pokok untuk hidup, membentuk sel-sel dan jaringan tubuh, serta menggantikan
bagian-bagian yang merupakan zat-zat yang diperlukan ayam adalah karbohidrat, lemak dan protein
akan membentuk energi sebagai hasil pembakarannya (Sudaryani dan Santoso, 1995).
Air sangat penting untuk mengatur temperatur tubuh. Bila ayam hanya diberi air dan
tidak diberi makan dapat hidup lebih lama. Kekurangan air hanya untuk satu hari saja dapat
menyebabkan perubahan fisiologis dan sangat menurunkan kecepatan pertumbuhan broiler
(Wahju, 1997).
Penampilan Produksi
Konsumsi ransum
Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi yang ada
dalam ransum tersebut. Secara biologis ayam mengkonsumsi makanan untuk proses
hidupnya. Kebutuhan energi untuk fungsi-fungsi tubuh dan memperlancar reaksi-reaksi asam
amino dari tubuh. Hal ini menunjukkan ternak ayam dalam mengkonsumsi makanannya
digunakan untuk kebutuhan ternak tersebut (Wahju, 1985).
Pertumbuhan broiler yang cepat ada kalanya didukung oleh konsumsi ransum yang
lebih banyak pula. Masalah konsumsi ransum memang harus disadari bahwa broiler ini
senang makan. Bila ransum yang diberikan tidak terbatas atau ad libitum, ayam akan makan
sepuasnya hingga kenyang (Rasyaf, 1997).
Tingkat protein dan energi metabolisme yang berbeda berpengaruh terhadap
konsumsi pakan, selisih kandungan energi metabolisme pada setiap pakan perlakuan tidak
jauh berbeda, sehingga ayam pada tiap perlakuan cenderung mengkonsumsi pakan yang sama
Pertumbuhan dan pertambahan bobot badan broiler
Laju pertumbuhan seekor ternak dikendalikan oleh banyaknya konsumsi ransum dan
energi yang diperoleh. Energi merupakan perintis pada produksi ternak dan hal tersebut
terjadi secara alami. Variasi energi yang disuplai pada ternak akan digambarkan pada laju
pertumbuhannya (Donald et al., 1995).
Anggorodi (1990), pertumbuhan pada hewan merupakan suatu fenomena universal
yang bermula dari suatu sel telur yang dibuahi dan berlanjut sampai hewan mencapai
dewasanya. Pertambahan bobot badan dan bobot dari jaringan seperti berat daging, tulang,
jantung, otak dan jaringan lainnya, diartikan sebagai pertumbuhan.
Pertambahan berat badan kerap kali digunakan sebagai pegangan berproduksi bagi
peternak dan para ahli. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ada bibit ayam yang memang
pertambahan berat badanya hebat, tetapi hebat pula makanannya. Padahal biaya untuk
ransum adalah yang terbesar bagi suatu peternakan ayam. Oleh karena itu, pertambahan berat
badan haruslah pula dikaitkan dengan ransumnya (Rasyaf, 1993).
Pertumbuhan biasanya perlahan-lahan kemudian berlangsung cepat dan akhirnya
perlahan-lahan lagi atau sama sekali terhenti. Pola seperti ini menghasilkan kurva sigmoid
(S). Tahap cepat pertumbuhan terjadi pada saat kedewasaan tubuh hampir tercapai
(Anggorodi, 1990).
Pertumbuhan broiler biasanya dipegaruhi oleh ransum, bangsa dan lingkungan.
Pertumbuhan berlangsung pada waktu tertentu dan berjalan cepat sampai ternak mencapai
tingkat dewasa kelamin, setelah ini pertumbuhan berangsur-angsur turun dan sampai periode
tertentu akan terhenti. Pertumbuhan ini adalah juga pertambahan dalam bentuk dan bobot
jaringan-jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan lainnya
Kartadisastra (1994), menyatakan bahwa bobot badan ayam (tergantung strainnya)
akan menentukan jumlah konsumsi ransumnya. Semakin besar bobot badan ayam, semakin
banyak jumlah konsumsi ransumnya. Disamping strain, jenis dan tipe ayam juga
menentukan.
Siregar dan Sabarani (1990) menyatakan bahwa serat kasar yang berlebihan dapat
mengurangi efisiensi penggunaan nutrien lain, sebaliknya apabila serat kasar ransum terlalu
rendah, mengakibatkan ransum tidak dapat dicerna dengan baik. Wahju (1992) menyatakan
bahwa serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa nutrien lain yang keluar bersama
ekskreta
.
Konversi Ransum
Rasyaf (2003) menjelaskan bahwa, konversi pakan adalah jumlah ransum yang
dikonsumsi seekor ayam dalam waktu tertentu untuk membentuk daging atau berat badan.
Faktor yang mempengaruhi tingkat konversi pakan antara lain strain, kualitas pakan, keadaan
kandang dan jenis kelamin.
Semakin banyak ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi
maka makin buruklah konversi ransum. Baik buruknya konversi ransum ditentukan oleh
berbagai faktor diantaranya mutu ransum, temperatur, lingkungan dan tujuan
pemeliharaannya serta genetik (Tillman et al. 1998).
Semakin baik mutu ransum, semakin kecil pula konversi ransumnya. Baik tidaknya
mutu ransum ditentukan oleh seimbang tidaknya zat-zat gizi dalam ransum itu diperlukan
oleh tubuh ayam. Ransum yang kekurangan salah satu unsur gizi akan mengakibatkan ayam
akan memakan ransumnya secara berlebihan untuk mencukupi kekurangan zat yang
Saluran Pencernaan Ayam
Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat - zat makanan dalam saluran
pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi,
1985). Ayam merupakan ternak non ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai
lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian - bagian penting dari alat
pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan
yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang
disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman et al., 1991).
Kecernaan
Kecernaan bahan makanan didefenisikan sebagai bagian yang tidak dapat
diekskresikan dalam feses dimana bagian-bagian lainnya diasumsikan diserap oleh tubuh
ternak (McDonald et al., 1995). Menurut Tillman et al. (1998), kecernaan atau daya cerna
(digestability) adalah banyaknya zat makanan dari pakan yang tidak diekskresikan dalam
feses. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, faktor hewan
dan jumlah pakan yang diberikan. Kecernaan suatu zat makanan merupakan selisih antara
zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang masih tersisa di feses.
Pengukuran kecernaan dapat dijadikan ukuran tinggi rendahnya nilai gizi suatu bahan pakan.
Menurut Widodo (2002), kecernaan masing-masing bahan pakan berbeda-beda. Bahan pakan
yang berasal dari produk hewani secara umum lebih mudah dicerna dari pada produk nabati.
Kecernaan ransum dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai suatu bahan
ransum (Edey 1983 disitasi oleh abun, 2007). Kecernaan ransum dipengaruhi oleh jenis
ternak, jenis bahan ransum, jumlah ransum dan kandungan nutrient (Lubis, 1992). Faktor lain
yang mempengaruhi kecernaan adalah suhu, laju perjalanan ransum melalui pencernaan,
Pengukuran kcernaan dapat dilakukkan secara in vitro dan in vivo. Pengukuran
kecernaan secara in vitro dilakukan dengan membuat suasana seperti yang terjadi dalam
saluran pencernaan ternak di laboratorium (Williamson dan Payne, 1993). Pengukuran secara
in vivo terdiri dari 2 periode yaitu periode pendahuluan dan periode total koleksi. Periode
pendahuluan digunakan untuk membiasakan ternak dengan ransum waktu sebelumnya.
Periode total koleksi adalah periode pengumpulan ekskreta sampai akhir percobaan yang
kemudian dikeringkan dan dianaisis (Tillman et al., 1998). Jalur pengeluaran feses dan urin
pada unggas menjadi satu sehingga koleksi feses dan urin dilakukan secara bersamaan
sebagai koleksi ekskreta. Pengukuran kecernaan pada unggas dapat ditambahkan suatu
indikator ke dalam ransum. Metode indikator merupakan pengukuran kecernaan dengan
menggunakan senyawa yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan unggas seperti
krom oksida, methyline blue, karmine dan barium sulfat yang ditambah ke dalam ransum
(Wahju, 2004).
Untuk mengukur kecernaan pada unggas dibutuhkan tekhnik khusus karena feses dan
urine dikeluarkan secara bersamaan sehingga menyebabkan bercampurnya N-Urin dan feses
(Maynard dan Loosli, 1979). Untuk mendapatkan ekskreta didasarkan pada metode Sklan
dan Hurwitz (1980) Yaitu menggunakan teknik mematikan ayam percobaan. Untuk
mengoleksi ekskreta yang diperoleh kurang lebih 10 cm dari ileo-caecal dengan tujuan untuk
Gambar 1: koleksi ekskreta yg diperoleh dari ileum.
Protein merupakan zat organik yang tersusun dari unsur karbon, nitrogen, oksigen dan
hydrogen. Fungsi protein untuk hidup pokok, pertumbuhan jaringan baru, memperbaiki
jaringan rusak, metabolisme untuk energi dan produksi (Anggorodi, 1994).
Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein didalam ransum. Ransum
yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan
sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan
pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1991).
Bahan kering adalah suatu bahan pakan yang dipanaskan dalam oven pada
temperature 105◦C dengan pemanasan yang terus menerus sampai berat bahan pakan tersebut
konstan (Tillman,et al., 1998). Kualitas dan kuantitas bahan kering tersebut harus diketahui
untuk meningkatkan kecernaan bahan pakan tersebut. Pada kondisi normal, konsumsi bahan
kering dijadikan ukuran konsumsi ternak. Konsumsi bahan kering tergantung pada
metabolisme pakan dan kandungan serat kasar pakan (kearls, 1982). Kecernaan bahan kering
diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserat tubuh untuk dilakukan melalui
analisis dari jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah
bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan bahan kering
(Ranjhan, 1980).
Menurut Tillman et al., (1998) bahan kering terdiri dari bahan organik yaitu
karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta bahan an organik yaitu mineral. Kandungan
bahan kering dalam suatu bahan pakan mempengaruhi nilai gizi. Semakin tinggi kandungan
bahan keringnya, maka nilai gizi bahan pakan tersebut semakin baik.
Kecenderungan meningkatnya kecernaan bahan kering disebabkan suplementasi
EM-4 akan meningkatkan jumlah dan aktifitas mikroba rumen sehingga kerja rumen akan lebih
efektif untuk mendegradasi secara fermentatif komponen serat kasar yang masuk sehingga
meningkatkan kecernaan bahan kering (Putro,2010).
Kecernaan bahan organik merupakan presentase dari selisih konsumsi bahan organik
ransum dan bahan organik feses per konsumsi bahan organik ransum. Semakin tinggi
konsumsi bahan kering ransum akan diikuti peningkatan bahan organiknya, begitu pula
sebaliknya (Chotimah, 2002).
Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut
(Sutardi, 1980). Kecernaan ransum mempengaruhi konsumsi ransum, dimana kecernaan
ransum yang rendah dapat meningkatkan konsumsi ransum. Hal ini di karenakan laju digesta
dalam saluran pencernaan akan semakin cepat dan ransum akan cepat keluar dari saluran
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Program Studi
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan
selama 2 bulan yaitu pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Januari 2014.
Bahan dan Alat Penelitiaan
Bahan
Day old chick (DOC) yang digunakan sebagai objek penelitian sebanyak 24 ekor
berumur 5 minggu. Bahan penyusun ransum terdiri atas tepung jagung, dedak padi, bungkil
kedelai, tepung ikan, minyak nabati, kapur dan top mix yang di peroleh dari Poultry Shop
Dunia Ternak, Medan. Limbah Udang segar berupa kulit,ekor dan kepala diperoleh dari
PT.Toba Surimi Industries, Kawasan Industri Medan. Air minum untuk memenuhi kebutuhan
air dalam tubuh diberikan secara ad libitum. Rodalon sebagai desinfektan kandang dan
peralatan baik tempat pakan maupun tempat minum. Vaksin ND 5 Ma Clone®, IBD® dan
ND Lasota® untuk memberikan kekebalan tubuh broiler. Vitamin seperti vitachick® sebagai
suplemen tambahan.
Alat
Alat yang digunakan adalah kandang baterai berukuran 35cm x 25cm x 25cm, jumlah
kandang sebanyak 24 unit dan tiap unit di isi 1 ekor DOC, peralatan kandang terdiri dari 24
unit tempat minum dan 24 unit tempat pakan, timbangan salter dengan kapasitas 5kg dengan
kesetaraan 0,001g untuk menimbang pertambahan bobot badan ayam, 6 buah lampu
pijaryang berfungsi sebagai penerang, Thermometer sebagai alat untuk mencatat suhu
ember, alat tulis, buku data dan kalkulator. Terpal dengan ukuran 3 x 6 sebanyak 4 buah
sebagai penutup dinding ruangan.
Metode Penelitian
Adapun rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
yang terdiri dari 8 perlakuan dan 3 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 1 ekor broiler.
Perlakuan pada penelitian yaitu :
P1 = Pakan komersil
P2 = Ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 10% dan tanpa tepung limbah
udang
P3 = Ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah
udang pengolahan FAAS
P4 = Ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang
fermentasi EM-4
P5 = Ransum formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung
limbah udang fermentasi kapang Trichoderma viridae
P6 = Ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang
pengolahan FAAS
P7 = Ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang
fermentasi EM-4
P8 = Ransum formulasi tanpa penggunaan tepung ikan dan 10% tepung limbah udang
fermentasi kapang Trichoderma viridae
Ulangan yang didapat berasal dari rumus : t (n – 1) ≥ 15
n ≥ 3
Model matematik percobaan yang digunakan adalah :
Yij = µ + σi + ⅀ij
Dimana :
i = 1,2,3,.... i = perlakuan j = 1,2,3, j = ulangan
Yij = nilai pengamatan pada perlakuan k-i, ulangan ke-j µ = nilai tengah umum
σi = pengaruh perlakuan ke-i
⅀ij = efek j galat pada perlakuan k-i, ulangan ke-j
Parameter Penelitian
Parameter yang diamati meliputi kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein
kasar. Perhitungan kcernaan dilakukan dengan menggunakan persamaan dari Schneider dan
Flatt (1975) dan Rahjan (1979) dengan Rumus sebagai berikut :
Koefisien cerna = 100% -
Pengambilan Data
Ayam broiler umur 5 minggu dipuasakan selama 14 jam dengan maksud untuk
menghilangkan ransum sebelumnya dari alat pencernaan. Air diberikan secara ad libitum.
Koleksi feses didasarkan metode Sklan dan Hurwitz (1980). Dalam percobaan ini
menggunakan indikator (lignin) dari hasil analisis kandungan lignin dalam ransum. Setelah
ayam dipuasakan, diberi ransum perlakuan masing-masing ayam sebanyak 100 gram. Setelah
14 jam, ayam disembelih dan usus dikeluarkan untuk mndapatkan sampel feses. Sampel feses
dikeringkan, digiling dan kemudian dianalisis untuk mengetahui kandungan bahan kering,
bahan organik dan protein kasar, sedangkan indikator internal (lignin) dianalisis dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Kecernaan Bahan Kering
Kecernaan bahan kering menunjukkan kecernaan dari seluruh zat–zat makanan yang
dapat dicerna oleh tubuh. Hasil penelitian data rataan kecernaan bahan kering ransum yang
mengandung tepung limbah udang fermentasi pada ayam broiler dapat dilihat pada Tabel di
bawah ini.
Tabel 2. Rataan nilai kecernaan bahan kering ransum yang mengandung tepung limbah udang fermentasi pada ayam broiler
Perlakuan Ulkangan Total Rataan
1 2 3
P1 80,24 92,71 89,72 262,66 87,55
P2 67,98 81,62 78,74 228,35 76,12
P3 86,01 85,93 84,72 256,66 85,55
P4 86,59 90,08 82,11 258,79 86,26
P5 82,63 90,56 89,62 262,81 87,60
P6 90,63 86,19 59,43 236,25 78,75
P7 76,80 83,73 81,79 242,32 80,77
P8 68,67 79,87 77,20 225,75 75,25
Total 639,56 690,70 643,33 1973,59
Rataan 79,94 86,34 80,42 82,23
Tabel 2 menunjukkan bahwa ransum dengan perlakuan menghasilkan rataan
kecernaan bahan kering yang tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum formulasi
dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang fermentasi kapang
Trichoderma viridae (P5) (87,60) kemudian diikuti P1 (87,55),P4 (86,26),P3 (85,55), P7
Gambar 2: Grafik rataan kecernaan bahan kering
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan tepung limbah udang
produk fermentasi dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak nyata (P<0.01) terhadap
kecernaan bahan kering ransum.
Nilai kecernaan bahan kering tertinggi diperoleh pada perlakuan fermentasi kapang
Trichoderma viridae (P5) yaitu sebesar 87,60%, sehingga membuktikan bahwa proses
fermentasi dapat meningkatkan kualitas nutrisi ransum dan meningkatkan daya cerna ransum.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Palupi et al (2008), yang menyatakan kecenderungan
meningkatnya kecernaan bahan kering disebabkan penggunaan kapang Trichoderma viridae
dalam pengolahan bahan pakan memiliki kelebihan antara lain, protein enzim yang
dihasilkan oleh kapang tersebut kualitas yang sangat baik jika dibandingkan dengan jenis
kapang lainnya.Enzim khitinase yang dihasilkan mikroorganisme tersebut merupakan enzim
yang mampu merombak polimer khitis menjadi unit monomer N-asetil glokosamin.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan tepung limbah udang produk
fermentasi dalam ransum sampai dengan tingkat 10% memberikan pengaruh yang sama
baiknya terhadap nilai kecernaan bahan kering dengan ransum yang tidak diberikan tepung
limbah udang produk fermentasi (P1) dan (P2). Artinya kandungan zat gizi yang terdapat
dalam tepung limbah udang produk fermentasi memenuhi standar zat-zat gizi sesuai dengan
yang ada pada tepung ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Abun (2007) yang menyatakan
kecernaan bahan kering ransum yang tidak memperlihatkan perbedaan ini dimungkinkan
karena limbah udang yang telah diproses secara biologis melalui fermentasi mampu
meningkatkan kandungan zat-zat makanan dan daya cerna makanan serta menurunkan
kandungan kitin pada limbah udang. Kemudian didukung dengan pernyataan Poesponegoro
(1976) yang menyatakan bahwa Trichoderma viridae mempunyai kemampuan
meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa dapat merangsang
dikeluarkannya enzim selulase.
Kapang memiliki kemampuan memproduksi selulase yang mampu menghidrolisis
selulase kristal,yang merupakan komponen utama dalam selulase alami. Selulose merupakan
kelompok enzim hidrolitik yang mampu menghidrolisis selulose menjadi komponen gula
yang lebih kecil olikasarida dan glukosa. Enzim selulolitik berperan penting dalam proses
biodegradasi alami. Selulose telah banyak dimanfaatkan untuk ekstraksi
komponen-komponen bermanfaat dari sel tanaman dan peningkatan nilai makanan hewan dengan
meningkatkan kecernaannya.
Pengukuran kecernaan Bahan Organik
Kecernaan bahan organik suatu pakan menunjukkan kulitas dari pakan yang dicerna
oleh tubuh. Dari hasil penelitian data rataan kecernaan bahan organik ransum yang
mengandung tepung limbah udang fermentasi pada ayam broiler dapat dilihat pada Tabel di
Tabel 3. Rataan nilai kecernaan bahan organik ransum yang mengandung tepung limbah udang permentasi pada ayam broiler.
Perlakuan Ulkangan Total Rataan
1 2 3
Tabel 3. menunjukkan bahwa ransum dengan perlakuan menghasilkan rataan
kecernaan bahan kering yang tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum formulasi
dengan penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang fermentasi kapang
Trichoderma viridae (P5) (88,68) kemudian diikuti P4 (87,31),P1 (86,36),P3 (86,13), P7
(82,42),P6 (80,22),P8 (77,48), P2 (76,09).
Gambar 3: Grafik kecernaan bahan organik ransum.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan tepung limbah udang
produk fermentasi dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak nyata (P<0.01) terhadap
Nilai kecernaan bahan organik terendah jika dilihat dari tabel diperoleh oleh
Perlakuan P2 yaitu 76,09 dimana P2 merupakan ransum penggunaan tepung ikan. Dilihat dari
proses penelitian rendahnya nilai kcernaan bahan organik ini disebabkan oleh tidak adanya
campuran pakan perlakuan dari produk fermentasi,dimana diketahui fermentasi mampu
meningkatkan komposisi nutrisi pada ransum, hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi
(1990), yang menyatakan bahwa mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju perjalanan
melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum, dan pengaruh
terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya.
Diketahui tepung ikan merupakan bahan makanan sumber protein hewani yang sangat
baik untuk ayam. Secara umum bahan ini mengandung protein yang tinggi antara 50-70%.
Menurut beberapa peneliti limbah mengandung protin kasar yang cukup tinggi yaitu sebesar
45-55%,namun protein yang tinggi ini tidak dapat dimanfaatkan secara optimal terhadap
ternak unggas karena terdapatnya faktor pembatas yaitu khitin. Foster dan Webber (1960),
menyatakan kandungan protein yang terikat dalam khitin tersebut bisa mecapai 50-95% dan
kalsium karbonatnya 15-30%. Untuk peningkatan kualitas dan pemanfaatan limbah udang
secara maksimal dalam ransum memerlukan pengolahan yang tepat seperti fermentasi
sebelum diberikannya pada ternak untuk dapat meningkatkan kecernaan dan menurunkan
kandugan khitinnya.
Kecernaan bahan organik merupakan presentase dari selisih konsumsi bahan organik
ransum dan bahan organik feses per konsumsi bahan organik ransum. Semakin tinggi
kecernaan bahan kering ransum akan diikuti peningkatan bahan organiknya, begitu pula
sebaliknya (Chotimah,2002).
Diketahui kecernaan bahan organik tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum
kapang Trichoderma viridae P5 (88,68). Hal ini sesuai dengan pernyataan Poesponegoro
(1976) yang menyatakan bahwa Trichoderma viridae mempunyai kemampuan
meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa dapat merangsang
dikeluarkannya enzim selulase.
Kapang memiliki kemampuan memproduksi selulase yang mampu menghidrolisis
selulase kristal,yang merupakan komponen utama dalam selulase alami. Selulose merupakan
kelompok enzim hidrolitik yang mampu menghidrolisis selulose menjadi komponen gula
yang lebih kecil polikasarida dan glukosa. Enzim selulolitik berperan penting dalam proses
biodegradasi alami. Selulose telah banyak dimanfaatkan untuk ekstraksi
komponen-komponen bermanfaat dari sel tanaman dan peningkatan nilai makanan hewan dengan
meningkatkan kecernaannya.
Pengukuran Kecernaan Protein
Rataan Kecernaan protein ayam broler yang mengandung tepung limba udang produk
fermentasi dapat dilihat pada Tabel brikut.
Tabel 4. Rataan Nilai Kecernaan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Udang Produk Frmentasi pada Ayam Broiler
Perlakuan Ulkangan Total Rataan
Tabel 4. menunjukkan bahwa ransum dengan perlakuan menghasilkan rataan
kecernaan protein kasar yang tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum pakan kontrol
(P1) (82,03) kemudian diikuti P4 (79,37),P5 (77,66),P3 (75,88),P6 (69,22),P7 (64,95), P8
(58,48), P2 (45,69).
Gambar 4: Grafik kecernaan protein kasar ransum.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan tepung limbah udang
produk fermentasi dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak nyata (P<0.01) terhadap
kecernaan protein kasar ransum.
Nilai kecernaan protein kasar terendah jika dilihat dari tabel diperoleh pada perlakuan
P2 yaitu 45,69 dimana P2 merupakan ransum yang mengandung tepung ikan tanpa adanya
campuran ransum tepung limbah udang yang diberi perlakuan. Sedangkan perlakuan tertinggi
yang mengandung tepung ikan dengan campuran tepung limbah udang fermentasi di peroleh
oleh perlakuan P4 yaitu 79,37%, dimana P4 merupakan ransum formulasi dengan
penggunaan tepung ikan 5% dan 5% tepung limbah udang frmentasi EM-4. Ini membuktikan
bahwa fermentasi menggunakan EM-4 mampu meningkatkan kadar protein ransum sehingga
mempengaruhi daya cerna, hal ini sesuai dengan pernyataan Indriani (2003) yang
menyatakan bahwa pengolahan menggunakan campuran Em-4 dapat meningkatkan
kandungan nilai gizi dan kualitas nutrisi tepung limbah udang, EM-4 mengandung bakteri
fermentasi yang berisi kultur campuran mikroorganisme yang menguntungkan bagi
pertumbuhan dan produksi ternak,sebagian besar terdiri dari genus Lactobacillus sp,bakteri
fotosintetik, Actinomycetes sp, Sreptomycetes sp, jamur pengurai selulosa dan ragi yang
berfungsi menguraikan selulosa dan khitin pada limbah udang.
Pada penelitian ini diproleh nilai kecernaan protin ransum yang tidak mmberikan
perbedaan yang cukup jauh antara ransum yang tidak diberi perlakuan dengan yang diberi
ransum tepung limbah udang fermentasi. Ini membuktikan bahwa penggunaan tepung limbah
udang produk fermentasi dalam ransum sampai tingkat 10% memberikan pengaruh yang
sama baiknya dengan ransum tanpa mengandung tepung limbah udang fermentasi terhadap
nilai kecernaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Abun (2007) yang menyatakan hal ini
dapat disebabkan oleh kandungan protein ransum perlakuan yang tidak berbeda jauh dan
terdegradasinya protin kitin oleh adanya aktivitas bakteri dan kapang pada proses fermentasi
menjadi komponen-komponen yang mudah dicerna yakni peptida dan asam-asam amino.
Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu terhadap
bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemi selulosa menjadi gula sederhana.
Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang selain dihasilkan enzim juga
dihasilkan protein estrak seluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi
peningkatan kadar protein.
Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein didalam ransum. Ransum
yang kandungan proteinnya rendah umumnya mempunyai kecernaan yang rndah pula dan
sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan
Pertabahan bobot badan mingguan
Rataan pertambahan bobot badan ayam broiler yang mengandung tepung limbah
udang produk fermentasi dapat dilihat pada Tabel brikut.
Tabel 5: Rataan pertambahan bobot badan mingguan pada ayam broiler.
Perlakuan Ulkangan Total Rataan
1 2 3
P1 369,00 358,04 372,16 1099,20 366,40 P2 301,20 296,20 286,52 883,92 294,64 P3 295,44 291,04 285,32 871,80 290,60 P4 304,00 288,56 281,22 873,78 291,26 P5 294,36 288,04 303,20 885,60 295,20 P6 275,52 282,08 259,24 816,84 272,28 P7 267,68 286,88 283,56 838,12 279,37 P8 280,08 280,60 286,24 846,92 282,31 Total 2387,28 2371,44 2357,46 7116,18
Rataan 298,41 296,43 294,68 296,51
Tabel 5 menunjukkan bahwa ransum dengan perlakuan menghasilkan rataan
pertambahan bobot badan yang tertinggi dicapai oleh ayam yang diberi ransum komersil (P1)
yaitu sebesar 366,40g, kemudian diikuti formulasi dengan penggunaan tepung ikan 5% dan
5% tepung limbah udang fermentasi kapang Trichoderma viridae (P5) (295,20g) kemudian
diikuti P2 (294,64g), P4 (291,26g), P3 (290,60), P8 (282,31g), P7 (279,37g),
Gambar 5: Grafik pertambahan bobot badan mingguan.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan tepung limbah udang
produk fermentasi dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak nyata (P<0.01) terhadap
pertambahan bobot badan.
Dilihat dari hasil penelitian pertambahan bobot badan tertinggi diperoleh pada
perlakuan yang mengandung 5% tepung limbah udang produk fermentasi dan 5 % tepung
ikan yaitu pada perlakuan P3 (290,6g), P4 (291,26g) dan P5 (295,2g). Sedangkan
pertambahan bobot badan terendah diperoleh pada perlakuan yang mengandung 10% tepung
limbah udang produk fermentasi tanpa campuran tepung ikan yaitu pada perlakuan P6
(272,28g), P7 (279,37g), P8 (282,31g). Berdasarkan data pada tabel juga terlihat bahwa
semakin tinggi penggunaan tepung limbah olahan sebagai pengganti protein tepung ikan
dalam ransum menyebabkan makin menurun pertambahan bobot badan ayam dan secara
statistik perlakuan memberi pengaruh berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan
ayam broiler. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mirzah (2007) yang menyatakan penggunaan
tepung limbah udang olahan sampai seratus persen dalam ransum tidak mempengaruhi
konsumsi ransum konversi ransum dan persentase karkas, namun menurunkan pertambahan
bobot badan. Tingkat penggantian protein tepung ikan dengan tepung limbah olahan dalam
ransum ayam broiler dapat digunakan sampai 75% dan memberikan keuntungan yang cukup
layak. Adanya perbedaan pertambahan bobot badan antara perlakuan yang mengandung
tepung limbah udang produk fermentasi 5% ditambah 5 % tepung ikan dengan perlakuan
yang mengandung tepung limbah udang produk fermentasi 10% tanpa tepung ikan juga
disebabkan oleh faktor lingkungan dan perbandingan komposisi ransum, dimana limbah
udang mengandung serat kasar yang cukup tinggi, semakin tinggi serat kasar yang
terkandung dalam ransum maka semakin sulit ternak untuk mengkonsumsi ransum tersebut.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1990) yang menyatakan bahwa mempengaruhi
daya cerna adalah suhu,laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan,
komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan. Dilanjutkan
dengan pernyataan Purwaningsih (2000), menyatakan limbah udang mengandung serat kasar
yang tinggi yaitu berupa kithin. Adanya kithin ini mengakibatkan adanya keterbatasan atau
faktor pembatas dalam penggunaan limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun ransum
ternak unggas.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa takaran terbaik untuk
meningkatkan nilai kecernaan bahan kering, kecernan bahan organik dan protein adalah
penggunaan tepung ikan 5% ditambah dengan 5 % tepung limbah udang produk fermentasi,
sehingga dapat meningkatkan kualitas pakan dan efisiensi penggunaan pakan.
Saran
Tepung limbah udang produk fermentasi dapat diberikan sampai tingkat 5% dengan
campuran tepung ikan 5% dalam penyusunan ransum ayam broiler sebagai bahan pakan
DAFTAR PUSTAKA
Abun,2007.Pengukuran Nilai Kecernaan Ransum Yang Mengandung Limbah Udang Windu Produk Fermentasi Pada Ayam Broiler. Fakultas Peternakan Padjadjaran,Jatinangor.
Abun. 2009. Pengolahan Limbah Udang Windu Secara Kimiawi Dengan NaOH dan H2SO4 Terhadap Protein dan Mineral Terlarut. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Ali, M.A. and Leeson, S. 1995. The nutritivi value of some indigenous asian poultry feed ingredients. J. Anim. Feed Sci. Technology 55:227-237.
Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan ke -2. Lembaga SatuGunungbudi, Bogor.
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anggorodi, R. 1995. Nutrisi Aneka Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Chotimah D. C. 2002. Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Ransum Yang Mengandung Ampas The Pada Kelinci Persilangan Lepas Sapih. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Djunaidi, I. H. T. Yuwanta, Supadmo dan M. Nurcahyanto. 2009. Pengaruh Limbah Udang Hasil Fermentasi Dengan Aspergillus niger Terhadap Performans dan Bobot Organ Pencernaan Broiler. Malang.
Donald, Mc, P., Edward, A. R., Green Halg, J. F. O and Morgan, A. C. 1995. Animal Nutrition Fifth Editing, Ohn Wiley & Sons Inc, New York. Feed Procedings of The MASP Ann. Conf. Kuala Penggaru PP. 56-61.
Dwidjoseputro D. 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jambatan.
Fardiaz, S. 1992. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Grafindo Persada, Kerjasama dengan PAU antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB Bogor.
Febriana, E. 2008. Gambaran Histopologi Bursa Febricius dan Timus pada Ayam Broiler yang Terinfeksi Marek dan pengaruh Pemberian Bawang Putih, Kunyit dan Zink.
Foster, A. B and J. M. Webber. 1990. Advances In Carbohydrate Chemistry. Vol. 15. Academic Prss. Inc., New York. London.
Hardjosworo., dan Rukminasih. 2000. Peningkatan Produksi Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hartadi, H., S. Reksohadiprojo, dan A. D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Indriani, Y. H. 2003. Membuat Kompos Secara Kilat. Cet I. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kartadisastra, H, R., 1994. Pengolahan Pakan Ayam. Kanisius. Yogyakarta.
Khempaka, S., K. Koh and Y. Karasawa. 2006. Effect of Shrimp Meal On Growth Performance and Digestibility In Growing Broiler. J. Poultry Sci 43 : 250-254.
Kusriani, A. M. Hariati dan H. Kartikaningsih. 1998. Pemanfaatan chitin dari limbah pengolahan udang sebagai pemacu pertumbuhan ikan lele lokal, Clarias batrachus. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya, Malang.
Lubis, D. A. 1980. Ilmu Makanan Ternak. Pembangunan Jakara, Jakarta.
Mc Donald, P., R. A. Edwards., J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. An Imprint of Pearson Educaton Prontice Hall. John Wiley and Sons Inc, New York.
Meizwarni. 1995. Praperlakuan Dedak Untuk Meningkatkan Mutu Serta Pengaruhnya Terhadap Penampilan Produksi Ayam Broiler. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.
Mirzah. 1990. Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Udang Yang Diolah dan Tanpa Diolah Dalam Ransum Terhadap Performans Ayam Pedaging. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
Mirzah. 1997. Pengaruh Pengolahan Tepung Limbah Udang Dengan Tekanan Uap Panas Terhadap Kualitas dan Pemanfaatannya Dalam Ransum Ayam Broiler. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung.
Mirzah. 2006. Efek Pemanasan Limbah Udang Yang Direndam Dalam Air Abu Sekam Terhadap Kandungan Nutrisi dan Energi Metabolisme Pakan. Jurnal Peternakan 3 ; 47 – 54.
Mirzah. 2007. Penggunaan Tepung Limbah Udang Yang Diolah dengan Filtrat Air Abu Sekam dalam Ransum Ayam Broiler. Jurnal Peternakan 3: 189 - 197.