PEMERINTAH KOTA PEKANBARU
A. Hak Pengelolaan
1. Pengertian Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan adalah suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada
istilahnya dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan khusus hak ini demikian
pula luasnya terdapat diluar ketentuan dari UUPA51.
Hak Pengelolaan ini lahir dan berkembang sesuai dengan terjadinya
perkembangan suatu daerah. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa
banyak perkantoran yang terdapat di kota-kota besar mempergunakan tanah
dengan Hak Pengelolaan52.
Menurut Effendi Perangin, nama Hak Pengelolaan berasal dari Bahasa
Belanda yaitu beheersrecht yang diterjemahkan dengan hak penguasaan. Hak Penguasaan ini dimiliki oleh Instansi Pemerintah, jawatan atau departemen.53
Menurut R. Atang Ranoemihardja, Hak Pengelolaan adalah Hak atas
tanah yang diberikan atas tanah yang dikuasai Negara dan hanya dapat diberikan
51A.P. Parlindungan, Op.Cit, hlm. 1. 52
kepada badan-badan hukum Pemerintah atau Pemerintah Daerah baik untuk
dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga.54
Menurut Maria S.W. Sumardjono, Hak Pengelolaan (HPL) merupakan “bagian” dari Hak Mengusai Negara (HMN) (sebagian) kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan (HPL). Oleh karena itu, Hak Pengelolaan (HPL) merupakan fungsi/kewenangan publik sebagaimana Hak Mengusai Negara (HMN), dan tidak tepat untuk disamakan dengan “hak” sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA karena hak atas tanah hanya menyangkut aspek keperdataan.55
Adanya Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional tidak disebut
dalam Undang-Undang Pokok Agraria, secara implisit pengertian itu diturunkan
dari Pasal 2 ayat (4) UUPA yang berbunyi sebagai berikut :
Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Kemudian daripada, dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA disebutkan
bahwa:56
“Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu
54R. Atang Ranoemihardja,
Perkembangan Hukum Agraria Di Indonesia, Aspek-Aspek Dalam Pelaksanaan UUPA Dan Peraturan Perundangan Lainnya Dibidang Agraria Di Indonesia,Tarsito, Bandung, 1982 hlm. 16.
55Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya,
Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing”.
Istilah Hak Pengelolaan muncul pertama kali dalam Peraturan Menteri
Agraria (PMA) Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak
Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan Tentang Kebijaksanaan
Selanjutnya.57Pada Pasal 2 disebutkan bahwa:
“Jika tanah negara sebagai dimaksud dengan Pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan sebagai dimaksud dalam Pasal 5 dan 6, yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan”.
Dalam pada itu, penegasan tentang hak pengelolaan tercantum dalam
Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 9 Tahun 1965 Tentang
Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan
Ketentuan-ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya yang berbunyi sebagai berikut:58
Apabila tanah-tanah negara sebagai dimaksud dalam Pasal 4 di atas, selain dipergunakan oleh instansi-instansi itu sendiri, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah tersebut akan diberikan dengan hak pengelolaan.
Pengertian hak pengelolaan ini kemudian dipertegas lagi dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara
Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak
Pengelolaan Serta Pendaftarannya. Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri
57Maria S.W. Sumardjono,Ibid,hlm. 199.
58Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan
Nomor 1 Tahun 1977 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak
pengelolaan “ dalam Peraturan ini adalah:59
a. Hak Pengelolaan, yang berisi wewenang untuk :
1). Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
2). menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;
3). menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
b. Hak Pengelolaan yang berasal dari pengkonversian hak penguasaan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang “Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya” yang memberi wewenang sebagaimana tersebut dalam Ayat (1) di atas dan yang telah didaftarkan di Kantor Sub Direktorat Agraria setempat serta sudah ada sertifikatnya.
Bahkan Menurut HM. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis:60 “Hak
Pengelolaan, tidak terdapat istilahnya dalam UUPA, sungguhpun secara
substansial hak semacam itu sudah ada jauh sebelum UUPA dan juga dapat
ditafsirkan sebagai hak yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (1)
huruf h UUPA
Pengertian Hak Pengelolaan, lebih lanjut dapat dilihat pada Peraturan
Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
59Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara
Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya.
60
Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan, Pasal 1 angka (3) yang menyebutkan bahwa: “Hak Pengelolaan
adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya”.
2. Subyek dan Obyek Hak Pengelolaan a. Subyek Hak pengelolaan
Adapun yang dapat menjadi subyek Hak Pengelolaan pada awalnya hanya
Departemen, Jawatan dan Daerah Swatantra. Dalam perkembangan selanjutnya
dapat diketahui bahwa subyek Hak Pengelolaan adalah :61
1. Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, Daerah Swatantra) dan masyarakat-masyarakat hukum adat (Penjelasan Umum UUPA dan Pasal 2 ayat (4) UUPA);
2. Badan Hukum milik pemerintah yang seluruh modalnya dimiliki Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan dan Pengembangan wilayah, industri, pariwisata, pelabuhan, perumahan/pemukiman (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974);
3. Perum, Persero atau bentuk lain yang bergerak dibidang penyediaan, pengadaan dan pematangan tanah bagi kegiatan usaha (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974);
4. Badan Otorita (Keppres Nomor 41 Tahun 1973 Jo. Nomor 94 Tahun 1988).
Perkembangan selanjutnya tentang subyek hak pengelolaan dapat
diketahui dari Pasal 67, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 yang mana dinyatakan bahwa yang
dapat sebagai subyek hak pengelolaan adalah:
a). Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah daerah:62 b). Badan Usaha Milik Negara;
c). Badan Usaha Milik Daerah; d). PT. Persero;
e). Badan Otorita;
f). Badan-badan Hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
Dalam ayat (2) disebutkan bahwa: “Badan-badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Pengelolaan sepanjang sesuai
dengan tugas dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah”.
b. Obyek Hak Pengelolaan
Menurut Ramli Zein, bahwa dengan berpedoman pada Pasal 2
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka objek dari hak pengelolaan
seperti juga hak-hak atas tanah lainnya adalah tanah yang dikuasai oleh negara.63
Pendapat yang sama mengenai obyek hak pengelolaan menurut Oloan
Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, bahwa berdasarkan pengaturan Hak Pengelolaan
di atas, dapat diketahui bahwa Hak Pengelolaan hanya dapat diberikan di atas
tanah negara. Oleh karena itu, jika di atas tanah yang akan diberikan Hak
Pengelolaan masih ada hak-hak atas tanah yang lain (seperti HGB atau HP,”hak
garap”), wajib terlebih dahulu dibebaskan oleh calon pemegang Hak
Pengelolaan.64
62Pasal 67, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999
63Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA,PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1995,
hlm.63
3. Wewenang Pemegang Hak Pengelolaan
Sehubungan dengan isi wewenang hak pengelolaan, menurut Peraturan
Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak
Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan-Ketentuan Tentang
Kebijaksanaan Selanjutnya, Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi bahwa:
Hak Pengelolaan sebagaimana disebut pada Pasal 2 dan Pasal 5 di atas memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk :
a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya ; c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga
dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun;
d. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.
Wewenang pemegang Hak Pengelolaan ini, kemudian diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata
Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah
Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya, Pasal 1 ayat (1), pemegang hak
pengelolaan mempunyai kewenangan untuk:
a). merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
b). menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;
c). Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa pemegang Hak
untuk keperluan pelaksanaan usahanya, ia berwenang pula untuk menyerahkan
bagian-bagian dari tanah hak pengelolaan itu kepada pihak ketiga dengan
persyaratan-persyaratan tertentu, baik mengenai peruntukan, penggunaan
maupun mengenai jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa
pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh
pejabat-pejabat yang berwenang dan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
4. Perjanjian Antara Pemegang Hak Pengelolaan Dengan Pihak Ketiga
Penyerahan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga
harus diwujudkan dengan membuat perjanjian tertulis antara pemegang tanah
Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang mengajukan permohonan,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tatacara Permohonan dan Penyelesaian
Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta
Pendaftarannya yang berbunyi:65
a). Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga oleh pemegang hak pengelolaan, baik yang disertai ataupun tidak disertai dengan pendirian bangunan
diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak-pihak pemegang hak pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan.
b).Perjanjian termaksud dalam ayat (1) pasal ini memuat antara lain keterangan mengenai :
1). identitas pihak-pihak yang bersangkutan.
65Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata
2). letak, batas-batas dan luas tanah yang dimaksud. 3). jenis penggunaannya.
4). Hak atas tanah yang dimintakan untuk diberikan kepada Pihak ketiga yang bersangkutan dan keterangan mengenai Jangka waktu serta kemungkinan untuk memperpanjangnya.
5) jenis-jenis bangunan yang akan didirikan diatasnya dan ketentuan mengenai pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada berakhirnya hak tanah yang diberikan.
6). Jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya. 7). Syarat-syarat lain yang dipandang perlu.
Hubungan hukum yang menjadi dasar pemberian hak atas tanah oleh
pemegang Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dinyatakan dalam Surat
Perjanjian Penggunaan Tanah (SPPT). Dalam praktek, SPPT tersebut dapat
disebut dengan nama lain, misalnya: Perjanjian penyerahan, penggunaan, dan
pengurusan Hak Atas Tanah (selanjutnya disebut “Perjanjian”).66
Perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah Kota Pekanbaru sebagai
pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang mengajukan permohonan,
diwujudkan dengan membuat perjanjian tertulis sesuai dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tatacara Permohonan dan
Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan
Serta Pendaftarannya. Namun perjanjian yang dilakukan tidak berdasarkan
prinsip kesetaraan dan kemandirian masing-masing pihak, sebagaimana lazimnya
hubungan hukum dua pihak atau lebih dalam bidang perdata.
Menurut Ridwan H.R,67 Pemerintah selaku wakil dari badan hukum dapat melakukan tindakan-tindakan hukum keperdataan, namun ketika pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan, tidak serta
66
merta terjadi hubungan hukum antara pemerintah dengan seseorang atau badan hukum perdata berdasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian masing-masing pihak, sebagaimana lazimnya hubungan hukum dua pihak atau lebih dalam hukum perdata.
Dengan kata lain, ketika pemerintah menggunakan instrumen hukum
keperdataan, tidak serta merta pemerintah melibatkan diri dalam hubungan
hukum berdasarkan hukum perdata. Pemerintah menggunakan instrumen hukum
keperdataan sebagai alternatif atau cara dalam rangka menjalankan tugas-tugas
pemerintahan, tanpa harus menempatkan diri dalam hubungan hukum yang
setara dengan pihak lainnya, sebab dalam hal-hal tertentu pemerintah tidak
sepenuhnya dapat melepaskan diri dari misi yang diembannya yang melekat
dalam setiap tindakan pemerintah.
Dengan demikian ada dua kemungkinan kedudukan pemerintah dalam
menggunakan instrumen hukum keperdataan, antara lain:
a).Pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan sekaligus melibatkan diri dalam hubungan hukum keperdataan dengan kedudukan yang tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. b).Pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan tanpa
menempatkan diri dalam kedudukan yang sejajar dengan seseorang atau badan hukum. Dalam hal ini terdapat perjanjian dengan persyaratan yang ditentukan sepihak oleh pemerintah.
Secara garis besar, isi Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan
Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota
Pekanbaru mengatur hal-hal sebagai berikut :68
68
1). Identitas para pihak yang menandatangani Surat Perjanjian yaitu
Pemerintah Kota Pekanbaru dalam hal ini diwakili oleh Walikota dan
Pihak ketiga.
2). Lokasi/letak tanah, jalan, Surat Ukur, luas dan batas-batas tanah.
3). Kewajiban pihak ketiga untuk membayar uang pemasukan setiap tahun,
dan denda yang harus dibayar jika terlambat membayar uang
pemasukan tersebut.
4). Jenis hak yang diberikan, jangka waktu hak yang diberikan dan
ketentuan bahwa apabila pihak Pemerintah Kota Pekanbaru
menghendaki tanah tersebut maka pihak ketiga tersebut harus
melepaskan hak tanah tersebut dan menyerahkannya kepada Pemerintah
Kota Pekanbaru.
5). Penyelesaian Sertifikat oleh pihak ketiga tersebut setelah mendapat
rekomendasi/persetujuan dari Pemerintah Kota dengan catatan segala
akibat, untung rugi serta pajak dan biaya-biaya lain yang timbul menjadi
tanggungjawab pihak ketiga.
6). Berakhirnya hak atas tanah yang diberikan menyebabkan tanah tersebut
kembali sepenuhnya menjadi Hak Pemerintah Kota Pekanbaru dan
pihak ketiga tersebut menjamin bahwa pada saat pengembalian hak atas
segala macam bentuk ikatan, sitaan, dan tuntutan hukum atas dasar
apapun.
7). Ketentuan mengenai cedera janji yakni apabila pihak ketiga tersebut
tidak mampu atau lalai dalam memenuhi kewajibannya telah terbukti
dengan lewatnya waktu sehingga tidak diperlukan surat peringatan
(somatie) sehingga Pemerintah Kota berhak mencabut surat penetapan
dan penyerahan hak atas tanah.
8). Apabila pihak ketiga melepaskan haknya sebelum hak atas tanah
tersebut berakhir, maka perjanjian menjadi batal dengan sendirinya
tanpa diperlukan surat pembatalan dari Pengadilan Negeri dan pihak
ketiga tersebut wajib mengembalikan tanah dalam keadaan sebelaum
terjadinya perikatan selambat-lambatnya 3 bulan sejak pembatalan.
9). Peralihan hak atas tanah tersebut oleh pihak ketiga kepada pihak lain
harus dengan persetujuan Pemerintah Kota Pekanbaru. Untuk
memperoleh persetujuan tersebut pihak ketiga harus memberikan
pernyataan tertulis tentang alasan atau sebab peralihan itu. Pemerintah
Kota Pekanbaru berhak menolak memberikan persetujuan dan atas
keputusan penolakan tersebut, pihak ketiga tidak mempunyai hak
banding. Apabila permohonan peralihan hak itu disetujui oleh
Pemerintah Kota Pekanbaru, maka pihak ketiga diwajibkan membayar
pada saat itu dan segala biaya yang timbul dari peralihan hak tersebut
menjadi beban dan tanggungjawab pihak ketiga sepenuhnya.
10).Hal-hal yang belum diatur dalam Surat Perjanjian itu, akan ditetapkan
kemudian dan apabila ada perselisihan dan atau perbedaan pendapat
antara kedua belah pihak akan diselesaikan secara musyawarah. Dalam
hal musyawarah mufakat tidak tercapai, maka para pihak sepakat untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut melalui Pengadilan Negeri
Pekanbaru.
Bentuk Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan Penggunaan Bagian
Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru telah
dipersiapkan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru, dalam hal ini Bagian Hukum
Pemerintah Kota Pekanbaru. Perjanjian tersebut dibuat dibawah tangan. Isi
perjanjian tersebut standar atau baku.
Menurut Shidarta, Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan
secara sepihak, yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual), dan
mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain
(konsumen) hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolaknya.69
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, sebagaimana dikutip oleh Herlien
Budiono, ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut :70
69Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2004,
hlm. 147. 70
(a) . Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditor yang posisinya relatif kuat dari debitor.
(b). Debitor sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu. (c). Terdorong oleh kebutuhannya debitor terpaksa menerima
perjanjian itu. (d). Bentuknya tertulis.
(e). Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Perjanjian Tentang penyerahan
Dan Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota
Pekanbaru adalah perjanjian yang dibuat dalam bentuk sedemikian rupa dan
isinya baku atau standar. Namun perlu diketahui bahwa perjanjian tersebut bukan
bukti peralihan hak atas tanah dari Pemerintah Kota Pekanbaru kepada pihak
ketiga yang bersangkutan, melainkan bukti telah terjadi hubungan hukum. Tanah
tersebut akan kembali dalam penguasaan Pemerintah Kota Pekanbaru apabila
jangka waktu sertifikat hak atas tanah tersebut berakhir.
B. Hak Guna Bangunan
1. Pengertian Hak Guna Bangunan
Pengertian Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 UUPA juncto
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Menurut ketentuan Pasal 35 UUPA
bahwa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan adalah:
a. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
tahun.
c. Hak Guna Bangunan dapa t beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Menurut A.P. Parlindungan, pembatasan dari Hak Guna Bangunan ini
adalah untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri.71
Dari defenisi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Hak Guna Bangunan
adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri
dengan jangka waktu selama 30 tahun, apabila jangka waktunya berakhir, dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun serta dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain.
2. Subyek dan obyek Hak Guna Bangunan a. Subyek Hak Guna Bangunan
Subyek Hak Guna Bangunan menurut UUPA Pasal 36 juncto Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah adalah Warga Negara Indonesia dan
Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja tentang badan hukum
yang dapat memperoleh Hak Guna Bangunan, dua ketentuan tersebut yaitu
didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
adalah dua unsur yang secara bersama-sama harus ada, jika badan hukum
tersebut ingin mempunyai Hak Guna Bangunan di Indonesia.72
b. Obyek Hak Guna Bangunan
Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan menurut
ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah menentukan
bahwa:73
Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah : 1). Tanah Negara;
2). Tanah Hak Pengelolaan; 3). Tanah Hak Milik.
Lebih lanjut mengenai terjadinya Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara
dan Tanah Hak Pengelolaan dapat dilihat pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah, yang menyebutkan bahwa:74
a). Hak Guna Bangunan atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
b). Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
72 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Op.Cit, hlm 191-192.
73 Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah 74
Sedangkan terjadinya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
tercantum dalam Pasal 24 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:75 “Hak Guna
Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak
Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah”.
3. Hak dan Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan a. Hak pemegang Hak Guna Bangunan
Hak pemegang Hak Guna Bangunan dalam hal ini kewenangan secara
umum dan kewenangan secara khusus.
Kewenangan secara umum dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa: “hak-hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi”.
Kewenangan secara khusus dapat dilihat pada Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang berbunyi: “Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya”.
b. Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan
Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan dapat dilihat pada Pasal 30
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyebutkan bahwa:
75
1) Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; 2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan
Persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
3) Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
4) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
5) menyerahkan sertifika t Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang Hak Guna
Bangunan tercantum dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
yang menyebutkan bahwa:
“Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu”.
4. Peralihan Hak Guna Bangunan
Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
secara tegas menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain. Ketentuan ini selanjutnya dipertegas dalam Pasal 34 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyatakan bahwa:
b). Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena : 1). jual beli;
2). tukar menukar;
3). penyertaan dalam modal; 4). hibah;
5). pewarisan.
c). Peralihan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
d). Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalamk modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
e). Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang.
f). Peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.
g). Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan.
h). Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan.
Dari ketentuan tersebut diatas dapat dilihat bahwa secara tegas dibedakan
syarat peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dengan Hak Guna
Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Milik atau di atas tanah Hak
Pengelolaan.
Terhadap Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak
Pengelolaan, setiap perbuatan hukum yang berhubungan dengan Hak Guna
Bangunan di atas bidang tanah tersebut, haruslah terlebih dahulu memperoleh
5. Pembebanan Hak Tanggungan Atas Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan sebagai hak atas tanah yang dapat dibebankan
dengan Hak Tanggungan dapat dilihat pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah yang menyatakan bahwa: “Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hak tanggungan”.
Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah yang menyatakan bahwa:
a). Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
b).Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Bangunan.
Lebih lanjut, ketentuan mengenai pembebanan Hak Tanggungan tersebut
dipertegas kembali dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, yang menyatakan bahwa:76
(1). Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah : (a). Hak Milik;
(b). Hak Guna Usaha; (c). Hak Guna Bangunan;
(2). Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
(3). Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diataur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(4). Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(5). Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
6. Hapusnya Hak Guna Bangunan
Ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan dapat ditemukan
dalam Pasal 40 UUPA, yang menyatakan bahwa:
Hak Guna Bangunan hapus karena : a). jangka waktunya berakhir;
b). Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi;
c). Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d). dicabut untuk kepentingan umum; e). diterlantarkan;
f). tanahnya musnah;
g). ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).
Ketentuan Pasal 40 UUPA tersebut di atas selanjutnya dipertegas kembali
dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, yang juga memberikan
ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan, yaitu:
perjanjian pemberiannya;
(2). Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir. karena :
(a) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau
(b) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau
(c) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
(d). dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
(e). Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
(f). ditelantarkan; (g). tanahnya musnah;
Dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
menyebutkan bahwa: “Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya
kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan”.
Lebih lanjut, Pada Pasal 38 disebutkan bahwa:77 Apabila Hak Guna
bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus
sebagaimana dimaksud Pasal 35, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan
wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang
Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian
77
penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Guna
Bangunan atas tanah Hak Milik
7. Perpanjangan Hak Guna Bangunan
Ketentuan mengenai Perpanjangan Hak Guna Bangunan dapat
ditemukan dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah yang
menyatakan bahwa:
a. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, atas permohonan pemegang hak dapat diperpanjang atau diperbaharui, jika memenuhi syarat :
1). tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
2) syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3). pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
4). tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.
b. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan.
Lebih lanjut, pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Permohonan
perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan
selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna
Bangunan tersebut atau perpanjangannya”.
Dari ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan diatas dapat diketahui
bahwa pada dasarnya pangaturan tentang Hak Guna Bangunan telah mempunyai
D. Hambatan Pelaksanaan Perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru
Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai
Atas Tanah yang menyatakan bahwa:78 “Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang Hak
Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan”.
Untuk mengetahui masalah yang menghambat perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru, te1Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
1wawancara dengan Sugiarto, selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor
Pertanahan Kota Pekanbaru, pada tanggal 24 Januari 2012
rlebih dahulu dipaparkan hasil penelitian mengenai masalah-masalah
yang menghambat perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan tersebut.
Dari hasil wawancara dengan Sugiarto selaku Kepala Seksi Hak Tanah
Dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, pada tanggal 24
Januari 2012 diperoleh jawaban bahwa masalah–masalah yang menghambat
perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan
Pemerintah Kota Pekanbaru adalah sebagai berikut:79
1. Pemohon belum melengkapi Persyaratan perpanjangan sertifikat Hak Guna
Bangunan atas Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru, sehingga
78Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah 79
permohonan perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru tersebut belum dapat diproses
oleh Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru.
Persyaratan yang dimaksud berdasarkan wawancara berkaitan dengan
perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan
Pemerintah Kota Pekanbaru, diperoleh keterangan sebagai berikut:
Perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru hanya dapat diproses oleh Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru sepanjang persyaratan yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah dipenuhi oleh pemohon. Karena kelengkapan persyaratan menjadi syarat mutlak untuk dapat diprosesnya permohonan perpanjangan sertifikat tersebut.
Lebih lanjut, diperoleh keterangan bahwa persyaratan yang harus
dipenuhi oleh pihak ketiga sebagai pemegang sertipikat Hak Guna Bangunan
diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru sebelum mengajukan
permohonan perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan, antara lain:
a. Untuk Perorangan
1). Surat Permohonan
2). Identitas diri pemohon dan atau kuasanya Fotocopy KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga) yang masih berlaku).
3). Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang
bersangkutan yaitu: Sertifikat Hak Guna Bangunan yang akan diperpanjang.
4). SPPT PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak
Bumi Dan Bangunan) dan STTS (Surat Tanda Terima
Setoran) tahun berjalan.
6). Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru dan Petikan Keputusan Walikota Pekanbaru.
b. Untuk Badan Hukum
1). Surat Permohonan
2). Akta Pendirian beserta bukti pengesahan dari instansi terkait. 3). Identitas diri pemohon dan atau kuasanya Foto copy KTP
(Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku).
4). Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang
bersangkutan yaitu: Sertifikat Hak Guna Bangunan yang akan diperpanjang.
5). SPPT PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak
Bumi Dan Bangunan) dan STTS (Surat Tanda Terima
Setoran) tahun berjalan.
6). IMB ( Ijin Mendirikan Bangunan). 7). SITU (Surat ijin Tempat Usaha) 8). SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) 9). NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
10). Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru dan Petikan Keputusan Walikota Pekanbaru.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tindakan Kantor Pertanahan Kota
Pekanbaru menolak permohonan pendaftaran perpanjangan sertifikat Hak Guna
Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru tanpa
adanya surat perjanjian dan penunjukan dari Pemerintah Kota Pekanbaru sebagai
pemegang Hak Pengelolaan tersebut adalah tindakan yang benar dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping itu, terkait dengan perpanjangan dan atau pembaharuan
sertifikat Hak Guna Bangunan diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah
Dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru harus memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 26 dan pasal 27
Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996, terutama mengenai pengajuannya
yaitu diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhir jangka waktu
Hak Guna Bangunan tersebut.
Hal ini penting untuk ditanyakan karena terdapat sertifikat Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru atas nama Henry
Yacup yang telah berakhir jangka waktu haknya pada tanggal 23 Oktober 2009,
sedangkan permohonan perpanjangan sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut
diajukan pada tahun 2010, Atas pertanyaan tersebut diperoleh jawaban bahwa:
Permohonan perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru yang telah berakhir jangka waktunya tetap diproses, tetapi bukanlah disebut sebagai permohonan perpanjangan hak melainkan pembaharuan hak, asalkan persyaratan yang dibutuhkan telah dilengkapi oleh pemohon dengan ketentuan bahwa pemberian haknya dimulai pada saat jangka waktu berakhirnya.
Jika dilihat pada Pasal 27junctoPasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah, memang dinyatakan bahwa permohonan perpanjangan jangka waktu Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai atau pembaharuannya diajukan
selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai tersebut atau perpanjangannya.
Ketentuan tersebut kemudian dipertegas dengan Peraturan Menteri
Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan, namun dengan penambahan bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai yang telah berakhir jangka waktunya masih dapat diajukan
permohonan pembaharuan hak.
Pada Pasal 41 dinyatakan bahwa: ”Permohonan perpanjangan jangka
waktu Hak Guna Bangunan diajukan oleh pemegang hak dalam tenggang waktu
2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut”. Kemudian pada
Pasal 42 dinyatakan bahwa:80 ”Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan atau
perpanjangannya berakhir kepada pemegang hak dapat diberikan pembaruan Hak
Guna Bangunan di atas tanah yang sama”.
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa permohonan
perpanjangan hak diajukan 2 (dua) tahun sebelum jangka waktu berlakunya hak
atas tanah yang bersangkutan berakhir, sedangkan jika jangka waktu berlakunya
hak yang bersangkutan telah berakhir maka yang diajukan adalah permohonan
pembaruan hak.
Dari hasil penelitian, juga ditemukan pada sertifikat Hak Guna Bangunan
yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Pekanbaru tidak
penunjukan bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut merupakan bagian
dari tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru. mengenai hal tersebut
80Pasal 42 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Sugiarto, selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor
Pertanahan Kota Pekanbaru, menerangkan bahwa:81
Penunjukan bahwa sertifikat tanah tersebut merupakan tanah Hak
Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru dapat dilihat pada buku tanah
sertifikat yang bersangkutan, memang terdapat beberapa sertipikat Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru yang belum
mencantumkan tanda Hak Pengelolaan, hal ini disebabkan kelalaian pihak
kami pada masa lalu, tetapi pada saat ini setiap pengajuan permohonan
pendaftaran tanah baik peralihan hak pembebanan hak maupun perbuatan
hukum lainnya akan diperiksa dan disesuaikan dengan peta Hak Pengelolaan
ada dikantor Kami, sehingga dikemudian hari tidak akan terjadi
permasalahan yang sama.
Menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis Bahwa:82 ”sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA terdapat tugas-tugas Pendaftaran Tanah yang merupakan tugas administrasi dan tugas teknis, tugas administrasi menyangkut, pembukuan hak-hak atas tanah pendaftaran peralihan dan pemberian tanda bukti hak. terkait segi administratif sebagai data yuridis, data yuridis maksudnya ada keterangan mengenai status hukum bidang tanah yang didaftar, pemegang hak dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebani, bila dinyatakan sebagai status hukum bidang tanah yang terdaftar, berarti terdaftar bukti yang menunjukan adanya hubungan hukum antara dengan tanahnya”
Sedangkan menurut ketentuan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah bahwa:83
a). Untuk memberikan Kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
81Wawancara dengan. Sugiarto selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah
Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, pada tanggal 24 Januari 2012 82
lain yang terdaftar agar dengan muda dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b).Untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk mpemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum menegnai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang telah terdaftar.
c). Untuk terselenggaranya tertib adminitrasi pertanahan.
Dalam hal sertifikat Hak Guna Bangunan tidak adanya penunjukan bahwa
sertifikat tersebut merupakan bagian dari tanah diatas Hak Pengelolaan
Pemerintah Kota Pekanbaru, merupakan kelalaian tugas administratif Kantor
Pertanahan Kota Pekanbaru, sehingga mengakibatkan tidak dapat memberikan
informasi yang benar tentang hak atas tanah diatas Hak Penegelolaan Pemerintah
Pekanbaru, dan juga menjadi hambatan bagi pemegang haknya untuk melakukan
perbuatan hukum yang akan dilakukan atas tanah tersebut.
2. Tidak ada perjanjian sebelumnya antara Pemerintah Kota Pekanbaru
sebagai pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga sebagai pemegang
sertifikat Hak Guna Bangunan.
Perjanjian merupakan syarat mutlak bagi pemegang sertipikat Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengelolaan, tetapi dari penelitian lapangan, ditemukan
adanya 2 (dua) orang pihak ketiga sebagai pemegang sertifikat Hak Guna
Bangunan yang tidak ada perjanjian dengan Pemerintah Kota Pekanbaru sebagai
pemegang Hak Pengelolaan mengajukan permohonan perpanjangan sertipikat
tersebut ke Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, Adapun pihak ketiga tersebut
a. Louis Utomo, bertempat tinggal di Jalan Samping Lativa Nomor 1,
RT.01/RW.03, Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Pekanbaru Kota.
b. Henry Yacup, bertempat tinggal di Jalan Karet Nomor 14 Pekanbaru
Dari hasil wawancara dengan Luis Utomo selaku pihak ketiga, pada
tanggal 22 Januari 2011, berkaitan dengan asal mula kepemilikan tanah dengan
sertipikat Hak Guna Bangunan yang merupakan tanah Hak Pengelolaan
Pemerintah Kota Pekanbaru, diperoleh keterangan sebagai berikut:84
Saya membeli tanah tersebut tahun 1996 dari pihak penjual sebagai masyarakat yang awam dengan peraturan hukum, maka proses jual beli tersebut dilaksanakan dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)85. Oleh PPAT tersebut kemudian didaftarkan balik nama ke Kantor Pertanahan Kotamadya Pekanbaru atas nama saya. Sertifikat tersebut saya jaminkan ke Bank dan sudah dipasang Hak Tanggungan Tidak ada informasi yang saya peroleh bahwa Sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru. Di dalam sertifikat tersebut juga tidak ada penunjukan bahwa tanah tersebut merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru. Oleh karenanya ketika jangka waktu sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut berakhir, saya dihubungi oleh pihak Bank untuk mengajukan permohonan perpanjangannya ke Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru. Karena sertipikat tersebut merupakan jaminan bank, maka pelaksanaan pengurusannya dikuasakan Melalui jasa Notaris/PPAT Tetapi permohonan perpanjangan itu ditolak oleh Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru. Menurut Notaris/PPAT berdasarkan informasi dari pegawai Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru dan untuk memperpanjangnya harus ada surat perjanjian dan ijin dari Pemerintah Kota Pekanbaru.
Hal sama dengan Hendry Yacup selaku pihak ketiga, pada tanggal 23
Januari 2011, dengan pertanyaan yang sama, diperoleh keterangan bahwa:86
84
wawancara dengan Luis Utomo, pada tanggal 22 Januari 2012
85
Selanjutnya disebut PPAT
86
Saya membeli tanah tersebut tahun 1992 dari pihak penjual dan jual belinya dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kemudian didaftarkan ke kantor Pertanahan Kotamadya Pekanbaru sehingga terbitlah sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama saya. Sertifikat tersebut saya tidak pernah saya jaminkan ke Bank. Karena jangka waktu sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut akan berakhir, diajukan permohonan perpanjangannya melalui jasa Notaris/PPAT. Namun permohonan perpanjangan sertifikat ditolak oleh Kantor Pertanahan karena sertifikat tanah tersebut merupakan tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru. Untuk memperpanjangnya, diperlukan surat perjanjian dan ijin dari Pemerintah Kota Pekanbaru.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, dapat diketahui bahwa
Louis Utomo maupun Henry Yacup membeli tanah tersebut dari pihak penjual
dan pelaksanaan jual belinya dihadapan PPAT, serta pendaftaran haknya juga
dilaksanakan melalui jasa Notaris/PPAT pada waktu itu, sehingga Mereka tidak
mengetahui bahwa tanah yang dibeli tersebut merupakan tanah diatas Hak
Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru. Karena pada waktu itu PPAT
dimaksud tidak menerangkan bahwa tanah tersebut merupakan bagian dari tanah
diatas Hak Pengelolaan Pemerintah kota Pekanbaru. karena pada sertifikat
tersebut juga tidak ada penunjukan yang menyebutkan bahwa tanah tersebut
merupakan tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa PPAT wajib
menolak membuat akta, jika:
2).mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan :
a). surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b). surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau
3).salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau 4).salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa
mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
5).untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
6).obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
7).tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Demikian juga berdasarkan Surat Menteri Agraria Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor: 630.1.3433 tanggal 17 September 1998 Tentang
Agunan sertipikat diatas tanah Hak Pengelolaan angka 2 huruf (b) bahwa:87
Dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Bangunan, Hak Usaha dan Hak Pakai atas tanah ditentukan bahwa pengalihan Hak Guna Bangunan diatas Tanah Hak Pengelolaan memelukan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan, seubungan dengan itu mengingat kemungkinan dialihkannya Hak Guna Bangunan tersebut dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan, maka Pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan itu juga memerlukan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan yang
87
kan berlaku sebagai persetujuan untuk pengalihannya apabila kemudian hari diperlukan dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa:
”untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin dari Pejabat
atau instansi yang berwenang apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”, PPAT yang bersangkutan wajib
menerangkan kepada para pihak, bahwa tanah yang menjadi obyek perbuatan
hukum tersebut adalah tanah hak pengelolaan dan untuk melakukan perbuatan
hukum atas tanah tersebut, diperlukan izin dari pemegangnya, dalam hal ini
Pemerintah Kota Pekanbaru. Apabila belum diperoleh izin dari Pemerintah Kota
Pekanbaru sebagai pemegang Hak Pengelolaan, maka pembuatan akta mengenai
perbuatan hukum tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena adanya izin dari
Pemerintah Kota Pekanbaru sebagai pemegang Hak Pengelolaan merupakan
syarat mutlak untuk terlaksananya peralihan hak atas tanah tersebut sebagaimana
yang tercantum dalam surat perjanjian.
PPAT tersebut sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum, dalam hal ini perbuatan
hukum berupa jual beli, sebaiknya memiliki pengetahuan yang cukup tentang
tanah lokasi-lokasi mana saja yang merupakan tanah hak pengelolaan Pemerintah
Kota Pekanbaru. Apabila PPAT tersebut ragu apakah tanah yang menjadi obyek
bukan, seharusnya meminta informasi pada saat melakukan pengecekan sertifikat
ke Kantor Pertanahan Pekanbaru dan kepada Kantor Walikota Pekanbaru
mengenai status tanah yang menjadi obyek jual beli. Sehingga dapat
meminimalkan terjadinya kasus dikemudian hari.
Jika diketahui bahwa tanah yang menjadi obyek perbuatan hukum
merupakan tanah hak pengelolaan dimana dalam hal peralihan hak harus ada izin
dari pemegang hak pengelolaan, kemudian barulah dapat dibuat akta jual beli