Universitas Sumatera Utara BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perspektif/Paradigma Kajian
Perspektif dalam bidang keilmuan sering juga disebut paradigma
(paradigm), kadang-kadang disebut pula mazhab pemikiran (school of thought)
atau teori. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas
dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam
sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka
apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif,
menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan
pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang. Akan tetapi, menurut
Patton, aspek paradigma inilah yang sekaligus merupakan kekuatan dan
kelemahannya. Kekuatannya adalah hal itu memungkinkan tindakan,
kelemahannya adalah bahwa alasan untuk melakukan tindakan tersebut
tersembunyi dalam asumsi-asumsi paradigma yang dipersoalkan (Mulyana, 2011:
8-9).
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dimana pada dasarnya landasan
teoritis dari penelitian kualitatif itu bertumpu secara mendasar pada fenomenologi.
Pada penelitian kualitatif teori dibatasi pada pengertian: suatu pernyataan
sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan
diuji secara empiris. Dalam uraiantentang teori tersebut, Bognan dan
Bikenmenggunakan istilah paradigma. Paradigma diartikan sebagai kumpulan
longgar tentang asumsi secara logis dianut bersama konsep, atau preposisi yang
mengarahkan cara berfikir dan cara penelitian (Moleong, 2010: 14).
Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan dengan sistematis dan
subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan
(empiris). Pendekatan kualitatif terus berkembang di bidang sains dan pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
dalam aneka bentuk. Penelitian kualitatif lebih berorientasi kepada upaya untuk
memahami fenomena secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih
konsisten dengan filosofi holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian
kualitatif berangkat dari ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial melalui
penelaahannya terhadap interaksi orang-orang dengan situasi sosial dalam
membangun pengetahuan melalui pemahaman dan penemuan (meaning and
discovery) (Iskandar, 2010:189).
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma
Konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma
positivisme. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh
seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua peran seperti yang biasa
dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari
pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan
perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi
dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun
pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.
Paradigma konstuktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu
realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan bersifat relatif. Pertama,
dilihat dari penjelasan ontologis, realitas yang dikonstruksi itu berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Kedua, paradigma
konstruktivisme ditinjau dari konteks epistimologis, bahwa pemahaman tentang
suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dengan objek yang
diteliti. Dalam hal ini paradigma konstuktivisme bersifat transaksional atau
subjektif. Ketiga, dalam konteks aksiologi, yakni peneliti sebagai passionate
participation, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku
sosial.
Kajian pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut
Weber,menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak
hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan
perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa
Universitas Sumatera Utara
beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut
harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari
melalui penafsiran serta pemahaman (interpretive understanding). Kajian
paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa
mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahami dan
mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman isi subjek yang akan
diteliti. Implikasi dalam paradigma konstruktivisme menerangkan bahwa
pengetahuan itu tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk
mengerti.
Menurut Ardianto (2007: 154), konstruktivisme merupakan salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil
konstruksi (bentukan) kita sendiri. Menurut Ardianto (2007: 161), prinsip dasar
konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh konstruk
diri sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri. Sehingga
komunikasi itu dapatdirumuskan, dimana ditentukan oleh diri di tengah pengaruh
lingkungan luar. Pada titik ini kita dapat mengemukakan teori Ron Herre
mengenai perbedaan antara person dan self. Personadalah diri yang terlibat dalam
lingkup publik, padadirinya terdapat atribut sosial budaya masyarakatnya,
sedangkanself adalah diri yang ditentukan oleh pemikiran khasnya di tengah
sejumlah pengaruh sosial budaya masyarakatnya.
Ada tiga macam konstruktivisme, (1) konstruktivisme radikal; (2)
konstruktivisme realisme hipotesis; (3) konstruktivisme biasa (Suparno, 1997:
25). Ketiga macam konstruktivisme diatas memiliki kesamaan, dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang disekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur
pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang oleh Piaget (Suparno, 1997: 30)
disebut dengan skema/skemata.
Kata kunci paradigma konstruktivisme adalah pendekatan antar pesona
Universitas Sumatera Utara
membangun (mengkonstruksi) pemahaman atau makna, secara bersama-sama
melalui pemahaman berbasis pada subjek, dengan menggunakan elaborasi kode
yang mana, menghargai perasaan, kepentingan, dan sudut padangan orang lain.
2.2Uraian Teoritis
Teori adalah himpunan konstruk (konsep). Definisi dan proposisi yang
mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di
antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Fungsi teori
dalam penelitian adalah untuk membantu peneliti menerangkan fenomena sosial
atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatian. Sebelum melakukan
penelitian, peneliti memerlukan kejelasan berpikir mengenai teori sebagai
landasan atau dasar dari penelitian. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang
memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah
penelitian yang akan diteliti. Berdasarkan alasan itu, maka peneliti melaksanakan
penelitian menggunakan teori–teori yang dianggap relevan adalah sebagai berikut:
2.2.1 Psikologi Komunikasi
2.2.1.1 Pengertian Psikologi Komunikasi
Psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan,
meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam
komunikasi.Perisitiwa mental adalah apa yang disebut Fisher “internal mediation
of stimuli”, sebagai akibat berlangsungnya komunikasi. Peristiwa behavioral
adalah apa yang nampak ketika orang berkomunikasi (Rakhmat: 9).
Psikologi meneliti kesadaran dan pengalaman manusia. Psikologi terutama
mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan
proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku itu. Menurut Fisher
(dalam Rakhmat: 8) menyebut empat ciri pendekatan psikologi pada komunikasi
penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli), proses yang
mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli), prediksi respons
(prediction of response), dan peneguhan response (reinforcement of responses).
Universitas Sumatera Utara
dapat meramalkan respons yang akan datang. Kita harus mengetahui sejarah
respons sebelum meramalkan respons individu masa ini. Dari sinilah timbul
perhatian pada gudang memori (memory storage) dan set (penghubung masa lalu
dan masa sekarang).
2.2.1.2 Hubungan Komunikasi dengan Psikologi
Dilihat dari perkembangannya, komunikasi memang dibesarkan oleh para
peneliti psikologi. Tiga di antara empat orang bapak ilmu komunikasi yang
disebut Wilbur Schramm adalah serjana psikologi. Paul Lazarsfeld, pendiri ilmu
komunikasi lainnya, adalah psikolog yang banyak dipengaruhi Sigmund Freud,
Bapak Psikoanalisis. Hovland, Janis, dan Kelly semuanya psikolog,
mendefinisikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai
usaha “menimbulkan respons melalui lambang verbal”, ketika
lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli. Kamus psikologi, dictionary of
behavioral science, menyebutkan enam pengertian komunikasi:
1. Penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat lain seperti
dalam sistem saraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara.
2. Penyampaian atau penerimaan signal atau pesam oleh organisme.
3. Pesan yang disampaikan.
4. (teori komunikasi) proses yang dilakukan satu sistem untuk
mempengaruhi sistem yang lain melalui pengaturan signal-signal yang
disampaikan.
5. (K Lewin) Pengaruh satu wilayah persona pada wilayah persona yang
lain sehingga perubahan dalam satu wilayah lain menimbulkan perubahan
yang berkaitan pada wilayah lain.
6. Pesan pasien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi (Fajar, 2009: 3-4).
Psikologi komunikasi mempunyai makna yang luas, meliputi segala
penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem atau
organisme. Kata komunikasi sendiri dipergunakan sebagai proses, sebagai pesan,
Universitas Sumatera Utara
psikologi menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari alat-alat indera ke
otak, pada peristiwa penerimaan dan pengelohan informasi, pada proses saling
pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri organisme dan di antara organisme.
Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam
proses komunikasi. Pada diri komunikan, psikologi memberikan karakteristik
manusia komunikan serta faktor-faktor internal yang mempengaruhi perilaku
komunikasinya. Pada komunikator, psikologi melacak sifat-sifatnya dan bertanya:
Apa yang menyebabkan satu sumber komunikasi berhasil dalam mempengaruhi
orang lain, sementara sumber komunikasi yang lain tidak.
Psikologi juga tertarik pada komunikasi di antara individu: bagaimana
pesan dari seorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan respons pada
individu yang lain. Psikologi bahkan meneliti lambang-lambang yang
disampaikan. Pada saat pesan sampai pada diri komunikator, psikologi melihat ke
dalam proses penerimaan pesan, menganalisa faktor-faktor personal dan
situasional yang mempengaruhinya dan menjelaskan berbagai corak komunikan
ketika sendirian atau dalam kelompok (Fajar, 2009: 4-5).
2.2.2 Pengungkapan Diri (Self Disclosure) 2.2.2.1Pengertian Pengungkapan Diri
Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi
fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses
mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya
(Sendjaja, 2005: 2.41). Self disclosure adalah salah satu tipe komunikasi dimana
informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan dari orang lain, kini
dikomunikasikan kepada orang lain (Devito, 1997: 215).
Pembukaan diri atau self disclosure adalah mengungkapkan reaksi atau
tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi, serta memberikan
informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami
tanggapan kita di masa kini tersebut (Supraktiknya, 1995: 4).
Self disclosure mengacu pada mengkomunikasikan informasi tentang diri
Universitas Sumatera Utara
kepada orang lain perasaan kita terhadap suatu yang telah
dikatakan/dilakukannya, atau perasaan kita terhadap suatu kejadian yang baru saja
kita saksikan. Mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang
sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.
Teori self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama
menjadi fokus penelitian dalam teori komunikasi. Pengertian pengungkapan diri
adalah mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang
kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang
berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini (Supratiknya, 1995: 8).
Tanggapan terhadap orang lain atau kejadian tertentu berarti membagikan
kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau
dilaksanakan atau perasaan kita terhadap kejadian yang baru saja kita saksikan.
Mengungkapkan hal yang sangat pribadi di masa lalu dapat menimbulkan
perasaan intim untuk sesaat.
Dalam suatu interaksi antara individu dengan orang lain, apakah yang lain
akan menerima atau menolak kita, bagaimana kita ingin orang lain mengetahui
tentang diri kita ditentukan oleh bagaimana individu mengungkapkan dirinya.
Pengungkapan diri adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam
kegiatan membagi perasaan dan informasi pada orang lain (Wrightsman dalam
Dayaksini, 2003: 87).
Menurut Morton, pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi
perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam
pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu
melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui
oleh orang lain. Sedangkan, evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat
atau perasaannya terhadap sesuatu.
Joseph Luft mengemukakan teori Self Disclosure berdasarkan pada model
interaksi manusia yang disebut Johari Window, dimana terdapat empat bidang
Universitas Sumatera Utara
Diketahui oleh Tidak diketahui
diri sendiri oleh diri sendiri
Diketahui oleh orang lain
Tidak diketahui oleh orang lain
1 TERBUKA
2 BUTA
3
TERSEMBUNYI
4 TIDAK DIKETAHUI
Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan
terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke
dalam kuadran “terbuka”. Kuadran 4 sulit untuk diketahui, tetapi mungkin dapat
dicapai melalui kegiatan seperti refleksi diri dan mimpi. Meskipun self disclosure
mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya.
Artinya, perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu
tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi hubungan
kita dengan orang tersebut.
Beberapa manfaat dan dampak pembukaan diri terhadap hubungan antar
pribadi menurut Devito adalah sebagai berikut:
1. Pembukaan diri merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua
orang.
2. Semakin kita bersikap terbuka kepada orang lain, maka orang tersebut akan
menyukai kita, sehingga ia akan semakin membuka diri terhadap kita.
3. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung
memiliki sifat-sifat, seperti: kompeten, terbuka, ekstrovert, fleksibel,
adaptif, dan intelijen.
4. Membuka diri kepada orang lain merupakan dasar reaksi yang
memungkinkan komunikasi intim yang baik dengan diri kita sendiri
Universitas Sumatera Utara
5. Membuka diri berarti bersikap realistis sehingga harus jujur, tulus, dan
autentik.
Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi
perilaku, keinginan, motivasi, dan ide yang sesuai yang terdapat di dalam diri
orang yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang
tergantung pada situasi dan orang yang diajak berinteraksi. Jika orang yang
berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta
dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih
membuka diri sangat besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat
saja menutup diri karena kurang percaya.
Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang
terlibat memiliki kecenderungan mengikuti norma resiprok (timbal balik). Jika
seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan
cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengharapkan
orang lain memperlakukan kita sama seperti kita memperlakukan mereka
(Dayaksini, 2003: 88). Seseorang yang mengungkapkan informasi yang bersifat
pribadi lebih akrab daripada yang kita lakukan akan membuat kita merasa
terancam dan membuat kita lebih senang untuk mengakhirinya. Bila sebaliknya
kita yang mengungkapkan diri terlalu akrab dibandingkan orang lain, maka kita
akan merasa tidak aman.
Luft, 1969 (dalam Tubbs, 2005: 19) menggambarkan beberapa ciri
pembukaan diri yang tepat. Lima ciri terpenting adalah sebagai berikut :
1. Merupakan fungsi dari suatu hubungan sedang berlangsung.
2. Dilakukan oleh kedua belah pihak.
3. Disesuaikan dengan keadaan yang berlangsung.
4. Berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini pada dan antara orang-orang
yang terlibat.
Universitas Sumatera Utara
Selain konsep Johari Window, ada juga konsep diri yang diperkenalkan
oleh Weaver (1978). Konsep ini terdiri atas empat macam yakni, self awareness,
self acceptance, self actualization dan self disclose (Cangara, 2005:85).
Self awareness ialah proses menyadari diri tentang siapakah aku, dimana
aku berada dan bagaimana orang lain memandang diriku. Jika orang sadar pada
dirinya, maka apa yang terjadi akan diterimanya sebagai kenyataan (self
aceeptance). Dengan menerima kenyataan itu, orang baru dapat mengembangkan
dirinya (self actualization) sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Jadi jika
seseorang memiliki keinginan untuk maju (self actualization), maka keinginan itu
perlu diungkapkan atau dikomunikasikan, apakah itu secara terang-terangan atau
terselubung, agar orang lain dapat mengetahuinya (self disclose). Keinginan untuk
Menampakkan self disclose merupakan jendela atau etalase yang dibuat untuk
memperlihatkan diri.
2.2.2.2Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri terjadi lebih lancar dalam situasi-situasi tertentu,
berikut beberapa faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri:
a. Besar Kelompok
Pengungkapan diri lebih banyak terjadi dalam kelompok kecil daripada
kelompok besar. Diad (kelompok yang terdiri atas dua orang) merupakan
lingkungan yang paling cocok untuk pengungkapan diri. Dengan satu pendengar,
pihak yang melakukan pengungkapan diri dapat meresapi tanggapan dengan
cermat. Orang dapat memantau pengungkapan diri ini, meneruskannya apabila
situasi mendukung atau menghentikannya jika situasi tidak mendukung. Bila ada
lebih dari satu orang pendengar, pemantauan akan lebih sulit dilakukan karena
tanggapan yang muncul pasti akan berbeda dari setiap orang.
b. Perasaan Menyukai
Kita membuka diri kepada orang-orang yang kita sukai atau cintai, dan
Universitas Sumatera Utara
1987). Ini tidak mengherankan karena orang yang kita sukai (dan barangkali
menyukai kita) akan bersikap mendukung dan positif. Kita juga membuka diri
lebih banyak kepada orang yang kita percayai (Wheels dan Grotz, 1977).
c. Efek Diadik
Kita melakukan pengungkapan diri bila orang yang bersama kita juga
melakukan pengungkapan diri. Efek diadik ini barangkali membuat kita merasa
lebih aman dan nyatanya memperkuat perilaku pengungkapan diri kita sendiri.
d. Kompetensi
Orang yang kompeten lebih banyak melakukan pengungkapan diri
daripada yang kurang kompeten. Orang yang kompeten barangkali memiliki lebih
banyak hal positif tentang diri mereka sendiri untuk diungkapkan daripada orang
yang tidak kompeten (James McCroskey dan Lawrence, 1976).
e. Kepribadian
Orang-orang yang pandai bergaul (sociable) dan ekstrovert melakukan
pengungkapan diri lebih banyak daripada mereka yang kurang pandai bergaul.
Perasaan gelisah juga mempengaruhi derajat pengungkapan diri. Rasa gelisah ada
kalanya meningkatkan pengungkapan diri namun bisa juga menguranginya hingga
batas minimum. Orang yang kurang berani berbicara pada umumnya juga kurang
mengungkapkan diri dibandingkan mereka yang merasa lebih nyaman dalam
berkomunikasi.
f. Topik
Kita lebih cenderung membuka diri tentang topik tertentu. Sebagai contoh,
kita lebih mungkin mengungkapkan hal-hal yang baik dibandingkan hal yang
kurang baik. Umumnya, makin pribadi dan negatif suatu topik, makin kecil
Universitas Sumatera Utara g. Jenis Kelamin
Faktor terpenting yang mempengaruhi pengungkapan diri adalah jenis
kelamin. Umumnya, pria lebih kurang terbuka ketimbang wanita. Judy Person
(1980) berpendapat bahwa peran seks (sex role) dan bukan jenis kelamin dalam
arti biologis yang menyebabkan perbedaan dalam hal pengungkapan diri.
2.2.2.3Bahaya Pengungkapan Diri
Banyaknya manfaat pengungkapan diri jangan sampai membuat kita buta
terhadap resiko-resikonya (Bochner, 1984). Berikut ini adalah beberapa bahaya
utamanya:
a. Penolakan Pribadi dan Sosial
Biasanya kita melakukan pengungkapan diri kepada orang yang kita
percaya dan kita anggap akan mendukung kita. Namun mungkin saja orang
tersebut melakukan penolakan terhadap beberapa hal, seperti misalnya orangtua
akan menolak jika ternyata anaknya berniat untuk menikah dengan orang yang
berbeda agama.
b. Kerugian Material
Adakalanya pengungkapan diri mengakibatkan kerugian
material.Misalnya dalam dunia bisnis, pengungkapan diri mengenai
ketergantungan terhadap alkohol seringkali diikuti dengan pemecatan.
c. Kesulitan Intrapribadi
Bila reaksi dari orang lain tidak seperti yang kita duga dan harapkan,
seseorang akan mengalami kesulitan intrapribadi. Tidak seorang pun senang
ditolak, mereka yang egonya rapuh perlu memikirkan kerusakan yang dapat
disebabkan oleh penolakan semacam ini.
Pengungkapan diri, seperti bentuk komunikasi yang lain bersifat tidak
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat ditarik kembali. Kita juga tidak dapat menghapus kesimpulan yang
ditarik oleh pendengar berdasarkan pengungkapan diri kita.
2.2.2.4Pedoman Untuk Pengungkapan Diri
Dalam proses pengungkapan diri, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain sebagai berikut:
a. Motivasi Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap
hubungan, orang lain yang terlibat, juga diri sendiri. Pengungkapan diri tidak
boleh digunakan untuk menyakiti orang lain dan menghukum diri sendiri.
Pengungkapan diri hendaknya bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat.
b. Kepatutan Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri harus sesuai dengan lingkungan dan hubungan antara
pembicara dan pendengar. Umumnya semakin pribadi suatu pengungkapan diri,
dibutuhkan hubungan yang semakin dekat. Barangkali sebaiknya kita tidak
mengungkapkan sesuatu yang bersifat terlalu pribadi kepada orang yang tidak
terlalu akrab dengan kita khususnya menyangkut pengungkapan diri yang bersifat
negatif.
c. Pengungkapan Diri Orang Lain
Selama pengungkapan diri kita, berikan lawan bicara kesempatan untuk
dapat juga melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Apabila lawan bicara kita
tidak melakukan pengungkapan diri seperti yang kita lakukan, mungkin hal ini
merupakan isyarat bahwa orang tersebut tidak menyambut baik pengungkapan
diri kita. Kita harus melakukan pengungkapan diri secara bertahap, karena apabila
Universitas Sumatera Utara d. Beban yang Mungkin Ditimbulkan Pengungkapan Diri
Kita harus dapat mempertimbangkan dengan cermat resiko ataupun
kesulitan yang mungkin akan terjadi setelah pengungkapan diri.
2.2.2.5Tingkatan Dalam Pengungkapan Diri
Dalam proses hubungan antarpribadi, terdapat tingkatan-tingkatan yang
berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut Powell (dalam Dayaksini, 2003: 89)
tingkatan-tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi yaitu:
1. Basa-basi: merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau
dangkal, walaupun terdapat keterbukaan di antara individu, tetapi tidak
terjadi hubungan antarpribadi. Masing-masing individu berkomunikasi
basa-basi sekedar kesopanan.
2. Membicarakan orang lain: yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah
tentang orang lain atau hal-hal di luar dirinya walaupun pada tingkat ini
isi komunikasi lebih mendalam, tetapi individu tidak mengungkapkan
diri.
3. Menyatakan gagasan atau pendapat: setiap individu dapat memiliki
gagasan atau pendapat yang sama, tetapi perasaan atau emosi yang
menyertai gagasan setiap individu berbeda-beda. Setiap hubungan harus
didasarkan atas kejujuran, keterbukaan, dan penyataan perasaan-perasaan
yang mendalam.
4. Hubungan puncak: pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam,
individu yang menjalin hubungan antarpribadi dapat menghayati perasaan
yang dialami oleh individu lain. Segala persahabatan yang mendalam dan
sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang
Universitas Sumatera Utara 2.2.2.6Manfaat Pengungkapan Diri
a. Pengetahuan Diri
Salah satu manfaat pengungkapan diri adalah kita mendapatkan perspektif
baru tentang diri sendiri dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku
kita sendiri.
b. Kemampuan Mengatasi Kesulitan
Kita akan lebih mampu menanggulangi masalah atau kesulitan kita,
khususnya perasaan bersalah. Salah satu perasaan takut yang besar yang ada pada
diri banyak orang adalah bahwa mereka tidak diterima lingkungan karena suatu
rahasia tertentu, sesuatu yang pernah mereka lakukan atau perasaan, dan sikap
tertentu yang mereka miliki. Karena kita percaya bahwa hal-hal ini merupakan
dasar penolakan, kita membangun rasa bersalah. Dengan mengungkapkan
perasaan seperti itu dan menerima dukungan, kita menjadi lebih siap untuk
mengatasi perasaan bersalah dan barangkali mengurangi atau menghilangkannya.
Bahkan penerimaan diri menjadi sulit tanpa pengungkapan diri. Kita
menerima diri kita sebagian besar melalui kacamata orang lain. Jika kita merasa
orang lain menolak kita, kita cenderung menolak diri sendiri juga. Melalui
pengungkapan diri dan dukungan yang datang, kita menemukan diri sendiri dalam
posisi yang lebih baik untuk menangkap tanggapan positif kepada kita, dan kita
akan lebih mungkin memberikan reaksi dengan mengembangkan konsep diri yang
positif.
c. Efisiensi Komunikasi
Pengungkapan diri akan memperbaiki komunikasi karena kita akan
berusaha memahami pesan-pesan dari orang lain sejauh kita memahami orang lain
secara individual. Kita dapat lebih memahami apa yang dikatakan seseorang jika
kita mengenal baik orang tersebut. Kita dapat mengenal apa makna nuansa-nuansa
tertentu, bila orang itu sedang bersikap serius dan bila ia sedang bercanda dan bila
ia menjadi sarkatis atau marah. Pengungkapan diri adalah kondisi yang penting
Universitas Sumatera Utara d. Kedalaman Hubungan
Barangkali alasan utama pentingnya pengungkapan diri adalah bahwa ini
perlu untuk membina hubungan yang bermakna di antara dua orang. Tanpa
pengungkapan diri, hubungan yang bermakna dan mendalam tidak mungkin
terjadi. Dengan pengungkapan diri berarti kita memberi tahu orang lain bahwa
kita mempercayai, menghargai dan peduli terhadap mereka.
Menurut Johnson, 1981 (dalam Supratiknya, 2009: 15-16), beberapa
manfaat dan dampak pembukaan diri (self disclosure) terhadap hubungan antar
pribadi adalah sebagai berikut:
1. Self disclosure merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua
orang.
2. Semakin kita bersikap terbuka kepada orang lain, semakin orang lain
tersebut akan menyukai diri kita. Akibatnya ia akan membuka diri kepada
kita.
3. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung
memiliki sifat-sifat seperti, kompeten, ekstrovert, fleksibel, adaptif dan
inteligen.
4. Membuka diri kepada orang lain merupakan dasar relasi
yangmemungkinkan komunikasi intim baik dengan diri kita sendiri
maupundengan oranglain.
5. Membuka diri berarti bersifat realistik. Selain membuka diri kepada orang
lain, kita pun harus membuka diri bagi orang lain agar dapat menjalin relasi
yang baik dengannya. Terbuka bagi orang lain berarti menunjukkan bahwa
kita menaruh perhatian pada perasaannya terhadap kata-kata atau perbuatan
kita. Artinya, kita menerima pembukaan dirinya. Kita rela atau mau
mendengarkan reaksi atau tanggapannya terhadap situasi yang sedang
dihadapinya kini maupun terhadap kata-kata dan perbuatan kita(Johnson,
1981 dalam Supratiknya, 2009:16).
Meskipun self disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun
Universitas Sumatera Utara
apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan
menghasilkan efek positif bagi hubungan kita dengan orang tersebut. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan yang ekstrim akan memberikan efek
negatif terhadap hubungan. Seperti dikemukakan oleh Shirley Gilbert (dalam
Sendjaja, 2005: 2.42) bahwa kepuasan dalam hubungan dan disclosure memiliki
hubungan kurvalinier, yaitu tingkat kepuasan mencapai titik tertinggi pada tingkat
disclosure yang sedang (moderate).
Ada berbagai keuntungan dalam melakukan self disclosure(Devito,
2007:68), keuntungan dari self disclosure adalah:
1. Pemahaman tentang diri, salah satu keuntungan dari self disclosure
adalah mendapatkan perspektif yang baru tentang diri, sebuah pemahaman
yang dalam tentang diri.
2. Komunikasi dan Hubungan yang efektif, memahami pesan orang lain secara lebih luas dapat melebarkan pemahaman tentang orang lain, self
disclosure adalah suatu keadaan untuk saling memahami.
3. Kesehatan Psikologi, dengan melakukan self disclosure berarti belajar bagaimana berbagi informasi dengan orang lain tentang berbagai
permasalahan dan bagaimana untuk mengatasi masalah tersebut.
2.2.3 Komunikasi Keluarga
2.2.3.1Pengertian Komunikasi Keluarga
Dalam pengertian psikologis menurut Soleman (dalam Gunarsa, 2003: 10)
keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal
bersama, dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga
terjadi saling mempengaruhi, dan saling memperhatikan.
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia
dimana ia belajar dan menyatakam diri sebagai manusia sosial dalam interaksi
dengan kelompoknya. Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi
merupakan sesuatu yang harus dibina sehingga anggota keluarga merasakan
Universitas Sumatera Utara
kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat, yang terbentuk dari
hubungan laki-laki dan perempuan untuk menciptakan dan membesarkan
anak-anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri
dari ayah, ibu, dan anak-anak.
Dilihat dari pengertian di atas bahwa kata-kata, sikap tubuh, intonasi suara
dan tindakan, mengandung maksud mengajarkan, mempengaruhi dan memberikan
pengertian. Sedangkan tujuan pokok dari komunikasi ini adalah memprakarsaidan
memelihara interaksi antara satu anggota dengan anggota lainnya sehingga
tercipta komunikasi yang efektif.
Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah
keluarga, yang merupakan cara seorang anggota keluarga untuk berinteraksi
dengan anggota lainnya sekaligus sebagai wadah dalam membentuk dan
mengembangkan nilai-nilai yang dibutuhkan sebagai pegangan hidup. Agar
komunikasi dan hubungan timbal balik dapat terpelihara dengan baik, maka
hubungan timbal balik dalam keluarga harus mengembangkan ikatan yang sangat
kuat (dalam Gunarsa, 2002: 13) sebagai berikut:
a. Hubungan suami-istri berdasarkan cinta kasih.
b. Hubungan orangtua dengan anak didasarkan kasih sayang.
c. Hubungan orangtua dengan anak remaja berdasarkan rasa sabar.
d. Hubungan antara anak didasarkan atas kasih sesama.
e. Komunikasi dalam keluarga akan memberikan rasa aman dan bahagia bila
berlandaskan kasih sayang.
Setiap individu dilahirkan, tumbuh dan berkembang di dalam keluarga.
Peranan individu ditentukan adat istiadat, norma-norma dan nilai-nilai serta
bahasa yang ada pada keluarga itu melalui proses sosialisasi dan internalisasi.
Keluarga merupakan kelompok perantara pertama yang mengenalkan nilai-nilai
budaya kepada si anak. Di sinilah anak mengalami hubungan sosial dan disiplin
Universitas Sumatera Utara
Menurut Koentjaraningrat (dalam Posman, 1998: 61), fungsi pokok
keluarga ada dua, yaitu:
a. Sebagai kelompok dimana individu pada dasarnya dapat menikmati
bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya.
b. Sebagai kelompok dimana individu mendapat pengasuhan permulaan dari
pendidikannya.
Perlu disadari bahwa ada banyak jenis keluarga. Ada keluarga kecil dan
besar, keluarga miskin dan kaya, keluarga di desa dan di kota, keluarga yang
harmonis dan kurang harmonis, dan seterusnya. Banyak hal yang didapat seorang
anak sebagai anggota keluarga, yaitu sebagai berikut:
a. Keagamaan: keluarga harus mampu menjadi wahana yang pertama dan
utama untuk membawa seluruh anggotanya melaksanakan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
b. Kebudayaan: keluarga dikembangkan menjadi wahana untuk melestarikan
budaya nasional yang luhur dan bermartabat.
c. Kasih sayang: keluarga dikembangkan menjadi pertama dan utama untuk
menumbuhkan rasa kasih sayang sesama anggotanya.
d. Perlindungan: keluarga dikembangkan menjadi pelindung yang utama dan
kokoh dalam memberikan kebenaran dan keteladanan kepada anak-anak.
e. Reproduksi: keluarga menjadi pengatur dan pembina reproduksi keturunan
secara sehat dan berencana, sehingga anak berkualitas prima.
f. Pendidikan: keluarga sebagai tokoh dan guru yang pertama dan utama
dalam mengantarkan anak-anak untuk mandiri dan menjadi panutan.
g. Ekonomi: keluarga menyiapkan dirinya untuk menjadi suatu unit yang
mandiri dan sanggup meningkatkan kesejahteraan baik lahir maupun batin.
h. Pemeliharaan lingkungan: keluarga siap dan sanggup untuk memelihara
kelestarian lingkungannya guna memberikan yang terbaik kepada generasi
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan
membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Juga siap menyelesaikan
masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam
kesabaran, kejujuran serta keterbukaan. Dengan adanya komunikasi,
permasalahan yang terjadi dalam keluarga dapat dibicarakan dan dicari solusi
terbaiknya. Suasana kekeluargaan dan kelancaran berkomunikasi antara anggota
keluarga dapat tercapai apabila setiap anggota keluarga menyadari dan
menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing sambil menikmati haknya
sebagai anggota keluarga (Gunarsa, 2002: 13).
Terlihat dengan jelas bahwa dalam keluarga adalah pasti membicarakan
hal-hal yang terjadi pada setiap individu, komunikasi yang dijalin merupakan
komunikasiyang dapat memberikan suatu hal yang dapat diberikan kepada setiap
anggota keluarga lainnya. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi
diantara anggota keluarga dapat dibicarakan dengan mengambil solusi terbaik.
2.2.3.2Pola Komunikasi Keluarga
Banyak teori mengenai komunikasi keluarga yang menyatakan bahwa
anggotakeluarga menjalankan pola interaksi yang sama secara terus menerus. Pola
ini bisa negatif ataupun positif, tergantung dari sudut pandang dan akibat yang
diterima anggota keluarga. Keluarga membuat persetujuan mengenai apa yang
boleh dan yang tidak boleh dikomunikasikan dan bagaimana isi dari komunikasi
itu di interpretasikan. Keluarga juga menciptakan peraturan kapan bisa
berkomunikasi, seperti tidak boleh bicara bila orang sedang mencoba tidur, dan
sebagainya. Semua peraturan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dikomunikasikan melalui cara yang sama secara terus menerus sehingga
membentuk suatu pola komunikasi keluarga.
Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga bisa dinyatakan langsung
ataupun hanya disimpulkan dari tingkah laku dan perlakuan yang terjadi dalam
keluarga tersebut. Keluarga perlu mengembangkan kesadaran dari pola interaksi
Universitas Sumatera Utara
dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga, apakah pola itu membantu dalam
menjaga kesehatan dan fungsi dari keluarga itu sendiri, atau malah merusak
keutuhan keluarga. Kesadaran akan pola itu dapat dibedakan antara keluarga yang
sehat dan bahagiadengan keluarga yang dangkal dan bermasalah.
Pola-pola komunikasi yang lebih kompleks berkembang pada waktu si
anak mulai tumbuh dan menempatkan diri ke dalam peranan orang lain. “Menurut
Hoselitz, dengan menempatkan pribadi ke dalam peranan orang lain maka si anak
juga belajar menyesuaikan diri (conform) dengan harapan orang lain” (Liliweri,
1997: 45).
Berdasarkan pandangan Klinger dan Gillin yang dikutip Soekanto, maka
kita dapat mengetahui bahwa setiap proses komunikasi didorong oleh
faktor-faktor tertentu. Misalnya pada waktu bayi menangis, tangisan itu mempengaruhi
ibu sehingga sang ibu segera datang membawa botol susu. Sang bayi mulai
belajar dari pengalamannya bahwa setiap tangisan merupakan tanda (sign) yang
selalu dapat digunakan untuk menyatakan kebutuhan makan dan minum (Liliweri,
1997: 45).
Hubungan dengan anggota keluarga, menjadi landasan sikap terhadap
orang, benda, dan kehidupan secara umum. Mereka juga meletakkan landasan
bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka sebagaimana
dilakukan anggota keluarga mereka. Akibatnya mereka belajar menyesuaikan
pada kehidupan atas dasar landasan yang diletakkan ketika lingkungan untuk
sebagian besar terbatas pada rumah.
Dengan meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya
dan orang dewasa di luar rumah, landasan awal ini, yang diletakkan di rumah,
mungkin berubah dan dimodifikasi, namun tidak pernah akan hilang sama sekali.
Sebaliknya, landasan ini mempengaruhi pola sikap dan perilaku di kemudian hari.
C. H. Cooley (dalam Daryanto, 1984: 64) berpendapat bahwa keluarga
sebagai kelompok primer, tiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat
digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam
kelompok. Anggota-anggota sebuah keluarga, suami isteri dan anak-anaknya
Universitas Sumatera Utara
mereka menunjukkan pola yang jelas dan tetap. Status anggota-anggota keluarga
ini sedemikian pentingnya, sehingga bila salah seorang anggota keluarga keluar
dari ikatan atau hubungan keluarga, maka anggota-anggota yang lain akan
merasakan sesuatu yang kurang menyenangkan dalam hatinya, di samping itu
pola relasi di dalam keluarga itu akan berubah. Tiap anggota keluarga merupakan
kepribadian yang khas dan diperlukan sama oleh anggota-anggota yang lain.
“Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di
dalamkeluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer
merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai,
dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia untuk
kehidupan sosial” (Daryanto, 1984: 64). Selain itu, kelompok primer bersifat
fundamental karena membentuk titik pusat utama untuk memenuhi
kepuasan-kepuasan sosial, seperti mendapat kasih sayang atau afeksi, keamanan dan
kesejahteraan, dan semuanya itudiwujudkan melalui komunikasi yang dilakukan
terus menerus dan membentuk sebuah pola.
Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1986)
mengungkapkan empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu:
1. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)
Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara
merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga adalah
sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas
mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan
dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi
pada hubungan interpersona lainnya. Dalam pola ini tidak ada pemimpin dan
pengikut, pemberi pendapat dan pencari pendapat, tiap orang memainkan peran
yang sama. Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui
intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah
laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap
orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, baik yang
Universitas Sumatera Utara
mana yang akan dimasuki anak-anak, membeli rumah, dan sebagainya. Konflik
yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisa.
Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi
sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan
persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Bila model
komunikasi dari pola ini digambarkan, anak panah yang menandakan pesan
individual akan sama jumlahnya, yang berarti komunikasi berjalan secara timbal
balik dan seimbang.
2. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern)
Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini
tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing.
Tiaporang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang berbeda. Sebagai contoh,
dalamkeluarga biasa, suami dipercaya untuk bekerja/mencari nafkah untuk
keluarga dan istri mengurus anak dan memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua
anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni,
dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak
dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri.
Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang atau kalah.
Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan
bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak
ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki
wilayahnya sendiri-sendiri.
3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern)
Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli
lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang
mendominasi ini sering memegang kontrol. Dalam beberapa kasus, orang yang
mendominasi ini lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, namun dalam kasus lain
orang itu secara fisik lebih menarikatau berpenghasilan lebih besar. Pihak yang
Universitas Sumatera Utara
membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil
keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas,
memberi tahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas,
memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang
lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar
meyakinkan pihaklain akan kehebatanargumennya. Sebaliknya, pihak yang lain
bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam
mengambil keputusan.
4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)
Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini lebih bersifat
memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan
umpan balik orang lain. Pemegang kekuasaan tidak pernah meminta pendapat,
dan ia berhak atas keputusan akhir. Maka jarang terjadi perdebatan karena semua
sudah mengetahui siapa yang akan menang. Dengan jarang terjadi perdebatan
itulah maka bila ada konflik masing-masing tidak tahu bagaimana mencari solusi
bersama secara baik-baik. Mereka tidak tahu bagaimana mengeluarkan pendapat
atau mengungkapkan ketidaksetujuan secara benar, maka perdebatan akan
menyakiti pihak yang dimonopoli. Pihak yang dimonopoli meminta ijin dan
pendapat dari pemegang kuasa untuk mengambil keputusan, seperti halnya
hubungan orang tua ke anak. Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan
perannya tersebut dengan cara menyuruh,membimbing, dan menjaga pihak lain,
sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya
dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung
konsekuensi dari keputusan itu sama sekali.
2.2.3.3Cara Efektif Berkomunikasi dengan Anak
Dalam komunikasi keluarga, ibu dituntut untuk lebih sering
berkomunikasi dengan anak. Hal ini dikarenakan ibu dan anak memiliki
kedekatan yang lebih intim, bahkan ketika anak masih berada dalam kandungan.
Universitas Sumatera Utara
berkembangnya janin di dalam rahim ibu. Untuk dapat menciptakan komunikasi
yang efektif dan dapat membentuk keterbukaan diri anak, para ibu perlu
memperhatikan beberapa cara. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:
a. Seni mendengarkan
Komunikasi sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata.
Komunikasi adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks:
bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Seni
mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan
mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya
kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan,
komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang
terjadi atau yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang
sangat minimal.
b. Fokuskan perhatian pada anak
Pada saat anak mencoba mengatakan sesuatu, berilah perhatian sepenuhnya
pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengalihkan
perhatian sejenak dari film atau sinetron yang sedang ditonton, majalah,
koran, atau dari pekerjaan yang sedang dihadapi. Tataplah langsung di
matanya sambil memberi kesan bahwa kita benar-benar siap
memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita.
c. Mengulang cerita anak untuk menyamakan pengertian
Tahanlah diri untuk tidak menginterupsi ceritanya sampai anak selesai
bercerita. Ketika anak selesai bercerita, cobalah memberikan kesimpulan
berdasarkan hasil tangkapan kita terhadap ceritanya. Pola ini memberikan
feedback bagi orangtua dan anak, apakah kita benar-benar telah memahami
apa yang diceritakan atau apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh
Universitas Sumatera Utara d. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang
dihadapi
Orangtua jangan terlalu cepat memberikan penilaian subyektif kepada
anak. Karena hal itu bisa membuat anak menarik diri untuk tidak lebih
lanjut menceritakan perasaan yang sebenarnya.
e. Bantu anak mendefinisikan perasaan
Mendengarkan sepenuhnya cerita pengalaman anak, baik itu menyedihkan
dan menyenangkan, membuat Ibu dapat berbagi rasa dengan anak dan anak
pun akan merasa Ibu menghargainya. Anak akan biasa bersikap terbuka
karena yakin Ibu pasti bersedia mendengarkan mereka. Jika anak masih
sulit mengidentifikasi perasaan mereka, bantulah dengan mendengarkan
cerita mereka bersungguh-sungguh.
f. Bertanya
Hindari sikap memaksakan pendapat, cara atau penilaian orangtua,
alangkah lebih baik jika orangtua membimbing mereka dengan
pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang
dialami, teman yang dihadapi, perasaan yang mereka rasakan serta sikap,
tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.
g. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berfikir positif
Jika anak masih diliputi emosi yang memuncak hingga membuatnya sulit
berbicara, orangtua jangan memaksakan anak untuk segara bicara. Kita
tidak akan berhasil membuatnya bercerita dan kita pun makin tidak sabar
untuk memberikan opini kita padanya. Konflik seringkali terjadi dan ini
menyebabkan memburuknya hubungan orangtua anak. Berikan waktu
untuk menyendiri sampai intensitas perasaannya mereda. Ketika emosinya
mereda, anak akan lebih siap untuk diajak bicara. Sekali lagi, berusahalah
untuk tidak memberikan opini kita pribadi, baik terhadap pilihan sikapnya,
emosinya, dan tindakannya. Tanyakan pemikiran mereka terhadap masalah
ini dan bagaimana kira-kira sikap yang sebaiknya mereka lakukan di
kemudian hari. Sikap ini tidak saja menghindarkan anak dari perasaan
Universitas Sumatera Utara
kejadian/peristiwa itu secara obyektif serta menemukan nilai atau pelajaran
berharga yang dapat dipetik dari kejadian itu.
2.2.4 Komunikasi yang Efektif
2.2.4.1Pengertian Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif yaitu komunikasi yang mampu menghasilkan
perubahan sikap (attitude change) pada orang lain yang bisa terlihat dalam proses
komunikasi. Tujuan dari komunikasi efektif sebenarnya adalah memberikan
kemudahan dalam memahami pesan yang disampaikan antara pemberi informasi
dan penerima informasi sehingga bahasa yang digunakan oleh pemberi informasi
lebih jelas dan lengkap, serta dapat dimengerti dan dipahami dengan baik oleh
penerima informasi, atau komunikan. Tujuan lain dari komunikasi efektif adalah
agar pengiriman informasi dan umpan balik atau feedback dapat seimbang
sehingga tidak terjadi monoton. Selain itu komunikasi efektif dapat melatih
penggunaan bahasa non verbal secara baik.
Menurut Mc. Crosky Larson dan Knapp mengatakan bahwa komunikasi
yang efektif dapat dicapai dengan mengusahakan ketepatan (accuracy) yang
paling tinggi derajatnya antara komunikator dan komunikan dalam setiap
komunikasi. Komunikasi yang lebih efektif terjadi apabila komunikator dan
komunikan terdapat persamaan dalam pengertian, sikap, dan bahasa. Komunikasi
dapat dikatakan efektif apabila komunikasi yang dilakukan dimana:
1. Pesan dapat diterima dan dimengerti serta dipahami sebagaimana yang
dimaksud oleh pengirimnya.
2. Pesan yang disampaikan oleh pengirim dapat disetujui oleh penerima dan
ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminati oleh pengirim.
3. Tidak ada hambatan yang berarti untuk melakukan apa yang seharusnya
dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim.
Komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss
(dalam Rakhmat, 2004: 13-16) paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian,
Universitas Sumatera Utara a. Pengertian
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang
dimaksud oleh komunikator. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat
disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in
communication). Perlu pemahaman mengenai psikologi pesan dan
psikologi komunikator untuk menghindari hal tersebut.
b. Kesenangan
Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan
membentuk pengertian. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita
hangat, akrab, dan menyenangkan. Dalam hal ini kita perlu mempelajari
psikologi tentang sistem komunikasi interpersonal
c. Mempengaruhi sikap
Komunikasi untuk mempengaruhi orang lain yaitu komunikasi persuasif
sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang
denganmenggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut
bertindak seperti atas kehendaknya sendiri.
d. Hubungan sosisal yang baik
Komunikasi untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia
adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kebutuhan sosial
adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan
yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi
(inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control), dan cinta serta kasih
sayang (affection).
e. Tindakan
Komunikasi untuk mempengaruhi sikap. Persuasi juga ditujukan untuk
melahirkan tindakan yang dihendaki. Menimbulkan tindakan, kita harus
berhasil lebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah
sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik.
Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling
penting karena untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil dahulu
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang baik. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi.
Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis
yang terlibat dalam proses komunikasi tetapi juga faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku manusia (Fajar, 2009: 9).
Fungsi dari komunikasi sangat berkaitan dengan satu sama lain meskipun
terdapat suatu fungsi yang dominan yang terbagi atas 4 bagian (Fajar, 2009:
10-11), yaitu:
1. Komunikasi Sosial
Komunikasi sebagai komunikasi sosial sangat penting untuk membangun
konsep diri kita. Aktualisasi untuk kelangsungan hidup untuk memperoleh
keberhasilan. Orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia bisa
dibuktikan akan tersesat karena tidak dapat menata dirinya dalam satu
lingkungan sosial. Komunikasiyang memungkinkan mempelajari dan
menerapkan strategi-strategi adaptif atau situasi yang problematic.
2. Komunikasi Ekspresif
Sangat berkaitan dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif
yang dapat dilakukan baik sendirian atau dalam kelompok. Komunikasi
tersebut menjadi alat untuk menyampaikan perasaan-perasaan kita.
Perasaan-perasaan tersebut dapat diungkapkan melalui
musik/lukisan/tarian.
3. Komunikasi Ritual
Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual yang
biasanya dilakukan secara kolektif, suatu komunitas sering melakukan
upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup yang
disebut para antropologis.
4. Komunikasi Instrumental
Komunikasi berfungsi sebagai instument untuk mencapai tujuan-tujuan
Universitas Sumatera Utara 2.2.4.2Hambatan dalam Komunikasi Efektif
Tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi efektif. Bahkan beberapa
ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkinlah seseorang melakukan
komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada banyak hambatan yang bisa
merusak komunikasi berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan hambatan
komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi komunikator kalau ingin sukses
komunikasinya (Efendy, 2003: 45-49).
1. Ganguan
a. Ganguan mekanik (mechanical, channel noise).
b. Gangguan semantik (semantik noise).
2. Kepentingan
3. Motivasi terpendam
4. Prasangka
Komunikasi disebut efektif apabila penerima menginterpestasikan pesan
yang diterimanya sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengirim. Kenyataannya,
sering kita gagal saling memahami. Sumber utama kesalahfahaman dalam
komunikasi adalah cara penerima menangkap makna suatu pesan berbeda
yangdimaksud oleh pengirim, karena pengirim gagal mengkomunikasikan
maksudnya dengan tepat. Kegagalan dalam komunikasi yang timbul karena
adanya kesenjanganantara apa yang sebenarnya dimaksud pengirim dengan apa
yang oleh penerima diduga dimaksud oleh pengirim, menurut Johnson (dalam
Supratiknya, 2009: 34)bersumber pada sejumlah faktor berikut:
1. Sumber-sumber hambatan yang bersifat emosional dan social atau
cultural.
2. Sering kita mendengarkan dengan maksud sadar maupun tidak sadar untuk
memberikan penilaian dan menghakmi si pembicara.
3. Sering kita gagal menangkap maksud konotatif di balik ucapannya kendati
kita sepenuhnya tahu arti denotative kata-kata yang digunakan oleh
Universitas Sumatera Utara
4. Kesalahfahaman atau distorsi dalam berkomunikasi sering terjadi karena
kita tidak saling mempercayai.
Wilbur Schramm menampilkan apa yang disebut “The condition of
success in communication”, yakni kondisi yang harus dipenuhi jika kita
menginginkan agar pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki.
Berikut adalah kondisi yang ditampilkan oleh Wilbur Schramm (dalam Efendy,
2003: 41) yaitu:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat
menarik perhatian komunikan.
2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman
yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama
mengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan
menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan yang
tadi yang layak bagi situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat
ia digerakkan untuk memberkan tanggapan yang dikehendaki.
Bagaimana mengirimkan pesan secara efektif? Menurut Johnson (dalam
Supratiknya, 2009: 35) ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, kita
harus mengusahakan agar pesan-pesan yang kita kirimkan mudah dipahami.
Kedua, sebagai pengirim kita harus memiliki kredibilitas di mata penerima.
Ketiga, kita harus berusaha mendapatkan umpan balik secara optimal tentang
pengaruh pesan kita itu dalam diri penerima.Dengan kata lain, kita harus memiliki
kredibilitas dan terampil mengirimkan pesan.
Menurut teori penilaian sosial terdapat tiga faktor yang sangat berperan
menentukan apakah suatu ide atau pernyataan akan masuk kedalam wilayah
penerimaan atau penolakan yaitu sebagai berikut. 1) Krediblitas narasumber. 2)
Universitas Sumatera Utara 2.2.5 Commuter Marriage
2.2.5.1Definisi Commuter Marriage
Melalui proses perkawinan, maka seorang individu membentuk sebuah
lembaga sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah,
kemudian terdapat peran dan status sosial baru sebagai suami atau istri, dimana
umumnya dalam keluarga yang baru terbentuk tersebut, suami dan istri tinggal
dalam satu rumah dengan anak-anak mereka. Namun, dengan berbagai alasan
terdapat keadaan dimana suatu keluarga tidak dapat tinggal satu atap, karena salah
satu pasangan harus ditugaskan di luar kota seperti, suami yang harus bekerja
misalnya di lepas pantai, atau untuk mempertahan profesi atau pekerjaan
masing-masing pasangan di kota yang berbeda. Pasangan suami istri yang dalam kurun
waktu tertentu tinggal terpisah inilah yang dapat dikatakan sebagai pasangan
commuter marriage.
Commuter sendiri berasal dari kata “Commuting” yang berarti perjalanan
yang selalu dilakukan seseorang antara satu tempat tinggal dengan tempat bekerja
atau tempat belajar. Marriage dapat diterjemahkan sebagai perkawinan yaitu
pengikatan janji nikah yang dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud
memisahkan suatu ikatan.
Dari beberapa definisi tentang commuter marriage, salah satu yang kerap
dipakai sebagai acuan adalah definisi dari Gerstel and Gross; and Crossman
(dalam Marriage and Family Encylopedia, 2009). Definisi tersebut adalah sebagai
berikut:
Commuter marriage merupakan keadaan perkawinan yang terbentu secara
sukarela dimana pasangan yang sama-sama bekerja mempertahankan dua tempat
tinggal yang berbeda lokasi geografisnya dan (pasangan tersebut) terpisah paling
tidak tiga malam per minggu selama minimal 3 bulan.
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa commuter marriage
merupakan kondisi perkawinan di mana pasangan suami istri harus tinggal
berpisah secara geografis dalam jangka waktu tertentu, perpisahan tersebut
Universitas Sumatera Utara
itu telah diputuskan oleh pasangan suami istri secara sukarela tanpa paksaan pihak
lain, bukan karena adanya masalah dalam perkawinan, seperti perceraian.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Rhodes (2002) menyatakan bahwa
commuter marriage adalah:
“Men and women in dual-career marriages who desire to stay married,
but also voluntary choose to pursue careers to which they feel a strong
commitment. They establish separate homes so they can do so”.
Terjemahan:
Pria dan wanita dalam perkawinan dual-career yang ingin tetap berada
dalam ikatan perkawinan, tetapi juga secara sukarela memilih untuk tetap berkarir
dengan komitmen yang kuat. Mereka memutuskan untuk berpisah rumah sehingga
mereka tetap bisa berkarir.
Maksud dari pengertian di atas bahwa commuter marriage adalah
pasangan suami istri yang sama-sama bekerja dan telah berkomitmen untuk tetap
menjalani karir sambil mempertahankan perkawinannya, dan memilih untuk
berpisah tempat tinggal yang merupakan konsekuensi agar mereka dapat
menjalani karirnya.
Torsina (dalam Ekasari, dkk, 2007), menyatakan bahwaCommuter
marriagemerupakan pernikahan yang karena alasan khusus
menyebabkanpasangan suami istri tidak dapat tinggal serumah. Rhodes (2002)
jugamenambahkan bahwa pasangan yang tinggaldi rumah yang berbeda juga
disebut commuter marriage. Lebih lanjut dijelaskan bahwa commuter
marriagemerupakan kondisi yang mengharuskan suami dan istri tinggal terpisah
karena berbagai alasan khusus, selain karena tuntutan pekerjaan juga dapat
disebabkan oleh tuntutan pendidikan, atau keadaan ekonomi keluarga. Jadi,
meskipun Gersteland Gross; Orton and Crossman (dalam Marriage and Family
Encyclopedia, 2009) dan Rhodes (2002) menyatakan bahwa commuter marriage
merupakan pasangan dual career, sebenarnya konsep commuter marriage
mencakup lingkup yang lebih luas; bisa pasangan dual career, bisa pasangan
Universitas Sumatera Utara
Jadi, dari beberapa definisi yang ada maka peneliti berpendapat bahwa
commuter marriageadalah kondisi perkawinan dimana pasangan suami istri secara
rela berpisah lokasi tempat tinggal dengan pasangannya karena ada suatu keadaan
tertentu, seperti menjalani pekerjaan atau menyelesaikan pendidikan, dilokasi
geografis yang berbeda dengan tempat tinggalnya sambil tetap mempertahankan
perkawinan mereka. Kondisi commuter marriage tersebut telah disepakati
masing-masing pasangan perkawinan.
2.2.5.2Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Commuter Marriage
Ada beberapa faktor utama yg mempengaruhi terjadinya commuter
marriagemenurut Anderson (1992), yaitu sebagai berikut:
a. Meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita, dengan banyaknya wanita yang
memilih untuk bekerja maka semakin banyak juga pasangan yang menikah
yang menjalani commuter marriage.
b. Meningkatnya jumlah pasangan yang sama-sama bekerja. Pada saat ini
sudah banyak pasangan suami istri yang sama-sama bekerja. Entah
disebabkan karena tuntuan ekonomi atau gaya hidup, yang meningkatkan
kemungkinan keluarga menjalani keadaan commuter.
c. Meningkatnya jumlah wanita yang mencari karir dengan training khusus,
yang mana mengharuskan mereka untuk tinggal dikota yang berbeda
dengan pasangannya.
d. Faktor lain yang juga mempengaruhi commuter marriage adalah pekerjaan
yang menuntut orang untuk berpindah-pindah lokasi geografis mereka
harus berpisah dengan pasangannya untuk sementara waktu. Misalnya,
salah satu pasangan dituntut untuk bekerja diluar kota untuk sementara
waktu dan sementara pasangannya tetap tinggal untuk menjaga anak-anak.
Selain faktor yang telah dikemukakan diatas, Mardien & Prihantina (dalam
Ekasari, dkk, 2007), juga menjelaskan beberapa faktor penyebab terbentuknya
Universitas Sumatera Utara
1. Karir dan pekerjaan. Tuntutan studi dan karir tidak jarang membuat suami
istri terpisah oleh jarak. Misalnya istri tidak bisa tinggal bersama dengan
suami yang bertugas atau menjalani pendidikan dikota berbeda untuk
kurun waktu tertentu, karena harus menjaga anak-anak yang masih
sekolah.
2. Tuntutan ekonomi dan pola hidup. Misalnya, untuk individu yang hendak
meningkatkan perekonomian keluarga dengan menjadi tenaga kerja di luar
negeri.
3. Penolakan hidup bersama, yaitu istri menolak untuk pindah
mengikutisuami dengan berbagai alasan, seperti; suami belum memiliki
tempattinggal sendiri, menunggu harta orangtuaatau keluarga, atau
menjagaorangtua yang kondisi kesehatanya kurang baik.
2.2.5.3 Jenis-jenis Commuter Marriage
Berikut terdapat beberapa jenis commuter marriage. Menurut Harriett
Gross (dalam Marriage and Family Encyclopedia, 2009), ada dua tipe dari
pasangan commuter marriage, yaitu:
1. Pasanganadjusting, yaitu pasangan suami istri yang usiaperkawinnanya
cenderung lebih muda, menjalanicommuter marriagedi awal pernikahan,
dan memilikisedikit atau tidak ada anak.
2. Pasanganestablished, yaitu pasangan suami istri yangusiaperkawinannya
lebih tua, telah lama bersama dalam perkawinan danmemiliki anak yang
sudah dewasa yang telah keluar dari rumah.
Pasanganestablishedcenderung lebih sedikit mengalami stres
dalamcommuter marriagedaripada pasanganadjusting. Kondisi ini disebabkan
olehperbedaan dalam hal dominasi masalah perkawinan. Kepercayaan menjadi
masalah yanglebih besar bagi pasanganadjusting, sementara mempertahankan
kenikmatandalam hubungan menjadi masalah utama pasanganestablished.
Dalam pernyataan diatas telah disebutkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
mengalamikecemasan yang lebih besar ketika mereka akan tinggal terpisah di
kota yang berbeda, dan memandang bahwa keadaan tersebut akan membahayakan
keutuhan perkawinan mereka. Begitu juga halnya dengan kepercayaan, yang
menjadi masalah besar bagi pasangan adjusting. Hal ini disebabkan karena
pasangan ini menjalani commuter marriagedi tahap awal perkawinan, di mana di
antara mereka belum tercipta keyakinan sepenuhnya. Akibatnya, timbul rasa takut
kehilangan keintiman antara suami istri dalam menjalani rutinitas sehari-hari yang
baru mereka jalani.
2.2.6 Remaja
2.2.6.1Pengertian Remaja
Masa remaja yaitu beralihnya anak-anak menjadi dewasa. Masa remaja
ditandai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai
matang secara hukum. Awal masa remaja berlangsung kira-kira pada usia 13
sampai 16 tahun dan akhir masa remaja berawal pada usia 17 sampai 18 tahun
(Hurlock, 1998: 45).
Seringkali dengan gampang orang mendefinisikan remaja sebagai periode
transisi antara anak-anak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau jika
seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah
terangsang perasaannya dan sebagainya. Tetapi mendefinisikan remaja ternyata
tidak semudah itu (Sarwono, 1997: 2).
Menurut Piaget (dalam Ali dan Asrorim 2004: 90), secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyrakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada pada tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah
hak. Integrasi dalam masyarakat mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih
berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang
mencolok, dan transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja. Ini
memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang
dewasa yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode