i
HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA REMAJA DENGAN ORANG TUA DAN KECENDERUNGAN
PERILAKU BULLYING PADA REMAJA AWAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Lucia Novita Ningrum
NIM : 089114001
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv MOTTO
“Intelligence will never stop
being Beautiful”-Anonim
“The greatest pleasure in life is
doing
what people say you cannot do”
-Anonim
“Doubt kills more
dreams than failure ever will”
-Karim Seddiki
“Life is too short to worry about stupid things.
Have fun. Fall in love. Regret nothing and
don’t let people bring you down”
-Anonim
“The unhappiest people in this World
are those who care the most about
what other people think”
-C. Joybell C.
“Many
people, especially, ignorant people, want to punish you for
speaking the truth, for being correct, for being you.
Never apologize for being correct, or for being years ahead of your
time.
If you’re right and you know it, speak
your mind. Even if you are a
v
Terima Kasih
Allah Bapa di Surga yang selalu memberkati hidupku
dan menjadi sahabat setiaku
Papa dan Mama yang tanpa lelah merawat dan
membesarkan aku, selalu memberikan kasih sayang
yang tulus, doa, dan semangat untukku supaya aku
menjadi anak yang berhasil.
Mas Beni dan Dek Alex, teman berantem di rumah,
vii
HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA REMAJA DENGAN ORANG TUA DAN KECENDERUNGAN
PERILAKU BULLYING PADA REMAJA AWAL
Lucia Novita Ningrum
ABSTRAK
Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua dan kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal. Subjek dalam penelitian ini ialah siswa-siswi SMPK Santa Maria, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah dengan rentang usia 12-15 tahun. Subjek penelitian berjumlah 132 orang. Subjek yang berusia 12 tahun berjumlah 20 orang, subjek berusia 13 tahun berjumlah 43 orang, subjek berusia 14 tahun berjumlah 25 orang, dan subjek berusia 15 tahun berjumlah 44 orang. Subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 65 orang dan subjek berjenis kelamin perempuan sebanyak 67 orang. Subjek penelitian dipilih melalui teknik purposive sampling. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ialah terdapat hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua dan kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal. Metode pengumpulan data dengan menyebarkan dua skala, yaitu skala efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua dan skala kecenderungan perilaku bullying. Skala efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,883 dari 36 aitem, sedangkan skala kecenderungan perilaku bullying memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,929 dari 49 aitem. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman dikarenakan data untuk variabel kecenderungan perilaku bullying terdistribusi tidak normal. Hasil analisis data menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar -0,251 dengan taraf signifikansi 0,004 (p<0,05). Hal ini berarti menunjukkan bahwa semakin tinggi efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua, maka semakin rendah kecenderungan perilaku bullying pada remaja. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua, maka semakin tinggi kecenderungan perilaku bullying pada remaja.
viii
THE CORRELATION BETWEEN THE EFFECTIVENESS OF
INTERPERSONAL COMMUNICATION BETWEEN ADOLESCENT WITH PARENTS AND THE TENDENCY OF BULLYING IN THE EARLY
ADOLESCENT
Lucia Novita Ningrum
ABSTRACT
This correlational study aims to find out the correlation between the effectiveness of interpersonal communication between adolescent with parents and the tendency of bullying behavior in the early adolescent. The subjects in this study were students of SMPK Santa Maria, Sawangan, Muntilan, Central Java, with the range of age between 12-15 years old. The number of subjects was 132 pupils. There were 20 subjects with the age of 12 years, 43 subjects were with 13 year, 25 subjects with 14 year old, and 44 subjects were with the age 15 year old. The number of male subject was 65 and female was 67 pupils. The subjects in this study were selected by purposive sampling technique. The hypothesis in this study was that there was a relationship between the effectiveness of interpersonal communication between adolescent with parents and the tendency of bullying behavior in the early adolescent. The Methods of data collection was made by spreading two scales, they were the scale of the effectiveness of interpersonal communication between adolescent with parents and the scale of tendency of bullying behavior in the adolescent. The scale of the effectiveness of interpersonal communication between adolescent with parents had Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.883 from 36 aitems, while the tendency of bullying behavior scale had Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.929 from 49 aitems. Data analysis was performed using Spearman analysis. It was due to variable the tendency of bullying behavior that was not normally distributed. The results of data analysis showed a correlation coefficient (r) of -0.251 with a significance level of 0.004 (p<0.05). This result showed that the higher the effectiveness of interpersonal communication between adolescents with parents, the lower the tendency of bullying behaviors in adolescents. In reverse, the lower the effectiveness of interpersonal communication between adolescents with parents, the higher the tendency of bullying behaviors in adolescents.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan
penyertaanNya selama proses penulisan skripsi sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan
skripsi ini ada banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang dengan
tulus membantu penulis. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, S. Psi., M.Psi selaku Ketua Program Studi
Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan
selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah mengingatkan penulis
untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang
telah mendukung, memberi semangat, dan membimbing penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu (Alm) Dr. Christina Siwi Handayani yang telah menjadi inspirasi bagi
penulis untuk terus semangat dalam kondisi apapun juga. Tidak kenal kata
menyerah. Terima kasih ibu atas bimbingannya selama beberapa waktu
yang lalu. Semoga Ibu selalu bahagia di surga bersama Tuhan Yesus.
5. Ibu Debri Pristinella, M.Si dan Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si
selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan kritik yang
xi
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi atas ilmu yang telah diberikan kepada
penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi.
7. Segenap staf Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie, Mas
Muji, Mas Doni) atas keramahan, sapaan, senyuman, dan bantuannya
selama penulis berkuliah di Fakultas Psikologi.
8. Bapak Sutikno selaku Kepala Sekolah SMPK Santa Maria Sawangan,
Magelang, Jawa Tengah yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk
melakukan penelitian dan terimakasih atas segala kebaikan Bapak selama
penulis melakukan penelitian di sekolah tersebut.
9. Papa dan Mama terimakasih atas segenap cinta dan kasih sayang yang
selalu papa mama berikan untuk penulis. Terimakasih atas kesabaran dan
dukungannya selama ini, termasuk saat penulis menyelesaikan skripsi ini.
Aku sayang Papa Mama selalu. Semoga Tuhan Yesus selalu memberikan
berkat untuk papa mama. Amiiinn.
10. Mas Beni dan Dek Alex, semoga kita bisa selalu membahagiakan papa
mama ya . Semoga Tuhan Yesus dan doa Papa Mama selalu mengiring
langkah kita dalam mencapai kesuksesan kita.
11.Mbah Kakung, Mbah Putri, Mbah Das terimakasih sudah selalu
mendoakan penulis dan terima kasih pula untuk kasih sayang dan candaan
yang Mbah berikan untuk penulis.
12.Pakdhe dan Budhe Untung, serta Mba Sisca terima kasih banyak atas
kebaikannya yang dengan tulus membantu penulis dalam proses
xii
13.Cucu-cucu Mbah Kardiwiyono (Mas Doni, Mas Dimas, Mba Tina, Mba
Sisca, Mas Beni, Dek Alex, Dek Lina, dan Dek Heni) kompak selaluuu
yaa .
14.Skolas, Kika, Chelly, Mba Dessy makasi banyak untuk kesempatan
berdiskusi, bertukar pikiran, dan semangat.
15.Risa, Anggito, Emprit, Mbokdhe Hesti, Mba Beno, Ci Puji, Nina, Jeje,
Vincent makasi buat canda dan tawa dalam setiap cerita kalian yang selalu
memecah keheningan penulis, ceileeh..., makasi juga udah selalu memberi
semangat, dukungan, dan bantuan dengan tulus untuk penulis yaa .
Anjun, Puput, Mba Vita, Mba Putri, Ezy Koppa, Meili Markoneng, Rina,
Heny, Nopay makasiii yak untuk segala dukungan dan bantuannya ,
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ...xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN...1
A.Latar Belakang Masalah ...1
B.Rumusan Masalah ...9
C.Tujuan Penelitian ... 10
xiv
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Remaja ... 11
1. Pengertian Remaja ... 11
2. Karakteristik Perkembangan ... 12
B. Bullying ... 18
1. Pengertian Bullying ... 18
2. Komponen Perilaku Bullying ... 20
3. Bentuk-Bentuk Bullying ... 21
4. Dampak Perilaku Bullying Bagi Pelaku Bullying ... 22
5. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Bullying ... 23
C. Komunikasi Interpersonal ... 28
1. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 28
2. Motif Individu Melakukan Komunikasi ... 30
3. Fungsi dan Peran Komunikasi Interpersonal ... 32
4. Hambatan dalam Komunikasi Interpersonal ... 34
5. Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal yang Efektif .... 39
D. Dinamika Hubungan Efektivitas Komunikasi Interpersonal Remaja dengan Orang Tua dan Kecenderungan Perilaku Bullying pada Remaja ... 42
xv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49
A. Jenis Penelitian ... 49
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49
C. Definisi Operasional ... 50
D. Subjek Penelitian ... 52
E. Metode Pengambilan Data ... 53
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 56
G. Metode Analisis Data ... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60
A. Pelaksanaan Penelitian ... 60
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 60
C. Deskripsi Data Penelitian ... 62
D. Hasil Penelitian ... 63
E. Pembahasan ... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 71
xvi
DAFTAR TABEL
Table 1. Pemberian Skor pada Skala Kecenderungan
Perilaku Bullying ... 54
Table 2.Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Bullying (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem)... 54
Table 3. Pemberian Skor pada Skala Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara remaja dengan Orang Tua ... 55
Table 4.Blueprint Skala Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara remaja dengan Orang Tua (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem) ... 55
Tabel 5. Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Bullying (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)...57
Tabel 6. Blueprint Skala Efektivitas Komunikasi Interpersonal Remaja dengan Orang Tua (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)...58
Tabel 7. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 61
Tabel 8. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61
Tabel 9. Deskripsi Data Penelitian ... 62
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 64
Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 65
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Dinamika Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara
Remaja dengan Orang Tua dan Kecenderungan Perilaku
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Penelitian (Try Out) ... 78
Lampiran B. Skala Penelitian (Setelah Try Out) ... 98
Lampiran C. Uji Reliabilitas Skala Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara Remaja dengan Orang Tua ... 116
Lampiran D. Uji Reliabilitas Skala Kecenderungan Perilaku Bullying ... 122
Lampiran E. Uji Normalitas ... 128
Lampiran F. Uji Linearitas ... 131
1 BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bullying merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak ditemui di seluruh dunia. Bullying banyak terjadi di dalam lingkungan sekolah, seperti koridor atau tempat-tempat yang lebih terpencil (Olweus & Solberg, tanpa
tahun; Argiati, 2010). Hal ini disebabkan karena kurang adanya pengawasan
dari orang dewasa di sekolah, khususnya saat istirahat sekolah (Olweus,
Limber, & Mihalic, dalam Fleming & Towey, 2002). Padahal sekolah
seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak untuk menimba ilmu dan
mengembangkan keterampilan sosial. Namun, pada kenyataannya tidak
dipungkiri ada beberapa kasus bullying yang terjadi di dalamnya, baik yang tampak maupun yang tidak.
Kasus bullying banyak ditemukan pada kalangan remaja khususnya di lingkungan sekolah dan dapat terlihat dari beberapa hasil penelitian. National Institute of Child Health and Human Development (NICDH) (dalam Ericson, 2001) melaporkan bahwa pelajar di Amerika Serikat yang mengalami
bullying kurang lebih sekali dalam seminggu yaitu berjumlah 1,6 juta pelajar dan pelajar yang sering menjadi pelaku bullying berjumlah 1,7 juta. Selanjutnya, menurut WHO pada tahun 2004 (dalam Hymel & Napolitano,
berusia 11, 13, dan 15 tahun pada 25 negara di Eropa dan Amerika Utara
mengalami bullying dan kekerasan sebesar 1% hingga 50%. Selain itu, penelitian yang telah dilakukan di dunia menunjukkan terdapat 15-25%
pelajar telah menjadi korban bullying dan 15-20% pelajar menjadi orang yang melakukan bullying (perpetrators bullying) (Dracic, 2009). Berdasarkan data yang dirilis Pusat Data dan Informasi, Komisi Nasional Perlindungan Anak
(Komnas PA) pada tahun 2011 di Indonesia pun ditemukan ada 139 kasus
bullying yang terjadi di lingkungan sekolah dan pada tahun 2012 berjumlah 36 kasus (Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dalam
Triyuda, 2012).
Perilaku bullying ini biasanya dilakukan oleh teman terhadap teman lainnya atau oleh senior kepada junior. Remaja yang menjadi pelaku bullying, yang dianggap memiliki kekuatan/kekuasaan, akan melakukan aksinya
kepada target yang dianggap lemah. Lemah dan kuat dalam hal ini tidak
hanya merujuk pada ukuran secara fisik tetapi juga secara mental (Sejiwa,
2008). Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuatan/kekuasaan
antara pelaku dan korban bullying (Olweus, dalam Smith, Cowie, Olafsson & Liefooghe, 2002). Bullying juga merupakan bentuk dari perilaku agresif yang dilakukan secara berulang oleh pelaku terhadap korbannya yang
menyebabkan bahaya atau penderitaan dan ketidaknyamanan korban, seperti
penderitaan fisik dan emosional (Olweus, dalam Hanif, Nadem, & Tariq,
Sebagai contoh kasus bullying yang dialami oleh Okke Budiman, siswa SMA 46 Jakarta. Okke sering mendapatkan perlakuan kasar dari kakak
kelasnya yang sering meminjam motor milik Okke dengan cara paksa. Lalu
pada suatu hari, Okke mengalami pemukulan yang dilakukan oleh kakak
kelasnya dengan menggunakan helm dan tangan kosong, tendangan di
punggung, 5 sundutan rokok di lengan kanannya. Hal ini terjadi karenaOkke
pulang sekolah tanpa ijin kepada kakak kelasnya terlebih dahulu (Ceppy,
dalam Rahmatullah, 2010).
Perilaku bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Dracic, 2009). Macam-macam
bentuk bullying ini antara lain bullying fisik, seperti memukul; bullying
verbal misal dapat berupa mengejek; bullying sosial misal dapat berupa menyebarkan rumor; bullying psikologis misal dapat berupa ancaman;
bullying seksual misalnya berupa touching; dan cyberbullying dapat berupa mengirimkan pesan yang mengancam (Dracic, 2009).
Bullying bukan sekedar masalah yang sepele karena menimbulkan dampak yang serius dan tidak menyenangkan bagi si korban. Dampak yang
terkait dengan bullying pada korban tampak pada penelitian yang dilakukan oleh Ayenibiowo & Akinbode (2011) berjudul Psychopathology of Bullying and Emotional Abuse among School Children. Peneliti meneliti efek psikologis dari bullying pada korban bullying yang berusia antara 12 sampai 19 tahun di Lagos. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa korban
obsessive compulsive, interpersonal sensitivity, depresi, kegelisahan, fobia kecemasan, paranoid, psychoticism dan neuroticism.
Bullying ini ternyata tidak hanya memiliki dampak negatif bagi korban tetapi juga memiliki dampak negatif bagi pelaku bullying itu sendiri. Pelaku
bullying berisiko besar memiliki kehidupan yang negatif di kemudian hari. Pelaku bullying cenderung berperilaku kriminal di usia dewasa nanti (Olweus, dalam Ericson, 2011; Lawrence & Adams, 2006). Pelaku juga
memiliki pekerjaan yang tingkatnya lebih rendah dari kemampuan yang
dimiliki, bertindak kasar terhadap pasangan, dan menggunakan hukuman
yang keras terhadap anak-anaknya (Lawrence & Adams, 2006). Remaja yang
melakukan bullying memiliki potensi untuk terlibat dalam perilaku antisosial lainnya, seperti vandalism, mengutil, membolos sekolah, berkelahi, dikeluarkan dari sekolah, dan menggunakan obat-obatan serta alkohol
(Olweus, dalam Ericson 2001).
Berdasarkan paparan tersebut terlihat bahwa perilaku bullying memiliki dampak yang negatif bagi remaja yang terlibat di dalamnya, baik bagi pelaku
maupun korban bullying. Pada penelitian ini, penelitian ingin fokus pada pelaku bullying. Hal ini disebabkan karena pelaku bullying, dengan kekuatan yang dimilikinya, pasti akan mencari sasaran yang dianggap lebih lemah
untuk dijadikan sebagai korban penindasan. Ketidakmampuan korban untuk
melawan pelaku ini membuat pelaku untuk menindas korban berulang kali.
kehidupan korban dan pelaku bullying itu sendiri baik saat ini maupun di kemudian hari.
Pada umumnya, remaja yang melakukan tindakan bullying berasal dari keluarga yang sering memberikan hukuman secara fisik kepada dirinya dan
diajarkan untuk menyerang balik secara fisik sebagai cara untuk mengatasi
masalah (Batsche, Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Pearce &
Thompson, 1998). Selain itu, keluarga yang kurang memberikan kasih sayang
atau kehangatan bagi anak-anak, kurang terlibat dalam kehidupan anak, serta
pola asuh orang tua yang permisif dapat mempengaruhi anak melakukan
bullying (Batsche, Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Pearce & Thompson, 1998; Dracic, 2009).
Beberapa peneliti juga telah mengidentifikasikan karakteristik remaja
yang melakukan tindakan bullying. Remaja yang cenderung impulsif, memiliki kepribadian yang dominan, mudah frustrasi, memiliki kesulitan
untuk mematuhi aturan, serta melihat kekerasan sebagai hal yang positif, serta
memiliki simpati yang rendah terhadap orang lain berpotensi melakukan
tindakan bullying terhadap teman sebayanya (Olweus & Solberg, tanpa tahun). Remaja yang memiliki pandangan positif terhadap kekerasan ini juga
dapat terjadi karena didukung oleh teman-temannya yang memiliki sikap
yang positif terhadap kekerasan serta cenderung melakukan bullying terhadap anak lainnya (Olweus, Limber, & Mihalic, dalam Fleming & Towey, 2002).
Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi remaja melakukan
kehidupan remaja, ternyata dapat menjadi faktor risiko bagi remaja
melakukan tindakan bullying. Ini menunjukkan bahwa keluarga memiliki peran penting bagi perkembangan remaja.
Pada masa remaja, individu mengalami pubertas dan
perubahan-perubahan lainnya, hampir pada seluruh aspek kehidupan remaja, yang
membuat remaja merasa tidak nyaman dengan keadaan semacam itu, seperti
bingung, tidak percaya diri, tidak puas dengan lingkungan, sulit beradaptasi,
ingin diakui atau diterima lingkungan, serta rentan terhadap frustasi dan
depresi (Bisono, 2009). Maka dari itu, perlu adanya pendampingan dari orang
tua bagi remaja. Ini menunjukkan adanya interaksi antara orang tua dan
remaja yang tidak terlepas dari proses komunikasi. Hybels & Weaves (2004)
mengemukakan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses untuk berbagi
informasi, ide, dan perasaan yang dilakukan secara verbal maupun nonverbal.
Komunikasi yang terjadi antara remaja dengan orang tua dapat
memberikan kontribusi baik bagi perkembangan mental yang sehat pada
remaja (Sadarjoen, 2005). Hardjana (2003) mengungkapkan bahwa
komunikasi merupakan salah satu cara terpenting bagi individu untuk berelasi
dan bekerja sama supaya dapat tetap mempertahankan hidup dan
berkembang.
Akan tetapi, terkadang komunikasi yang terjadi antara remaja dan orang
tua dapat membuat hubungan diantara kedua belah pihak menjadi lebih tidak
baik sehingga dapat mempengaruhi kehidupan remaja ke arah yang negatif.
bahwa antara orang tua dan remaja yang sedang terlibat dalam suatu topik
pembicaraan mengenai suatu masalah penting dapat menunjukkan pola
komunikasi. Apabila salah seorang menggerutu atau mengkritik seorang
lainnya atau menolak membicarakan sesuatu dan hal ini berlangsung terus
menerus, dapat membuat remaja memiliki tingkat penggunaan alkohol dan
obatan-obatan yang tinggi serta memiliki harga diri yang rendah.
Hal lain yang menunjukkan adanya komunikasi yang membuat
hubungan diantara remaja dan orang tua memburuk, misalnya tampak adanya
kesalahpahaman dalam komunikasi. Hal ini dapat terlihat saat remaja, dengan
perkembangan kognitif dan keinginan untuk mencapai otonomi, mulai
membandingkan orang tuanya dengan suatu standar ideal dan mengecam
kekurangan-kekurangan standar orang tuanya (Desmita, 2007). Sedangkan
disisi lain, sikap remaja yang demikian membuat orang tua beranggapan
bahwa anak mereka telah berubah menjadi anak yang tidak mau menurut,
melawan, dan menentang standar-standar orang tua. Hal ini membuat orang
tua berusaha untuk mengendalikan dengan keras dan memberikan banyak
tekanan agar remaja menaati standar-standar orang tua (Collins, dalam
Santrock, 2002). Ini dilakukan oleh orang tua dengan tujuan supaya remaja
tidak terpengaruh dengan godaan dan gangguan dari luar yang dapat
menyesatkan remaja bahkan menjerumuskan ke tindakan yang tidak berkenan
(Gunarsa & Gunarsa, 1990). Akan tetapi, justru sikap orang tua yang
demikian membuat remaja merasa dikekang (Gunarsa & Gunarsa, 1990).
baik maka akan menimbulkan konflik diantara remaja dan orang tua. Hal ini
menjadi alasan peneliti memilih efektivitas komunikasi interpersonal antara
remaja dengan orang tua sebagai variabel bebas.
Komunikasi dikatakan efektif apabila penerima pesan dapat
menginterpretasikan pesan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pengirim
pesan (Supratiknya, 1995). Pemahaman penerima pesan dalam menangkap
makna pesan ini terkait dengan ketepatan pengirim pesan dalam
menyampaikan maksud pesan tersebut. Ketika pengirim gagal dalam
menyampaikan maksud pesan maka akan menimbulkan kesalahpahaman
dalam berkomunikasi (Supratiknya, 1995).
Komunikasi interpersonal yang efektif menekankan pada adanya
keterbukaan, empati, sikap mendukung (deskriptif, spontanitas, dan
provisionalisme), sikap positif, dan kesetaraan (De Vito, 2011). Pesan yang
disampaikan dan diterima dalam suasana yang hangat, mendukung, respect, dan empati membantu individu untuk mengomunikasikan afeksi kepada
orang lain dan membantu terpenuhinya kebutuhan afeksi pada masing-masing
individu (Schutz, dalam Zeuschner, 1992). Kebutuhan afeksi ini penting bagi
remaja saat melewati masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa ini.
Adanya perasaan nyaman, hangat, dicintai, dan diterima dari orang tua
membantu remaja untuk dapat meningkatkan kualitas dirinya (Gordon, 1962).
Sedangkan, orang tua yang kurang memberikan kehangatan dan kurang
mendukung remaja serta memiliki banyak konflik dengan remaja
2008) dan remaja berpotensi melakukan bullying (Batsche, Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Dracic, 2009). Hal ini disebabkan karena remaja yang
tidak mendapatkan rasa nyaman, hangat, cinta, dan penerimaan dari orang tua
akan membuat remaja merasa bingung, risau, sedih, malu, diliputi rasa
dendam benci terhadap orang tua, serta merasa tidak nyaman dan aman di
dalam keluarga. Perasaan-perasaan yang demikian mendorong remaja untuk
mencari sumber kesenangan lain di luar lingkup keluarganya dengan
melakukan tindakan agresif yang dapat mengarah ke perilaku bullying, seperti menteror, mengancam, mengintimidasi, serta memeras temannya (Kartono,
2006).
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin
melihat hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja
dengan orang tua dan kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ialah:
Apakah ada hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk melihat hubungan antara
efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua dan
kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
menambah pengetahuan serta informasi dalam bidang ilmu psikologi
mengenai pentingnya komunikasi interpersonal yang efektif antara remaja
dengan orang tua.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Orang Tua
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan
pengetahuan dan sumber informasi bagi orang tua mengenai pentingnya
menjalin komunikasi interpersonal yang efektif dengan anak remajanya.
Dengan begitu orang tua dapat lebih meningkatkan keefektifan
komunikasi interpersonal dengan anaknya yang mulai memasuki masa
remaja sehingga dapat meminimalisir remaja menjadi pelaku bullying. b. Bagi Remaja
Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat memberikan wawasan
dan sumber informasi bagi remaja untuk tidak segan menjalin
11 BAB II
LANDASAN TEORI
A. REMAJA
1. Pengertian Remaja
Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2008), masa remaja
merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju kedewasaan yang
berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal,
sampai sekitar usia dua puluh tahunan awal atau masa remaja akhir.
Menurut Mönks, Knoers, dan Haditono (2006) usia 12 sampai 15 tahun
merupakan masa remaja awal. Pada masa peralihan ini, individu
menghadapi perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial
yang saling berkaitan dan mempengaruhi kehidupannya. Periode ini
memiliki risiko karena beberapa remaja mengalami masalah dalam
menghadapi perubahan yang terjadi secara bersamaan ini dan
membutuhkan bantuan dalam mengatasi bahaya saat menjalani masa ini
(Papalia, Olds, dan Feldman, 2008).
Bantuan dan pengawasan sangat penting diberikan kepada anak-anak
yang memulai memasuki masa remaja, terutama pada masa remaja awal.
Hal ini disebabkan karena masa usia remaja awal merupakan puncak
terjadinya bullying. Banks (1997) mengungkapkan bahwa puncak terjadinya bullying ialah pada masa sekolah menengah pertama dan
2. Karakteristik Perkembangan Remaja a. Perkembangan Fisik
Pada masa remaja, individu mengalami pertumbuhan cepat pada
tinggi dan berat badan, perubahan proporsi tubuh dan bentuk, serta
tercapainya kematangan seksual (Papalia, Olds, dan Feldman, 2008).
Kematangan kerangka dan seksual terjadi pesat terutama pada awal
masa remaja. Periode ini disebut dengan pubertas Santrock, 2002).
Kematangan seksual pada masa remaja ditandai dengan perubahan pada
ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Setiap anak mengalami
urutan kematangan seksual yang berbeda. Di samping itu, anak laki-laki
dan perempuan memiliki ciri-ciri seks primer dan sekunder yang
berbeda (Desmita, 2007).
Ciri-ciri seks primer ini berkaitan dengan proses reproduksi. Pada
anak laki-laki, perkembangan organ-organ seks ditandai dengan mimpi
basah. Sementara itu, pada anak perempuan, perkembangan
organ-organ seks ditandai dengan munculnya periode menstruasi (menarche) (Desmita, 2007).
Perubahan ciri-ciri seks sekunder ini merupakan tanda-tanda yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Tanda-tanda jasmaniah
yang muncul pada laki-laki antara lain tumbuh kumis dan janggut,
jakun, bahu dan dada melebar, suara berat, tumbuh bulu di ketiak, di
dada, di kaki, di lengan, dan sekitar kemaluan, serta otot-otot menjadi
antara lain payudara dan pinggul membesar, suara menjadi halus,
tumbuh bulu di ketiak dan di sekitar kemaluan (Desmita, 2007).
Selama masa perkembangan fisik ini disertai dengan adanya
perubahan psikologis remaja. Remaja mulai memperhatikan perubahan
pada bentuk tubuhnya. Kemudian, remaja mengembangkan citra
gambaran tubuhnya (Santrock, 2002).
b. Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget, pemikiran remaja berada pada tahap pemikiran
operasional formal yang berlangsung antara usia 11 hingga 15 tahun.
Remaja memiliki pemikiran yang lebih abstrak dibandingkan pada
masa kanak-kanak dahulu, yang ditandai dengan mampunya remaja
untuk dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan,
kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar
abstrak. Selain itu, pemikiran remaja juga lebih idealistis. Remaja
berpikir mengenai ciri-ciri ideal bagi diri mereka sendiri dan orang lain
serta membandingkan diri mereka dan orang lain dengan menggunakan
standar-standar ideal tersebut. Remaja juga berpikir lebih logis dengan
mulai menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah dan
menguji permasalahan secara sistematis (penalaran deduktif induktif)
(dalam Santrock, 2002).
Pada masa remaja, perubahan kognisi sosial menjadi ciri
perkembangan remaja. Remaja mengembangkan egosentrisme yakni
dari perspektif mereka sendiri (Elkind, dalam Desmita, 2007).
Egosentrime ini dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu penonton
khayalan (imaginary audience) dan dongeng pribadi (the personal fable). Penonton khayalan (imaginary audience) merupakan keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya
remaja memperhatikan dirinya sendiri. Sedangkan, dongeng pribadi
(the personal fable) merupakan bagian dari egosentrisme remaja yang meliputi perasaan unik seorang remaja tentang dirinya (Santrock,
2002).
c. Perkembangan Psikososial
1). Hubungan Remaja dengan Orang Tua.
Pada masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa,
remaja berusaha untuk meraih kemandirian (otonomi), baik secara
fisik maupun psikologis. Remaja lebih banyak meluangkan
waktunya untuk berinteraksi dengan dunia yang lebih luas sehingga
remaja menghadapi berbagai macam nilai-nilai dan ide-ide
(Desmita, 2007). Kemudian, nilai-nilai dan ide-ide yang remaja
dapatkan dari dunia yang lebih luas tersebut mulai dibandingkan
dengan standar nilai dari orang tuanya (Santrock, 2002). Remaja
mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang
tuanya (Desmita, 2007).
Hal ini membuat para orang tua kebingungan dengan melihat
tua merasa anak berubah dari seorang anak yang menurut menjadi
seorang anak yang tidak mau menurut, melawan, dan menentang
standar-standar nilai orang tua. Para remaja tampak melepaskan
diri dari orang tua. Di sisi lain, orang tua semakin berusaha untuk
mengendalikan anak remaja dengan keras dan lebih banyak tekanan
supaya remaja menaati standar nilai orang tua (Collins, dalam
Santrock, 2002).
Perselisihan-perselisihan dan perundingan-perundingan yang
terjadi antara remaja dengan orang tua pada dasarnya dapat
berfungsi positif bagi remaja dan dapat membantunya melewati
masa transisi dari ketergantungan anak-anak menuju kemandirian
(otonomi) dewasa (Santrock, 2002). Hal ini dapat dicapai dengan
adanya hubungan yang positif dan suportif antara remaja dengan
orang tua. Hubungan yang demikian dapat memberikan
kesempatan bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan positif
dan perasaan negatifnya dan orang tua terus memberikan
bimbingan bagi remaja dalam mengambil keputusan yang masuk
akal pada bidang yang remaja masih memiliki pengetahuan terbatas
pada bidang tersebut (Desmita, 2007).
2). Hubungan Remaja dengan Teman Sebaya
Pada masa remaja, pengaruh teman sebaya semakin
meningkat.Pengaruh teman sebaya ini dapat bersifat positif dan
menyatakan bahwa teman sebaya memiliki fungsi positif, seperti
melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar untuk
mengontrol impuls-impuls agresif; memberikan dorongan untuk
mengambil peran dan tanggung jawab baru sehingga membuat
ketergantungan remaja pada dorongan keluarga menjadi berkurang;
melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya dapat
meningkatkan keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan
penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan dengan
cara yang lebih matang; remaja belajar mengenai tingkah laku dan
sikap-sikap yang diasosiasikan dengan menjadi laki-laki dan
perempuan melalui interaksi dengan teman sebaya; memperkuat
penyesuaian moral dan nilai-nilai; serta dapat meningkatkan harga
diri remaja karena dengan menjadi seseorang yang disukai oleh
teman sebayanya membuat remaja merasa senang akan dirinya.
Di samping itu, teman sebaya juga dapat memiliki pengaruh
yang negatif. Teman sebaya dapat memperkenalkan remaja dengan
berbagai bentuk kejahatan dan perilaku yang maladaptif (Santrock,
2002). Selain itu, remaja yang mengalami penolakan atau
pengabaian dari teman sebaya dapat menyebabkan perasaan
3). Perkembangan Identitas
Selama masa remaja, remaja menghadapi krisis antara
identitas dengan kebingungan identitas. Krisis ini tidak selalu
menunjukkan sebuah ancaman melainkan sebuah “titik balik” bagi
remaja dan menjadi sebuah tahapan yang krusial karena diharapkan
pada akhir periode ini, remaja mencapai identitas yang teguh
(Erikson, dalam Feist & Feist, 2008).
Pencarian identitas ini untuk menemukan siapakah dirinya,
bagaimana dirinya, dan ke mana akan menuju dalam kehidupannya
(Erikson, dalam Santrock, 2002). Remaja mencoba berbagai
macam peran-peran baru dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan
para remaja mengalami kebingungan identitas karena remaja
memutuskan untuk menjadi apa dan apa yang diyakini, juga
sekaligus memutuskan untuk tidak ingin menjadi apa dan apa yang
tidak mereka yakini. Kebingungan identitas juga semakin
meningkat saat remaja memutuskan kebijakan orang tua ataukah
nilai kelompok teman sebaya yang harus ditolak (Erikson, dalam
Feist & Feist, 2008).
Kebingungan identitas wajar terjadi selama proses pencarian
identitas. Akan tetapi, apabila remaja tidak dapat mengatasi
kebingungan identitasnya, maka akan mengarah pada penyesuaian
patologis yang berbentuk regresi ke tahap perkembangan
kebingungan identitasnya dengan tepat, maka akan memiliki
kepercayaan pada sejumlah prinsip ideologis, kemampuan dalam
memutuskan untuk bersikap yang sesuai, percaya pada teman
sebaya dan orang yang lebih dewasa yang memberi nasihat
mengenai tujuan dan aspirasi, dan keyakinan pada pilihan
mengenai pekerjaan yang sesuai (Erikson, dalam Feist & Feist,
2008).
B. BULLYING
1. Pengertian Bullying
Bullying merupakan salah satu bentuk kekerasan. Salah satu jenis tindakan yang negatif ini dilakukan berulang dari waktu ke waktu oleh
individu yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang lebih untuk
menyerang individu yang kekuatan atau kekuasannya lebih lemah
(Ericson, 2001). Tindakan ini menguntungkan bagi para pelaku bullying
untuk melukai atau mengintimidasi korban bullying yang dapat terjadi berkali-kali (Rigby & Smith, 2011).
Bullying juga didefinisikan sebagai perilaku negatif yang biasanya dilakukan berulang kali dan dengan sengaja untuk menyakiti atau tidak
menyenangkan oleh satu orang atau lebih terhadap seseorang yang
memiliki kesulitan untuk membela dirinya sendiri (Olweus, dalam Smith,
Cowie, Olafsson, Liefooghe, 2002). Menurut Olweus, ada tiga unsur
agresif dan dengan sengaja menyakiti orang lain; tindakan dilakukan
berulang-ulang dari waktu ke waktu; dan adanya ketidakseimbangan
kekuasaan atau kekuatan (Olweus, dalam Smith, Cowie, Olafsson,
Liefooghe, 2002).
Menurut Dracic (2009), bullying merupakan bentuk kekerasan yang bertujuan untuk membahayakan atau membuat orang lain menderita dan
merasa tidak nyaman secara fisik maupun emosional. Pelaku bullying
melakukan kekerasan ini tanpa mempedulikan tempat terjadinya,
keparahan, dan durasi. Perilaku ini terjadi berulang kali dalam bentuk yang
sama dan adanya hubungan kekuasaan atau kekuatan yang tidak sama
antara individu atau kelompok yang kuat melawan individu atau kelompok
yang lemah.
Berdasarkan definisi-definisi bullying dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku yang bersifat agresif yang terjadi secara berulang-ulang dengan adanya
ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasan yang bertujuan untuk
membuat orang merasa tidak nyaman atau berbahaya baik secara fisik
2. Komponen Perilaku Bullying
Menurut Olweus (dalam Hymel dan Napolitano, 2008), perilaku
bullying mengandung tiga unsur mendasar, yaitu:
a. Bersifat menyerang dan negatif (Intentional act). Tindakan negatif dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan ketidaknyamanan atau
cedera pada korban. Tindakan negatif ini dapat dilakukan secara fisik,
verbal, atau cara lain, seperti membuat wajah atau gerakan tubuh yang
menghina.
b. Dilakukan secara berulang (Repeatedly). Pada umumnya, bullying
bukan merupakan suatu tindakan yang terjadi secara acak atau terjadi
pada satu insiden. Bullying melibatkan adanya seorang individu yang dipilih berulang kali oleh individu lainnya atau berulang kali menjadi
target pelecehan dari kelompok individu. Hal ini merupakan sifat
berulang (repeated) dari bullying yang menyebabkan kecemasan dan ketakutan pada korban.
c. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban
(Imbalance Power). Perkelahian yang terjadi diantara dua orang yang memiliki kekuatan yang sama itu tidak dapat dikatakan sebagai
bullying. Bullying merupakan perkelahian yang tidak adil antara pelaku dan korban. Pelaku bullying memiliki kekuatan yang lebih daripada korban, sedangkan individu yang mendapatkan tindakan negatif
3. Bentuk-Bentuk Bullying
Bullying terjadi tanpa ada provokasi dan dilakukan secara sengaja untuk menyakiti orang lain. Dracic (2009), mengelompokkan perilaku
bullying dalam enam bentuk, yaitu:
a. Bullying verbal antara lain mengejek, memberi julukan, menyindir, memaki, menyoraki, memfitnah, memberi ancaman, penghinaan ras.
b. Bullying fisik antara lain menjegal, menghukum dengan berlari keliling lapangan, menampar, melempar sesuatu ke arah korban.
c. Bullying sosial antara lain menyebarkan rumor dan kebohongan, menggosip, pengucilan sosial, penghinaan.
d. Bullying psikologis, contoh memandang yang mengancam atau mengintimidasi.
e. Bullying seksual, contoh dari bullying seksual, ialah touching.
f. Bullying melalui media elektronik atau cyberbullyingantara lain mengirim pesan singkat atau email yang berisi ancaman.
Menurut Dracic (2009), perilaku bullying dapat terjadi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Maka dari itu, ada beberapa
perilaku bullying yang sulit untuk diidentifikasi dan adapula yang dapat dideteksi dan diidentifikasi dengan cepat antara pelaku dan korban.
bentuk perilaku bullying yang sulit untuk diidentifikasi ialah seperti perilaku bullying verbal, psikologis, dan sosial.
4. Dampak Perilaku Bullying Bagi Pelaku Bullying
Bullying ini memiliki dampak bagi pelaku bullying. Remaja yang terlibat dalam bullying (sebagai pelaku bullying) berisiko memiliki kehidupan yang negatif di kemudian hari. Remaja yang menjadi pelaku
bullying lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku antisosial dalam jangka panjang, seperti vandalism, shoplifting, skipping dan dikeluarkan dari sekolah, perkelahian, menggunakan obat-obatan dan alcohol (Ericson,
2001; Bender & Losel, 2011). Pelaku bullying juga dapat terlibat dalam perilaku kriminal pada usia dewasanya (Olweus, dalam Ericson 2001;
Lawrence & Adams, 2006), pelaku juga memiliki pekerjaan yang
tingkatnya lebih rendah dari kemampuan yang dimiliki, bertindak kasar
terhadap istri, dan menggunakan hukuman yang keras terhadap
anak-anaknya (Lawrence & Adams, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh
National Institute of Child Health and Human Development (NICDH) dalam Ericson (2001) menemukan bahwa remaja yang menjadi pelaku
5. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Remaja melakukan tindakan bullying karena beberapa alasan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan individu, keluarga, teman sebaya,
sekolah dan komunitas memiliki risiko bagi remaja untuk melakukan
tindakan bullying terhadap teman sebayanya. Berikut akan dijelaskan faktor-faktor berisiko bagi remaja untuk terlibat sebagai pelaku bullying. a. Individu
Remaja yang cenderung impulsif, memiliki kepribadian yang
dominan, mudah frustrasi, memiliki kesulitan untuk mematuhi aturan,
serta melihat kekerasan sebagai hal yang positif, serta memiliki simpati
yang rendah terhadap orang lain berpotensi melakukan tindakan
bullying terhadap teman sebayanya (Olweus & Solberg, tanpa tahun). b. Keluarga.
Keluarga memiliki peran penting bagi perkembangan
anak-anaknya. Gordon (1962) mengemukakan bahwa peranan keluarga bagi
anak-anaknya antara lain memberikan afeksi kepada anak-anaknya
yang sedang tumbuh supaya dapat meningkatkan kualitas dirinya lebih
baik karena adanya perasaan hangat, nyaman, dicintai, dan diterima
dalam keluarga. Selain itu, keluarga menjadi agen kebudayaan.
Maksudnya ialah orang tua menyampaikan informasi kepada
anak-anaknya mengenai perilaku dan keyakinan yang sesuai agar anak-anak
dapat tumbuh keluar rumah dengan baik dan mengetahui cara untuk
Di sini, peran komunikasi dalam keluarga sangat penting karena
antara satu anggota keluarga dengan anggota lainnya pasti akan selalu
saling berinteraksi, saling berbagi cerita mengenai hal apapun (Hybels
& Weaver, 2004). Komunikasi dalam keluarga ini bersifat transaksional
dimana setiap anggota keluarga memiliki hubungan dengan anggota
keluarga lainnya sehingga hubungan tersebut mempengaruhi keluarga
secara keseluruhan (Noller, Fitz, & Patrick, dalam Hybels & Weaver,
2004).
Orang tua merupakan sumber utama yang paling berpengaruh
pada komunikasi di dalam keluarga. Komunikasi dengan orang tua
dapat mempengaruhi konsep diri anak karena pesan-pesan yang
disampaikan oleh orang tua dapat menjadi sebuah “script” bagi anak
untuk belajar mengenal kemudian melakukannya (James & Jongeward,
dalam Zeuschner, 1992). Setiap pesan yang disampaikan orang tua
terhadap anaknya seperti harapan-harapan terhadap anak, membuat
anak berasumsi bahwa harapan orang tua merupakan bagian dari
konsep dirinya (Zeuschner, 1992).
Hasil penelitian mengenai komunikasi antara orang tua dan
remaja yang dilakukan oleh Sillars, Koerner, & Fitzpatrick, 2005)
menunjukkan bahwa keluarga yang mendorong adanya sebuah
pertukaran yang terbuka mengenai ide-ide dan perasaan-perasaannya
akan meningkatkan pemahaman dan penyesuaian terhadap perubahan
menggambarkan karakteristik keluarga secara luas. Misal, pemahaman
ayah terhadap anaknya memprediksi pemahaman anggota keluarga lain
terhadap anggota keluarga yang lainnya. Keterbukaan pada komunikasi
memiliki hubungan positif dengan pemahaman orang tua, sedangkan
orang tua yang menekan dan mencela komunikasi anak memiliki
hubungan negatif dengan pemahaman orang tua. Sensitivitas orang tua
terhadap persepsi diri anak dapat meningkatkan hubungan yang kuat
antara orang tua dan anak dan memfasilitasi penerimaan diri anak.
Anak yang memiliki harga diri yang tinggi dan hubungan yang kuat
dengan orang tua juga membuat diri mereka lebih terbuka kepada orang
tua mereka.
Hasil penelitian lain mengenai komunikasi yang dilakukan oleh
Caughlin & Malis (2004) menunjukkan bahwa antara orang tua dan
remaja yang sedang terlibat dalam suatu topik pembicaraan mengenai
suatu masalah penting dapat menunjukkan pola komunikasi dimana
salah seorang menggerutu atau mengkritik seorang lainnya atau
menolak membicarakan sesuatu, dapat membuat remaja memiliki
tingkat penggunaan alkohol dan obatan-obatan yang tinggi serta
memiliki harga diri yang rendah.
Dengan demikian peran keluarga sangat penting bagi
perkembangan anak-anaknya ke arah yang positif atau negatif. Ketika
keluarga kurang memberikan kasih sayang atau kehangatan bagi anak
yang keras, serta berasal dari keluarga yang sering memberikan
hukuman secara fisik kepada dirinya dan diajarkan untuk menyerang
balik secara fisik sebagai cara untuk mengatasi masalah (Batsche,
Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Pearce & Thompson, 1998);
pola asuh orang tua yang permisif; keluarga yang kurang memberikan
kasih sayang atau kehangatan bagi anak-anak, dan kurang terlibat dalam
kehidupan anak (Batsche, Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Pearce
& Thompson, 1998; Dracic, 2009) dapat mempengaruhi remaja untuk
terlibat menjadi pelaku bullying.
Hal serupa dikemukakan oleh Kartono (2006) bahwa sikap hidup,
tradisi, kebiasaan dan filsafat hidup keluarga memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku remaja
sehingga ketika orang tua menunjukkan perilaku yang menyimpang
maka remaja akan mengadopsi sikap dan tingkah laku orang tua
tersebut dengan terlibat dalam kenakalan remaja, seperti melakukan
tindakan bullying. Selain itu, remaja yang kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, kebutuhan fisik dan psikisnya tidak terpenuhi di
dalam keluarga, serta tidak mendapatkan ajaran dari orang tua untuk
hidup dengan baik sesuai dengan norma akan membuat anak terlibat
dalam kenakalan remaja, seperti tindakan bullying. Hal ini disebabkan karena remaja merasa bingung, risau, sedih, malu, diliputi rasa dendam
benci terhadap orang tua, serta merasa tidak aman dan nyaman berada
kesenangan di luar lingkup keluarga dengan melakukan
tindakan-tindakan yang agresif, seperti menteror, mengancam, mengintimidasi,
serta memeras temannya atau dengan kata lain melakukan bullying. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian orang tua.
Penelitian yang dilakukan oleh Sahin & Sari (2010) juga
menunjukkan pentingnya rasa dicintai, disayangi, dan dihargai oleh
orang tua dalam perkembangan fisik dan psikologis remaja. Orang tua
yang bersikap negatif terhadap remaja membuat remaja merasa tidak
diterima dan dihargai oleh orang tua sehingga cenderung membuat
remaja mengembangkan perilaku bullying. Tindakan ini dilakukan oleh remaja supaya tampak dominan, dihargai oleh teman-teman sebayanya,
dan menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitarnya.
c. Teman Sebaya
Pelajar yang terlibat bullying di sekolah disebabkan karena pelajar memiliki teman-teman yang memiliki sikap positif terhadap kekerasan
dan juga cenderung melakukan bullying terhadap orang lain (Olweus, Limber, & Mihalic, dalam Fleming & Towey, 2002).
d. Sekolah.
Sekolah juga dapat mengembangkan terjadinya bullying jika kurangnya pemantauan dari orang dewasa (khususnya selama istirahat
sekolah) dan guru, karyawan-karyawan di sekolah lainnya, dan
siswa-siswa yang memiliki sikap acuh tak acuh atau menerima bullying
C. KOMUNIKASI INTERPERSONAL 1. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Manusia adalah mahkluk sosial yang dalam kehidupannya
membutuhkan interaksi antara satu dengan yang lainnya. Interaksi yang
terjadi biasanya antara dua orang atau beberapa orang secara tatap muka,
dimana pengirim pesan dapat menyampaikan pesan secara langsung,
begitu pula dengan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi
pesan secara langsung, dan dilakukan secara lisan dalam bentuk verbal
disertai dengan ungkapan non verbal (Hardjana, 2003).
Hybels & Weaver (2004) mendefinisikan komunikasi interpersonal
merupakan komunikasi yang terjadi antara dua orang dalam lingkup
informal atau tidak terstruktur dan menggunakan seluruh elemen
komunikasi, dimana pesan yang disampaikan mengandung lambang verbal
dan nonverbal melalui saluran komunikasi berupa penglihatan dan suara.
Giffin & Patton (1976) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai
interaksi tatap muka (face-to-face) antara orang-orang yang secara konsisten sadar akan satu dengan yang lainnya atau masing-masing pihak
yang terlibat. Webb & Hayes (dalam Beebe, Beebe, & Redmond, 2009)
mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai interaksi yang terjadi
diantara dua orang melibatkan adanya proses komunikasi. Proses
laindengan berbagai dampak dan dengan kesempatan untuk memberikan
umpan balik segera.
Barker & Daud (2001) mengemukakan bahwa komunikasi
interpersonal melibatkan adanya hubungan diadik atau terdapat dua orang
dalam hubungan dekat. Individu yang terlibat dalam hubungan ini
memiliki peran yang saling bergantian, terkadang mengirim pesan pada
individu lainnya dan di waktu lainnya merespon individu yang mengirim
pesan. Komunikasi interpersonal dalam hubungan diadik ini fokus pada
berbagi makna yang berasal dari pengalaman dan observasi pribadi.
Selain itu, ahli teori komunikasi lainnya juga ada yang
mendefinisikan komunikasi interpersonal berdasarkan pengembangan
(developmental). Komunikasi yang dilakukan oleh antar individu berada pada rentang kontinum dari komunikasi impersonal hingga komunikasi
interpersonal yang ditandai dan dibedakan berdasarkan prediksidata
psikologis. Maksudnya ialah individu menangkap harapan, pikiran, dan
perasaan individu lainnya. Individu yang terlibat dalam komunikasi
menganggap orang lain sebagai pribadi, yang unik atau autentik, bukan
sebagai objek. Sedangkan, dalam komunikasi impersonal, individu
menganggap orang lain sebagai objek atau merespon orang lain
berdasarkan peran mereka bukan sebagai pribadi yang unik (Buber, dalam
Beebe, dkk, 2009). Komunikasi interpersonal juga berdasarkan pada
bagaimana orang tersebut akan bertindak dan kita juga dapat memberikan
penjelasan mengenai perilaku tersebut. Di samping itu pula, komunikasi
interpersonal ditetapkan aturan-aturan yang ditetapkan bersama (antar
pribadi) bukan berdasarkan norma-norma sosial (Miler, dalam De Vito,
2011).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi
interpersonal merupakan interaksi yang dilakukan secara lisan dan secara
tatap muka antara dua orang untuk saling menyampaikan dan menerima
pesan dengan segera dalam bentuk verbal maupun non verbal. Komunikasi
yang terjalin ini bukan berdasarkan atas peran masing-masing pihak dan
norma sosial yang ada tetapi pada sikap masing-masing pihak yang saling
menghargai keunikan pribadi untuk berbagi makna pesan dan emosi
sehingga memberikan dampak mutual bagi kedua belah pihak.
2. Motif Individu Melakukan Komunikasi
Tiap individu memiliki berbagai macam kebutuhan yang perlu
dipenuhi. Individu mencoba untuk memenuhi salah satu atau lebih
kebutuhan dalam diri melalui komunikasi. Adler & Towne (1989)
mengemukakan alasan yang mendorong individu untuk melakukan
komunikasi interpersonal yaitu supaya kebutuhan-kebutuhan yang ada di
dalam diri tiap individu dapat terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
a. Kebutuhan fisik. Komunikasi interpersonal sangat penting bagi tiap
individu karena ada atau tidak adanya komunikasi dalam hidup itu
sangat mempengaruhi kesehatan fisik individu. Yang paling penting
bukan seberapa banyak telah melakukan komunikasi (kuantitas) tetapi
lebih pada kualitas dari komunikasi yang dilakukan. Jadi, komunikasi
interpersonal sangat penting bagi kesejahteraan (well being) individu. b. Kebutuhan identitas. Berkomunikasi dengan orang lain dapat
membantu individu untuk mengembangkan perasaan identitas diri
karena melalui interaksi dengan orang lain membantu dalam
mendefinisikan siapa diri kita.
c. Kebutuhan sosial. Berkomunikasi merupakan cara kita untuk berelasi
secara sosial dengan orang lain sehingga dapat memenuhi kebutuhan
sosial kita. Schutz (dalam Adler & Towne, 1989) mengemukakan ada
tiga kebutuhan sosial yang dapat terpenuhi melalui komunikasi
interpersonal, yaitu kebutuhan individu akan perasaan terlibat dalam
suatu hubungan atau relasi dengan orang lain (kebutuhan inklusi);
keinginan atau hasrat individu untuk mempengaruhi orang lain
(kebutuhan kontrol); kebutuhan akan penghargaan atau respect dari orang lain (kebutuhan afeksi). Apabila kebutuhan sosial ini dapat
terpenuhi maka akan menumbuhkan atau meningkatkan hubungan
antarpribadi menjadi lebih baik (Tubbs & Moss, dalam Rakhmat,
d. Kebutuhan praktikal. Komunikasi merupakan sarana bagi individu
untuk memberitahu sesuatu yang menjadi keinginan individu kepada
orang lain dan merupakan metode yang digunakan untuk meyakinkan
atau membujuk orang lain. Ketidakmampuan individu untuk
mengekspresikan diri secara jelas dan efektif dapat menghalangi
individu dalam mencapai tujuannya.
3. Fungsi dan Peran Komunikasi Interpersonal
Dance & Larson (dalam Barker & Gaut, 2001) mengemukakan
fungsi dari komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh individu.
Pertama, komunikasi interpersonal menyediakan fungsi hubungan (linking function) antara seseorang dengan lingkungannya. Seseorang menjadi lebih mampu untuk memahami dunia dengan lebih baik melalui
komunikasi interpersonal. Kedua, komunikasi interpersonal interpersonal
mengijinkan seseorang untuk mengonseptualisasikan, mengingat, dan
merencanakan (mentation function) supaya seseorang dapat berpikir dan mengevaluasi secara lebih efektif. Ketiga, komunikasi interpersonal
membantu untuk mengatur perilaku kita dan orang lain (regulatory function).
Terkait dengan fungsi-fungsi tersebut, Johnson (dalam Supratiknya,
1995) mengemukakan komunikasi interpersonal memiliki peranan yang
i. Komunikasi interpersonal membantu perkembangan intelektual dan
sosial. Perkembangan intelektual dan sosial seseorang ditentukan
oleh kualitas komunikasi seseorang dengan yang lainnya.
ii. Komunikasi interpersonal membantu membentuk identitas dan jati
diri. Seseorang menjadi tahu tanggapan yang diberikan orang lain
terhadap dirinya dan pandangan orang lain mengenai dirinya
melalui komunikasi sehingga seseorang dapat mengetahui siapa
dirinya yang sebenarnya.
iii. Komunikasi interpersonal membantu dalam pembandingan sosial.
Pembandingan sosial dilakukan oleh seseorang untuk dapat lebih
memahami realitas yang ada disekelilingnya dan menguji
kebenaran kesan dan pengertian yang dimiliki mengenai dunia
sekitar dengan membandingkannya dengan kesan dan pengertian
dari orang lain mengenai realitas yang sama.
iv. Komunikasi interpersonal mempengaruhi kesehatan mental
seseorang. Adanya konfirmasi atau pengakuan yang berupa
tanggapan dari orang lain bahwa diri kita normal, sehat, dan
berharga membuat diri kita merasa bahagia. Sedangkan,
diskonfirmasi atau penolakan dari orang lain yang berupa
tanggapan bahwa diri kita abnormal, tidak sehat, dan tidak berharga
4. Hambatan dalam Komunikasi Interpersonal
Komunikasi memang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari
bagi individu untuk menjalin relasi dengan individu lainnya, tetapi
adakalanya individu mengalami hambatan dalam komunikasi. Hambatan
dalam komunikasi ini dapat membatasi keefektifan interaksi individu
(Giffin & Patton, 1976).
Masalah utama dalam komunikasi interpersonal adalah
ketidakpercayaan, yang merupakan salah satu bentuk perilaku defensif
antarpribadi. Penyebab seorang individu melakukan perilaku defensif
karena salah satu kebutuhan antarpribadi tidak terpenuhi. Setiap individu
membutuhkan timbal balik yang mendukung (suportif) dari orang lain
untuk memperoleh dan mempertahankan gambaran diri yang baik (Giffin
& Patton, 1976). Kemudian ketika individu merasa gambaran dirinya
terancam oleh individu lain maka individu tersebut akan berusaha untuk
melindungi gambaran dirinya yaitu dengan cara bersikap defensif (Adler,
& Towne, 1989).
Ada tiga cara mekanisme defensif yang dapat dilakukan oleh
individu untuk tidak menyetujui pendapat (isi pesan) dari individu lain
yang dapat mengancam gambaran dirinya (Adler & Towne, 1989) ialah:
a. Menyerang pengkritik/pengecam (attacking the critic). Menyerang balik merupakan salah satu sikap defensif yang paling baik. Ada
a.1) Agresi verbal. Individu akan menggunakan agresi verbal secara
langsung untuk menyerang kritik yang diperolehnya. Respons
semacam ini mengalihkan kesalahan atas kritik yang
diperolehnya, dengan tanpa mengakui bahwa mungkin penilaian
dari orang lain itu benar.
a.2) Sarkasme. Menyamarkan penyerangan balik dalam bentuk pesan
yang menusuk hati atau lucu. Pesan ini merupakan bentuk agresi
secara tidak langsung.
b. Mendistorsi informasi penting (distorting critical information). Cara mempertahankan gambaran diri saat merasa gambaran dirinya diserang
ialah dengan mendistorsi informasi supaya dapat menyajikan gambaran
dirinya secara utuh.
b.1). Rasionalisasi. Menciptakan informasi yang masuk akal tetapi
merupakan penjelasan yang tidak benar untuk perilaku yang
tidak diinginkan.
b.2).Kompensasi. Cara individu untuk menutupi kekurangannya
dengan menggunakan kekuatannya.
b.3). Regresi. Menghadapi serangan dengan cara menghindar, yaitu
dengan memainkan peran bahwa dirinya tidak berdaya.
Ketidakberdayaan ini dilakukan hanya karena individu tidak
mau melakukan sesuatu sehingga individu berpura-pura
menunjukkan bahwa dirinya tidak dapat melakukan sesuatu
c. Menghindari informasi yang tidak selaras (avoiding dissonant information). Cara ketiga untuk melindungi gambaran diri dari ancaman ialah dengan menghindari informasi yang tidak selaras dengan
gambaran dirinya sama sekali.
c.1) Menghindar secara fisik.
c.2) Represi. Individu memblokir atau menekan informasi yang tidak
selaras dengan dirinya. Misalnya ketika dikritik, individu akan
berpura-pura tidak mendengar kritik tersebut.
c.3) Apati. Individu mengetahui informasi yang tidak menyenangkan
bagi dirinya tetapi dirinya berpura-pura tidak peduli dengan
informasi tersebut.
c.4) Displacement. Individu melepaskan perasaan benci dan agresifnya kepada objek atau individu lain yang dianggap lebih
tidak berbahaya daripada individu yang yang mengancam
gambaran dirinya.
Ada beberapa hal yang menimbulkan reaksi defensif dari seorang
individu (yang menerima pesan) terhadap individu lainnya (yang memberi
pesan) karena dalam berkomunikasi individu menyampaikan pesan dengan
menunjukkan beberapa perilaku, yang Gibb (dalam Adler & Towne, 1989)
sebut dengan gaya defensif berkomunikasi. Perilaku-perilaku yang
a. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi (evaluation) memicu reaksi defensif pada individu yang menerima pesan. Hampir sebagian besar individu akan merasa
jengkel saat menerima sebuah pernyataan yang mengandung pesan
menghakimi karena pernyataan tersebut diinterpretasikan oleh
individu sebagai tanda kurang adanya penghargaan dari orang lain.
b. Superioritas (Superiority)
Superioritas (superiority) menghasilkan suasana komunikasi yang defensif. Adanya superioritas dalam proses penyampaian pesan
dapat menghambat individu yang menerima pesan untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya karena hal itu mengalihkan
energinya jauh dari pertumbuhan yang positif ke arah pembelaan diri
yang negatif (negative defensiveness). c. Kontrol (Control)
Pesan yang disampaikan akan menimbulkan sikap defensif pada
individu yang menerima pesan ketika pengirim pesan tampak
memaksakan sebuah solusi kepada penerima pesan dengan hanya
sedikit menghargai kebutuhan atau minat penerima pesan. Tidak ada
satu individu pun yang menyukai jika idenya dianggap tidak berguna.
d. Strategi (Strategy)
Komunikasi yang menggunakan strategi akan menciptakan
suasana komunikasi yang buruk. Salah satu cara yang paling pasti