• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orangtua dan kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orangtua dan kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal - USD Repository"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA REMAJA DENGAN ORANG TUA DAN KECENDERUNGAN

PERILAKU BULLYING PADA REMAJA AWAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Lucia Novita Ningrum

NIM : 089114001

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv MOTTO

“Intelligence will never stop

being Beautiful”-Anonim

“The greatest pleasure in life is

doing

what people say you cannot do”

-Anonim

“Doubt kills more

dreams than failure ever will”

-Karim Seddiki

“Life is too short to worry about stupid things.

Have fun. Fall in love. Regret nothing and

don’t let people bring you down”

-Anonim

“The unhappiest people in this World

are those who care the most about

what other people think”

-C. Joybell C.

“Many

people, especially, ignorant people, want to punish you for

speaking the truth, for being correct, for being you.

Never apologize for being correct, or for being years ahead of your

time.

If you’re right and you know it, speak

your mind. Even if you are a

(5)

v

Terima Kasih

Allah Bapa di Surga yang selalu memberkati hidupku

dan menjadi sahabat setiaku

Papa dan Mama yang tanpa lelah merawat dan

membesarkan aku, selalu memberikan kasih sayang

yang tulus, doa, dan semangat untukku supaya aku

menjadi anak yang berhasil.

Mas Beni dan Dek Alex, teman berantem di rumah,

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA REMAJA DENGAN ORANG TUA DAN KECENDERUNGAN

PERILAKU BULLYING PADA REMAJA AWAL

Lucia Novita Ningrum

ABSTRAK

Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua dan kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal. Subjek dalam penelitian ini ialah siswa-siswi SMPK Santa Maria, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah dengan rentang usia 12-15 tahun. Subjek penelitian berjumlah 132 orang. Subjek yang berusia 12 tahun berjumlah 20 orang, subjek berusia 13 tahun berjumlah 43 orang, subjek berusia 14 tahun berjumlah 25 orang, dan subjek berusia 15 tahun berjumlah 44 orang. Subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 65 orang dan subjek berjenis kelamin perempuan sebanyak 67 orang. Subjek penelitian dipilih melalui teknik purposive sampling. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ialah terdapat hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua dan kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal. Metode pengumpulan data dengan menyebarkan dua skala, yaitu skala efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua dan skala kecenderungan perilaku bullying. Skala efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,883 dari 36 aitem, sedangkan skala kecenderungan perilaku bullying memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,929 dari 49 aitem. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman dikarenakan data untuk variabel kecenderungan perilaku bullying terdistribusi tidak normal. Hasil analisis data menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar -0,251 dengan taraf signifikansi 0,004 (p<0,05). Hal ini berarti menunjukkan bahwa semakin tinggi efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua, maka semakin rendah kecenderungan perilaku bullying pada remaja. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua, maka semakin tinggi kecenderungan perilaku bullying pada remaja.

(8)

viii

THE CORRELATION BETWEEN THE EFFECTIVENESS OF

INTERPERSONAL COMMUNICATION BETWEEN ADOLESCENT WITH PARENTS AND THE TENDENCY OF BULLYING IN THE EARLY

ADOLESCENT

Lucia Novita Ningrum

ABSTRACT

This correlational study aims to find out the correlation between the effectiveness of interpersonal communication between adolescent with parents and the tendency of bullying behavior in the early adolescent. The subjects in this study were students of SMPK Santa Maria, Sawangan, Muntilan, Central Java, with the range of age between 12-15 years old. The number of subjects was 132 pupils. There were 20 subjects with the age of 12 years, 43 subjects were with 13 year, 25 subjects with 14 year old, and 44 subjects were with the age 15 year old. The number of male subject was 65 and female was 67 pupils. The subjects in this study were selected by purposive sampling technique. The hypothesis in this study was that there was a relationship between the effectiveness of interpersonal communication between adolescent with parents and the tendency of bullying behavior in the early adolescent. The Methods of data collection was made by spreading two scales, they were the scale of the effectiveness of interpersonal communication between adolescent with parents and the scale of tendency of bullying behavior in the adolescent. The scale of the effectiveness of interpersonal communication between adolescent with parents had Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.883 from 36 aitems, while the tendency of bullying behavior scale had Alpha Cronbach reliability coefficient of 0.929 from 49 aitems. Data analysis was performed using Spearman analysis. It was due to variable the tendency of bullying behavior that was not normally distributed. The results of data analysis showed a correlation coefficient (r) of -0.251 with a significance level of 0.004 (p<0.05). This result showed that the higher the effectiveness of interpersonal communication between adolescents with parents, the lower the tendency of bullying behaviors in adolescents. In reverse, the lower the effectiveness of interpersonal communication between adolescents with parents, the higher the tendency of bullying behaviors in adolescents.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan

penyertaanNya selama proses penulisan skripsi sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan

skripsi ini ada banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang dengan

tulus membantu penulis. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, S. Psi., M.Psi selaku Ketua Program Studi

Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan

selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah mengingatkan penulis

untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang

telah mendukung, memberi semangat, dan membimbing penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu (Alm) Dr. Christina Siwi Handayani yang telah menjadi inspirasi bagi

penulis untuk terus semangat dalam kondisi apapun juga. Tidak kenal kata

menyerah. Terima kasih ibu atas bimbingannya selama beberapa waktu

yang lalu. Semoga Ibu selalu bahagia di surga bersama Tuhan Yesus.

5. Ibu Debri Pristinella, M.Si dan Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si

selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan kritik yang

(11)

xi

6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi atas ilmu yang telah diberikan kepada

penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi.

7. Segenap staf Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie, Mas

Muji, Mas Doni) atas keramahan, sapaan, senyuman, dan bantuannya

selama penulis berkuliah di Fakultas Psikologi.

8. Bapak Sutikno selaku Kepala Sekolah SMPK Santa Maria Sawangan,

Magelang, Jawa Tengah yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk

melakukan penelitian dan terimakasih atas segala kebaikan Bapak selama

penulis melakukan penelitian di sekolah tersebut.

9. Papa dan Mama terimakasih atas segenap cinta dan kasih sayang yang

selalu papa mama berikan untuk penulis. Terimakasih atas kesabaran dan

dukungannya selama ini, termasuk saat penulis menyelesaikan skripsi ini.

Aku sayang Papa Mama selalu. Semoga Tuhan Yesus selalu memberikan

berkat untuk papa mama. Amiiinn.

10. Mas Beni dan Dek Alex, semoga kita bisa selalu membahagiakan papa

mama ya . Semoga Tuhan Yesus dan doa Papa Mama selalu mengiring

langkah kita dalam mencapai kesuksesan kita.

11.Mbah Kakung, Mbah Putri, Mbah Das terimakasih sudah selalu

mendoakan penulis dan terima kasih pula untuk kasih sayang dan candaan

yang Mbah berikan untuk penulis.

12.Pakdhe dan Budhe Untung, serta Mba Sisca terima kasih banyak atas

kebaikannya yang dengan tulus membantu penulis dalam proses

(12)

xii

13.Cucu-cucu Mbah Kardiwiyono (Mas Doni, Mas Dimas, Mba Tina, Mba

Sisca, Mas Beni, Dek Alex, Dek Lina, dan Dek Heni) kompak selaluuu

yaa .

14.Skolas, Kika, Chelly, Mba Dessy makasi banyak untuk kesempatan

berdiskusi, bertukar pikiran, dan semangat.

15.Risa, Anggito, Emprit, Mbokdhe Hesti, Mba Beno, Ci Puji, Nina, Jeje,

Vincent makasi buat canda dan tawa dalam setiap cerita kalian yang selalu

memecah keheningan penulis, ceileeh..., makasi juga udah selalu memberi

semangat, dukungan, dan bantuan dengan tulus untuk penulis yaa .

Anjun, Puput, Mba Vita, Mba Putri, Ezy Koppa, Meili Markoneng, Rina,

Heny, Nopay makasiii yak untuk segala dukungan dan bantuannya ,

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ...xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB 1 PENDAHULUAN...1

A.Latar Belakang Masalah ...1

B.Rumusan Masalah ...9

C.Tujuan Penelitian ... 10

(14)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Remaja ... 11

1. Pengertian Remaja ... 11

2. Karakteristik Perkembangan ... 12

B. Bullying ... 18

1. Pengertian Bullying ... 18

2. Komponen Perilaku Bullying ... 20

3. Bentuk-Bentuk Bullying ... 21

4. Dampak Perilaku Bullying Bagi Pelaku Bullying ... 22

5. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Bullying ... 23

C. Komunikasi Interpersonal ... 28

1. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 28

2. Motif Individu Melakukan Komunikasi ... 30

3. Fungsi dan Peran Komunikasi Interpersonal ... 32

4. Hambatan dalam Komunikasi Interpersonal ... 34

5. Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal yang Efektif .... 39

D. Dinamika Hubungan Efektivitas Komunikasi Interpersonal Remaja dengan Orang Tua dan Kecenderungan Perilaku Bullying pada Remaja ... 42

(15)

xv

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49

C. Definisi Operasional ... 50

D. Subjek Penelitian ... 52

E. Metode Pengambilan Data ... 53

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 56

G. Metode Analisis Data ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

A. Pelaksanaan Penelitian ... 60

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 60

C. Deskripsi Data Penelitian ... 62

D. Hasil Penelitian ... 63

E. Pembahasan ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Table 1. Pemberian Skor pada Skala Kecenderungan

Perilaku Bullying ... 54

Table 2.Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Bullying (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem)... 54

Table 3. Pemberian Skor pada Skala Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara remaja dengan Orang Tua ... 55

Table 4.Blueprint Skala Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara remaja dengan Orang Tua (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem) ... 55

Tabel 5. Blueprint Skala Kecenderungan Perilaku Bullying (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)...57

Tabel 6. Blueprint Skala Efektivitas Komunikasi Interpersonal Remaja dengan Orang Tua (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)...58

Tabel 7. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 61

Tabel 8. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

Tabel 9. Deskripsi Data Penelitian ... 62

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 64

Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 65

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Dinamika Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara

Remaja dengan Orang Tua dan Kecenderungan Perilaku

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Penelitian (Try Out) ... 78

Lampiran B. Skala Penelitian (Setelah Try Out) ... 98

Lampiran C. Uji Reliabilitas Skala Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara Remaja dengan Orang Tua ... 116

Lampiran D. Uji Reliabilitas Skala Kecenderungan Perilaku Bullying ... 122

Lampiran E. Uji Normalitas ... 128

Lampiran F. Uji Linearitas ... 131

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Bullying merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak ditemui di seluruh dunia. Bullying banyak terjadi di dalam lingkungan sekolah, seperti koridor atau tempat-tempat yang lebih terpencil (Olweus & Solberg, tanpa

tahun; Argiati, 2010). Hal ini disebabkan karena kurang adanya pengawasan

dari orang dewasa di sekolah, khususnya saat istirahat sekolah (Olweus,

Limber, & Mihalic, dalam Fleming & Towey, 2002). Padahal sekolah

seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak untuk menimba ilmu dan

mengembangkan keterampilan sosial. Namun, pada kenyataannya tidak

dipungkiri ada beberapa kasus bullying yang terjadi di dalamnya, baik yang tampak maupun yang tidak.

Kasus bullying banyak ditemukan pada kalangan remaja khususnya di lingkungan sekolah dan dapat terlihat dari beberapa hasil penelitian. National Institute of Child Health and Human Development (NICDH) (dalam Ericson, 2001) melaporkan bahwa pelajar di Amerika Serikat yang mengalami

bullying kurang lebih sekali dalam seminggu yaitu berjumlah 1,6 juta pelajar dan pelajar yang sering menjadi pelaku bullying berjumlah 1,7 juta. Selanjutnya, menurut WHO pada tahun 2004 (dalam Hymel & Napolitano,

(20)

berusia 11, 13, dan 15 tahun pada 25 negara di Eropa dan Amerika Utara

mengalami bullying dan kekerasan sebesar 1% hingga 50%. Selain itu, penelitian yang telah dilakukan di dunia menunjukkan terdapat 15-25%

pelajar telah menjadi korban bullying dan 15-20% pelajar menjadi orang yang melakukan bullying (perpetrators bullying) (Dracic, 2009). Berdasarkan data yang dirilis Pusat Data dan Informasi, Komisi Nasional Perlindungan Anak

(Komnas PA) pada tahun 2011 di Indonesia pun ditemukan ada 139 kasus

bullying yang terjadi di lingkungan sekolah dan pada tahun 2012 berjumlah 36 kasus (Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dalam

Triyuda, 2012).

Perilaku bullying ini biasanya dilakukan oleh teman terhadap teman lainnya atau oleh senior kepada junior. Remaja yang menjadi pelaku bullying, yang dianggap memiliki kekuatan/kekuasaan, akan melakukan aksinya

kepada target yang dianggap lemah. Lemah dan kuat dalam hal ini tidak

hanya merujuk pada ukuran secara fisik tetapi juga secara mental (Sejiwa,

2008). Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuatan/kekuasaan

antara pelaku dan korban bullying (Olweus, dalam Smith, Cowie, Olafsson & Liefooghe, 2002). Bullying juga merupakan bentuk dari perilaku agresif yang dilakukan secara berulang oleh pelaku terhadap korbannya yang

menyebabkan bahaya atau penderitaan dan ketidaknyamanan korban, seperti

penderitaan fisik dan emosional (Olweus, dalam Hanif, Nadem, & Tariq,

(21)

Sebagai contoh kasus bullying yang dialami oleh Okke Budiman, siswa SMA 46 Jakarta. Okke sering mendapatkan perlakuan kasar dari kakak

kelasnya yang sering meminjam motor milik Okke dengan cara paksa. Lalu

pada suatu hari, Okke mengalami pemukulan yang dilakukan oleh kakak

kelasnya dengan menggunakan helm dan tangan kosong, tendangan di

punggung, 5 sundutan rokok di lengan kanannya. Hal ini terjadi karenaOkke

pulang sekolah tanpa ijin kepada kakak kelasnya terlebih dahulu (Ceppy,

dalam Rahmatullah, 2010).

Perilaku bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Dracic, 2009). Macam-macam

bentuk bullying ini antara lain bullying fisik, seperti memukul; bullying

verbal misal dapat berupa mengejek; bullying sosial misal dapat berupa menyebarkan rumor; bullying psikologis misal dapat berupa ancaman;

bullying seksual misalnya berupa touching; dan cyberbullying dapat berupa mengirimkan pesan yang mengancam (Dracic, 2009).

Bullying bukan sekedar masalah yang sepele karena menimbulkan dampak yang serius dan tidak menyenangkan bagi si korban. Dampak yang

terkait dengan bullying pada korban tampak pada penelitian yang dilakukan oleh Ayenibiowo & Akinbode (2011) berjudul Psychopathology of Bullying and Emotional Abuse among School Children. Peneliti meneliti efek psikologis dari bullying pada korban bullying yang berusia antara 12 sampai 19 tahun di Lagos. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa korban

(22)

obsessive compulsive, interpersonal sensitivity, depresi, kegelisahan, fobia kecemasan, paranoid, psychoticism dan neuroticism.

Bullying ini ternyata tidak hanya memiliki dampak negatif bagi korban tetapi juga memiliki dampak negatif bagi pelaku bullying itu sendiri. Pelaku

bullying berisiko besar memiliki kehidupan yang negatif di kemudian hari. Pelaku bullying cenderung berperilaku kriminal di usia dewasa nanti (Olweus, dalam Ericson, 2011; Lawrence & Adams, 2006). Pelaku juga

memiliki pekerjaan yang tingkatnya lebih rendah dari kemampuan yang

dimiliki, bertindak kasar terhadap pasangan, dan menggunakan hukuman

yang keras terhadap anak-anaknya (Lawrence & Adams, 2006). Remaja yang

melakukan bullying memiliki potensi untuk terlibat dalam perilaku antisosial lainnya, seperti vandalism, mengutil, membolos sekolah, berkelahi, dikeluarkan dari sekolah, dan menggunakan obat-obatan serta alkohol

(Olweus, dalam Ericson 2001).

Berdasarkan paparan tersebut terlihat bahwa perilaku bullying memiliki dampak yang negatif bagi remaja yang terlibat di dalamnya, baik bagi pelaku

maupun korban bullying. Pada penelitian ini, penelitian ingin fokus pada pelaku bullying. Hal ini disebabkan karena pelaku bullying, dengan kekuatan yang dimilikinya, pasti akan mencari sasaran yang dianggap lebih lemah

untuk dijadikan sebagai korban penindasan. Ketidakmampuan korban untuk

melawan pelaku ini membuat pelaku untuk menindas korban berulang kali.

(23)

kehidupan korban dan pelaku bullying itu sendiri baik saat ini maupun di kemudian hari.

Pada umumnya, remaja yang melakukan tindakan bullying berasal dari keluarga yang sering memberikan hukuman secara fisik kepada dirinya dan

diajarkan untuk menyerang balik secara fisik sebagai cara untuk mengatasi

masalah (Batsche, Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Pearce &

Thompson, 1998). Selain itu, keluarga yang kurang memberikan kasih sayang

atau kehangatan bagi anak-anak, kurang terlibat dalam kehidupan anak, serta

pola asuh orang tua yang permisif dapat mempengaruhi anak melakukan

bullying (Batsche, Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Pearce & Thompson, 1998; Dracic, 2009).

Beberapa peneliti juga telah mengidentifikasikan karakteristik remaja

yang melakukan tindakan bullying. Remaja yang cenderung impulsif, memiliki kepribadian yang dominan, mudah frustrasi, memiliki kesulitan

untuk mematuhi aturan, serta melihat kekerasan sebagai hal yang positif, serta

memiliki simpati yang rendah terhadap orang lain berpotensi melakukan

tindakan bullying terhadap teman sebayanya (Olweus & Solberg, tanpa tahun). Remaja yang memiliki pandangan positif terhadap kekerasan ini juga

dapat terjadi karena didukung oleh teman-temannya yang memiliki sikap

yang positif terhadap kekerasan serta cenderung melakukan bullying terhadap anak lainnya (Olweus, Limber, & Mihalic, dalam Fleming & Towey, 2002).

Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi remaja melakukan

(24)

kehidupan remaja, ternyata dapat menjadi faktor risiko bagi remaja

melakukan tindakan bullying. Ini menunjukkan bahwa keluarga memiliki peran penting bagi perkembangan remaja.

Pada masa remaja, individu mengalami pubertas dan

perubahan-perubahan lainnya, hampir pada seluruh aspek kehidupan remaja, yang

membuat remaja merasa tidak nyaman dengan keadaan semacam itu, seperti

bingung, tidak percaya diri, tidak puas dengan lingkungan, sulit beradaptasi,

ingin diakui atau diterima lingkungan, serta rentan terhadap frustasi dan

depresi (Bisono, 2009). Maka dari itu, perlu adanya pendampingan dari orang

tua bagi remaja. Ini menunjukkan adanya interaksi antara orang tua dan

remaja yang tidak terlepas dari proses komunikasi. Hybels & Weaves (2004)

mengemukakan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses untuk berbagi

informasi, ide, dan perasaan yang dilakukan secara verbal maupun nonverbal.

Komunikasi yang terjadi antara remaja dengan orang tua dapat

memberikan kontribusi baik bagi perkembangan mental yang sehat pada

remaja (Sadarjoen, 2005). Hardjana (2003) mengungkapkan bahwa

komunikasi merupakan salah satu cara terpenting bagi individu untuk berelasi

dan bekerja sama supaya dapat tetap mempertahankan hidup dan

berkembang.

Akan tetapi, terkadang komunikasi yang terjadi antara remaja dan orang

tua dapat membuat hubungan diantara kedua belah pihak menjadi lebih tidak

baik sehingga dapat mempengaruhi kehidupan remaja ke arah yang negatif.

(25)

bahwa antara orang tua dan remaja yang sedang terlibat dalam suatu topik

pembicaraan mengenai suatu masalah penting dapat menunjukkan pola

komunikasi. Apabila salah seorang menggerutu atau mengkritik seorang

lainnya atau menolak membicarakan sesuatu dan hal ini berlangsung terus

menerus, dapat membuat remaja memiliki tingkat penggunaan alkohol dan

obatan-obatan yang tinggi serta memiliki harga diri yang rendah.

Hal lain yang menunjukkan adanya komunikasi yang membuat

hubungan diantara remaja dan orang tua memburuk, misalnya tampak adanya

kesalahpahaman dalam komunikasi. Hal ini dapat terlihat saat remaja, dengan

perkembangan kognitif dan keinginan untuk mencapai otonomi, mulai

membandingkan orang tuanya dengan suatu standar ideal dan mengecam

kekurangan-kekurangan standar orang tuanya (Desmita, 2007). Sedangkan

disisi lain, sikap remaja yang demikian membuat orang tua beranggapan

bahwa anak mereka telah berubah menjadi anak yang tidak mau menurut,

melawan, dan menentang standar-standar orang tua. Hal ini membuat orang

tua berusaha untuk mengendalikan dengan keras dan memberikan banyak

tekanan agar remaja menaati standar-standar orang tua (Collins, dalam

Santrock, 2002). Ini dilakukan oleh orang tua dengan tujuan supaya remaja

tidak terpengaruh dengan godaan dan gangguan dari luar yang dapat

menyesatkan remaja bahkan menjerumuskan ke tindakan yang tidak berkenan

(Gunarsa & Gunarsa, 1990). Akan tetapi, justru sikap orang tua yang

demikian membuat remaja merasa dikekang (Gunarsa & Gunarsa, 1990).

(26)

baik maka akan menimbulkan konflik diantara remaja dan orang tua. Hal ini

menjadi alasan peneliti memilih efektivitas komunikasi interpersonal antara

remaja dengan orang tua sebagai variabel bebas.

Komunikasi dikatakan efektif apabila penerima pesan dapat

menginterpretasikan pesan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pengirim

pesan (Supratiknya, 1995). Pemahaman penerima pesan dalam menangkap

makna pesan ini terkait dengan ketepatan pengirim pesan dalam

menyampaikan maksud pesan tersebut. Ketika pengirim gagal dalam

menyampaikan maksud pesan maka akan menimbulkan kesalahpahaman

dalam berkomunikasi (Supratiknya, 1995).

Komunikasi interpersonal yang efektif menekankan pada adanya

keterbukaan, empati, sikap mendukung (deskriptif, spontanitas, dan

provisionalisme), sikap positif, dan kesetaraan (De Vito, 2011). Pesan yang

disampaikan dan diterima dalam suasana yang hangat, mendukung, respect, dan empati membantu individu untuk mengomunikasikan afeksi kepada

orang lain dan membantu terpenuhinya kebutuhan afeksi pada masing-masing

individu (Schutz, dalam Zeuschner, 1992). Kebutuhan afeksi ini penting bagi

remaja saat melewati masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa ini.

Adanya perasaan nyaman, hangat, dicintai, dan diterima dari orang tua

membantu remaja untuk dapat meningkatkan kualitas dirinya (Gordon, 1962).

Sedangkan, orang tua yang kurang memberikan kehangatan dan kurang

mendukung remaja serta memiliki banyak konflik dengan remaja

(27)

2008) dan remaja berpotensi melakukan bullying (Batsche, Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Dracic, 2009). Hal ini disebabkan karena remaja yang

tidak mendapatkan rasa nyaman, hangat, cinta, dan penerimaan dari orang tua

akan membuat remaja merasa bingung, risau, sedih, malu, diliputi rasa

dendam benci terhadap orang tua, serta merasa tidak nyaman dan aman di

dalam keluarga. Perasaan-perasaan yang demikian mendorong remaja untuk

mencari sumber kesenangan lain di luar lingkup keluarganya dengan

melakukan tindakan agresif yang dapat mengarah ke perilaku bullying, seperti menteror, mengancam, mengintimidasi, serta memeras temannya (Kartono,

2006).

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin

melihat hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja

dengan orang tua dan kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ialah:

Apakah ada hubungan antara efektivitas komunikasi interpersonal

(28)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk melihat hubungan antara

efektivitas komunikasi interpersonal antara remaja dengan orang tua dan

kecenderungan perilaku bullying pada remaja awal.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

menambah pengetahuan serta informasi dalam bidang ilmu psikologi

mengenai pentingnya komunikasi interpersonal yang efektif antara remaja

dengan orang tua.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Orang Tua

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan

pengetahuan dan sumber informasi bagi orang tua mengenai pentingnya

menjalin komunikasi interpersonal yang efektif dengan anak remajanya.

Dengan begitu orang tua dapat lebih meningkatkan keefektifan

komunikasi interpersonal dengan anaknya yang mulai memasuki masa

remaja sehingga dapat meminimalisir remaja menjadi pelaku bullying. b. Bagi Remaja

Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat memberikan wawasan

dan sumber informasi bagi remaja untuk tidak segan menjalin

(29)

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A. REMAJA

1. Pengertian Remaja

Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2008), masa remaja

merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju kedewasaan yang

berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal,

sampai sekitar usia dua puluh tahunan awal atau masa remaja akhir.

Menurut Mönks, Knoers, dan Haditono (2006) usia 12 sampai 15 tahun

merupakan masa remaja awal. Pada masa peralihan ini, individu

menghadapi perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial

yang saling berkaitan dan mempengaruhi kehidupannya. Periode ini

memiliki risiko karena beberapa remaja mengalami masalah dalam

menghadapi perubahan yang terjadi secara bersamaan ini dan

membutuhkan bantuan dalam mengatasi bahaya saat menjalani masa ini

(Papalia, Olds, dan Feldman, 2008).

Bantuan dan pengawasan sangat penting diberikan kepada anak-anak

yang memulai memasuki masa remaja, terutama pada masa remaja awal.

Hal ini disebabkan karena masa usia remaja awal merupakan puncak

terjadinya bullying. Banks (1997) mengungkapkan bahwa puncak terjadinya bullying ialah pada masa sekolah menengah pertama dan

(30)

2. Karakteristik Perkembangan Remaja a. Perkembangan Fisik

Pada masa remaja, individu mengalami pertumbuhan cepat pada

tinggi dan berat badan, perubahan proporsi tubuh dan bentuk, serta

tercapainya kematangan seksual (Papalia, Olds, dan Feldman, 2008).

Kematangan kerangka dan seksual terjadi pesat terutama pada awal

masa remaja. Periode ini disebut dengan pubertas Santrock, 2002).

Kematangan seksual pada masa remaja ditandai dengan perubahan pada

ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Setiap anak mengalami

urutan kematangan seksual yang berbeda. Di samping itu, anak laki-laki

dan perempuan memiliki ciri-ciri seks primer dan sekunder yang

berbeda (Desmita, 2007).

Ciri-ciri seks primer ini berkaitan dengan proses reproduksi. Pada

anak laki-laki, perkembangan organ-organ seks ditandai dengan mimpi

basah. Sementara itu, pada anak perempuan, perkembangan

organ-organ seks ditandai dengan munculnya periode menstruasi (menarche) (Desmita, 2007).

Perubahan ciri-ciri seks sekunder ini merupakan tanda-tanda yang

membedakan antara laki-laki dan perempuan. Tanda-tanda jasmaniah

yang muncul pada laki-laki antara lain tumbuh kumis dan janggut,

jakun, bahu dan dada melebar, suara berat, tumbuh bulu di ketiak, di

dada, di kaki, di lengan, dan sekitar kemaluan, serta otot-otot menjadi

(31)

antara lain payudara dan pinggul membesar, suara menjadi halus,

tumbuh bulu di ketiak dan di sekitar kemaluan (Desmita, 2007).

Selama masa perkembangan fisik ini disertai dengan adanya

perubahan psikologis remaja. Remaja mulai memperhatikan perubahan

pada bentuk tubuhnya. Kemudian, remaja mengembangkan citra

gambaran tubuhnya (Santrock, 2002).

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, pemikiran remaja berada pada tahap pemikiran

operasional formal yang berlangsung antara usia 11 hingga 15 tahun.

Remaja memiliki pemikiran yang lebih abstrak dibandingkan pada

masa kanak-kanak dahulu, yang ditandai dengan mampunya remaja

untuk dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan,

kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil dan penalaran yang benar-benar

abstrak. Selain itu, pemikiran remaja juga lebih idealistis. Remaja

berpikir mengenai ciri-ciri ideal bagi diri mereka sendiri dan orang lain

serta membandingkan diri mereka dan orang lain dengan menggunakan

standar-standar ideal tersebut. Remaja juga berpikir lebih logis dengan

mulai menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah dan

menguji permasalahan secara sistematis (penalaran deduktif induktif)

(dalam Santrock, 2002).

Pada masa remaja, perubahan kognisi sosial menjadi ciri

perkembangan remaja. Remaja mengembangkan egosentrisme yakni

(32)

dari perspektif mereka sendiri (Elkind, dalam Desmita, 2007).

Egosentrime ini dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu penonton

khayalan (imaginary audience) dan dongeng pribadi (the personal fable). Penonton khayalan (imaginary audience) merupakan keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya

remaja memperhatikan dirinya sendiri. Sedangkan, dongeng pribadi

(the personal fable) merupakan bagian dari egosentrisme remaja yang meliputi perasaan unik seorang remaja tentang dirinya (Santrock,

2002).

c. Perkembangan Psikososial

1). Hubungan Remaja dengan Orang Tua.

Pada masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa,

remaja berusaha untuk meraih kemandirian (otonomi), baik secara

fisik maupun psikologis. Remaja lebih banyak meluangkan

waktunya untuk berinteraksi dengan dunia yang lebih luas sehingga

remaja menghadapi berbagai macam nilai-nilai dan ide-ide

(Desmita, 2007). Kemudian, nilai-nilai dan ide-ide yang remaja

dapatkan dari dunia yang lebih luas tersebut mulai dibandingkan

dengan standar nilai dari orang tuanya (Santrock, 2002). Remaja

mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang

tuanya (Desmita, 2007).

Hal ini membuat para orang tua kebingungan dengan melihat

(33)

tua merasa anak berubah dari seorang anak yang menurut menjadi

seorang anak yang tidak mau menurut, melawan, dan menentang

standar-standar nilai orang tua. Para remaja tampak melepaskan

diri dari orang tua. Di sisi lain, orang tua semakin berusaha untuk

mengendalikan anak remaja dengan keras dan lebih banyak tekanan

supaya remaja menaati standar nilai orang tua (Collins, dalam

Santrock, 2002).

Perselisihan-perselisihan dan perundingan-perundingan yang

terjadi antara remaja dengan orang tua pada dasarnya dapat

berfungsi positif bagi remaja dan dapat membantunya melewati

masa transisi dari ketergantungan anak-anak menuju kemandirian

(otonomi) dewasa (Santrock, 2002). Hal ini dapat dicapai dengan

adanya hubungan yang positif dan suportif antara remaja dengan

orang tua. Hubungan yang demikian dapat memberikan

kesempatan bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan positif

dan perasaan negatifnya dan orang tua terus memberikan

bimbingan bagi remaja dalam mengambil keputusan yang masuk

akal pada bidang yang remaja masih memiliki pengetahuan terbatas

pada bidang tersebut (Desmita, 2007).

2). Hubungan Remaja dengan Teman Sebaya

Pada masa remaja, pengaruh teman sebaya semakin

meningkat.Pengaruh teman sebaya ini dapat bersifat positif dan

(34)

menyatakan bahwa teman sebaya memiliki fungsi positif, seperti

melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar untuk

mengontrol impuls-impuls agresif; memberikan dorongan untuk

mengambil peran dan tanggung jawab baru sehingga membuat

ketergantungan remaja pada dorongan keluarga menjadi berkurang;

melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya dapat

meningkatkan keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan

penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan dengan

cara yang lebih matang; remaja belajar mengenai tingkah laku dan

sikap-sikap yang diasosiasikan dengan menjadi laki-laki dan

perempuan melalui interaksi dengan teman sebaya; memperkuat

penyesuaian moral dan nilai-nilai; serta dapat meningkatkan harga

diri remaja karena dengan menjadi seseorang yang disukai oleh

teman sebayanya membuat remaja merasa senang akan dirinya.

Di samping itu, teman sebaya juga dapat memiliki pengaruh

yang negatif. Teman sebaya dapat memperkenalkan remaja dengan

berbagai bentuk kejahatan dan perilaku yang maladaptif (Santrock,

2002). Selain itu, remaja yang mengalami penolakan atau

pengabaian dari teman sebaya dapat menyebabkan perasaan

(35)

3). Perkembangan Identitas

Selama masa remaja, remaja menghadapi krisis antara

identitas dengan kebingungan identitas. Krisis ini tidak selalu

menunjukkan sebuah ancaman melainkan sebuah “titik balik” bagi

remaja dan menjadi sebuah tahapan yang krusial karena diharapkan

pada akhir periode ini, remaja mencapai identitas yang teguh

(Erikson, dalam Feist & Feist, 2008).

Pencarian identitas ini untuk menemukan siapakah dirinya,

bagaimana dirinya, dan ke mana akan menuju dalam kehidupannya

(Erikson, dalam Santrock, 2002). Remaja mencoba berbagai

macam peran-peran baru dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan

para remaja mengalami kebingungan identitas karena remaja

memutuskan untuk menjadi apa dan apa yang diyakini, juga

sekaligus memutuskan untuk tidak ingin menjadi apa dan apa yang

tidak mereka yakini. Kebingungan identitas juga semakin

meningkat saat remaja memutuskan kebijakan orang tua ataukah

nilai kelompok teman sebaya yang harus ditolak (Erikson, dalam

Feist & Feist, 2008).

Kebingungan identitas wajar terjadi selama proses pencarian

identitas. Akan tetapi, apabila remaja tidak dapat mengatasi

kebingungan identitasnya, maka akan mengarah pada penyesuaian

patologis yang berbentuk regresi ke tahap perkembangan

(36)

kebingungan identitasnya dengan tepat, maka akan memiliki

kepercayaan pada sejumlah prinsip ideologis, kemampuan dalam

memutuskan untuk bersikap yang sesuai, percaya pada teman

sebaya dan orang yang lebih dewasa yang memberi nasihat

mengenai tujuan dan aspirasi, dan keyakinan pada pilihan

mengenai pekerjaan yang sesuai (Erikson, dalam Feist & Feist,

2008).

B. BULLYING

1. Pengertian Bullying

Bullying merupakan salah satu bentuk kekerasan. Salah satu jenis tindakan yang negatif ini dilakukan berulang dari waktu ke waktu oleh

individu yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang lebih untuk

menyerang individu yang kekuatan atau kekuasannya lebih lemah

(Ericson, 2001). Tindakan ini menguntungkan bagi para pelaku bullying

untuk melukai atau mengintimidasi korban bullying yang dapat terjadi berkali-kali (Rigby & Smith, 2011).

Bullying juga didefinisikan sebagai perilaku negatif yang biasanya dilakukan berulang kali dan dengan sengaja untuk menyakiti atau tidak

menyenangkan oleh satu orang atau lebih terhadap seseorang yang

memiliki kesulitan untuk membela dirinya sendiri (Olweus, dalam Smith,

Cowie, Olafsson, Liefooghe, 2002). Menurut Olweus, ada tiga unsur

(37)

agresif dan dengan sengaja menyakiti orang lain; tindakan dilakukan

berulang-ulang dari waktu ke waktu; dan adanya ketidakseimbangan

kekuasaan atau kekuatan (Olweus, dalam Smith, Cowie, Olafsson,

Liefooghe, 2002).

Menurut Dracic (2009), bullying merupakan bentuk kekerasan yang bertujuan untuk membahayakan atau membuat orang lain menderita dan

merasa tidak nyaman secara fisik maupun emosional. Pelaku bullying

melakukan kekerasan ini tanpa mempedulikan tempat terjadinya,

keparahan, dan durasi. Perilaku ini terjadi berulang kali dalam bentuk yang

sama dan adanya hubungan kekuasaan atau kekuatan yang tidak sama

antara individu atau kelompok yang kuat melawan individu atau kelompok

yang lemah.

Berdasarkan definisi-definisi bullying dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku yang bersifat agresif yang terjadi secara berulang-ulang dengan adanya

ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasan yang bertujuan untuk

membuat orang merasa tidak nyaman atau berbahaya baik secara fisik

(38)

2. Komponen Perilaku Bullying

Menurut Olweus (dalam Hymel dan Napolitano, 2008), perilaku

bullying mengandung tiga unsur mendasar, yaitu:

a. Bersifat menyerang dan negatif (Intentional act). Tindakan negatif dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan ketidaknyamanan atau

cedera pada korban. Tindakan negatif ini dapat dilakukan secara fisik,

verbal, atau cara lain, seperti membuat wajah atau gerakan tubuh yang

menghina.

b. Dilakukan secara berulang (Repeatedly). Pada umumnya, bullying

bukan merupakan suatu tindakan yang terjadi secara acak atau terjadi

pada satu insiden. Bullying melibatkan adanya seorang individu yang dipilih berulang kali oleh individu lainnya atau berulang kali menjadi

target pelecehan dari kelompok individu. Hal ini merupakan sifat

berulang (repeated) dari bullying yang menyebabkan kecemasan dan ketakutan pada korban.

c. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban

(Imbalance Power). Perkelahian yang terjadi diantara dua orang yang memiliki kekuatan yang sama itu tidak dapat dikatakan sebagai

bullying. Bullying merupakan perkelahian yang tidak adil antara pelaku dan korban. Pelaku bullying memiliki kekuatan yang lebih daripada korban, sedangkan individu yang mendapatkan tindakan negatif

(39)

3. Bentuk-Bentuk Bullying

Bullying terjadi tanpa ada provokasi dan dilakukan secara sengaja untuk menyakiti orang lain. Dracic (2009), mengelompokkan perilaku

bullying dalam enam bentuk, yaitu:

a. Bullying verbal antara lain mengejek, memberi julukan, menyindir, memaki, menyoraki, memfitnah, memberi ancaman, penghinaan ras.

b. Bullying fisik antara lain menjegal, menghukum dengan berlari keliling lapangan, menampar, melempar sesuatu ke arah korban.

c. Bullying sosial antara lain menyebarkan rumor dan kebohongan, menggosip, pengucilan sosial, penghinaan.

d. Bullying psikologis, contoh memandang yang mengancam atau mengintimidasi.

e. Bullying seksual, contoh dari bullying seksual, ialah touching.

f. Bullying melalui media elektronik atau cyberbullyingantara lain mengirim pesan singkat atau email yang berisi ancaman.

Menurut Dracic (2009), perilaku bullying dapat terjadi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Maka dari itu, ada beberapa

perilaku bullying yang sulit untuk diidentifikasi dan adapula yang dapat dideteksi dan diidentifikasi dengan cepat antara pelaku dan korban.

(40)

bentuk perilaku bullying yang sulit untuk diidentifikasi ialah seperti perilaku bullying verbal, psikologis, dan sosial.

4. Dampak Perilaku Bullying Bagi Pelaku Bullying

Bullying ini memiliki dampak bagi pelaku bullying. Remaja yang terlibat dalam bullying (sebagai pelaku bullying) berisiko memiliki kehidupan yang negatif di kemudian hari. Remaja yang menjadi pelaku

bullying lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku antisosial dalam jangka panjang, seperti vandalism, shoplifting, skipping dan dikeluarkan dari sekolah, perkelahian, menggunakan obat-obatan dan alcohol (Ericson,

2001; Bender & Losel, 2011). Pelaku bullying juga dapat terlibat dalam perilaku kriminal pada usia dewasanya (Olweus, dalam Ericson 2001;

Lawrence & Adams, 2006), pelaku juga memiliki pekerjaan yang

tingkatnya lebih rendah dari kemampuan yang dimiliki, bertindak kasar

terhadap istri, dan menggunakan hukuman yang keras terhadap

anak-anaknya (Lawrence & Adams, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh

National Institute of Child Health and Human Development (NICDH) dalam Ericson (2001) menemukan bahwa remaja yang menjadi pelaku

(41)

5. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Bullying

Remaja melakukan tindakan bullying karena beberapa alasan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan individu, keluarga, teman sebaya,

sekolah dan komunitas memiliki risiko bagi remaja untuk melakukan

tindakan bullying terhadap teman sebayanya. Berikut akan dijelaskan faktor-faktor berisiko bagi remaja untuk terlibat sebagai pelaku bullying. a. Individu

Remaja yang cenderung impulsif, memiliki kepribadian yang

dominan, mudah frustrasi, memiliki kesulitan untuk mematuhi aturan,

serta melihat kekerasan sebagai hal yang positif, serta memiliki simpati

yang rendah terhadap orang lain berpotensi melakukan tindakan

bullying terhadap teman sebayanya (Olweus & Solberg, tanpa tahun). b. Keluarga.

Keluarga memiliki peran penting bagi perkembangan

anak-anaknya. Gordon (1962) mengemukakan bahwa peranan keluarga bagi

anak-anaknya antara lain memberikan afeksi kepada anak-anaknya

yang sedang tumbuh supaya dapat meningkatkan kualitas dirinya lebih

baik karena adanya perasaan hangat, nyaman, dicintai, dan diterima

dalam keluarga. Selain itu, keluarga menjadi agen kebudayaan.

Maksudnya ialah orang tua menyampaikan informasi kepada

anak-anaknya mengenai perilaku dan keyakinan yang sesuai agar anak-anak

dapat tumbuh keluar rumah dengan baik dan mengetahui cara untuk

(42)

Di sini, peran komunikasi dalam keluarga sangat penting karena

antara satu anggota keluarga dengan anggota lainnya pasti akan selalu

saling berinteraksi, saling berbagi cerita mengenai hal apapun (Hybels

& Weaver, 2004). Komunikasi dalam keluarga ini bersifat transaksional

dimana setiap anggota keluarga memiliki hubungan dengan anggota

keluarga lainnya sehingga hubungan tersebut mempengaruhi keluarga

secara keseluruhan (Noller, Fitz, & Patrick, dalam Hybels & Weaver,

2004).

Orang tua merupakan sumber utama yang paling berpengaruh

pada komunikasi di dalam keluarga. Komunikasi dengan orang tua

dapat mempengaruhi konsep diri anak karena pesan-pesan yang

disampaikan oleh orang tua dapat menjadi sebuah “script” bagi anak

untuk belajar mengenal kemudian melakukannya (James & Jongeward,

dalam Zeuschner, 1992). Setiap pesan yang disampaikan orang tua

terhadap anaknya seperti harapan-harapan terhadap anak, membuat

anak berasumsi bahwa harapan orang tua merupakan bagian dari

konsep dirinya (Zeuschner, 1992).

Hasil penelitian mengenai komunikasi antara orang tua dan

remaja yang dilakukan oleh Sillars, Koerner, & Fitzpatrick, 2005)

menunjukkan bahwa keluarga yang mendorong adanya sebuah

pertukaran yang terbuka mengenai ide-ide dan perasaan-perasaannya

akan meningkatkan pemahaman dan penyesuaian terhadap perubahan

(43)

menggambarkan karakteristik keluarga secara luas. Misal, pemahaman

ayah terhadap anaknya memprediksi pemahaman anggota keluarga lain

terhadap anggota keluarga yang lainnya. Keterbukaan pada komunikasi

memiliki hubungan positif dengan pemahaman orang tua, sedangkan

orang tua yang menekan dan mencela komunikasi anak memiliki

hubungan negatif dengan pemahaman orang tua. Sensitivitas orang tua

terhadap persepsi diri anak dapat meningkatkan hubungan yang kuat

antara orang tua dan anak dan memfasilitasi penerimaan diri anak.

Anak yang memiliki harga diri yang tinggi dan hubungan yang kuat

dengan orang tua juga membuat diri mereka lebih terbuka kepada orang

tua mereka.

Hasil penelitian lain mengenai komunikasi yang dilakukan oleh

Caughlin & Malis (2004) menunjukkan bahwa antara orang tua dan

remaja yang sedang terlibat dalam suatu topik pembicaraan mengenai

suatu masalah penting dapat menunjukkan pola komunikasi dimana

salah seorang menggerutu atau mengkritik seorang lainnya atau

menolak membicarakan sesuatu, dapat membuat remaja memiliki

tingkat penggunaan alkohol dan obatan-obatan yang tinggi serta

memiliki harga diri yang rendah.

Dengan demikian peran keluarga sangat penting bagi

perkembangan anak-anaknya ke arah yang positif atau negatif. Ketika

keluarga kurang memberikan kasih sayang atau kehangatan bagi anak

(44)

yang keras, serta berasal dari keluarga yang sering memberikan

hukuman secara fisik kepada dirinya dan diajarkan untuk menyerang

balik secara fisik sebagai cara untuk mengatasi masalah (Batsche,

Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Pearce & Thompson, 1998);

pola asuh orang tua yang permisif; keluarga yang kurang memberikan

kasih sayang atau kehangatan bagi anak-anak, dan kurang terlibat dalam

kehidupan anak (Batsche, Knoff, & Olweus, dalam Banks, 1997; Pearce

& Thompson, 1998; Dracic, 2009) dapat mempengaruhi remaja untuk

terlibat menjadi pelaku bullying.

Hal serupa dikemukakan oleh Kartono (2006) bahwa sikap hidup,

tradisi, kebiasaan dan filsafat hidup keluarga memiliki pengaruh yang

sangat besar terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku remaja

sehingga ketika orang tua menunjukkan perilaku yang menyimpang

maka remaja akan mengadopsi sikap dan tingkah laku orang tua

tersebut dengan terlibat dalam kenakalan remaja, seperti melakukan

tindakan bullying. Selain itu, remaja yang kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, kebutuhan fisik dan psikisnya tidak terpenuhi di

dalam keluarga, serta tidak mendapatkan ajaran dari orang tua untuk

hidup dengan baik sesuai dengan norma akan membuat anak terlibat

dalam kenakalan remaja, seperti tindakan bullying. Hal ini disebabkan karena remaja merasa bingung, risau, sedih, malu, diliputi rasa dendam

benci terhadap orang tua, serta merasa tidak aman dan nyaman berada

(45)

kesenangan di luar lingkup keluarga dengan melakukan

tindakan-tindakan yang agresif, seperti menteror, mengancam, mengintimidasi,

serta memeras temannya atau dengan kata lain melakukan bullying. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian orang tua.

Penelitian yang dilakukan oleh Sahin & Sari (2010) juga

menunjukkan pentingnya rasa dicintai, disayangi, dan dihargai oleh

orang tua dalam perkembangan fisik dan psikologis remaja. Orang tua

yang bersikap negatif terhadap remaja membuat remaja merasa tidak

diterima dan dihargai oleh orang tua sehingga cenderung membuat

remaja mengembangkan perilaku bullying. Tindakan ini dilakukan oleh remaja supaya tampak dominan, dihargai oleh teman-teman sebayanya,

dan menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitarnya.

c. Teman Sebaya

Pelajar yang terlibat bullying di sekolah disebabkan karena pelajar memiliki teman-teman yang memiliki sikap positif terhadap kekerasan

dan juga cenderung melakukan bullying terhadap orang lain (Olweus, Limber, & Mihalic, dalam Fleming & Towey, 2002).

d. Sekolah.

Sekolah juga dapat mengembangkan terjadinya bullying jika kurangnya pemantauan dari orang dewasa (khususnya selama istirahat

sekolah) dan guru, karyawan-karyawan di sekolah lainnya, dan

siswa-siswa yang memiliki sikap acuh tak acuh atau menerima bullying

(46)

C. KOMUNIKASI INTERPERSONAL 1. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Manusia adalah mahkluk sosial yang dalam kehidupannya

membutuhkan interaksi antara satu dengan yang lainnya. Interaksi yang

terjadi biasanya antara dua orang atau beberapa orang secara tatap muka,

dimana pengirim pesan dapat menyampaikan pesan secara langsung,

begitu pula dengan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi

pesan secara langsung, dan dilakukan secara lisan dalam bentuk verbal

disertai dengan ungkapan non verbal (Hardjana, 2003).

Hybels & Weaver (2004) mendefinisikan komunikasi interpersonal

merupakan komunikasi yang terjadi antara dua orang dalam lingkup

informal atau tidak terstruktur dan menggunakan seluruh elemen

komunikasi, dimana pesan yang disampaikan mengandung lambang verbal

dan nonverbal melalui saluran komunikasi berupa penglihatan dan suara.

Giffin & Patton (1976) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai

interaksi tatap muka (face-to-face) antara orang-orang yang secara konsisten sadar akan satu dengan yang lainnya atau masing-masing pihak

yang terlibat. Webb & Hayes (dalam Beebe, Beebe, & Redmond, 2009)

mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai interaksi yang terjadi

diantara dua orang melibatkan adanya proses komunikasi. Proses

(47)

laindengan berbagai dampak dan dengan kesempatan untuk memberikan

umpan balik segera.

Barker & Daud (2001) mengemukakan bahwa komunikasi

interpersonal melibatkan adanya hubungan diadik atau terdapat dua orang

dalam hubungan dekat. Individu yang terlibat dalam hubungan ini

memiliki peran yang saling bergantian, terkadang mengirim pesan pada

individu lainnya dan di waktu lainnya merespon individu yang mengirim

pesan. Komunikasi interpersonal dalam hubungan diadik ini fokus pada

berbagi makna yang berasal dari pengalaman dan observasi pribadi.

Selain itu, ahli teori komunikasi lainnya juga ada yang

mendefinisikan komunikasi interpersonal berdasarkan pengembangan

(developmental). Komunikasi yang dilakukan oleh antar individu berada pada rentang kontinum dari komunikasi impersonal hingga komunikasi

interpersonal yang ditandai dan dibedakan berdasarkan prediksidata

psikologis. Maksudnya ialah individu menangkap harapan, pikiran, dan

perasaan individu lainnya. Individu yang terlibat dalam komunikasi

menganggap orang lain sebagai pribadi, yang unik atau autentik, bukan

sebagai objek. Sedangkan, dalam komunikasi impersonal, individu

menganggap orang lain sebagai objek atau merespon orang lain

berdasarkan peran mereka bukan sebagai pribadi yang unik (Buber, dalam

Beebe, dkk, 2009). Komunikasi interpersonal juga berdasarkan pada

(48)

bagaimana orang tersebut akan bertindak dan kita juga dapat memberikan

penjelasan mengenai perilaku tersebut. Di samping itu pula, komunikasi

interpersonal ditetapkan aturan-aturan yang ditetapkan bersama (antar

pribadi) bukan berdasarkan norma-norma sosial (Miler, dalam De Vito,

2011).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi

interpersonal merupakan interaksi yang dilakukan secara lisan dan secara

tatap muka antara dua orang untuk saling menyampaikan dan menerima

pesan dengan segera dalam bentuk verbal maupun non verbal. Komunikasi

yang terjalin ini bukan berdasarkan atas peran masing-masing pihak dan

norma sosial yang ada tetapi pada sikap masing-masing pihak yang saling

menghargai keunikan pribadi untuk berbagi makna pesan dan emosi

sehingga memberikan dampak mutual bagi kedua belah pihak.

2. Motif Individu Melakukan Komunikasi

Tiap individu memiliki berbagai macam kebutuhan yang perlu

dipenuhi. Individu mencoba untuk memenuhi salah satu atau lebih

kebutuhan dalam diri melalui komunikasi. Adler & Towne (1989)

mengemukakan alasan yang mendorong individu untuk melakukan

komunikasi interpersonal yaitu supaya kebutuhan-kebutuhan yang ada di

dalam diri tiap individu dapat terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut

(49)

a. Kebutuhan fisik. Komunikasi interpersonal sangat penting bagi tiap

individu karena ada atau tidak adanya komunikasi dalam hidup itu

sangat mempengaruhi kesehatan fisik individu. Yang paling penting

bukan seberapa banyak telah melakukan komunikasi (kuantitas) tetapi

lebih pada kualitas dari komunikasi yang dilakukan. Jadi, komunikasi

interpersonal sangat penting bagi kesejahteraan (well being) individu. b. Kebutuhan identitas. Berkomunikasi dengan orang lain dapat

membantu individu untuk mengembangkan perasaan identitas diri

karena melalui interaksi dengan orang lain membantu dalam

mendefinisikan siapa diri kita.

c. Kebutuhan sosial. Berkomunikasi merupakan cara kita untuk berelasi

secara sosial dengan orang lain sehingga dapat memenuhi kebutuhan

sosial kita. Schutz (dalam Adler & Towne, 1989) mengemukakan ada

tiga kebutuhan sosial yang dapat terpenuhi melalui komunikasi

interpersonal, yaitu kebutuhan individu akan perasaan terlibat dalam

suatu hubungan atau relasi dengan orang lain (kebutuhan inklusi);

keinginan atau hasrat individu untuk mempengaruhi orang lain

(kebutuhan kontrol); kebutuhan akan penghargaan atau respect dari orang lain (kebutuhan afeksi). Apabila kebutuhan sosial ini dapat

terpenuhi maka akan menumbuhkan atau meningkatkan hubungan

antarpribadi menjadi lebih baik (Tubbs & Moss, dalam Rakhmat,

(50)

d. Kebutuhan praktikal. Komunikasi merupakan sarana bagi individu

untuk memberitahu sesuatu yang menjadi keinginan individu kepada

orang lain dan merupakan metode yang digunakan untuk meyakinkan

atau membujuk orang lain. Ketidakmampuan individu untuk

mengekspresikan diri secara jelas dan efektif dapat menghalangi

individu dalam mencapai tujuannya.

3. Fungsi dan Peran Komunikasi Interpersonal

Dance & Larson (dalam Barker & Gaut, 2001) mengemukakan

fungsi dari komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh individu.

Pertama, komunikasi interpersonal menyediakan fungsi hubungan (linking function) antara seseorang dengan lingkungannya. Seseorang menjadi lebih mampu untuk memahami dunia dengan lebih baik melalui

komunikasi interpersonal. Kedua, komunikasi interpersonal interpersonal

mengijinkan seseorang untuk mengonseptualisasikan, mengingat, dan

merencanakan (mentation function) supaya seseorang dapat berpikir dan mengevaluasi secara lebih efektif. Ketiga, komunikasi interpersonal

membantu untuk mengatur perilaku kita dan orang lain (regulatory function).

Terkait dengan fungsi-fungsi tersebut, Johnson (dalam Supratiknya,

1995) mengemukakan komunikasi interpersonal memiliki peranan yang

(51)

i. Komunikasi interpersonal membantu perkembangan intelektual dan

sosial. Perkembangan intelektual dan sosial seseorang ditentukan

oleh kualitas komunikasi seseorang dengan yang lainnya.

ii. Komunikasi interpersonal membantu membentuk identitas dan jati

diri. Seseorang menjadi tahu tanggapan yang diberikan orang lain

terhadap dirinya dan pandangan orang lain mengenai dirinya

melalui komunikasi sehingga seseorang dapat mengetahui siapa

dirinya yang sebenarnya.

iii. Komunikasi interpersonal membantu dalam pembandingan sosial.

Pembandingan sosial dilakukan oleh seseorang untuk dapat lebih

memahami realitas yang ada disekelilingnya dan menguji

kebenaran kesan dan pengertian yang dimiliki mengenai dunia

sekitar dengan membandingkannya dengan kesan dan pengertian

dari orang lain mengenai realitas yang sama.

iv. Komunikasi interpersonal mempengaruhi kesehatan mental

seseorang. Adanya konfirmasi atau pengakuan yang berupa

tanggapan dari orang lain bahwa diri kita normal, sehat, dan

berharga membuat diri kita merasa bahagia. Sedangkan,

diskonfirmasi atau penolakan dari orang lain yang berupa

tanggapan bahwa diri kita abnormal, tidak sehat, dan tidak berharga

(52)

4. Hambatan dalam Komunikasi Interpersonal

Komunikasi memang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari

bagi individu untuk menjalin relasi dengan individu lainnya, tetapi

adakalanya individu mengalami hambatan dalam komunikasi. Hambatan

dalam komunikasi ini dapat membatasi keefektifan interaksi individu

(Giffin & Patton, 1976).

Masalah utama dalam komunikasi interpersonal adalah

ketidakpercayaan, yang merupakan salah satu bentuk perilaku defensif

antarpribadi. Penyebab seorang individu melakukan perilaku defensif

karena salah satu kebutuhan antarpribadi tidak terpenuhi. Setiap individu

membutuhkan timbal balik yang mendukung (suportif) dari orang lain

untuk memperoleh dan mempertahankan gambaran diri yang baik (Giffin

& Patton, 1976). Kemudian ketika individu merasa gambaran dirinya

terancam oleh individu lain maka individu tersebut akan berusaha untuk

melindungi gambaran dirinya yaitu dengan cara bersikap defensif (Adler,

& Towne, 1989).

Ada tiga cara mekanisme defensif yang dapat dilakukan oleh

individu untuk tidak menyetujui pendapat (isi pesan) dari individu lain

yang dapat mengancam gambaran dirinya (Adler & Towne, 1989) ialah:

a. Menyerang pengkritik/pengecam (attacking the critic). Menyerang balik merupakan salah satu sikap defensif yang paling baik. Ada

(53)

a.1) Agresi verbal. Individu akan menggunakan agresi verbal secara

langsung untuk menyerang kritik yang diperolehnya. Respons

semacam ini mengalihkan kesalahan atas kritik yang

diperolehnya, dengan tanpa mengakui bahwa mungkin penilaian

dari orang lain itu benar.

a.2) Sarkasme. Menyamarkan penyerangan balik dalam bentuk pesan

yang menusuk hati atau lucu. Pesan ini merupakan bentuk agresi

secara tidak langsung.

b. Mendistorsi informasi penting (distorting critical information). Cara mempertahankan gambaran diri saat merasa gambaran dirinya diserang

ialah dengan mendistorsi informasi supaya dapat menyajikan gambaran

dirinya secara utuh.

b.1). Rasionalisasi. Menciptakan informasi yang masuk akal tetapi

merupakan penjelasan yang tidak benar untuk perilaku yang

tidak diinginkan.

b.2).Kompensasi. Cara individu untuk menutupi kekurangannya

dengan menggunakan kekuatannya.

b.3). Regresi. Menghadapi serangan dengan cara menghindar, yaitu

dengan memainkan peran bahwa dirinya tidak berdaya.

Ketidakberdayaan ini dilakukan hanya karena individu tidak

mau melakukan sesuatu sehingga individu berpura-pura

menunjukkan bahwa dirinya tidak dapat melakukan sesuatu

(54)

c. Menghindari informasi yang tidak selaras (avoiding dissonant information). Cara ketiga untuk melindungi gambaran diri dari ancaman ialah dengan menghindari informasi yang tidak selaras dengan

gambaran dirinya sama sekali.

c.1) Menghindar secara fisik.

c.2) Represi. Individu memblokir atau menekan informasi yang tidak

selaras dengan dirinya. Misalnya ketika dikritik, individu akan

berpura-pura tidak mendengar kritik tersebut.

c.3) Apati. Individu mengetahui informasi yang tidak menyenangkan

bagi dirinya tetapi dirinya berpura-pura tidak peduli dengan

informasi tersebut.

c.4) Displacement. Individu melepaskan perasaan benci dan agresifnya kepada objek atau individu lain yang dianggap lebih

tidak berbahaya daripada individu yang yang mengancam

gambaran dirinya.

Ada beberapa hal yang menimbulkan reaksi defensif dari seorang

individu (yang menerima pesan) terhadap individu lainnya (yang memberi

pesan) karena dalam berkomunikasi individu menyampaikan pesan dengan

menunjukkan beberapa perilaku, yang Gibb (dalam Adler & Towne, 1989)

sebut dengan gaya defensif berkomunikasi. Perilaku-perilaku yang

(55)

a. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi (evaluation) memicu reaksi defensif pada individu yang menerima pesan. Hampir sebagian besar individu akan merasa

jengkel saat menerima sebuah pernyataan yang mengandung pesan

menghakimi karena pernyataan tersebut diinterpretasikan oleh

individu sebagai tanda kurang adanya penghargaan dari orang lain.

b. Superioritas (Superiority)

Superioritas (superiority) menghasilkan suasana komunikasi yang defensif. Adanya superioritas dalam proses penyampaian pesan

dapat menghambat individu yang menerima pesan untuk

mengembangkan potensi yang dimilikinya karena hal itu mengalihkan

energinya jauh dari pertumbuhan yang positif ke arah pembelaan diri

yang negatif (negative defensiveness). c. Kontrol (Control)

Pesan yang disampaikan akan menimbulkan sikap defensif pada

individu yang menerima pesan ketika pengirim pesan tampak

memaksakan sebuah solusi kepada penerima pesan dengan hanya

sedikit menghargai kebutuhan atau minat penerima pesan. Tidak ada

satu individu pun yang menyukai jika idenya dianggap tidak berguna.

d. Strategi (Strategy)

Komunikasi yang menggunakan strategi akan menciptakan

suasana komunikasi yang buruk. Salah satu cara yang paling pasti

Gambar

Gambar 1. Skema Dinamika Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara
Gambar 1. Skema Dinamika Efektivitas Komunikasi Interpersonal antara Remaja
Table 1. Pemberian Skor pada Skala Kecenderungan Perilaku Bullying
Table 3. Pemberian Skor pada Skala Efektivitas Komunikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guru setuju dengan manfaat yang dirasakan siswa selama proses pembelajaran fisika menggunakan model Sains Teknologi Masyarakat dengan Metode Saintifik yaitu siswa

Seluruh teman DIV Bidan Pendidik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu, memberikan dukungan dan doa demi kelancaran penyusunan Karya

Penelitian ini, data penelitian menggunakan instrumen non-tes akan dibandingkan dengan suatu kriteria yang telah ada, sehingga instrument non-tes memerlukan uji

Selain melihat pengaruh stock repurchase terhadap return saham, peneliti juga ingin melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi wealth effect pada return ini, seperti

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamanyang dimiliki oleh perusahaan dan juga untuk mengetahui alternative strategi yang dapat

[r]

Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Keduang Wonogiri, Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Laboratorium Biologi dan Bioteknologi Tanah, Laboratorium Fisika dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan kelulushidupan ikan sidat setelah pemberian pakan alternatif dengan berbagai proporsi dan untuk mengetahui