UPAYA DIREKTORAT LALU LINTAS KEPOLISIAN DAERAH LAMPUNG DALAM PENANGGULANGAN PELANGGARAN
TERHADAP PENGENDARA KENDARAAN BERMOTOR YANG TIDAK MEMILIKI KELENGKAPAN
SURAT
(Jurnal Ilmiah)
Oleh
NELDIAN SAPUTRA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
UPAYA DIREKTORAT LALU LINTAS KEPOLISIAN DAERAH LAMPUNG DALAM PENANGGULANGAN PELANGGARAN
TERHADAP PENGENDARA KENDARAAN BERMOTOR YANG TIDAK MEMILIKI KELENGKAPAN
SURAT
Oleh
Neldian Saputra, Eko Rahardjo, SH, M.H, Firganefi, SH, M.H
(neldiansaputra47@gmail.com)
Secara efisien kinerja polisi perlu dipahami, Pekerjaan dasar Polisi Lalu Lintas
adalah “mengawasi lalu lintas”. Mengawasi lalu lintas, membantu menjaga agar sistem transportasi jalan raya berfungsi secara lancar dan efisien. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimanakah upaya Direktorat lalu lintas kepolisian daerah Lampung dalam penanggulangan pelanggaran terhadap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki kelengkapan surat dan (2) Faktor apasajakah penghambat upaya Direktorat lalu lintas kepolisian daerah Lampung dalam penanggulangan pelanggaran terhadap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki kelengkapan surat? Metode yang digunakan di dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendeketan yuridis normatif dan didukung oleh pendekatan yuridis empiris yang berupa dukungan dari para pakar hukum pidana dan penegak hukum untuk mendukung data yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa (1) Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menanggulangi pelanggaran terhadap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki kelengkapan surat-surat dapat dilaksanakan dengan cara-cara, yaitu, upaya Pre-Emtif (himbauan), upaya Preventif (pencegahan), dan upaya Represif (tindakan). (2) Faktor penghambat di dalam upaya penanggulangan oleh kepolisian dalam menanggulangi pelanggaran terhadap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki kelengkapan surat-surat, yaitu berasal dari faktor internal dan eksternal dimana masing-masing pihak masih memiliki kekurangan dalam memahami tata aturan yang berlaku dan masih tidak ingin menerima perubahan-perubahan dan bersikap tidak ingin tahu mengenai pelanggaran yang telah diperbuat, hal ini sangat disadari dari kurangnya sosialisasi dan kurangnya rasa kepercayaan dari masing-masing pihak baik dari pihak aparat kepolisian maupun dari pihak masyarakat itu sendiri. Sehingga harus meningkatkan kepercayaan dan koordinasi antar pihak untuk meciptakan keamanan dan kepercayaan.
DIRECTORATE AGENCY OF POLICE TRAFFIC LAMPUNG IN INFRINGEMENT OF VIOLATION THE MOTORCYCLE
VEHICLES DOES NOT HAVE A COMPLETENESS LETTER
By
Neldian Saputra, Eko Rahardjo, SH, M.H, Firganefi, SH, M.H
(neldiansaputra47@gmail.com)
Efficiently police performance needs to be understood, Traffic Police basic work is "watching for traffic". Keep an eye on traffic, helping to keep the road transport system functioning smoothly and efficiently. The problems discussed in this thesis are (1) How is the effort of Lampung Police Traffic Directorate in overcoming the violation of motorists who do not have the complete letter and (2) what factors inhibit the effort of the Directorate of Lampung Police Traffic in handling the violation against the rider a motor vehicle that does not have a complete letter? The method used in this thesis is by using normative juridical method and supported by empirical juridical approach in the form of support from criminal law expert and law enforcer to support normative juridical data. Based on the results of research and discussion can be drawn a conclusion that (1) Efforts to overcome the done by the police in tackling violations of motorists who do not have the completeness of the letters can be implemented in ways, that is, the Pre-Emtif (call) , Preventive efforts (prevention), and Repressive (action) efforts. (2) Inhibiting factors in the coping effort by the police in dealing with violations against motorists who do not have the completeness of the letters, which are derived from internal and external factors where each party still has a lack of understanding the rules of the applicable and still not want to accept the changes and be unwilling to know about the violations that have been done, it is very aware of the lack of socialization and lack of confidence from each party both from the police and from the community itself. So it should increase trust and coordination between parties to create security and trust.
I. PENDAHULUAN
Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,
terutama di negara
berkembang.Pengaruh ini berupa lajunya pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi yang juga diikuti dengan perkembangan perekonomian masyarakatnya.
Perkembangan perekonomian
tersebut secara signifikan juga diikuti dengan meningkatnya mobilitas masyarakat dari suatu daerah ke daerah lain. Pada titik inilah, peranan penting transportasi juga akan semakin dirasakan.Hasrat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dinamika hidup, mengharuskan setiap manusia bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Jarak tempat yang akan di tempuh oleh setiap manusia bervariasi sifatnya dan terkadang harus ditempuh dengan suatu wahana atau dengan suatu modal transportasi.
Transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa dan dalam usaha mencapai tujuan nasioanal berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Peranan tersebut merupakan suatu peranan vital, sehingga dijadikan landasan pertimbangan dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, (selanjutnya akan disingkat
menjadi UULLDAJ)
sebagaipengganti Undang-Undang Nomor14 Tahun 1992 Tentang Lalu
Lintas Dan Angkutan Jalan yang dipandang tidak relevan lagi bagi masyarakat Indonesia.
Pembangunan yang dilaksanakan Indonesia adalah pembangunan di segala bidang yang merupakan suatu bagian dari proses modernisasi yang menciptakan kesejahteraan dan ketenteraman bagi masyarakat Indonesia. Pembangunan yang ada saat ini tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan dan salah satu kekurangan yang paling sering ditemui adalah tingginya tingkat
kemacetan pada jam-jam
sibuk.Kemacetan merupakan salah satu dampak negatif dari semakin majunya pembangunan khususnya di bidang produksi kendaraan bermotor yang pada gilirannya menyebabkan semakin simpang siurnya lalu lintas jalan raya. Hal ini dikarenakan tidak berbandingnya jumlah kendaraan dengan jumlah ruas jalan yang pada akhirnya akan memungkinkankan terjadinya pelanggaran lalu lintas dan menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi para pengguna jalan raya.Dalam bidang keprasaraan transportasi, pada saat sekarang telah dibangun jalan alternatif, jalan tol, jalan layang (satu tingkat atau lebih satu tingkat), jalan di bawah tanah (under pass), jalan (terowongan) di bawah
permukaan laut.Teknologi
modern dan canggih, yang didukung
oleh kemajuan teknologi
transportasi, yang selalu memperlihatkan perubahan wajah yang makin maju, modern, dan canggih (transportation is always changing face). Perubahan wajah transportasi menjadi lebih cantik dalam arti semakin efektif dan efisien. 1 Transportasi adalah perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin.Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari.Transportasi merupakan urat nadi bagi kehidupan
perokonomian dan
sosial.Transportasi jalan raya yang efisien bergantung pada kinerja berbagai unsur, namun kinerja Polisi Lalu Lintas adalah salah satu unsur penting dalam mengatur transportasi jalan raya agar terwujudnya suatu keamanan dan keselamatan lalu lintas.
Secara efisien kinerja polisi perlu dipahami, Dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi Lalu Lintas, eksistensi polisi tengah masyarakat bergantung pada tingkah laku anggotanya.Pekerjaan dasar Polisi Lalu Lintas adalah
“mengawasi lalu lintas”.Mengawasi
lalu lintas, membantu menjaga agar sistem transportasi jalan raya berfungsi secara lancer dan efisien.Jika seseorang diijinkan untuk menggunakan jalan raya
1Raharjo Adi Sasmita dan Sakti Adji
Adisasmita, Manajemen Transportasi Darat
Mengatasi Kemacetan di Kota Besar (Jakarta), Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011, hlm. 12.
sesuka hati mereka, yang terjadi adalah kekacauan. Jika cacat-cacat di dalam sistem jalan dibiarkan tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan, lalu lintas pada akhirnya akan berhenti sama sekali.Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan
pelanggaran hukum, dalam
permasalahan lalu lintas adalah seperti tidak memakai helm, menerobos lampu merah, tidak memiliki SIM atau STNK , tidak menghidupkan lampu pada siang hari, dan bonceng tiga dianggap sudah membudaya di kalangan masyarakat dan anak-anak sekolah. Pelanggaran lalu lintas seperti itu dianggap sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat pengguna jalan, sehingga tiap kali dilakukan operasi tertib lalu lintas di jalan raya oleh pihak yang berwenang, maka tidak sedikit yang terjaring kasus pelanggaran lalu lintas dan tidak jarang juga karena pelanggaran tersebut kerap menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
PadaPasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:
1. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan
lain untuk mendorong
perekonomian nasional,
memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
2. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
3. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Di dalam Pasal 5 ayat (3) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pembinaan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholder), sebagai berikut:
1. Urusan pemerintahan di bidang prasarana jalan, oleh kementrian yang bertanggung jawab di bidang jalan;
2. Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan jalan;
3. Urusan pemerintahan di
bidang pengembangan
teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementrian yang
bertanggungjawab di bidang teknologi; dan
4. Urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi,
Penegakan Hukum,
Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan lalu lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penal menitikberatkan pada sifat represif (penumpasan atau pemberantasan) setelah suatu tindak pidana terjadi.masalah dalam kebijakan criminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah masalah penentuan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya dikenakan si pelanggar.2 Kebijakan non penal menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan, atau penanggkalan) sebelum suatu tindak pidana terjadi.3
Adanya pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi yang sudah diberikan tugas dan tanggung jawab diharapkan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat terlaksana dengan selamat, aman, tertib, lancar, dan efisien, serta dapat mengurangi pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis ingin menulis skripsi tentang
2Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010,
Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, hlm. 158.
3 Barda Nawawi Arief, 2002, Kebijakan
“Upaya Ditlantas Polda Lampung Dalam Pemberantasan Pelanggaran Terhadap Kendaraan Bermotor Yang
Tidak Memiliki Kelengkapan Surat”.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan empiris.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dan prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Upaya Direktorat Lalu lintas Kepolisian Daerah Lampung
dalam Penanggulangan
Pelanggaran Terhadap
pengendara Kendaraan
Bermotor yang Tidak
Memiliki Kelengkapan Surat
Suatu perbuatan dapat disebut sebagai pelanggaran apabila perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru diketahui setelah adanya Undang-Undang (wet) yang menentukan demikian. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur mengenai kewajiban bagi pengguna dan penyelenggara jalan. Perbuatan-perbuatan dalam bentuk pelanggaran salah satunya, yaitu pelanggaran terhadap kelengkapan menggunakan kendaraan bermotor. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur mengenai kelengkapan-kelengkapan bagi pengguna kendaraan bermotor dalam berkendara di jalan, antara lain
adalah kewajiban menggunakan helm bagi pengguna roda dua dan kewajiban kelengkapan bagi kendaraan roda empat atau lebih. Kewajiban tersebut diatur di dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa
“Setiap kendaraan bermotor yang
dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan kendaraan bermotor, perlengkapan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa
helm standar nasional Indonesia”.
Selain peraturan diatas ada juga kewajiban bagi pengguna kendaraan bermotor, yaitu diwajibkan untuk memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), yaitu surat yang menandakan
bahwa pengendara telah
mendapatkan izin untuk mengemudi suatu kendaraan tertentu, seperti yang telah diatur di dalam Pasal 77 Ayat (1), yaitu:
“Setiap orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan
bermotor yang dikemudikan.”
Pengemudi kendaraan bermotor juga wajib memiliki Surat Tanda Keterangan Bermotor (STNK) yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti yang diatur di dalam Pasal 106 Ayat (5), yaitu pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di
jalan setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor wajib menunjukkan sebagai berikut: a. Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor,
b. Surat Izin Mengemudi,
Bagian terpenting dari suatu sistem pemidanaan adalah menetapkan sanksi, keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak
pidana untuk menegakkan
berlakunya norma. Dalam suatu
perundang-undangan adanya
pengaturan tentang sanksi atau hukuman pidana menjadi hal yang sangat penting karena di dalam hukuman pidana kita dapat mengetahui perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dan harus dilakukan dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut.4
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menerapkan hukuman pokok berupa penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda, dan pelaku pelanggaran lalu lintas dapat dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana maupun pelanggaran lalu lintas. Sanksi pidana yang dikenakan kepada pelaku pelanggaran lalu lintas khusunya bagi pengendara kendaraan bermotor di bawah umur yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi atau sering disebut SIM sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 Ayat (1) dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
4Djoki Prakoso, Pembaharuan Hukum
Pidana di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 19.
Berdasarkan uraian poin-poin diatas, penulis mendapatkan hasil penelitian yang dilaksanakan di ranah hukum Ditlantas Polda Lampung dan mewawancarai subjek-subjek hukum yang berkaitan dengan skripsi penulis. Selain wawancara penulis juga melakukan survey dengan masyarakat terkait dengan upaya kepolisian dalam memberantas permasalahan tersebut. Penulis berpendapat bahwa perlu adanya sebuah upaya yang dilakukan oleh aparat khususnya kepolisian di dalam menanggulangi dan memberantas permasalahan yang ada pada saat ini khusunya mengenai kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan secara preventif dan represif,
sehingga bukan hanya
menanggulangi kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan pengendara motor tetapi juga adanya suatu tindakan pencegahan yang dilakukan dengan cara bersama-sama melakukan pendekatan dengan masyarakat agar tidak adanya
kesalahpahaman di dalam
pelaksanaannya dan masyarakat sendiri mengetahui dan meyakini apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menanggulangi permasalahan tersebut.
Berbagai pendapat yang penulis dapat berdasarkan dengan hasil penelitian mengenia upaya kepolisian sendiri mendapatkan respon yang sangat beragam, keterkaitan antara internal maupun eksternal di dalam pelaksanaannya sangat berlawanan arah dan tumpang tindih dengan apa yang tercantum di dalam norma-norma dan peraturan perundang-undangan.
dalam menanggulangi dan memberantas adanya pelanggaran mengenai kelengkapannya surat-surat kendaraan bermotor ini memiliki tiga tahapan, yaitu:
a. Edukasi,
b. Sosialisasi kepada
masyarakat, dan
c. Melakukan analisis dan pendekatan sosialisasi
terhadap perusahaan
kendaraan.
Ketiga elemen tersebut masing-masing memiliki peranannya sendiri di dalam menanggulangi adanya pelanggaran-pelanggaran kendaraan yang terjadi di jalan dan tidak lengkapnya surat-surat kendaraan.5
Ketiga elemen tersebut memiliki artian di dalam peranannya dalam menanggulangi dan mengurangi tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat, yaitu:
a. Edukasi
Edukasi di dalam keterkaitannya dengan upaya penanggulangan dan pemberantasan kasus pelanggaran kendaraan sangat erat kaitannya dengan partisipasi antara aparat kepolisian dan masyarakat yang bekerja sama dan saling memberikan pembelajaran dan pengetahuan terkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang selalu terjadi di jalan. Pembelajaran disini berkenaan dengan adanya sosialisasi dengan masyarakat dan memberikan pengetahuan mengenai aturan perundang-undangan dan tata cara dalam mengantisipasi agar tidak terjadinya pelanggaran dan memberikan rasa aman kepada masyarakat.
5Berdasarkan wawancara dengan Kompol
Ruhyat selaku Kasi Laka Lantas di Bagian Gakkum Ditlantas Polda Lampung, pada tanggal 26 Juli 2017 Pukul 14.00 WIB.
b. Sosialisasi kepada masyarakat
Sosialisasi disini memberikan artian mengenai peranan kepolisian di dalam pelaksanaan penanggulangan pelanggaran surat-surat kendaraan, keterkaitannya seperti pihak kepolisian mengadakan sebuah
acara-acara dalam rangka
memperkenalkan dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait dengan aturan dan larangan di jalan dalam hal mencapai keamanan dan rasa percaya masyarakat kepada
pihak kepolisian dalam
melaksanakan upaya
penanggulangan dan pemberantasan pelanggaran yang terjadi di lapangan. c. Melakukan analisis dan pendekatan sosialisasi terhadap perusahaan kendaraan
Hal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan cacat perangkat dari sebuah kendaraan tersebut, dapat dilihat dari pembuatannya mulai dari pembuatan mesin sampai dengan pembuatan surat-surat terkait dengan surat-surat kendaraan yang akan dioperasionalkan dan dipasarkan. Hal ini menjadi acuan dalam upaya menanggulangi dan mengurangi pelanggaran di jalan dan dapat memberikan edukasi terhadap perusahaan dan bekerja sama agar menciptakan suasana yang aman, nyaman, dan mengurangi dampak dari pelanggaran tersebut.
dapat mengantar anaknya sekolah dan orang tua juga mengizinkan agar mereka masing-masing dapat
mandiri dalam melakukan
aktifitasnya.6 Beliau menambahkan
masing kurangnya sarana dan prasarana yang diberikan oleh angkutan umum di jalan dan mahalnya biaya akomodasi dan trasnportasi sehingga pihak kepolisian masih membiarkan hal tersebut terjadi dengan syarat harus memakai kelengkapan dan keamanan seperti helm, sarung tangan, jaket, dan sepatu.
Pendapat lain diungkapkan oleh Hafran yang mengemukakan bahwa upaya kepolisian khusunya Ditlantas
Polda Lampung di dalam
menanggulangi dan memberantas adanya pelanggaran yang dilakukan
oleh kendaraan dengan
ketidaklengkapan surat-surat kendaraan, yaitu melakukan
sweeping atau razia kendaraan.7
Sweeping atau razia sudah tidak asing lagi bagi masayarakat yang mendengarnya sudah menimbulkan hal-hal negatif kepada aparat kepolisian, hal ini harus dilakukan mengingat adanya pelanggaran yang selalu terjadi dan berulang-ulang sehingga aparat kepolisian sendiri ingin memberikan peringatan, teguran, dan pengetahuan kepada masyarkat khususnya kepada pengendara anak-anak yang masih dibawah umur yang masih belum memiliki surat-surat maupun pengendara yang tidak memakai
6Berdasarkan wawancaradengan Kompol
Ruhyat selaku Kasi Laka Lantas di Bagian Gakkum Ditlantas Polda Lampung, pada tanggal 26 Juli 2017 Pukul 14.00 WIB.
7Berdasarkan wawancaradengan Kompol
Hafran selaku Kasi Gar Lalu Lintas di Bagian Gakkum Ditlantas Polda Lampung, pada tanggal 29 Juli 2017 Pukul 15.00 WIB.
kelengkapan kendaraan seperti helm, sarung tangan, sepatu dan lain-lainnya.
Hafran sendiri memberikan masukan yang sama dengan Ruhyat terkait adanya pengendara yang masih di bawah umur, beliau menjelaskan bahwa pengendara anak-anak seharusnya belum dapat mengendarai karena umurnya yang belum cukup dan belum memiliki surat-surat kendaraan. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat keluarga yang sibuk yang tidak bisa mengantar dan sarana dan prasarana yang masih kurang dari layak sehingga kepolisian sendiri hanya memberikan teguran-teguran saja kepada pengendara tersebut.
Hafran juga menambahkan
bahwasannya pada saat pelaksanaan
sweeping atau razia tersebut tidak
ada yang namanya “damai”, disini
keterkaitan dengan razia yang dilakukan oleh aparat kepolisian masih terdapat banyaknya oknum-oknum baik dari internal (polisi) maupun eksternal (masyarakat) yang masih melakukan permainan kotor tersebut. Beliau menambahkan juga bahwasannya ketika ditilang, pengendara dapat membayar denda langsung melalui Bank dan jika sudah menerima surat tanda bukti sudah membayar dendanya maka pengendara berhak mendapatkan
kembali surat-surat atau
kendaraannya yang ditahan oleh pihak kepolisian. Selain itu juga pengendara dapat melakukan tahapan persidangan jika tidak ingin langsung membayar denda di Bank sehingga dapat mengetahui mekanisme penyelasaian dan tidak menimbulkan kembali pemikiran-pemikiran negatif dari antar pihak.
sudah memiliki SOP (Standar Operasional Sistem) tersendiri di dalam pelaksanaannya. Sehingga tidak menimbulkan pemikiran bahwa polisi ingin menambah pemasukan dan sebagainya, dan pihak polisi sendiri melakukan analisis terlebih dahulu di lapangan terkait aman atau tidaknya dan terkait dengan adanya pelanggaran atau tidak di daerah tersebut sehingga pelaksanaan
sweeping atau razia tersebut berjalan dengan lancar dan sesuai dengan yang diterapkan oleh pihak kepolisian tersebut.
Terkait dengan upaya
pelaksanaannya, pihak kepolisian juga melakukan giat-giat di dalam pelaksanaan agar dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan mudah untuk dipahami oleh masyarakat sehingga tidak terjadinya angggapan-anggapan miring mengenai kinerja kepolisian baik secara internal maupun eksternal kepolisian tersebut. Dahulu adanya aturan mengenai denda di dalam pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara motor yang menerapkan denda maksimal
terhadap pengendara yang
melanggar, akan tetapi terjadinya pro dan kontra yang mengakibatkan banyaknya kontra yang terjadi. Maka, aturan perundang-undangan menerapkan untuk biaya sesuai dengan daerah masing-masing dan sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan antar pihak sehingga ketika di proses pengadilam tidak terjadinya adanya simpang siur dan tumpang tindih antar pihak.
Pihak dari kepolisian juga selalu melakukan yang namanya operasi di jalan raya yang dilakukan setiap tahunnya dan memiliki urutannya sendiri, yaitu:
1. Operasi Simpatik;
2. Operasi Patuh;
3. Operasi Ketupat;
4. Operasi Zebra;
5. Operasi Lilin.
Operasi yang dilakukan tersebut
semata-mata untuk terus
meningkatkan keamanan dan kenyamanan dalam berkendara dan mengurangi resiko terjadinya pelanggaran dan kecelakaan di jalan, sehingga menciptakan suasana yang aman dan nyaman.
Selain pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh aparat kepolisian, penulis juga melakukan wawancara dengan Dosen yang memberikan pengetahuan dan masukannya terkait upaya yang harus dilakukan oleh aparat dalam menanggulangi dan
memberantas pelanggaran
pengendara yang tidak memiliki kelengkapan surat-surat.
Menurut pendapat Erna Dewi, upaya yang dapat dilakukan terkait dengan adanya penanggulangan dan pencegahan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara ini dilakukan upaya penal dan upaya
non-penal. a. Upaya Penal
Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui
sarana “penal” dan “non penal”,
Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) dalam mengatur masyarakat lewat
perundang-undangan pada
hakikatnya merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy). Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitikberatkan pada sifat
“Represive”
bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (Law
Enforcement). Walaupun
penggunaan sarana hukum pidana
“penal” dalam suatu kebijakan
kriminal bukan merupakan posisi strategis dalam penanggulangan namun bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum
pidana “penal”. Karena
permasalahannya tidak terletak pada eksistensinya akan tetapi pada masalah kebijakan penggunaannya. b. Upaya Non-Penal
Upaya Non-Penal disini dapat dikatakan sebagai upaya yang dilakukan di luar ranah hukum, atau dengan menggunakan upaya-upaya yang ada di kehidupan masyarakat baik upaya dari luar maupun upaya dari dalam terkait hal menanggulangi dan memberantas permasalahan pelanggaran lalu lintas. Upaya tersebut dapat dilakukan bukan hanya oleh penegak hukum saja, akan tetapi kesadaran dari masyarakat dan menerapkan nilai-nilai kedisiplinan serta nilai-nilai-nilai-nilai aturan yang berlaku sehingga menciptakan adanya suatu kesadaran dari diri masyarakat untuk mematuhi aturan yang ada dan menimbulkan efek jera dari perbuatan yang telah dilakukannya.8
Erna Dewi menambahkan bahwa upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menanggulangi dan memberantas
8Berdasarkan wawancara dengan Dr. Erna
Dewi, S.H., M.H. selaku Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tanggal 24 Juli 2017 pukul 13.00 WIB.
pelanggaran kendaraan yang tidak memiliki kelengkapan surat-surat dapat dilakukan dengan tiga kegiatan atau operasi rutin, yaitu:
a. Upaya Pre-Emtif, yaitu berupa upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak ditlantas untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan
dalam penanggulangan
kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik
sehingga norma-norma
tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meski ada
kesempatan melakukan
pelanggaran/kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan.
b. Upaya Preventif, yaitu meliputi rangkaian kegiatan pengaturan, penjagaan, patrol, dan pengawalan lokasi
yang diperkirakan
mengandung “police
hazard”, termasuk juga
kegiatan pembinaan
masyarakat. Yang ditujukan untuk memotivasi segenap lapisan masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam
upaya pencegahan
,menangkal dan memerangi kejahatan.
c. Upaya Represif, yaitu
meliputi rangkaian
penindakan yang ditujukan
kearah pengungkapan
serta upaya paksa lainnya yang disahkan menurut undang-undang.
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan dari masing-masing para ahli dan subjek hukum di atas, penulis sendiri memiliki pendapat tersendiri mengenai upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian terkait dengan pelanggaran ketidaklengkapan surat-surat kendaraan, yaitu penulis berpendapat bahwa upaya-upaya yang harus dilakukan oleh aparat kepolisian harus adanya koordinasi antara masyarakat dan penegak hukum agar terciptanya suatu keharmonisan antar sesama dan tidak terjadinya hal-hal negatif yang timbul akibat banyaknya asumsi dari masyarakat terkait dengan kinerja aparat hukum yang masih dilihat belum memihak. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan ke tempat-tempat umum atau tempat-tempat-tempat-tempat pendidikan serta di jalan raya sebagai cara ampuh dalam menangani dan
mengurangi
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Lalu upaya selanjutnya pihak kepolisian dapat memberikan keterangan dan tidak mentutup-tutupi mengenai tilang yang dilakukan oleh masyarakat, karena masih banyaknya keluhan masyarakat yang menganggap polisi
tersebut “tidak ramah” dan
menimbulkan hal-hal negatif di antara dua sisi yang menyebabkan ketidakacuhan terhadap masing-masing pribadi dan tidak memberikan efek yang baik untuk kedepannya.
Dengan kata lain, kepolisian yang
bertugas menangani dan
menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang melibatkan ketidaklengkapan surat-surat sudah sangat maksimal dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada, akan tetapi masih banyak
terdapatnya praktek yang
menyimpang di lapangan yang membuat asumsi kepada masyarakat sebagai kegiatan kepolisian yang dianggap tidak baik dan tidak sesuai.
4. Faktor Penghambat Upaya Direktorat Lalu lintas Kepolisian
Daerah Lampung Dalam
Penanggulangan Pelanggaran Terhadap pengendara Kendaraan Bermotor Yang Tidak Memiliki Kelengkapan Surat
Upaya Ditlantas Polda Lampung dalam menanggulangi pelanggaran terhadap pengendara kendaraan yang tidak memiliki kelengkapan surat memiliki hambatan-hambatan baik hambatan secara internal dan hambatan secara eksternal. Hambatan-hambatan tersebut terjadi bukan hanya terjadi secara tidak sengaja, akan tetapi terjadi juga dengan adanya kesadaran dari masing masing diri individu baik dari internal aparat kepolisian dan masyarakat yang terlibat di dalam pelaksanaan upaya tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto, terdapat lima faktor penghambat di dalam upaya penegakkan hukum, yaitu:
1. Faktor Hukumnya Sendiri.
2. Faktor Penegak Hukum.
3. Faktor Sarana dan Fasilitas.
4. Faktor Masyarakat.
5. Faktor Kebudayaan.9
Kelima faktor tersebut memiliki artiannya masing-masing, yaitu:
9Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,
A.Faktor Hukum
Di dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace
maintenance, karena
penyelenggaraan hukum
sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.
Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang
dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu. Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan
tindak pidananya hanya
mencantumkan maksimumnya saja, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
B. Faktor Penegak Hukum
Di dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau
perlakuan yang dipandang
melampaui wewenang atau
melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena kurang pemahaman terhadap
hukum, sehingga terjadi
penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya. Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya mendapat prioritas. Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat minim.
C. Faktor Sarana dan Fasilitas
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.
Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi
sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
D. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Setiap warga
masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan. Sikap
perlengkapan yang sesuai dengan ketentuan, dan belum memenuhi kriteria untuk mengendarai kendaraan dan belum memiliki surat-surat mengemudi seperti halnya anak-anak dibawah umur dan anak sekolah yang seringkali melakukan pelanggaran secara berulang-ulang.
E. Faktor Kebudayaan
Di dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak
hukum, penerapannya pun
dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah semua faktor tersebut harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Namun sistematika dari kelima
faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum dinilai dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun. Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan hanya kelima faktor tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi efektifnya suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan atau kondisi yang melingkupi penerapan suatu hukum.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian
dalam menanggulangi
pelanggaran terhadap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki kelengkapan surat-surat dapat dilaksanakan dengan cara-cara, yaitu:
a.Upaya Pre-Emtif (himbauan),
b.Upaya Preventif (pencegahan), dan
aparat maupun dari pihak masyarakat tersebut sehingga berkurangnya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi yang dilakukan oleh oleh pengendara. Upaya-upaya tersebut juga harus diseimbangkan dengan adanya edukasi (pembelajaran) bagi masyarakat, dan pentingnya sosialisasi kepada masyarakat dan meningkatkan kesadaran masing-masing individu agar mengurangi adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kedua belah pihak, baik pihak aparat/oknum kepolisian yang masih bermain dengan curang maupun dari pihak
masyarakat yang masih “apatis”
dengan tata aturan hukum yang berlaku.
2. Faktor penghambat di dalam upaya penanggulangan oleh kepolisian dalam menanggulangi
pelanggaran terhadap
pengendara kendaraan bermotor
yang tidak memiliki
kelengkapan surat-surat, yaitu berasal dari faktor internal dan eksternal dimana masing-masing
pihak masih memiliki
kekurangan dalam memahami tata aturan yang berlaku dan masih tidak ingin menerima perubahan-perubahan dan bersikap tidak ingin tahu mengenai pelanggaran yang telah diperbuat, hal ini sangat disadari dari kurangnya sosialisasi dan kurangnya rasa kepercayaan dari masing-masing pihak baik dari pihak aparat kepolisian maupun dari pihak
masyarakat itu sendiri. Sehingga
harus meningkatkan
kepercayaan dan koordinasi antar pihak untuk meciptakan keamanan dan kepercayaan.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan, maka saran yang dapat penulis berikan yaitu, permasalahan mengenai upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian sudah sangat sesuai dengan tata aturan perundang-undangan yang berlaku dan sudah melakukan segala upaya untuk melakukan segala bentuk koordinasi dalam meningkatkan keamanan dan kenyamanan masyarakat di jalan raya. Akan tetapi masih kurangnya sosialisasi dan kerjasama yang
dibangun bersama dengan
masyarakat sehingga masih kurangnya rasa kepercayaan dan rasa tidak mau tahu mengenai tata aturan yang berlaku. Sehingga masih selalu terjadi adanya
pelanggaran-pelanggaran yang dapat
mengakibatkan kerugian dalam hal-hal kaitannya dengan tata aturan lalu lintas.
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 2002,
Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti, hlm. 68.
Djoki Prakoso, Pembaharuan
Hukum Pidana di Indonesia,
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, hlm. 158.
Raharjo Adi Sasmita dan Sakti Adji
Adisasmita, Manajemen
Transportasi Darat Mengatasi
Kemacetan di Kota Besar (Jakarta),
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011, hlm. 12.
Soerjono Soekanto, 1983,
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Penegakkan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hlm 47.
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.