1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian baku sudah banyak digunakan oleh pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian, terutama dalam hal bisnis. Perjanjian baku diperlukan karena adanya kebutuhan dari perusahaan atau badan usaha, sehingga perusahaan
membuat suatu perjanjian dalam jumlah yang banyak (Mass production of contract) secara sepihak akibat diperlukannya suatu standardisasi terhadap
perjanjian yang dibuatnya. Bagi dunia bisnis, dengan adanya perjanjian baku
tersebut dapat mempermudah operasi bisnis secara efisien dengan mengurangi biaya serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak. Tetapi karena perjanjian
baku tersebut dibuat secara sepihak oleh perusahaan atau badan usaha maka perjanjian baku tersebut menjadi berat sebelah karena tidak adanya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mempelajari perjanjian tersebut serta
mengubah klasula-klausula dalam perjanjian baku tersebut yang tidak berkenaan bagi pihak lawan. Sehingga dalam hal ini pihak lawan yang disodorkan perjanjian
baku menempati kedudukan yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”
Tujuan diadakan polis asuransi karena adanya suatu risiko yang pada
dasarnya bersifat tidak pasti, tidak diketahui apakah akan terjadi dalam waktu dekat atau dikemudian hari. Dengan akan terjadinya suatu risiko, seseorang butuh
2 perusahaan asuransi diadakan untuk melindungi seseorang dari sesuatu yang pasti
terjadi, terkait jiwa yang ada pada diri seseorang. Dengan asuransi jenis ini, maka seseorang akan dilindungi secara finansial untuk jangka waktu tertentu atau umur
tertentu sesuai yang disepakati.
Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang dimaksud dengan asuransi/pertanggungan adalah “Perjanjian dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”.
Menurut Stein seorang sarjana hukum Belanda, bahwa suatu perjanjian
baku dapat diterima berdasarkan fiksi tentang adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertouwen), yakni kemauan dan kepercayaan mengikatkan diri
ke dalam perjanjian tersebut.1 Selanjutnya, Aseer-Rutten menyatakan bahwa seorang mengikat kepada perjanian baku karena dia sudah menandatangai perjanjian tersebut, sehingga dia harus dianggap mengetahui, serta menghendaki
dan karenanya bertanggung jawab kepada isi dari perjanjian tersebut.2
Menurut Paulus J. Soepratignja, pembuatan perjanjian baku hanya akan dilakukan, jika muncul urgensi tanggapan atas kepentingan pelaku usaha, yaitu :
a. Menghadapi kegiatan transaksional dalam frekuensi tinggi b. Demi persaingan bisnis, harus memberikan pelayanan secara
efisien dan efektif kepada konsumen
c. Demi efisiensi pendistribusian hasil produksi, seluruh atau sebagian syarat-syarat dalam tiap transaksi harus telah
1 Mariam Darus Badrulzman. 1986. “Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut
Perjanjian Baku (Standar), Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Binacipta, Bandung, hlm. 58.
3 dipersiapkan lebih dahulu secara tertulis, agar segera dapat diketahui oleh konsumen.
d. Mengimbangi tingginya frekuensi kegiatan transaksional, sehingga harus menyediakan naskah dan/atau persyaratan perjanjian, secara massal dan berseragam untuk transaksi yang sama, dengan tanpa memperlihatkan kondisi dan/atau kebutuhan masing-masing dari konsumen.
e. Persyaratan perjanjian secara massal dan berseragam tersebut, secara efektif harus dapat memberi jaminan atas kekuatan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha sendiri serta bagi konsumen.3
Maka alasan diadakannya perjanjian baku memang dibuat untuk melindungi kepentingan atau keuntungan pelaku usaha karena suatu perikatan
dapat menimbulkan risiko yang besar bagi pelaku usaha. Apabila perjanjian tersebut tidak menimbulkan risiko yang besar bagi pelaku usaha maka pelaku usaha tidak perlu untuk membuat perjanjian baku karena biaya yang dihasilkan
dapat merugikan pelaku usaha.
Tetapi dalam Pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan mengenai syarat sahnya
perjanjian untuk menguji mengikat atau tidak mengikatnya suatu perjanian. Terdapat 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu :
1. Sepakat bagi para pihak yang mengadakan perikatan
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Adanya objek yang dapat ditentukan
4. Sebab atau causa yang tidak dilarang
Pada umumnya, bahwa apabila persyaratan subjektif perjanjian (kata sepakat dan kecakapan untuk melakukan perikatan) tidak dipenuhi tidak
mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi hanya dapat dibatalkan melalui putusan
3 Paulus J. Soepratignja. 2007. Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Universitas Atma Jaya
4 pengadilan. Apabila persyaratan yang menyangkut objek perjanjian (suatu hal
tertentu dan adanya kausa hukum yang halal) tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Putusan pengadilan adalah perlu untuk menyatakan
pembatalan. Pihak yang berkepentingan harus mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya persetujuan yang dibuatnya dibatalkan. Andaikata pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, maka persetujuan yang dibatalkan tersebut
menjadi batal dari semula. Persetujuan tersebut mempunyai akibat-akibat hukum, namun kita harus memperhitungkan bahwa akibat-akibat tersebut pada suatu
ketika dapat dibatalkan.4
Dalam mengadakan polis asuransi jiwa tersebut, Penanggung memiliki kewajiban untuk menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan perjanjian
asuransi, termasuk sebelum dimulai perjanjian. Apabila Penanggung tidak menjelaskan hak dan kewajiban Tertanggung, maka Penanggung telah melanggar
prinsip good faith. Karena itu, Penanggung dapat dituntut dan harus bertanggung jawab atas ganti rugi yang diderita Tertanggung.
Salah satu kewajiban Tertanggung atau pembeli polis adalah membayar
premi dalam waktu-waktu tertentu yang disepakati. Karena latar belakang dan tempat tinggal para Tertanggung yang beraneka ragam, perusahaan biasanya
menggunakan jasa dari sejumlah petugas lapangan atau yang disebut agen untuk mengutip premi. Salah satu tugas penagih premi adalah mencari calon pembeli
polis.
4 Purwahid Patrik.1986. Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit
5 Para agen asuransi jiwa inilah yang selalu berusaha mempengaruhi setiap
orang secara persuasif untuk membeli polis yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi jiwa dengan meningkatkan pemahaman dan kesadaran calon tertanggung
tentang manfaat dari produk asuransi jiwa. Para agen asuransi jiwa dalam menjual produk (polis) harus bicara sejujur-jujurnya, agar para calon pembeli polis tidak mengalami kekecewaan setelah membeli produk tersebut.5 Dalam melakukan
kegiatannya para agen asuransi jiwa ini selalu bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi jiwa. Sepanjang agen asuransi jiwa tersebut telah diberi kuasa
untuk itu,segala tindakannya menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan iktikad baik, dimana ketentuan ini tidak memberikan akibat yang signifikan untuk dapat membatalkan suatu perjanjian yang telah
ditandatangani oleh para pihak, kemudian oleh Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang secara tegas telah diakui mempunyai kekuatan sebagai undang-undang (bahkan berlaku sebagai lex specialis) yang berlaku dan mengikat para pihak yang
menandatangani perjanjian tersebut untuk dapat menjaga agar tidak terjadi kesewenangwenangan oleh pihak yang posisinya lebih lemah.
Prinsip itikad baik (Good Faith) menjadi asas yang paling penting dalam hukum perjanjian. Prinsip itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk
membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Prinsip itikad baik yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata seharusnya
5 Djoko Prakosa dan I Ketut Murtika.2000. Hukum Asuransi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
6 diberlakukan bukan hanya pada saat ditandatanganinya dan dilaksanakan
perjanjian, tetapi juga pada saat perancangan perjanjian.
Akan tetapi karena keberadaan polis asuransi yang hanya ditandatangani
oleh pihak perusahaan asuransi sebagai pihak Penanggung, akan sangat memungkinkan terjadinya pihak Tertanggung mengalami kerugian karena ketidakpahamannya ketika mengadakan polis asuransi. Sehingga akan sangat
berguna apabila dapat dijelaskan secara mendetail mengenai kekuatan hukum polis asuransi kerugian dengan hanya ditandatangani oleh Penanggung. Hal ini
akan memberikan kepastian hukum bagi tertanggung dalam hal terjadinya kelalaian oleh pihak agen asuransi.
Dalam hukum benda, itikad baik adalah suatu analisir subjektif
(pra-perjanjian). Bahkan, analisir subjektif inilah yang dimaksudkan oleh pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik yaitu dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Dalam analisir ini, itikad baik memliki arti kejujuran atau bersih.
Ridwan Khairandy menjelaskan mengenai kerangka analisir subjektif dalam itikad baik, bahwa standar itikad baik dalam mengadakan suatu perjanjian didasarkan pada kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini, para pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang berkaitan dengan perjanjian tersebut. Dengan standar tersebut, perilaku para pihak dalam melaksanakan perjanjian dan penilaian terhadap isi perjanjian harus didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan.6
Dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu
6 Ridwan Khairandy.2003. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak cetakan 1, Program
7 melanggar kepatutan dan keadilan. Ini berarti, hakim berkuasa untuk menyimpang
dari isi perjanjian, apabila terdapat suatu klausul yang bertentangan denga itikad baik. Jika pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut dapat dipandang sebagai
suatu kepastian hukum, maka pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dapat dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan.7
B. Rumusan Masalah
1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam perkara No. 560K/Pdt.Sus/2012 sehingga mendudukkan perjanjian yang tidak ditandatangani oleh
Tertanggung adalah sah menurut hukum dan menjadi dasar hubungan hukum antara perusahaan asuransi dengan Alm. Mardi Simarmata (Tertanggung)?
2. Sudah tepatkah putusan hakim dalam perkara tersebut, berdasarkan asas-asas hukum perjanjian dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam perkara No.
560K/Pdt.Sus/2012 sehingga mendudukkan perjanjian yang tidak ditandatangani oleh Tertanggung adalah sah menurut hukum dan menjadi
dasar hubungan hukum antara perusahaan asuransi dengan Alm. Mardi Simarmata (Tertanggung)
8 2. Menganalisis ketepatan putusan hakim dalam perkara tersebut,
berdasarkan asas-asas hukum perjanjian dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui dasar pertimbangan hakim
dalam memutus suatu perkara, khususnya dalam hal ini pada konteks perjanjian baku (Polis Asuransi). Serta memberikan sumbangan pemikiran dan wacana
kepada pembaca, agar memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan agar para penegak hukum yang terkait dalam topik penelitian ini dapat mengetahui dengan jelas mengenai ketepatan putusan hakim dalam memutus perkara, khususnya pada isu hukum perjanjian baku.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang
hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai
9 Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
aproach) dan pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan perundang-undangan
digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum
perdata di Indonesia. Pendekatan kasus bertujuan untuk mepelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam
yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus peneltian, yaitu perkara perdata.
a. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Buku Ketiga (Perikatan), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Buku Kesatu Bab IX tentang asuransi atau
pertanggungan pada umumnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah
b. Bahan hukum sekunder yaitu Putusan Nomor 560K/Pdt.Sus/2012, literatur dan jurnal hukum tentang hukum perjanjian, arbitrase serta mengenai
hukum asuransi.
10
F. Sistematika Penulisan
Bagian isi skripsi meliputi tiga substansi utama, yaitu pendahuluan, pembahasan (analisis) dan penutup.
1. Bab Pendahuluan
Bab ini berisi tentang pendahuluan yang berisi: Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Tujuan Penelitan, dan Metode Penelitian
Tinjauan Yuridis dalam Perkara tentang Perjanjian Baku.
2. Bab Pembahasan
Bab kedua berisi tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari beberapa sub-bab. Sub-bab kesatu yang secara garis besar menguraikan tinjauan umum tentang
Asuransi; sub-bab kedua, menguraikan tinjauan umum tentang asuransi jiwa; dan sub-bab ketiga, menguraikan tinjauan umum tentang polis asuransi; sub-bab keempat, menguraikan tinjauan umum tentang klausula baku; sub-bab kelima,
menguraikan tinjauan umum tentang perlindungan konsumen dan sub-bab keenam tentang teori eksaminasi. Kemudian terdapat bagian pembahasan mengenai eksaminasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 560K/Pdt.Sus/2012.
3. Bab Penutup