BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Smart Food Coating
Smart packaging didefinisikan oleh Wagner (1989) dalam Rooney (1995) sebagai lebih dari sekedar menawarkan perlindungan. Kemasan berinteraksi dengan produk,
dan dalam beberapa kasus terbukti memberi perubahan. Active packaging sering disebut sebagai interaktif atau smart packaging yang dimaksudkan untuk merasakan perubahan lingkungan internal maupun eksternal dan perubahan sifat bagian dalam
dari kemasan.
Ruang lingkup bidang pengemasan saat ini juga sudah semakin luas, dari
mulai bahan yang sangat bervariasi hingga model atau bentuk dan teknologi
pengemasan yang semakin canggih dan menarik. Bahan kemasan yang digunakan
bervariasi dari bahan kertas, plastik, gelas, logam, fiber hingga bahan-bahan yang
dilaminasi. Namun demikian pemakaian bahan-bahan seperti papan kayu, karung
goni, kain, kulit kayu, daun-daunan, dan pelepah dan bahkan sampai barang-barang
bekas seperti koran dan plastik bekas yang tidak etis dan hiegenis juga digunakan
sebagai bahan pengemas produk pangan. Bentuk dan teknologi kemasan juga
bervariasi dari kemasan botol, kaleng, tetrapak, corrugated box, kemasan vakum, kemasan aseptik, kaleng bertekanan, kemasan tabung hingga kemasan aktif dan pintar
(active and intelligent packaging) yang dapat menyesuaikan kondisi lingkungan di dalam kemasan dengan kebutuhan produk yang dikemas (Julianti, 2007).
Kemasan antimikroba dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis: (1) kemasan
yang mengandung agen antibakteri yang bermigrasi dari permukaan kemasan ke
makanan secara langsung; (2) kemasan yang efektif terhadap pertumbuhan
Wieddyanto, et al (2006) melaporkan pemanfaatan protein whey sebagai film layak makan untuk bahan kemasan dalam upaya menghambat pertumbuhan mikroba
pada produk daging. Hasil yang diperoleh film layak makan ini dapat diaplikasikan
sebagai bahan pelapis daging yang dapat mempertahankan penurunan berat dan
penurunan jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi permukaan daging.
Senyawa antimikroba alami berasal dari alam telah diisolasi dari sumber tanaman dan
hewan. Senyawa dari asal tanaman termasuk ekstrak rempah-rempah; kayu manis,
allspice, cengkeh, thyme, rosemary, dan oregano adalah beberapa bahan yang telah menunjukkan aktivitas antimikroba (Seydim dan Sarikus, 2006).
2.2. Film Layak Makan
Kemasan edible adalah kemasan yang layak untuk dimakan karena terbuat dari
bahan-bahan yang dapat dimakan seperti pati, protein atau lemak. Sifat-sifat kemasan
masa depan diharapkan mempunyai bentuk yang fleksibel namun kuat, transparan,
tidak berbau, tidak mengkontaminasi bahan yang dikemas dan tidak beracun, tahan
panas, biodegradable dan berasal dari bahan-bahan yang terbarukan. Bahan-bahan ini berupa bahan-bahan hasil pertanian seperti karbohidrat, protein dan lemak (Julianti,
2007). Bahan-bahan ini juga dapat bertindak sebagai pembawa bahan aktif, seperti
antioksidan, rasa, kaya nutrisi, pewarna, agen antimikroba, atau rempah-rempah
(Cha, 2004).
Film layak makan yang sudah banyak beredar umumnya berasal dari bahan
protein, misalnya film dari kolagen gelatin, protein jagung (corn zein), protein gandum (wheat gluten), protein kedelai (soy protein), kasein, dan film dari protein whey. Film dengan bahan dasar protein biasanya diperoleh dari pencetakan dan
pengeringan (Khotibul et al, 2010). Selain itu kondisi pH juga harus diperhatikan. Menurut Perez-Gago (1999) yang menyatakan bahwa pembentukan film layak makan
dari protein whey tidak bias secara sempurna pada pH 3, kemungkinan disebabkan
film layak makan ini dikondisikan pada pH 4 dan 5, viskositas larutan meningkat
dengan cepat sehingga menghasilkan gel yang lunak.
Salah satu bahan pembuatan film layak makan yang berasal dari protein yaitu protein whey. Protein whey berasal dari hasil samping industri keju, yang
mengandung laktoglobulin (57%) dan laktalbumin (19%). Film layak makan protein whey mempunyai sifat transparan, lunak, fleksibel dan penahan aroma dan
oksigenyang baik pada kelembaban rendah yang didapatkan dengan cara protein
didenaturasi pada suhu 90oC selama 30 menit, penambahan asam dan basa untuk
membentuk ikatan disulfida intermolekuler sehingga menghasilkan gel yang lunak
(Manab, 2008).
Protein whey merupakan protein globular dimana kebanyakan gugus
hidrofobik dan sulfidrilnya berada di dalam struktur protein sehingga diperlukan
denaturasi panas untuk memunculkannya dan memacu ikatan disulfida intermolekuler
yang merupakan struktur penyusun film protein whey (Perez-Gago et al, 1999). Adanya ikatan kovalen disulfide meningkatkan kestabilan film dan menyebabkan
film dari protein ini tidak larut dalam air (Galietta et al, 1998).
Pembentukan film dari protein whey juga dipengaruhi oleh adanya bahan
pemlastis. Komponen ini diperlukan untuk membantu meningkatkan pengikatan
antara molekul-molekul protein di dalam film, tetapi jumlahnya tidak boleh terlalu
sedikit ataupun terlalu banyak. Apabila terlalu sedikit film yang dihasilkan rapuh dan
apabila terlalu banyak akan meningkatkan nilai water vapour permeability (WVP)
film yang tidak diinginkan dalam pembentukan film ini. Bahan pemlastis yang
digunakan adalah gliserol karena mampu meningkatkan pengikatan molekul-molekul
protein dan tidak mengganggu ikatan hidrogen (Galietta et al, 1998). Penambahan komponen pemlastis kedalam formulasi film mempengaruhi keregangan, fleksibelitas
film layak makan dengan tujuan untuk meningkatkan ikatan silang ionik di dalam
film (Cagri, 2003). Ikatan ini penting untuk membantu meningkatkan gaya kohesi,
sifat barier, kekuatan, dan mencegah film agar tidak mudah larut (Galietta et al,
1998).
2.3. Protein Whey Isolat
Whey protein berasal dari susu sapi dan biasanya tersedia dalam bentuk suplemen
bubuk protein sehingga lebih cepat diserap tubuh.. Whey protein memiliki kandungan
Branch Chain Amino Acids (BCAA/asam amino rantai bercabang) terbesar yang sangat baik untuk pembentukan dan pemeliharaan massa otot tubuh, sudah lama
populer di industri keolahragaan sebagai suplemen pembangun otot. Namun,
penelitian menunjukkan hal ini memungkinkan memiliki aplikasi yang jauh lebih luas
sebagai makanan fungsional dalam mencegah penyakit seperti kanker, hepatitis B,
HIV, penyakit jantung, osteoporosis dan bahkan stres kronis.
Ada 2 (dua) jenis protein whey yaitu (1) Whey Protein Concentrate, yaitu whey protein berkualitas tinggi yang masih mengandung karbohidrat dan lemak.
Kadar konsentrasi protein mencapai 70%, (2) Whey Protein Isolate, adalah jenis whey protein yang berkualitas tinggi dan lebih murni karena diterapkan pemrosesan
tambahan. Kadar konsentrasi proteinnya mencapai 93% atau lebih tinggi.
Whey protein diekstrak dari whey, bahan cair dibuat dari produksi keju.
Protein susu terbagi dalam dua bentuk fraksi protein, ditemukan sebagai protein
kasein dan protein whey (Hidayat et al, 2006). Protein whey mewakili sekitar 20%
dari protein susu dan protein lainnya mewakili 80% dari total. Protein whey
berkualitas tinggi, karena memiliki semua asam amino esensial, dan nilai biologis
tinggi dari pada protein telur atau kasein.
Whey adalah cairan kuning-hijau yang terpisah dari kasein saat pembuatan
limbah whey atau dikembalikan kepeternakan untuk makanan ternak. Namun
penelitian tentang protein whey berkembang, biaya keuangan dalam penjualan whey
sangat menguntungkan. Selanjutnya, terutama protein dan laktosa digunakan untuk
bahan makanan. Protein whey telah digunakan dalam kembang gula, roti, dan eskrim
produk, susu formula dan makanan kesehatan. Penelitian baru-baru ini menemukan
penggunaan dari protein whey yaitu dengan memanfaatkan kemampuan protein whey
olahan (80- 90%) untuk membentuk film dan coating pada permukaan produk
(Regalado et al, 2006). Komposisi protein whey dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Protein Whey Susu Sapi
Protein Whey Konsentrasi
Proteose peptones ≥ 1 <12 - Aktivitas Opioid
GMPe 0-1,5 8-32 - Regulasi pertumbuhan
sel
a
Td = Termal denaturasi, bTd = Ca berikatan α-LA, claktoferrin, dLPOD = laktoperoksidase, eGMP = glikomakropeptida. (Regalado et al, 2006)
Tabel 2.1 meninjukan bahwa Protein whey mengandung: β-lactoglobulin (β
-LG), α-lactalbumin (α-LA), bovine serum albumin (BSA) and immunoglobulins (Ig) (Regalado et al, 2006). Whey terdiri dari sejumlah protein termasuk beta
dan perbaikan jaringan dan leusin khususnya memainkan peran penting dalam inisiasi
terjemahan - sintesis protein. Protein whey juga mengandung agen bakteriostatik
yaitu laktoferrin, laktoperoksidase, dan lisozim. Jeremi, et al (2013) menyatakan bahwa laktoferrin, laktoperoksidase, dan lisozim memiliki sifat antimikroba.
Protein whey merupakan protein globular dimana kebanyakan gugus
hidrofobik dan sulfidrilnya berada di dalam struktur protein sehingga diperlukan
denaturasi panas untuk memunculkannya dan memacu ikatan disulfida intermolekuler
yang merupakan struktur penyusun film protein whey (Perez-Gago et al, 1999). Hasil
penelitian Khotibul, et al (2010) film protein whey pada pemanasan 90oC mudah mengalami keretakan pada saat penyimpanan, sehingga perlu ditambahkan pemlastis.
Tujuan penambahan bahan pemlastis dalam larutan film adalah untuk mengurangi
kerapuhan dan meningkatkan fleksibilitas film. Peningkatan fleksibilitas film
dikarenakan terjadi pengurangan kekuatan tarik intermolekuler diantara rantai
polimer.
2.4. Agen Antibakteri
2.4.1. Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Herba meniran merupakan herba semusim, tumbuh tegak, tinggi 30-50 cm,
bercabang–cabang. batang berwarna hijau pucat. Tumbuhan ini berdaun tunggal
dengan letak berseling, helaian daun bundar memanjang, ujung tumpul, pangkal
membulat, permukaan bawah berbintik kelenjar, tepi rata, panjang sekitar 1,5 cm,
lebar sekitar 7 mm, dan berwarna hijau. Dalam satu tanaman ada bunga betina dan
bunga jantan. Bunga jantan keluar di bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina
keluar di atas ketiak daun. Buahnya kotak, bulat pipih, licin, bergaris tengah 2-2,5
mm. Bijinya kecil, keras, berbentuk ginjal, berwarna coklat (Syamsyuhidayat dan
Tumbuhan meniran tumbuh liar di dataran dan daerah pegunungan dari
ketinggian 1 mm sampai 1000 m dari permukaan laut. Tumbuhan ini tumbuh liar di
tempat terbuka pada tanah gembur, berpasir di ladang, di tepi sungai dan di pantai,
bahkan tumbuh liar di sekitar pekarangan rumah (Dalimarta, 2000). Pemanenan
dilakukan setelah tanaman berumur 2-3 bulan. Ciri tumbuhan meniran yang siap
dipanen adalah daun tampak hijau tua hampir menguning dan buah agak keras jika
dipijit.
Herba meniran merupakan tanaman yang mempunyai banyak khasiat dan
telah digunakan sebagai obat tradisional. Khasiat tanaman tersebut diduga berasal
dari kandungan berbagai senyawa kimia. Khasiat tersebut diduga berasal dari
kandungan berbagai senyawa kimia, di antaranya alkaloid (sekurinin), flavonoid
(kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, astragalin, nirurin, niruside, rutin, leukodelfinidin,
dan galokatekin), dan lignan (filantin dan hipofilantin). Senyawa lainnya, steroid dan
triterpenoid, berasal dari biosintesis skualena, kebanyakan berupa alkohol, aldehid
atau asam karbohidrat (Wibowo, 2009). Tumbuhan meniran (Gambar 2.1) memiliki
sistematika sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Gambar 2.1. Herba meniran (Phyllanthus niruri L)
Nama lain dari Phyllanthus niruri L. adalah Phyllanthus urinaria L., Phyllanthus alatas BI, Phyllanthus cantonensis Hornen, Phyllanthus echinatus Wall, Phyllanthus leptocarpus Wight. Nama daerah Jawa: meniran, meniran merah, meniran hijau. Sunda: memeniran. Maluku: gosau cau, hsieh hsia chu (Dalimarta, 2000).
Potensi herba meniran di Indonesia untuk dijadikan obat alternatif terhadap
berbagai penyakit berbahaya seperti demam panas, diabetes, hepaptitis, dan jenis
penyakit lainnya. Hal ini disebabkan karena herba meniran mudah ditemukan di
Indonesia. Herba meniran telah digunakan masyarakat untuk pengobatan diabetes.
Pada dosis 10 mg per 200 g BB ekstrak metanol herba meniran efektif menurunkan
kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegitus L.) diabetik (Fahri et al, 2005).
Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa herba meniran memiliki
efek imunostimulator dan aktivitas antiviral terhadap virus Hepatitis B dan virus
Herpes Simpleks. Selain itu pada hewan uji mencit, ketika diberikan infusa herba
pengobatan infeksi kulit yang disebabkan oleh S. aureus. Masa penyembuhan hewan uji yang diinfeksi kulitnya dengan S. aureus adalah 22,10 hari dengan menggunakan ekstrak herba meniran dan 20,77 hari dengan kotrimoksazol (Praseno et al. 2001).
Penelitian lain menyebutkan herba meniran mengandung senyawa-senyawa yang
memiliki aktivitas sebagai antimalaria. Pada dosis 800.128 mg/kg BB hewan uji
optimal dalam menghambat pertumbuhan 6182 parasitemia tiap 10000 eritrosit dalam
tubuh hewan uji (Latra, 2004).
Gunawan (2008) yaitu mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa terpenoid
dari herba meniran dengan menggunakan pelarut n-heksana terhadap bakteri
Escerichia coli dan Staphylococcus aureus. Hasil penelitian membuktikan bahwa hasil ekstrak herba meniran mengandung dua senyawa terpenoid yaitu Phytadiene dan 1,2-seco-cladiellan yang aktif terhadap dua bakteri tersebut. Struktur Phytadienedan 1,2-seco-cladiellan dapat dilihat dalam Gambar 2.2.
(a)
OH OCH3
O
O
(b)
Senyawa tersebut terbentuk dari karvon, dimana karvon merupakan senyawa
golongan monoterpenoid yang mengandung gugus keton (Gunawan et al, 2008). Senyawa tersebut yang diduga aktif terhadap beberapa bakteri patogen.
2.4.2. Kandungan Kimia
Tumbuhan meniran mengandung lignin, alkaloid, dan bioflavonoid. Konstituens
utama tumbuhan ini berupa lignan filantin (0.5%) dan hipifilantin (hingga 0.2%)
(Daniel, 2006). Adapun struktur filantin dan hipofilantin dapat dilhat pada Gambar
2.3
Selain senyawa filantin dan hipofilantin ada pula beberapa senyawa lainnya
yang terkandung dalam herba meniran seperti farnesil farnesol, isolintetralin,
niranthin, 5-demethoxy-niranthin dan dimethylenodioxy-niranthin (Maciel et al, 2007). Masing-masing struktur senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4.
(a)
H3C
H3C
O O
O
O O
CH3
CH3
O
CH3
(b)
Gambar 2.3 Struktur kimia (a) filantin dan (b) hipofilantin
OH
(a)
OCOMe OCOMe
OMe
OMe O
O
(b)
H3C
H3C O O
O O
CH3
CH3
(c) (d)
(e)
Gambar 2.4 Struktur kimia (a) farnesil farnesol; (b) isolintetralin; (c) niranthin; (d) 5-demethoxy-niranthin; (e) dimethylenodioxy-niranthin
Penapisan fitokimia merupakan pemeriksaan kandungan kimia secara
kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam tumbuhan.
Pemeriksaan diarahkan pada senyawa metabolit sekunder yang memiliki kasiat
aktivitas antibakteri seperti alkaloid, flavonoid, terpen, tanin, saponin, glikosida dan
antrakuinon.
2.4.2.1. Alkaloid
Alkaloid adalah golongan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih
atom nitrogen biasanya dalam gabungan berbentuk siklik, serta dapat dideteksi
dengan cara pengendapatan menggunakan pereaksi Meyer, Dragendorff dan
Bouchardat. Alkaloid sebagian besar berbentuk kristal padat dan sebagian kecil
berupa cairan pada suhu kamar, memutar bidang polarisasi dan berasa pahit (Aprilya,
2012). Kebasaan pada alkaloid menyebabkan senyawa tersebut mudah mengalami
dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Hasil
dekomposisi seringkali berupa N-oksida (Lenny, 2006)
Mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri diprediksi melalui
penghambatan sintesis dinding sel yang akan menyebabkan lisis pada sel sehingga sel
akan mati (Lamothe et al, 2009). Adanya komponen asing dalam membran juga dapat menyebabkan pembentukan dinding sel akan terhalangi atau membentuk dinding sel
yang rapuh, yang selanjutnya akan menyebabkan lisis dan kematian sel.
2.4.2.2. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang umumnya terdapat pada tumbuhan
berpembuluh. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida dan aglikon
flavonoid. Biasanya dalam menganalisis flavonoid, yang diperiksa adalah aglikon
dalam ekstrak tumbuhan yang sudah dihidrolisis. Proses ekstraksi flavonoid
dilakukan dengan etanol mendidih untuk menghindari oksidasi enzim. Pendekatan
adanya senyawa ini dapat dilakukan dengan menambahkan besi (III) klorida 1%
dalam air atau etanol yang menimbulkan warna hijau atau hitam kuat (Aprilya, 2012).
2.4.2.3. Terpenoid
Terpen adalah salah satu senyawa yang tersusun dari isopren CH2=C(CH3)-CH=CH2
dan memiliki kerangka karbon yang dibangun oleh penyambungan dua atau lebih
satuan unit isoprene ini. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa seperti
monoterpen, dan seskuiterpen yang mudah menguap, triterpen dan sterol. Secara
umum terpen larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan.
Biasanya terpen diekstraksi dengan menggunakan eter dan kloroform. Senyawa ini
biasanya diidentifikasi dengan reaksi Lieberman-Bouchardat (anhidrat asetat –
2.4.2.4. Tanin
Tanin merupakan senyawa yang pada umumnya terdapat dalam tumbuhan
berpembuluh, memiliki gugus fenol, rasa sepat dan mampu menyamak kulit karena
kemampuannya menyambung silang protein. Tanin dapat bereaksi dengan protein
membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air. Secara kimia tanin dikelompokan
menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis.
Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara
kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer
yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang terhidrolisis jika
dididihkan dalam asam klorida encer (Harborne, 1987). Tanin diidentifikasi dengan
cara pengendapan menggunakan larutan gelatin 10%, campuran natrium
klorida-gelatin, Besi (III) klorida 3%, dan timbal (II) asetat 25%.
2.4.3.5. Saponin
Saponin adalah glikosida triterpen yang merupakan senyawa aktif permukaan dan
dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air. Pada konsentrasi yang rendah
dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah pada tikus (Harborne, 1987).
Identifikasi saponin dapat dilakukan dengan mengocok ekstrak bersama air hangat di
dalam tabung reaksi dan akan timbul busa yang dapat bertahan lama, setelah
penambahan HCl 2N busa tidak hilang.
2.5.Bakteri Patogen 2.5.1. Bakteri S. aureus
Beberapa strain dapat menghasilkan racun protein yang sangat tahan panas, yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Hampir semua orang pernah mengalami
beberapa tipe infeksi S. aureus sepanjang hidupnya, bervariasi dalam beratnya mulai
dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan sampai infeksi berat yang mengancam jiwa. Bakteri ini bersifat Gram-positif dan hampir setiap orang pernah mengalami infeksi yang disebabkan oleh spesies ini (Jawetz et al, 1996). S. aureus merupakan bakteri yang dapat menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
penyakit keracunan makanan (Ajizah et al, 2007).
S. aureus (Gambar 2.5) adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif,
termasuk dalam kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 μm, berwarna kuning terang dan cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam
kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis sel
darah.
Gambar 2.5. Bakteri S. aureus (Nancy, 2013)
S. aureus mudah tumbuh dalam banyak pembenihan bakteriologik dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum pada suhu 30-37oC, pH
dalam struktur dinding sel. Peptodoglikan, suatu polimer polisakarida yang
mengandung subunit-subunit yang terangkai, merupakan eksoskeleton yang kaku
pada dinding sel. Peptodoglikan dihancurkan oleh asam kuat atau lisozim. Hal ini
penting dalam patogenesis infeksi.Bakteri ini diisolasi dari lukabernanah, terutama
dalam selaput hidung, folikel rambut, kulit dan perineum. Komponen utama dinding
sel terdiri dari peptidoglikan, asam terikoat, dan protein (Jawetz et al, 1996).
Kerusakan makanan oleh bakteri S. aureus saat ini dapat diamati pada berbagai produk makanan. Selain itu bakteri S. aureus adalah patogen manusia yang menyebabkan kerusakan makanan yang memnyebabkan penyakit di seluruh dunia
(Elizaquı'vel dan Aznar, 2008). S. aureus adalah salah satu dari mikroba pada kulit manusia (Fujimoto et al, 2006). Pada kadar 89% dari wabah yang disebabkan oleh kontaminasi makanan oleh pekerja dibidang makanan, patogen dipindahkan ke
makanan oleh tangan pekerja. Oleh karena itu, S. aureus adalah patogen penting yang harus dikontrol dalam industri makanan (Shen et al, 2010).
2.5.2. Bakteri Salmonella sp
Salmonella (Gambar 2.6) adalah bakteri pendek (1-2 μm), Gram negatif, berbentuk batang yang tidak membentuk spora, biasanya motil dengan flagella peritrisous.
Salmonella adalah anaerob fakultatif yang secara biokimia dikarakterisasi dengan kemampuannya memfermentasi glukosa yang memproduksi asam dan gas, dan
ketidakmampuannya menyerang laktosa dan sukrosa. Temperatur pertumbuhan
optimumnya 38oC (Forsythe and Hayes, 1998). Salmonella dapat tumbuh pada aktivitas air yang rendah (aw ≤ 0,93) yang responnya tergantung strain dan jenis
Gambar 2.6. Bakteri Salmonella sp (James G, 2012)
Salmonella sp terdapat pada bahan pangan mentah, seperti telur dan daging ayam mentah serta akan bereproduksi bila proses pamasakan tidak sempurna. Sakit
yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella sp dinamakan salmonellosis. Salmonella sp adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan melalui makanan (foodborne diseases). Pada umumnya, serotipe Salmonella sp menyebabkan penyakit pada organ pencernaan. Orang yang mengalami salmonellosis dapat menunjukkan beberapa
gejala seperti diare, keram perut, dan demam dalam waktu 8-72 jam setelah memakan
makanan yang terkontaminasi oleh Salmonella sp. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala, mual dan muntah-muntah (Sorrels et al, 1970).
Tiga serotipe utama dari jenis S. enterica adalah S. typhi, S. typhimurium, dan S. enteritidis. S. typhi menyebabkan penyakit demam tifoid (Typhoid fever), karena invasi bakteri ke dalam pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh
keracunan makanan/intoksikasi. Gejala demam tifus meliputi demam, mual-mual,
muntah dan kematian. S. typhi memiliki keunikan hanya menyerang manusia, dan tidak ada inang lain. Infeksi Salmonella dapat berakibat fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan kandungannya serta orang lanjut usia. Hal ini disebabkan karena kekebalan
tangan dan menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi (Beuchat and Heaton,
1975).
Cara penularan yang utama adalah dengan menelan bakteri dalam pangan yang
berasal dari pangan hewani yang terinfeksi. Pangan juga dapat melalui kontaminasi
silang akibat higiene yang buruk. Penularan dari satu orang ke orang lain juga dapat
terjadi selama infeksi. Gejala keracunan: Pada kebanyakan orang yang terinfeksi
Salmonella sp, gejala yang terjadi adalah diare, kram perut, dan demam yang timbul 8-72
jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar. Gejala lainnya adalah menggigil, sakit
kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat berlangsung selama lebih dari 7 hari. Banyak
orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi infeksi Salmonella ini juga dapat
membahayakan jiwa terutama pada anak-anak, orang lanjut usia, serta orang yang
mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh. Penanganan: Untuk pertolongan dapat
diberikan cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang. Lalu segera bawa korban
ke puskesmas atau rumah sakit terdekat (POM RI, 2009).
2.5.3. Bakteri E.coli
Escherichia coli umumnya merupakan flora normal saluran pencernaan manusia dan hewan. Sejak 1940 di Amerika Serikat telah ditemukan strain-strain E. coli yang tidak merupakan flora normal saluran pencernaan. Strain tersebut dapat menyebabkan diare
pada bayi (Supardi dan Sukamto, 1999).
E. coli (Gambar 2.7) mempunyai ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µ m, tersusun tunggal,tidak membentuk spora, yang dapat meragikan laktosa dengan
pembentukan asam dan gas pada suhu 37oC dan 44oC dalam waktu kurang dari 48
Gambar 2.7 Bakteri E. coli (Drew F, 2010)
Bakteri yang dapat menjadi penyebab infeksi salah satunya adalah bakteri ini
mudah menyebar dengan cara mencemari air dan mengkontaminasi bahan-bahan
yang bersentuhan dengannya. Suatu proses pengolahan biasanya E. coli mengkontaminasi alat-alat yang digunakan dalam industri pengolahan. Kontaminasi
bakteri ini pada makanan atau alat-alat pengolahan merupakan suatu indikasi bahwa
praktek sanitasi dalam suatu industri kurang baik menjadi penyebab E. coli juga pernah ditemukan pada bahan makanan asal hewan seperti daging sapi dan daging
ayam segar (Faridz et al, 2007).
2.6. Mekanisme Kerja Antibakteri
Kemampuan herba dalam menghambat pertumbuhan bakteri merupakan salah satu
kriteria pemilihan senyawa antibakteri. Semakin kuat efek penghambatannya semakin
efektif digunakan.
Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan
kerusakan sel yang yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan
komponen anti bakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikro
statik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatu komponen akan bersifat
mikrosidal atau mikrostaik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur yang
Menurut Suprianto dalam Thorpe (1995), cara kerja senyawa antibakteri
dipengaruhi oleh sifat-sifat zatnya antara lain polaritas dan keadaan molekul. Sifat
hidrofilik sangat penting untuk menjamin bahwa antibakteri larut dalam air ketika
pertumbuhan bakteri terjadi, sedangkan pada saat yang sama antibakteri bekerja pada
membran sel yang hidrofobik sehingga membutuhkan sifat hidrofobik (Gambar 2.7).
Gambar 2.8 Perbandingan struktur dinding sel bakteri gram negatif dan positif (Suprianto, 2008)
Bakteri gram positif dapat dihambat dengan menyerang polimer dinding sel
bakteri yang sangat tebal, sedangkan pada bakteri gram negatif antibakteri cenderung
melumpuhkan membran sel bakteri dan dan peptidoglikan yang tipis.
2.7. Penggabungan Matriks dengan Agen Antibakteri
Penelitian mengenai film layak makan protein whey telah dilakukan sebelumnya oleh
Seacheol et al, (2005) dengan menggabungkan sistem laktoperoksidase dengan film layak makan protein whey dengan mengikuti metode McHugh dan Krochta (1994).
tertentu, divakum untuk menghilangkan udara terlarut. Proses denaturasi dilakukan
dengan pemanasan campuran pada suhu 90oC selama 30 menit, dan dilanjutkan
dengan pendinginan di atas es. Proses terakhir dilakukan dengan penambahan
laktoperoksidase sebanyak 0,5% hingga 5,0% w/v. Selain itu penelitian juga
dilakukan oleh Khotibul (2010) dengan mengikuti metode Galietta et al (1998). Larutan film dipanaskan pada suhu 90oC dengan di atas hot plate pH diatur hingga 5,2. Selanjutnya pengeringan dilakukan pada oven vakum pada suhu 34oC selama 38
jam. Monir et al, (2011) mengikuti yang metode yang dilakukan oleh Kim dan Ustunol (2001) dengan sedikit modifikasi menjelaskan bahwa setelah pencampuran
larutan film, diatur pH 8 dengan menggunakan NaOH kemudian dilakukan
pemanasan 90oC selama 30 menit sambil diaduk terus menerus, pada 5 menit terakhir