• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Hukum Pidana yang Berkeadilan Ber

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menuju Hukum Pidana yang Berkeadilan Ber"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Menuju Hukum Pidana yang Berkeadilan,

Berdaya Jera, Restoratif, dan Responsif

1

Oleh:

T. J. Gunawan, S.T., MIMS, M.H.2

“To restore both parties to equality, a judge must take the amount that is greater than the equal that the offender possesses and give that part to the victim so that both have no more and no less than the equal:- Aristoteles,dikutip dari: Nicomachean Ethics,http://en.wikipedia.org/wiki/Nicomachean_Ethics.

Abstrak

T

ulisan ini adalah salah satu materi Penataran Dosen dan Praktisi Hukum Pidana Tingkat Nasional 2017; 29 November 2017 di Hotel Gunawangsa Merr, yang mencoba mengusung rancang bangun Hukum Pidana Indonesia ke arah baru yang berkeadilan, berdaya jera, restoratif, dan responsif yang dibangun berdasar nilai asli Indonesia yang berbasis Pancasila yang mengusung nilai filosofis mufakat nilai.

Mendasarkan diri dari nilai Ketuhanan (hukum karma) dan Pancasila, diusung suatu proposal rancang bangun yang merefleksikan diri dari bagaimana Tuhan menegakkan keadilan yang tegas; sehingga memastikan kejahatan tidak menguntungkan, namun welas asih; dengan keadilan restoratif yang tidak mengutamakan penistaan. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka dibutuhkan nilai filsafat Pancasila yang mengutamakan mufakat nilai yang secara modern dapat diwakili oleh teori reflective equilibrium- John Rawls maupun ilmu statistik, untuk menyatukan berbagai filsafat, norma, dan teori dalam ilmu hukum pidana, sekaligus untuk menentukan nilai kerugian korban yang sifatnya bukan kerugian ekonomis.

Rancang bangun ini menjadi landasan berpikir dalam membentuk Konsep Pemidanaan Berbasis Kerugian Ekonomi yang sebelumnya diajukan dibangun dengan metode berpikir ekliktik terhadap filsafat dan teori-teori hukum pidana yang ada yang di dalamnya telah mengadopsi dan mengeliminasi tabrakan tabrakan nilai-nilai yang ada; sebagaimana

proces re-engineering, sehingga penerapannya tidak terfrakmentasi dan tumpang tindih namun menjadi suatu proses yang integral dalam menerapakan keadilan restoratif yang

1 Materi yang disampaikan dalam acara Penataran Dosen dan Praktisi Hukum Pindana Tingkat Nasional

2017 di Hotel Gunawangsa Merr – Surabaya yang diadakan Ikabhara dan Mahupiki.

2

(2)

tegas, welas asih, dan mampu mencapai tujuannya memperbaiki sikap pelaku kejahatan. Rancang bangun ini juga memasukkan beberapa nilai penting yang diperlukan untuk memastikan perubahan Hukum Pidana yang lebih baik dengan memasukkan konsep-konsep atau nilai-nilai seperti, nilai kerugian korban, kerugian negara untuk menegakkan atursn, insentif aparat untuk mengembalikan keadaan menjadi adil, kesetaraan sanksi lain di luar sanksi pidana penjara, disamping tetap juga memperjuangkan keadilan pelaku.

Abstract

This paper is one of literatures for improvement course material of National Level Criminal Law Lecturers and Practitioner 2017; 29th November 2017 at Hotel Gunawangsa Merr, which tries to carry the blueprint of Indonesian Penal Code into a new direction which is into justice, can have a deterrent effect, restorative, and responsive that is built based on the original values of Indonesia: Pancasila which carries the philosophical value of “mufakat nilai” (reflective equilibrium values / common ground).

Base on the values derived from God (karmic law) and Pancasila, it is proposing a design proposal that reflects itself on how God upholds firm justice; thus ensuring crime does not pay, but compassionate; with applying restorative justice and not putting defamation as primary tool to achieve it. Because of the limitations of human justice capabilities, the value of Pancasila philosophy is used prioritizes the value of “mufakat nilai” which can be represented by reflective equilibrium theory - John Rawls and statistics, to unite philosophical, theories, and norms in criminal justice science, including to determine the value of non economic based victim’s losses.

This design is the foundation of thinking in shaping the previously proposed the Concept of Economic Losses Value Based Sentencing built with the eclectic thinking method of philosophy and the existing criminal law theories in which it has adopted and eliminated the collisions of existing values; as what is done in a method called process re-engineering, so that its application is not fragmented and overlapping but becomes an integral process in applying restorative justice that is just, compassionate, and capable of achieving its goal of improving the attitude of the perpetrator. This design also incorporates some important values necessary to ensure better Criminal Justice Law by incorporating concepts or values such as, the value of the victim’s loss, the loss of the state to enforce the law, the incentive of the apparatus (enforcer) to restore the situation back to just/ normal, the value equality of other sanctions outside of imprisonment sanctions, and; in addition, to continuing to fight for justice for perpetrator(s) as well.

Keywords:

(3)

Kondisi Hukum Pidana Indonesia Saat Ini

S

ebelum dipaparkan lebih lanjut, hendaknya penting untuk disadari bahwa Hukum Pidana Indonesia (KUHP) saat ini dan yang ke depan; dengan Rancangan Undang-Undang KUHP terkini, telah dapat dibuktikantidak memenuhiCrime Does Not Pay – tindak pidana tidak menguntungkan. Ini berarti dalam kondisi yang dapat diprediksi (nilai kerugian tindak pidana tersebut besar dan objeknya tidak dapat dikembalikan) Hukum Pidana tidak dapat memberi perlindungan pada korban, masyarakat, maupun Negara.

Hal ini ditemukan berdasar pemikiran sederhana: bahwa dalam banyak keadaan; terutama ketika besar kerugian kejahatan tersebut cukup besar dan tidak dapat dikembalikan, bahkan ketentuan maksimum delik pidana tersebut sama sekali tidak bisa memberi perlindungan. Beberapa contoh yang bisa diajukan seperti ketika pencuri yang mencuri sebuah mobil Ferrari senilai 4 Milyar Rupiah; yang tidak dapat dikembalikan dalam bentuk apapun, ketika pelaku dihukum maksimum 5 tahun apakah sudah adil? Pertanyaannya adalah apakah pelaku dapat mendapatkan nilai uang yang sama ketika bekerja dengan sah selama 5 tahun tersebut? Belum lagi kebiasaan yang berlaku atas timbanganmenrea hakim yang seringkali tidak menjatuhkan hukuman maksimum.

Lalu bagaimana cara hukum pidana bisa memastikan penjeraan jika pidana penjara bisa dijadikan jalan singkat untuk menikmati yang bukan haknya dan resiko maksimumnya ternyata lebih singkat dari waktu yang dibutuhkannya jika dia bekerja secara sah? Hal ini yang menjadi alasan munculnya penelitian hukum yang pada akhirnya berujung pada penulisan buku Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi (ke depan disingkat Konsep PBNKE): mencari hukum pidana yang bagaimana yang bisa mecapai daya jera.

Di sisi lain, juga ditemukan bahwa, hukum pidana bisa menjadi sangat tidak adil bagi pelaku ataupun korban politisasi pidana. Hukum Pidana saat ini sangat bisa dijadikan alat pihak yang mengaku sebagai korban untuk meminta pertanggung jawaban yang jauh lebih besar (bahkan mungkin mengada-ada nilai kerugiannya) sehingga bisa dibuktikan dengan pengalaman pribadi keluarga penulis, maupun pengalaman pahit salah sau senior kita Prof. Romli Atmasasmita sendiri. Hal ini menekankan pada perlunya Hukum Pidana Indonesia yang berkeadilan untuk memastikan tidak pemidanaan tidak kurang -undercriminalizationmaupun tidak terlalu berlebih -overcriminalization.

Dari penelitian hukum tersebut bahwa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki, ditemukan bahwa kelemahan mendasar Hukum Pidana Indonesia saat ini adalah: 1) tidak terpenuhinya ketentuan crime does not pay, dan 2) elasticity of sentencing ternyata membuat Hukum Pidana menjadi tidak adil yang penuh dengan ketidak pastian; hal ini menjadikan seolah tersangka, terdakwa, atau terpidana seolah-olah berada dalam sistem perjudian yang karenanya apakah bisa didapat rasa jera?

(4)

Bagaimana merubah sifat seseorang menjadi lebih baik dengan disiksa? Bukankah binatang saja kita bisa jinakkan bukan dengan menyakiti namun dengan kejelasan aturan

reward and punishment dan perlakuan yang penuh cinta kasih? Disini ditekankan adanya konsep-konsep atau nilai-nilai yang hilang dalam Hukum Pidana dalam mencapai tujuannya.

Hal ini mendorong penelitian yang berujung pada penulisan buku Konsep PBNKE yang isinya merupakan “pendekatan eklektik terhadap beberapa filsafat, teori, dan norma yang ada dan diterima dalam sistem hukum pidana secara umum yang dibahas dengan pendekatan metode Reflective Equilibrium untuk mendapatkan mufakat nilai yang kemudian disistematika menjadi rumusan yang eksak dan diskrit” dengan tujuan mencari formulasi Hukum Pidana yang berkeadilan, berdaya jera, berkepastian, dan kemudian ditemukan juga memberi sifat transparan, akuntabel, dan mampu mengikuti perkembangan jaman.

Penelitian tersebut ternyata juga berhasil mengidentifikasi bahwa salah satu elemen keadilan3 adalah harus bersifat restoratif4: dalam suatu sistem yang berkeadilan, harus berisi kemungkinan serangan dari salah satu pihak secara tidak sah sehingga untuk meredam konflik harus diutamakan upaya pengembalian keadaan dengan sebagaimana diungkap Aristoteles: mengambil lebih dari apa yang didapat pelaku dan mengembalikan kepada korban. Selain itu keadilan juga harus bersifat menjamin persamaan perlakuan bagi semua (fairness) atau prinsip equality5, memberi jaminan untuk memberi batasan minimum untuk kemanusiaan6, dan harus memberi jalan dalam menjalankan kebebasan manusia untuk menentukan pencapaiannya sendiri7.

Pada saat yang bersamaan, Romli Atamasasmita juga mengungkapkan impiannya tentang pembentukan Hukum Pidana yang restoratif dan responsif yang diungkapnya dalam buku Analisis Mikro Ekonomi Tentang Hukum Pidana Indonesia yang dibuat Romly Atmasasmika dan Kodrat Wibowo yang terbit tahun 20168. Penulisan buku Konsep PBNKE ini memiliki kesamaan pandangan, visi, dan misi dengan hasil analisis Teori Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Pidana; yang pada draft edisi revisi buku Konsep PBNKE diungkap dan dijelaskan lebih lanjut, yaitu: untuk mengejar tujuan hukum, Hukum Pidana dalam mencapai tujuanya harus merupakan penerapan restorative justice dan harus bersifat responsif untuk mengikuti perkembangan jaman yang didorong perkembangan ekonomi.

Berdasar hal tersebut diatas, dan hasil diskusi penulis dengan para senior (Barda Nawawi Arief, M. Arief Amrullah, Romli Atmasasmita, almarhum Johnny Ibrahim, M. Sholehuddin, Bernard L. Tanya, Maria G.S. Soetopo, Artidjo Alkostar,

Gazalba Saleh, dan yang lain yang tidak sempat saya sebut) yang searah dengan ide dasar

3Disitensa dari teori keadilan distributif dan keadilan korektif Aristoteles yang juga ikut mengadopsi

ketentuan Teori Keadilan John Rawls.

4

T.J. Gunawan,Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Yogyakarta: Genta Press, 2015, Bab 3.2.4. Prinsip Restoratif.

5Ibid., Bab 3.2.1. Prinsip Persamaan (Equality). 6 Ibid

,Bab 3.2.3. Prinsip Batasan Minimum Untuk Kemanusiaan..

7 Ibid

,Bab 3.2.2. Prinsip Kebebasan (Liberty Principle).

8 Romli Atmasasmika dan Kodrat Wibowo, Analisis Mikro Ekonomi Tentang Hukum Pidana Indonesia,

(5)

penulisan Buku Konsep PBNKE ini dalam mewujudkan impian-impian beliau untuk diterapkan dalam Hukum Pidana ke depan maka diajukanlah pemikiran ini Ikatan Keluarga Alumni Universitas Bhayangkara Surabaya (Ikabhara) yang kemudian diajukan bersama dengan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) untuk mengadakan Penataran Dosen dan Pratisi Hukum Pidana tingkat Nasional 2017 ini dengan tema Rancang Bangun Hukum Pidana Indonesia yang Berkeadilan, Berdaya Jera, Restoratif, dan Responsif. Pada saat yang bersamaan diajukan konsep ini yang dinilai mampu menjawab a. Bagaimana membangun Hukum Pidana yang restoratif, responsif, berdaya jera, dan berkepastian, dan b. Dan penanganan overcriminalization dan

overreachHukum Pidana.

Sekaligus mengingat, karena sangat mendesaknya pengesahan RUU KUHP yang mana masih berisi kekurangan yang sama dengan penerapan KUHP saat ini yang: sudah pasti tidak adil, tidak memenuhi ketentuan crime does not pay, penerapan

restorative justice yang cenderung tidak jelas dan tambal sulam, tidak memperhatikan kerugian korban, sehingga sangat tidak mungkin mengejar ketinggalan dengan perkembangan Hukum Pidana di negara lain9.

Maka diajukannya tulisan ini yang merupakan sistesis penulisan buku dan draf buku edisi revisi Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi ini dalam format rekontruksi konsep-konsep yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia ke depan yang merefleksikan diri dari sifat Ketuhanan dan Pancasila yang tegas-adil, namun welas asih, dan merupakan hasil mufakat nilai dari nilai-nilai yang berlaku dalam ilmu hukum pidana.

Ringkasan Dasar Teori

Sebagaimana yang telah dijelaskan Soebekti: hakim dalam memutus perkara harus melihat 3 hal:

1. Perbuatan melawan hukum: intinya harus salah yaitu memenuhi seluruh ketentuan unsur delik yang dituduhkan;

2. Pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability), dalam hal ini berbicara tentang beberapa hal antara lain:

a. Kemampuan untuk menerima tanggung jawab pidana seperti umur dan kesehatan mental;

b. Sengaja atau tidak sengajanya perbuatan: sengaja (Dolus) atau kealpaan (Culpa);

c. Ada atau tidaknya alasan pembenar, penghapus, pengurangan, dan pemberatan pidana.

3. Penentuan Hukuman: yaitu penentuan besar sanksi pidana dan/atau sanksi tindakan.

9 Di Amerika dengan USSentencing Commissionyang sudah berdiri 1984 dengan tabel pedoman

pemidanaanya yang mana berisi 43Offence Leveluntuk tabel pemidanaannya, lihat USSC,An Overview of the UNITED STATES SENTENCING COMMISSION, 5 January 2011,

(6)

Namun, sampai hari ini tidak ada sistematika maupun teori apapun yang memberi jawaban bagaimana menghitung beban pemidanaan yang adil: seperti dikatakan John Kaplan, kebijakan pidana (sanksi) dalam hukum pidana di berbagai negara cenderung tidak rasional. Menurutnya, sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik-delik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan rasional10. Sanksi-sanksi yang berbeda itu, menurut Kaplan, sering kali hanya merupakan refleksi dari perbedaan-perbedaan yang kecil yang tidak krusial. Bahkan bagi Guru Besar Hukum Pidana

University Of Nijmigen, J.P. Peter, di Belanda yang sistem peradilan pidananya relatif maju dan modern, terdapat juga ketidakjelasan kriteria dalam kebijakan penalisasi. Ketidakjelasan itu mencakup seluruh dimensi pidana, yakni Strafsoort (jenis pidana),

Strafmaat(berat-ringannya pidana), danStrafmodus-nya (bentuk pengenaan pidananya)11. Bahkan dalam KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini masih belum memiliki pedoman pemidanaan (Straftoemetingsleidraad), saat ini pedoman pemidanaan sudah diwacanakan dalam kententuan Pasal 55 dan Pasal 56 RUU KUHP tahun 2013 (ke depan disebut RUU KUHP). Hanya saja pedoman tersebut hanya berupa abstraksi ketentuan dan masih dirasa terlalu abstrak, kecuali Pasal 56; sehingga tidak mampu memberi petunjuk bagaimana menghitung pembebanan pemidanaan. Misal: seberapa besar motif tindak pidana mempengaruhi berat pemidanaan.

Padahal, esensi hukum pidana adalah pemidanaannya. Berdasarkan temuan dalam penelitian yang berujung Konsep Pemidanaan ini; besar sanksi pidana yang adil, tepat dan akuntanbilitas yang penting agar Hukum Pidana bisa mencapai tujuannya. 3 alasan pendapat tersebut antara lain:

1. Pemidanaan adalah esensi dari sistem hukum pidana karena yang terpenting dari semua pencapaian tujuan hukum pidana mengarah ke besaran pemidanaan yang dapat mengembalikan keadaan dari yang tidak adil menjadi adil;

2. Sanksi yang berat sebenarnya adalah pemberi efek deteren/penangkal terhadap tindak pindana: logika manusia sederhana; jika dihadapkan pilihan yang lebih tidak menguntungkan, pasti memilih yang lebih menguntungkan oleh karena itu dalam sistem sanksi pidana harus memastikan pesan sederhana: Crime does not pay;

3. Jika dilihat alasan kenapa korban melaporkan ke pihak berwajib ialah untuk meminta pertanggungjawaban pidana pelaku terhadap perbuatan tindak pidana yang ia lakukan. Kalau hasil hukuman pidana tidak adil, maka korban tentu mencari jalan lain untuk melampiaskan rasa ketidakadilan yang dideritanya. Fakta jelas membuktikan; misalnya dengan mediasi penal atau cara lain seperti carok, ketika hukum pidana tidak dapat memberi keadilan, korban akan menggunakan cara lain yang terkadang tidak diharapkan oleh hukum.

10

Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 175.

11M. Sholehuddin,Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm.

(7)

Kembali ke alasan pertama: Pemidanaan adalah esensi dari sistem hukum pidana karena yang terpenting dari semua pencapaian tujuan hukum pidana mengarah ke besaran pemidanaan yang dapat mengembalikan keadaan: baik secara teori relatif maupun teori retributif (murni maupun tidak murni), dari yang tidak adil menjadi adil. Keberhasilan tujuan pemidanaan dan sistem hukum pidana sangat erat dengan perlakuan dalam pemidanaan yang menekankan:

a. Perlakuan sikap yang fair, memastikan pemidanaan yang sebanding (atau lebih besar) dengan nilai kejahatan yang timbul (Didukung oleh: Aristoteles, Cesare Beccaria, Jeremy Bentham, David Fogel, Sue Titus Reid, dan lain-lain); b. Menimbulkan efek jera (deterrent effect), dan baru kemudian;

c. Menekankan pada tujuan akhir yaitu upaya pengembalian dari sikap mental yang sakit untuk diobati dan dikembalikan pada masyarakat.

Tujuan hukum pidana adalah untuk memberikan hukuman (pidana) bagi pelaku untuk berbagai tujuan seperti revenge theory,expiation theory,special deterrence,global deterrence, preventive, vindictive tergantung dari sisi mana yang terbaik yang bisa digunakan. Sanksi pidana memastikan perampasan keuntungan pelaku terhadap tindak pidana yang telah dilakukan, sehingga menjadi titik pembalik yang memastikan semua tindak kriminal itu dalam segala hal tidak menguntungkan. Tanpa sanksi pidana atau sanksi pengganti yang lain (sanksi administratif – dalam double track system12) yang kuat, maka ketentuan-ketentuan yang dilarang oleh hukum pidana sama sekali tidak bisa ditegakkan karena logika ekonomi sederhana: tindakan pidana lebih menguntungkan.

Perdebatan antara teori pemidanaan baik teori tujuan pemidanaan retributif modern (contoh Teori Just Desert- Sue Titus Reid) dan relatif pada awalnya seperti yang diungkapkan oleh Jeremy Bentham; jika tidak dilihat pada argumen tujuannya, namun pada titik dimanakah beban sanksi harus diberikan, ternyata saling melengkapi. Ketika diambil ketentuan sanksi pidana sesuai teori Jeremy Bentham “Nilai penghukuman harus tidak boleh kurang dalam segala kasus terhadap apa yang cukup untuk menimbang berat keuntungan pelanggaran” dibandingkan dengan ungkapan Sue Titus Reid bahwa sanksi pidana harus “cukup untuk menimbang berat keuntungan pelanggaran” adalah bicara pada titik yang sama.

Kemudian ketika melihat lebih jauh ke belakang dimana Aristoteles menekankan “untuk mengambil lebih dari apa yang yang didapat pelaku” juga sama dengan ungkapan Bentham yang mengungkapkan “penghukuman [/pemidanaan] adalah untuk mengobati sikap mental yang sakit”. Rumusan Aristoteles inilah rumusan yang secara notasi matematis lebih tepat untuk menggambarkan tujuan pemidanaan relatif Jeremy Bentham, tanpa mengambil yang lebih dari apa yang didapat pelaku bagaimana cara yang dikehendaki Jeremy Bentham untuk menjerakan pelaku dan mengembalikannya pada masyarakat. Disini terlihat bahwa titik temu antara berat sanksi pidana dengan nilai kerugian korban yang ditimbulkan (atau yang didapat oleh pelaku) adalah apa yang diperjuangkan Teori Tujuan Pemidanaan Retributif sedangkan Teori Tujuan Pemidanaan

12

Double Track System, merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana (Punishment) di satu pihak dan jenis sanksi tindakan (Treatment) di pihak lain”: M. Sholehuddin,

(8)

Relatif Jeremy Bentham dan turunannya berbicara tentang titik lebih dari besar nilai kerugian korban yang tujuannya adalah mengobati sikap mental pelaku yang sakit (bobot nilai kerugian sosial).

Kemudian disisi lain, perlu juga dijadikan perhatian utama untuk membentuk suatu sistem sanksi pidana yang bersifat adil dalam arti fair (persamaan perlakuan). Kalau besarnya sanksi yang merugikan pelaku bisa memberi efek jera (efek deteren), perlakuan yang manusiawi, welas asih namun tegas dan adillah yang diargumenkan penulis menjadi satu-satunya cara untuk mengobati sifat mental sakit pelaku; yang untuk lebih jauhnya akan membawa dia menuju masyarakat yang sadar hukum dan bukan takut hukum.

Hal ini di atas memperkuat argumen penulis bahwa esensi hukum pidana adalah pemidanaannya. Jadi perlu suatu sistem pemidanaan yang menjamin tidak terlalu berlebih, tidak kurang yang memastikan pemenuhan crime does not pay, dan terukur sehingga 2 kasus atau lebih yang sama bisa memiliki beban pidana yang paling tidak sama. Berdasarkan temuan dalam penelitian yang berujung Konsep Pemidanaan ini; besar sanksi pidana yang adil, berdaya jera, berkepastian (/tepat) dan transparan (/akuntabel)-lah yang penting agar Hukum Pidana bisa mencapai tujuannya.

Titik temu bobot nilai dalam pemidanaan inilah yang menurut penulis adalah yang paling penting dalam pembangunan keilmuan hukum pidana Indonesia ke depan, hal ini dapat membawa ilmu hukum tertutama ilmu hukum pidana ke level positifistik berikutnya setelah Aguste Comte dengan mazab positifistik keilmuan yang kemudian; menurut penulis, pada ilmu fisika diperkuat oleh perkembangan kalkulus yang salah satu tokoh yang memegang peran penting yaitu Issac Newton, upaya Issac Newton dalam menerjemahkan fenomena alam dalam rumusan matematis dengan dasar kalkuluslah yang memungkinkan manusia dengan cukup presisi menghitung fenomena alam yang menghubungkan massa, jarak, dan waktu sehingga timbul banyak konsep alam yang bisa diidentifikasi dan dihitung dengan cukup presisi; yang paling tidak masih dapat digunakan ilmuan untuk merencanakan penerbangan satelit menuju planet lain, yang juga menimbulkan beberapa teori-teori baru seperti: percepatan, gaya (force), menghitung grafitasi, dan 3 hukum mekanika klasik.

Konsep yang diajukan disini membawa positifistik ilmu hukum ke arah berbeda dengan John Austin maupun membaharuannya oleh H.L.A Hart yang menekankan pada hukum tertulis dan membawa ke dimensi yang lebih dari teori Analysis Economic of Law (AEL) dengan pemikiran: jika hukum dapat dianalisa dengan teori ekonomi maka dalam hukum pasti berlaku variabel-variabel ekonomi, maka sangat mungkin untuk dibangun suatu model sistem hukum dari nilai-nilai ekonomi.

(9)

Melihat beberapa teori seperti a) Teori Pilihan Rasional oleh Gary Becker (1968)13: individu menimbang dari berbagai kemungkinan yang ada (untung-rugi) untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindak pidana. b) G. Von Mayr -Criminology and Economic Condition berhasil membuktikan adanya hubungan antara kejahatan dan kondisi ekonomi negara. c) Teori Willem Boger14 (1905) tentang beberapa unsur yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan faktor nomor 2 (dua)-nya adalah “kesengsaraan” yang tak lain adalah timbul dari faktor ekonomi. Dan d) oleh Richard Posner dalam teori

Economic Analysis Of Law yang mengkaitkan faktor ekonomi dalam hukum.

Secara singkat dalam konsep PBNKE yang diajukan ini juga berisi penerapan beberapa teori/konsep penting:

1. Merupakan upaya pemodelan keadilan dengan acuan nilai ekonomi: merupakan sintesa teori keadilan distributif dan keadilan korektif aristoteles yang sudah dimoderenisasi oleh teori keadilan John Rawls dan menggunakan nilai timbangan ekonomi;

2. Merupakan penerapan keadilan berketuhanan dengan harus memastikan terpenuhinyacrime does not pay;

3. Merupakan penerapan teori keadilan restoratif:

a. konsep ini tidak hanya penerapan teori M. Arief Amrullah dengan hukum pidana yang memperhatikan perbuatan, pelaku, dan korban atau yang disebut Daad-dader-slachtoffer Strafrecht; namun juga menambahkan menempatkan keharusan hakim harus memastikan besar nilai kerugian ekonomi korban sehingga hukum pidana yang direkomendasikan merupakan suatu sistem yang dibangun dari dasar sebagai sistem yang menerapkan restorative justice yang mencari keseimbangan antar klaim-klaim kerugian para pihak baik korban, negara dan masyarakat, serta sisi pelaku/terdakwa;

b. konsep ini memasukkan Alternate Dispute Resolution atau mediasi penal dalam alur proses Hukum Pidana dan memberi ketegasan: alur mediasi penal harus dipastikan tidak boleh kurang dari crime does not pay, sehingga merupakan penerapan restorative justice juga karena konsep utama restorative justice yang mencolok adalah mendorong upaya pengembalian menjadi pilihan yang terutama dari pada menjatuhkan sanksi pidana penjara;

c. ini berarti keadilan restoratif (restorative justice) berisi ketentuan (sebagaimana ketentuan keadilan korektif Aristoteles) suatu sistem yang berusaha mengembalikan keseimbangan antara korban dan pelaku kejahatan dengan memastikan mengambil lebih dari yang didapat dari tindak kejahatan tersebut, dan mengembalikan kerugian kembali kepada korban dengan janji untuk tetap adil bagi pelaku/terpidana yang mana memberi janji setiap upaya baik pelaku mendapat reward; yang pantas secara tertulis dalam sistemnya (baca poin No.6 di bawah).

(10)

4. Mengajukan konsep menggunakan 1 (satu) standar menghitung sanksi pidana dan pemidanaan yang menggunakan Nilai Ekonomi (NE); yang paling tidak satu pandangan dengan teori Analisis Ekonomi Micro Terhadap Hukum Pidana. Nilai Ekonomi (NE) adalah bobot nilai yang dihitung dengan nilai ekonomi. Ini adalah hasil sintesa pemikiran sederhana jika hukum bisa dianalisa dengan ilmu ekonomi maka “sistem” hukum sangat mungkin dibangun dengan variabel atau nilai ekonomi.

5. Mengajukan konsep/teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang diajukan untuk menjembatani 2 konsep besar yang selama ini dianggap terpisah; teori tujuan pemidanaan retributif dan tujuan pemidanaan relatif, menjadi 1 konsep: konsep/teori tujuan pemidanaan pemenuhan crime does not pay atau yang pada edisi revisi ini disebut ratio-legis pemidanaan15 yang intinya penjatuhan sanksi pidana; bukan sebagai bentuk balas dendam ataupun penistaan namun, sebagai bentuk pembayaran hutang kerugian yang timbul dari tindak pidana kepada semua pihak yang terkena rugi yaitu korban dan negara (serta/atau masyarakat).

Rumusannya:

NE Pemidanaan = Kerugian Ekonomis Korban + Kerugian Sosial

Sedikit mundur ke belakang, Konsep kesetaraan nilai pemidanaan dengan nilai Kerugian Ekonomi Korban dan nilai ekonomis Kerugian Sosial paling tidak didukung oleh teori-teori sebelumnya yaitu:

• Nigel Walker: dasar tujuan pemidanaan “retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar ”16.

• Jeremy Bentham: Nilai penghukuman harus tidak boleh kurang dalam segala kasus terhadap apa yang cukup untuk menimbang berat keuntungan pelanggaran17.

• Aristoteles: Untuk mengembalikan kondisi para pihak kembali berimbang, seorang hakim harus mengambil jumlah yang lebih dari yang sama yang dimiliki pelanggar18.

Yang Notasi matematisnya adalah:

NE PemidanaanKerugian Ekonomi Korban

Untuk memastikan pencapaian yang pasti dan adil bagi terpidana maka seberapa besar bobot nilai ekonomi Pemidanaan yang mungkin lebih dari nilai Kerugian Ekonomi Korban, serta sebagai penerapan teori tujuan pemidanaan 15T.J. Gunawan,Draft Buku Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi edisi revisi. Bab 7.3.

Ratio-legis Pemidanaan: Pemenuhan Crime Does Not Pay .

16

Dalam buku:Sentencing in a Rational Societytahun 1971, dikutip dari M. Sholehuddin,Op. cit.,hlm. 36-37

(11)

relatif yang menekankan bobot nilai pemidanaan sebagai bobot kerugian negara dan/atau masyarakat atas sikap mental yang sakit maka ditambahkan variabel nilai ekonomi Kerugian Sosial.

6. Mengajukan konsep/teori pemidanaan menjadi 1 rumusan bahwa nilai pemidanaan secara keseluruhan adalah total nilai semua tipe sanksi pidana yang bisa dijatuhkan pada terpidana; dan bukan seperti yang berlaku pada Hukum Indonesia saat ini yang terpisah-pisah (pemisahan pidana dan perdata), serta tidak ada kesetaraan dan cenderung tidak rasional antara sanksi pidana penjara dan sanksi pidana tindakan yang lain seperti pidana denda, pencabutan hak, dan sanksi-sanksi pidana tindakan lain. Ini merupakan penerapan Teori Double Track System dalam sanksi-sanksi hukum pidana oleh M. Sholehuddin yang mendorong kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan (atau sanksi administratif)19 sekaligus penerapan restorative justice (keadilan restoratif). Dengan mempertimbangkan masukan para senior yang menekankan pentingnya masing-masing variabel yang ada dalam pemidanaan yang menekankan pemisahan sanksi tindakan/administratif terlepas dari pengembalian / restitusi pada korban, maka Pemidanaan secara sekeluruhan berisi sanksi pidana, sanksi tindakan, dan restitusi/pengembalian yang mana harus setara dan secara total merupakan nilai pertanggung jawaban terpidana secara menyeluruh. Maka penulis mengembangkan rumusannya:

NE Pemidanaan = NE Sanksi Pidana + NE Sanksi Tindakan + Pengembalian

7. Mengajukan konsep/teori kesetaraan sanksi pidana penjara yang nilai ekonomis per waktu harus menggambarkan kesetaraan dengan nilai ekonomis orang lain bekerja secara sah dalam kondisi yang kurang beruntung. Yang mana rumusannya:

NE Sanksi Pidana(/ Bulan) =UMR

Dimana: Nilai Upah Minimum Regional / Bulan =UMR

Jadi, Nilai Ekonomi Sanksi Pidana atau yang rumusannya disebut NE Sanksi Pidana adalah:

NE Sanksi Pidana = Pidana Penjara (/Bulan) x UMR

8. Atas konsep-konsep yang diajukan di atas didapat suatu rumusan sanksi pidana penjara yang harus dijalani menjadi satu konsep yaitu konsep sanksi pidana penjara berbasis nilai ekonomi yang memperhatikan keseimbangan terpidana dengan klaim kerugian-kerugian ekonomis korban dan negara yang diterima hakim, sehingga rumusannya menjadi:

NE Sanksi Pidana + NE Sanksi Tindakan + Pengembalian =

Kerugian Ekonomis Korban + Kerugian Sosial

19

(12)

Pidana Penjara(/Bulan) x UMR + NE Sanksi Tindakan + Pengembalian = Kerugian Ekonomis Korban + Kerugian Sosial

Pidana Penjara(/Bulan) x UMR =

Kerugian Ekonomis Korban + Kerugian Sosial - NE Sanksi Tindakan - Pengembalian

Jika ada sanksi Pidana Penjara biasanya Sanksi Tindakan adalah tidak ada (0), maka:

Pidana Penjara = Kerugian Ekonomis + Kerugian Sosial – Pengembalian

(dalam Bulan) UMR

Rumusan di atas adalah rumusan akhir yang didapat untuk menjelaskan secara sederhana Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi (Konsep PBNKE) ini yang terdiri dari beberapa sub konsep, namun rumusan di atas masing-masing bukanlah keseluruhan ataupun inti dari konsep PBNKE. Konsep ini adalah gabungan konsep-konsep di atas yang menekankan pada pentingnya keadilan dengan mengutamakan upaya pengembalian keadaan supaya adil. Sehingga sangat penting dalam konsep ini untuk mencari keseimbangan yang menyeluruh terhadap klaim-klaim kerugian para pihak.

Kepentingan Pelaku

Kepentingan Korban +

Negara

Kerugian Ekonomis

Korban

Pengembalian

Kerugian Sosial

Pemidanaan,

dan/atau Tindakan

(13)

Dengan rumusan yang adil demikian, penulis berpendapat bahwa tujuan hukum pidana dapat tercapai karena secara sistematika sudah menekankan upaya mencari titik tengah yang adil yang tidak membutuhkan upaya tambahan dari para pihak untuk bisa menggeser hukum pidana sesuai arah yang dikehendaki. Dengan pola pikir (mindset) pemidanaan bukan sebagai penistaan melainkan sebagai bentuk kontrak kerja paksa sosial untuk membayar hutang yang ditimbulkan akibat tindak pidana pelaku yang menimbulkan kerugian terhadap korban dan negara. Paling tidak, hal ini setara dengan apa yang diungkapkan pada simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada tahun 1980.20

Rancang Bangun Hukum Pidana yang Dituju

Rancang bangun Hukum Pidana ini diajukan karena terdeteksi banyak konsep/teori yang belum masuk dalam rancangan Hukum Pidana yang ada saat ini, beberapa di antaranya: a) konsep pemenuhan crime does not pay, b) konsep restorative justice yang meniru hukum karma, c) mufakat nilai konsep-konsep yang ada yang penerapan konsepnya meniru teori Reflective Equilibrium- John Rawl dan aplikasinya yang merupakan hasil statistika, d) konsep penetapan kerugian ekonomi korban, e) konsep mufakat nilai kerugian korban non-ekonomi yang menggunakan statistika biaya korban dalam golongan tertentu untuk pulih yang paling tidak seperti orang lain sebagai janji batasan minimum dalam Hukum Pidana memberi perlindungan, f) hak terpidana yang tidak bisa dilanggar (Inviolability of Humand Rights) yang melahirkan dorongan untuk memperdayakan terpidana, g) Konsep nilai ekonomi kerugian sosial, yang didalamnya ada: h) Kerugian masyarakat, dan i) kerugian negara yang harus ikut diperhitungkan dalam menilai suatu kasus, serta di dalam kerugian negara juga memasukkan perlunya j) insentif aparat untuk keberhasilannya memulihkan keadaan.

Belum lagi beberapa konsep lain seperti pemidanaan generasi ke empat yang juga didalamnya terdapat konsep reintegratif shaming – penjatuhan sanksi pemaluan, upaya penanganan overcriminalization, undercriminalization, overreach of Criminal Justice System. Penanganan Hukum Pidana yang tidak lagi “tajam ke bawah dan tumpul di atas” namun sudah mengarah pada “tumpul ke atas dan tumpul ke bawah”.

Terilhami dari sifat keadilan Tuhan yang tegas namun welas asih yang didapat dari hasil kontemplasi dengan hukum karma atau hukum sebat-akibat, maka dapat dengan mudah dilihat bahwa Tuhan yang Maha Adil dipercaya pasti memberi sanksi yang setimpal atas setiap perbuatan jahat manusia yang pasti dituai di kehidupan ini, dan/atau kehidupan setelah, di sisi lain terlihat juga sifat welas asih Tuhan sedemikian bagi umat yang percaya hukum karma dipercaya manusia masih bisa menebus dosanya dengan perbuatan baik. Jadi sifat Ketuhanan mewakili 2 konsep yang harus berjalan bersama yaitu a. keadilan; yang berisi ketentuan persamaan perlakuan yang sama untuk semua tanpa pandang bulu dan ketegasan yang memastikan menghukum karma jahat, dan b. Sikap welas asih Tuhan yang tidak begitu saja

20T.J. Gunawan, Konsep PBNKE,Op.Cit., Bab 4.4.3. Eksistensi Pemidanaan atau Hukuman, dan Bab 4.4.1.

(14)

menghukum manusia; yang tidak sempurna dan penuh dosa ini, dengan kepastian penistaan. Bayangkan jika Tuhan yang Maha Tahu memiliki prinsip menjatuhkan hukuman seperti Hukum Pidana manusia saat ini: tentu manusia tidak akan hidup seperti saat ini.

Jikalau Tuhan tidak bersikap demikian, mengapa Hukum Pidana manusia bisa bersifat begitu kejam: “tidak perduli perbuatan baik apa yang anda lakukan, kalau anda salah ya anda harus dipenjara”. Sifat keharusan menang telak atau kalah total dalam Hukum Pidana inilah yang patut dikritisi, mindset ini sudah mendarah daging baik di seluruh level aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa, dan kehakiman. Karakter keadilan yang merefleksikan diri dari Tuhan sangat jelas menunjukkan upaya mencari keseimbangan antara besar karma buruk yang diperbuat dan karma baik sebagai pengurang yang pada intinya adalah upaya mencari keseimbangan. Jadi hendaknya Hukum Pidana Indonesia juga merupakan suatu sistem yang mencari keseimbangan – sebagaimana juga sempat diungkap Didik Endro Purwoleksono dari UNAIR Surabaya.

Sifat ketegasan Tuhan inilah yang juga mendorong penulis untuk mengkukuhkan bahwa Hukum Pidana Indonesia ke depan dalam segala hal harus memenuhi ketentuan crime does not pay. Sedang sifat welas asih Tuhan menyakinkan penulis bahwa Hukum Pidana Indonesia ke depan harus merupakan penerapan keadilan restoratif.

Disisi lain, sebagai diungkap Barda Nawawi Arief sempat mengungkapkan keraguannya dalam acara bedah buku Konsep PNBKE ini: ada keraguan bagaimana sistem yang dibuat manusia ini bisa mengimbangi keadilan Tuhan, apalagi jika dilihat apa yang diajukan konsep ini hanya menggunakan variabel nilai ekonomi. Jujur diakui penulis bahwa memang sangat sulit untuk bisa mengusung suatu sistem yang pasti adil 100%, keadilan murni dan kesempurnaan adalah milikNya semata.

Namun dengan memegang nilai musyawarah untuk mufakat nilai yang bersumber dari ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila; konsep ini berani diajukan dengan pendekatan bahwa dengan mufakat nilai untuk mencari dan menentukan besarnya nilai ekonomi kerugian minium korban sehingga memastikan jaminan Hukum Pidana untuk dapat melindungi korban: bahwa pertanggung jawaban pidana pelaku pasti lebih dari besar kerugian yang korban derita. Hal tersebut sendiri sudah bisa menjadi insentif penggunaan konsep ini karena konsep ini menawarkan tolok ukur yang nyata yang memasikan jaminan minimum kepentingan korban sudah terpenuhi hingga tidak perlu lagi upaya tambahan untuk meminta keadilan. Inilah salah satu alasan mengapa Hukum Pidana yang menerapkan konsep ini akan dengan mudah mencapai tujuannya: untuk mencapai upaya perdamaian para pihak.

Terlepas dengan adanya kemungkinan konversi nilai ekonomi masih mungkin tidak bisa mencapai keadilan sejati, konsep ini bisa membuktikan bahwa apa yang ada dalam delik-delik pidana KUHP saat ini (dan sangat mungkin RUU KUHP-nya) jauh lebih kecil dari nilai yang dapat dinilai korban dan/atau keluarga korban adalah titik yang adil. Dari keilmuan lain seperti ilmu asuransi; adanya nilai Human Life Values /

(15)

mungkin saja bermotif untuk mendapat keuntungan ekonomi yang luar biasa besar. Pertanyaannya adalah apakah 15 tahun pidana penjara cukup untuk membayar kerugian sebesar itu?

Memang di akui adanya hukuman mati dan hukuman seumur hidup sebagai batasan maksimum delik hukum pidana, hal ini sama dengan pendekatan banyak Hukum Pidana negara lain. Masalahnya adalah seumur hidup itu susah untuk diquantifikasi nilainya, dalam hal kalau tidak bisa dikuantifikasikan nilainya dan mewakili nilai yang besar bisa disamakan dengan nilai yang tidak berbatas (infinity). Hal ini juga menimbulkan problematika sendiri: semisal UMR yang berlaku adalah 2,6 Juta Rupiah/ bulan, maka ada gap yang begitu besar antara nilai 15 tahun penjara (= Rp. 468.000.000,-) dengan nilai infinity. Di sisi lain perkembangan ekonomi manusia sudah mulai menyentuh angka yang jauh di luar itu, sudah bicara angka milyar, puluh milyar, ratus milyar, bahkan trilliun Rupiah. Jadi jika Hukum Pidana tidak bisa menkuantifikasikan kerugian dengan angka-angka demikian besar, bagaimana Hukum Pidana bisa menghasilkan solusi pengembalian keadaan yang mewakili kepentingan para pihak baik pelaku, korban, dan negara?

Kesalahan yang sama juga terlihat bahkan pada tabel pedomana pemidanaan Amerika (US Sentencing Guidelines) yang mematok sanksi pidana maksimum sebelum sanksi pidana seumur hidup yaitu 360 bulan atau 30 tahun.

(16)

Konsep PBNKE yang diajukan disini tidak hanya memberikan landasan secara filosofis, konsep ini berisi kententuan yang siap untuk dipakai pada taraf normatif hingga praktek sekaligus yang bisa digunakan oleh semua tingkatan aparat penegak hukum; baik kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Dan diyakini bisa menjadi suatu cara unifikasi teori-teori pidana yang saat ini sering terpecah-pecah seperti pidana ringan, pidana umum, pidana lingkungan, hingga pidana korupsi.

(17)

hukum dan bukan kewenangan pejabat yang terkait untuk merumuskan apa yang adil bagi semua pihak.

Pada akhirnya penulis hendak menanyakan, siapakah manusia yang lebih hebat dari Superman? Kalau dalam cerita film Dawn of Justice; sang penjahat Lex Lutor mampu menyandera Superman untuk bertempur hidup atau mati dengan Batman dengan menyandera Ibu angkatnya (Marta); hingga seorang Superman pun bisa mengungkapkan kalimat, “di dunia seperti ini siapakah yang bisa tetap baik?”. Mari kita pikirkan, apakah kita puas dengan membentuk sistem yang mengarahkan namun tidak bisa memberi acuan yang detail seperti memberi suatu alat ukur atau timbangan yang akan digunakan aparat yang kita percayai, apakah anda yakin mereka yang kita percayai ini siap untuk mengorbankan karir masa depannya, kehormatan, atau nyawa istri dan/atau anak-anaknya untuk memegang teguh nilai-nilai yang kita junjung dalam Hukum Pidana?

Dengan adanya suatu timbangan baku, atau kalau dalam ilmu informatika disebut decission support system, bagi aparat penegak hukum, maka siapapun baik atasannya atau pihak lain yang berusaha menggeser hasil putusan Hukum Pidana ke arah yang dikehendaki akan berhadapan dengan Hukum Pidana itu sendiri; keberadaan timbangan menjadikan semua putusan dapat dianalisa sehingga lebih pasti, lebih transparan, dan accountable, pejabat dalam tekananpun bisa menggunakan timbangan ini sebagai perisai atas tekanan-tekanan yang ada.

Konsep ini juga menjadikan Hukum Pidana menjadi lebih manusiawi; sebagai mahluk yang tidak sempurna pasti kita memiliki kelemahan atau kesalahan, yang terpenting yang diajukan dalam konsep ini adalah upaya pengembaliaan keadaan dan bukan upaya penistaan terhadap suatu perbuatan. Yang terpenting ketika sudah terpenuhi

crime does not paymaka:

• Pihak korban bisa dipuaskan sehingga berujung kedamaian: Hukum Pidana yang mengadopsi konsep ini memastikan besar kerugian korban dicatat dan oleh karenanya bisa dikembalikan kepada korban/ keluarga korban;

• Tiada pidana tanpa adanya kerugian yang belum terbayar; baik kerugian korban dan kerugian negara dan/atau masyarakat;

• Setelah terpenuhi crime does not pay maka pelaku pun bisa segera mungkin berkarya ditengah masyarakat;

• Pemenuhan crime does not paymenjadi acuan yang sesuai dengan teori tujuan pemidanaan relatif yang bertujuan untuk menjerakan; dan, bukankah setelah terpenuhinya ketentuan crime does not pay – tindak kejahatan merugikan menjadikan suatu pesan sederhana yang bisa sangat diterima dan disadari masyarakat.

Selain itu konsep ini mengajukan beberapa pemikiran dalam rancang bangun Hukum Pidana ke depan antara lain:

(18)

opsi-opsi yang bisa dipilih terpidana untuk melakukannya sendiri dan semakin berguna bagi negara semakin cepat pembebasannya yang dihitung berdasar

merityang dicapai;

• Disini juga menanyakan sampai mana titik pemidanaan adalah beban negara dan sampai mana adalah bentuk pertanggung jawaban pelaku; kalau pemidanaan adalah murni beban negara maka bagaimana formulasi untuk mengembalikan keadaan bisa dibentuk? Pemidanaan adalah tetap beban terpidana karena:

o ketika dalam terpidana bekerja selama dalam sistem lembaga

pemasyarakatan kebebasannya dirampas yang mana nilai kerugian yang dia derita dianggap impas dengan beban negara untuk mengurungnya;

o waktu terpidana di dalam sistem lembaga pemasyarakatan maka waktu

produktifnya dinilai minimum sama dengan UMR pada saat ia melakukan kejahatan: untuk pemenuhan kesetaraan nilai pemidanaan dengan nilai ekonomi yang didapat orang lain waktu itu dan di tempat kejadian perkara dan dalam kondisi yang paling kurang beruntung (gaji UMR);

o Ketika terpidana sudah membayar kerugian yang ia timbulkan baik

dengan sanksi penjara, sanksi tindakan, dan/atau dengan pengembalian, maka setiap penahanan kebebasan terpidana tersebut adalah kerugian negara karena dalam kondisi bebas tentu banyak insentif yang ada dalam kondisi bebas yang mendorong seseorang untuk berusaha bekerja lebih untuk mendapatkan hasil yang lebih besar; pada akhirnya, disini di lihat bahwa negara melihat mengumpulan sumber daya (baik materi maupun finansial) masing-masing anggota masyarakatnya secara sah adalah penambahan sumber daya bagi negara.

• Ini juga akan mengurangi beban yang ditanggung negara saat ini yang digunakan untuk lembaga pemasyarakatan yang kedepan diharapkan dengan perlakuan yang welas asih kepada terpidana dan pemberdayaannya akan mendorong produktifitas sehingga upaya lembaga pemasyarakatan bisa:

o Menjadi sumber pendanaan yang mampu membiayai sebagian besar (atau bahkan semua) biaya operasionalnya sendiri;

o Mengadakan dorongan bagi para terpidana untuk ikut berkompetisi

untuk berguna bagi negara dan bangsa dengan imbalan langsung yang mengurangi kerugian yang ia harus bayar dengan sanksi pindana penjara;

o Mengadakan struktur sosial yang berlaku pada masyarakat bebas yaitu

(19)

Di sisi lain, jaminan keadilan bagi terpidana juga menjadi jawaban untuk problematika overcriminalization dan overreach of criminal justice system. Timbangan yang menjanjikan perlindungan ada batasan maksimum sesuai dengan kondisi jiwa pelaku yang sakit yang dihitung secara sistematis dengan milestone seperti penerapan ilmu manajemen menghitungKey Performance Index (KPI)

Konsep ini memberi alat yang memudahkan menghitung kapan terjadi

overcriminalization: jika UMR di tempat itu dan di saat itu adalah 2,6 Juta Rupiah, maka 1 hari kerjanya (1 bulan = 26 hari kerja) memiliki nilai ekonomi Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah). Tentu kita mulai bisa nilai secara objektif teriakan masyarakat ketika melihat kasus kasus pencurian ringan yang membelit tersangka terlalu jauh berlebih dari besar kerugian yang pelaku timbulkan. Kita dapat mudah menilai bahwa kasus kasus pencurian sandal, kokoa, batang kayu kecil; yang nilainya sangat kecil, apa layak harus melalui proses yang begitu lama dan menghabiskan biaya tersangka dan aparat negara (1 bulan proses persidangan itu beban emosi ke pelaku yang terlalu lama dan merugikan).

Konsep ini juga mampu memberi acuan kapan sang korban mulai menggunakan kesempatan untuk meminta pertanggung jawaban yang terlalu berlebih kepada pelaku, hal ini bisa menjadi penyebab mengapa terjadi overcriminalization dan bagaimana mengeliminasinya, atau lebih jauh: menghitung selisih permintaan korban (yang saat itu menjadi predaktor) yang sepantasnya dengan apa yang dia minta yang kalau diperlukan dan karena terindikasi sangat kuat adanya sifat jahat dari yang semula sang korban ini untuk dibalik dimintai pertanggung jawaban padanya atas sifat predaktorialnya yang merugikan pelaku dan negara. Disini, konsep ini juga bisa menjadi jawaban bagi pihak pihak korban politisasi hukum pidana (atau bahasa awamnya korban kriminalisasi).

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief, H Barda Nawawi, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta.

Atmasasmika, Romly dan Wibowo Kodrat, 2016, Analisis Mikro Ekonomi Tentang Hukum Pidana Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta.

Gunawan, T.J, 2015, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Genta press, Yogyakarta.

M Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana ,Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Prakoso, Abintoro, 2013,Kriminologi & Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta.

Lain-lain:

Wikipedia. 2011. US Sentencing Guidelines, January 5. Diambil dari:

https://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Federal_Sentencing_Guidelines (diakses pada tanggal 27 Juni 2017).

Gambar

Gambar 1: SkemaTimbanganPembentukanKonsepPemidanaanBerbasisNilaiKerugianEkonomi.

Referensi

Dokumen terkait

komunitas yaitu cerminan dan kesadaran kritis, membangun identitas komunitas, tindakan representasi dan politis, praktek yang berhubungan dengan budaya, asosiasi

Mernberikan informasi bagi individu ylmg rnasi.~ bel urn memiliki pasangan meskiplll usianya cukup matang untuk menikah agar dapat mengenal kesepian secara Iebih luas,

Nilai itu mulai dicamkan ( internalized ) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar afektif jenjang valuing adalah

Kegiatan pengabdian kegada masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dari keterampilan guru MTsN Gunung Pangilun Kodya Padang dalam menggunakan alat-alat laboratorlum

1. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang

Judul Skripsi : Hubungan antara Tipe Kepribadian ( Ekstrovert dan Introvert ) dengan Kebermaknaan Hidup ( Meaning Of Life ) pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN

1) Bagi penulis, mengembangkan pengetahuan penulis dalam menganalisis profitabilitas dan opini audit yang dapat mempengaruhi ketepatan waktu pelaporan keuangan. 2) Bagi