REVIEW LITERATUR
PENDEKATAN MODEL INTERPERSONAL CARING (IC) PEPLAU
TERHADAP MASALAH HARGA DIRI RENDAH KRONIK PADA
PASIEN GANGGUAN JIWA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT
Oleh DEDI KURNIAWAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Proses penyembuhan dalam keperawatan jiwa didasarkan pada rasa kepedulian dan
proses interaksi serta proses pengobatan. Kepedulian perawat membangkitkan esensi
interaksi manusia seperti sikap empati, keselarasan tujuan, proses identifikasi, kesadaran
bersama, yang dapat memfasilitasi perawat memasuki dunia pribadi pasien sehingga
menemukan kembali kepercayaan sebagai titik balik terapi (Kim, 2007). Dengan
interaksi interpersonal menguatkan hubungan antara perawat dengan pasien (Kim, 2007),
dengan interpersonal caring tersebut merupakan cara bagaimana untuk memberdayakan
orang sakit dan disabilitas seperti halnya yang dialami pasien dengan gangguan jiwa.
Selain itu, nilai kasih sayang dan moral adalah kunci utama dalam perilaku caring
perawat professional. Dalam keperawatan, caring merupakan sikap dan pendekatan yang
memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai kebutuhan lebih
dari sekedar nomer tempat tidur atau sebagai seorang dengan penyakit tertentu. Perawat
yang menggunakan pendekatan caring dalam prakteknya memperhitungkan semua yang
diketahuinya tentang pasien yang meliputi pikiran, perasaan, nilai-nilai, pengalaman,
kesukaan, perilaku dan bahasa tubuh (Alpers, 2013; Abdullah, 2011).
Konsep interaksi antara perawat dan pasien merupakan kunci utama dalam
keperawatan jiwa. Peplau (1991, 1994) dalam teori interaktifnya menekankan pentingnya
hubungan perawat dengan pasien, dan menegaskan bahwa keperawatan adalah memiliki
pengaruh yang signifikan, terapeutik, dan adanya proses interpersonal (1952, p. 16).
Peplau juga menggunakan istilah psikodinamik keperawatan seperti “mampu memahami
perilaku sendiri untuk membantu orang lain mengidentifikasi perasaan yang sulit, dan
untuk menerapkan prinsip-prinsip hubungan manusia dengan masalah yang timbul pada
semua tingkat pengalamannya” (hlm. Xiii). Pendekatan keperawatan ini memungkinkan
perawat untuk mulai berpindah dari hanya berorientasi terhadap penyakit ke sisi lain
dimana makna psikologis suatu peristiwa, perasaan, dan perilaku dapat dieksplorasi dan
dimasukkan ke dalam intervensi keperawatan (Kim, 2007). Proses keperawatan
psikodinamik ini menawarkan perawat kesempatan untuk mengajarkan klien cara
bersama dengan mereka untuk mengetahui bagaimana untuk melawan pengalaman atau
stressor mereka.
Harga diri rendah masih menjadi salah satu masalah yang sering dijumpai pada
pasien dengan gangguan jiwa, baik di rumah sakit maupun pada lingkup komunitas.
Harga diri rendah merupakan penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan,
yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Towsend, 1998 dalam
Fitriah 2009). Harga diri rendah juga dapat diartikan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan
(Keliat, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses
kelanjutan dari harga diri rendah situsional yang tidak diselesaikan atau dapat juga
terjadi karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang
perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu
memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah.
Hubungan interpersonal dalam keperawatan bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan perawat dalam menerapkan konsep kesehatan mental secara umum,
mejadikan perawat untuk menjadi empati dan jeli terhadap kebutuhan caring seperti apa
yang pasien butuhkan, menerapkan konsep-konsep teoritis dan menentukan intervensi
apa yang sesuai dalam mencapai tujuan tersebut (Peplau, 1994; Kim, 1994, 2007;
Stringer, 2015a), sehingga diharapkan dengan menggunakan pendekatan tersebut dapat
membantu perawat memfasilitasi proses penyembuhan masalah harga diri rendah kronis
yang dialami pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit. Berdasarkan penjelasan
terkait pentingnya pendekatan model interpersonal caring perawat kepada pasien dalam
melakukan proses asuhan keperawatan, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan
review literature terkait penerapan model interpersonal caring teori yang dikemukakan
Peplau dalam membantu mengatasi masalah harga diri rendah kronik pada pasien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit.
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui bagaimana pendekatan model interpersonal caring perawat terhadap
masalah harga diri rendah pada pasien jiwa yang dirawat di rumah sakit
berdasarkan literatur.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.2 Menjelaskan pendekatan model interpersonal caring perawat terhadap masalah
harga diri rendah kronik pada pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit
1.2.2.3 Menganalisis kelebihan dan kekurangan pendekatan model interpersonal caring
perawat terhadap masalah harga diri rendah kronik pada pasien gangguan jiwa
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Harga Diri Rendah Kronis
2.1.1 Definisi
Harga diri rendah kronis adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri dan
kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Towsend,
1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah juga dapat diartikan sebagai perasaan
negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal
mencapai keinginan (Keliat, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah kronis
menurut Nanda (2005) adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama.
2.1.2 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah kronis adalah:
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimistis
4. Tidak menerima pujian
5. Penurunan produktifitas
6. Penolakan terhadap kemampuan diri
7. Lebih banyak menunduk
8. Bicara lambat dengan nada suara pelan
9. Kurang memperhatikan perawatan diri
10.Berpakaian tidak rapi
11. Selera makan kurang
12.Tidak berani menatap lawan bicara
2.1.3 Proses Terjadinya Masalah
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri
rendah situsional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu tidak
pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya
bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu
berada pada suatu yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha
menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak
mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap
diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri
rendah situsional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru
menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis.
2.1.4 Rentang Respon
Respons Adaptif Respons Maladaptif
Keterangan:
1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman yang nyata yang sukses dan diterima.
2. Konsep diri positif apabila individu memiliki pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri.
3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon konsep diri adaptif dengan konsep
diri maladaptif.
4. Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikisosial kepribadian
pada masa dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.
Harga diri rendah merupakan episode deperesi mayor dimana aktivitas
merupakan bentuk hukuman atau punishment ( Stuart & Laraia, 2005). Depresi adalah
emosi normal manusia, tapi secara klinis dapat bermakna patologik apabila
menganggu perilaku sehari-hari, menjadi pervasif dan muncul bersama penyakit lain.
ketidakmampuan /kesulitan untuk mencoba sesuatu, bergantung pada orang lain, tidak
asertif, pasif dan hipoaktif, bimbang dan ragu-ragu serta menolak umpan balik dan
membesarkan umpan balik negatif mengenai dirinya.
Mekanisme koping jangka pendek yang biasa dilakukan klien harga diri rendah
adalah kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis, misalnya pemakaian
obat-obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus. Kegiatan mengganti aktivitas
sementara, misalnya ikut kelompok sosial, keagamaan dan politik. Kegiatan yang
memberi dukungan sementara, seperti mengikuti suatu kompetisi atau kontes
popularitas. Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara, seperti
penyalahgunaan obat-obatan.
Jika mekanisme koping jangka pendek tidak memberi hasil yang diharapkan
individu akan mengembangkan mekanisme koping jangka panjang, antara lain
menutup identitas, dimana klien terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi
dari orang-orang yang berarti tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri
sendiri. Identitas negatif, dimana asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat. Sedangkan mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah
fantasi, regresi, diasasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri
sendiri dan orang lain. Terjadinya gangguan konsep diri harga diri rendah kronis juga
dipengaruhi beberapa faktor predisposisi seperti faktor biologis, psikologis, sosial,
dan kultural.
Faktor biologis biasanya karena ada kondisi sakit fisik secara yang dapat
mempengaruhi kerja hormon secara umum, yang dapat pula berdampak pada
keseimbangan neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang menurun dapat
mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien deperesi kecenderungan
harga diri rendah kronis semakin besar karena klien lebih dikuasi oleh pikiran –
pikiran negatif dan tidak berdaya.
Struktur otak yang mungkin mengalami gangguan pada kasus harga diri rendah
kronis adalah:
a. System limbic (pusat emosi), emosi pasien kadang berubah seperti sedih, dan terus
menerus merasa tidak berguna atau gagal terus menerus.
b. Hipotalamus mengatur mood dan motivasi, karena melihat kondisi klien dengan
harga diri rendah kronis yang membutuhkan lebih banyak motivasi dan dukungan
dengan perawat padahal klien mengatakan bahwa membutuhkan latihan yang telah
dijadwalkan tersebut.
c. Thalamus, sistem pintu gerbang atau menyaring fungsi untuk mengatur arus
informasi sensori yang berhubungan dengan perasaan untuk mencegah berlebihan di
korteks. Kemungkinan pada klien dengan harga diri rendah apabila ada kerusakan
pada thalamus ini maka arus informasi sensori yang masuk tidak dapat dicegah atau
dipilah sehingga menjadi berlebihan yang mengakibatkan perasaan negatif yang ada
selalu mendominasi pikiran dari klien. d. Amigdala berfungsi untuk emosi.
Adapun jenis alat untuk mengetahui gangguan struktur otak dapat digunakan:
a. Electroencephalogram (EEG), suatu pemeriksaan yang bertujuan memberi
informasi penting tentang kerja dan fungsi otak.
b. CT scan, untuk mendapatkan gambaran otak tiga dimensi.
c. Single photon emission computed tomography (SPECT), melihat wilayah otak dan
tanda-tanda abnormalitas pada otak dan menggambarkan perubahan-perubahan
aliran darah yang terjadi.
d. Magnetic resonance imaging (MRI), suatu teknik radiologi dengan menggunakan
magnet, gelombang radio dan computer untuk mendapatkan gambaran stuktur tubuh
atau otak dan dapat mendeteksi perubahan yang kecil sekalipun dalam stuktur tubuh
atau otak. Beberapa prosedur menggunakan kontras gadolinium untuk
meningkatkan akurasi gambar.
Selain gangguan pada struktur otak, apabila dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
dengan alat-alat tertentu kemungkinan akan ditemukan ketidakseimbangan
neurotransmitter di otak seperti:
a. Acetylcholine (Ach), untuk pengaturan atensi dan mood, mengalami penurunan. b. Norepinephrine, mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi; mengatur
“flight-flight” dan proses pembelajaran dan memori, mengalami penurunan yang
mengakibatakan kelemahan dan depresi.
c. Serotonin, mengatur status mood, mengalami penurunan yang mengakibatkan
klien lebih dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak berdaya.
d. Glutamat, mengalami penurunan, terlihat dari kondisi klien yang kurang energi,
selalu terlihat mengantuk. Selain itu, berdasarkan diagnosa medis klien yaitu
skizofrenia yang sering mengindikasikan adanya penurunan glutamat.
a. Positron emission tomography (PET), mengukur emisi/pancaran dari bahan kimia
radioaktif yang diberi label dan telah disuntik kedalam aliran darah untuk
menghasilkan gambaran dua atau tiga dimensi melalui distribusi dari bahan kimia
tersebut didalam tubuh dan otak. PET dapat memperlihatkan gambaran aliran darah,
oksigen, metabolisme glukosa, dan konsentrasi obat dalam jaringan otak yang
merefleksikan aktivitas otak sehingga dapat dipelajari lebih lanjut tentang fisiologi
dan neuro kimiawi otak.
b. Transcranial magnetic stimulations (TMS) dikombinasikan dengan MRI, para ahli
melihat dan mengetahui fungsi spesifik dari otak. TMS dapat menggambarkan
proses motorik dan visual dan dapat menghubungkan antar kimiawi dan struktur
otak dengan perilaku manusia dan hubungannya dengan gangguan jiwa.
Berdasarkan faktor psikologis, harga diri rendah kronis sangat berhubungan
dengan pola asuh dan kemampuan individu menjalankan peran dan fungsi. Hal-hal
yang dapat mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis meliputi
penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, orang tua yang tidak
percaya pada anak, tekanan teman sebaya, peran yang tidak sesuai dengan jenis
kelamin dan peran dalam pekerjaan.
Faktor sosial yang sangat mempengaruhi proses terjadinya harga diri rendah
kronis adalah status ekonomi seperti kemiskinan, tempat tinggal didaerah kumuh dan
rawan, kultur sosial yang berubah misal ukuran keberhasilan individu. Faktor cultural
dapat dilihat dari tuntutan peran sesuai kebudayaan yang sering meningkatkan
kejadian harga diri rendah kronis antara lain: wanita sudah harus menikah jika umur
mencapai duapuluhan, perubahan kultur kearah gaya hidup individualisme.
Akumulasi faktor predisposisi ini baru menimbulkan kasus harga diri rendah kronis
setelah adanya faktor presipitasi. Faktor presipitasi dapat disebabkan dari dalam diri
sendiri ataupun dari luar, antara lain ketegangan peran, konflik peran, peran yang
tidak jelas, peran berlebihan, perkembangan transisi, situasi transisi peran dan transisi
peran sehat sakit.
2.1.5 Faktor Predisposisi dan Presipitasi
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua
yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri: harga diri rendah dapat terjadi
secara situasional maupun kronik.
Situasional. Gangguan konsep diri: harga diri rendah yang terjadi secara
situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba
misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban perkosaan,
atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di
rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang
dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak
nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh
serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan
keluarga.
Kronik. Gangguan konsep diri: harga diri rendah biasanya sudah berlangsung
sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien
sudah ,memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat.
2.1.6 Mekanisme Koping
Baik faktor predisposisi maupun presipitasi bila telah mempengaruhi seseorang
baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak, maka dianggap telah mempengaruhi
koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme koping individu
tidak efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi lebih lanjut, dapat
menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan untuk bergaul dengan
orang lain (isolasi sosial). Klien yang mengalami isolasi sosial dapat membuat klien
asik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko prilaku
kekerasan.
2.2 Interpersonal Caring Teori
2.2.1 Definisi Interpersonal Caring
Teori Hildegard E. Peplau berfokus pada individu, perawat, dan proses interaktif
yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien (Torres, 1986;
Marriner-Tomey, 1994). Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan
perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan
mencapai kematangan perkembangan kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995). Oleh
sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat dan klien
dimana perawat bertugas sebagai nara sumber, konselor, dan wali.
Pada saat klien mencari bantuan, pertama perawat mendiskusikan masalah dan
menjelaskan jenis pelayanan yang tersedia. Dengan berkembangnya hubungan
antara perawat dan klien, perawat dan klien bersama-sama mendefinisikan masalah
dan kemungkinan penyelesaian masalahnya. Dari hubungan ini klien mendapatkan
keuntungan dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhannya dan perawat membantu klien dalam hal menurunkan kecemasan yang
berhubungan dengan masalah kesehatannya. Teori Peplau merupakan teori yang
unik dimana hubungan kolaborasi perawat-klien membentuk suatu “kekuatan
mendewasakan” melalui hubungan interpersonal yang efektif dalam membantu
pemenuhan kebutuhan klien (Beeber, Anderson dan Sills, 1990). Ketika kebutuhan
dasar telah diatasi kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan interpersonal
perawat-klien, digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih seperti
berikut ini : orientasi, identifikasi, penjelasan, dan resolusi (Chinn dan Jacobs,
1995).
Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan bentuk praktik
keperawatan psikiatri. Penelitian keperawatan tentang kecemasan, empati, instrumen
perilaku, dan instrumen untuk mengevaluasi respon verbal dikaitkan dari model
konseptual Peplau (Marriner-Tomey, 1994).
2.2.2 Asumsi Dasar
Menurut Peplau keperawatan dapat diartikan sebagai seni penyembuhan juga
merupkan suatu proses interpersonal, karena melibatkan interaksi antara dua atau
lebih individu yang mempunyai tujuan bersama, diman tujuan ini akan memacu
proses terapeutik antara perawat-klien mempunyai rasa menghargai untuk mencapai
tujuan tersebut melalui tahap-tahap dengan pola tertentu yang merupakan rangkain
proses keperawatan.
Beberapa pemikiran yang melandasi konsep keperawatan menurut Peplau
adalah :
a. Keperawatan. Disiplin praktek untuk menghasilkan transformasi energy untuk
b. Manusia. Merupakan system mandiri yang terdiri dari fisik, biokimia,
karakteristik, fisiologi dengan mengutamakan psikologi yang dalam posisi tak
stabil
c. Kesehatan. Tingkat produktif konstruktif dan kreatif dari individu sebagai
aktifitas interpersonal dan perkembangan tugas yang dapat dilakukan.
d. Lingkungan. Beserta hal-hal lainnya yang penting dengan siapa klien
berinteraksi.
2.2.3 Peran Perawat dalam Interpersonal Caring (IC) menurut Peplau
Peplau membagi 6 peranan berbeda dari perawat yang timbul pada
bermacam-macam fase hubungan perawat-pasien.
a. Peranan Orang Asing (Stranger)
Antara perawat dan pasien disini adalah sebagai orang asing/tidak mengenal
satu sama lain. Perawat harus bersikap ramah dan emosi yang wajar, tidak mendikte
pasien tapi dapat menerima keadaan pasien apa adanya.
b. Peranan sebagai narasumber (Resource Person)
Perawat harus mengemukakan jawaban yang spesifik, khususnya yang
berkenaan dengan informasi kesehatan dan interpretasi (penilaian) pasien terhadap
rencana perawatan dan pengobatan.
c. Peranan sebagai Pendidik (Teaching Role)
Peplau memisahkan Taching Role ini ke dalam dua kategori :
1) Instruksioal : berisi pemberian informasi dan penjelasan dalam ruang
lingkup pendidikan.
2) Exprerensial: Menggunakan pengalaman sebagai dasar dari kemajuan
hasil pengarahan.
d. Peranan sebagai Pemimpin (Leadership Role)
Ini melibatkan proses demokratis. Perawat membantu pasien menghadapi
masalahnya dengan cara bekerjasama dan partisipasi aktif..
e. Peranan sebagai Pengganti (Surrogate Role)
Disini pasien berperan seperti perawat. Sikap dan perilaku perawat tentu
menciptakan perasaan tertentu bagi pasien dan ini akan direspon dalam hubungan
perawat-pasien.
f. Peranan sebagai konseling (Conseling Role)
Perawat memberi respon bagi pasien yang memerlukan. Bimbingan untuk
2.2.4 Proses Interpersonal Caring (IC)
Dalam ilmu komunikasi, proses interpersonal didefinisikan sebagai proses
interaksi secara simultan dengan orang lain dan saling pengaruh-mempengaruhi satu
dengan lainnya, biasanya dengan tujuan untuk membina suatu hubungan.
Caring terbentuk sebagai hasil dari proses interaksi yang terjadi antara
perawat-pasien, seperti yang telah dikemukanan oleh Watson dalam teori ”Human Caring
Science” (Alligood, 2014). Asumsi dasar science of caring Watson mengidentifikasi
banyak asumsi dan beberapa prinsip dasar dari transpersonal caring. Watson
meyakini bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Watson
menyatakan tujuh asumsi tentang science of caring. Asumsi dasar tersebut yaitu:
Caring dapat didemonstrasikan dan dipraktekkan dengan efektif hanya secara
interpersonal
Caring terdiri dari carative factors yang menghasilkan kepuasan terhadap
kebutuhan manusia tertentu
Efektif caring meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu dan
keluarga
Respon caring menerima seseorang tidak hanya sebagai dia saat ini, tetapi juga
menerima akan jadi apa dia kemudian
Lingkungan caring adalah sesuatu yang menawarkan perkembangan dari
potensi yang ada, dan di saat yang sama membiarkan sesorang untuk memilih
tindakan yang terbaik bagi dirinya saat itu
Caring lebih “healthogenic” daripada curing.
Praktek caring merupakan sentral bagi keperawatan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka proses interpersonal yang dimaksud antara
perawat dan klien ini menggambarkan metode transpormasi energi atau ansietas
klien oleh perawat yang terdiri dari 4 fase yaitu :
a. Fase orientasi
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan dan
rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam
pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak
awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data.
Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan memberikan
asuhan keperawatan yang tanpa penolakan diri perawat memungkinkan pengalaman
menderita sakit sebagai suatu kesempatan untuk mengorientasi kembali perasaan
dan menguatkan bagian yang positif dan kepribadian pasien. Respon pasien pada
fase identifikasi dapat berupa :
1) Pasrtisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat
2) Individu mandiri terpisah dari perawat.
3) Individu yang tak berdaya dan sangat tergantung pada perawat.
c. Fase eksploitasi
Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai hubungan
sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini merupakan inti hubungan
dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien dalam
memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya.
d. Fase resolusi
Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini
memungkinkan penguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan
menyalurkan energi kearah realisasi potensi.
Gambar 2.1. Overlapping phases in nurse- patient relationship
Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan dimana
perawat membimbing pasien dari rasa ketergantungan yang tinggi menjadi interaksi
yang saling tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya seorang perawat berusaha
mendorong kemandirian pasien. Pemaparan ini menunjukkan bahwa teori Hildegard
E. Peplau (1952) berfokus pada individu, perawat dan proses interaktif yang
individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal
dan terapeutik. Artinya suatu hasil proses kerja sama manusia dengan manusia
lainnya supaya menjadi sehat atau tetap sehat (hubungan antar manusia). Tujuan
keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan untuk membantu klien
mencapai kematangan perkembangan kepribadian. Oleh sebab itu, perawat berupaya
mengembangkan hubungan perawat dan klien melalui peran yang diembannya (nara
sumber, konselor, dan wali).
Adapun kerangka kerja praktik dari teori Peplau memaparkan bahwa
keperawatan adalah proses yang penting, terapeutik, dan interpersonal. Keperawatan
berpartisipasi dalam menyusun struktur system asuhan kesehatan untuk menfasilitasi
kondisi yang alami dari kecenderungan manusia untuk mengembangkan hubungan
interpersonal.
Model konsep dan teori keperawatan yang dijelaskan oleh Peplau menjelaskan
tentang kemampuan dalam memahami diri sendiri dan orang lain yang
menggunakan dasar hubungan antar manusia yang mencakup 4 komponen sentral,
yaitu :
a. Pasien
Sistem dari yang berkembang terdiri dari karakteristik biokimia, fisiologis,
interpersonal dan kebutuhan serta selalu berupaya memenuhi kebutuhannya dan
mengintegrasikan belajar pengalaman. Pasien adalah subjek yang langsung
dipengaruhi oleh adanya proses interpersonal.
b. Perawat
Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal dengan
pasien yang bersifat partisipatif, sedangkan pasien mengendalikan isi yang menjadi
tujuan. Hal ini berarti dalam hubungannya dengan pasien, perawat berperan sebagai
mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh pengganti, pemimpin dan konselor
sesuai dengan fase proses interpersonal.
c. Masalah kecemasan yang terjadi akibat sakit / sumber kesulitan
Ansietas berat yang disebabkan oleh kesulitan mengintegrasikan pengalaman
interpersonal yang lalu dengan yang sekarang. Ansietas terjadi apabila komunikasi
dengan orang lain mengancam keamanan psikologi dan biologi individu. Dalam
model peplau ansietas merupakan konsep yang berperan penting karena berkaitan
d. Proses Interpersonal
Proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dan pasien ini
menggambarkan metode transformasi energi atau ansietas pasien oleh perawat yang
terdiri dari 4 fase yang digambarkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Empat fase proses interpersonal menurut teori Peplau
Fase Fokus
Orientasi Masalah terdefinisi fase
Identifikasi Pemilihan bantuan profesional yang tepat
Eksploitasi Penggunaan bantuan profesional untuk pemecahan masalah alternative
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Aplikasi Pendekatan Model Interpersonal Caring Perawat
Berdasarkan teori Peplau ini klien dipandang sebagai individu dengan kebutuhan
perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan keperawatan
adalah untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu klien mencapai
kematangan perkembangan kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995; Kim, 2007). Oleh sebab
itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat dan klien dimana perawat
bertugas sebagai nara sumber, konselor, dan fasilitator. Teori dan gagasan Peplau tersebut
telah banyak dikembangkan untuk memberikan bentuk praktik keperawatan psikiatri yang
optimal, seperti penelitian keperawatan jiwa tentang kecemasan, empati, instrumen
perilaku, dan instrumen untuk mengevaluasi respon verbal dikaitkan dari model
konseptual Peplau (Marriner-Tomey, 1994; Kim, 2007).
Teori Peplau merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat-klien
membentuk suatu “kekuatan mendewasakan” melalui hubungan interpersonal yang efektif
dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien (Beeber, Anderson dan Sills, 1990). Ketika
kebutuhan dasar telah diatasi kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan
interpersonal perawat-klien, digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih
seperti berikut ini: orientasi, identifikasi, penjelasan, dan resolusi (Chinn dan Jacobs,
1995; Kim, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut, maka proses interpersonal yang
dimaksud antara perawat dan klien ini menggambarkan metode transpormasi energi atau
ansietas klien oleh perawat yang terdiri dari 4 fase yaitu :
a. Fase orientasi
Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan dan
rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam
pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak
awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data.
b. Fase identifikasi
Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan memberikan
asuhan keperawatan yang tanpa penolakan diri perawat memungkinkan pengalaman
menderita sakit sebagai suatu kesempatan untuk mengorientasi kembali perasaan dan
identifikasi dapat berupa partisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat,
individu mandiri terpisah dari perawat, individu yang tak berdaya dan sangat
tergantung pada perawat.
c. Fase eksplorasi
Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai hubungan
sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini merupakan inti hubungan
dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien dalam
memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya.
d. Fase resolusi
Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini memungkinkan
penguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menyalurkan
energi kearah realisasi potensi.
Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan dimana perawat
membimbing pasien dari rasa ketergantungan yang tinggi menjadi interaksi yang saling
tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya seorang perawat berusaha mendorong
kemandirian pasien. Pemaparan ini menunjukkan bahwa teori Hildegard E. Peplau (1952)
berfokus pada individu, perawat dan proses interaktif yang menghasilkan hubungan antara
perawat dan klien. Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan,
dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Artinya suatu hasil proses
kerja sama manusia dengan manusia lainnya supaya menjadi sehat atau tetap sehat
(hubungan antar manusia). Kerangka kerja praktik dari teori Peplau memaparkan bahwa
keperawatan adalah proses yang penting, terapeutik, dan interpersonal. Keperawatan
berpartisipasi dalam menyusun struktur system asuhan kesehatan untuk menfasilitasi
kondisi yang alami dari kecenderungan manusia untuk mengembangkan hubungan
interpersonal. Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan untuk
membantu klien mencapai kematangan perkembangan kepribadian. Oleh sebab itu,
perawat berupaya mengembangkan hubungan perawat dan klien melalui peran yang
diembannya (nara sumber, konselor, dan fasilitator).
Dalam mengaplikasikan pendekatan model ini dalam asuhan keperawatan yang
diberikan perawat kepada pasien dengan gangguan jiwa, perawat menjalankan peran yang
penting, seperti yang dijelaskan oleh Peplau dalam teorinya bahwa perawat memiliki 6
peran utama dalam interpersonal caring, yaitu peran menjadi orang asing (stranger), peran
sebagai pemimpin (leadership role), peran sebagai pengganti (surrogate role), dan peran
sebagai konselor (conseling role). Semua peranan perawat tersebut, harus mampu perawat
jalankan dalam setiap fase proses interpersonal caring perawat dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien gangguan jiwa khususnya pada pasien yang mengalami masalah
harga diri rendah, dimana pada pasien tersebut mengalami perasaan negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuannya, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan dan penurunan fungsi sosialnya.
3.2 Analisa Pendekatan Model Interpersonal Caring Perawat Pada Pasien Harga
Diri Rendah Kronis
Perilaku caring perawat merupakan sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap apa
yang pasien rasakan dan sebagai bentuk penghargaan perawat kepada pasien (Kim, 2007),
seperti yang dijelaskan dalam beberapa penelitian sebelumnya bahwa pasien menyatakan
ketika perawat memberikan pelayanan dengan menggunakan pendekatan secara hangat,
kepekaan, sebuah senyuman dan keramahan serta kenyamanan, memberikan mereka
menjadi lebih rilek, mengurangi kecemasan, dan merasa lebih aman. Sebaliknya jika
perawat melakukan aktifitas perawatannya dengan sikap yang tidak menyenangkan dan
tidak diinginkan seperti bersikap menjauh, sinis, berbicara seperlunya, berbicara cepat dan
singkat yang membuat pasien merasa dingin dan formal serta menunjukkan sikap
stereotyping yang memberikan kesan pasien terlihat selalu memiliki posisi lebih rendah.
Sehingga terlihat jelas bahwa pengalaman pasien terhadap interaksi perawat dengan pasien
selama ini memiliki respon yang positif dan negatif.
Berdasarkan hal tersebut, kemudian akan dijelaskan secara detail bagaimana
interpersonal caring dan bagaimana pendekatan tersebut mampu memberikan dampak
positif pada pasien gangguan jiwa khususnya yang mengalami masalah harga diri rendah
kronis. Hal ini bertujuan agar memberikan pemahaman tentang makna dan dampak pada
pasien dimana perawat sebagai sosok yang paling sering berinteraksi dan memberikan
perawatan selama di rumah sakit. Penjelasan berikut dikenal sebagai karakteristik
interpersonal caring perawat yang telah dikembangkan dalam penelitina-penelitian
sebelumnya, tentunya pengembangan tersebut berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Peplau. Karakteristik interpersonal tersebut meliputi:
Interpersonal caring merupakan interaksi individu ke individu lain dalam hal ini
dan kerjasama kedua pihak. Fokus utama dalam Interpersonal caring adalah untuk
membantu pasien membangun kepercayaan diri dan harga diri sebagai manusia
seutuhnya. Dominasi dan kekuasaan berlebih yang dimiliki perawat membuat pasien
menjadi lebih rentan terhadap ketergantungan dan direndahkan.
Interpersonal caring harus diinisiasi dengan rasa cinta dan kepedulian terhadap
orang lain dalam memberikan kepercayaan dan harapan. Kepedulian ini didasari
oleh sikap caring perawat. Kepedulian merupakan mindset dasar perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan interpersonal caring.
Interpersonal caring tidak terbatas dan hilang oleh karena tempat, waktu atau
kontak fisik. Interpersonal caring melewati batas ruang, waktu dan budaya.
Interpersonal caring tidak hanya mempengaruhi secara langsung level perasaan
tetapi juga menembus ke level yang lebih dalam pada waktu yang berbeda.
Interpersonal caring menggunakan pendekatan secara holistik. Proses Interpersonal
caring memandang manusia sebagai individu yang utuh, memiliki integritas dan
interaksi. Pasien dan perawat menjadi satu dalam hal pikiran, perasaan, dan perilaku
sebagai proses dalam mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan.
Interpersonal caring diwujudkan ke bentuk yang komperhensif dan dinamik dalam
proses komunikasi. Interpersonal caring tersebut memungkinkan dilakukan dan tidak
bergantung pada apapun yang pasien bicarakan, walaupun jika pasien dalam keadaan
koma (tidak sadar) atau berbicara diluar konteks atau kenyataan, mereka tetap dapat
merasakan kepedulian melalui Interpersonal caring.
Interpersonal caring membantu pasien untuk fokus terhadap nilai diri nya yang
merupakan dasar dalam meningkatkan harga diri, kepercayaan, dan harapan.
Interpersonal caring ini membantu menguatkan harga diri yang berfokus tidak
hanya datang dari situasi problematik, tetapi juga dalam kondisi normal sehari hari
dan manajemennya.
Interpersonal caring yang efektif melibatkan aspek budaya yang relevan dan aspek
positif lain dalam keperawatan. IC yang melibatkan aspek budaya, membutuhkan
seorang perawat yang memiliki pengetahuan dan skill yang mumpuni dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan memperhatikan pendekatan budaya. Aspek
budaya dapat melebur menjadi satu dalam semua situasi keperawatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kim (2007), menyatakan 10 domain yang ada dalam
perkataan pasien, ekpresi perasaan pasien, dan konteks situasional yang berhubungan
dengan setiap perilaku atau tindakan. Berikut merupakan 10 domain interpersonal caring
menurut Kim (1998, 2000, 2007) meliputi memperhatikan (noticing), berpartisipasi
(participating), berbagi cerita (sharing), aktif mendengarkan (active listening), menemani
(companioning), memberi pujian (complimenting), memberikan kenyamanan (comforting),
memberikan harapan (hoping), memaafkan (forgiving), menerima (accepting).
3.3 Kelebihan Dan Kekurangan Model Konseptual Interpersonal Caring
Pendekatan model interpersonal caring yang telah mengembangkan teori tentang
hubungan interpersonal yang efektif dan terapeutik merupakan model interaksi yang
bersifat psikodinamis yang mencakup kemampuan baik pasien maupun perawat untuk
saling memahami diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan prinsip hubungan antar
manusia. Pengembangan model teori diatas semuanya memberikan tujuan untuk
memudahkan perawat dalam mengurangi gejala dalam hal ini adalah gejala gangguan
jiwa, meningkatkan fungsi social, meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang
lain secara adaptif.
Dari beberapa literatur yang diperoleh, model interpersonal cukup rinci menjelaskan
dalam penngaplikasiannya. Bagaimana penerapan yang lebih terformat sesuai prosedur
sedikit lebih rinci terlihat dalam model ini. Peplau secara lebih rinci menyampaikan
tahapan-tahapan dalam komunikasi interpersonal termasuk strategi-strategi apa yang
dilaksanakan perawat dalam mencapai tujuan yang diinginkan (Alligood,2014).
Pandangan umum hubungan interpersonal menurut Peplau dapat dilakukan pada
individu atau personal, keluarga maupun komunitas. Adapun aplikasi penerapan teori
tersebut dalam keperawatan jiwa adalah munculnya berbagai terapi psychiatric yang dapat
membantu memulihkan gangguan jiwa yang terjadi pada pasien. Di dalam pelaksanaan
terapi tersebut Peplau memberikan 4 tahapan yang dapat dilaksanakan oleh perawat yaitu
melalui tahap orientasi, identifikasi, eksplorasi serta resolusi. Untuk pelaksanaan keempat
tahap tersebut perawat harus memahami konsep yang ada didalamnya sehingga hubungan
interpersonal antara pasien dan perawat dapat berjalan dengan efektif serta mampu
mencapai tujuan yaitu kesembuhan dari pasien.
Aplikasi model interpersonal ini membantu perawat dalam menangani masalah
pasien dengan gangguan jiwa, terutama pada pasien yang mengalami masalah harga diri
percaya kepada pasien menjadi hal yang utama dalam menangani pasien dengan masalah
tersebut. Perawat dituntut jeli dan responsive serta terampil melakukan interaksi kepada
pasien guna mendapat informasi dan menentukan asuhan keperawatan yang paling tepat
bagi pasien. Dengan menggunakan pendekatan model tersebut telah dijelaskan bagaimana
perawat harus melalui tahapan-tahapan dalam hubungan interpersonal tersebut sehingga
proses interaksi tersebut dapat tercapai.
Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan menurut Peplau harus dapat
memberikan contoh atau model yang baik bagi pasien karena perawat berperanan sebagai
sumber informasi, pendidik, pengganti maupun sebagai konselor bagi pasien. Mengingat
peran tersebut perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan harus mampu menyadari
kemampuan dan kekurangan dari dirinya sehingga kesiapan diri sangat diperlukan ketika
akan melakukan hubungan interpersonal dengan pasien.
Namun dalam model interpersonal tersebut belum dijelaskan secara detail tentang
bagaimana proses interaksi tersebut dilakukan, apakah semua tahapan tersebut dan peran
perawat tersebut selalu sama dalam setiap pasien atau berbeda pada pasien tertentu. Teori
interpersonal yang dikembangkan oleh Peplau sebelumnya hanya berfokus pada pasien
yang mengalami masalah ansietas, selanjutnya dikembangkan dalam penelitian Kim
(2007) terkait masalah harga diri rendah, penelitian-penelitian selanjutnya belum ada yang
mengembangkan apakah pendekatan ini cukup efektif pada pasien jiwa yang mengalami
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah
situsional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah
mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin
kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu
menjadi harga diri rendah. Hubungan interpersonal dalam keperawatan bertujuan untuk
mengembangkan keterampilan perawat dalam menerapkan konsep kesehatan mental
secara umum, mejadikan perawat untuk menjadi empati dan jeli terhadap kebutuhan
caring seperti apa yang pasien butuhkan, menerapkan konsep-konsep teoritis dan
menentukan intervensi apa yang sesuai dalam mencapai tujuan tersebut.
Proses interpersonal caring yang dikembangkan oleh Peplau membagi dalam
beberapa tahap yaitu tahap orientasi, identifikasi, eksplorasi dan resolusi. Selain itu peplau
dalam teorinya juga menjelaskan peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
dengan pendekatan interpersonal yaitu meliputi peran menjadi orang asing (stranger),
peran sebagai narasumber (resource person), peran sebagai pendidik (teaching role), peran
sebagai pemimpin (leadership role), peran sebagai pengganti (surrogate role), dan peran
sebagai konselor (conseling role), sehingga diharapkan dengan menggunakan pendekatan
dan menjalankan peran tersebut dapat membantu perawat memfasilitasi proses
penyembuhan masalah harga diri rendah kronis yang dialami pasien gangguan jiwa yang
dirawat di rumah sakit.
4.2 Saran
Beberapa saran yang diberikan terkait pendekatan model interpesonal caring ini
diantaranya adalah sebagai berikut:
4.2.1 Perlu pengembangan dan penelitian lebih mendalam agar pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien jiwa yang mengalami masalah harga diri rendah kronik
menggunakan pendekatan model ini akan lebih aplikatif dan praktis.
4.2.2 Perlu pengembangan dan penelitian lebih mendalam dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan model ini pada pasien gangguan jiwa
yang mengalami masalah lain.
4.2.3 Perlu dikembangkan standar operasional prosedur tentang pelaksanaan asuhan
DAFTAR PUSTAKA
Comtois, K.A., Carmel, A., (2014). Borderline personality disorder and high utilization of inpatient psychiatric hospitalization: concordance between research and clinical diagnosis. Journal of Behaviour. Health Services. Res., http://dx.doi.org/10.1007/s11414-014-9416-9.
D’Antonio, P., Beeber, L., Sills, G., & Naegle, M. (2014). The future in the past : Hildegard Peplau and interpensonal relations in nursing. Nurs Inq; 21 (4) : 311-317. Deane, W. H., & Fain, J. A. (2015). Incorporating peplau’s theory of interpersonal
relations to promote holistic communication between older adults and nursing student. J. Holist Nurs.
Dickens, G.L., Hallet, N., Lamont, E. (2016). Interventions to improve mental health nurses’ skills, attitudes, and knowledge related to people with a diagnosis of borderline personality disorder: Systematic review. International Journal of Nursing Studies. (56): 114-127.
Fawcett. J. (2005). Contemporary Nursing Knowledge: Analisys and Evaluation of Nursing Models and Theorist, 2th edition, FA Davis Company, Philadelphia.
Forchuk, C., Westwell, J., Martin, M. L., Azzapardi, W. B., Tolman, D. K., & Hux, M. (1989). Factor influencing movement of chronic psychiatric patient from the orientation to the working phase of the nurse-client relationship on an inpatient unit. Perspective in psychiatric care; 34 (1) : 36-42.
Forchuk, C. (2006). The orientation phase of the nurse-client relationship : Testing Peplau’s theory. JAN; 20 (3).
Fry, M., MacGregor, C., Ruperto, K., Jarrett, K., Wheeler, J., Fong, J., et al (2013). Nursing praxis, compassionate caring and interpersonal relations: an observational study. Australas Emergency Nurs Journal. Vol:16(2):37-44. doi: 10.1016.
Kim, S & Kim,S. (2007). Interpersonal Caring: A Theory for Improved Self-Esteem in Patients with Long-Term Serious Mental Illness — I. Asian Nursing Research. 1(1):11-22
Kim, S. (1994). Descriptive study on being cared for experiences of long-term psychiatric patients. Research Report. Seoul, Korea: Research Institute of Nursing Science, Ewha Womans University.
Kim, S. (2000). Interpersonal caring: An intervention of improved self-esteem of long-term psychiatric patients in community. Proceedings of Annual Conference. Seoul, Korea: Research Institute of Nursing Science, Ewha Womans University.
Kozier, B. (2004). Fundamentals of nursing: concepts, process, and practice. New Jersey: Pearson Education Inc.
McEwen, M & Will, E. M. (2011). Theoretical Basis For Nursing, Edisi 3. North Amerika and the Caribbean: A Macmillan Company.
Merritt, M. K., & Procter, N. (2010). Conceptualizing the functional rule of mental health consultation-liaison nurse in multi-morbidity, using Peplau’s nursing theory. Contemp nurse; 34 (2) : 158-66
Peplau, H. E. (1952). Interpersonal relations in nursing. New York: Springer. Peplau, H. E. (1991). Interpersonal relations in nursing. New York: Springer.
Peplau, H. E. (1994). Quality of life: An interpersonal perspective. Nursing Science Quarterly, 7, 12–14.
Washington, G. T. (2013). The theory of interpersonal relations applied to the preceptor-new graduate relationship. J. Nurses Prof Dev; 29 (1) : 24-29.
Watson, J. (2004). Theory of human caring. Http://www2.uchsc.edu/son/caring.
Watson, J. (2009). Assessing and Measuring Caring in Nursing and Health Science: Second Edition. Springer Publishing Company.