Bab II. Telaah Pustaka
2.1 Manajemen Kelas
2.1.1. Definisi Manajemen Kelas
Manajemen kelas adalah semua aktivitas guru di
kelas yang dapat menciptakan dan mempertahankan
kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar.
Selain itu, terdapat beberapa definisi tentang
manajemen kelas berdasarkan konsepsi lama dan
modern. Menurut konsepsi lama, manajemen kelas
diartikan sebagai upaya mempertahankan ketertiban
kelas. Guru menurut konsepsi lama memiliki tugas
menciptakan, memperbaiki, serta memelihara
sistem/organisasi kelas sehingga individu dapat
memanfaatkan kemampuannya, bakatnya, dan
energinya pada tugas-tugas individual (Jhonson dan
Bany, 1970). Menurut konsepsi modern manajemen
kelas adalah proses seleksi menggunakan alat yang
tepat terhadap problem dan situasi dalam manajemen
kelas. Arikunto (2006) mendefinisikan manajemen kelas
adalah suatu usaha yang dilakukan penanggung jawab
kegiatan belajar mengajar dengan tujuan agar tercapai
kondisi yang optimal, sehingga dapat terlaksana
kegiatan belajar seperti yang diharapkan. Mulyasa
keterampilan guru untuk menciptakan iklim
pembelajaran kondusif dan mengendalikannya jika
terjadi gangguan dalam pembelajaran.
Wilford A. Weber dalam James M. Cooper (1995)
mengemukakan bahwa,
Classroom management is a complex set of
behaviors the teacher uses to establish and
maintain classroom conditions that will enable
students to achieve their instructional objectives
efficiently – that will enable them to learn.
Definisi di atas menunjukkan bahwa pengelolaan
kelas merupakan seperangkat perilaku yang kompleks
dimana guru menggunakan untuk menata dan
memelihara kondisi kelas yang akan memampukan
para siswa tujuan pembelajaran secara efisien.
Manajemen kelas adalah semua usaha yang
diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar
mengajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat
memotivasi siswa untuk belajar dengan baik sesuai
dengan kemampuan mereka. Dengan demikian
manajemen kelas merupakan usaha sadar, untuk
mengatur kegiatan proses belajar mengajar secara
sistematis. Usaha sadar itu mengarah pada penyiapan
bahan belajar, penyiapan sarana dan alat peraga,
proses belajar mengajar dan pengaturan waktu
sehingga pembelajaran berjalan dengan baik dan
tujuan kurikuler dapat tercapai (Dirjen PUOD dan
Dirjen Dikdasmen, 1996).
Rukmana & Suryana (2009) lebih lanjut
menjelaskan bahwa secara garis besar kegiatan guru
dalam manajemen kelas ada dua yaitu kegiatan
pengaturan kondisi non-fisik meliputi pengaturan
kondisi emosional siswa yaitu tingkah laku,
kedisiplinan, minat/perhatian, gairah belajar, dinamika
kelompok dan pengaturan kondisi sosio-emosional yang
melekat pada guru antara lain tipe kepemimpinan,
sikap, suara, pembinaan hubungan. Kedua,
pengaturan fasilitas belajar mengajar/kondisi fisik
meliputi ventilasi, pencahayaan, kenyamanan, letak
duduk, penempatan siswa. Selain itu, pengaturan
oragnisasional
Tingkah laku yang diharapkan adalah tingkah
laku yang baik, tidak membuat masalah, mengikuti
proses belajar mengajar dengan baik, serta disiplin
dalam segala hal.
Ketertiban menunjuk pada kepatuhan seseorang
dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena
didorong atau disebabkan oleh sesuatu yang datang
dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena
didorong oleh adanya kesadaran yang ada dalam diri.
Disiplin kelas adalah keadaan tertib dalam suatu kelas
yang di dalamnya tergabung guru dan siswa taat
kepada tata tertib yang telah ditetapkan (Dirjen PUOD
dan Dirjen Dikdasmen, 1996)
Guru juga harus mengetahui minat siswa
sehingga dapat memaksimalkan potensi mereka. Hal
tersebut juga berkaitan dengan perhatian yang mereka
berikan dalam mengikuti proses belajar mengajar.
Gairah belajar siswa tidak selalu tinggi, adakalanya
menurun disinilah prinsip variasi seorang guru
diharapkan bisa menjaga gairah belajar dalam kelas.
Santoso (2004), mengartikan dinamika kelompok
sebagai suatu kelompok yang teratur dari dua individu
atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis
secara jelas antara anggota yang satu dengan yang lain;
antar anggota kelompok mempunyai hubungan
psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami
secara bersama-sama.
Kondisi sosio-emosional yang melekat pada guru
meliputi tipe kepemimpinan yang akan mewarnai
suasana emosional dalam kelas. Tipe kepemimpinan
otoriter, laisez faire, atau demokratis, yang dipilih guru
akan memberi dampak pada siswa dalam kelas. Sikap
menghadapi masalah lainnya serta suara dan intonasi
yang digunakan juga mempengaruhi keberhasilan
manajemen kelas. Pembinaan hubungan yang baik
antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa sangat
mempengaruhi suasana dalam kelas. Jika hubungan
baik tercipta akan memberi dampak pada kelas yang
gembira, bergairah, optimis dalam belajar.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh
guru dalam menata lingkungan fisik kelas menurut
Loisell (Winataputra, 2003) yaitu visibility ( keleluasaan
pandangan). Visibility artinya penempatan dan
penataan barang-barang di dalam kelas tidak
mengganggu pandangan siswa, sehingga siswa secara
leluasa dapat memandang guru, benda atau kegiatan
yang sedang berlangsung. Begitu pula guru harus
dapat memandang semua siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Kedua, accesibility (mudah dicapai).
Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk
meraih atau mengambil barang-barang yang
dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu
jarak antar tempat duduk harus cukup untuk dilalui
oleh siswa sehingga siswa dapat bergerak dengan
mudah dan tidak mengganggu siswa lain yang sedang
bekerja.
Ketiga, flexibility (keluwesan) yang dimaksud
adalah barang-barang di dalam kelas hendaknya
dengan kegiatan pembelajaran. Seperti penataan
tempat duduk yang perlu dirubah jika proses
pembelajaran menggunakan metode diskusi, dan kerja
kelompok. Keempat, kenyamanan berkenaan dengan
temperatur ruangan, cahaya, suara, dan kepadatan
kelas. Kelima, keindahan berkenaan dengan usaha
guru menata ruang kelas menyenangkan dapat
berpengaruh positif pada sikap dan tingkah laku siswa
terhadap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
Penataan tempat duduk adalah salah satu upaya
yang dilakukan oleh guru dalam mengelola kelas.
Pengelolaan kelas yang efektif akan menentukan hasil
pembelajaran yang dicapai. Pengaturan posisi tempat
duduk siswa sangat berpengaruh bagi para siswa,
interaksi antar mereka, dan interaksi dengan guru.
Dalam mengatur tempat duduk yang penting adalah
memungkinkan terjadinya tatap muka, dimana dengan
demikian guru sekaligus dapat mengontrol tingkah
laku peserta didik. Pengaturan tempat duduk akan
mempengaruhi kelancaran pengaturan proses belajar
mengajar.
Aspek lain adalah ventilasi harus cukup
menjamin kesehatan peserta didik. Jendela harus
cukup besar sehingga memungkinkan panas cahaya
matahari masuk, udara sehat dengan ventilasi yang
baik, sehingga semua peserta didik dalam kelas dapat
oksigen, peserta didik harus dapat melihat tulisan
denganjelas, tulisan dipapan, pada bulletin board, buku
bacaan dsb. Kapur yang digunakan sebaiknya kapur
yang bebas dari abu dan selalu bersih. Cahaya harus
datang dari sebelah kiri, cukup terang akan tetapi tidak
menyilaukan.
Dalam pengaturan barang-barang hendaknya
disimpan pada tempat khusus yang mudah dicapai
kalau segera diperlukan dan akan dipergunakan bagi
kepentingan kegiatan belajar. Barang-barang yang
karena nilai praktisnya tinggi dan dapat disimpan
diruang kelas seperti buku pelajaran, pedoman
kurikulum, kartu pribadi, dan sebagainya hendaknya
ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu gerak kegiatan peserta didik. Cara
pengambilan barang dari tempat khusus, penyampaian
dan sebagainya diatur sedemikian rupa sehingga
barang-barang tersebut segera dapat dipergunakan.
Masalah pemeliharaan barang-barang tersebut
sangat penting, dan secara periodik harus dicek. Hal
yang tidak kalah pentingnya adalah pengamanan
barang-barang tersebut dari pencurian, pengamanan
terhadap barang yang mudah meledak atau terbakar.
Alat pengamatan harus selalu tersedia seperti alat
pemadam kebakaran, P3K, dan sebagainya. Salah satu
faktor utama untuk memastikan pelajaran berjalan
Aturan adalah pernyataan, biasanya tertulis, yang
menyebutkan boleh dan tidak dilakukan oleh murid.
Sedangkan prosedur bersifat lebih informal, yaitu
menyebutkan bagaimana berbagai hal yang akan
dilakukan dikelas tertentu.
2.1.2 Tujuan Manajemen Kelas
Manajemen kelas bertujuan untuk menciptakan
kelas yang nyaman sebagai tempat terjadinya proses
belajar mengajar. Dengan demikian, kegiatan tersebut
dapat berjalan dengan efektif dan terarah sehingga
tujuan belajar yang hendak dicapai dapat terwujud.
Sudirman (2000) menyatakan bahwa tujuan
manajemen kelas adalah penyediaan fasilitas bagi
macam-macam kegiatan belajar siswa dalam
lingkungan sosial, emosional, dan intelektual dalam
kelas. Fasilitas yang disediakan itu memungkinkan
siswa belajar dan bekerja, terciptanya suasana sosial
yang memberikan kepuasan, suasana disiplin,
perkembangan intelektual, emosional, dan sikap serta
apresiasi pada siswa.
Arikunto (2004) berpendapat bahwa tujuan
manajemen kelas adalah agar setiap anak di kelas
dapat bekerja dengan tertib sehingga segera tercapai
mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik sebagai
lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar,
yang memungkinkan peserta didik untuk
mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin.
Selain itu, manajemen kelas bertujuan untuk
menghilangkan berbagai hambatan yang dapat
menghalangi terwujudnya interaksi pembelajaran serta
menyediakan dan mengatur fasilitas, perabot belajar
yang mendukung dan memungkinkan siswa belajar
sesuai dengan lingkungan sosial, emosional dan
intelektual siswa dalam kelas. Membina dan
membimbing siswa sesuai dengan latar belakang sosial,
ekonomi, budaya serta sifat-sifat individunya (Dirjen
PUOD dan Dirjen Dikdasmen,1996).
Rusydie (2011) menyatakan bahwa jika kegiatan
manajemen kelas dilaksanakan dengan baik maka
tujuan dari manajemen kelas dapat tercapai. Ada dua
kemungkinan yang akan dialami siswa sebagai
indikator keberhasilan manajemen kelas yaitu siswa
mampu terus belajar dan bekerja serta tidak mudah
menyerah dan pasif saat mereka tidak tahu atau
kurang memahami tugas yang harus dikerjakannya.
Selain itu, siswa masih menunjukkan semangat dan
gairahnya untuk terus mencoba belajar walaupun
mereka menghadapi hambatan dan masalah yang
Lebih lanjut, Rusydie menyatakan bahwa tujuan
dari manajemen kelas adalah memudahkan kegiatan
belajar siswa, mengatasi hambatan yang menghalangi
terwujudnya interaksi dalam proses belajar mengajar,
mengatur berbagai penggunaan fasilitas belajar,
membina dan membimbing peserta didik sesuai dengan
latar belakangnya, membantu perserta didik dan
bekerja sesuai dengan potensi dan kemampuan yang
dimiliki, menciptakan suasana sosial yang baik dalam
kelas, serta membantu siswa agar dapat belajar dengan
tertib.
2.1.3 Prinsip-prinsip Manajemen Kelas
Secara umum faktor yang mempengaruhi
manajemen kelas dibagi menjadi dua golongan yaitu,
faktor intern dan faktor ekstern siswa (Djamarah,
2006). Faktor intern siswa berhubungan dengan
masalah emosi, pikiran, dan perilaku. Kepribadian
siswa dengan ciri-ciri khasnya masing-masing
menyebabkan siswa berbeda dari siswa lainnya secara
individual.
Perbedaan secara individual ini dilihat dari segi
aspek yaitu perbedaan biologis, intelektual, dan
psikologis. Faktor ekstern siswa terkait dengan masalah
suasana lingkungan belajar, penempatan siswa,
pengelompokan siswa, jumlah siswa, dan sebagainya.
dinamika kelas. Semakin banyak jumlah siswa di kelas,
misalnya dua puluh orang ke atas akan cenderung
lebih mudah terjadi konflik. Sebaliknya semakin sedikit
jumlah siswa di kelas cenderung lebih kecil terjadi
konflik.
Djamarah (2006) lebih lanjut menyebutkan
bahwa untuk meminimalisir masalah gangguan dalam
pengelolaan kelas diperlukan prinsip-prinsip dalam
pengelolaan kelas ,yaitu hangat dan antusias yang
diperlukan dalam proses belajar mengajar. Guru yang
hangat dan akrab pada anak didik selalu menunjukkan
antusias pada tugasnya atau pada aktivitasnya akan
berhasil dalam mengimplementasikan pengelolaan
kelas. Prinsip kedua adalah tantangan, penggunaan
kata-kata, tindakan, cara kerja, atau bahan-bahan
yang menantang akan meningkatkan gairah siswa
untuk belajar sehingga mengurangi kemungkinan
munculnya tingkah laku yang menyimpang.
Kemudian, penggunaan alat atau media, gaya
mengajar guru, pola interaksi antara guru dan anak
didik akan mengurangi munculnya gangguan,
meningkatkan perhatian siswa. Kevariasian ini
merupakan kunci untuk tercapainya pengelolaan kelas
yang efektif dan menghindari kejenuhan. Serta adanya
keluwesan tingkah laku guru untuk mengubah strategi
munculnya gangguan siswa serta menciptakan iklim
belajar mengajar yang efektif. Keluwesan pengajaran
dapat mencegah munculnya gangguan seperti
keributan siswa, tidak ada perhatian, tidak
mengerjakan tugas dan sebagainya.
Selain itu Djamarah (2006), juga menyatakan
pada dasarnya dalam mengajar dan mendidik, guru
harus menekankan pada hal-hal yang positif dan
menghindari pemusatan perhatian pada hal-hal yang
negatif. Penekanan pada hal-hal yang positif yaitu
penekanan yang dilakukan guru terhadap tingkah laku
siswa yang positif daripada mengomeli tingkah laku
yang negatif. Penekanan tersebut dapat dilakukan
dengan pemberian penguatan yang positif dan
kesadaran guru untuk menghindari kesalahan yang
dapat mengganggu jalannya proses belajar mengajar.
Tujuan akhir dari pengelolaan kelas adalah anak
didik dapat mengembangkan dislipin diri sendiri dan
guru sendiri hendaknya menjadi teladan
mengendalikan diri dan pelaksanaan tanggung jawab.
Jadi, guru harus disiplin dalam segala hal bila ingin
anak didiknya ikut berdisiplin dalam segala hal.
2.1.4 Pendekatan dalam Manajemen Kelas
Menurut Cooper (1995) mengemukakan tiga
Modification Approach (Behavisiorism Approach) Asumsi
yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa perilaku
“baik” dan “buruk” individu merupakan hasil belajar.
Upaya memodifikasi perilaku dalam mengelola kelas
dilakukan melalui pemberian positive reinforcement
(untuk membina perilaku positif) dan negative
reinforcement (untuk mengurangi perilaku negatif).
Kendati demikian, dalam penggunaan reinforcement
negatif sebaiknya dilakukan secara hati-hati karena
jika tidak tepat maka malah hanya akan menimbulkan
masalah baru.
Pendekatan kedua adalah Socio – emotional Climate Approach (Humanistic Approach) Asumsi yang
mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa
proses belajar mengajar yang baik didasari oleh adanya
hubungan interpersonal yang baik antara peserta didik
– guru dan atau peserta didik – peserta didik dan guru yang menduduki posisi penting bagi terbentuknya iklim
sosio-emosional yang baik. Kemudian ketiga adalah
Group Process Approach asumsi yang mendasari
penggunaan pendekatan ini adalah bahwa pengalaman
belajar berlangsung dalam konteks kelompok sosial dan
tugas guru adalah membina dan memelihara kelompok
yang produktif dan kohesif.
Schmuck dan Schmuck dalam Entang dan Joni
penerapan pendekatan group proses, yaitu mutual
expectations, leadership, attractrion, norm,
communication, cohesiveness.
2.2 Masalah Manajemen Kelas
Masalah manajemen kelas dapat dikelompokkan
kedalam dua kategori yaitu masalah individual dan
masalah kelompok (Entang dan Joni, 1983). Masalah
individu digolongkan berdasar atas anggapan dasar
bahwa tingkah laku manusia itu mengarah pada
pencapaian suatu tujuan. Setiap individu memiliki
kebutuhan dasar untuk memiliki dan untuk merasa
dirinya berguna. Jika seorang individu gagal
mengembangkan rasa memiliki dan rasa dirinya
berharga maka dia akan bertingkah laku menyimpang.
Ada empat jenis penyimpangan tingkah laku,
yaitu tingkah laku menarik perhatian orang lain,
mencari kekuasaan, menuntut balas dan
memperlihatkan ketidakmampuan. Keempat tingkah
laku ini diurutkan makin lama makin berat. Misalnya,
seorang anak yang gagal menarik perhatian orang lain
boleh jadi menjadi anak yang mengejar kekuasaan.
Pertama, attention getting behaviors (pola perilaku
mencari perhatian). Seorang siswa yang gagal
menemukan kedudukan dirinya secara wajar dalam
suasana hubungan sosial yang saling menerima
biasanya (secara aktif ataupun pasif) bertingkah laku
pencari perhatian yang aktif dapat dijumpai pada
anak-anak yang suka pamer, melawak (memperolok),
membuat onar, memperlihatkan kenakalan, terus
menerus bertanya; singkatnya, tukang rewel. Tingkah
laku destruktif pencari perhatian yang pasif dapat
dijumpai pada anak-anak yang malas atau anak-anak
yang terus meminta bantuan orang lain.
Kedua, power seeking behaviors(pola perilaku
menunjukkan kekuatan/kekuasaan). Tingkah laku
mencari kekuasaan sama dengan perhatian yang
destruktif, tetapi lebih mendalam. Pencari kekuasaan
yang aktif suka mendekat, berbohong, menampilkan
adanya pertentangan pendapat, tidak mau melakukan
yang diperintahkan orang lain dan menunjukkan sikap
tidak patuh secara terbuka. Pencari kekuasaan yang
pasif tampak pada anak-anak yang amat menonjolkan
kemalasannya sehingga tidak melakukan apa-apa sama
sekali. Anak-anak ini amat pelupa, keras kepala, dan
secara pasif memperlihatkan ketidakpatuhan.
Ketiga adalah revenge seeking behaviors (pola
perilaku menunjukkan balas dendam). Siswa yang
menuntut balas mengalami frustasi yang amat dalam
dan tidak menyadari bahwa dia sebenarnya mencari
sukses dengan jalan menyakiti orang lain. Keganasan,
penyerangan secara fisik (mencakar, menggigit,
pengusaha, ataupun terhadap binatang sering
dilakukan anak-anak ini. Anak-anak seperti ini akan
merasa sakit kalau dikalahkan, dan mereka bukan
pemain-pemain yang baik (misalnya dalam
pertandingan). Anak-anak yang suka menuntut balas
ini biasanya lebih suka bertindak secara aktif daripada
pasif. Anak-anak penuntut balas yang aktif sering
dikenal sebagai anak-anak yang ganas dan kejam,
sedang yang pasif dikenal sebagai anak-anak
pencemberut dan tidak patuh (suka menetang).
Terakhir adalah helplessness (peragaan
ketidakmampuan). Siswa yang memperlihatkan
ketidakmampuan pada dasarnya merasa amat tidak
mampu berusaha mencari sesuatu yang
dikehendakinya (yaitu rasa memiliki) yang bersikap
menyerah terhadap tantangan yang menghadangnya;
bahkan siswa ini menganggap bahwa yang ada
dihadapannya hanyalah kegagalan yang terus menerus.
Perasaan tanpa harapan dan tidak tertolong lagi ini
biasanya diikuti dengan tingkah laku mengundurkan
diri. Sikap yang memperlihatkan ketidakmampuan ini
selalu berbentuk pasif.
Masalah-masalah yang sama juga dinyatakan
oleh Tilestone (2013) bahwa ada empat kategori
perilaku negative dan karakteristik yang menyertainya.
karakterisitik siswa yang sering terlambat masuk kelas,
berbicara tanpa ijin, membuat kebisingan, berbicara
sebelum mendapat giliran, berjalan-jalan dalam kelas,
sengaja melanggar peraturan, memaki dan menyerang
secara verbal, menentang otoritas kelas atau sekolah.
Kedua, siswa yang mencari kekuasaan atau pengaruh
yaitu sering menunjukkan kecemasan, sering mengeluh
lelah atau pusing, mencoba memanfaatkan rasa
bersalah orang lain untuk mendapatkan kontrol, sering
protes dan mengganggu, mencoba mengontrol guru dan
teman-teman di kelas, dan bersikap otoriter.
Perilaku negatif ketiga, siswa yang ingin
membalas dendam yaitu siswa cenderung kritis
terhadap kelas, siswa lain, atau guru. Karakteristik
siswa tersebut antara lain argumentative, sering
mengajukan pertanyaan “mengapa?”, dingin dan
menarik diri, sering melamun, sombong dan angkuh,
mengerjakan tugas sesuka hati, tidak mengikuti
peraturan yang telah ditetapkan, kritis terhadap
peraturan yang ada. Keempat, siswa yang merasa tidak
memiliki kemampuan yaitu sering mengabaikan guru,
tidak berpartisipasi dalam aktivitas kelas, mengancam
tidak mau mengerjakan tugas-tugas, cenderung
bereaksi berlebihan terhadap suatu peristiwa, masuk
kelas tanpa persiapan atau tidak mengerjakan tugas
tidak stabil, menyalahkan orang lain atas kegagalannya
sendiri.
Keempat masalah individual tersebut akan
tampak dalam berbagai bentuk tindakan atau perilaku
menyimpang, yang tidak hanya akan merugikan dirinya
sendiri tetapi juga dapat merugikan orang lain atau
kelompok. Ada empat teknik sederhana untuk
mengenali adanya masalah-masalah individu seperti
diuraikan diatas pada diri para siswa. Jika guru
merasa terganggu (atau bosan) dengan tingkah laku
seorang siswa, hal itu merupakan tanda bahwa siswa
yang bersangkutan mungkin mengalami masalah
mencari perhatian. Jika guru merasa terancam (atau
merasa dikalahkan), hal itu merupakan tanda bahwa
siswa yang bersangkutan mungkin mengalami masalah
mencari kekuasaan. Jika guru merasa amat disakiti,
hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang
bersangkutan mungkin mengalami masalah menuntut
balas. Jika guru merasa tidak mampu menolong lagi,
hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang
bersangkutan mungkin mengalami masalah
ketidakmampuan.
Guru hendaknya benar-benar mampu mengenali
dan memahami secara tepat arah tingkah laku
siswa-siswa yang dimaksud (apakah tingkah laku siswa-siswa itu
mengarah ke mencari perhatian, mencari kekuasaan,
ketidakcampuran) agar guru itu mampu menangani
masalah siswa secara tepat pula.
Ada tujuh masalah kelompok menurut Johnson
dan Bany dalam Entang dan Joni (1983) yang pertama
kurangnya kekompakan kelompok yang ditandai
dengan adanya kekurang-cocokkan (konflik) diantara
para anggota kelompok. Konflik antara siswa-siswa dari
kelompok yang berjenis kelamin atau bersuku berbeda
termasuk kedalam kategori kekurang-kompakan ini.
Dapat dibayangkan bahwa kelas yang
siswa-siswa tidak kompak akan beriklim tidak sehat yang
diwarnai oleh adanya konflik, ketegangan dan
kekerasan. Siswa-siswa di kelas seperti ini akan merasa
tidak senang dengan kelompok kelasnya sehingga
mereka tidak merasa tertarik dengan kelas yang
mereka duduki itu. Para siswa tidak saling bantu
membantu.
Kemudian, kekurangmampuan mengikuti
peraturan kelompok. Jika suasana kelas menunjukkan
bahwa siswa-siswa tidak mematuhi aturan-aturan
kelas yang telah ditetapkan, maka masalah yang kedua
muncul, yaitu kekurang-mampuan mengikuti
peraturan kelompok. Contoh-contoh masalah ini ialah
berisik; bertingkah laku mengganggu padahal pada
waktu itu semua siswa diminta tenang; berbicara
keras-keras atau mengganggu kawan padahal waktu
duduknya masing-masing; dorong-mendorong atau
menyela waktu antri di kafetaria dan lain-lain. Masalah
selanjutnya, adanya reaksi negatif terhadap sesama
anggota kelompok.
Reaksi negatif terhadap anggota kelompok terjadi
apabila ekspresi yang bersifat kasar yang dilontarkan
terhadap anggota kelompok yang tidak diterima oleh
kelompok itu, anggota kelompok yang menyimpang dari
aturan kelompok atau anggota kelompok yang
menghambat kegiatan kelompok. Anggota kelompok
dianggap “menyimpang” ini kemudian “dipaksa” oleh
kelompok itu untuk mengikuti kemauan kelompok.
Penerimaan kelas (kelompok) atas tingkah laku
yang menyimpang juga merupakan masalah kelompok.
Penerimaan kelompok (kelas) atas tingkah laku yang
menyimpang terjadi apabila kelompok itu mendorong
timbulnya dan mendukung anggota kelompok yang
bertingkah laku menyimpang dari norma-norma sosial
pada umumnya. Contoh yang amat umum ialah
perbuatan memperolok-olokan misalnya membuat
gambar-gambar yang “lucu” tentang guru. Jika hal ini
terjadi maka masalah kelompok dan masalah
perorangan telah berkembang dan masalah kelompok
kelihatannya lebih perlu mendapat perhatian.
Kegiatan anggota atau kelompok yang
berhenti melakukan kegiatan atau hanya meniru-niru
kegiatan orang (anggota) lainnya saja. Masalah
kelompok anak timbul dari kelompok itu mudah
terganggu dalam kelancaran kegiatannya. Dalam hal ini
kelompok itu mereaksi secara berlebihan terhadap
hal-hal yang sebenarnya tidak berarti atau bahkan
memanfaatkan hal-hal kecil untuk mengganggu
kelancaran kegiatan kelompok itu. Contoh yang sering
terjadi ialah para siswa menolak untuk melakukan
karena mereka beranggapan guru tidak adil. Jika hal
ini terjadi, maka suasana diwarnai oleh ketidaktentuan
dan kekhawatiran.
Ketiadaan semangat, tidak mau bekerja, dan
tingkah laku agresif atau protes. Masalah kelompok
yang paling rumit ialah apabila kelompok itu
melakukan protes dan tidak mau melakukan kegiatan,
baik hal itu dinyatakan secara terbuka maupun
terselubung. Permintaan penjelasan yang terus
menerus tentang sesuatu tugas, kehilangan pensil,
lupa mengerjakan tugas rumah atau tugas itu
tertinggal di rumah, tidak dapat mengerjakan tugas
karena gangguan keadaan tertentu, dan lain-lain
merupakan contoh-contoh protes atau keengganan
bekerja. Pada umumnya protes dan keengganan seperti
itu disampaikan secara terselubung dan penyampaian
Masalah selanjutnya adalah ketidakmampuan
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
Ketidak-mampuan menyesuaikan diri terhadap
lingkungan terjadi apabila kelompok (kelas) mereaksi
secara tidak wajar terhadap peraturan baru atau
perubahan peraturan, pengertian keanggotaan
kelompok, perubahan peraturan, pengertian
keanggotaan kelompok, perubahan jadwal kegiatan,
pergantian guru dan lain-lain. Apabila hal itu terjadi
sebenarnya para siswa (anggota kelompok) sedang
mereaksi terhadap suatu ketegangan tertentu; mereka
menganggap perubahan yang terjadi itu sebagai
ancaman terhadap keutuhan kelompok. Contoh yang
paling sering terjadi ialah tingkah laku yang tidak
menyenangkan pada siswa terhadap guru pengganti,
padahal biasanya kelas itu adalah kelas yang baik.
2.3 Diagram Analisis Tulang Ikan
Penelitian ini menggunakan Analisis Tulang Ikan
atau Diagram Sebab-Akibat untuk mendapat akar
masalah manajemen kelas sekolah dasar. Analisis
fishbone merupakan alat analisis untuk
mengkategorikan berbagai sebab potensial dari suatu
masalah dan menganalisis apa yang sesungguhnya
terjadi dalam suatu proses. Diagram ”Tulang Ikan” atau
Fishbone diagram sering pula disebut Ishikawa diagram
ini pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru
Ishikawa dari Jepang.
Gasversz (1997) mengungkapkan bahwa diagram
sebab akibat ini merupakan pendekatan terstruktur
yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih
terperinci dalam menemukan penyebab-penyebab
suatu masalah, ketidaksesuaian, dan kesenjangan yang
ada. Selanjutnya diungkapkan bahwa diagram ini bisa
digunakan dalam situasi: terdapat pertemuan diskusi
dengan menggunakan brainstorming untuk
mengidentifikasi mengapa suatu masalah terjadi,
diperlukan analisis lebih terperinci terhadap suatu
masalah, dan terdapat kesulitan untuk memisahkan
penyebab dan akibat.
Dalam penelitian ini, menggunakan analisis
dalam kegiatan manajemen kelas yaitu kegiatan
pengaturan kondisi non-fisik (emosional dan
sosio-emosional), pengaturan kondisi fisik, serta pengaturan