1
Bab IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Gambaran Obyek Penelitian
Penelitian dilakukan di lima sekolah dasar yaitu dua sekolah di kabupaten Semarang dan tiga sekolah di kota Salatiga. Sekolah yang berada di kabupaten Semarang adalah SD Ujung-Ujung dan SD Ujung-Ujung 02 sementara sekolah yang berada di kota Salatiga adalah SD Kauman Kidul, SD Negeri 02 Salatiga dan SD Negeri 10 Salatiga.
2
Table 4.1 Gambaran Obyek Penelitian
Sumber: data sekolah
Tabel diatas menunjukkan bahwa kelima sekolah tersebut telah memiliki jumlah guru yang cukup untuk setiap jenjang. Jumlah siswa di kelas juga sudah sesuai standar dinas pendidikan bahwa satu kelas per jenjang berisi 20-32 siswa dan hanya satu sekolah dengan jumlah siswa per jenjang melebihi standar yang telah ditetapkan.
Nama Sekolah Lokasi
3
4.2 Akar Permasalahan Ketidakefektifan
Manajemen Kelas Lima Sekolah Dasar
di Salatiga
Pada pra-penelitian diadakan wawancara informal dengan guru-guru di lima sekolah dasar di Salatiga. Peneliti menanyakan kepada guru-guru tentang keefektifan manajemen kelas yang dilakukan di kelas masing-masing dan hampir semua menyatakan bahwa manajemen kelas belum efektif karena mereka mengalami berbagai masalah dalam kelas. Mereka banyak menghadapi masalah terutama pada kondisi emosional siswa yang juga berdampak pada kondisi emosional guru sehingga tujuan manajemen kelas belum tercapai.
Adapun indikator keberhasilan dalam pengelolaan kelas adalah terciptanya kondisi / suasana belajar mengajar yang kondusif (tertib, lancar, berdisplin dan bergairah) serta terjadinya hubungan interpersonal yang baik antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa (Alam S dalam Rukmana dan Suryana, 2009). Rangkuman ketidakefektifan manajemen kelas dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
4
teratur, banyak masalah
individu antar siswa
2.Waktu tersita untuk
mengatasi masalah
1.Suasana kelas sering
gaduh dan kurang
berminat pada proses
PBM dalam kelas.
1.Suasana kelas
membosankan karena
guru cenderung otoriter
dalam mengelola kelas
5
tata tertib, perilaku)
karena gangguan dalam
PBM.
2.Jumlah siswa melebihi
standar menyulitkan
guru dan siswa
berinteraksi dalam PBM
6 peserta FGD di SD Kauman Kidul berjumlah 3 orang, SDN Salatiga 10 berjumlah 2 orang, dan SDN Salatiga 02 diikuti 2 orang guru. Peneliti memaparkan tujuan diadakan FGD untuk mendapatkan akar masalah ketidakefektifan manajemen kelas kemudian menyampaikan faktor-faktor penyebab ketidakefektifan manajemen kelas berdasar kegiatan manajemen kelas yang dilakukan.
Dalam kegiatan manajemen kelas, ada empat kegiatan pengaturan yaitu pengaturan kondisi emosional yang berkaitan dengan emosional siswa, pengaturan kondisi sosio-emosional yang berkaitan dengan sosio-emosional guru, pengaturan kondisi fisik yang berkaitan dengan kondisi fisik kelas, dan pengaturan kondisi organisasional yang berkaitan dengan kegiatan rutin dan menyangkut kebijakan sekolah. Peneliti juga memaparkan bahwa analisis yang akan digunakan adalah diagram Fishbone sebagai analisis dalam menemukan akar permasalahan ketidakefektifan manajemen kelas.
Pada tahap awal, peserta FGD melakukan
brainstorming mengenai semua masalah dalam
7 permasalahan yang dihadapi masing-masing. Setelah itu, semua masalah tersebut dikelompokkan sesuai dengan kegiatan pengaturan dalam manajemen kelas. Semua peserta FGD mengeluarkan semua pendapat dan pengalaman dalam manajemen kelas tanpa ada kritikan atau masukan dari siapapun yang bertujuan mendapatkan semua masalah manajemen kelas yang murni dihadapi di kelas. Kemudian, peserta mendiskusikan penyebab utama dari masalah-masalah dalam tiap kegiatan pengaturan dan dimasukkan dalam diagram fishbone.
Setelah pengelompokkan selesai dilakukan, para peserta diminta memilih penyebab utama dalam pengaturan manajemen kelas yang memiliki masalah paling penting yang mempengaruhi keefektifan manajemen kelas. Peserta di SDN Ujung-Ujung 01 dan 02 menyatakan bahwa ada tiga kegiatan pengaturan dalam manajemen kelas yang memiliki permasalahan paling vital adalah pengaturan kondisi emosional, kondisi sosio-emosional, dan kondisi fisik.
8 karena bisa disiasati dengan cara-cara kreatif guru. Namun, dua guru lainnya tidak setuju karena mereka berpendapat bahwa kondisi fisik kelas yang sesuai standar sangat berpengaruh terhadap terciptanya suasana yang kondusif dalam kelas. Setelah didiskusikan bersama mengenai kegiatan pengaturan mana yang memiliki masalah paling vital, para peserta sepakat bahwa hanya dua kegiatan yaitu pengaturan kondisi emosional dan sosio-emosional.
10
11 Dalam diagram fishbone diatas, ada tiga penyebab utama pada dua kegiatan pengaturan dalam manajemen kelas yang dialami guru-guru di SDN Ujung-Ujung 01 dan 02 yaitu pada pengaturan kondisi emosional dan sosio-emosional. Penyebab utama timbulnya permasalahan pada kegiatan pengaturan kondisi emosional karena ada banyak misbehavior students dalam kelas. Siswa dengan perilaku mengganggu bahkan menyimpang dalam kelas sangat mempengaruhi smoothness dalam PBM yang juga berpengaruh terhadap efektifitas manajemen kelas yang dilakukan guru.
Penyebab utama ini homogen didapati pada kelima sekolah yang menyatakan bahwa misbehavior students dalam kelas yang sebagian besar mencari perhatian siswa lain dan guru mempengaruhi manajemen kelas mereka. Selain itu, penyebab kesulitan dalam pengaturan kondisi emosional adalah
minat, perhatian, gairah belajar siswa kurang dalam PBM di kelas. Guru-guru di SDN Salatiga 10
menyadari bahwa siswa kurang berminat karena bosan dengan suasana monoton yang disebabkan oleh sistem
teacher-centered yang diterapkan guru. Minat,
12
Kidul dan SDN Ujung-Ujung 01 dan 02. Sementara di
SDN Kauman Kidul penyebab utama lainnya dalam pengaturan kondisi emosional adalah keberadaan siswa ABK yang membutuhkan penanganan khusus.
Guru harus mencurahkan perhatian dan waktu khusus untuk penanganan siswa-siswa tersebut. Fokus guru terpecah saat sedang menangani siswa-siswa spesial tersebut akibatnya siswa lain menggunakan waktu yang ada untuk melakukan tindakan-tindakan indisipliner dalam kelas.
13 PBM. Penyebab utama tersebut juga disepakati oleh ketiga sekolah lainnya bahwa kelelahan guru secara fisik maupun emosional sangat mempengaruhi pengaturan kondisi sosio-emosional guru dalam kelas.
Sementara di SDN Salatiga 10 penyebab utama dari permasalahan pengaturan kondisi sosio-emosional adalah guru cenderung monoton dalam PBM. Guru cenderung monoton dalam penyampaian materi, suara yang digunakan dalam mengajar, maupun dalam tipe kepemimpinan yang digunakan dalam kelas sehingga siswa menjadi bosan. Akibatnya, siswa melakukan hal-hal yang mereka anggap menarik seperti contohnya bermain sendiri, berjalan-jalan, menggambar, bahkan mengganggu teman. Penyebab ini juga homogen didapati pada SDN Ujung-Ujung 01 dan 02.
Penyebab utama ketiga adalah adanya
inkonsistensi guru dalam penegakan disiplin dalam
kelas dinyatakan oleh SDN Ujung-Ujung 01 dan 02
14 sekolah dasar sulit untuk teratur dan disiplin juga mempengaruhi konsistensi guru dalam penegakan kedisiplinan.
15
Table 4.2.1 Matrik Sebab dan Akar Masalah Ketidakefektifan Manajemen Kelas
Faktor Penyebab
Penyebab Utama Akar Masalah 1 Akar Masalah 2 Akar Masalah 3 Akar Masalah 4
Pengaturan
Learning pace siswa ABK berbeda dengan
17 Dalam tabel 4.2.1, para guru di lima sekolah menyepakati bahwa masalah-masalah dalam pengaturan kondisi emosional disebabkan oleh tiga penyebab utama yaitu banyaknya misbehavior students
dalam kelas, keberadaan siswa ABK yang membutuhkan penanganan khusus, minat, perhatian, gairah belajar siswa kurang. Peneliti kemudian menanyakan mengenai penyebab utama pertama yaitu mengapa ada banyak misbehavior students dalam kelas mereka. Para guru menyatakan bahwa siswa kurang mendapat perhatian, waktu, kasih sayang, bahkan pendidikan karakter dari orang tua karena mereka sibuk bekerja. Sebagian waktu siswa setelah pulang sekolah digunakan untuk bermain gadget, les mata pelajaran, dan bermain bersama teman. Sementara pengasuhan selama orang tua bekerja, sebagian besar diambil alih oleh kakek dan nenek. Akibatnya, siswa– siswa tersebut mencari perhatian di sekolah pada teman maupun guru mereka. Guru–guru menyatakan bahwa siswa juga mencari perhatian di kelas karena guru kurang memberi perhatian pada tiap individu yang disebabkan karena guru fokus pada penyelesaian kurikulum.
18 penanganan khusus baik perhatian, waktu, maupun cara penanganan siswa tersebut. Guru fokus perhatiannya sering terbagi untuk siswa ABK karena siswa ABK membutuhkan pendampingan belajar secara individu tidak bisa bersama-sama dengan siswa lainnya. Siswa ABK memiliki learning pace berbeda dengan siswa lain sehingga membutuhkan waktu khusus dalam penanganan maupun metode pembelajaran dalam kelas. Kondisi kelas tersebut sering dimanfaatkan siswa lain untuk melakukan kegiatan yang lebih menarik bagi mereka seperti bercakap-cakap dengan teman, bermain sendiri, mengganggu teman, berjalan-jalan di kelas, dll.
19 Dalam pengaturan kondisi sosio-emosional, penyebab utama adalah suasana monoton dalam PBM dalam kelas. Guru-guru menyatakan bahwa mereka hampir setiap hari menggunaan gaya kepemimpinan otoriter dan cenderung tradisional dalam PBM seperti sistem teacher-centered yang selalu diaplikasikan dalam kelas. Peneliti kemudian bertanya mengapa guru-guru mengaplikasikan gaya kepemimpinan otoriter dalam kelas dan cenderung tradisional dalam mengajar. Guru-guru menyatakan bahwa gaya kepemimpinan otoriter bertujuan agar siswa patuh kepada guru dan cenderung tradisional karena mengejar penyelesaian kurikulum. Mereka menyatakan bahwa hal yang paling merekan harapkan adalah siswa yang patuh dan penyelesaian kurikulum tepat waktu.
20 Sementara di SDN Salatiga 10 menyatakan bahwa penyebab utama dari kegiatan pengaturan kondisi sosio-emosional adalah kelelahan guru secara fisik dan emosional. Kelelahan yang dialami guru disebabkan oleh banyaknya permasalahan antar siswa maupun siswa dengan guru. Selain itu, kelelahan fisik disebabkan karena mereka juga harus menyelesaikan tugas-tugas administrasi yang cukup banyak. Secara emosional, guru menyadari kurang memahami siswa secara individual dan kurang akrab pada siswa. Mereka kemudian mendiskusikan lebih lanjut dan ditemukan bahwa guru kurang mengadakan pendekatan interpersonal dengan siswa. Guru-guru di SDN Ujung-Ujung 01 dan 02 serta SDN Salatiga 10 menyatakan bahwa penyebab utama dalam pengaturan kondisi sosio-emosional adalah inkonsistensi guru dalam penegakan disiplin karena pemberian toleransi lebih atas tingkah laku siswa. Guru menyatakan alasan pemberian toleransi adalah karena guru kurang percaya bahwa siswa sekolah dasar dapat mematuhi prosedur maupun peraturan.
21 dengan hasil FGD yang dilakukan sebelumnya bahwa dalam proses PBM dalam kelas, tindakan menganggu dan menyimpang banyak dilakukan siswa seperti bermain telepon genggam saat guru sedang fokus pada siswa lain, berlari keluar kelas, megganggu teman, serta berjalan-jalan dalam kelas. Guru juga terkesan melakukan pembiaran atas tingkah laku siswa karena sedang fokus pada salah satu/beberapa siswa dalam kelas.
22 kemudian siswa mulai bermain dan bercanda dengan teman lainnya kembali bahkan ada yang berlari di dalam kelas.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti di SDN Salatiga 10 pada tiga minggu sesudah FGD juga mendapat hasil yang sama dengan paparan guru-guru saat diskusi. Dalam satu kelas yang diobservasi, guru terkadang kesulitan dalam mengkondusifkan kelas karena kelas dalam situasi siswa ramai berbicara dengan temannya. Hal ini sering terjadi saat ada waktu kosong yang sering dimanfaatkan siswa untuk berbicara sendiri, menjahili teman, berkelahi, maupun berjalan-jalan dalam kelas. Guru sering berbicara menggunakan nada tinggi karena siswa tidak mendengarkan guru saat menegur dengan suara pelan.
23 siswa kembali ramai saat ada celah waktu kosong. Saat observasi berlangsung, tidak ada siswa yang berjalan-jalan dalam kelas, berteriak, ataupun mengganggu temannya sehingga suasana kelas cukup kondusif.
Secara ringkas akar permasalahan yang didapat melalui tabel diatas adalah guru belum fokus pada siswa secara individu namun pada penyelesaian kurikulum. Kedua, keberadaan siswa ABK yang memiliki learning pace berbeda dengan siswa lain. Ketiga, belum ada tuntutan dari kepala sekolah mengenai fun learning dalam PBM. Keempat, guru kurang pengetahuan akan manajemen kelas. Kelima, guru kurang mengadakan pendekatan interpersonal dengan siswa. Terakhir, guru kurang percaya bahwa siswa dapat disiplin dan teratur dalam kelas.
4.3 Solusi
24 yang telah dirumuskan bersama dapat dilihat dalam tabel 4.3 sebagai berikut:
Table 4.3 Akar Permasalahan dan Alternatif Solusi
Akar Permasalahan Alternatif Solusi
Guru belum fokus pada siswa secara individu namun pada penyelesaian kurikulum.
-Guru mereview kembali RPH dan RPP dengan penyesuaian agihan waktu.
Keberadaan siswa ABK yang memiliki learning pace berbeda dengan siswa lain.
-Guru menerapkan sistem reward and punishment kepada siswa.
-Guru menerapkan metode peer-teaching
dalam kelas. Belum ada tuntutan dari kepala
sekolah mengenai fun learning
dalam PBM.
-Kepala sekolah mewajibkan fun learning
dalam PBM.
-Kepala sekolah melakukan supervisi dalam kelas.
-Guru menggunakan variasi dalam PBM. Guru kurang pengetahuan
akan manajemen kelas.
-Guru mereview kembali urgensi manajemen kelas.
-Guru bekerjasama dengan kolega/senior sebagai tindakan preventif.
Guru kurang mengadakan pendekatan interpersonal dengan siswa.
-Guru mengaplikasikan prinsip manajemen kelas.
-Guru memanfaatkan break time untuk pendekatan personal.
Guru kurang percaya bahwa siswa dapat disiplin dan teratur dalam kelas.
-Guru konsisten dalam penegakan kedisiplinan siswa.
25 Dalam tabel diatas, guru-guru menyepakati bahwa alternatif solusi yang dapat dilakukan pada akar permasalahan pertama adalah guru mereview pada RPH maupun RPP yang telah dibuat agar agihan waktu dapat disesuaikan agar waktu untuk pemenuhan kebutuhan psikologi siswa juga dapat terpenuhi. Pada akar permasalahan yang kedua, guru dapat menerapkan sistem reward and punishment pada siswa lain yang dapat menyelesaikan tugasnya dengan disiplin selama guru mendampingi atau fokus pada siswa ABK dan metode peer-teaching dalam kelas.
Solusi yang dapat dilakukan untuk akar permasalahan ketiga adalah kepala sekolah mewajibkan guru untuk menerapkan fun learning
dalam PBM sehingga pembelajaran dalam kelas dapat lebih menarik dan tidak membosankan bagi siswa.
26 untuk minimalisisr masalah-masalah yang sering terjadi dalam manajemen kelas.
Akar permasalahan kelima adalah guru kurang mengadakan pendekatan interpersonal dengan siswa. Solusi yang dapat diaplikasikan dalam kelas adalah guru mengingat kembali prinsip-prinsip dalam manajemen kelas serta mengaplikasikannya dalam PBM. Selain itu, break time yang biasanya berlangsung dua kali dalam satu hari dapat dimanfaatkan guru untuk melakukan pendekatan pribadi pada siswa sehingga hal-hal yang berkaitan dengan siswa, latar belakang keluarga, permasalahan sosialisasi, ataupun permasalahan siswa lainnya dapat diketahui oleh guru sehingga dapat dilakukan langkah-langkah solusinya.
27
4.4 Pembahasan
Manajemen kelas yang efektif yang berujung pada tercapainya tujuan adalah hal yang diharapkan oleh setiap guru. Manajemen kelas yang berhasil juga menandakan keterampilan guru dalam mengatur kondisi fisik maupun non fisik dalam kelas. Melalui penelitian ini akan dilihat mengenai penyebab ketidakefektifan manajemen kelas di lima sekolah dasar di Salatiga. Pada bagian ini, akan dibahas lebih detail mengenai akar permasalahan ketidakefektifan manajemen kelas beserta alternatif solusi untuk meningkatkan keefektifan manajemen kelas agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
4.4.1 Akar Permasalahan
28
1. Guru belum fokus pada siswa secara individu
namun pada penyelesaian kurikulum
Guru-guru di lima sekolah dasar di Salatiga menyatakan bahwa jumlah siswa dengan perilaku mengganggu dan menyimpang dalam kelas cukup banyak dan mengganggu kelancaran PBM. Guru-guru juga kesulitan dalam menghadapi siswa-siswa ini karena beragam latar belakang yang mendasari siswa melakukan
misbehavior dalam kelas. Siswa dengan perilaku mengganggu bahkan menyimpang dalam kelas sangat mempengaruhi smoothness dalam PBM yang juga berpengaruh terhadap efektifitas manajemen kelas yang dilakukan guru. Berdasarkan FGD yang dilakukan di SDN Ujung-Ujung 01 dan 02 dinyatakan oleh salah satu guru junior bahwa,
“Kesulitan yang saya hadapi setiap hari adalah mengenai pengaturan siswa dalam kelas. Saya sempat
tertekan karena bingung menghadapi banyaknya siswa
yang tidak disiplin dan semaunya sendiri dalam kelas.
Sesuatu yang mengejutkan melihat mereka melakukan
hal-hal yang dilarang saat saya sedang fokus pada salah satu
siswa. Mereka berlarian dalam kelas, berani keluar kelas
tanpa ijin, naik keatas meja, berteriak bahkan bermain
29
menghabiskan waktu hanya untuk menegur mereka
maupun mendisiplinkan mereka namun selanjutnya lebih
kepada pembiaran atas tingkah laku mereka karena saya
fokus untuk menyelesaikan materi atau tugas administrasi saya.”
Penyebab utama ini homogen didapati pada kelima sekolah yang menyatakan bahwa
misbehavior students dalam kelas yang sebagian besar mencari perhatian siswa lain dan guru.
30 diluar penyelesaian kurikulum cenderung diabaikan.
2. Keberadaan siswa ABK membutuhkan
penanganan khusus guru
Siswa berkebutuhan khusus membutuhkan perhatian khusus dari guru karena siswa-siswa tersebut cenderung memiliki perbedaan khusus dengan siswa lain dalam hal learning pace,
attention span dalam kelas, tingkah laku maupun cara bersosialisasi dengan siswa lain. Hal ini sangat dirasakan oleh guru-guru yang memiliki kelas inklusif yaitu keberadaan siswa ABK dalam kelas sesuai jenjangnya.
“Saya memiliki siswa ABK dalam kelas. Saya harus memberikan perhatian serta waktu khusus dalam
menangani mereka. Mereka tidak bisa fokus dalam
mengikuti PBM dalam kelas sehingga biasanya setelah
menjelaskan pada seluruh kelas, saya menjelaskan kembali
kepada siswa ABK secara khusus face to face dengan saya. Saat saya sedang membimbing siswa ABK, kesempatan ini
dimanfaatkan oleh siswa lain untuk melakukan hal-hal
tidak disiplin. Contohnya, bermain sendiri, mengganggu
teman, berjalan-jalan, dll.”
31 menyatakan cukup kesulitan dalam menangani anak ABK karena kurang pengetahuan akan cara penanganan siswa ABK tersebut. Dalam PBM, hal yang biasa mereka lakukan adalah metode pembelajaran teacher-centered dengan sebagian besar ceramah yang dilakukan guru. Pertama, guru akan menjelaskan materi kepada seluruh siswa dalam kelas kemudian siswa ABK diberikan penjelasan ulang secara terpisah dengan teman-temannya.
Siswa-siswa yang diberikan tugas untuk dikerjakan selama guru mendampingi siswa ABK menggunakan kesempatan ini untuk melakukan hal-hal yang mereka anggap menarik seperti bermain dalam kelas, berjalan-jalan, mengganggu teman, dll. Guru sering merasa lelah dalam menghadapi tingkah laku siswa tersebut karena nada tinggi dalam menegur maupun hukuman tidak selalu berhasil dalam menangani perilaku siswa-siswa tersebut.
3. Belum ada tuntutan dari kepala sekolah mengenai fun learning dalam PBM
32 perhatian, serta gairah belajar siswa kurang. Siswa terlihat tidak tertarik maupun antusias dalam mengikuti proses belajar mengajar dalam kelas. Guru-guru menyatakan bahwa siswa mungkin bosan dalam kelas dengan kondisi yang hampir selalu sama setiap hari dengan metode pembelajaran, guru, maupun teman yang sama. Guru-guru menyadari hampir setiap hari menggunakan metode ceramah dalam PBM seperti yang dinyatakan oleh beberapa guru,
“Metode yang hampir selalu saya gunakan adalah ceramah karena mengejar penyelesaian kurikulum dan
menghemat waktu. Jika saya terlalu sering berdiskusi,
tanya jawab atau melakukan metode lain saya kuatir RPP tidak selesai sesuai waktu.”
33 Kepala sekolah juga tidak menuntut adanya pembelajaran menarik dalam kelas namun menuntut guru agar menyelesaikan materi sesuai RPP sehingga guru-guru merasa fun learning
tidak harus diaplikasikan dalam kelas. Paparan guru bertolak belakang dengan salah satu prinsip dalam manajemen kelas yaitu prinsip bervariasi. Djamarah (2011) menyatakan bahwa variasi gaya mengajar, intonasi suara, posisi, serta metode dan media pengajaran diperlukan dengan tujuan membuat suasana belajar dinamis, menyenangkan, dan dapat menjadi stimulus positif terhadap PBM.
4. Guru kurang pengetahuan akan manajemen
kelas
34 dengan alasan bahwa siswa cenderung patuh dengan gaya kepemimpinan ini.
Guru kurang menyadari bahwa gaya kepemimpinan ini tidak memberikan ruang demokrasi pada siswa untuk berani menyampaikan pendapatnya. Mereka menyadari bahwa mereka kurang terampil dalam menganalisis kondisi kelas sehingga dikondisikan secara keseluruhan bahwa gaya kepemimpinan yang tepat adalah otoriter. Para guru juga menyadari mereka kurang pengetahuan akan manajemen kelas dan sebagian besar lupa pada teori-teori yang mereka dapat selama menempuh pendidikan keguruan.
35
5. Guru kurang mengadakan pendekatan
interpersonal dengan siswa
Para guru secara homogen di lima sekolah menyatakan bahwa mereka hampir setiap hari merasa lelah baik secara fisik maupun emosional di sekolah. Faktor kelelahan fisik dan emosional sebagian besar disebabkan oleh banyaknya permasalahan antar siswa maupun siswa dengan guru. Selain itu, beban tugas guru dalam administrasi yang sangat banyak yaitu lebih dari 38 jenis administrasi juga menambah beban secara fisik dan emosional yang berpengaruh pada kondisi sosio-emosional guru. Akibatnya, guru sering kurang dapat mengontrol emosi dalam kelas dengan memberikan teguran dengan menggunakan nada tinggi, menghukum secara non fisik siswa yang melanggar peraturan atau melakukan kegiatan yang mengganggu PBM.
36 bahwa mereka kurang mengadakan pendekatan interpersonal dengan siswa selain karena sudah sibuk dengan pekerjaan mereka, guru juga kurang menyadari bahwa pendekatan secara pribadi krusial dilakukan. Pendekatan interpersonal krusial karena juga mempengaruhi keberhasilan manajemen kelas.
Hubungan interpersonal yang baik bertujuan agar siswa dalam menjalani hari-harinya dalam kelas dan sekolah senantiasa gembira, penuh gairah dan semangat belajar, bersikap optimis, realistis dalam proses belajar yang sedang dilakukannya serta terbuka pada hal-hal yang ada pada dirinya (Rukmana&Suryana, 2009).
6. Guru kurang percaya bahwa siswa dapat
disiplin dan teratur dalam kelas
37 manajer yang baik adalah menumbuhkan kedisiplinan siswa, terutama disiplin diri.
Pentingnya pembinaan disiplin juga dinyatakan oleh Wiyani (2013) bahwa guru harus mampu membantu siswa mengembangkan pola perilaku dalam diri siswa, membantu siswa meningkatkan standar perilakunya, melaksanakan tata tertib kelas maupun peraturan bersama sebagai media untuk menegakkan kedisiplinan.
4.4.2 Solusi
38
1. Guru belum fokus pada siswa secara
individu namun pada penyelesaian kurikulum
Keberadaan misbehaviour students adalah salah satu masalah krusial dalam manajemen kelas karena berpengaruh terhadap smoothness
dalam PBM. Selain itu, siswa dengan perilaku mengganggu atau menyimpang juga berpengaruh terhadap tercapainya tujuan manajemen kelas seperti yang tertuang dalam salah satu tujuan manajemen kelas menurut Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen (1996) yaitu membina dan membimbing siswa yang sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat individualnya.
39 berbincang atau memberikan perhatian dengan satu atau beberapa siswa dalam kelas. Kegiatan ini dapat dilakukan pada keesokan harinya untuk siswa yang berbeda sehingga setiap siswa merasa diperhatikan dan diberi kasih sayang oleh guru mereka.
Lebih lanjut, para guru menyadari bahwa RPP dan RPH yang dibuat tidak diaplikasikan sepenuhnya dalam kelas. Guru-guru membuat rancangan pengajaran hanya sebagai tugas yang harus diselesaikan namun pada kenyataannya mereka tidak mengacu pada rancangan yang telah dibuat.
40 dicapai adalah meminimalisir frekuensi
misbehavior yang dilakukan siswa dalam kelas.
2. Keberadaan siswa ABK membutuhkan
penanganan khusus guru
Siswa ABK dalam kelas membutuhkan perhatian serta waktu khusus dalam penangananya padahal guru memiliki waktu terbatas untuk menyelesaikan semua tugasnya dalam kelas. Para guru merasa kesulitan dalam menyampaikan materi kepada seluruh kelas maupun pada saat membimbing siswa ABK secara khusus.
Solusi yang telah dirumuskan bersama adalah pemberian reward and punishment dalam kelas selama guru fokus membimbing siswa ABK. Sebagai contoh, guru akan memberikan reward
41 Selain reward and punishment, solusi yang dapat diaplikasikan adalah metode peer-teaching
yaitu siswa dibagi dalam kelompok dengan ketua kelompok yang dapat bertanggung-jawab atas kelompoknya dan dengan kemampuan akademis beragam agar siswa dapat saling membantu. Tujuan lain peer-teaching adalah agar siswa tidak sibuk sendiri dalam kelas selama guru fokus pada siswa ABK.
3. Belum ada tuntutan dari kepala sekolah
mengenai fun learning dalam kelas
Minat, perhatian, gairah belajar kurang dapat ditingkatkan dengan metode mengajar yang menarik. Namun, pada kenyataannya guru cenderung monoton dengan metode pembelajaran
teacher-centered. Akibatnya, siswa kurang berminat dan bergairah dalam mengikuti PBM dalam kelas sehingga mencari kegiatan yang lebih menarik bagi mereka. Guru-guru tidak berminat untuk menerapkan fun learning karena belum ada tuntutan dari kepala sekolah, selain itu mereka juga fokus pada penyelesaian materi.
42 sehingga guru terpacu untuk mengembangkan metode pembelajaran yang lebih menarik minat siswa. Kepala sekolah juga diharapkan melakukan supervisi sebagai tindak lanjut dari penerapan fun learning dalam kelas. Supervisi diharapkan dapat meningkatkan kinerja guru dalam menerapkan manajemen kelas yang efektif. Selain itu, melalui supervisi guru dapat terpacu untuk menerapkan fun learning dalam kelas. Guru juga dapat menggunakan alternatif penyampaian materi dengan penggunaan audio visual aids seperti alat peraga, video, juga games
atau group discussion agar siswa lebih tertarik dalam mengikuti PBM dalam kelas.
4. Guru kurang pengetahuan akan manajemen
kelas
43 Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah guru mereview kembali akan urgensi manajemen kelas, teori maupun aplikasi agar dapat efektif dilaksanakan. Guru juga dapat mendiskusikan secara terus menerus dengan kolega maupun senior sebagai langkah preventif untuk permasalahan yang sering terjadi dalam manajemen kelas.
5. Guru kurang mengadakan pendekatan
interpersonal dengan siswa
Banyaknya permasalahan dalam kelas antar siswa maupun guru dengan siswa yang mengakibatkan kelelahan guru secara fisik maupun emosional disebabkan oleh kurang akrabnya guru dengan siswa dan kurangnya pemahaman guru terhadap siswa secara individu. Selain itu, disebabkan juga oleh kurangnya pendekatan interpersonal guru dengan siswa.
44 penekanan pada hal-hal positif, serta penanaman disiplin diri.
Solusi yang kedua adalah guru dapat memanfaatkan waktu break time yang biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu hari untuk melakukan pendekatan personal pada siswa. Guru dapat memberi perhatian serta menggali latar belakang siswa, cara bersosialisasi, maupun mencari tahu kesulitan belajar yang dihadapi di sekolah.
6. Guru kurang percaya bahwa siswa dapat
disiplin dan teratur dalam kelas
Guru-guru dalam kelas sering melakukan inkonsistensi dalam penegakan disiplin dalam kelas karena kurangnya kepercayaan guru terhadap siswa. Guru kurang percaya bahwa siswa sekolah dasar dapat disiplin dan teratur. Akibatnya, toleransi lebih sering diberikan oleh guru kepada siswa bahkan sering tindakan indisipliner siswa dibiarkan terjadi dalam kelas.
45 harus mengembangkan hubungan saling mempercayai dengan siswa. Dengan dasar inilah, guru dapat yakin untuk melaksanakan manajemen kelas efektif agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai.