IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak Geografis Desa Penelitian
Desa Ketapang terletak di Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang
Provinsi Jawa Tengah dengan batasan wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Desa Sidoharjo
Sebelah Selatan : Desa Tawang dan Desa Timpik
Sebelah Barat : Desa Susukan
Sebelah Timur : Desa Gentan dan Desa Bakalrejo
Secara geografis desa ketapang memiliki data orbitrasi (jarak dari pusat
pemerintahan) adalah sebagai berikut :
Pusat Pemerintahan Kecamatan : 1 km
Pusat Pemerintahan Kabupaten : 55 km
Pusat Pemerintahan Provinsi : 75 km
Desa Ketapang terdiri dari 6 Rukun Warga (RW), 5 Dusun, 31 Rukun
Tetangga (RT). Luas Wilayah Desa Ketapang adalah 316 Ha, dengan luas lahan
sawah sebesar 160 Ha dan 156 Ha adalah areal bukan persawahan. Letak Desa
Ketapang berada pada ketinggian 318 – 1450 meter di atas permukaan laut,dengan
suhu udara rata-rata 27-29o C dengan curah hujan rata-rata 21 mm /tahun.
4.1.2 Keadaan Penduduk
Berdasarkan data demografi pada awal tahun 2016, jumlah penduduk Desa
Ketapang, Kecamatan Susukan berjumlah 5.437 jiwa yang terdiri dari 2.711
laki-laki dan 2.726 perempuan. Mata pencaharian penduduk Desa Ketapang
Kecamatan Susukan cukup beragam, selain bertani penduduk Desa Ketapang
Kecamatan Susukan juga bekerja diluar sektor pertanian, antara lain sebagai
pengurus rumah tangga, pelajar/mahasiswa, pensiunan, PNS, TNI, pedagang,
petani/pekebun, karyawan swasta,buruh tani, guru, sopir, perdagangan, perangkat
Berikut data distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian
No Pekerjaan Jumlah (jiwa) Jumlah Total
(Jiwa) Laki-laki Perempuan
1. Belum bekerja/tidak bekerja 689 669 1.358
2. Mengurus rumah tangga 0 481 481
3. Pelajar/Mahasiswa 441 361 802
4. Pensiunan 38 36 74
5. PNS 31 20 51
6. TNI 5 0 5
7. Perdagangan 23 29 52
8. Petani 225 219 444
9. Karyawan Swasta 208 190 398
10. Buruh Tani 18 22 40
11. Guru 12 22 34
12. Sopir 15 0 15
13. Pedagang 30 16 46
14. Perangkat Desa 10 0 10
15. Wiraswasta 486 308 794
JUMLAH 2231 2373 4604
Sumber : Data Monografi Desa Ketapang, 2016
4.2. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah petani padi yang ada di Desa
Ketapang. Petani padi yang menjadi responden adalah petani padi konvensional
dan petani padi organik. Untuk mengetahui karakteristik responden dilihat
berdasarkan umur petani, tingkat pendidikan, luas lahan dan jumlah anggota
Tabel.4.2. Karakteristik Responden
Jumlah anggota keluarga (Orang)
Sumber : Analisis Data Primer, 2016 Keterangan : * berbeda nyata pada α = 0,05
tn : Tidak nyata
a. Usia
Rata-rata usia petani padi organik adalah 47,8 tahun, sedangkan rata-rata
petani padi konvensional adalah 55,4 tahun. Sebagian besar usia petani padi
organik adalah pada kisaran usia 40-49 tahun (54%), kisaran usia 30-39 tahun
memiliki prosentase terkecil, sedangkan usia petani padi konvensional yang
terbanyak pada kisaran usia 50-59 tahun, dan tidak ada petani pada kisaran usia
30-39 tahun. Jika dilihat dari nilai signifikansinya maka usia petani padi organik
memiliki perbedaan secara signifikan dengan usia petani padi konvensional,
Penelitian (Nurdin,2011), menjelaskan bahwa petani yang berusia 50 tahun
b. Pendidikan
Berdasarkan tabel 4.2 Rata-rata tingkat pendidikan yang ditempuh petani
organik adalah SMP dan Rata- rata pendidikan petani padi konvensional adalah
SD. Petani padi organik yang berpendidikan SD berjumlah 16 orang (54%), petani
dengan tingkat pendidikan SMP sebanyak 6 orang (20%), dan SMA yaitu 5 orang
(16%) sedangkan petani yang menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi
berjumlah 3 orang (10%), sedangkan pada petani padi konvensional yang
berpendidikan SD dalah 24 orang (80%), responden dengan pendidikan SMP
sebanyak 5 orang (16%),dan tidak ada petani yang berpendidikan SMA, dan
petani yang menempuh pendidikan perguruan tinggi berjumlah 1 orang (4%).
Penelitian (Restu,2008) mendapatkan bahwa rata-rata pendidikan petani
padi adalah pada tingkat sekolah dasar (SD). Jika dilihat dari nilai signifikansi,
maka pendidikan petani padi organik dan petani padi konvensional memiliki
perbedaan secara signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian penelitian
(Restu,2008) yang mengatakan bahwa Biasanya petani mengenyam pendidikan
hingga sekolah dasar kurang memperhitungkan resiko yang akan dihadapinya
dalam melakukan perubahan usahataninya. Hal ini karena petani melakukan
perubahan mengikuti petani lain. Sedangkan petani yang berpendidikan akan
selalu berhati hati dalam mengambil keputusan dengan terlebih dahulu
memperhitungkan resiko yang akan dihadapinya.
c. Jumlah anggota keluarga
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah anggota keluarga
paling banyak adalah 3-5 orang baik petani organik maupun petani konvensional
dengan jumlah rata-rata anggota keluarga 3 orang. Menurut Barthan (2011),
jumlah anggota keluarga merupakan salah satu penyedia jasa tenaga kerja. Jika
dilihat dari nilai signifikansi, maka jumlah anggota keluarga petani organik tidak
berbeda nyata secara statistik dengan jumlah anggota keluarga petani
konvensional.
d. Luas lahan
Dari tabel diatas menunjukkan mayoritas respoden memiliki luas usahatani
dengan luas 0,25-0,5 ha sebanyak 27 orang (90 %).untuk petani padi organik dan
dimiliki petani adalah < 0,25 ha dengan jumlah petani 2 orang (7%) untuk petani
padi organik sedangkan untuk petani padi konvensional tidak ada yang memiliki
luas lahan kurang dari < 0,25 ha petani kebanyakan dalam menanam padi, baik itu
padi organik maupun padi konvensional menggunakan lahan nya sendiri.
Jika dilihat dari nilai signifikansinya maka luas lahan petani padi organik
tidak berbeda nyata secara statistik dengan luas lahan petani padi konvensional.
Menurut penelitian (Inggit, 2006) menjelaskan bahwa perbedaan luas lahan yang
digarap oleh petani mempengaruhi tingkat produksi dari padi yang dihasilkan.
4.3. Analisis jumlah dan Biaya Usahatani Padi Organik dan Padi Konvensional
Tabel 4.3 menjelaskan jumlah sarana produksi dan tenaga kerja yang
digunakdalam usahatani padi organik dan konvensional dilokasi penelitian.
Tabel 4.3. Jumlah sarana produksi Usahatani Padi Organik dan Padi Konvensional Sarana produksi Padi Organik Padi Konvensional
Benih (kg/ha) 24,08 23,26
Pupuk kandang (kg/ha) 1214,24 1193,97
Pupuk MOL (Liter/ha) 26,27 -
Pupuk Ferinci (liter/ha) 3,29 -
Pupuk urea (kg/ha) - 203,17
Pupuk ponska (kg/ha) - 199,92
Pestisida (liter/ha) 10 34,20
Tenaga kerja dalam dan luar keluarga (HOK) / ha
124,43 112,38
Sumber : Analisis Data Primer, 2016
Berdasarkan table 4.3 dapat dilihat bahwa penggunaan benih yang
digunakan petani padi organik lebih besar yaitu 24,08 (Kg/ha) daripada benih
yang digunakan oleh petani padi konvensional yaitu 23,26 (Kg/ha), jumlah
penggunaan benih berbeda karena jarak tanam dan jumlah bibit per lubang tanam
berbeda. Jarak tanam untuk petani padi organik adalah 20 cm X 20 cm dengan
jumlah bibit yang di gunakan 3-5 per lubang tanam sedangkan jarak tanam untuk
padi konvensional adalah 25 X 25 dengan dengan jumlah bibit per lubang tanam
adalah 2-3. Bibit yang digunakan oleh petani padi organik di Desa Ketapang
merupakan bibit yang dibuat sendiri baik oleh anggota maupun ketua kelompok
tani, yang nantinya ketua kelompok tani akan membagikan bibit tersebut kepada
ditanam oleh petani padi organik yaitu Menthik susu. Untuk pertanian
konvensional, varietas bibit yang digunakan yaitu IR 64 dan umbul.
Pupuk kandang yang digunakan petani padi organik rata-rata adalah
1214,24 kg/ha sedangkan pupuk kandang yang digunakan oleh petani padi
konvensional adalah 1193,97 kg/ha Selain menggunakan pupuk kandang, petani
padi organik pun menggunakan pupuk daun sebagai pupuk pelengkap, yaitu
menggunakan mikroorganisme lokal (MOL). Hal ini dilakukan petani untuk
menambah jumlah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. MOL ini digunakan
dengan cara disemprotkan menggunakan handsprayer. Pada umumnya MOL
dibuat sendiri oleh petani karena menggunakan bahan-bahan organik. Berdasarkan
data yang diperoleh dari petani kebutuhan MOL yang digunakan rata-rata sebesar
26,27 lt/ha.
Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani organik
tidak menggunakan pestisida. Untuk pengendalian hama dan penyakitnya, para
petani organik melakukannya dengan cara pengendalian fisik dan penyemprotan
dengan menggunakan BAS Pengendalian fisik dilakukan dengan cara mencabut
gulma yang berada dilahan dan pematang sawah, sedangkan penyemprotan hama
dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yaitu dengan BAS (Bio arang
Sekam) yang biasanya dibuat sendiri. Pada petani padi konvensional, petani dalam
melakukan pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida
yang digunakan oleh petani konvensional antara lain afidor, matador, hamador
dan regent.
Tenaga kerja yang digunakan petani dalam usahatani organik maupun
konvensional adalah tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga luar keluarga,
rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usaha tani organik adalah 124,43 HOK.
Tenaga kerja usahatani konvensional lebih rendah daripada usahatani organik
yakni 112,38 HOK karena dalam pemeliharaan seperti penyiangan, pemupukan
dan pengendalian hama dan penyakit usahatani memerlukan tenaga kerja lebih
Tabel 4.4 menjelaskan tentang analisis biaya, penerimaan dan keuntungan
usahatani padi organik dan padi konvensional di lokasi penelitian.
Tabel 4.4. Analisis Biaya Usahatani Padi Organik dan Padi Konvensional
Jenis Biaya Padi Organik Padi Konvensional
Biaya Variabel
Benih (Rp/ha) 240.788 232.635
Pupuk kandang Rp/ha) 1.214.236 1.193.968
Pupuk MOL (Liter/ha) 262.733 -
Pupuk Ferinci (Rp/ha) 16.439 -
Pupuk urea (Rp//ha) - 406.349
Pupuk ponska (Rp/ha) - 507.937
Pestisida (Rp/ha) 97.345 572.845
Tenaga kerja dalam dan luar keluarga (Rp/ha)
5.334.366 5.188.524
Biaya selep ( Rp/ha) 1.429.947 1.699.352 Total biaya variabel (Rp./ha) 8.599.855 9.801.610 Biaya tetap
Irigasi (Rp/ha) 262.768 358.603
Pajak (Rp/Ha) 82.434 80.905
Produktivitas Gabah (Kg/Ha/MT) 5812,79 6907,94
Harga Jual Gabah (Rp/Kg) 5000 4.000
Penerimaan Gabah (Rp/Ha/MT) 29.063.973 27.631.760 Produktivitas Beras (Kg/Ha/MT) 2990,50 3553,91
Harga Jual Beras (Rp/Kg) 11.750 7000
Penerimaan Beras (Rp/Ha/MT) 35.138.338 24.877.386 Keuntungan Usahatani dalam bentuk
Gabah
21.578.863 19.089.994
Keuntungan Usahatani dalam bentuk Beras
26.193.281 14.636.268
Sumber : Analisis Data Primer, 2016
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa rata-rata total biaya yang
dikeluarkan dalam usahatani padi organik lebih kecil dibanding dengan rata-rata
total biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi konvensional, yaitu sebesar Rp
8.067.057 untuk usahatani padi organik, dan Rp 10.241.118 untuk usahatani padi
konvensional. Menurut Paimin (1991), mengatakan besarnya penerimaan
diperoleh dari hasil kali produktivitas dengan harga. Berdasarkan hasil
perhitungan dari Tabel 4.4 diketahui rata-rata penerimaan usahatani padi organik
dalam bentuk gabah Rp 29.963.973 dan padi konvensional Rp 27.631.746. Hal
ini disebabkan pada harga jual padi organik Rp 5000/kg lebih tinggi dibandingkan
usahatani padi organik dalam bentuk beras Rp.35.138.338 dan rata-rata
penerimaan untuk padi konvensional Rp.24.877.386 . Hal ini disebabkan pada
harga jual padi organik Rp. 11.750/kg lebih tinggi dibandingkan harga jual padi
konvensional Rp 7000/Kg
Menurut penelitian Inggit (2009) menyimpulkan bahwa rata-rata
penerimaan usahatani organik Rp 17.259.000 dalam bentuk gabah dengan hasil
GKP sebesar 5.753 kg/ha, sedangkan rata-rata penerimaan usahatani konvensional
12.212.000 dalam bentuk gabah, dengan hasil produksi GKP sebesar 6.106
kg/ha.penelitian yang dilakukan di Desa Ketapang penerimaan yang diperoleh
petani konvensional sebesar Rp 27.631.760 dan penerimaan yang di peroleh
petani organik sebesar Rp 29.063.973/haJika dilihat dari hasil produksi GKP per
hektar ternyata padi organik lebih kecil jika dibandingkan dengan padi
konvensional,dengan jumlah produksi 5812,79 kg/ha (padi organik) dan 6907,94
kg/ha (padi konvensional) namun rata-ratapenerimaan total petani organik lebih
besar dari petanikonvensional, dengan rata-rata penerimaan Rp. 29..063.973 / ha
(padi organik) dan Rp 27.631.760/ha. Besarnya rata-rata penerimaanyang
diperoleh petani padiorganik dikarenakan harga jual GKP padi organik per
kilogram lebih tinggi dari harga jual GKP padi konvensional per kilogramnya,
yaitu Rp. 5000/Kgsedangkan harga GKP untuk padi konvensional adalah Rp.
4000/Kg.
4.4 Analisis Daya Saing Usahatani Padi Organik terhadap Usahatani Padi Konvensional
Tabel 4.4. memaparkan tentang Analisis keunggulan daya saing usatani padi
organik terhadap usahatani konvensional dalam bentuk gabah.
Tabel 4.5. Analisis Daya Saing usahatani padi organik terhadap usahatani konvensional bersaing dengan dalam bentuk gabah
Komoditas Produktifitas Padi Organik 5812,79 5000 7.515.110 21.576.863 Padi Konvensional 6907,94 4.000 8.541.766 19.089.994 Keunggulan padi organik
terhadap padi konvensional (Gabah)
5321,021 4.577
Daya saing usahatani padi organik terhadap usahatani padi konvensional
dapat diketahui melalui analisa tingkat harga dan produktivitas minimum.
Berdasarkan Tabel 4.5, produktivitas minimum agar usahatani padi organik dalam
bentuk produk gabah dapat bersaing dengan usahatani padi secara konvensional
adalah 5.321,021 kg/ha, dimana tingkat tersebut masih dibawah capaian aktual,
dengan selisih 491,769 kg. Hasil analisis tersebut menunjukkan saat ini usahatani
padi organik masih mampu bersaing dengan usahatani padi konvensional
Jika dilihat dari segi harga, harga minimum agar usahatani padi organik
dalam bentuk produk gabah dapat bersaing dengan usahatani padi secara
konvensional adalah Rp.4.577/kg., dimana tingkat tersebut masih dibawah capaian
aktual, dengan selisih Rp. 423 Hasil analisis tersebut menunjukkan saat ini
usahatani padi organik masih mampu bersaing dengan usahatani padi
konvensional. Usahatani padi organik mampu bersaing dengan usahatani padi
konvensional karena, biaya padi organik lebih efisien karena biaya pembelian
pupuk lebih rendah dan harga padi organik cukup tinggi.
Tabel 4.6. memaparkan tentangAnalisis keunggulan kompetitif usatani
padi organik terhadap usahatani konvensional dalam bentuk beras.
Tabel 4.6. Analisis Daya Saing usatani padi organik terhadap usahatani
2990,50 11.750 8.945.057 26.193.281
Komoditas Padi Konvensional
3553,91 7000 10.241.118 14.636.268
Keunggulan komoditas padi organik
terhadap komoditas padi konvensional (Beras)
2006,921 7.885
Sumber : Analisis Data Primer, 2016
Berdasarkan Tabel 4.5, produktivitas minimum agar usahatani padi organik
dalam bentuk produk beras dapat bersaing dengan usahatani padi secara
konvensional adalah 2006,921kg/ha, dimana tingkat tersebut masih dibawah
capaian aktual, dengan selisih 983,579 kg/ha. Hasil analisis tersebut menunjukkan
saat ini usahatani padi organik masih mampu bersaing dengan usahatani padi
Jika dilihat dari segi harga, harga minimal padi organik dalam bentuk
produk beras yang harus dicapai agar dapat bersaing terhadap padi konvensional
adalah Rp. 7.889/kg, dimana tingkat tersebut masih dibawah capaian aktual,
dengan selisih Rp. 3.865. Hasil analisis tersebut menunjukkan saat ini usahatani
padi organik masih mampu bersaing dengan usahatani padi konvensional.
Usahatani padi organik mampu bersaing dengan usahatani padi konvensional
karena, biaya padi organik lebih efisien karena biaya pembelian pupuk lebih
rendah dan harga padi organik cukup tinggi
4.5 Analisis R/C Ratio
Tabel 4.7 menjelaskan tentang analisis R/C Ratio usahatani padi organik
dan padi konvensional di lokasi penelitian
Tabel 4.7.Analisis R/C Ratio usahatani padi organik dan padi konvensional
Keterangan Usahatani Padi Organik Usahatani Padi Konvensional
Gabah Beras Gabah Beras
Penerimaan (Rp/MT) 29.063.973 35.138.338 27.631.760 24.877.386 Total biaya (Rp/MT) 7.515.110 8.945.057 8.541.766 10.241.118
R/C ratio (Per MT) 3,87 3,92 3,23 2,43
Uji beda R/C ratio gabah organik vs konvensional
(0,005)tn - Uji beda R/C ratio beras organik vs konvensional
(0,000)tn
Sumber : Analisis Data Primer, 2016 Keterangan : * berbeda nyata pada α = 0,05
tn Tidak nyata
Pada Tabel 4.7 terlihat bahwa usahatani padi organik dan usahatani padi
konvensional baik dalam bentuk gabah maupun dalam bentuk beras layak untuk
diusahakan karena memiliki nilai R/C Ratio > 1. R/C Ratio tertinggi didapat oleh
usahatani padi organik yang hasilnya dalam bentuk beras, sedangkan R/C Ratio
terendah pada usahatani padi konvensional dalam bentuk beras.
Tabel 4.7 menjelaskan bahwa nilai R/C ratio atas penggunaan biaya
usahatani padi konvensional lebih kecil dari R/C ratio usahatani padi organik baik
dalam bentuk gabah maupun dalam bentuk beras. Pada usahatani padi organik
dalam bentuk gabah didapat R/C ratio 3,87 artinya petani memperoleh keuntungan
sebesar Rp 3,87 dari setiap satu rupiah input yang dikeluarkan, sedangkan dalam
bentuk beras R/C Ratio 3,92 artinya petani memperoleh keuntungan sebesar 3,92
dalam bentuk gabah didapat R/C Ratio sebesar 3,23 artinya petani memperoleh
keuntungan sebesar 3,23 dari setiap satu rupiah input yang dikeluarkan,
sedangkan dalam bentuk beras R/C Ratio 2,43 artinya petani memperoleh
keuntungan sebesar 2,43 dari setiap satu rupiah input yang dikeluarkan,
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa nilai R/C Ratio padi organik dalam bentuk
gabah lebih besar dibandingkan dengan nilai R/C Ratio padi konvensional bentuk
gabah, dimana nilai R/C Ratio padi organik dalam bentuk gabah 3,87 sedangkan
nilai R/C Ratio padi konvensional 3,23.hal tersebut dikatenakan penerimaan dari
padi organik berbentuk gabah (Rp 29.063.973) lebih besar dari penerimaan padi
konvensional (Rp 27.631.760) dan biaya yang dikeluarkan lebih besar padi
konvensional (Rp 8.541.766) dibandingkan dengan padi organik (Rp 7.515.110).
jika dilihat dari nilai signifikansinya R/C Ratio padi organik dalam bentuk ganah
berbeda nyata secara statistik dengan R/C Ratio padi konvensional.
Jika dilihat dari nilai R/C Ratio padi organic (dalam bentuk beras), nilai R/C
Rasio padi organik lebih besar daripada nilai R/C Ratio padi konvensional,
dimana nilai R/C Ratio padi organik adalah 3,92 dan padi konvensional adalah
2,43. Hal tersebut terjadi karena penerimaan yang diterima petani lebih besar padi
organic(Rp35.138.338) dibandingjkan dengan padi konvensional (Rp
27.631.760)dan biaya yang di keluarkan dalam budidaya padi organik (Rp
8.945.057) lebih kecil dibanding dengan biaya padi konvensional (Rp
10.241.118). jika dilihat dari nilai signifikansinya R/C Ratio padi organik berbeda
nyata secara statistik dengan padi konvensional (dalam bentuk beras).
Jumlah produksi beras dari usahatani padi organik adalah 2990,50 kg per
ha, dengan harga beras per kg Rp.11.750 dengan penerimaaan petani dari
penjualan beras sebesar 35.138.338 keuntungan petani adalah Rp. 26..193.281
per ha. nilai R/C Ratio dalam usahatani padi organik adalah 3,92 dimana angka
ini menunjukkan usahatani ini mengalami keuntungan sehingga layak untuk
dilanjutkan, penelitian Tamba dkk (2017 ) menyebutkan bahwa Jumlah produksi
beras dari usahatani padi sawah dengan metode SRI adalah 3.014,51 kg per ha,
dengan harga beras per kg Rp.11.500, maka penerimaaan petani dari penjualan
beras sebesar Rp.34.666.882,25 per ha. Pendapatan bersih petani dengan sistem
dengan sistem tanam SRI ini adalah 1,76 dimana angka ini menunjukkan
usahatani ini mengalami keuntungan sehingga layak untuk dilanjutkan. Dengan
demikian hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Tamba dkk, (2017) yaitu usahatani padi organik dalam bentuk beras layak
dan menguntungkan untuk diusahakan, meskipun nilai R/C Ratio penelitian
(Tamba dkk, 2017) lebih kecil dari penelitian ini.
Jumlah produksi petani padi organik adalah 5.812,79 gabah kering panen,
petani menjual dalam bentuk gabah kering dengan harga jual gabah tersebut Rp
5000 per kg. Penerimaan petani dari penjualan gabah kering tersebut sebesar Rp.
29.063.973 per ha. Nilai RCR dalam penelitian ini adalah 3,87 dimana angka ini
menunjukkan usahatani tersebut mengalami keuntungan dan layak untuk
dilanjutkan. Hasil penelitian ini nilai R/C Ratio yang dihasilkan lebih besar dari
Penelitian Tamba dkk, (2017) yang mengatakan Jumlah produksi petani padi
dengan memakai metode SRI di Desa Rambah Salo Kecamatan Rambah Salo
Kabupaten Rokan Hulu dalam penelitian Abdul Gafar (2014) adalah 5.245 kg/ha
gabah kering panen. Petani menjual dalam bentuk gabah kering dengan harga jual
gabah tersebut Rp.3.568,00 per kg. Penerimaan petani dari penjualan gabah kering
tersebut sebesar Rp.18.586.364,00 per ha dan nilai RCR dalam penelitian ini
adalah 2,48 dimana angka ini menunjukkan usahatani tersebut mengalami
keuntungan dan layak untuk dilanjutkan. Tetapi dari hasil R/C Ratio yang
didapatkan usahatani padi organik dalam bentuk gabah sama-sama layak dan
menguntungkan untuk dijalanjan karena nilai RCR > 1.
Jumlah produksi petani padi konvensional adalah 6907,94 gabah kering
panen, Petani menjual dalam bentuk gabah kering dengan harga jual gabah
tersebut Rp 4000 per kg. Penerimaan petani dari penjualan gabah kering tersebut
sebesar Rp. 27.631.760 per ha. Nilai RCR dalam penelitian ini adalah 3,23
dimana angka ini menunjukkan usahatani tersebut mengalami keuntungan dan
layak untuk dilanjutkan.
Menurut penelitian Tamba dkk, (2017) jumlah produksi petani padi dengan
sistem konvensional dalam penelitian Filardi dan Elida (2014) adalah sebesar
3.010,94 kg per ha gabah kering giling. Petani dalam penelitian ini menjual dalam
ha. Pendapatan bersih yang diterima oleh petani dalam penelitian ini adalah
Rp.4.949.214,19 per ha. Nilai RCR dalam penelitian ini sebesar 1,64 dimana
usahatani ini mengalami keuntungan dan layak untuk dilanjutkan. penelitian ini
jika dibandingkan dengan penelitian (Tamba dkk,2017) nilai R/C Ratio nya lebih
tinggi, tetapi sama- sama menguntungkan dan layak untuk diusahakan, karena
nilai RCR > 1.
4.6 Analisis Titik Impas Usahatani Padi Organik Dan Konvensional Tabel 4.8. analisis titik impas produktivitas dan titik impas harga
Usahatani Biaya
Padi organik (gabah) 7.515.110 5812,79 5000 1.503,02 1.293
Padi Konvensional
Sumber : Analisis Data Primer, 2016 Keterangan : * berbeda nyata pada α = 0,05
tn Tidak nyata
1. Analisis Titik Impas Produktifitas (TIP)
Titik impas produktivitas merupakan produktivitas minimal yang harus
dicapai agar usahatani yang dilakukan memperoleh keuntungan yang normal.
Tabel 4.8 terlihat bahwa titik impas produktivitas aktual padi dalam bentuk gabah
maupun dalam bentuk beras diatas nilai TIP berarti usahatani yang dilakukan
menguntungkan petani. Dapat dilihat bahwa titik impas produksi usahatani padi
dalam bentuk gabah adalah sebesar 1503,02 kg/ha dengan rata-rata produksi
5812,79 kg/ha Hasil produksi rata-rata padi sudah lebih besar dari titik impas
produksi yaitu 5.812,79 kg/ha > 1.503,02 kg/ha, sehingga usahatani padi organik
dalam bentuk gabah dapat dikatakan menguntungkan untuk dilaksanakan. Jika
konvensional berbeda nyata secara secara statistik sedangkan, untuk usahatani
padi dalam bentuk beras titik impas produksi nya adalah 761,28 kg/ha dengan
rata-rata produksi 2990,50 kg/ha, maka hasil produksi rata-rata padi lebih besar
dari titik impas produksi yaitu 2990,50 kg/ ha > 761,28 kg/ha sehingga usahatani
padi dikatakan menguntungkan untuk dilaksanakan. Jika dilihat dari nilai
signifikansinya maka titik impas produksi padi organik berbeda nyata secara
statistik dengan titik impas produksi padi konvensional.Penelitian Yasa,(2014) di
Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai
mendapatkan hasil bahwa total BEP produksi usahatani padi organik adalah
sebesar 3.957,9 kg dengan rata-rata 439,77 kg. Hasil produksi rata-rata padi
organik sudah lebih besar dari BEP produksi yaitu 3.619 kg > 439,77kg, sehingga
usahatani padi organik dikatakan menguntungkan untuk dilaksanakan. Jika
dibandingkan dengan penelitian ini maka nilai BEP produksi penelitian ini lebih
kecil daripada penelitian Yasa,(2014), dimana nilai BEP produksi 3.619 kg/ha,
sedangkan nilai BEP produksi dalam penelitian ini hanya 1.503,02 tetapi jika
dilihat dari rata-rata produksi usahatani padi maka hasil produsi rata-rata
penelitian ini lebih besar dibanding dengan nilai rata-rata produksi usahatani padi
Yasa, (2014), dengan nilai rata-rata 5812,79 kg > 439,77 kg/ha.
2. Analisis Titik Impas Harga (TIH)
Titik impas harga menunjukkan harga minimum yang harus dicapai pada
tingkat produktivitas aktual agar usahatani yang diusahakan oleh petani tidak
mengalami kerugian. Pada Tabel 4.5 menunjukkan titik impas harga padi organik
berbentuk gabah dan padi oeganik berbentuk beras di desa tersebut lebih rendah
dari harga pasar yang berlaku, sehingga usahatani yang dilakukan oleh petani
masih menguntungkan. Dari Tabel 4.5 menunjukkan rata-rata harga pasar gabah
sebesar Rp 5000 dan nilai BEP Harga Rp 1.293 dengan hasil rata-rata produksi
5812,79 kg/ha.
Penelitian Yasa, (2014) menunjukkan total BEP harga usahatani padi
organik adalah sebesar Rp 14.728 kg dengan rata-rata Rp 1.636 kg, dengan harga
jual rata-rata padi organik Rp 4.078/kg Break even point harga telah
dengan nilai BEP harga, sehingga usahatani padi organik layak untuk
dilaksanakan. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini nilai BEP Harga dari
penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yasa (2014), dimana nilai BEP Harga dari penelitian ini adalah Rp 1.293,
sedangkan nilai BEP Harga dari penelitian Yasa,(2014) adalah Rp 1.636, tetapi
jika dilihat dari harga pasarnya, harga pasar dari penelitian ini lebih besar daripada
penelitian Yasa (2014), dimana rata-rata harga pasarnya dari padi organik di desa
ketapang Rp 5000 sedangkan rata-rata harga pasar dari penelitian yang dilakukan
oleh Yasa 2014) hanya Rp. 4.078/kg. Jika dilihat dari nilai signifikansinya maka
titik impas harga dalam bentuk beras maupun titik impas harga dalam bentuk