• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pemikiran Sachiko Murata dalam Th

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep Pemikiran Sachiko Murata dalam Th"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PEMIKIRAN SOCHIKO MURATA DALAM THE TAO OF ISLAM

Latar Belakang

Sejak kehadiran Islam dengan nilai universal, salah satu visi dan misinya adalah kesetaraan dan keadilan gender. Rasulullah Saw senantiasa memberikan perhatian khusus dalam beberapa problema kontekstual sebagai bentuk pentingnya mengubah cara pandang dan cara memperlakukan perempuan dan laki-laki; dan sepanjang lintasan sejarah pra-Islam selalu antara keduanya diperlakukan berbeda. Perempuan tidak mendapatkan hak-hak dasar yang sama dengan laki-laki. Namun demikian, hingga saat ini pesan moral Islam tersebut belum terwujud sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya masih tersisa masalah kesenjangan gender yang memerlukan perhatian serius oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.1

Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender yang telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan ketidak seimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan kaum perempuan dalam konteks sosial menyebabkan sejumlah persoalan.2Kebanyakan aplikasi dan

implikasi pada permasalahan gender telah mengerucut kepada ketidakadilan (gender in-equalities). Ketidakadlan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya subordinasi, marginalisasi, beban kerja lebih banyak, dan stereotipe.3

1 Mufidah Ch, Gender di Pesantren Salaf Why Not ?, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. v.

(2)

Kesetaraan gender merupakan pokok pembahasan yang kontroversial. Dari munculnya berbagai macam pemikiran dengan pendapatnya yang khas. Pada awalnya persoalan ini muncul akibat dari ketidakpuasan kaum hawa sebagai the second sex. Baik secara biologis yang menyebabkan perbedaan alami antara pria dan wanita (nature), maupun budaya yang turut membentuk konsep gender,

memposisikan kaum wanita di bawah laki-laki. Kemudian para feminis mencoba membuat teori-teori yang mencoba mencari kesamaan dan kesetaraan antara dua tipe seks dan gender ini.

Namun kemudian, teori-teori ini pada akhirnya hanya akan menghasilkan konsep yang mencoba menafikan fungsi dan peran wanita yang khusus dilebelkan padanya. Seperti konsep yang diusung Sulamith Firestone mengenai revolusi produksi yang menyatakan bahwa wanita berhak menolak untuk tidak hamil. Kemudian Kata Mullet yang mencoba mengasimilasikan feminis ke dalam maskulin sehingga yang ada di dunia ini hanyalah sifat maskulin yang tentunya hal ini akan menafikan sifat feminin dengan berbagai kelebihannya sendiri yang kemudian konsep ini ditentang oleh Marlyn French dengan alasan bahwa proses asimilasi tersebut akan menghasilkan krisis teologi (alam), sehingga ia menciptakan konsep baru yang merupakan kebalikannya yaitu mengasimilasikan sifat maskulin ke dalam sifat feminin hingga memunculkan konsep ecofeminism. Namun hal ini pun

dianggap terlalu mengunggulkan kaum perempuan dan kefemininannya sehingga kesemuanya ini tidak menghasilkan suatu kesetaraan dalam keragaman yang akan menghasilkan keharmonisan ekologi dan sosial.

Fenomena yang terjadi masih terdapat kasus-kasus yang berakar dari diskriminasi gender hampir dapat dijumpai dengan mudah dalam kehidupan. Kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi terhadap perempuan dan anak-anak dalam berbagai bentuk telah banyak terjadi. Salah satu faktor penyebab diskriminasi gender di atas bisa berakar dari pemahaman teks suci ajaran agama yang dipahami

(3)

secara bias gender sehingga salah satu jenis kelamin lebih diunggulkan dari jenis kelamin lainnya, atau jenis individu yang satu lebih diunggulkan dari jenis individu lainnya, atau unsur yang satu lebih diunggulkan dari unsur lainnya. Atau

dikarenakan perbedaan dan kesalahan dalam mempersepsikan serta memberikan penilaian terhadap permasalahan gender, oleh karena itu perlu dibutuhkan sebuah relasi yang dapat memberikan pemaknaan sessungguhnya mengenai konsep gender. Dengan demikian diperlukan perspektif baru dalam memahami teks suci tersebut agar selaras dengan nilai-nlai Islam yang agung, juga sebagai solusi atas problem sosial berbasis gender di tengah masyarakat.4

Namun masalah gender ini ternyata bukanlah sekedar masalah soal perempuan, atau perbedaan jenis kelamin atau perbedaan jenis dan jenjang sosial yang lainnya, melainkan juga masalah mengenai konsep kosmologi dan teologi dalam Islam. Seperti yang ditemukan dan diteliti oleh Sachiko Murata yang telah membahas perspektif relasi gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam yang beliau tulis dalam bukunya yang berjudul “The Tao of Islam”.5

Kesetaraan dalam keragaman yang akan menghasilkan keharmonisan ekologi dan sosial agaknya hanya akan bisa terwujud jika masing-masing dari seks dan gender memposisikan dirinya sesuai dengan fungsi dan perannya. Konsep yang mencoba menguraikan hal ini adalah konsep relasi gender yang dikemukakan oleh Prof. Sochiko Murata, seorang pemikir Jepang yang mencoba menguraikan relasi gender dengan menggunakan konsep kosmologi Cina yaitu yin (feminis )dan yang (maskulin)

4 Mufidah Ch, Op. Cit, hlm. vi.

(4)

Kosmologi Cina melukiskan alam semesta dalam batasan kerangka yin dan

yang bisa dipahami sebagai prinsip-prinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif atau pria dan wanita. Yin dan yang merangkul satu sama lain dalam keselarasan, dan perpaduan keduannya menghasilkan segala sesuatu yang ada, yang ia sebut dalam bukunya The Tao Of Islam dengan Sepuluh Ribu Hal. Symbol terkenal Tai Chi, atau Tao, melukiskan yin dan yang sebagai gerakan dan perubahan yang konsultan. Dalam fenomena tertentu, hubungan antara yin dan yang terus-menerus berubah. Karena itu, seluruh alam semesta berubah setiap saat, bagaikan sungai yang

mengalir. Dari sini penting kiranya mengulas konsep relasi gender yang ditawarkan oleh Prof. Sochiko Murata yang dituangkan dalam karyanya The Tao Of Islam.

Sachiko Murata telah memberikan gambaran bahwa antara gender dengan kosmologi, teologi, seni, agama, filsafat, etika, termasuk relasi gender yang kesemuanya disusun menjadi suatu rangkaian kesatuan yang mengagumkan.6

Pendekatan yang dipakai oleh Prof. Sachiko Murata untuk menjelaskan relasi gender adalah dengan memakai prspektif kosmologi Islam. Pendekatan ini bisa dianggap kurang lazim atau relatif belum banyak dibaca di Indonesia. Apa yang djelaskan oleh Sachiko Murata yang membuktikan bahwa maskulinitas dan feminitas pada tataran manusia masing-masing mempunyai sisi positif dan sisi negatif, yang keduanya saling melengkapi. Begitu pula dengan yin dan yang, feminitas dan maskulinitas, mikrokosmos dan makrokosmos, jamal dan jalal. Keseimbangan yang selalu terlahir dan tercipta baik di alam lahiriah dan alam batiniah. Dengan kata lain esensi tujuan hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi insan kamil.7

6 Sachiko Murata, The Tao of Islam, edisi terjemah cet VII, penterjemah: Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 7.

(5)

Sachiko Murata juga menekankan dalam bukunya bahwa tidak ada satu pun ayat dalam nash-nash al-Qur’ân yang tidak mempunyai makna, karena itu semua berasal dari Allah Swt. Murata telah menujukkan sikap obyektif terhadap apa yang dikajinya, ia tidak menafsirkan al-Qur’ân dan Hadîts menurut pikirannya, melainkan ia bergantung sepenuhnya kepada nash-nash al-Qur’ân.8 Relasi gender yang

dikemukakan adalah merupakan bentuk manisfestasi dari al-Qur’ân sendiri sebagai kitab rujukan bagi seluruh umat manusia. Buku “The Tao of Islam” telah banyak memberikan bukti-bukti ilmiah mengenai relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam, tanpa mengubah atau memutar-mutar makna al-Qur’ân dan Hadîts tidak menurut pada tempatnya. Buku ini juga banyak membahas tentang laporan ilmiah yang telah diteliti oleh Prof. Sachiko Murata mengenai relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam.

A. TIGA REALITAS

1. Tanda-tanda di Cakrawala dan Jiwa

Sebelum membahas tentang tanda relasi gender dalam tiga realitas (Allah, Makrokosmos, dan Mikrokosmos), maka terlebih dahulu mengetahui bagaimana arti dari makna-makna tersebut.

Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, dan perbedaan jenis kelamin.9 Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum

laki-laki dan perempuan (masculine and feminine) yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang perbedaan fungsi peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan (social contributionmasculine and feminine)10, bentuk sosial perempuan adalah sebagai makhluk yang lemah lembut,

8Ibid, hlm. 11.

(6)

cantik, emosional, dan keibuan; sedangkan bentukan sosial laki-laki adalah makhluk yang dianggap kuar, rasional, jantan, dan perkasa.11

Namun di dalam buku “The Tao of Islam”, konsep gender lebih meluas dan universal. Istilah gender dipakai oleh Prof. Sachiko Murata untuk memaknai Makrokosmos dan Mikrokosmos yang draf kontennya lebih merujuk kepada berlainan identitas dan cakupan, namun keduanya adalah merupakan jenis yang sama. Murata lebih menekankan gender kepada aspek mayor (makrokosmos) dan aspek minor (mikrokosmos yang terkandung di alam semesta ini.

Dalam sebagian besar teks-teks Islam, ada tiga realitas dasar yang selalu dipegang; yaitu Allah, kosmos (makrokosmos), dan manusia (mikrokosmos). Kita bisa menggambarkan ketiganya ini sebagai tiga sudut dari sebuah segitiga. Yang secara khusus manrik ialah hubungan yang terjalin diantara ketiga sudut itu. Allah yang berada di puncak dan merupakan sumber yang menciptakan kedua sudut yang ada dibawahnya, karena baik makrokosmos maupun mikrokosmos adalah realitas-realitas deveriatif. Istilah “cakrawala dan jiwa” (al-âfâq wa al-anfus) adalah bentuk deveriatif dari makrokosmos dan mikrokosmos12terungkap dalam al-Qur’ân dalam

QS. Fushilât ayat (41) ayat 53:13

11Ibid, hlm. 5.

12Ibid, hlm. 47.

(7)









Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi (cakrawala) dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa

Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”.

“Tanda-tanda” (âyât) Allah yang dijumpai baik di dalam maupun di luar diri manusia, merupakan salah satu tema yang diulang-ulang dalam al-Qur’ân. al-Qur’ân menggunakan istilah “tanda” dalam bentuk tunggal maupun jamak sebanyak 288 kali dalam beberapa makna yang berkaitan erat. Sebuah tanda adalah fenomena yang memberitahukan ihwal Allah. Tanda itu bisa berupa nabi, risalah nabi, mukjizat nabi, atau berbagai hal yang ada di dalam alam. Ia bisa bertalian dengan alam lahiriah, makrokosmos, atau alam batiniah, mikrokosmos.14 Pada QS.

Aż-Żâriyât (51) ayat 20-2115:





Artinya: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak

memperhatikan?”.

Singkat kata segala sesuatu pada alam semesta adalah tanda Allah. Banyak dalam ayat al-Qur’ân mengungkapkan gagasan bahwa semua obyek alam adalah tanda-tanda Allah. Sangatlah penting memahami gagasan ini sebagai fondasi pemikiran Islam, karena menetapkan hubungan antara Allah dan kosmos dalam terma-terma yang pasti.Manakala al-Qur’ân memerintahkan manusia untuk melihat

14 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 48.

(8)

segala sesuatu sebagai tanda-tanda Allah, maka ini berarti bahwa al-Qur’ân mendorong manusia untuk memahami segala sesuatu bukan melulu tentang obyeknya sendiri, melainkan juga tentang apa yang dapat diterangkan mengenai sesuatu diluar dirinya. Menurut definisi, Allah tidaklah tampak, namun jejak-jejak dan isyarat-isyarat dari ciptaan-Nya yang mengagumkan, bisa menghasilkan

pemahaman tentang Allah16, ciptaan-Nya saja begitu indah, begitu sempurna, begitu

rapi, begitu canggih, apalagi jika Allah sendiri sebagai wujud asli dari Tuhan. Keberadaan wujud Allah menjadi “silau” oleh pandangan makhluk dikarenakan begitu sempurna diri-Nya, jika kita merenungkannya.17

Berbagai diskusi dan penelitian tentang makna fenomena tanda dalam mikrokosmos dan makrokosmos seing kali tidak berhubungan dengan apa yang disebut “evaluasi ilmiah”. Teks-teks itu lebih berurusan dengan penilaian ketersalinghubungan antara alam nyata (al-syahâdah) dan alam gaib (

al-ghayb).Alam gaib adalah sebuah wilayah yang bukan saja tak terjangkau oleh panca indra manusia, melainkan juga tidak bisa dijangkau secara definitif apapun

instrumen ilmiah yang digunakan untuk mencarinya. Akan tetapi, wilayah gaib dapat dijangkau oleh wilayah yang sama dalam mikrokosmos, dalam keadaan tertentu ruh manusia bisa dimengerti oleh realitas-realitas ilmiah.18

16 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 48.

17 Kadang kala banyak sekali orang memikirkan bagaimana dzat Allah Ta’ala yang sebenarnya, sampai ia menjadi bingung, gundah, ruwet, kalang kabut, dan berujung kepada kegilaan dan stress. Hal ini diakibatkan oleh karena terlalu banyak memikirkan dzat Allah Ta’ala dengan wujud aslinya, tanpa memikirkan dzat Allah dari keindahan ciptann-Nya, kesemprunaan ciptaan-Nya, kecanggihan ciptann-Nya, dan kemegahan ciptann-Nya, sehingga banyak sekali orang yang terjebak dalam kemusyrikan. Dikarenakan keterbatasan akses kemampuan manusia, dan juga karena manusia itu sendiri adalah ciptann-Nya.

(9)

Hal inilah yang berusaha dijelaskan oleh Sachiko Murata bahwa adanya tanda-tanda Allah dalam makrokosmos dan mikrokosmos adalah ada, dan terukur serta teruji secara ilmiah melalui berbagai argumen dan penelitian ilmiah. Namun kesempurnaan ciptaan Allah ini belum mampu diteliti secara keseluruhan secara mendetail oleh manusia, dikarenakan keterbatasan kemampuan manusia. Namun oleh Sachiko Murata berusaha menjelaskan bahwa kekuasaan Allah adalah benar adanya dan ke-Maha Agungan Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya.

2. Keserbamencakupan Manusia

Dalam refrensi dan ilmu pengetahuan mengenai makhluk ciptaan Allah, manusia menempati posisi khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Sifat posisi ini diungkapkan banyak cara, seperti pada “Amanat” yang diterima oleh manusia, tetapi ditolak oleh langit, bumi, dan gunung-gunung (QS. 33: 72).19 Hal ini

telah disebutkan oleh Sachiko Murata, bahwa Ibnal-‘Arabî yang menyatakan bahwa manusia sebagai “wujud serba meliputi” (al-kawn al-jâmi’).20 Itulah sebabnya Nabi

Saw bersabda bahwa Adam diciptakan dalam citra atau bentuk (shûrah) “Allah”, bukan dengan nama Ilahi lainnya. Semuanya ini disiratkan dalam kisah penciptaan Adam dalam al-Qur’ân, yang menyatakan bahwa Adam diajari “semua nama”.21

19Ibid, hlm. 59. Dalam al-Qur’ân Allah mengisahkan hal “Amanat” ini kepada manusia, dalam QS. al-Ahżâb (33: 72): “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”. Lihat dalam Depag RI, Op. Cit, hlm. 428.

20 Bandingkan dengan kalimat Fushûsh al-Hikam , tentang bagaiamana hikmah nama Allah dalam kata Adam. Austin menterjemahkan al-kawn al-jâmi’ dengan obyek serba meliputi (Austin RW.J. “The Feminine Dimensions in Ibn al-‘Arabi’s Thought”, Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society 2, 1984). Lihat juga dalam Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 61.

(10)







Artinya: “Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu

berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!".22

Manusia diciptakan dijelaskan oleh hadis tentang “Khazanah Tersembunyi”. Allah “ingin (atau “senang”) dikenal dan diketahui oleh makhluk-Nya, dan hanya manusia sajalah yang bisa mengenal dan mengetahui Allah dengan segala

kesempurnaan-Nya, yang memahami semua nama, sebab hanya manusia sajalah yang diciptakan dalam bentuk nama yang serba meliputi. Kecintaan Allah pada tipe pengetahuan yang bisa diaktualisasikan hanya oleh manusia. Jâmi’ berbicara untuk keseluruhan tradisi kearifan (hikmah).23 Sebuah temuan yang dikemukakan oleh

Sachiko Murata megenai hal ini, tertuang dalam matsnawi-nya Silsilat al-Dzahab, sebagai berikut:

“bahwa anak-anak Adam tidak mengetahui kesempurnaan dan ketidaksempurnaan mereka sendiri, karena mereka tidak diciptakan untuk diri mereka sendiri, dan mereka juga tidak diciptakan untuk selain diri mereka sendiri. Melainkan mereka diciptakan untuk diri-Nya sendiri (Allah), bukan untuk mereka (manusia). Dia (Allah) memberikan kepada mereka hanya apa yang pantas dan tepat bagi mereka agar bisa menjadi milik-Nya. Sekiranya mereka tahu bahwa mereka diciptakan untuk Allah, mereka pasti tahu bahwa Allah menciptakan makhluk-makhluk itu dalam bentuk yang paling sempurna”.24

22 Depag RI, Op. Cit, hlm. 7.

23 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 61.

(11)

Manusia selalu percaya, bahwa mereka diciptakan untuk diri mereka sendiri. Apa saja yang mereka pandang tepat dan pantas, mereka

memandangnya sebagai baik dan sempurna. Namun, apa saja yang mereka pandang tak tepat dan tak pantas, mereka golongkan sebagai tidak

sempurna. Tapi kepercayaan sendiri ini salah, sebab mereka diciptakan untuk Allah dari eksistensinya. Dari eksistensi segala sesuatu, Allah hanya menginginkan manifestasi seluruh nama atau sifat-Nya.25

Makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) adalah berasal dari nama-nama Allah (bagi yang menghendaki dengan cara menempuh jalan kebaikan), bukan nama-nama yang berasal dari spekuliasi manusia, karena dosa manusia.26 oleh karena itu apa yang ada di dalam diri manusia adalah

merupakan manifestasi dari nama-nama dan sifat Allah yang Allah sendiri tuangkan dalam penciptaan-Nya.

Dari berbagai penjelasan yang diungkapkan oleh Sachiko Murata di atas telah menunjukkan bahwa manusia mempunyai keserbacakupan dalam

eksistensi dirinya diciptakan. Manusia diciptakan bukanlah untuk diri mereka sendiri, atau untuk alam semesta, untuk pasangan mereka, ataupun untuk makhluk lainnya, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk diri-Nya, sebagai manifestasi bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang menguasi kerajaan di langit dan di bumi.

25Ibid, hlm. 61.

26 Sejatinya, manusia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan (sesuai dengan fitrah

(12)

3. Turunan dari Segala Unsur (Makrokosmos dan Mikrokosmos)

Segala sesuatu dalam kosmos memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat Allah, sementara makrokosmos secara keseluruhan memanifestasikan sifat-sifat dari seluruh nama Allah. Begitu pula, segala sesuatu dalam diri manusia

memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat Allah, sementara individu secara keseluruhan sekurang-kurangnya dalam kasus mereka yang benar-benar manusia dan menjadi khalifah Allah memanifestasikan seluruh nama Allah. Karena itu, perbedaan antara manusia dan makhluk lainnya kembai kepada keutuhan manusia itu sendiri.27

Salah satu cara yang paling umum yang dilakukan oleh Sachiko Murata dalam melukiskan turunan unsur (makrokosmos dan mikrokosmos) adalah

membandingkan manusia dengan turunan-turunan unsur lainnya; mineral-mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan.28 Mineral adalah yang pertama kali muncul,

kemudian tumbuh-tumbuhan, hewan, dan kemudian manusia. masing-masing memiliki karakteristik bahwa dia-lah (manusia) yang pertama kali mendapatkan karakteristik. Karakteristik empat pilar adalah empat sifat; panas, dingin, basah, dan kering, dan transmutasi sebagian dirinya menjadi lainnya. Karakteristik tumbuh-tumbuhan adalah menyerap makanan dan tumbuh berkembang. Karakteristik hewan adalah sensasi dan gerakan. Karakteristik manusia adalah ucapan rasional (nuthq), refleksi (fikr), dan mendeduksi bukti-bukti logis. Karakteristik malaikat adalah tidak pernah mati. Manusia bisa mempunyai karakteristik semuanya ini. Manusia

mempunyai empat sifat, yang menerima transmutasi dan perubahan seperti empat pilar di atas. Sifat-sifat itu mengalami pertumbuhan dan kerusakan seperti mineral, megambil makanan dan tumbuh seperti tumbuh-tumbuhan. Manusia merasa

27Ibid, hlm. 62.

(13)

bergerak seperti hewan. Dan adalah dimungkinkan manusia juga bisa menjadi malaikat, sebagaimana yang dijelaskan dalam “Risalah tentang Kebangkitan” Ikhwanus Shofa.29

Penjelasan yang dikemukakan oleh Sachiko Murata merujuk pada sebuah surat dalam al-Qur’ân bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (yaitu terkompleks dan terlengkap dari makhluk lainnya seperti mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, dan lain-lain), yang menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling tertinggi derajadnya. Namun manusia juga akan menjadi turunan-turunan pembentuk manusia (mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan), manakala manusia tidak mau menempuh jalan yang Allah tunjukkan sebagai manusia yang sebenarnya.

4. Di balik Mitos Penciptaan Adam

Pemikiran Islam menempatkan manusia di titik pusat30,kaum muslim mesti

mencari pengetahuan untuk mengenal dan mengetahui Allah, kosmos, dan diri sendiri. Akhirnya pengetahuan tertinggi terletak dalam pengenalan diri sendiri, karena “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal

Tuhannya”.Mengetahui dan mengenal dirinya sendiri berarti antara lain mengetahui apa artinya menjadi manusia yang sebenarnya. Karena itu, mitos tentang penciptaan Adam adalah sebuah titik refrensi konstan dalam teks-teks Sachiko Murata.31

29 Manusia sejatinya adalah makhluk yang keserbamencakupan dari makhluk-makhluk lainnya. Kesempurnaan diciptakannya manusia juga mempunyai kerendahan manakala manusia memilih jalan yang tidak baik. Sachiko Murata mendefiniskan bahwa manusia bisa menjadi tumbuh-tumbuhan manakala manusia hanya tumbuh dan berkembang saja, manusia bisa menjadi hewan manakala kelakuannya dan tingkah lakuknya tidak mencerminkan yang baik; manusia juga bisa menjadi malaikat dna bahkan melebihi derajad malaikat manakala manusia menebarkan kebaikan dan membuat kebaikan selama hidupnya. (Dalam Ikhwân al-Shafâ, Rasâ’il, II 473). Lihat juga dalam Sachiko Murata, Ibid, hlm. 65.

(14)

Dalam menjelaskan mitos penciptaan Adam, Sachiko Murata terlebih dahulu mengemukakan QS. at-Tîn (95) ayat 4-5:32





Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”.

Nabi Bersabda seraya mengutip firman-Nya: “Aku mengolah tanah Adam dengan kedua tangan-Ku sendiri selama empat puluh hari”.33 “Yang paling rendah

dari yang rendah” sebagaimana disebutkan dalam QS. at-Tîn (95) ayat 4-5 tersebut, menurut intepretasi Râzî, “penurunan derajad manusia” ini berhubungan dengan meningkatnya kemajemukan, penyebaran, dan menjauh dari Dunia Ruh. Raga manusia termasuk dalam derajad rendah, sementara ruh manusia termasuk derajad tertinggi. Hikah yang ada di dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban beban Amanat yang diberikan Allah. Karena itu, mereka harus mampu mempunyai kekuatan dalam dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang mampu mengemban amanat, selain ruh-ruh manusia. Ruh manusia mempunyai kekuatan melalui esensi sifat-sifat runhya, bukan jasadnya.34

32 Depag RI, Op. Cit, hlm. 598.

33 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 66.

(15)

Ruh manusia berkaitan dengan derajat yang tertinggi dari yang tinggi, tidak ada sesuatu pun di dunia ruh yang bisa menyamai kekuatannya, baik itu malaikat, syetan, atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula derajat manusia berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang

mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan binatang buas atau lainnya.35

Dalam mengolah tanah, Adam, semua sifat syetan, hewan, binatang buas, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat “Dua tangan-Ku”. Karenanya, masing-masing sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luar. Dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sebuah sifat ilahi, sinar matahari (cahaya Ilahi) dapat mengubah batu granit menjadi kerang yang mengandung permata, akik, merah delima, zamrud, dan pirus. Adam dipilih karena “Aku mengaduk dan mengolah tanah Adam dengan kedua tangan-Ku” selama “empat puluh hari”, dan menurut sebuah hadis masing-masing hari itu sama dengan seribu tahun.36

Kutipan ini mengungkapkan penghormatan yang agung kepada manusia. Manusia diciptakan dalam citra Allah yang diwujudkan sampai bentuk kerangka tubuh, sekalipun terendah mempunyai tempat yang khusus di sisi Allah. Menurut beberapa hadis, selama empat puluh ribu tahun, kekuasaan Ilahi sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang sempurna melakukan pekerjaan-Nya guna membentuk air dan tanah Adam diantara Mekkah dan Thâ’if. Dalam dimensi-dimensi batiniyah dan lahiriyah, kekuasaan Ilahi membentuk dan memasang berbagai cermin sesuai dengan sifat-sifat Ilahi. Setiap cermin adalah lokus atau tempat manifestasi bagi salah satu sifat ketuhanan.37

35Ibid, hlm. 67.

(16)

Dalam mitos penciptaan Adam, Allah memperlihatkan ribuan kebaikan dan kelembutan pada jiwa dan kalbu Adam di alam Gaib dan alam Nyata, dibalik kehawatiran para malaikat. Namun, tidak ada satupun malaikat yang diberi tahu tentang ihwal rahasia penciptaan manusia ini. Tak satu pun dari mereka yang mengenal Adam. Satu per satu mereka lewat di depan Adam. Mereka mengatakan, “Gambar aneh apa yang tengah diciptakan Allah?”. Di bawah bibirnya, Adam berkata, “Meski kalian tidak mengenalku, aku kenal kalian. Tunggu saja sampai aku bangun dari tidur nyenyakku ini. Akan kusebutkan nama kalian satu demi satu”. Dalam hal inilah Râzî menjelaskan bahwa Adam diciptakan atas citra dan kekuasaan dari Allah secara langsung.38

Dalam mitos penciptaan Adam ini, Sachiko Murata mengungkapkan esensi unsur Iblis sebagai perbandingan makhluk ciptaan Allah. Iblis disebut juga sebagai mikrokosmos, jiwa rendah, yang disebut dengan “jiwa yang menyuruh pada

kejahatan” (al-nafs al-ammârah), memahami hanya “bentuk/ fisik/ dhahir/ lahiriah” (shûrah) dari segala sesuatu, bukan “makna” (ma’nâ)-nya. Iblis tidak mempunyai cahaya akal (‘aql), sekalipun dia cerdik dan licik, dan karena itu dia tidak sanggup memahami maksud tanda-tanda Allah. Dia melihat konteks langsung dari segala sesuatu, tapi tidak mampu memahami awal dan akhir segala sesuatu. Maka tidak heran jika Jalaludin Rûmi menyebut Iblis sebagai makhluk bermata satu.39

Dari berbagai bentuk kecemburuan Iblis dan Malaikat mengenai penciptaan Adam, maka dalam prosesnya kedua jenis makhluk ini senantiasa melakukan

38Ibid, hlm. 69.

(17)

penyelidikan mengenai struktur penciptaan Adam, baik struktur raga maupun jiwa (ruh). Dari berbagai bentuk penyelidikan tersebut, ternyata ditemukan bahwa antara struktur tubuh Adam yang mikrokosmos adalah sepadan, sebanding, dan sama intensitasnya dengan struktur Alam Semesta yang makrokosmos. Hal ini telah menyebutkan bahwa Allah telah memilih Adam yang konsepsinya bentuk manusia adalah makhluk terbaik diantara seisi alam dan diantara semua makhluk-Nya.40 B. BAGIAN II: TEOLOGI

1. Dualitas Ilahi

Dalam buku The Tao of Islam, Sachiko Murata menjelaskan beberapa permasalahan teologi yang mungkin banyak mengejutkan orang. Sachiko Murata mendefinisikan dualitas ilahi sebagai realitas antara Tuhan dan Kosmos (alam semesta).

Ketikan “Tuhan” disebut-sebut dalam konteks pemikiran Islam, kata itu bisa dipahami dari dua sudut pandang. Kita bisa memandang Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri, dimana kita mengesampingkan kosmos, yakni “esensi dari Dzat Allah”, yang semua pemikir Muslim telah sepakat bahwa esensi dari Dzat Allah tidak bisa diketahui melainkan hanya dengan memahami apa yang terkandung dalam kosmos tersebut. Pada saat yang sama, mestilah diingat bahwa “dualitas” ini tak pernah mengimplikasikan pemisahan mutlak. Yang dibicarakan di sini adalah polaritas, atau dua dimensi komplementer dari realitas tunggal. Jika kita

menggunakan istilah dualitas, maka ini disebabkan teks-teks itu umumnya berbicara tentang dua prinsip.41

Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan. Untuk bisa memahami Tuhan, maka harus mengerti keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri dalam memahami Tuhan. Menurut perspektif

40Ibid, hlm. 69-72.

(18)

keterbandingan, “Tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali diri-Nya sendiri”. Karena itu, kita mempunyai dua macam pengertian tentang Tuhan; Tuhan dalam konsepsi manusia, dan Tuhan yang hakiki, yang berada jauh di luar konsepsi manusia. Sachiko Murata,mengatakan bahwa: “Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan konsepsi saya. Tuhan yang lainnya (maksudnya Tuhan yang hakiki) tidak bisa kita pahami, baik oleh saya maupun Anda”. Karena itu kita tidak bisa

membicarakan tentang-Nya secara bermakna. Tidak ada seorang pun yang mampu menjelaskan ini secara lebih baik melebihi Ibn al-‘Arabi.42 Hal ini yang menjelaskan

diskursus mengenai pemaknaan Tuhan dan esensi-Nya.

Dalam pengertian pertama, Allah menciptakan alam semesta dan bisa diketahuinya melalui-Nya. Dalam pengertian kedua, Allah juga tidak tergantung pada alam semesta serta tidak membutuhkannya. Dia (Allah) menjaga jarak dari segenap makhluk-makhluk-Nya, bukan lantaran Dia tersembunyi atau kikir,

melainkan lantaran makhluk-makhluk-Nya sama sekali berbeda dari-Nya dan tidak sangup meliputi realitas-Nya.43

Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan untuk membedakan ke Esaan Nya dengan kejamkan makhluk-makhluknyaNya. Ciptaan itu mustahil tampa adanya dualitas, sebab hanya tuhanlah yang tunnggal. Tampa wanita, pria bukanlah seorang pria, sebab dia didenefisikan oleh wanita. Keberadaan kosmos, tidak ada tuhan tanpa wanita, tidak ada pria.

Maka manusia dijadikan wakil tuhan di bumi sebab mereka diciptakan dalam bentuk ilahi dan mewujudkan apa yang dimiliki oleh kedua tangan tuhan

dicerminkan dalam tabiat ganda dari dua ruh, sebagaimana yang diwakili oleh ruh terbesar (akal pertama) dan jiwa universal. Melalui jaraknya dari penciptaan, ruh

42Ibid, hlm. 80.

(19)

mencerminkan keagungan dan kecerdasan sebaliknya, jiwa mencerminkan sifat-sifat pemeliharaan yaitu kelembutan dan kebaikan melalui kedekatan relatifnya dengan penciptaan, keserbagunaan, dan perbedaan. Ruh dan jiwa selanjutnya dicerminkan dalam diri pasangan manusia. Adam dan Hawa, dalam ruh dan jiwa setiap individu manusia, baik pria maupun wanita mewujudkan ruh dan jiwa setiap individu manusia baik pria maupun wanita mewujudkan ruh dan jiwa, namun ruh mendominasi pria sementara jiwa mendominasi wanita.

Dalam konteks Tao, begitu kita menyebut Tao, kita perlu mengetahui dan mengenal Tao di balik nama-nama, Tao tidak ternamai dan tidak terpahami. Tao yang bisa kita namai mensyaratkan adanya yin dan yang, karena keduanya bersifat inheren dalam dirinya sendiri. Karena itu, kita mulai dengan dualitas ganda: pertama, Tao yang bisa dinamai dan Tao yang tak bisa dinamai, dan kedua, yin dan

yang yang mendefinisikan hukum-hukum dari Tao yang bisa dinamai.Jika kita mengesampingkan Tuhan yang tak bisa diketahui dan mengacu pada Tuhan yang bisa diketahui, maka kita mempunyai dua perspektif yang sama: Kita mengetahui bahwa pengetahuan kita tentang Tuhan masih kurang, yakni bahwa Dia tak bisa dibandingkan. Pada saat yang sama, kita juga tahu bahwa kita bisa mengetahui sesuatu tentang-Nya, yakni bahwa Dia adalah serupa. Karena itu, kita jumpai adanya ketakterbandingan dan keserupaan pada tataran yang berbeda.

Dualitas Ilahi menurut Sachiko Murata juga termaktub dalam kebermaknaan “Allah dan Hamba”. Dalam tradisi intelektual, berbicara tentang kosmos sama artinya dengan berbicara tentang Tuhan, karena kosmos adalah segala sesuatu selain Tuhan. Malahan bagi Islam, tidak ada artinya sama sekali berbicara tentang kosmos tanpa berbicara tentang Allah. Artinya Allah dan kosmos merupakan dua bentuk yang berbeda namun merupakan sebuah relasi realitas yang tidak terpisahkan.44

Sachiko Murata mengemukakan hubungan timbal balik antara Tuhan dan manusia di satu pihak, dan antara pria dan wanita di pihak lain. Dalam kaitannya dengan realitas, wanita identik dengan pria,

(20)

namun dalam kaitannya dengan entifikasi, masing-masing berbeda satu sama lainnya. Pada akarnya, wanita menjadi terwujud karena pria, maka dia seperti menjadi bagian darinya. Wanita menjadi terpisah dan terwujud dalam bentuk feminim.

Dengan mengutip dari Kasyâni, Sachiko Murata menjelaskan bahwa ada persesuaian dan bentuk antara pria dan wanita, sebagaimana ada persesuaian antara Tuhan dan manusia:45 “Bentuk adalah persesuaian

yang paling besar, agung dan sempurna. Sebab ia adalah “salah satu dari pasangan” (zauj). Dengan kata lain, ia membuat zat yang nyata menjadi dua. Dengan cara yang sama, wanita membuat pria menjadi dua melalui eksistensinya. Wanita mengubahnya menjadi salah satu dari pasangannya”.

Dengan kata lain, bentuk manusia membuat bentuk dari Yang Maha Pengasih menjadi salah satu dari pasangan, sebagaimana bentuk wanita membuat bentuk pria menjadi salah satu dari

pasangan. Di sini, Sachiko Murata memahami ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi, mengenai kebutuhan Tuhan akan seorang pelayan dan kebutuhan Tuhan akan hamba Ilahi. Sebaliknya, kaum wanita (sebagai Yin) mempunyai keunggulan dari kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuan di bidang lahiriah. Jadi mereka tidak begitu berkecenderungan untuk membuat tuntutan-tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mereka

mempunyai keuntungan dari semacam sifat bawaannya sebagai hamba.

Dengan kata lain, suami mempunyai kewajiban

untuk mengumpulkan kekayaan demi isterinya, dan isteri berkewajiban untuk melayaninya karena ini. Tetapi karena suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada mereka dalam keunggulan, sementara kaum wanita mendapatkan manfaat / keistimewaan (maziyyah) dari kelebihan (da’f) dan ketidakmampuan yang mendasar

(21)

(‘ajz al-Basyariyyah). Sehingga menurut Sachiko Murata, dengan menyebut kelemahan wanita sebagai kelebihan.46

berarti menyinggung suatu pandangan positif dari realitas Yin. Ini adalah pandangan khas dari suatu pendekatan terhadap al-Quran dengan mencari makna batinnya.

Sachiko Murata, dengan merujuk pada Ibn ‘Arabi, menjelaskan tentang keunggulan (derajat) kaum pria di atas kaum wanita dengan mengkaitkannya pada beberapa “hubungan” yang ada, pertama, dalam hubungan yang ditimbulkan melalui penciptaan Hawa melalui Adam. Kedua, Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi. Ketiga, Ibn ‘Arabi menganggap tingkat pria di atas kaum wanita mengingat kenyataan bahwa kosmis tidak akan pernah

mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin di antara mereka : penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4).

2. Dua Tangan Allah

Dalam banyak ayat al-Qur’ân, banyak sekali disebutkan mengenai istilah “tangan” dan “dua tangan” dan juga “kanan dan kiri”. Istilah-istilah dalam al-Qur’ân tersebut mengandung unsur lebih dalam memaknai sebuah kata. “Dua tangan Allah” yang dimaksudkan dalam berbagai literatur dan hadis, sama sekali tidak seperti tangan manusia. Beberapa ulama terdahulu berpandangan bahwa tidak ada arti khusus dalam fakta bahwa tangan harus dua. Akan tetapi, Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya sangat tertarik pada setiap nuansa teks al-Qur’ân yang menyebutkan bahwa Allah mempunyai “tangan dua”.47

46 M. Dawam Raharjo, mengupamakannya seperti bayi, di mana ia merupakan lambang manusia yang tidak berdaya (Yin). Dia tidak bisa apa-apa, biasanya hanya menangis. Tapi justru dalam hubungan pria-wanita. Kaum wanita, sebagai Yin, dengan kelemahannya, pada akhirnya menuntut perhatian dari kaum pria (Yang). Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”, dalam Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994, hlm. 50.

(22)

Dalam al-Qur’ân jarang menyinggung dua tangan Allah dengan menggunakan bentuk dualitas dari kata yad (lihat dalam QS. 5: 64; yang

menjelaskan bahwa: “Dua tangan-Nya terbuka, Dia menafkahkan sebagaimana yang dikehendaki-Nya”), memang menyebut-nyebut tangan kanan dan tangan kiri Allah. Ternyata kata “dua tangan Allah” ini mengandung semantika bahasa dan pemaknaan yang sangat luas, sehingga dalam al-Qur’ân tangan kanan atau golongan kanan dimaknai dengan kata “yamîn”, (disebut dalam al-Qur’ân 44 kali) yang berarti bahwa menunjukkan makna nasib yang baik atau peruntungan yang baik; dan tangan kiri atau golongan kiri dimaknai dengan kata “syimâl” yang berarti bahwa menunjukkan makna nasib buruk atau kemalangan.48 Ternyata bukan masalah

golongan kanan dan kiri sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Wâqi’ah (27-43). QS. al-Hâqqah (18-26), dan juga QS. al-Isrâ’ (71) dan juga di surat lainnya, melainkan juga pada pemaknaan setiap pekerjaan yang dimulai dengan tangan kanan (baik dalam sholat, masuk masjid, makan, memakai pakaian, memakai sepatu, dan lain-lain) adalah digunakan untuk kegiatan yang mengandung

kebersihan, kesucian, dan juga kebaikan. Sedangkan pemaknaan setiap pekerjaan yang dimulai dengan tangan kiri (membersihkan diri setelah pergi dari jamban, dan lain-lain) adalah digunakan untuk kegiatan yang mengandung noda, kotoran, dan juga kejelekan.49 Realitas pemaknaan dua tangan Allah juga mengandung implikasi

bahwa adanya surga dan neraka.50

48

Ibid, hlm. 122.

49

Ibid, hlm. 123.

(23)

Dari berbagai argumen tersebut, rupanya Sachiko Murata ingin memaparkan dan menjelaskan adanya kekuasaan Allah di balik rahasia “Dua tangan-Nya”, dengan segala kekuasaan-Nya dan kebesaran-Nya, sehingga menimbulkan banyak pemaknaan dan realitas yang terjadi di alam ini, baik di dunia maupun di akhirat.

Kesimpulan

Dari penjelasan penulis mengenai The Tao of Islam dari Sachiko Murata, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Sachiko Murata tidak hendak mementahkan ajaran Islam yang sudah sempurna berabad-abad lamanya, tetapi di sini Sachiko Murata berusaha memaparkan sebuah data penelitian bahwa Islam adalah agama yang rahmat bagi semesta alam, cakupan dalam Islam sangat luas dan sangat luar biasa, sehingga menarik untuk di teliti. Terutama dalam hal ini mengenai relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam, seperti yang telah dikemukakan oleh Sachiko Murata di atas.

Konsep teologi Islam dalam memandang perempuan terlihat dalam tujuan penciptaan manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama yakni untuk menjadi ’abd dan khalifah. Hal ini karena seluruh manusia berasal dari sumber yang satu yaitu Tuhan, berarti manusia seluruhnya adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian seluruh manusia adalah sama-sama makhluk Tuhan. Adanya keyakinan itu mengasumsikan bahwa ciptaan-Nya juga pada hakekatnya adalah suatu kesatuan. Pandangan ini membawa pada kesimpulan bahwa seluruh jagad raya (universe) termasuk di dalamnya seluruh umat manusia apapun bangsa dan bahasanya adalah merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai kedudukan yang sama.

(24)

Al-manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ’abd dan khalifah. Menyaksikan Tuhan dari segi Dzatnya adalah mustakhil, tetapi

menyaksikan Tuhan dari segi penampakan diri-Nya (tajalli) adalah mungkin. Artinya Tuhan menampakkan diri-Nya pada segala sesuatu yang diciptakan. Sehingga Tuhan dapat disaksikan pada lokus penampakan diri-Nya. Salah satu kelebihan yang dimiliki perempuan menurut Ibnu Arabi adalah kenyataan bahwa perempuan dibuat dicintai bagi laki-laki khususnya Nabi Muhammad SAW, karena perempuan adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna dalam kosmos yakni lokus penerimaan aktivitas (mahall al-infi’al) yang paling sempurna.

Dengan demikian perendahan terhadap kualitas feminim perempuan bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminim Tuhan. Atas dasar hal tersebut, diskriminasi jender sesungguhnya tidak memiliki legitimasi teologis tetapi justru pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh. Alasannya, relasi jender secara mengesankan telah direpresentasikan oleh Tuhan sendiri.

DAFTAR RUJUKAN

Ch, Mufidah 2010. Gender di Pesantren Salaf Why Not ?. Malang: UIN-Maliki Press.

---. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing. Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:

Gramedia.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM-Press.

Leman. The Best of Chinese Life Philosophies. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. cet. 3. 2007.

Murata, Sachiko. 1998. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relation in Islamic Though. Diterjemahkah oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah dengan judul The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. Bandung: Mizan.

(25)

---. Chinese Gleams of Sufi Light. 2003. Diterjemahkan oleh Susilo Adi dengan judul Kearifan Sufi dari Cina. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sumbulah, Umi. 2008. Spektrum Gender: Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi. Malang, UIN-Malang Press.

Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina.

Fakih, Mansour,1997. Analisi Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Ibn al-‘Arabi, 1980 Fushus al-Hikam. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu, manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menegaskan bahwa alam semesta ini diciptakan untuk kepentingan manusia.Karena diantara ciptaan Allah manusialah makhluk

Cita-cita kegiatan ekonomi menurut Islam bukanlah menciptakan persaingan, monopoli ataupun sikap mementingkan diri sendiri Tetapi bertujuan untuk

Dengan cara pandang kosmos-sentris, ternyata teknologi tidak hanya mencakup produk-produk teknologis yang diciptakan manusia. Semesta dan segala macam elemennya dalam

Ilmu pengetahuan muncul dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap alam semesta bererta isinya, karena manusia berbeda dengan makhluk lainnya manusia memiliki nalar, naluri

Sedangkan perbedaan dari penelitian ini adalah Kajian pemikiran konsep ihsan dalam pemikiran Sachiko Murata dan William C Chittick tentang ihsan dan relevansinya dengan

Teori penciptaan dalam Islam adalah kepercayaan bahwa alam semesta (termasuk umat manusia dan semua makhluk yang lain) tidak hanya yang diciptakan oleh Allah,

Kita harus memiliki akhlak yang terpuji terhadap binatang. Alam heani sengaja diciptakan oleh Allah bagi kepentingan makhluk hidup lainnya, khususnya manusia. Manusia juga