• Tidak ada hasil yang ditemukan

83025284 NASIONALISME dan id. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "83025284 NASIONALISME dan id. docx"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

NASIONALISME

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam arti sederhana, nasionalisme adalah sikap mental dan tingkah laku

individu atau masyarakat yang menunjukkan adanya loyalitas atau pengabdian yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Rasa nasionalisme harus ada pada diri setiap masyarakat suatu negara untuk mencintai negaranya. Setiap warga negara tanpa terkecuali anak muda atau remaja yang tinggal di dalam negara tersebut harus mempunyai rasa nasionalisme. Hal itu dapat membangun negara yang kokoh dan sesuai cita-cita bangsa maupun negara. Jika di dalam diri seseorang tidak ada rasa untuk mencintai tanah airnya maka negara akan hancur lebur.

Di dalam sikap atau rasa nasionalisme pasti terdapat rasa atau sikap patriotisme kepada negara. Kedua sikap tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Jika di dalam diri seseorang hanya terdapat rasa nasionalisme dan tidak ada rasa patriotisme, maka hal tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar. Dan negara tidak akan maju dan makmur. Jadi, kedua sikap itu harus ada di dalam diri masyarakat suatu negara,

utamanya anak muda, karena mereka adalah generasi negara di masa depan. Maka, di dalam diri remaja harus ditanamkan rasa nasionalisme dan patriotisme sejak dini, agar tidak menyesal di kemudian hari.

Akhir-akhir ini banyak kebudayaan Indonesia yang diklaim oleh negara lain sebagai hasil budaya mereka. Hal itu terjadi karena ulah masyarakat Indonesia khususnya anak muda yang tidak mempunyai rasa nasionalisme bagi negaranya. Padahal kebudayaan adalah suatu ciri khas dari sebuah negara yang harus dijaga dan dilestarikan. Oleh karena itu, penulis ingin meguraikan bagimana cara menanamkan rasa nasionalisme di dalam diri remaja sejak dini.

Selain itu, dalam karya tulis ini penulis mencoba mengungkapkan permasalahan yang selalu menjadi konflik yaitu mulai lunturnya rasa nasionalisme di dalam diri anak muda yang tidak peduli terhadap negara. Kita sebagai generasi muda harus memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi kepada negara.

2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang akan dijadikan rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pendapat para pendiri bangsa tentang Nasionalisme?

2. Bagaimanakah cara menanamkan rasa nasionalisme di dalam diri seorang remaja? 3. Apakah pentingnya atau manfaat dari rasa nasionalisme pada diri remaja?

4. Bagaimanakah seorang remaja dapat menunjukkan rasa nasionalisme pada bangsa dan negara?

1.3 Batasan Masalah

(2)

saat ini.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan mengenai masalah dalam meningkatkan Rasa Nasionalisme di Kalangan Anak Muda Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Penulis mengidentifikasi penyebab mengapa masih banyak anak muda yang tidak memiliki rasa nasionalisme kepada negara.

2. Penulis memberikan cara atau solusi dalam mengatasi masalah lunturnya rasa nasionalisme di kalangan remaja.

3. Agar pembaca mempertahankan keamanan serta martabat bangsa di mata dunia. 1.5 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan mengenai masalah dalam meningkatkan Rasa Nasionalisme di Kalangan Anak Muda Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Memberi informasi kepada pembaca untuk mempertahankan Indonesia dengan rasa nasionalisme yang tinggi.

2. Supaya remaja Indonesia lebih menghargai hasil karya bangsa Indonesia. 3. supaya remaja Indonesia terhindar dari pengaruh globalisasi negatif. 3

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan

kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai

merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasananya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.

Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan

ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan

mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasionalisme sosialisme, pengasingan dan sebagainya. Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. Nasionalisme abad ini tidak bisa ditarik mundur ke bentangan abad lalu.

4

(3)

Makna kepahlawanan juga makin digugat ketika cacat historis kian tersingkap, sebagaimana tuduhan atas Tuanku Imam Bonjol. Tantangan-tantangan keindonesiaan tidak terletak pada masa lalu, tapi menghunjam dari masa depan, dengan kecepatan kinetik. Tapi tantangan itu selalu datang dari satu sumber, yakni ilmu pengetahuan, dengan teknologi sebagai variasi. Maka, ketika anak-anak muda lebih banyak berbicara tentang kekuasaan ketimbang mendiskusikan ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses destruksi dari idealisme anak-anak muda sendiri. Sebab, bicara tentang kekuasaan hari ini tidak berbeda jauh dengan kontes menyanyi dan menari, yakni bergantung pada perolehan SMS yang Anda terima.

Kekuasaan hari ini adalah kekuasaan yang menjauh dari ilmu pengetahuan

sehingga menjadi sangat anti-intelektual. Dengan ilmu pengetahuan, nasionalisme jelas akan terkapar jatuh. Doctrin sejarah Indonesia yang mengatakan bahwa pembebasan atas kolonialisme datang dari nasionalisme adalah omong kosong. Tidak ada itu bambu runcing bisa menang menghadapi meriam. Perlawanan atas nasionalisme pertama dan utama sekali datang dari penguasaan atas ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuanlah yang meruntuhkan kolonialisme, sebagaimana juga meruntuhkan kehendak hegemonis Orde Baru.1

2.2 Nasionalisme Menurut Pendiri Bangsa

Banyak ahli dan para para pendiri bangsa yang mendiskripsikan arti atau makna ”Nasionalisme”, mereka mempunyai pandapat yang berbeda-beda. Baberapa pendiri bangsa Indonesia yang mendiskripsikan nasionalisme antara lain adalah Ir. Soekarano dan Mohammad Hatta, mereka adalah Bapak Proklamator Indonesia. Berikut ini adalah pendapat Beliau mengenai Nasionalisme:2

2.2.1 Menurut Ir. Soekarno

Dalam pidato tentang Dasar Negara Indonesia pada 1 Juni 1945 di Gedung Pejambon Jakarta, antara lain, dengan tegas menggarisbawahi dasar pertama Indonesia adalah kebengsaan bukan yang lain. Menurut Soekarno, prinsip pertama yang harus menggarisbawahi dasar filsafat Indonesia merdeka adalah nasionalisme. Ia ia menekankan bahwa yang dimaksudnya bukanlah nasionalisme

1 Purwono. Buku dan Perpustakaan : Catatan Memori Bangsa Pembangkit Nasionalisme. 2007: halaman 6

2 Triwamwoto, Petrus Citra. Kewarganegaraan SMA Kelas 1. Grasindo. 2004: halaman 22 5

dalam arti sempit (chauvinisme). Katanya, syarat bangsa harus mempertimbangkan ”persatuan antara manusia dan tanah”. Gambar 2.1 Presiden Ir. Soekarno

Indonesia adalah negara kita. Indonesia yang bulat. Pendek kata, bangsa

Indonesia bukan satu-satunya golongan orang yang hidup di dalam suatu daerah yang sempit, seperti Minangkabau atau Madura atau Yogyakarta atau juga Sunda dan Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia yang menurut

geopolitik telah ditentukan tiggal di kesatuan semua pulau Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Pada tahun 1926 Bung Karno menulis buku dalam Indonesia Muda,

��Nasionalisme, Islam, dan Marxisme��. Dalam tulisannya tersebut beliau lebih menekannkan aspek nasionalisme. Sejak awal beliau telah memastikan posisinya dalam tiga kekuatan itu. Menurutnya, suatu ide nasionalisme yang lebih

(4)

pergerakan. Baginya, gerakan-gerakan Islam, Marxis, dan Nasionalis di Indonesia berasal dari suatu dasar yang sama, yaitu hasrat kebangsaan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme. 3

2.2.2 Menurut Drs. Mohammad Hatta

Tanah air dalam pikiran Bung Hatta bukanlah sepotong geografi dan sederet masa lalu, tetapi sesuatu yang berkembang dengan kerja. Pada tahun 1928 ketika berumur 26 tahun dan masih menjadi mahasiswa di Rotterdam, Bung Hatta ditangkap pemerintah Belanda karena kegiatan politik. Ia dibawa ke depan Mahkamah di Den Haag. Dengan yakin Bung Hatta membacakan pleidoi dengan

3 Triwamwoto, Petrus Citra. Kewarganegaraan SMA Kelas 1. Grasindo. 2004: halaman 22-23 6

kalimat penutup, “Hanya satu tanah air yang dapat disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku.”

Dalam rapat Indonesische Vereeniging, Bung Hatta dan teman-temannya menentukan untuk memberi nama tanah air ini “Indonesia”, dan bukan “Hindia-Belanda”. Dengan kata itu memasuki kebangsaan sebagai proyek masa depan. Dengan itu apa yang dahulu disebut “Sumatera”, “Jawa”, “Islam”, atau “Kristen” telah meleleh.

Gambar 2.2 Drs. Moh. Hatta

Nasionalisme yang dipilih dengan sesuatu yang retrogresif, yang bergerak ke belakang seraya berpura-pura maju. Menjelang Perang Dunia ke-2, kaum militer Jepang mengibarkan nama nasionalisme yang seperti itu - nasionalisme yang mencari akar “keaslian” tidak henti-hentinya. Naziisme Hitler tidak jauh berbeda. Sebab itulah mereka agresif, karena “keaslian”, seperti halnya

“kemurnian”, tidak mengehendaki percampuran. Sesuatu yang mustahil di abad ke-20. Dengan kata lain, sebuah nasionalisme yang tidak menutup pintu dengan keras. Nasionlisme yang tidak memandang jauh, ke belakang dan ke dalam.4

4 Triwamwoto, Petrus Citra. Kewarganegaraan SMA Kelas 1. Grasindo. 2004: halaman 23-24 7

BAB III

METODOLOGI PENULISAN

Penyusunan karya tulis yang berjudul Lunturnya Nasionalisme Remaja Indonesia,

penulis menggunakan metode-metode agar mendapat hasil yang baik dan optimal. Metodemetode yang digunakan antara lain :

3.1 Study Pustaka

Dalam penulisan karya tulis yang berjudul Lunturnya Nasionalisme Remaja Indonesia, penulis menggunakan metode diskriptif dalam bentuk Study Pustaka. Dalam metode Study Pustaka ini penulis memperoleh data dari buku dan Internet. 3.2 Observasi

Dalam metode ini dilakukan beberapa observasi lingkungan yang berkaitan

dengan nasionalisme di kalangan remaja dengan meneliti langsung di SMA Negeri I Maospati kelas X, XI, dan XII sehingga dapat diketahui secara langsung jumlah remaja yang peduli dan tidak tentang makna nasionalisme.

3.3 Wawancara

(5)

8 BAB IV

HASIL DAN ANALISIS DATA

4.1 Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja-remaja kita yang berdandan seperti selebritis budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan dan memperlihatkan bagian tubuh. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan, gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda, internet sudah menjadi santapan mereka sehari-hari. Jika digunakan dengan semestinya tentu memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan rugi. Dan sekarang, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs porno. Bukan hanya internet, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati. Contoh nyata adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, apa jadinya genersi muda tersebut?

Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. 9

Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa.

Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme sebagai berikut:

1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.

2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya. 3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.

4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.

5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.

Dengan adanya langkah-langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu

(6)

bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa dan tetap memiliki rasa nasionalisme.

4.2 Hasil Pengamatan Nasionalisme di Kalangan Remaja

Dari pengamatan rasa nasionalisme yang ada di kalangan remaja Indonesia, penulis mengambil sampel dari siswa kelas X, XI, dan XII SMA Negeri I Maospati. Berikut ini hasil pengamatannya:

1. Dengan adanya perkembangan zaman dan teknologi, kalangan remaja sekarang banyak terpengaruh dengan arus globalisasi. Apakah Anda setuju apabila internet dapat merusak moral remaja Indonesia?

0% 10% 20% 30% 40% 50%

Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu

Gambar 4.1 Grafik Pengamatan Nomor 1 10

2. Selain dengan hal-hal di atas, handphone juga dapat merusak nilai-nilai nasionalisme di kalangan remaja Indonesia?

0% 10% 20% 30% 40% 50%

Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu

Gambar 4.2 Grafik Pengamatan Nomor 2

3. Sekarang banyak remaja yang mengkonsumsi rokok dan narkoba. Kata mereka, jika tidak mengkonsumsinya maka mereka tidak gaul dan disebut banci.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%

(7)

Gambar 4.3 Grafik Pengamatan Nomor 3

4. Saat upacara bendera banyak siswa yang tidak khitmad dalam menjalanjkan upacara tersebut. Sehingga dapat menggangu jalannya upacara dan berkurangnya rasa nasionalisme.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu

Gambar 4.4 Grafik Pengamatan Nomor 4

5. Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa sekarang banyak remaja yang tidak peduli kepada negara, sehingga mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme. 11

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%

Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu

Gambar 4.5 Grafik Pengamatan Nomor 5

Dari data pengamatan di atas dapat disimpulkan moral dan rasa nasionalisme remaja Indonesia telah merosot atau menurun dengan tajam.

4.3 Manfaat Rasa Nasionalisme Bagi Remaja Indonesia

Rasa nasionalisme harus ditanamkan sejak dini pada seorang remaja. Hal itu berguna bagi perkembangan negeri dan bangsa, seperti :

1. Menjaga kelestarian budaya Indonesia.

2. Melindungi wilayah-wilayah kekuasaan Indonesia agar tetap utuh.

3. Menambah rasa persatuan dan kesatuan di kalangan masayarakat khususnya remaja Indonesia.

4.4 Ciri-Ciri Menurunnya Rasa Nasionalisme Dalam Diri Remaja Indonesia Saat ini sangat banyak remaja Indonesia yang mengalami penurunan dalam

mengembangkan rasa nasionalisme kepada negara Indonesia. Ciri-ciri dari penurunan rasa nasionalisme remaja tersebut antara lain, lebih menyukai gaya hidup bangsa barat, misal mereka selalu ingin hidup bebas tanpa batas atau sekehendanya sendiri untuk melakukan hal yang melanggar norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat. Selain itu ciri-ciri yang lain adalah mereka bersikap apatis terhadap lingkungan atau merasa acuh tak acuh pada lingkungan masyarakat.

(8)

(Karang Taruna) dan kegiatan-kegiatan yang lain yang mereka anggap tidak penting. 12

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisa yang telah dilakukan mengenai cara mengatasi Lunturnya Nasionalisme Remaja Indonesia, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Banyak remaja Indonesia yang tidak peduli terhadap bangsa dan negara Indonesia. 2. Menurunnya rasa nasionalisme di kalangan remaja Indonesia disebabkan oleh arus globalisasi negatif yang mewabah di Indonesia.

3. Rasa nasionalisme yang tinggi bermanfaat bagi nusa dan bangsa misal menjaga wilayah dan kebudayaan Indonesia.

4. Ciri-ciri menurunnya rasa nasionalisme remaja Indonesia adalah lebih menyukai gaya hidup bangsa barat, apatis terhadap lingkungan, dan tidak pernah

berpartisipasi dalam kehidupan sosial. 5.1 Saran – Saran

Setiap hasil karya tidak ada yang sempurna dan pasti mempunyai beberapa

kekurangan. Adapun saran-saran untuk kemajuan karya tulis yang telah dibuat oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Agar mendapatkan hasil yang maksimal, setelah melakukan observasi dari suatu tempat penulis harus memeriksa kembali apakah data-data yang dibutuhkan sudah cukup.

2.Agar dalam penyampaian tulisan dapat dipahami dengan mudah maka penulis perlu menjelaskan tiap-tiap bahan observasi secara terperinci.

DAFTAR PUSTAKA

1989. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid. 3. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. Artikel non personal. 2002. Penyadaran Pentingnya Nasionalisme.

http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-October/000578.html

Artikel non Personal. 2007. Nasionalisme Kaum Muda Indonesia. http://carockroro.multiply.com/journal/item/4/NASIONALISME_K AUM_MUDA_INDONESIA

Artikel non personal. 2009. Merangsang Spirit Hero Kalangan Muda. http://www.dutamasyarakat.com/artikel-21843-merangsang-spirithero-kalangan-muda.html

Artikel non personal. 2010. Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda.

http://rizkicrew.ngeblogs.com/2010/01/04/pengaruh-globalisasiterhadap-nilai-nasionalisme-di-kalangan-generasi-muda/

Artikel non personal. Generasi Muda Penentu Masa Depan Bangsa. Integritas Universitas Mulawarman. Samarinda. Agustus 2008.

Dkk, Wahyuingsih. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan SMA / MA Kelas X Semester 1. Solo: CV Sindunata.

(9)

Suteng, Bambang, dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.

Triwamwoto, Petrus Citra. 2004. Kewarganegaraan SMA Kelas 1. Jakarta: PT Grasindo. ISME INDONESIA

Artikel 1

Relevankah Pendidikan Menengah?

Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 21 Agustus 2008.

Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.

Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).

Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan

kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.

Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.

Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.

Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?

Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).

(10)

mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?

Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.

Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll. Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.

Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang

memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.

Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.

Diposkan oleh Dewi Susanti

Artikel 2

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

lenny

BERITAJAKARTA.COM — 14-10-2008

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

(11)

dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi”

- Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta

Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

(12)

pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.

Artikel 3

Selasa, 2008 November 04

PERLUNYA PENINJAUAN ULANG PENETAPAN KELULUSAN UJIAN NASIONAL

Berbagai peristiwa pendidikan aspek negatif seputar pelaksanaan Ujian Nasional Sekolah Lanjutan Atas (SLA) tanggal 22 s.d. 24 April 2008 antara lain : ditemukannya kecurangan UN di empat propinsi oleh Inspektorat Jendral Departemen Pendidikan Nasional (Sindo 25 April 2008), Penangkapan pelaku kecurangan UN oleh Detasemen khusus anti teror 88 (sindo, 28 April 2008), sebuah perlakuan terhadap tenaga pendidik bak teroris sangat memprihatinkan dan menyedihkan bagi kami sesama pendidik.. Wakil rakyatpun mengingatkan melalui Komisi X Anwar Arifin, hendaknya pemerintah perlu mengadakan pemetaan kualitas sekolah (Sindo 26 April 2008) dan kebijakan UN perlu di evaluasi (Sindo 29 April 2008).

Ki Hajar Dewantara (dalam Karya Kihajar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, cetakan ke 2, 1977 hlm. 3) mengatakan bahwa:

“Untuk mendapatkan system pengajaran yang akan berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah system itu disesuaikan dengan hidup dan pemnghidupan rakyat. Oleh karena itu wajiblah kita

menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan dalam hidup kita berhubung dengan sifat masyarakat seperti kita kehendaki.”

Berbagai peristiwa pendidikan aspek negative tersebut tidak akan terjadi bila pemerintah menetapkan kebijakan UN dengan tepat dan lebih memahami kondisi pendidikan di Indonesia dan kondisi rakyat saat ini.

Hasil Akriditasi sebagai dasar Penetapan Standar kelulusan

Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia (UUSPN RI) Nomor 20 tahun 2003, Bab XVI, pasal 58 ayat 2 menyebutkan bahwa: Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk mencapai standar nasional pendidikan. Lembaga mandiri yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melaksanakan Ujian Nasional adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Penilaian kelayakan program dan satuan pendidikan pada pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan maka di laksanakan Sistem Akreditasi (UUSPN-RI Nomor 20 tahun 2003 Bab XVI Pasal 60, (1); Bab yang sama pada ayat 2 myebutkan bahwa: Akreditasi dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas public dilakukan oleh pemerintah dan atau lembaga yang berwenang. Lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melaksanakan akreditasi adalah Badan Akreditasi Nasional (BAN), untuk pelaksanaan akreditasi tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Sekolah (BAS).

(13)

Sampai saat ini menurut pengamatan penulis penentuan standar kelulusan UN antara BSNP dan BAN belum ada sinerji yang signifikan. Hasil akreditasi yang dilakukan oleh BAN pada satuan pendidikan merupakan sebuah peta kualifikasi system pendidikan nasional yaitu berapa jumlah satuan pendidikan berstandar internasional, satuan pendidikan yang terakreditasi dengan nilai A, B, C, D, E. kualifikasi hasil akreditasi inilah yang seharusnya dijadikan BSNP untuk menentukan standar kelulusan UN, dan sekaligus dapat dijadikan pemetakan kualifikasi mutu system satuan pendidikan di tanah air, misalnya satuan pendidikan bertaraf internasional, standar kelulusan minimal 7,00 atau lebih tinggi, satuan pendidikan dengan hasil akreditasi A, standar kelulusan minimal 6,00 atau lebih tinggi, hasil akriditasi B standar kelulusan minimal 5,00 atau lebih tinggi, hasil akriditasi C standar kelulusan minimal 4,00 atau lebih tinggi, hasil akriditasi D standar kelulusan minimal 3,00 atau lebih tinggi, dan seterusnya, sekaligus diikuti dengan kualifikasi sertifikat/ijasah kategori A,B,C.D. Memang tidak ada pasal dalam UUSPN –RI yang menyebutkan tentang hasil akreditasi sebagai penetapan kelulusan sistem evaluasi pada satuan pendidikan, namun alangkah bijaksananya bila hasil akreditasi sebagai dasar penentuan standar kelulusan UN, sekaligus sebagai bahan instrospeksi para pimpinan satuan pendidikan untuk mengevaluasi diri di dilevel kualifikasi berapa lembaga yang ia pimpin, serta secara alami akan mendorong satuan-satuan pendidikan yang berada di level kualifikasi lebih rendah untuk mencapai jenjang kualifikasi lebih tinggi.

Penetapan kelulusan Satuan Pendidikan kejuruan

Pendidikan Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) menganut pola Pendidikan Sistem Ganda (PSG), agar terjadi link and match antara pendidikan di SMK dengan di Institusi pasangan, maka pendidikan di rancang, dilaksanakan dan di evaluasi antara sekolah dengan institusi pasangannya . Kurukulum produktif yang di pakai dasar pembelajaran di SMK adalah “kurikulum sinkronisasi”. Pembelajaran basic training dilaksanakan di SMK sedangkan pembelajaran profesional training di laksanakan di Institusi Pasangan dalam hal ini Dunia Usaha/Industri. Pembelajaran di akhiri dengan uji kompetensi yang dilakukan oleh industri sebagai Qualiy Control, untuk mengevaluasi sejauhmana pencapaian penguasaan kompetensi siswa sesuai dengan program keahlian yang di tempuhnya. Dengan demikian untuk menentukan kelulusan siswa SMK hendaknya tidak sekedar ditentukan dari nilai UN Matematika. Bahasa Indoonesia, dan Bahasa Inggris lebih ditekankan pada Penguasaan siswa terhadap kompetensi yang di buktikan dengan Sertifikasi profesi. Permasalahannya adalah Bagaimana menyiapkan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di tiap-tiap daerah yang diakui baik secara nasional maupun internasional. UN bahasa inggris hendaknya lebih dikembangkan sebagai sertifikasi kemampuan siswa berbahasa ingris dalam hal ini Test of English as International Communication (TOEIC), permasalahannya bagaimana kita dapat membentuk English Test Center (ETC) yang dapat diakui baik secara nasional maupun internasional di setiap daerah.

Artikel 4

UPAYA PENINGKATAN MUTU LULUSAN SMK DI KABUPATEN BEKASI

Permasalahan yang dihadapi Sekolah Menegah Kejuruan teknologi Industri di Bekasi khususnya adalah belum diakuinya lulusan SMK untuk siap bekerja di industri baik dari segi kompetensi, etos kerja profesionalitas, dan daya saing (Asosiasi Pengusaha Indonesia Cabang Bekasi dalam pertemuan Pembentukan Majelis Pendidikan Kejuruan kabupaten Bekasi). Hal tersebut disebabkan karena : Mutu lulusan SMK asal Bekasi dari tahun ke tahun belum memenuhi standar yang ipersyaratkan Dunia Usaha/Industri

Upaya peningkatan mutu.

Upaya untuk meningkatkan mutu lulusan SMK di Bekasi, perlu disepakati paradikma berfikir, bagaimana mencapai peningkatan mutu lulusan SMK tersebut?

(14)

usaha/industri atau bertaraf nasional, mempunyai profesionalisme , etos kerja dan daya saing yang tinggi, maka diperlukan: (1) Siswa yang siap Belajar (2) Guru yang profesional, mempunyai kompetensi yang diakui secara nasional maupun internasional, (3) Isi (Content) yang akan diajarkan harus dikemas dalam bentuk paket belajar atau modul yang dirancang untuk pembelajaran induvidu, (4) Peralatan dan bahan penunjang Pembelajaran (5) Kerjasama Industri (6) Setting, penataan/pemanfaatan Ruang belajar yang menunjang pembelajaran serta tempat dimana terjadinya belajar apakah di sekolah atau di

industri. (7) Perlunya Lembaga Sertifikasi Profesi.

Berdasarkan paradikma berfikir tersebut, maka analisis upaya peningkatan mutu berdasarkan indicator-indikator pada paradikma di atas.:

1) Kesiapan siswa, Masyarakat asli Kabupaten Bekasi umumnya merupakan masyarakat agraris yang menggantungkan hidupnya dari pertanian /alam dan bercirikan hidup yang santai, dimana budaya tersebut sangat berbeda dengan budaya industri yang bercirikan disiplin dan penuh dengan persaingan, hal tersebut merupakan masalah tersendiri terhadap kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Maka kegiatan yang harus dilakukan sekolah adalah : Seleksi penerimaan siswa baru seketat mungkin untuk mendapat calon siswa unggulan, membuat kualifikasi mutu tamatan yang dipersiapkan untuk mengisi berbagai kualifikasi bidang garapan

2). Guru yang Profesional.

Guru yang profesional tidak cukup hanya memiliki kualifikasi pendidikan strata dari Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) saja, melainkan harus memiliki kompetensi yang selalu berkembang sesuai dengan tuntutan tugasnya. Secara umum terdapat 2 kompetensi yang harus dimiliki guru yaitu : (1) penguasaan kompetensi program keahlian yang mendapat pengakuan dari industri/asosiasi profesi (2) penguasaan kompetensi dalam melaksanakan pembelajaran, yaitu suatu kompetensi merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran. Untuk meningkatkan mutu guru dinas pendidikan harus melaksanakan program magang/ on the job training guru di industri baik dalam maupun luar negeri 3). Isi Pesan..

Dalam pembelajaran dengan pendekatan Competency Based Training (CBT), pembelajaran bersifat individu dengan memperhatikan kecepatan bejar siswa. Isi pembelajaran yang berupa kompetensi/sub kompetensi harus dikemas dalam bentuk modul/paket belajar, dan bila terdapat siswa yang gagal, maka siswa tersebut harus diadakan remedial sebelum menginjak pada sub kompetensi yang baru, pola pembelajaran tradisional klasikal harus ditinggalkan..

4. Material Pembelajaran

Isi pesan yang akan disajikan oleh guru harus dikemas dalam pembelajaran individu (individual learning). Konsekwensi penbelajaran individu adalah diperlukannya pengadaan bahan praktek, modul/paket belajar per kompetensi/sub kompetensi sesuai jumlah siswa. Dinas pendidikan diharapkan segera memprogramkan pembuatan modul/paket belajar ,pengadaan bahan praktek dan peralatan standart industri diklat produktif sesuai rasio siswa yang dibiayai APBD.

4) Penataan Ruangan

Untuk menunjang pencapaian pembelajaran berbasis kompetensi, maka diperlukan ruangan belajar yang nyaman, bengkel yang standar industri dan laboratorium yang menunjang baik laboratorium sains maupun laboratorium program keahlian, tanpa sarana tersebut, maka tidak akan mungkin terjadi proses belajar yang maksimal, untuk itu pengadaan sarana dan peralatan sangat menentukan mutu lulusan SMK.

5). Kerjasama Sekolah dengan industri.

Pola pendekatan pembelajaran SMK menggunakan pendekatan system ganda (PSG), dimana

pembelajaran dirancang, dilaksanakan dan di evaluasi oleh SMK beserta institusi pasangannya. Maka Penggalangan Kerjasama industri baik dalam maupun luar negeri sangat diperlukan

(15)

Bahasa inggris merupakan bahasa internasional yang harus dikuasai oleh tamatan SMK, hal tersebut guna menunjang pekerjaannya dalam lapangan kerja. Dan dalam era Global ini bila siswa telah

menguasai bahasa inggris sangat mungkin lulusan tersebut di eksport sebagai tenaga kerja ahli tingkat menengah ke luar negeri, Peng embangan bahasa inggris harus diarahkan pada pendekatan komunikasi, hal tersebut membutuhkan tegaga guru yang bersertifikasi TOIEC dan Lab Bahasa Inggris di setiap SMK. Fungsi English Test Center yang berperan menguji dan mensertifikan kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris di tingkatkan agar diakui secara internasional (Test of English asInternational Communication- TOEIC)

7. Pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)

Pemerintah telah membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang berada di Jakarta,

kepanjangan tangan BNSP yang berada di daerah adalah lembaga sertifikasi Profesi (LSP), lembaga inilah yang berfungsi untuk mensertifikasi setiap calon tenaga ahli baik lulusan SMK maupun tenaga industri yang akan bekerja di perusahaan/industri dalam maupun luar negeri yang mempersyaratkan sertifikasi sebagai syarat rekruitmen tenaga kerjanya. Dinas Pendidikan harus segera membentuk LSP- BNSP yang keberadaannya di akui secara nasional maupun internasional.

Artikel 5

Dunia Pendidikan Menengah Nasional Mensikapi Tantangan Jaman Posted by pataka on May 2nd, 2005

(Berbagai Paradigma Serta Perubahan Budaya Menyongsong Era Informasi, Globalisasi dan Otonomi Pendidikan)

Pengantar

Proses demokratisasi di Indonesia telah menimbulkan keterkejutan budaya (cultural shock). Secara alamiah, manusia cenderung mencari kemapanan sehingga tidak menyukai perubahan, apalagi yang berlangsung sangat cepat. Sedangkan Indonesia selama tiga dasa warsa didominasi iklim kekuasaan otoritarian, sentralistik dan status quo. Sehingga masa reformasi adalah periode yang dipenuhi kontradiksi di semua bidang kehidupan.

Namun, manusia dikaruniai kemampuan beradaptasi, sehingga reformasi merupakan tempat untuk melakukan dan menerima perubahan. Dan ini merupakan esensi upaya untuk tetap bertahan hidup, naluri survival.

Keterkejutan ini menciptakan kesadaran baru, selama ini kita ternyata hidup di alam mimpi indah namun realitanya tertinggal dari bangsa lain. Bangsa kita ibarat baru saja lahir kembali, belajar mandiri secara instan sembari saling cakar. Di sisi lain SDA yang dibanggakan dan diandalkan ternyata telah dikuras untuk kemakmuran sebagian orang saja, praktis tidak ada lagi potensi tersisa selain tumpukan hutang, bom politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, keamanan dan berbagai masalah yang tanpa ujung pangkal.

Hanya sedikit anak muda bangsa yang mampu bertahan dalam perubahan ini, sebagian besar menyerah karena tidak memiliki daya. PHK dan pengangguran, kemiskinan terjadi di seluruh negeri. Fakta

menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral, kepercayaan dan identitas.

Maka kita harus berupaya bangkit dengan segala keterbatasan. Untuk itu kita harus memiliki semangat dan wawasan luas, yang sedini mungkin harus ditanamkan melalui mekanisme pendidikan untuk seluruh bangsa, terutama generasi muda. Terlepas apakah kita terlambat atau tidak, upaya memperbaiki budaya dan SDM harus menjadi prioritas, karena itulah potensi / modal terbesar kita saat ini. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan

(16)

sebagai tulang punggung pengelolaan dan pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai paradigma baru.

Proses Ini harus disadari sebagai suatu proses revolusi budaya dan cara berpikir yang membutuhkan keyakinan kuat, keteguhan hati, kejujuran, kreatifitas dan optimisme serta keberanian. Terutama untuk mengakui kelemahan dan kesalahan serta tentu saja pikiran dan hati yang terbuka terhadap semua masukan dari siapapun. Dan yang lebih penting lagi, adalah komitmen untuk bekerja keras menjadikan porses ini suatu kenyataan.

Bila kita ingin bangsa ini survive, maka semua ini bukanlah suatu pilihan, melainkan justru harus disadari bahwa hanya inilah satu-satunya jalan yang harus ditempuh.

Paradigma Perubahan Budaya, Penddikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Iptek adalah produk budaya, sehingga iklim kultural dan pola pikir suatu bangsa sangat menentukan perkembangan Iptek. Negara maju adalah contoh, dimana budaya yang demokratis berpengaruh kuat terhadap kemajuan Iptek. Indonesia punya kultur yang luhur yang seharusnya mampu mendorong suatu kemajuan.

Selama ini budaya justru disalahgunakan sebagai alat untuk menguasai dan membatasi. Untuk itu diperlukan reformasi dunia pendidikan untuk merubah budaya yang salah arah tersebut. Mengapa dunia pendidikan ? Karena melalui dunia pendidikan proses penyadaran dapat dilakukan secara sistemik. Kedua menyangkut sebagian besar generasi muda bangsa yang bakal menjadi jaminan bangsa ini di masa depan. Ketiga dengan pendidikanlah generasi muda dan masyarakat akan memahami pentingnya Iptek.

Semula dunia pendidikan kita dikooptasi kekuasaan sebagai alat indoktrinasi bangsa maka di masa sekarang dunia pendidikan harus ditempatkan pada posisi yang proporsional sesuai amanat pembukaan konstitusi kita. Yaitu mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa untuk memberi kesejahteraan lahir dan batin. Slogannya adalah mencetak SDM yang berkualitas sekaligus memiliki imtaq.

Tahun 2003 pasar bebas ASEAN dimulai dan akan diikuti masuknya SDM asing dengan kualifikasi

internasional untuk mengisi pasar profesional di negeri kita. Inilah tantangan yang nyata. Akibatnya pasar dunia kerja yang sudah sempit akan makin ketat persaingannya. Padahal angkatan kerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan kita saat ini boleh dibilang tidak memiliki keunggulan yang dapat diandalkan, apalagi pengalaman.

Perubahan budaya dengan pendekatan top down melalui kebijakan pemerintah memerlukan proses panjang dan tidak terjamin keberhasilannya. Sedang waktu kita sangat terbatas. Oleh karena itu masyarakat harus proaktif melakukan stimulasi langsung di lingkungan pendidikan. Dengan cara demikian perubahan budaya untuk menciptakan iklim kondusif bagi bangkitnya kembali dunia pendidikan nasional dapat dipercepat.

Langkah konkretnya adalah dengan mewujudkan semangat otonomi pendidikan seluas-luasnya. Dalam proses ini diperlukan keberanian para pelaku di jajaran struktural, peserta didik, keluarga dan masyarakat luas untuk melakukan inovasi dan improvisasi. Pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai otorita melainkan sebagai fasilitator dan pengayom sekaligus penjamin kontinuitas proses demokratisasi ini. Sinergi diantara komponen ini diharapkan akan cepat menciptakan demokratisasi kependidikan yang kita harapkan.

Sekolah, Lembaga Pendidikan Utama

Sebagaimana kita melihat piramida masyarakat modern, dalam proses menuju kemajuan itu diperlukan kelas menengah yang mature. Paradigma inipun boleh kita aplikasikan ke dalam dunia pendidikan. Lapis tengah itu seharusnya dipegang bukan oleh institusi pendidikan tinggi melainkan sekolah menengah. PT seharusnya menjadi tempat bagi proses pendidikan yang terfokus pada satu bidang, atau spesialisasi, sedangkan sekolah menengah yang bersifat umum lebih tepat sebagai tempat pendewasaan, mengolah semua potensi dan menemukan jati diri. Namun selama ini tidak demikian, proses pematangan

(17)

bersikap dewasa dan profesional. Oleh karena itu saat ini kita harus mulai melakukan proses pendewasaan sejak di tingkat sekolah menengah.

Di masa lalu sekolah dijadikan lembaga pengajaran dan indoktrinasi, sedang kepentingan masyarakat dikesampingkan. Ini terjadi akibat penguasa yang berkarakter militeristik dan otoritarian yang

mempertahankan kekuasaannya melalui penciptaan struktur masyarakat mono loyalitas. Sekolah sebagai lembaga ilmiah tidak memiliki kebebasan menentukan identitas dan jati dirinya. Justru sekolah

dimanfaatkan untuk indoktrinasi, bahkan program wajib belajar di tingkat dasar pun menjadi media intelektual brainwashing secara struktural. Pendeknya, dunia pendidikan adalah mesin cetak karakter sesuai kehendak penguasa.

Pemerintah secara sepihak telah menentukan suatu ‘blue print’ identitas yang seragam tidak hanya bagi siswa namun juga menyangkut seluruh institusi pendidikan bahkan seluruh masyarakat. Mereka harus menerima dan patuh tidak peduli apakah itu sesuai dengan kesadaran budaya masyarakat lokal.

Indoktrinasi itu sendiri sebenarnya justru menimbulkan kontradiksi dalam masyarakat Akhir-akhir ini kita ketahui dampaknya setelah muncul konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat. Dan sebenarnya hal tersebut (penyeragaman identitas) tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan saja namun hampir pada semua sendi peri kehidupan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan tentu saja budaya.

Karena itu problema psikologis menyangkut eksistensi (self esteem) yang sangat penting bagi remaja dalam membangun identitasnya menjadi hal klasik. Padahal siswa dan remaja bukanlah tentara yang dapat dipaksa menerima satu doktrin. Remaja pelajar adalah individu yang bebas dan memiliki ciri khas sesuai potensi yang dimilikinya. Potensi yang harus digali, dibina, dikembangkan serta diekspresikan sesuai cara mereka sendiri. Namun karena sistem yang otoriter justru tidak ada tempat bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya.

Mereka terbelenggu dan yang tak mampu mengikuti mainstream akhirnya, alih2 dilindungi dan

diberdayakan, justru terpinggirkan. Dampaknya bisa kita lihat dari berbagai kenakalan remaja yang terus marak dari hari ke hari. Sedangkan sistem pendidikan saat ini pun salah dalam mensikapi kenakalan tersebut, bukannya dibina sesuai dengan filosofi pendidikan (fisik, psikis, nalar) justru ditinggalkan. Bahkan tidak jarang digolongkan ke dalam kriminalisme, padahal mereka itulah yang justru paling membutuhkan pendidikan.

Kenakalan remaja adalah salah satu bukti terjadinya proses pelarian akibat saluran internal dalam sekolah yang tersumbat. Padahal sekolah seharusnya menjadi akomodator. Selain tentunya faktor pengaruh lingkungan masyarakat yang menjadi pendorong. Ini adalah masalah pokok dan kesalahan manajemen pendidikan yang tanpa disadari justru menjadi pemicu paling menonjol dan berperan besar dalam kasus kenakalan remaja.

Kita ambil contoh tawuran. Pemerintah menyebut penyebabnya adalah faktor ekternal seperti kekerasan di media ataupun masyarakat yang cenderung individualistik. Namun kenyataannya di daerah atau desa yang relatif pengaruh ekternal tidak terlalu besar, bahkan nuansa religius dan budaya lokalnya sangat kuat, tawuran tetap terjadi.

Sejumlah pakar psikologi remaja mendefinisikan faktor pemicu tawuran, yaitu apa yang disebut sebagai false indentity atau identitas palsu. Yang mengejutkan identitas palsu ini bukan diciptakan oleh

masyarakat (bila kita mengacu pada teori kekerasan di media), melainkan justru diciptakan oleh dunia pendidikan itu sendiri melalui simbol dan mekanisme kependidikan yang tidak akomodatif. Dunia pendidikan kita memang gagal menyerap aspirasi dan menyalurkan energi kreatif yang dimiliki civitasnya, semata hanya karena sistem yang stagnan dan kaku serta cenderung enggan menerima perubahan (status quo).

(18)

identitas palsu tersebut, bahwa mereka memiliki korps dan dibedakan secara tidak adil dengan stigma, STM lebih rendah dari SMU. Akibatnya muncul sakit hati dan dendam yang tentu saja tidak dapat tersalurkan.

Dalam realitas sosial masyarakat kita pun memang STM dipandang sebagai sekolah ‘kelas dua’ yang dianggap hanya menghasilkan kelas pekerja rendahan. Padahal stigma semacam ini jelas kontradiktif dengan kondisi dunia kerja kita, justru sektor yang diisi oleh tenaga terampil dari sekolah kejuruan sangat dibutuhkan sebagai SDM penggerak pembangunan yang tetap dapat bertahan dalam kondisi krisis. Sedangkan para tenaga kerja ‘berdasi’ yang dalam strata sosial masyarakat digolongkan sebagai pegawai kelas ‘priyayi’ justru tumbang diterpa badai krisis ekonomi. Lulusan non kejuruan yang selama ini dielus-elus oleh masyarakat dan pemerintah ternyata sangat rapuh.

Di era yang sangat plural sekarang ini, seragam bukanlah hal yang pokok dalam dunia pendidikan. Pendapat yang menyatakan bahwa seragam untuk menetralisir gap, mendidik disiplin dan loyalitas justru mengakibatkan euphoria korps yang tidak pada tempatnya. Gap dan kasta dalam masyarakat ada karena proses sosial yang tidak seimbang, tentu tidak akan hilang atau ditutupi (cover up) oleh selembar seragam. Bahkan kehadiran seragam justru semakin memisahkan siswa yang memakainya dari realita, karena mereka menjumpai warna seragam yang sama tapi harganya bisa sangat jauh berbeda. Faktanya fungsi seragam dari hari ke hari semakin tidak memiliki makna selain untuk media coretan di akhir masa sekolah.

Seragam bahkan justru menimbulkan berbagai persoalan sejak dari awal dia harus dikenakan. Siswa secara rasional tidak bisa memahami dan menerima alasan ‘mengapa mereka harus memakai seragam’ sehingga yang tersisa hanyalah perasaan terpaksa dan frustasi yang tidak terungkapkan dan lambat laun menjadi dendam. Sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul berbagai ‘kreatifitas’ yang mereka lakukan terhadap seragamnya. Termasuk pelampiasan ‘coretan kelulusan’. Karena hanya dengan cara demikian mereka dapat ‘membalas dendam’ terhadap seragam yang telah memasung jati diri dan kreatifitas mereka selama bertahun-tahun. Apalagi ternyata yang namanya seragam tidak hanya satu macam saja. Contohnya seragam Pramuka, untuk apa mereka membeli dan dipaksa memakai sedangkan mereka sama sekali tidak berminat dengan kegiatan kepanduan ?

Pendapat yang militer sentris warisan kolonial dan masa penjajahan Jepang itu dengan sendirinya tidak relevan dengan masyarakat sipil modern yang plural dan demokratis ini. Masyarakat memahami bahwa disiplin dan kebanggaan memang penting, bahkan mungkin kita akan bicara nasionalisme di sini, namun semua itu tidak akan lahir hanya karena seragam atau upacara setiap Senin pagi yang hanya

mengakibatkan sinisme, sehingga bahkan untuk menertibkannya para guru terpaksa harus rela kejar-kejaran dengan siswanya. Bagi siswa upacara Senin pagi yang monoton itu lebih dipandang sebagai rutinisme penyiksaan fisik dan pemasungan ekspresi ketimbang refleksi nasionalisme. Disiplin muncul karena proses pendidikan yang elegan, keteladanan dan adanya rasa tanggung jawab. Sedangkan kebanggaan serta loyalitas itu akan tumbuh dengan sendirinya sejalan dengan tumbuh kembangnya prestasi.

Dijaman sekarang siswa tidak akan bisa memahami makna nasionalisme, cinta tanah air dan penghormatan terhadap para pahlawan serta pendahulu jika dilakukan dengan ritual ‘penjemuran dibawah terik matahari’ sambil menyanyikan Indonesia Raya, lagu nasional ditambah lagi dengan pelototan angker dan petatah petitih yang menjemukan dari Bapak Ibu guru. Mengapa ? Karena mereka memang adalah generasi terkemudian yang sama sekali tidak bersentuhan dengan hiruk pikuk perang kemerdekaan, revolusi bahkan reformasi.

(19)

kita bisa menanamkan rasa kebangsaan bila setiap hari mereka melihat diskriminasi etnik terjadi di sekolah ?

Maka cara yang paling tepat untuk ‘belajar’ adalah membiarkan mereka aktif dan terjun serta merasakan langsung sensasi dan pengalaman di tengah masyarakat. Kekayaan budaya itu yang akan tertanam dan memupuk rasa nasionalisme, patriotisme, persatuan, persaudaraan dan seterusnya. Semua ini tidak mungkin di dapat dari pengajaran akademik dengan hanya duduk manis di bangku sekolah, melalui kegiatan ekstra kurikuler, wadah organisasi ekspresi seperti pramuka, kepecintaalaman, palang merah, bela diri nasional dan sebagainya.

Pendidikan, Keteladanan dan Pengajaran

Hal penting lainnya menyangkut kualitas dunia pendidikan adalah kesejahteraan para pelaksana. Kurangnya jaminan kesejahteraan menyebabkan pekerja di sektor pendidikan hanya mampu menjadi pengajar saja ketimbang pendidik. Waktu, tenaga dan pikiran mereka akan lebih banyak tercurah untuk urusan tuntutan ekonomis. Untuk menjadi pendidik yang menjadi ujung tombak pelayanan pendidikan seharus mereka harus mampu berkonsentrasi penuh dan melakukan proses reengineering pengetahuan dan penalaran. Suatu proses perubahan paradigma pembelajaran dari periodic learn menuju continous learn.

Karena situasi yang serba terbatas, pengajar hanya mampu melakukan orientasi sebatas prestasi akademik, suatu target yang berbentuk indeks prestasi fisik. Kreatifitas dan inovasi dengan sendirinya terpasung, siswa hanya difokuskan pada penerimaan materi baku dan tidak ada yang peduli dengan perkembangan kepribadiannya. Akibatnya produk pendidikan menengah hanya mampu memahami hal-hal yang baku dan bersifat umum / normatif / tekstual. Mereka tidak dapat memahami substansi dan korelasi serta tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya ke dunia nyata.

Itu baru aspek kognitif, intelektual, (IQ) bagaimana pula dengan pembinaan psikologis dan sosialnya atau yang populer disebut sebagai Emotional Quality (EQ) ? Padahal kedua hal tersebut harus berjalan seimbang bahkan EQ lebih berperan dalam pembentukan pribadi yang utuh. Jika IQ bisa ditingkatkan setiap saat dengan cara belajar berkelanjutan maka sangat berbeda dengan EQ yang perkembangannya dimulai sejak usia dini dan sangat menentukan pada masa pertumbuhan (remaja) dan justru akan berhenti pada saat manusia mencapai usia dewasa. Justru dunia pendidikan kita hanya berorientasi pada IQ sedangkan EQ yang seharusnya menjadi prioritas malah diabaikan. Tidak heran bila generasi muda kita selalu mengalami masalah dalam pembentukan pribadi, selalu mencari jati diri dan kesulitan dalam mengekspresikan dirinya secara bebas.

Di sisi lain sistem pendidikan nasional yang hanya berorientasi pada prestasi akademik justru menjadi kontra produktif karena menimbulkan rasa frustasi bagi peserta didik. Tekanan prikologis diberikan oleh sekolah, lingkungan dan keluarga untuk mendorong siswa memenuhi target akademis dan hal itu dianggap sebagai satu-satunya ukuran prestasi dan stempel identitas. Tidak ada ruang bagi peserta didik untuk menggali potensi non akademik yang sesungguhnya berperan lebih besar terhadap pembentukan karakter sebagai manusia yang utuh. Nilai kemanusiaan siswa saat ini hanya dihargai oleh selembar NEM atau Rapor.

Dalam banyak kasus kita jumpai betapa orang tua memaksakan anaknya mengikuti berbagai kegiatan (kursus) yang lebih banyak berorientasi akademis dan membatasi semua hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademis. Termasuk semua kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi tempat bagi individu siswa, sebagai manusia, untuk bersosialisasi secara sehat (psikologis) dengan sebaya, alam, lingkungan dan masyarakat. Suatu media bagi pembelajaran nilai moral dan kemanusiaan dimana siswa akan dapat menemukan jati diri dan membentuk karakter sesungguhnya. Inilah ruangan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi dan ekspresi seluruh potensi dirinya dengan kehendak bebas. Tidak ada yang lain selain dirinya sendiri, suatu kesadaran yang mahal dan sulit diperoleh di masa sekarang.

(20)

mengharapkan dibandingkan IPA. Para orang tua begitu ketakutan ketika menyadari bahwa anaknya terancam masuk jurusan IPS. Karena mereka terbelenggu paradigma : para berandal sudah seharusnya menghuni jurusan non eksak dan sebaliknya anak manis dan kutu buku harus berada di lingkungan eksakta. Padahal Ilmu Pengetahuan sendiri tidak mengenal ‘kasta’ ! Dan dikedua kubu lahir prestasi brilian yang mengangkat derajad peradaban umat manusia.

Ini terjadi karena sistem penjurusan sendiri sebenarnya melulu hanya melakukan ‘parsing nilai akademik’ dan sedikit sekali mempertimbangkan faktor minat akademik peserta didik sesungguhnya. Asalkan nilainya dibawah standar tertentu maka jurusannya sudah pasti IPS, atau bila kelakuannya bikin dahi para guru mengkerut, langsung saja divonis jurusan IPS.

Demikian pula dengan mekanisme Ebtanas, DANEM dan UMPTN, satu dua hari yang menentukan tiga tahun kerja keras siswa, tanpa pernah diperhitungkan ‘kesialan di waktu ujian’, kegugupan, sakit atau hal lain yang sangat manusiawi dan bisa menimpa siapa saja. Siswa dituntut untuk menjadi Superman, pintar berstrategi menghadapi soal ujian dan mensiasati waktu, sebagaimana yang diajarkan berbagai kursus, tanpa memahami apa substansi pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga tentu saja tidak ada penghargaan terhadap kemampuan siswa sesungguhnya. Dan kesalahan ‘penjurusan’ ini akan berlanjut pada tingkatan berikutnya yang pada akhirnya akan menghancurkan potensi SDM bangsa dimasa depan, karena banyaknya orang ‘kesasar’.

Yang ada hanya upaya berebut posisi, suatu pengajaran moral yang sangat buruk. Orang akan menjadi bersifat pragmatis dan tidak mampu menghargai proses, tidak mengenal makna kerja keras dan perjuangan, orientasinya hanyalah hasil instan, tidak peduli dengan cara bagaimana mereka

memperolehnya. Sekarang kita menemukan bahwa manusia Indonesia, untuk mencapai sesuatu hasil atau prestasi cenderung melakukan dengan menghalalkan berbagai cara, serba memilih jalan pintas. Bahkan menyuap, memanipulasi dan intimidasi adalah perilaku yang sangat jamak. Dan masyarakat pun menjadi permisif terhadap semua penyimpangan ini.

Ini berbeda dengan pola seorang pendidik yang tidak hanya berorientasi secara fisik namun juga mental psikologis. Seorang pendidik tidak hanya fokus pada masalah akademik namun juga pengembangan pribadi dan penggalian potensi siswa. Seorang pendidik harus punya perhatian yang cukup, keahlian dan wawasan yang luas sehingga pantas dijadikan panutan. Kesejahteraan seorang pendidik adalah masalah kunci yang harus diselesaikan agar pendidik dapat berkonsentrasi pada bidangnya dan memiliki

kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Seorang pendidik memiliki sifat sebagai profesional, pengayom sekaligus pembimbing. Dalam paradigma pendidikan, tidak ada lagi batasan antara guru dan murid, dimana guru serba benar dan otoriter sedang murid ‘nrimo’ tanpa boleh berbeda pandangan atau pendapat.

Otonomi dunia pendidikan mungkin adalah suatu solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan terutama di tingkat dasar dan menengah. Dengan otonomi, sekolah dapat menolak campur tangan pihak lain. Peningkatan kesejahteraan pekerja kependidikan dapat dikelola secara lebih profesional karena masyarakat dapat langsung berperan aktif. Sekolah pun bebas mandiri menentukan identitas yang diwujudkan dalam kurikulum yang mampu menjawab kebutuhan lokal. Bahkan seharusnya dunia pendidikan diberi kebebasan penuh untuk bekerjasama dengan wali siswa dan sektor swasta. Dengan otonomi kreativitas dunia pendidikan diharapkan lahir kembali.

Di negara maju, publik dan dunia usaha sangat menyadari betapa pentingnya support bagi dunia pendidikan, sehingga mereka tidak segan melakukan kerjasama untuk mendonasi dan mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan hal tersebut merupakan kewajiban sosial (moral) yang nyata, bukan hanya sekedar normatif, sloganis seperti yang terjadi saat ini, asalkan sekolah dijauhkan dari aktifitas bisnis dan hiburan sementara di sisi marketing mereka justru menjadikan lingkungan sekolah sebagai target pasar.

(21)

‘ajang pemerasan’. Maka yang harus diubah terlebih dahulu adalah cara berpikir dengan ‘paradigma manfaat / investasi bukan biaya’, baik bagi pengelola sekolah maupun (terutama justru) wali siswa. Berikutnya perlu diperbaiki pola kerjasama dengan swasta, harus ada formula yang tidak melulu menonjolkan keuntungan materiil maupun ‘penodongan terhadap anggaran sekolah’.

Dalam banyak hal, orang tua / wali siswa cenderung memandang sekolah dan berbagai kegiatannya (terutama yang non akademik) sebagai biaya, bukan investasi. Mereka belum dapat menyadari bahwa kualitas pendidikan sangat memerlukan dukungan finansial. Bahwa pendidikan harus dipandang dengan paradigma cost benefit ratio. Bahwa rasio manfaat yang diperoleh dari proses pendidikan itu bersifat intangible (tidak terukur), jelas tidak dapat dihitung dan diperbandingkan dengan nilai uang berapapun jumlahnya.

Karena investasi ilmu itu bersifat ‘will last forever’, berlaku selamanya, abadi. Kita tidak mungkin menghargai kemampuan membaca dan menulis dengan sejumlah uang, namun kita dapat

membayangkan bahwa manfaat biaya yang telah dikeluarkan agar anak kita bisa membaca dan menulis jauh lebih besar artinya dibanding nilai nominalnya. Selanjutnya kita dapat membayangkan bahwa berkat kemampuan membaca dan menulis maka anak kita sepanjang hidupnya akan mampu melakukan

berbagai hal produktif yang kalau dianggap sebagai pengembalian investasi, tidak bisa dihitung lagi berapa ratus, ribu bahkan juta kali lipat dari nilai nominal biaya yang telah kita keluarkan sebelumnya (selama ia sekolah) untuk menjadikan anak tersebut mampu membaca dan menulis.

Oleh karena itu adalah suatu ironi ketika kita melihat betapa para orang tua / wali senantiasa

mempermasalahkan berbagai biaya pendidikan baik akademik, apakah untuk keperluan buku, praktikum maupun ekstra kurikuler yang seringkali nilainya tidak lebih besar dari anggaran belanja ‘rokok’ seorang Bapak setiap bulan. Padahal kita sebagai manusia dewasa sangat memahami bahwa nilai ekonomis rokok bersifat ‘habis pakai’ dan malah cenderung bersifat negatif karena merugikan kesehatan. Tentu sangat tidak adil bila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh apabila ‘uang rokok’ tersebut dipergunakan secara semestinya demi kepentingan investasi pendidikan putera puterinya.

Di sisi lain orang tua dan siswa banyak yang menerima begitu saja keharusan membeli kelengkapan sekolah seperti seragam dan atribut yang nilainya jauh lebih besar, karena memandangnya sebagai keharusan dan malah kebanggaan, puas bila melihat anaknya berseragam. Seolah dengan membelikan seragam, orang tua telah berhasil memberikan identitas dan menjadikan anaknya orang pintar yang terhormat. Mereka malu bila anaknya terpaksa harus memakai seragam bekas pakai entah beli di tukang loak atau milik saudara.

Sedangkan untuk buku pelajaran mereka cukup membelikan yang bekas, padahal kita tahu justru buku yang harus senantiasa diperbaharui karena dunia pengetahuan setiap hari selalu berubah, ada hal baru, bahkan sejarah pun berubah. Semua itu harus ditulis daram buku, harus ada penulis yang bersedia membuatnya dan penerbit yang memproduksinya secara massal. Dan itu hanya mungkin terjadi apabila masyarakat terutama dunia pendidikan mau membeli buku setiap saat. Artinya kegemaran dan minat baca itu harus ditumbuhkan dan hal yang sangat utama dalam dunia pendidikan, orang tua dan masyarakat sudah seharusnya mendukung dan memfasilitasi hal tersebut.

Jelas suatu egoisme apabila nilai fisik seperti seragam, tas dan sepatu baru dipandang lebih bermanfaat ketimbang buku berkualitas. Sama halnya dengan mengutamakan penampilan baju baru, belanja dan rekreasi ketimbang silaturahim di hari lebaran. Nilai spiritual telah jauh ditinggalkan dan cukup digantikan dengan simbol fisik, duniawi yang sifatnya kosmetik.

(22)

Di masa mendatang berkat kemampuannya memposisikan diri secara tepat di tengah masyarakat maka sekolah akan menjadi sumber dan agen IPTEK. Orang akan datang ke sekolah untuk mencari dan mendapatkan segala ilmu pengetahuan yang diperlukannya. Sekolah dengan segala resource yang dimilikinya menjadi kontributor pengetahuan kepada masyarakat. Sekolah menjadi tulang punggung masyarakat yang berbasis pengetahuan.

Masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) inilah wujud paling ideal dari masyarakat madani. Dimana masyarakat sipil berperan dominan dengan tingkat spiritual dan penguasaan

pengetahuan yang tinggi serta kepedulian sosial. Masyarakat yang berbasis pengetahuan akan memiliki ketahanan terhadap berbagai gangguan. Mereka mampu untuk bertindak dan bersikap secara elegan dan beradab karena mereka memiliki kemampuan sosial serta pengetahuan luas yang terus berkembang setiap saat.

Pada tingkat lanjut sekolah harus mampu menjadi produsen ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara melakukan kompilasi, yaitu mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan dan selanjutnya dirumuskan menjadi bentuk yang baru baik itu secara teoritis maupun praktis. Yang kedua sekolah mampu

memproduksi, mengeksplorasi suatu pengetahuan baru. Untuk itu lembaga di dalam sekolah sendiri harus melakukan reposisi dan reorientasi fungsinya.

Sebagai contoh BP, lembaga yang selama ini menjadi eksekutor peraturan sekolah dan momok siswa, pada masa sekarang harus berubah. BP harus mampu menempatkan diri sebagai mediator dan katalisator antara sekolah dan siswa, BP harus memihak kepada kepentingan siswa dan profesional sebagai lembaga konselor bukan ‘provoost’. BP harus mampu memotivasi dan menggali potensi siswa semaksimal mungkin dan melakukan rehabilitasi bila diperlukan.

Dalam dunia yang penuh dengan kontradiksi nilai dan labilnya kejiwaan remaja maka BP harus berperan sebagai sahabat yang mampu mengarahkan ketimbang sebagai polisi. Hedonisme, permisifisme dan perubahan nilai sosial lain, kasus narkoba, pendidikan seks dan problematika lainnya termasuk

nasionalisme (yang saat ini makin luntur dan menjadi penyebab utama perpecahan bangsa) harus secara proaktif disosialisikan kepada siswa. BP dapat berperan sebagai agen ilmu pengetahuan sosial

kemasyarakatan bagi siswa.

Lembaga lain seperti guru wali juga harus mampu memposisikan diri sebagai orang tua kedua bagi siswa atau lebih tepatnya sahabat tua. Dan seorang sahabat akan berdiri dalam posisi sejajar bukan lebih tinggi, dia akan berperan sebagai pendengar bukan instruktor. Sebagian besar remaja menghabiskan waktunya di sekolah, interaksi dengan anggota keluarga dan orang tua yang sibuk bekerja menjadi sangat kurang sehingga hambatan komunikasi sangat mungkin terjadi. Untuk itu guru wali harus menjalankan peran mengganti yang mengakomodir permasalahan siswa selama berada di lingkungan sekolah.

Guru wali harus mampu melakukan pendekatan personal dengan memberikan penilaian serta pelaporan perkembangan individual dari aspek non akademis. Rapor misalnya, seharusnya tidak hanya berisi penilaian akademis namun juga hasil pengamatan psikologis individual, laporan prestasi non akademis (contoh : ekstra kurikuler), catatan reward and punishment berkaitan dengan peraturan sekolah bahkan bila perlu medical record dari UKS atau dokter sekolah termasuk resume perkembangan psikologis dari BP.

(23)

Apabila sekolah telah mampu menjadi lembaga pendidikan utama maka akan tumbuh kesadaran

masyarakat akan pentingnya pendidikan. Bila iklim ini dapat terbentuk maka tidak perlu lagi ada program wajib belajar yang cenderung bersifat memaksakan dan lebih mengejar target kuantitas ketimbang kualitas. Dengan sendirinya masyarakat menginginkan pendidikan, karena mereka tahu bahwa ada sekolah yang menjadi pusat pendidikan dan sumber Iptek yang dibutuhkan oleh masyarakat di lingkungannya. Di tempat inilah SDM bangsa ini dicetak untuk mengasah potensi sehingga unggul dan percaya diri karena memilki identitas pribadi sebagai individu yang diakui eksistensinya.

Sekolah, Lembaga Ilmu Pengetahuan

Sekolah dituntut untuk mentransfer Iptek yang sesuai dengan harapan serta kebutuhan masyarakat di lingkungannya melalui anak didiknya. Link and match adalah konsep yang sangat bagus, jangan sampai peserta didik (siswa) tercerabut dari realitas sosial masyarakatnya karena adanya kontradiksi antara nilai-nilai yang dipelajari di sekolah dengan kenyataan di lingkungannya.

Proses link and match sudah harus berlangsung sejak sekolah menengah. Pola pendidikan normatif seharusnya sudah tidak diperlukan lagi di tingkat menengah, karena psikologis remaja berada dalam fase pengembangan dan pencarian identitas. Pendidikan normatif sudah tidak diperlukan dalam fase ini, cukup di tingkat dasar dimana secara psikologis nilai-nilai sosial dan moral dasar ditanamkan.

Dalam konsep ini pendidikan kejuruan seharusnya lebih berperan ketimbang sekolah menengah umum. Karena profil kebutuhan masyarakat kita saat ini, adalah mendapatkan pengetahuan praktis dari sekolah untuk bekal bekerja. Dari level inilah seharusnya kebutuhan dunia kerja terhadap kelas pekerja

menengah dipenuhi. Selama ini, kebutuhan itu didapatkan dari sektor informal, tentu saja penghargaan terhadap kelas pekerja menengah menjadi sangat kurang karena tidak ada keterampilan formal.

Otomatis kesejahteraan masyarakat kelas menengah pun rendah. Padahal masyarakat kelas menengah yang mature jelas diperlukan bagi pembangunan masyarakat madani yang adil dan demokratis.

Sedangkan sekolah umum diperuntukkan bagi mereka yang memang menginginkan untuk berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi secara akademik, bukan praktis. Di tempat inilah kita akan menjumpai lahirnya para ilmuwan dan intelektual. Adalah salah bila mengharapkan mereka yang berada di jalur ini menjadi pekerja kelas menengah. Seharusnya mereka ini menjadi kelas pekerja profesional, suatu level yang akan diperebutkan ketika pasar bebas ASEAN mulai berlaku pada 2003 dan tahap selanjutnya.

Sekalipun ada dikotomi diantara keduanya namun secara substansial baik itu sekolah menengah umum maupun kejuruan, sama-sama mengemban amanat untuk mengkompilasi, mengembangkan dan merumuskan Iptek. Hanya secara praktis dalam hal aplikasi saja yang berbeda. Keduanya tetap berperan sebagai agen Iptek bagi masyarakat dan lingkungannya.

Dalam hal ini diperlukan suatu kurikulum yang progresif dan responsif dalam menanggapi dan menjawab berbagai tantangan dan perubahan yang demikian pesat dalam masyarakat. Maka sesuai dengan

semangat otonomi daerah, seharusnya memang permasalahan yang menyangkut perencanaan, susunan, strategi dan penerapan kurikulum dilakukan di tingkat lokal. Dengan demikian kebutuhan lokal lebih terakomodasi dan kurikulum setiap daerah akan lebih fokus kepada tantangan dan potensi yang ada. Indonesia terlalu luas dan kaya, tingkat keragamannya barangkali yang tertinggi di dunia dalam berbagai aspek, maka sangat naif apabila kebijakan pendidikan termasuk kurikulum harus ditentukan terpusat dan berlaku sama secara nasional. Pemerintah tidak akan pernah mampu untuk melakukan akselerasi dunia pendidikan karena skalanya akan menjadi terlalu luas, berat, kompleks dan membutuhkan pendanaan luar biasa besar. Di sisi lain daerah tidak memiliki kesempatan untuk mengaktulisasikan potensinya, bila ini terus beralngsung akibatnya tentu mereka akan kehilangan kepercayaan diri dan pada akhirnya tidak mampu eksis dalam persaingan global pada saatnya nanti.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Aplikasi Pendekatan Problem Solving dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Pada Materi Sistem Persamaan Linear

Menurut Guiltinan (1997:102), iklan akan dapat digunakan untuk mencapai paling tidak salah satu dari efek berikut, yaitu : tahap kognitif, yang mengindikasikan bahwa pesan

Fasilitator menjelaskan kegiatan apa saja yang harus dilaksanakan oleh peserta saat On The Job Learning terkait dengan modul yang sedang dipelajari. Fasilitator

Pelaksanaan suatu kegiatan akan berjalan lancar apabila dipersiapkan dengan optimal dan pada saat pelaksanaan semua unsur melaksanakan perannya dengan optimal dan

Strategi komunikasi Laznas Yatim Mandiri cabang Gresik yang digunakan untuk mencari donatur adalah dengan mengemas sebaik mungkin pesan-pesan yang akan disampaikan ke

Penilaian sikap mahasiswa dilakukan dengan skor yang didapatkan dari pengukuran tingkat kepercayaan dan evaluasi kepercayaan terhadap atribut-atribut kopi bubuk

Pembersihan semua permukaan alat/ tempat setelah digunakan untuk makan Kunci keberhasilan dalam pengolahan makanan yang aman dan sehat salah satunya adalah kesehatan penjamah

Menurut Aminullah (2003), ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu; (1) analisis