• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Konsep Kebenaran Cornelius Van

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penerapan Konsep Kebenaran Cornelius Van"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN KONSEP KEBENARAN CORNELIUS VAN TIL UNTUK MENGHADAPI TANTANGAN PASCAMODERNISME

TESIS INI DISERAHKAN KEPADA DEWAN PENGAJAR SEMINARI ALKITAB ASIA TENGGARA

UNTUK MEMPEROLEH GELAR MAGISTER TEOLOGI

DEPARTEMEN TEOLOGI DAN MISIOLOGI

OLEH

CHRISTIAN SULISTIO

(2)

TESIS INI TELAH DITERIMA DAN DISETUJUI OLEH

DEWAN PENGAJAR SEMINARI ALKITAB ASIA TENGGARA SEBAGAI BAGIAN DARI PERSYARATAN UNTUK GELAR

MAGISTER TEOLOGI

RAHMIATI TANUDJAJA, D. Miss. DEKAN AKADEMIK

________________ TANGGAL

KETUA PEMBIMBING ANGGOTA PEMBIMBING

(3)

ABSTRAK

Para filsuf pascamodernisme telah memberikan tantangan kepada konsep tentang kebenaran dan klaim kebenaran injili. Tantangan ini adalah tantangan mengenai bias, kebenaran yang membenarkan kekuasaan, dan kemajemukan. Tantangan masalah bias berkenaan dengan suatu kenyataan bahwa manusia dipengaruhi oleh perspektifnya masing-masing. Tantangan masalah kuasa berkaitan dengan kebenaran sebagai alat pembenaran kekuasaan. Tantangan masalah kemajemukan berkenaan dengan kenyataan kemajemukan klaim-klaim kebenaran.

Menghadapi tantangan ini penulis menyelidiki konsep kebenaran Cornelius Van Til dan penerapannya di dalam menghadapi tantangan pascamodernisme tersebut. Cornelius Van Til membangun epistemologinya dari Alkitab. Hal yang mendasar di dalam konsep kebenaran Van Til adalah korespondensi. Korespondensi antara pikiran manusia dengan dunia luar serta korespondensi antara pikiran manusia dengan pikiran Allah. Bagi Van Til, kebenaran adalah korespondensi pikiran manusia dengan pikiran Allah. Korespondensi pikiran manusia dengan pikiran Allah didapatkan melalui kesesuaian pikiran manusia dengan penyataan Allah yang tertulis yaitu Alkitab. Dengan demikian Alkitab menjadi kriteria kebenaran manusia percaya yang tertinggi.

Konsep kebenaran Van Til mengakui adanya obyektivitas. Obyektivitas di dapatkan ketika manusia mengambil perspektif Allah di dalam memandang realitas. Epistemologi harus bersesuaian dengan ontologi. Problem bias diatasi dengan mengambil prasuposisi atau perspektif yang tepat. Prasuposisi ini tentu saja ada pada prasuposisi Allah yang dinyatakan dalam Alkitab.

Konsep kebenaran Van Til mengakui bahwa kebenaran bukan berakhir pada dirinya sendiri. Kebenaran bersifat personal dalam pengertian digunakan untuk kemuliaan Allah dan mandat membangun kerajaan Allah di muka bumi ini. Kebenaran dipakai untuk Allah. Manusia memang memiliki kuasa sebagai raja wakil Allah di bumi ini, namun kuasa ini dipertanggungjawabkan kepada Allah sebagai pemilik kuasa ultima.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui lembaran ini, penulis hendak menaikan ucapan syukur dan terima kasih

kepada berbagai pihak yang telah memungkinkan selesainya penulisan tesis ini. Karya

tulis seperti ini merupakan karya “bersama.” Ia hanya mungkin karena adanya campur

tangan berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis ingin mengucapkan syukur dan terima

kasih. Pertama, kepada Allah Tritunggal yang menopang dan memelihara penulis

sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini. Di dalam karya tulis ini penulis menyadari

bagaimana Allah Tritunggal memungkinkan penulis mendapat pengetahuan.

Kedua, kepada para dosen pembimbing yaitu Pdt. Rahmiati Tanudjaja, D. Miss.

dan Pdt. Cornelius Kuswanto, Th. D. Mereka berdua telah membimbing penulis

menyelesaikan karya tulis ini. Masukan-masukan dari mereka sangat berharga bagi

selesainya karya tulis ini.

Ketiga, kepada Seminari Alkitab Asia Tenggara, terutama Pdt. Daniel Lucas

Lukito, Th. D., yang mengizinkan penulis menyelesaikan studi magister teologi di

kampus SAAT sambil mengajar.

Keempat, kepada rekan-rekan seperjalanan di dalam program magister teologi

mulai dari angkatan 2000.

Kelima, kepada keluarga penulis (Esther, Calvin, dan Christa) yang membuat

penulis dapat menjalani penulisan ini dengan sukacita. Tanpa kehadiran mereka

penulisan tesis ini menjadi sebuah pekerjaan yang “kering” dan “hening.”

(5)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ………..……… i

LEMBARAN SERTIFIKASI ……….………... ii

ABSTRAK ………... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ……….………... iv

DAFTAR ISI ………... v

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

Lahirnya Pascamodernisme dan Tantangannya ... 1

Tujuan dan Metode Penelitian ... 22

Sistematika Penulisan ... 23

II. KONSEP KEBENARAN TOKOH-TOKOH PASCAMODERNISME ULTRA-KRITIS ……….. 25

Michel Foucault: Murid Nietszhe yang Sejati ... 25

Jacques Derrida: Sang Pembongkar ... 42

Richard Rorty: Neo-Pragmatisme ... 59

Evaluasi Terhadap Pascamodernisme: Pascamodernisme Sebagai Kondisi Teologis ... 74

III. KONSEP KEBENARAN CORNELIUS VAN TIL ……… 82

Latar Belakang Pemikiran Van Til dan Karya-karyanya ... 84

Pengetahuan Manusia: Pengetahuan Analogis ... 88

Prasuposisi: Komitmen Kepada Penyataan Allah ... 97

Prasuposisi dan Fakta ... 104

(6)

Konsep Kebenaran ... 117

IV. PENERAPAN KONSEP KEBENARAN VAN TIL TERHADAP KONDISI PASCAMODERNISME ………..… 124

Kondisi Pascamodernisme Sebagai Dampak Kejatuhan ... 125

Problem Bias/Perspektif ... 134

Problem Kuasa dan Pengetahuan: Etika Pengetahuan ... 148

Problem Kemajemukan: Kebenaran yang Inklusif ... 157

V. PENUTUP ... 172

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

LAHIRNYA PASCAMODERNISME DAN TANTANGANNYA

Tidak dapat disangkal lagi bahwa kita hidup di dalam kebudayaan yang mengalami perubahan yang sangat signifikan. Kita melihat asumsi-asumsi yang membentuk pemikiran dan kebudayaan abad ke-20 telah mengalami erosi mulai dari dunia akademik sampai kepada fenomena sosial dan mulai digantikan oleh asumsi-asumsi yang baru. Perubahan ini adalah perubahan dari modernisme kepada pascamodernisme. Perubahan ini sama besarnya seperti perubahan dari Abad Pertengahan kepada zaman Modern.

Namun apa sebenarnya pascamodernisme? Apa perbedaannya dengan pascamodernitas? Istilah pascamodernisme memang merupakan istilah yang sukar didefinisikan. Istilah tersebut sukar didefinisikan karena memang kalangan pascamodernisme sendiri menolak untuk mendefinisikan pascamodernisme secara bulat, utuh, dan tunggal karena justru pengertian yang bersifat bulat, utuh, dan tunggal tersebutlah yang ditolak oleh pascamodernisme itu sendiri. Selain dari itu, kesukaran untuk mendefinisikan istilah pascamodernisme juga timbul dari beragamnya definisi yang diberikan kepada pascamodernisme itu sendiri. Jean-Francois Lyotard, misalnya, mendefinisikan pascamodernisme sebagai, “incredulity toward metanarratives.”1 Di sini pascamodernisme diartikan sebagai “ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi

(8)

besar; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi-seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apapun.”2 Alister McGrath mendefinisikannya sebagai “generally taken to be something of a cultural sensibility without absolutes, fixed certainties or foundation, which takes delight in pluralism and divergences, and which aims to think through the radical ‘situatedness’ of all human thought.”3 Di sini pascamodernisme dipandang dari sudut kebudayaan, di mana kebudayaan dipandang melalui sejarah sehingga tidak ada yang universal di dalam kebudayaan dan pikiran manusia, semua kebudayaan telah terkondisi oleh sejarah. Terry Eagleton mendefinisikan pascamodernisme sebagai “the end of such ‘metanarratives’ whose secretly terroristic function was to ground and legitimate the illusion of a ‘universal’ human history.”4 Dengan beragamnya definisi dan batasan yang diberikan maka sukar untuk membuat suatu definisi yang utuh dan tunggal. Namun demikian bukan berarti pascamodernisme merupakan suatu gerakan yang sama sekali asing sehingga tidak dapat dikenali. Paling tidak, kita dapat melihat adanya kesamaan di dalam gerakan pascamodernisme sebagai sebuah reaksi terhadap modernisme. Secara historis kita dapat mengatakan bahwa pascamodernisme merupakan suatu “kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern.”5

Pascamodernisme berbeda dengan pascamodernitas. Pascamodernitas menunjuk kepada “situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik,

2I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat(Yogyakarta: Kanisius, 1996) 28.

3A Passion for Truth(Downers Grove: InterVarsity , 1996) 184.

4“Awakening from Modernity,”The Time Literary Supplement (20 February 1987) 194, dikutip dari Grenz,A Primer48.

(9)

usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.”6 Pascamodernitas menunjuk kepada suatu era atau zaman di mana pandangan-pandangan, ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai pascamodernisme membentuk kebudayaan kita.7 Dengan pemahaman seperti ini maka kita dapat melihat bahwa kita, suka atau tidak suka, telah hidup di dalam zaman pascamodern meskipun kita tidak menerima pascamodernisme.

Dengan pemahaman bahwa pascamodernisme merupakan suatu kritik terhadap hal-hal yang berbau modernisme maka kita dapat lebih memahami pascamodernisme jika kita juga memahami modernisme itu sendiri. Modernisme adalah sebuah pola pikir yang bersandar kepada kekuatan rasio manusia, percaya kepada pemikiran manusia yang obyektif, metode saintifik empiris, dan kepada kemajuan sejarah umat manusia.8 Modernisme merupakan suatu filsafat, wawasan dunia, ideologi, dan keyakinan orang zaman modern. Menurut Henry Knight III, 9 modernisme sendiri memiliki ciri-ciri

6Ibid.

7Grenz,A Primer12.

8R. Detweiler, “Postmodernism” dalam Blackwell Encyclopaedia of Modern Christian Thought (ed. Alister E. McGrath; Oxford dan Cambridge: Blackwell, 1993) 456. Dengan pemahaman modernisme di atas maka kita dapat mengatakan bahwa modernisme merupakan suatu gerakan pemikiran dan wawasan dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh Rene Descartes (1596-1650), dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung), dan yang melestarikan dirinya hingga abad ke-20 ini melalui dominasi sains dan kapitalisme (lihat Sugiharto,Postmodernisme29). Modernisme hampir identik dengan Pencerahan meskipun tidak secara eksklusif dipengaruhi oleh Pencerahan. Modernisme juga dipengaruhi oleh Romantisisme.

Bila modernisme menunjuk kepada wawasan dunia dan pola berpikir maka modernitas lebih menunjuk kepada tatanan sosial yang dipengaruhi oleh modernisme (lihat David Lyon, Postmodernity

[Buckingham: Open University Press, 1994] 19). Modernisme merupakan “roh” atau “mentalitas” dari modernitas.

(10)

sebagai berikut: pertama, individualisme. Individu yang mandiri, bebas berpikir untuk dirinya sendiri, lepas dari perbudakan komunitas atau tradisi. Kedua, rasionalisme. Rasio merupakan kemampuan manusia yang universal, apa yang rasional bagi seseorang harus juga rasional bagi semua orang. Ketiga, keraguan metodologis. Jalan kepada kebenaran bukan melalui “iman yang memimpin kepada pengertian” (Agustinus) tetapi melalui refleksi kritis yang ketat sehingga akan dihasilkan kebenaran yang tak dapat diragukan lagi. Keempat, dualisme. Realitas terdiri dari materi dan pikiran. Konsep ini yang mendasari dualisme subyek/obyek dan dualisme pikiran/tubuh. Kelima, optimisme. Manusia, melalui rasio, akan membebaskan dirinya sendiri dari tahyul dan mendapat pengetahuan benar. Rasio manusia, yang telah dibebaskan dari masa lalu yang penuh kegelapan, akan membawa manusia kepada kemajuan melalui sains dan kebudayaan.

Apa yang diupayakan oleh manusia modern ini? Jurgen Habermas memaparkan proyek modernisme ini:

The project of modernity, formulated in the eighteenth century by the Enlightenmentphilosophes, consists of relentless development of the objectivating sciences, the universalistic bases of morality and law, and autonomous art in accordance with their internal logic but at the same time a release of the cognitive potentials thus accumulated from their esoteric high forms and their utilisation in praxis; that is, in the rational organisation of living conditions and social relations. Proponents of the Enlightenment . . . still held the extravagant expectation that the arts and sciences would further not only control of the forces of nature but also the understanding of self and world, moral progress, justice in social institution, and even human happiness.10

Dengan gambaran di atas, maka manusia modern adalah manusia yang percaya pada dirinya sendiri dan yang mengontrol nasibnya sendiri. Manusia modern adalah

digunakan oleh masyarakat (Reconstruction in Philosophy[New York: Henry Holt, 1929] 47-49, dikutip dari J. Richard Middleton dan Brian J. Walsh, Truth is Stranger than it Used to be [Downers Grove: InterVarsity, 1995] 14).

(11)

manusia yang tahu dengan pasti apa yang ia percayai dan ia mengetahuinya dengan kepastian karena ia mengetahuinya dengan menggunakan metode ilmiah. Manusia modern tidak memerlukan otoritas di luar dirinya sendiri karena ia mandiri, ia menjadi hukum atau otoritas bagi dirinya sendiri. Apa yang ia perlukan adalah keteguhan untuk mengikuti rasionya sendiri, dengan demikian maka ia, bersama manusia rasional yang lain, akan menikmati dan mengalami dampak kemajuan umat manusia.11 Manusia modern adalah manusia yang optimis.

Namun optimisme manusia modern ini dihancurkan oleh perang besar yang melanda Eropa dan dunia yaitu Perang Dunia I dan II, serta pembantaian yang terjadi terhadap orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi yang terkenal dengan sebutan Holocaust. Optimisme ini juga hancur karena dampak-dampak buruk yang dihasilkan oleh modernisme serta modernitas itu sendiri. Bambang Sugiharto12 menjelaskan enam dampak buruk dari modernisme beserta modernitas yang menyertainya. Pertama, terjadinya krisis ekologi. Pandangan dualistik modernisme yang membagi seluruh realitas menjadi subyek-obyek, roh-materi, manusia-dunia telah mengakibatkan obyektivisasi alam secara berlebihan dan eksploitasi alam secara semena-mena. Hal ini mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat obyektivistis dan positivistis akhirnya cenderung menjadikan manusia sebagai objek, dan masyarakat pun direkayasa seperti mesin. Akibatnya masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi. Ketiga, di dalam modernisme, ilmu-ilmu yang bersifat positif-empiris menjadi standar kebenaran tertinggi. Ia menjadi “kanon” untuk mengukur kebenaran ilmu-ilmu atau bidang-bidang pengetahuan yang lain. Akibatnya nilai-nilai religius dan moral

(12)

kehilangan wibawanya sebagai kebenaran dan mengakibatkan disorientasi moral-religius. Kondisi seperti ini akhirnya meningkatkan kekerasan, keterasingan, dan depresi mental di dalam masyarakat. Keempat, munculnya materialisme. Bila realitas mendasar (ultimate reality) tidak ditemukan di dalam agama maka ia akan ditemukan di dalam materi. Materialisme ontologis melahirkan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Dalam suasana seperti ini maka aturan main terutama adalah yang kuat akan menang (survival of the fittest), atau dalam skala lebih besar adalah persaingan dalam pasar bebas. Etika persaingan (yang terkuat menang) dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa, dan perusahaan-perusahaan modern. Kelima, munculnya militerisme. Ketika norma-norma religius dan moral sudah tidak berlaku lagi untuk mengatur kehidupan manusia maka norma-norma umum yang obyektif cenderung memudar. Dalam situasi yang demikian satu-satunya cara untuk mengatur kehidupan manusia adalah kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan. Manifestasi yang paling jelas dari hal ini adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Keenam, bangkitnya tribalisme yaitu mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Mentalitas ini merupakan konsekuensi logis dari hukum siapa yang kuat ia yang menang dan penggunaan kekuasaan yang bersifat pemaksaan.13

13David Lyon menguraikan dampak buruk zaman modern ini dari sudut pandang sosiologis dan mendaftarkanya sebagai berikut: pertama, terjadinya keterasingan dan eksploitasi manusia. Kedua, masyarakat hidup dalam ketidakpastian dan kehilangan arah.Ketiga, manusia diperbudak oleh teknologi.

(13)

Dengan munculnya dampak-dampak negatif ini maka reaksi dan kritik terhadap modernisme mulai bermunculan dan mengakibatkan kematian modernisme. Kapan tepatnya kematian modernisme ini sendiri memiliki beragam pendapat. Thomas Oden, misalnya, mengatakan bahwa akhir dari modernisme adalah pada tahun 1989 dengan rubuhnya tembok Berlin di Jerman.14 Nancey Murphy menyatakan bahwa modernisme berakhir tahun 1951 bersamaan dengan munculnya tulisan Willard Quine “Two Dogmas of Empiricism,” yang mengakhiri epistemologi modernisme.15 Penulis lebih memilih tahun 1960-an karena memandang modernisme lebih kepada suatu wawasan dunia (world view) yang banyak dipengaruhi oleh Pencerahan. Pada tahun 1960-an ini mulai berkembang pascamodernisme sebagai fenomena budaya dan berkembangnya filsafat yang mengkritik modernisme, misalnya pascastrukturalisme dan filsafat ilmu Thomas Kuhn, yang menunjukan wawasan dunia modernisme mulai mati.

Kapan lahirnya pascamodernisme? Pascamodernisme lahir pertama kali di dalam bidang seni. Konsep pascamodernisme lahir di dalam tulisan penulis Spanyol Federico de Onis yang berjudul Antologia de la Poesia a Hispanoamericanapada tahun 1934. Di dalam buku tersebut istilah pascamodern digunakan untuk menggambarkan reaksi yang muncul di dalam modernisme di dalam bidang puisi.16

Istilah pascamodern kemudian digunakan oleh sejarahwan Arnold Toynbee pada tahun 1947 untuk menggambarkan fase sejarah masa kini (fase sejarah keempat) yang

14“The Death of Modernity and Postmodern Evangelical Spirituality” dalam The Challenge of

Postmodernism (edisi kedua; ed. D. S. Dockery; Grand Rapids: Baker, 2001) 24. D. A. Carson tidak menyetujui pendapat Thomas Oden ini karena ia melihat bahwa perpindahan modernisme ke pascamodernisme pada dasarnya adalah pergeseran epistemologis. Runtuhnya tembok Berlin bukanlah suatu tanda pergeseran epistemologis, tetapi pergeseran yang disebabkan oleh faktor religius, epistemologis, ekonomis, dan politis (lihatThe Gagging of God[Grand Rapids: Zondervan, 1996] 77, catatan kaki 62).

15Beyond Liberalism and Fundamentalism(Harrisburg: Trinity, 1996) 87.

(14)

menggantikan fase sejarah “Barat III (modernisme).” Fase sejarah keempat (pascamodern) ini dimulai tahun 1875 yang kemudian diikuti oleh PD I dan II. Masa pascamodern ini ditandai dengan berakhirnya dominasi Barat, merosotnya individualisme, kapitalisme dan kekristenan. Hal ini terjadi akibat kebudayaan Barat bergerak kearah irasionalitas dan relativisme. Akibatnya kekuasaan bergeser dari kebudayaan Barat ke arah non-Barat dan kebudayaan dunia pluralis yang baru.17

Pada tahun 1960-an, menurut Grenz, “the mood that would characterize postmodernism become attractive to artists, architects, and thinkers who were seeking to offer radical alternatives to the dominant modern culture.”18 Pada masa ini pascamodernisme mulai merembes kedalam segenap lapisan masyarakat meskipun dari pinggiran dan belum sampai kepada arus utama kebudayaan. Pada masa ini pula seorang pengamat budaya, Leslie Fiedler, mulai menggunakan istilah pascamodernisme untuk menggambarkan kontra-budaya yang muncul pada waktu itu. Kontra-budaya yang cenderung anarkis namun kreatif yang berupaya melepaskan diri dari ortodoksi dan represi puritan itu sebetulnya sudah menunjukan ciri-ciri kebudayaan pascamodern.19

Pada tahun 1970-an pascamodernisme mengalami kristalisasi ide-ide dan mulai meresap ke dalam arus utama kebudayaan. Pada tahun 1970-an ini serangan gencar terhadap modernisme mulai terjadi. Steven Connor menjelaskan demikian:

Although the term ‘postmodernism’ had been used by a number of writers in the 1950s and 1960s, the concept of postmodernism cannot be said to have crystallized until about the mid-1970s, when claims for the existence of this diversely social and cultural phenomenon began to harden within and across a

17Ibid. Arnold Toynbee kemudian mengubah mulainya zaman pascamodern ini dengan Perang Dunia I tahun 1914.

18Ibid. 16.

(15)

number of different cultural areas and academic disciplines, in philosophy, architecture, cultural studies and literary subjects.20

Pada tahun 1980-an pergeseran paradigma dari modernisme ke pascamodernisme menjadi lengkap. Kehadiran buku Jean-Francois Lyotard yang berjudul La Condition postmoderne pada tahun 1979 dan terjemahannya dalam bahasa Inggris tahun 1984 menandakan bahwa kehadiran pascamodernisme telah menjadi arus utama disertai dengan lahirnya pascamodernitas kedalam kebudayan populer dan kehidupan sehari-hari manusia. Tidak terelakan lagi kita berada dalam kebudayaan pascamodern dan hidup dalam kebudayaan yang menerima pascamodernisme. Bahkan kawasan Asia pun tidak luput dari pengaruh pascamodern ini. Meskipun pascamodernisme merupakan suatu gerakan kultural di Barat akan tetapi ia juga mempengaruhi kehidupan intelektual dari banyak kebudayaan termasuk mereka yang berada di Asia. Dampak ini terutama dirasakan di negara-negara di mana perubahan sosial terlihat paling jelas. Negara-negara tersebut merupakan negara-negara yang proses pembangunannya sangat berkembang. Ini jelas mempengaruhi juga teologi dan misi di Asia.21

Pascamodernisme itu sendiri bukanlah suatu aliran pemikiran yang seragam. Di balik istilah pascamodernisme ini terdapat berbagai macam aliran atau kelompok. Henry Knight III22 membagi pascamodernisme ke dalam dua kelompok yang masing-masing berupaya untuk melampaui zaman modern ini akan tetapi mereka melakukannya dengan dua cara yang berbeda.

20Postmodernist Culture(Oxford: Blackwell, 1989) 6.

21Daniel J. Adams, “Toward a Theological Understanding of Postmodernism,” http://www.crosscurrents.org/adams.htm. Diskusi pascamodernisme mulai marak di Indonesia pada tahun 1993. Pada tahun tersebut diskusi pascamodernisme mulai merambat luas dikalangan intelektual Indonesia. Mereka membahas pascamodernisme di dalam hubungannya dengan agama, sastra, feminisme, politik, maupun kultur dalam pengertian yang luas (lih. Denny J. A., “Merem Postmodernisme,” Kompas [3 Desember 1993] 4, dan Tommy F. Awuy, “Latar Belakang Teoritis Postmodernisme,” Kompas [3 Desember 1993] 4).

(16)

Pertama, pascamodernisme ultra-kritis atau pascamodernisme dekonstruksionisme. Pascamodernisme model ini berupaya untuk mengatasi wawasan dunia modern dengan suatu pandangan yang anti wawasan dunia. Pascamodernisme ultra-kritis membongkar atau menghilangkan unsur-unsur yang perlu bagi sebuah wawasan dunia seperti konsep Allah, diri, tujuan, makna, dunia real, dan kebenaran sebagai korespondensi. Awalnya strategi dekontruksi ini bermaksud untuk mencegah sistem yang totalitarian akan tetapi kemudian pemikiran pascamodern ini jatuh ke dalam relativisme bahkan nihilisme. Pascamodernisme ultra-kritis dapat pula disebut ultramodernisme karena pascamodernisme ultra-kritis berupaya membawa premis-premis modernisme kepada konklusi-konklusi logis ekstrem.23 Tokoh-tokoh yang termasuk ke dalam kelompok pascamodernisme ultra-kritis di antaranya adalah: Jacques Derrida dan Michel Foucault dari filsafat pascastrukturalisme, Richard Rorty dari aliran filsafat neopragmatisme, dan Jean-Francois Lyotard.

Akar dari pascamodernisme ultra-kritis dapat ditemukan di dalam Pencerahan kedua atau pasca-Kantian. Pencerahan kedua berbeda dengan Pencerahan pertama. Walter Lowe menjelaskan perbedaan ini sebagai berikut:

The “first Enlightenment,” which had as its paradigm Newtonian physics, forced a recognition of nature as an autonomous order, to be explored by disciplined investigation. By contrast a second, more praxis oriented, political Enlightenment . . . may be said to represent a discovery of history: i.e., a discovery that existent social structures are not mandated by heaven, but can be refashioned by the collective will of mankind.24

23David Ray Griffin, “Introduction to SUNY Series in Constructive Postmodern Thought” dalam

Varieties of Postmodern Theology(Albany: State University of New York Press, 1989) xii.

(17)

Pencerahan kedua berupaya untuk mengurangi penderitaan manusia yang diakibatkan oleh tatanan sosial. Pencerahan kedua melihat bahwa penderitaan manusia tersebut dapat ditolong melalui perubahan sosial.

Problem yang muncul adalah meskipun Pencerahan kedua dapat melihat ideologi dari Pencerahan pertama tetapi Pencerahan kedua sendiri tidak sadar akan ideologi mereka. Pencerahan kedua cenderung mendekati sejarah sebagaimana Pencerahan pertama mendekati alam. Pencerahan kedua berpendapat bahwa mereka dapat mendekati sejarah dengan obyektif dan dapat menemukan hukum-hukum alam yang mengatur sejarah. Hukum-hukum alam ini mereka temukan melalui narasi yang dimulai dengan kesatuan yang asali, diikuti oleh perpecahan, dan mencapai puncaknya di dalam restorasi final. Hegelianisme, Marxisme, dan Darwinisme sosial mengembangkan versi-versi narasi mereka sendiri. Mereka cenderung untuk memandang narasi mereka sebagai metanarasi yang bersifat universal dan benar. Namun yang menjadi masalah adalah mereka cenderung untuk membenarkan penderitaan manusia masa kini sebagai sarana yang perlu untuk mencapai hasil yang lebih besar. Oleh sebab itu muncul upaya untuk membuka ideologi dari Pencerahan kedua ini. Namun timbul pertanyaan: “bagaimana mengekspos ideologi-ideologi dari Pencerahan kedua?”25

Kritik terhadap ideologi Pencerahan kedua ditemukan di dalam Pencerahan kedua itu sendiri, di dalam bentuk “hermeneutika kecurigaan.” Pionirnya adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872) yang menyatakan bahwa Allah merupakan proyeksi kualitas-kualitas terbaik manusia di layar yang tidak terbatas, teologi adalah suatu bentuk antropologi. Ia diikuti oleh Karl Marx (1818-1883) yang memperlihatkan bagaimana tatanan sosial merefleksikan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dari kelas-kelas

(18)

ekonomi yang berkuasa. Sigmund Freud (1856-1940) memperlihatkan bahwa yang mendasari tingkah laku manusia adalah motivasi-motivasi yang tidak disadari, beberapa motivasi di antaranya merupakan pesan moral masyarakat atau orang tua. Friedrich Nietzsche (1844-1900) melihat bahwa di balik kebudayaan dan moralitas terletak keinginan untuk berkuasa.26

Mereka berupaya untuk membuka apa yang tersembunyi, memperlihatkan apa yang secara diam-diam menindas agar manusia dibebaskan dari penindasan tersebut. Metode mereka adalah interpretasi yang menolak menerima apa yang nampak begitu saja namun yang berusaha menelanjangi kepentingan-kepentingan yang sebenarnya menciptakan, menopang, dan membela realitas-realitas yang nampak tersebut.27

Kalangan dekonstruksionisme, seperti Derrida, Foucault, dan neopragmatis, seperti Richard Rorty, menggunakan hermeneutika kecurigaan ini dan mengarahkannya kepada metanarasi itu sendiri. Dengan melakukan hal ini maka mereka memperlihatkan suatu pergeseran yang terjadi di dalam pemikiran dan kebudayaan Barat. Sebagai orang-orang pascamodernis mereka mendekati kehidupan dan masyarakat dengan kecurigaan daripada dengan kepercayaan. Mereka—mengikuti Nietzsche dan Freud—melihat klaim kebenaran sebagian besar sebagai sarana untuk mengabsahkan kepentingan-kepentingan untuk berkuasa. Mereka melihat bahwa segala sesuatu tidak nampak sebagaimana adanya. Penyamaran menutupi segala sesuatu. Oleh karena itu muncullah budaya ketidakpercayaan dan kecurigaan.

Mereka mencurigai klaim absolut dari kalangan modernisme dan menganggapnya sebagai suatu kesepakatan yang terkondisi secara historis. Apa yang dianggap sebagai

(19)

klaim-klaim universal sebenarnya adalah klaim-klaim yang terkondisi secara historis dan kultural. Akibatnya, kebenaran tidak lebih dari sebuah penjelmaan dari kehendak untuk menang dan mendominasi. Sebuah klaim kebenaran dari suatu kebudayaan dan komunitas akan dipandang sebagai penyamaran dari kehendak untuk berkuasa oleh kelompok lain. Jika kelompok yang berbeda memilih kriteria kebenaran yang berbeda, sebagai pengakuan bahwa klaim kebenaran adalah konvensi, maka apa yang dianggap benar oleh suatu komunitas akan berbeda dengan komunitas yang lain. Di dalam kondisi seperti ini maka argumen rasional dan dialog akhirnya menjadi retorika semata yang dimotivasi oleh manipulasi.28 Klaim-klaim ini, menurut mereka, juga disertai dengan kekerasan yang muncul dalam bentuk penjajahan dan marjinalisasi terhadap manusia bahkan terhadap bumi itu sendiri.29

Di dalam pemahaman seperti di atas maka pendekatan pascamodern ultra-kritis ini dapat disebut pascamodern karena mereka menolak kecenderungan modernisme untuk memutlakan dirinya sendiri. Akan tetapi di sisi yang lain mereka mewakili perkembangan akhir modernisme di mana logika keraguan metodologis dibawa sampai kepada batas akhirnya yang ekstrem.30

Kedua, pascamodernisme model kedua yang disebut pascamodernisme pasca-kritis atau konstruktif. Pascamodernis model ini mempertanyakan komitmen Pencerahan kepada keraguan metodologis dan tradisinya yang telah berkembang dari Descartes sampai kepada Derrida. Pascamodernis model ini berupaya untuk menemukan kembali

28Anthony C. Thiselton, Interpreting God and the Postmodern Self (Grand Rapids: Eerdmans, 1995) 12.

(20)

hermeneutika kepercayaan atau hermeneutika afirmatif daripada mengembangkan hermeneutika kecurigaan.31

Pascamodernisme model ini disebut pasca-kritis karena menggunakan kritik tanpa memutlakkannya. Paul Ricoeur, misalnya, mengatakan bahwa hermeneutika digerakan oleh motivasi ganda yaitu keinginan untuk mencurigai dan keinginan untuk mendengarkan. Untuk mencapai kebenaran, autentisitas, dan iman maka ikonoklasme diperlukan. Samaran dan topeng-topeng harus dibuka, ditelanjangi, bahkan dihancurkan. Di sini kritik diperlukan untuk mencapai kebenaran, ia berguna untuk membongkar ideologi-ideologi dan manipulasi yang menindas.32 Namun demikian iman yang mendengarkan juga diperlukan. Iman ini bukan iman pertama dari orang-orang sederhana tetapi iman yang telah melewati kritik, iman yang pasca-kritis. Ricoeur mengatakan: “the second faith of one who has engaged in hermeneutics, faith that has undergone criticism, post-critical faith. . . . It is a rational faith, for it interprets; but it is a faith because it seeks, through interpretation, a second naïveté.”33

Pascamodernisme model ini juga disebut pascamodernisme pasca-kritis karena pascamodernisme ini telah berpartisipasi di dalam modernisme, terutama di dalam skeptisismenya, dan mendapatkan bahwa bahwa skeptisisme itu sendiri kosong, tidak memberikan sesuatu yang membangun. Pascamodernisme konstruktif telah melakukan penelitian skeptis dan sampai kepada kesimpulan yang skeptis dan kemudian menjadi skeptis terhadap skeptisisme itu sendiri. Pascamodernisme ini lebih positif terhadap narasi, tradisi, dan komunitas. Mereka juga lebih konfiden kepada epistemologi dan

31Ibid. 60.

(21)

mengembangkan realisme kritis atau realis perspektival.34 Tokoh-tokoh yang masuk ke dalam golongan ini biasanya disebut berada dalam tradisi filsafat anglo-american.35 Di antara mereka misalnya: Ludwig Wittgenstein, Alasdair MacIntyre, dan Michael Polanyi.

Di dalam tesis ini pascamodernisme yang banyak dibahas adalah pascamodernisme ultra-kritis. Pascamodernisme ultra-kritis inilah yang banyak dibahas di dalam literatur-literatur kalangan injili dan menimbulkan tantangan bagi kalangan injili.

Pascamodernisme ultra-kritis maupun pasca-kritis, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:36 pertama, pascamodernisme bersifat komunitarian. Di dalam pascamodernisme manusia dipandang lebih menyeluruh. Pascamodernisme menekankan sisi relasionalitas dan kerja sama. Ia tidak lagi bersifat individualisme seperti modernisme. Komunitas ada sebelum individu bahkan praktek-praktek dan relasi-relasi di dalam komunitas inilah yang mendefinisikan kepribadian seorang individu. Memang ada perbedaan pendapat mengenai relasi yang tepat antara komunitas dan individu. Stanley Grenz mengatakan bahwa individu tidaklah bebas seperti yang dipikirkan oleh modernisme akan tetapi individu tersebut berpikir di dalam pola-pola yang telah ditentukan oleh konteks sosial budayanya. Kebenaran-kebenaran yang diterima oleh seseorang bahkan pengertiannya mengenai kebenaran itu sendiri merupakan fungsi dari komunitas di mana seseorang itu terlibat.37 Tetapi Middleton dan Walsh mengatakan bahwa pascamodernisme memang

34Middleton dan Walsh,Truth is Stranger31. Realisme kritis mengakui bahwa ada realitas di luar kita (realisme) namun jalan masuk mencapai realitas tersebut adalah dengan jalan berpilin atau spiral yaitu berupa percakapan antara pengamat dan obyek yang diamati (kritis).

35Nancey Murphy bahkan mengatakan bahwa mereka yang berada di dalam tradisi pascamodernisme anglo-american (filsafat analitik) inilah yang tepat disebut sebagai pascamodernis. Karena mereka telah meninggalkan banyak asumsi-asumsi modernisme, lih. Beyond Liberalism 87. Mereka menolak konstruksi pengetahuan yang bersistem. Secara historis mereka berfokus pada logika, penalaran yang cermat, dan bagaimana bahasa digunakan. Pascamodernisme ini kurang radikal dibandingkan dengan pascamodernisme kontinental.

(22)

meninggalkan upaya pencarian terhadap kebenaran yang universal akan tetapi mereka masih tetap mempertahankan otonomi manusia seperti yang diimpikan oleh Francis Bacon. Manusia pascamodernisme tidak menemukan kebenaran akan tetapi manusia mengkonstruksi kebenaran melalui bahasanya. Oleh sebab itu umat manusia bebas menggunakan bahasa untuk mengkonstruksi dunia yang lebih manusiawi lagi. Kebenaran adalah konstruksi sosial manusia semata-mata.38

Kedua, pascamodernisme mengembangkan epistemologi nonfondasionalisme. Pascamodernisme menolak epistemologi fondasionalisme. Fondasionalisme merupakan sebuah epistemologi modernisme yang menyatakan bahwa “mediately justified beliefs require epistemic support for their validity in immediately justified beliefs,”39 atau dari perspektif lain suatu pandangan yang menyatakan bahwa sistem pengetahuan, di dalam isi dan metode, memerlukan prinsip pertama. Prinsip pertama ini biasanya sesuatu yang dianggap terbukti dengan sendirinya dan kebal dari serangan keraguan metodologis.

Namun kenyataannya tidak ada dasar yang terbukti dengan sendirinya dan kebal dari keragu-raguan. Fakta bahwa empirisme memilih pengamatan empiris sebagai dasar pengetahuan dan rasionalisme memilih rasio sebagai dasar pengetahuan memperlihatkan bahwa dasar itu sendiri dapat diragukan dan tidak bersifat terbukti dengan sendirinya. Oleh sebab itu kalangan pascamodernisme mengembangkan epistemologi yang bersifat nonfondasionalisme. Pascamodernisme berbicara mengenai jaringan kerja atau jejaring kepercayaan. Bagi kalangan pascamodernis pengetahuan manusia merupakan kumpulan klaim yang secara koheren terikat satu dengan yang lain di dalam sebuah tradisi. Analogi

38Middleton dan Walsh,Truth is Stranger41-42.

(23)

yang sering dipakai untuk menggambarkan pengetahuan manusia ini adalah jaring atau rakit di mana pengetahuan manusia terikat satu dengan yang lain seperti jaring atau rakit.

Ketiga, kepercayaan di dalam tradisi. Bagi kalangan pascamodernisme semua aktivitas epistemologis (kegiatan mengetahui) manusia berakar di dalam suatu tradisi tertentu. Hal ini membuat manusia dapat menggunakan rasio, nalar, dan proyek pengetahuannya hanya di dalam tradisi sebuah komunitas. Justru di dalam tradisi manusia dapat belajar dan mendapatkan pengetahuan. Bahkan Descartes berpartisipasi di dalam suatu tradisi pemikiran untuk dapat mengembangkan proyeknya mencari dasar yang tak tergoyahkan.40 Oleh sebab itu pascamodernisme sangat menghargai tradisi suatu komunitas.

Keempat, pascamodernisme cenderung untuk melihat segala sesuatu secara holistik. Pascamodernisme tidak memandang obyek penelitian sebagai sesuatu yang dapat dibagi-bagi ke dalam komponen-komponen yang lebih kecil, sebaliknya pascamodernis memandang keseluruhan lebih besar daripada bagian-bagiannya. Akibatnya mereka menganggap bahwa realitas alam dan budaya lebih baik dipahami di dalam kesatuan organiknya.41

Pascamodernisme juga tidak melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang obyektif dan netral, di mana pengamat dapat mengamati obyeknya tanpa keterlibatan prasuposisi atau paradigma. Sebaliknya mereka memandang pengetahuan sebagai sebuah hasil dari partisipasi pengamat dengan obyek yang diamati.

Dengan konsep tersebut maka rasio bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai pengetahuan. Masih ada banyak jalan lain untuk mencapai pengetahuan. Jalan itu antara

(24)

lain melalui emosi dan intuisi. Dengan demikian manusia tidak hanya dipandang dari segi kognitifnya tetapi secara keseluruhannya. Manusia adalah pribadi yang utuh dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh konteks di mana ia berada. Konsep manusia inilah yang dikembangkan oleh pascamodernisme.

Kelima, pascamodernisme mengembangkan sikap pesimisme. Pascamodernisme tidak lagi memandang pengetahuan baik di dalam dirinya sendiri, pengetahuan dapat membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, dan bahwa dunia ini akan menjadi lebih baik. Mereka melihat banyaknya bencana ekologi yang disebabkan oleh manusia mulai dari lubang ozon sampai kepada pemanasan global. Mereka juga melihat terjadinya kekerasan di antara para remaja.42 Eksistensialisme yang muncul di pertengahan abad ke-20 merupakan contoh awal dari pesimisme manusia ini.

Namun demikian di dalam beberapa kelompok pascamodernisme muncul suatu optimisme baru. Pascamodernisme ini beranggapan bahwa manusia yang membangun realitas maka terbukalah kesempatan bagi manusia untuk membangun dunia yang lebih baik melalui pembaharuan cara kita memandang realitas. Jika kita memandang segala klaim-klaim kebenaran sebagai sesuatu yang relatif secara kultural maka kita dapat menerima satu dengan yang lain dan menghormati kebudayaan-kebudayaan yang lain dan hidup di dalam kedamaian.43

Dengan mengembangkan tema-tema seperti di atas maka kita dapat melihat bahwa di pusat pemikiran pascamodernisme ini terletak suatu relativisme baru yang radikal yang menghasilkan pluralisme.44 Bagi pascamodernisme tidak ada

kepercayaan-42Grenz,A Primer13. 43Knight III,A Future55-56.

44John W. Cooper, “Reformed Apologetics and the Challenge of Post-Modern Relativism,”Calvin

(25)

kepercayaan manusia, klaim-klaim kebenaran, atau pengetahuan manusia yang absolut. Hal ini disebabkan oleh adanya perspektif manusia yang berbeda-beda. Pandangan seperti ini menghasilkan relativisme radikal. Semua kebenaran-kebenaran baik itu kebenaran agama, moral, ilmiah, dan bahkan akal sehat (common sense) ditentukan oleh paradigma atau wawasan dunia. Bagi kalangan pascamodernisme semua tatanan dan makna realitas disediakan oleh kerangka kerja kultural dan linguistik seorang individu atau kelompok sosial.

Relativisme radikal ini tentu saja memberikan tantangan bagi kekristenan. Tantangan yang paling mendasar adalah dalam bidang epistemologi, di dalam konsep tentang kebenaran.45 Di dalam kekristenan bidang yang paling sensitif terhadap tantangan ini adalah apologetika yang merupakan sebuah upaya untuk membela dan mempertanggungjawabkan klaim kebenaran Kristen terhadap dunia.46 Kekristenan mengklaim bahwa klaim-klaim kebenarannya bukan hanya untuk orang Kristen tetapi juga untuk semua umat manusia sehingga klaim-klaim tersebut statusnya bersifat universal. Di dalam zaman pascamodern ini hal itu tentu saja menimbulkan pertanyaan: “Bagaimana klaim kebenaran Kristen tersebut dipandang secara serius ketika begitu banyak alternatif yang lain dan ketika konsep kebenaran itu sendiri mengalami penurunan nilai?”

Menghadapi tantangan ini kalangan injili memberikan berbagai macam respon. Ada yang secara positif menerima situasi pascamodern ini dan menerima beberapa

45David S. Dockery, “The Challenge of Postmodernism,” dalamThe Challenge12.

46McGrath, A Passion 188. Tentu saja tantangan ini merupakan tantangan yang komprehensif karena pascamodernisme merupakan suatu wawasan dunia (suatu teori yang komprehensif mengenai pengetahuan, realitas, dan kebenaran) yang menantang wawasan dunia Kristen. Sehingga hampir semua bidang kekristenan menghadapi tantangan ini baik di dalam agama, komunitas, seni, dan epistemologi, lihat Gene Edward Veith, Postmodern Times (Wheaton: Crossway, 1994), juga buku Middleton dan Walsh,

(26)

pandangan-pandangan pascamodernisme. Bahkan, bagi kalangan injili ini, berteologi harus mempertimbangkan konteks pascamodernisme ini. Di antara mereka yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah injili pascakonservatif (Postconservative Evangelical).47 Ada pula yang memandang bahwa pascamodernisme tidak sesuai dengan iman Kristen oleh karena itu harus ditolak sama sekali. Mereka yang termasuk di dalam kelompok ini, misalnya, David Wells,48 Douglas Groothuis,49 dan Carl F. Henry.50 Di tengah-tengah kelompok ini terdapat kelompok moderat yang menerima beberapa konsep dan kritikan pascamodernisme terhadap modernisme tetapi yang mempertanyakan secara kritis agenda dan wawasan dunia pascamodern. Di antara mereka, misalnya, Alister McGrath,51dan Kevin Vanhoozer.52

Di dalam terang pendekatan moderat ini maka penulis mencoba untuk mengembangkan suatu konsep kebenaran yang dapat menghadapi tantangan pascamodernisme. Konsep kebenaran tersebut diharapkan bersifat biblikal, setia pada tradisi injili, tetapi dapat relevan ditengah-tengah zaman pascamodern ini. Penulis melihat ke dalam tradisi injili, terutama tradisi reformed injili, untuk menghadapi tantangan ini. Di dalam tradisi ini, penulis melihat Cornelius Van Til merupakan teolog

47Injili Pascakonservatif merupakan sebuah gerakan di kalangan injili Amerika Utara. Mereka masih menganut empat ciri injili yaitu: pertama, konversionisme, yaitu penekanan pada kelahiran baru sebagai pengalaman agama yang mengubah kehidupan seseorang. Kedua, biblisisme, yaitu percaya kepada Alkitab sebagai otoritas religius yang terutama. Ketiga, aktivisme yaitu suatu kepedulian untuk memberitakan Injil. Keempat, crusissentrisme (berpusat pada salib) yaitu penekanan pada karya penebusan Yesus Kristus di atas kayu salib. Namun mereka tidak lagi melihat bahwa tugas utama mereka adalah membela iman Kristen melawan modernisme atau liberalisme. Mereka merasa bahwa tugas mereka adalah berteologi di dalam konteks pascamodernisme. Di antara mereka ini adalah: Stanley Grenz, Clark Pinnock, Nancey Murphy. Lihat Roger E. Olson, “Postconservative Evangelicals Greet the Postmodern Age” http://www.religion-online.org/cgi-bin/relsearchd.dll/showarticle?item _id=85.

48Lihat bukunyaNo Place for Truth(Grand Rapids: Eerdmans, 1993). 49Truth Decay(Downers Grove: InterVarsity, 2000).

50Lihat “Postmodernism: A New Spectre?” dalamThe Challenge34-51. 51McGrath,A Passion163-200.

52Kevin J. Vanhoozer, “Mapping Evangelical Theology in a Post-modern World,” Evangelical

(27)

dan apologet Kristen yang unik.53 Ia, menurut hemat penulis, berada di perbatasan antara modernisme dan pascamodernisme. Van Til menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk interpretator. Ia menginterpretasi alam semesta di bawah Allah. Manusia berdosa telah menginterpretasi alam tanpa referensi kepada Allah sehingga menciptakan interpretasi yang keliru dan menghasilkan pengetahuan yang salah. Karena manusia adalah makhluk interpretator maka semua fakta diinterpretasi oleh manusia. Fakta dan interpretasi terhadap fakta tidak dapat dipisahkan. Sebagai akibatnya maka tidak ada fakta yang netral atau “obyektif” tanpa interpretasi. Manusia menginterpretasi fakta berdasarkan prasuposisinya. Jika fakta tersebut diinterpretasi berdasarkan prasuposisi54 yang berdasarkan penyataan Allah maka fakta tersebut akan menghasilkan kebenaran tetapi bila diinterpretasi tanpa prasuposisi penyataan Allah maka akan menghasilkan pengetahuan yang keliru. Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang tanpa prasuposisi dan obyektif. Bahkan kebenaran bergantung kepada prasuposisi seseorang.

Namun demikian Van Til tidak jatuh ke dalam relativisme. Ia masih tetap mengakui adanya kebenaran mutlak dan universal yang terdapat di dalam kekristenan. Van Til sendiri mengakui bahwa semua orang harus menerima klaim-klaim kebenaran Kristen sebagai sebuah kebenaran.

TUJUAN DAN METODE PENELITIAN

53Cornelius Van Til pada hakekatnya adalah seorang apologet, akan tetapi ia juga berbicara tentang teologi sehingga John M. Frame menyebut sebagai teolog (lihat Van Til: the Theologian

[Phillipsburg: Pilgrim, 1976]).

(28)

Dengan latar belakang tersebut di atas maka kalangan injili diperhadapkan dengan tantangan untuk membangun suatu konsep kebenaran yang biblikal, injili serta mampu mengadopsi pandangan-pandangan pascamodernisme yang absah sehingga dapat menghadapi tantangan pascamodern.

Penyelidikan ini mencoba meneliti aplikasi konsep kebenaran Cornelius Van Til untuk menghadapi tantangan pascamodernisme tersebut. Bagaimana konsep kebenaran Van Til dapat diaplikasikan untuk menghadapi tantangan pascamodernisme ini. Melalui aplikasi konsep kebenaran Van Til diharapkan akan didapatkan suatu konsep kebenaran yang biblikal, injili, dan juga mampu menghadapi tantangan zaman pascamodernisme. Melalui penyelidikan ini penulis mengharapkan kalangan injili menyadari bahwa tradisi injili memiliki kekayaan untuk menghadapi tantangan ini tanpa perlu menjadi injili pascakonservatif.

Penyelidikan di dalam tesis ini menggunakan metode deskriptif analitis. Penulis berupaya untuk menggambarkan tantangan dari kalangan pascamodernisme dan juga konsep kebenaran dari Van Til. Pemaparan ini diupayakan merupakan sebuah pemaparan yang koheren dengan semua data-data yang penulis kumpulkan mengenai pascamodernisme dan Van Til. Dari pemaparan ini kemudian akan ditarik kesimpulan mengenai bagaimana penerapan konsep kebenaran Van Til tersebut di dalam membangun epistemologi Kristen dalam pengertian biblikal dan sesuai dengan tradisi historik kekristenan yang injili, serta mampu menghadapi tantangan pascamodernisme.

(29)

SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: Pada bab pertama penulis akan menguraikan latar belakang masalah dan tantangan yang muncul akibat munculnya pascamodernisme.

Bab kedua berisi pemaparan konsep kebenaran yang muncul dari tokoh-tokoh pascamodernisme dekonstruksionisme yaitu Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Richard Rorty. Penulis akan memaparkan pandangan tokoh-tokoh pascamodernisme yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.

Pada bab ketiga penulis akan memaparkan konsep kebenaran Cornelius Van Til. Penulis akan menguraikan secara singkat latar belakang Van Til, konsep Van Til mengenai analogi, prasuposisi, fakta, titik pijak bersama (common ground), netralitas, dan kebenaran.

Pada bab keempat penulis mengaplikasikan konsep kebenaran Van Til untuk menghadapi tantangan epistemologi pascamodernisme. Penulis akan menganalisa akar problem pascamodernisme menurut teori kebenaran Van Til, kemudian penulis akan memaparkan bagaimana Van Til dapat menghindari problem bias, pengetahuan sebagai pembenaran kuasa, dan menghadapi masalah kemajemukan.

(30)

BAB II

KONSEP KEBENARAN TOKOH-TOKOH PASCAMODERNISME ULTRA-KRITIS

Bab ini akan memaparkan pandangan tokoh-tokoh pascamodernisme ultra-kritis

mengenai kebenaran. Setelah memaparkan pandangan para tokoh ini, penulis akan

membuat penilaian positif maupun negatif mengenai konsep kebenaran mereka. Bab ini

meletakan landasan untuk melihat bagaimana konsep kebenaran Cornelius Van Til

memperhatikan keabsahan dari pascamodernisme dan bagaimana konsep kebenaran Van

Til memperbaiki pandangan para tokoh pascamodernisme ini. Dengan kata lain, bab ini

bertujuan untuk menjadi dasar bagi bab selanjutnya yaitu melihat bagaimana konsep

kebenaran Van Til dapat diaplikasikan untuk menghadapi tantangan pascamodernisme.

Tentu saja tidak semua konsep dari para tokoh ini akan dipaparkan. Hanya

konsep-konsep para tokoh pascamodernisme yang berkaitan dengan masalah

epistemologis khususnya konsep kebenaran mereka yang akan diperhatikan.

MICHEL FOUCAULT: MURID NIETZSCHE YANG SEJATI

Michel Foucault (1926-1984) merupakan penerus Friedrich Nietzsche yang sejati

di abad ke-20. Ia disebut sebagai murid Nietzsche yang sejati karena menggunakan

kecurigaan Nietzsche secara ekstrim terhadap semua klaim-klaim kebenaran, nilai-nilai

etis, bahkan hidupnya sendiri merupakan sebuah praktik gaya berfilsafat Nietzsche.55 Ia

(31)

hidup dengan membongkar segala sesuatu yang dianggap sebagai kodrat, yang

membungkus eksistensi manusia. Kehidupan Foucault memperlihatkan bahwa yang

kodrati tersebut merupakan hasil dari konsep berpikir pada masa atau zaman tertentu.

Kehidupan Foucault yang membongkar hal-hal yang kodrati tersebut akhirnya berujung

kepada kematiannya sendiri akibat dari penyakit AIDS.56

Karya-karya Michel Foucault sangat berpengaruh di bidang ilmu-ilmu sosial.

Karya-karya ini dapat dibagi ke dalam tiga tahapan, karena karya-karya Michel Foucault

mengalami perkembangan dari waktu ke waktu akibat perkembangan pemikirannya.

Tahap pertama adalah tahap di mana Foucault berkonsentrasi pada wacana atau displin

mengenai pengetahuan. Pada masa ini, ia berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan

epistemologis. Dalam tahap kedua, Foucault banyak berbicara tentang kuasa dan cara

kuasa tersebut digunakan untuk mengontrol sebuah populasi baik di institusi rehabilitasi

mental, rumah sakit, atau di penjara. Tahap terakhir adalah masa di mana Foucault

berkonsentrasi untuk merekonstruksi teori tentang subyek atau tentang diri (self).57

Namun pada tahap apapun sebenarnya pemikiran Foucault pada dasarnya

memanifestasikan suatu keinginan yang konstan untuk melucuti subyek dari kuasa-kuasa

yang tidak layak dan hak-hak khususnya. Foucault memperlakukan subyek tersebut

sebagai fenomena bahasa. Dengan jalan demikian Foucault menempatkan klaim-klaim

kebenaran dari manusia Pencerahan yang rasionalis pada tempatnya, yaitu sebagai klaim

yang bergantung pada sejarah. Klaim tersebut muncul pada periode tertentu di dalam

(32)

sejarah. Akibatnya subyek transenden yang berdiri di atas sejarah dipandang sebagai

produk dari zaman tertentu saja yang dalam hal ini adalah zaman Pencerahan.58

Sebelum penulis membahas lebih lanjut pemikiran Foucault, penulis akan

memaparkan terlebih dahulu riwayat hidup dan karya-karya Foucault secara ringkas,

karena kehidupan dari Foucault sangat mempengaruhi pemikirannya.

Pemikiran-pemikiran Foucault tidak dapat dimengerti lepas dari kehidupannya.

Riwayat Hidup dan Karya-Karya Foucault

Sesuai dengan pemikiran Foucault maka ia tidak pernah mengisahkan riwayat

hidupnya. Bahkan ia enggan untuk menyampaikan data biografis tentang dirinya sendiri

walaupun beberapa orang melakukannya setelah Foucault meninggal.59 Michel Foucault

dilahirkan tanggal 15 Oktober 1926 di kota Poitiers, Prancis. Ia tertarik dengan filsafat,

sejarah, dan psikologi khususnya psikopatologi. Pada tahun 1945, ia masuk Ecole

Normale Superieure dan belajar di bawah bimbingan G. Canguilhem, G. Dumezil, dan J.

Hyppolite. Kemudian Foucault mendapat gelar Licence de Philosophie tahun 1948, gelar

Licence de Psychologie tahun 1950, dan mendapat diploma dalam psikopatologi tahun

1952.60

Ia menjadi anggota partai komunis pada tahun 1950 tetapi tiga tahun kemudian ia

keluar dari partai tersebut setelah Stalin meninggal. Pada tahun 1952 ia menjadi asisten

pengajar di Universitas Lille. Ia menerbitkan buku Mental Illness and Psychology pada

tahun 1954 yang memetakan perbedaan metode-metode psikologi fenomenologi,

eksistensial, dan Marxis. Selama enam tahun (1954-1960) ia melakukan serangkaian

(33)

pekerjaan di Upsalla, Warsawa, dan Hamburg. Pada tahun 1960 ia kembali ke Prancis

untuk mengajar filsafat dan psikologi di Universitas Clermont–Ferrand. Pada tahun 1963

ia menerbitkan buku Madness and Civillization yang merupakan ringkasan dari

disertasinya. Buku tersebut memaparkan tentang sejarah ketidakwarasan. Pada tahun

yang sama ia menerbitkan buku The Birth of Clinic. Pada tahun 1966 ia menulis buku

The Order of Things: An Archeology of The Human Sciences yang membuatnya menjadi

terkenal. Tujuan Foucault di dalam buku ini adalah untuk mengetahui bagaimana

manusia menjadi obyek pengetahuan dalam budaya Barat. Sejak terbitnya buku ini maka

Foucault dianggap filsuf muda terpenting di dalam aliran strukturalisme, tetapi Foucault

sendiri menolak disebut sebagai filsuf strukturalisme. Tahun 1966 sampai 1968 ia

mengajar filsafat di Tunisia. Pada akhir 1968 ia kembali ke Prancis dan mengajar di

Vincennes tetapi ia keluar dan mengajar di College de France tahun 1970. Pada tahun

1969 terbit bukunya yang berjudul The Archeology of Knowledgeyang berbicara tentang

penelitian metodologis tentang pengetahuan, sejarah, wacana, dan sekaligus kritik

terhadap buku-bukunya yang terdahulu. Pada tahun 1975 ia menerbitkan bukuDiscipline

and Punish yang mempelajari asal-usul historis dari lembaga pemasyarakatan dan sistem

hukuman.61

Dari College de France ini Foucault aktif menulis, terlibat dengan aktivitas politik

dan mengajar di beberapa negara termasuk di Amerika Serikat. Pada akhir tahun 1970-an

ia mengajar di Universitas California di Berkeley sebagai dosen tamu. Selama

waktu-waktu tersebut ia terlibat aktif di dalam komunitas homoseksual termasuk cabang

kebudayaan sado-masochisme dan dalam penggunaan obat-obat terlarang di California.62

61Ibid. 300.

(34)

Ia selalu berupaya untuk mengubah tekstur kehidupan sehari-harinya. Karena itu ia

mencari kesenangan total yang lengkap dan pengalaman perbatasan yang ia asosiasikan

dengan kematian. Melalui pengalaman perbatasan—yang ia asosiasikan dengan

pengalaman di dekat kematian—di California Foucault berusaha meneguhkan secara

dramatis tesisnya bahwa tubuh (seperti juga jiwa) merupakan konstruksi sosial sehingga

secara prinsip dapat diubah.63

Pada masa-masa ini Foucault menerbitkan buku mengenai History of Sexualitydi

mana jilid pertamanya terbit tahun 1976. Buku-buku ini direncanakan terbit enam jilid

tetapi sampai pada kematiannya pada tahun 1984 ia hanya menerbitkan tiga jilid. Jilid

kedua terbit tahun 1982 dengan judul The Use of Pleasure, kemudian disusul jilid ketiga

tahun 1984, sebelum ia meninggal, dengan judul The Care of The Self. Ia meninggal di

Paris pada tanggal 25 Juni 1984 karena penyakit AIDS yang menghinggapinya.64

Epistemologi Michel Foucault

Konsep-konsep Foucault sukar dipaparkan secara sistematis. Kesukaran ini

diakibatkan karena Foucault sendiri tidak berupaya untuk membangun sebuah sistem

pemikiran komprehensif yang menjelaskan segala sesuatunya, bahkan kadangkala ia

membuat pernyataan yang bertentangan dengan pernyataannya yang lain.65 Oleh sebab

itu kita hanya dapat merekonstruksi konsep-konsepnya dari tulisan-tulisannya.

(35)

Menurut Foucault setiap upaya untuk membuat tatanan66—upaya untuk

mengklasifikasi benda-benda atau obyek suatu upaya pengelompokan, pemisahan, analisa,

mencocokkan, dan menempatkan benda-benda tersebut di dalam kategori-kategorinya

yang dapat dimengerti—memerlukan adanya dasar yang koheren, standar kriteria di

dalam pikiran manusia, yang Foucault sebut sebagai jaringan (grid) identitas, kesamaan,

dan analogi. Jaringan ini merupakan jaringan yang koheren yang tidak bersifat a priori

atau harus ada (necessary), serta tidak pula berdasar persepsi langsung terhadap obyek.

Jaringan ini merupakan suatu sistem unsur (a system of elements) yaitu definisi dari

unsur-unsur yang diperbandingkan, tipe-tipe variasi yang diperhatikan, dan ambang batas

kesamaan dan perbedaan. Sebagai contoh ketika kita mengelompokkan obyek-obyek

bersama-sama atau membedakan mereka satu dengan yang lain maka kita melakukannya

berdasarkan kesamaan atau perbedaan karakteristik/sifat obyek-obyek tersebut. Sistem

sifat/karakteristik inilah yang membentuk jaringan tersebut. Tidak ada

klasifikasi/penataan bahkan yang paling sederhana sekalipun, atau sesuatu yang dapat

dikenali tanpa adanya jaringan tersebut sebelumnya. Foucault mengatakan: “Asystem of

elements’ . . .is indispensable for the establishment of even the simplest form of order.”67

Manusia membuat realitas menjadi dapat dimengerti dan masuk akal tidak hanya

dengan satu jaringan tetapi dengan sistem unsur yang kompleks, yang tertata di dalam

66Maksud Foucault dengan tatanan adalah, “at one and the same time, that which is given in things

as their inner law, the hidden network that determines the way they confront one another, and also that which has no existence except in the grid created by a glance, an examination, a language; and it is only in the blank spaces of this grid that order manifests itself in depth as though already there, waiting in silence for the moment of its expression” (Michel Foucault, “The Order of Things” http://textz.gnutenberg.net/textz/foucault_michel_the_order_of_things.tmp:// xx). Di dalam konsep tersebut kita melihat bahwa tatanan adalah sesuatu yang “diberikan” oleh manusia kepada benda-benda sebagai hukum yang inheren di dalam benda. Tatanan pula yang menentukan bagaimana benda-benda tersebut dihubungkan. Tatanan juga dapat terjadi tanpa obyek-obyek diluar dari diri manusia. Tatanan justru ada di dalam jaringan atau sistem unsur yang terdapat didalam cara berpikir kita.

(36)

tiga level. Pada level yang paling mendasar adalah kode-kode dasar (primary codes) atau

kode-kode fundamental dari sebuah kebudayaan yang termasuk di dalamnya jaringan

bahasa (kata-kata yang kita gunakan untuk benda-benda atau obyek), skema persepsi

indera, serta berbagai macam praktek, teknik, dan nilai-nilai kultural. Jaringan ini disebut

mendasar karena jaringan ini yang menentukan hal-hal yang empiris dan mendasar yang

kita amati sehari-hari. Jaringan ini membantu mata kita menguraikan kode-kode

kebudayaan yang mendasar sehingga kita melihat realitas “apa adanya.”68 Kode-kode

fundamental dari kebudayaan ini, paling tidak pada awalnya, adalah jelas. Misalnya

perbedaan antara manusia dan binatang, antara binatang-binatang itu sendiri, antara

tumbuhan dan mineral, antara yang hidup dan yang mati, yang kita anggap jelas sebagai

realitas dan bukan sebagai jaringan kode-kode.

Pada level yang paling atas adalah teori-teori saintifik atau interpretasi filosofis

terhadap tatanan itu sendiri, misalnya mengapa tatanan itu ada, hukum-hukum apa yang

dipatuhinya, prinsip-prinsip apa yang dapat menjelaskan tatanan tersebut, serta mengapa

tatanan ini yang berkembang dan diterima bukan tatanan yang lainnya.69 Jaringan di

level ini berbicara pada aras tatanan logika dan bukan pada tatanan empiris lagi,

akibatnya pengetahuan yang dihasilkan oleh tatanan ini bersifat reflektif. Jaringan ini

berkenaan dengan skema pemahaman konseptual, sistem kategori, teori saintifik, dan

refleksi filosofis.

Pada level menengah adalah terdapat jaringan yang paling fundamental dan

penting tetapi yang juga paling sukar untuk dipahami. Jaringan ini disebut Foucault

sebagai episteme. Episteme sebenarnya berarti “pengetahuan,” tetapi Foucault

68David L. Potts, “Knowledge and Power in Foucault’s History of Sexuality,” http://www. objectivistcenter.org/obj-studies/cyber/DPFouc.asp/www.

(37)

menggunakannya dalam arti khusus. Menurut Foucault tiap-tiap zaman mempunyai

pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan

tertentu, dan cara-cara pendekatan tertentu. Dengan kata lain tiap-tiap zaman mempunyai

apriori historis tertentu. Keseluruhan pengandaian-pengandaian tersebut membentuk

suatu sistem yang kokoh. Semuanya ini tidak disadari oleh orang-orang yang hidup pada

zaman tertentu tersebut tetapi ia secara tersembunyi menentukan pemikiran, pengamatan,

dan pembicaraan orang-orang pada zaman tertentu.70 Episteme merupakan prinsip dari

tatanan itu sendiri, ia bisa dipandang serupa dengan wawasan dunia (world view).

Foucault mendefinisikanepistemesebagai berikut:

Yang kita maksud dengan episteme ini adalah keseluruhan relasi-relasi yang menyatukan praktek diskursif, pada satu masa, yang memunculkan pola-pola epistemologis, sains-sains dan sistem-sistem formal; cara-cara di mana masing-masing formasi diskursif, transisi menuju epistemologisasi, keilmiahan dan formulasi-formulasi ditempatkan dan beroperasi; penyebaran ambang batas-ambang batas yang dibicarakan tadi yang bisa saja bersamaan, tersubordinasi oleh ambang batas lain atau terpisahkan satu sama lain akibat adanya pergeseran dalam waktu; relasi-relasi sampingan yang barangkali terdapat di antara pola-pola epistemologis atau sains-sains sejauh relasi-relasi tersebut menjadi bagian dari praktek-praktek diskursif tetangganya, namun sama sekali berbeda dari praktek diskursifnya sendiri. Episteme bukanlah suatu bentuk pengetahuan (connaissance) atau tipe rasionalitas yang memanifestasikan kesatuan kokoh dari subyek, spirit atau periode ketika dia berhasil melewati batas-batas berbagai sains yang ada; episteme adalah totalitas relasi-relasi yang bisa ditemukan, di dalam masa tertentu, di antara sains-sains saat seseorang menganalisa sains tersebut pada level regularitas diskursifnya.71

Episteme bukan pengetahuan itu sendiri (connaissance) tetapi episteme merupakan

sebuah kondisi/syarat yang memungkinkan semua pengetahuan bisa terjadi. Episteme

menjadi fondasi kokoh bagi pengetahuan atau teori-teori umum. Epistememenyediakan

70Bertens,Filsafat BaratII.215.

71Michel Foucault, Menggugat Sejarah Ide (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002) 274. Connaissance merujuk pada disiplin-disiplin imu tertentu, misalnya biologi, ekonomi, dan sebagainya. Connaissance

(38)

standar referensi di mana pengetahuan dibangun dan berdasarkan episteme tersebut

pengetahuan dievaluasi, sehingga ia lebih pasti dan kokoh dari segala teori. Dengan kata

lain, di dalam episteme ini teori-teori dan konsep-konsep mendapatkan eksistensinya,

dievaluasi, dan tanpa episteme mereka tidak dapat “hidup.”72 Dengan demikian maka

epistemeini mendahului kata, persepsi, dan sikap tubuh manusia.

Namun episteme bukan dibangun di dalam kesadaran kita seperti

kategori-kategori formal dari Kant. Jika kategori-kategori-kategori-kategori formal dari Kant bersifat bawaan dan

apriori sehingga tidak relatif dan sama pada setiap orang,73 maka sebaliknya, episteme

ditentukan dan dibentuk di dalam kesadaran kita secara kultural dan historis sehingga

tidak disadari oleh orang-orang yang hidup dengan episteme tertentu. Di antara zaman

dan kebudayaan yang berbeda-beda terdapat episteme yang berbeda-beda. Akibatnya

episteme ini bersifat kontingen, bergantung kepada sejarah dan kebudayaan orang-orang,

serta merupakan hasil dari konstruksi sosial.

Foucault memaparkan ada tiga episteme di dalam kebudayaan Barat. Pertama,

episteme renaisans. Pada zaman ini kata-kata dan benda-benda dianggap serupa dan

disatukan. Kata kunci di dalam episteme ini adalah “kemiripan” (resemblance).

Episteme ini berakhir kira-kita tahun 1650. Kedua, episteme klasik yaitu periode dari

tahun 1650 sampai 1800. Pada zaman ini keserupaan runtuh, dan klasifikasi dibuat untuk

mengukuhkan identitas dan perbedaan. Kata kunci pada zaman ini adalah representasi

(representation). Ketiga, episteme modern dari tahun 1800 sampai sekarang. Pada

zaman ini konsep-konsep yang penting adalah “perkembangan,” “evolusi,” dan

72Potts, “Knowledge and Power”

(39)

“kontuinitas historis.”74 Episteme-episteme ini membentuk lapisan-lapisan pemikiran

bukan berbentuk sebuah sejarah ide yang berkesinambungan. Upaya Foucault untuk

mencoba memahamiepistemetiap zaman ini disebut dengan “arkeologi.”75

Dari paparan di atas maka dapat kita katakan bahwa Foucault sukar melihat

adanya perkembangan atau pertumbuhan di dalam sejarah pengetahuan dalam pengertian

penemuan lebih banyak kebenaran. Yang ada adalah pergantian episteme dengan

epistemeyang lain. Jikaepistemeini yang menguasai suatu zaman maka tidak ada zaman

yang bebas dari episteme sehingga tidak ada teori atau pengetahuan yang bersifat netral

yang dapat memandang dunia apa adanya. Episteme ini merupakan “ciptaan” zaman

yang dapat ditinggalkan dan digantikan olehepistemeyang lain.76

Konsep Kuasa dan Pengetahuan

Salah satu tema yang mendominasi pemikiran Michel Foucault pada tahapan

berikutnya adalah tentang kuasa dan relasinya dengan pengetahuan. Bagi Foucault kuasa

bukan sesuatu yang dapat kita miliki sehingga kuasa dapat kita peroleh, pertahankan, bagi,

tambah, atau kurangi.77 Jika kita melihat bahwa ada orang, institusi, atau kelompok

masyarakat tertentu yang memegang kuasa itu terjadi karena kita bertindak sedemikian

rupa untuk mendukung orang, institusi, atau kelompok yang berkuasa tersebut sehingga

mereka terlihat memiliki kuasa. Kuasa bukan pula sesuatu yang tunduk pada

kepentingan ekonomi dan melayani kepentingan tersebut.

74Bertens,Filsafat BaratII.216.

75Untuk memahami konsepnya tentang arkeologi ini lihat Foucault, Menggugat Sejarah 9, 188, 196-198, 236-253.

76Potts, “Knowledge and Power.” KonsepepistemeFoucault ini mirip dengan konsep paradigma dari Thomas Kuhn. Perbedaannya adalah paradigma terbatas pada teori saintifik yang menentukan teori-teori ilmiah tertentu sedangkan episteme lebih luas pada semua pengetahuan di dalam kebudayaan manusia dan yang menentukan pengetahuan apa yang mungkin (ibid.).

(40)

Bagi Foucault kuasa tersebut tersebar luas di dalam masyarakat melalui jaringan

kerja di dalam masyarakat dan melalui interaksi-interaksi antar individual. Jaringan kerja

kuasa ini seumpama pembuluh-pembuluh darah di dalam tubuh manusia meresap ke

dalam seluruh lapisan masyarakat. Foucault menjelaskan bahwa analisis kekuasaan

seharusnya tidak memusatkan perhatian pada tingkat atau level tujuan yang memiliki

kesadaran tetapi pada mekanisme kuasa, strategi kuasa, atau penerapan kuasa.78 Hal ini

disebabkan karena kuasa dipraktekkan di dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak

posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami

pergeseran.79 Kuasa beroperasi di mana saja, di mana terdapat susunan, aturan-aturan,

sistem-sistem regulasi. Kuasa bekerja di mana ada manusia yang mempunyai hubungan

satu dengan yang lain dan dengan dunia sekelilingnya.

Mekanisme kuasa ini tidak datang dari luar mekanisme itu sendiri tetapi

mekanisme kuasa ini justru bekerja dari dalam mekanisme itu sendiri. Mekanisme kuasa

tersebut yang menentukan susunan, aturan-aturan, hubungan-hubungan antar manusia,

dan hubungan manusia dengan dunia, bahkan mekanisme kuasa tersebut yang

memungkinkan semua itu terjadi dan berlangsung. Mekanisme kuasa yang menentukan

dan memungkinkan, misalnya, hubungan sosial ekonomis, hubungan keluarga,

seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan, dan bahkan ilmu

pengetahuan.80 Dengan demikian maka kekuasaan menciptakan realitas, kuasa

menciptakan domain obyek dan ritual kebenaran. Pelaksanaan kuasa menciptakan dan

melahirkan obyek pengetahuan yang baru.81 Kuasalah yang menghasilkan dan

78Madan Sarup,Post-Structuralism and Postmodernism(Yogyakarta: Jendela, 2003) 126. 79Bertens,Filsafat BaratII.320.

80Ibid.

(41)

mengontrol epistemologi, struktur teoritis, taksonomi pengetahuan formal, kode-kode

kultural yang melaluinya orang-orang menjalankan peran mereka, diskursus sosial yang

lancar antar etnik dan kelas masyarakat.82

Dengan konsep kuasa seperti di atas maka kuasa akan menghasilkan pengetahuan.

Pengetahuan tidak berasal dari subyek yang mengetahui tetapi dari relasi-relasi kuasa

yang menandai subyek tersebut. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa bagi

Foucault tidak ada pengetahuan tanpa kuasa. Namun Foucault juga mengatakan bahwa

tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Kuasa memerlukan pengetahuan untuk menjalankan

pengaruh dan kontrolnya. Tanpa pengetahuan kuasa tidak mungkin dijalankan. Di sini

terdapat korelasi antara kuasa dan pengetahuan yang bersifat resiprokal (timbal balik).

Foucault mengatakan:

Power produces knowledge. . . . Power and knowledge directly imply one another; . . . there is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time power relations. These ‘power-knowledge relations’ are not to be analysed, therefore, not on the basis of a subject of knowledge who is or is not free in relation to the power system, but, on the contrary, the subject who knows, the objects to be known and the modalities of knowledge must be regarded as so many effects of these fundamental implications of power-knowledge and their historical transformations. In short, it is not the activity of the subject of knowledge that produces a corpus of knowledge, useful or resistant, but power-knowledge, the processes and struggles that traverse it and of which it is made up, that determines the form and possible domains of knowledge.83

Dari pernyataan di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Foucault:

“pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Kuasa

82Koray Velibeyoglu, “Post-structuralism and Foucault,” http://www.angelfire.com/ar/corei/ foucault.html.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang penerapan model pembelajaran siklus belajar hipotetik deduktif untuk meningkatkan pemahaman konsep, dan

Artikel ini berupaya untuk melihat kaitan antara nubuatan Yesaya 54:2-3 dengan konsep Alkitab mengenai “misi Allah” dalam sejarah umat Manusia. Yesaya 54:2-3 berbicara

Abu> Zayd tidak menyebut secara eksplisit contoh sunnah yang dikategorisasikannya sebagai sunnat al-wah}yi> tersebut, tetapi terdapat sejumlah indikasi bahwa sunnah Nabi

menjawab, balk secara eksplisit maupun implisit, beberapa pertanyaan mendasar seperti berikut. Pertama; apakah konsep perubahan eksis pada setiap tradisi hukum? Kedua, sejauh

Dengan melihat pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam perikop ini Paulus menyatakan kebenaran Allah dari dua sisi, yaitu (1) secara forensik sebagai status benar

Persamaan metafora konsep dalam peribahasa yang menggunakan satu-satu jenis metafora haiwan dan juga gambaran konsep yang sama tetapi metafora konsepnya berbeza (Contoh:

4 Nabi adalah seorang manusia yang telah diberi wahyu oleh Allah dengan syarak, tetapi dia tidak diperintahkan atau dipaksa untuk menyampaikan kepada orang lain..

Dengan memakai asumsi bahwa manusia itu terbatas dalam menerima wahyu Allah maka jika diperhadapkan pada konsep agama Kristen yang mengakui bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan