• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembaharuan Hukum Progresif Dihubungkan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembaharuan Hukum Progresif Dihubungkan dengan "

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

Pembaharuan Hukum Progresif Dihubungkan dengan Perlindungan

Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Kesamaan Kedudukan

Dihadapan Hukum sebagai Upaya Penegakan HAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

(2)

peradilan ialah merupakan syarat bagi suatu negara yang menamakan diri sebagai negara hukum.1

Semenjak tahun 1970-an, telah terdapat gelombang pasang yang nyata dari demokrasi-demokrasi baru yang muncul dari negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau totaliter, dimulai dari bagian selatan eropa, ke amerika latin, ke bagian timur eropa serta negara-negara lainnnya, beberapa pemimpin demokrasi baru telah memandang masa depan mereka dengan penuh pengharapan, untuk mendefinisikan suatu visi tentang masa depan itu mereka harus berekonsiliasi dengan warisan masa lalunya yang berupa pelanggaran HAM yang ditinggalkan oleh rezim otoriternya yang baru saja berlalu, mereka semua memiliki pengalaman yang sama dalam hal ini,meskipun jika tiap-tiap negara memilih untuk mengadopsi berbaga mekanisme yang berbeda.2

Dinamika pembaharuan hukum sangat erat kaitannya dengan Kejahatan

(crime) yang merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.2 Dalam konteks sosial, kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap tempat dan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan bukan saja merupakan masalah bagi suatu masyarakat tertentu yang berskala lokal maupun nasional, tapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia, pada masa lalu, kini dan di masa mendatang, sehingga dapat dikatakan bahwa kejahatan sebagai a universal phenomenon Transisi politik di negara mengakibatkan kemajuan mengenai apa itu HAM oleh seluruh lapisan masyarakat. Konsep HAM berhubungan erat dengan kondisi atau budaya hukum

1 Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.

(3)

disuatu negara. Apakah budaya hukum disuatu negara tertentu bersifat represif, otonom, responsif atau bersifat ketiganya?3

KUHAP sebenarnya telah mengakomodasikan perlindungan hak asasi manusia yang dituangkan dalam banyak pasal sebagai hak-hak tersangka atau hak-hak terdakwa secara memadai, akan tetapi dalam perjalanannya apa yang tersurat dalam pasal-pasal di dalam KUHAP tersebut kurang ditaati dan dilaksanakan dengan baik oleh aparat penegak hukum, khususnya pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Hal ini terbukti bahwa sekalipun KUHAP telah memberikan batasan dengan asas-asas yang harus dipegang teguh oleh aparat penegak hukum antara lain seperti :a) asas legalitas, b) asas praduga tidak bersalah, c) asas yang menekankan tentang hak-hak tersangka dalam memberikan keterangan secara bebas tanpa rasa takut, d) asas tentang hak untuk mendapat pembelaan dan bantuan hukum dan lain-lain. akan tetapi di dalam praktiknya banyak tindakan aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana yang menyimpang akibat penggunaan kewenangan secara tidak bertanggung jawab dan tidak terkontrol. Kewenangan yang sedianya dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia telah berubah menjadi alat penindas dan penyiksa warga negara yang disangka melakukan tindak pidana.4

Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak-hak warga negaranya dan kesamaan

3 Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial, Jilid I Edisi Baru, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 134.

(4)

kedudukan dihadapan hukum. Menurut Mardjono Reksodiputro5, karena

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), maka pertama-tama HAM harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan selanjutnya harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM itu. Dalam kaitan ini, maka fungsi Pengadilan untuk menentukan ada atau tidak adanya pelanggaran atas ketentuan HAM sangat mempunyai kedudukan utama. Karena itu suatu pemantauan nasional atas pelaksanaan HAM harus memenuhi syarat-syarat yaitu menjadikan HAM bagian dari hukum Indonesia, terdapat prosedur hukum untuk melindungi dan mempertahankan HAM tersebut, terdapat pengadilan yang bebas (an independent judiciary); dan adanya pula profesi hukum yang bebas (an independent legal profession).

B. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaiman Sejarah Pembaharuan Hukum dari Represif, Otonom, Responsif Sampai Kepada Progresif?

2. Bagaimana Konsep Pembaharuan Hukum Progresif dalam Penegakan HAM ?

3. Bagaimana Perlindungan Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Kesamaan Kedudukan Dihadapan Hukum sebagai Upaya Penegakan HAM ?

C. Tujuan Penelitian

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep hukum represif, otonomi, responsif oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dan akan

(5)

dibandingkan dengan konsep hukum progresif oleh Satjipto Rahardjo, menganalisis pembaharuan hukum progresif dalam penegakan HAM dan mengkaji perlindungan asas praduga tidak bersalah dan asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum sebagai upaya penegakan HAM.

D. Metode Penulisan

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan didalam makalah ini penulis menggunakan metode penulisan secara normatif, yaitu metode yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka 6.

Dalam kaitannya dengan penelitian secara normatif, disini akan dilakukan beberapa pendekatan, yaitu 7:

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute Approach)

Suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan rumusan masalah. Didalam makalah ini yang menjadi acuan pendekatan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan ini digunakan untuk memahami konsep mengenai Demokrasi dan Hukum. Pendekatan ini digunakan untuk menyimpulkan

6 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)”, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13-14.

(6)

beberapa masalah serta menganalisis pokok permasalahan didalam makalah ini.

3. Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi. Telaah ini digunakan untuk mengungkap sisi filosofis permasalahan serta pola pikir yang melahirkan sesuatu yang relevan dengan perkembangan dimasa kini. Dalam penulisan ini yang menjadi dasar sejarah adalah mengenai perkembangan bentuk hukum dan demokrasi di Indonesia.

E. Kerangka Teori dan Konsep

1. Tipe Hukum Phillipe Nonet and Phillip Selznick 8

Phillip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni:

1. Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif)

2. Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom)

3. Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

2. Tipe Hukum Progresif oleh Satjipto Rahardjo

(7)

Gagasan hukum progresif dikontruksi oleh enam madzhab hukum yaitu; legal realism, sociological jurisprudence, freirechtslehre, interessenjurisprudenze, teori hukum alam, dan critical legal studies. Satjipto Rahardjo secara tegas menyampaikan bahwa hukum progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan berbagi paham dengan aliran legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjurisprudenze,

teori hukum alam, dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal.9

F. Sistematika Penulisan dan Pembahasan

Bab I, berisikan pendahuluan dan sitematika terhadap penulisan makalah yang berisi pokok permasalahan, metode penulisan, tujuan dan kerangka teori yang akan dipakai dalam menganalisa makalah.

Bab II, berisikan pembahasan mengenai sejarah pembaharuan hukum dari represif, otonom, responsif sampai kepada progresif, konsep pembaharuan hukum progresif dalam penegakan HAM dan perlindungan asas praduga tidak bersalah dan konsep asas kesamaan kedudukan dihadapan hukum sebagai upaya penegakan HAM .

Bab III, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan terhadap hasil penulisan makalah ini dan saran yang Penulis tawarkan.

(8)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pembaharuan Hukum

1. Hukum Represif , Otonomi dan Responsif dalam Pandangan Philippe

(9)

Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law

yang bercirikan:10

1) Formal rules: tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan; 2) Procedures: dilaksanakan melalui “aturan main” yang ketat;

3) Methodologist: mendewakan logika dalam penerapannya;

4) Bureaucreacy: hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas untuk membuat, melaksanakan dan mengawasi hukum (legislatif, eksekutif dan Yudikatif).

Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh system yang berlaku dalam hal keistimewaan dan kekuasaan. Represi tidak harus melibatkan penindasan dengan kasar (blatant oppression). Represi juga terjadi ketika kekuasaan bersifat lunak tetapi hanya sedikit memperhatikan, dan tidak secara efektif dikendalikan oleh, berbagai kepentingan yang ada.

Dalam bentuknya yang paling jelas dan sistematis, hukum represif menunjukkan karakter-karakter berikut ini:11

1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik; hukum diidentifikasikan sama dengan Negara dan ditempatkan dibawah tujuan Negara (raison d’ etat).

2. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam administrasi hukum. Dalam “perspektif resmi” yang terbangun,

10 Periksa: Al. Wisnubroto, 1996, Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam Kajian Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Paper, tidak diterbitkan), hlm. 20.

(10)

manfaat dari keraguan (the benefit of the doubt) masuk ke system, dan kenyamanan administrative menjadi titik berat perhatian.

3. Lembaga-lembaga control yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang independen; mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak, otoritas politik.

4. Sebuah rezim “hukum berganda” (“dual law”) melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.

5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum yang akan menang.

Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua (hingga tiga)12 dekade terakhir

ini, kita melihat terjadinya revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi terjadi di lebih dari 40 negara. Rezim otoritarian sebelumnya mengalami perubahan secara signifikan , termasuk pemerintahan militer di Amerika Latin dan sebagainya; rezim satu partai di negara komunis, juga Taiwan; diktator personal di Spanyol, Filipina, Rumania dan di mana saja; serta oligarki rasial di Afrika Selatan. Proses transisi menuju demokrasi ini juga sangat bervariasi. Dalam beberapa kasus, termasuk di berbagai razim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif untuk mendorong transisi.13

12 Tambahan kata-kata di dalam kurung dari peneliti, Satya Arinanto dalam bukunya yang berjudul “Satya Arinanto, 2011, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta., hlm. 98.

(11)

Sumber represi yang paling besar adalah apa yang disebut Merriam sebagai “miskinnya kekuasaan” (the poverty of power). Pola ini paling jelas terlihat dalam tahapan pembentukan komunitas politik. Pembangunan bangsa

(nation building) pada akhirnya merupakan suatu transformasi loyalitas dan kesadaran, tapi pada awalnya proses ini merupakan pekerjaan dari kaum elit yang mempunyai kemampuan terbatas selain penggunaan kekuaatan dan penipuan. Fenomena yang mendasari represi adalah miskinnya sumber daya politik. Secara umum, potensi represi dibangkitkan ketika tugas yang urgen harus dihadapi di dalam kondisi kekuasaan yang memadai namun kekurangan sumber daya. Represi akan terjadi ketika sumber daya yang terbatas menyebabkan diambilnya suatu kebijakan pengabaian yang halus.

Selain dari pada itu, pola pemerinatahan represif memiliki elemen-elemen sebagai berikut:14

1. Perspektif resmi mencadangkan wilayah diskresi yang luas, yang dijustifikasikan oleh klaim-klaim hak istimewa absolute atau keahlian khusus.

2. Perspektif resmi melindungi pemegang otoritas dari tantangan dan kritik. Ia mengakui “kekebalan penguasa” (sovereign immunity), menyepakati sebuah asumsi mengenai keteraturan administratif, menjamin insibilitas (tidak dapat diganggu gugat) keputusan-keputusan kelembagaan dan mengurangi tanggung jawab untuk mereka.

3. Perspektif resmi membatasi tuntutan-tuntutan dengan menetapkan aturan-aturan dengan menetapkan aturan-aturan yang kaku serta

(12)

membatasi akses. Penumpukan perkara dipengadilan menyusul pembaruan mengenai perluasan hak untuk memberikan pendapat menunjukkan betapa dalamnya sistem hukum telah bergantung pada aksebilitasnya yang terbatas.

Didalam kajian hukum represif lebih kepada mementingkan keberadaan penguasa sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan hukum represif masih sangat tradisional dan masih mementingkan golongan atas. Dalam sistem hukum represif biasanya digunakan di negara yang menganut pemerintahan monarki atau feodal.

Berkenaan dengan hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese atau ketidak percayaan dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum”. Secara sederhana, penganut hukum otonom beranggapan bahwa hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum atau hukum sebagai pranata yang mampu menjinakkan represi (penindasan) dan melindungi integritas sendiri.

Jika ditelisik lebih lanjut, hukum otonom ini bercirikan mengawasi pemerintahan yang ada agar dapat melakukan check and balance antara penguaa, swasta dan masyarakat serta mengawasi sistem kerja dari pemerintahan. Adapun Ssifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:15

(13)

1. Penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta.

2. Terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta. Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik.

3. Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi.

4. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.

5. Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial.

Sifat hukum otonom yang berpusat pada peraturan memiliki dasar yang sangat praktis:16

1. Peraturan merupakan sebuah sumber yang andal untuk melegitimasi kekuasaan.

2. Ketika hakim dibatasi oleh peraturan, cakupan diskresinya menjadi sempit. Akibatnya kekuasaan yudikatif, karena nampak terbatas, lebih mudah untuk memberikan justifikasi sehingga ancaman terhadap para pembuat keputusan politik pun menjadi kendor.

3. Meningkatnya jumlah peraturan mengundang kompleksitas dan mendatangkan permasalahan konsistensi.

(14)

4. Orientasi pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab sistem hukum. Ketika keadilan dilaksanakan dengan cara-cara yang ditentukan terlebih dahulu, proses hukum dapat melestarikan sumber-sumber dayanya yang terbatas.

5. Hukum otonom, meski menjinakkan represi, tetap berkomitmen pada gagasan bahwa hukum terutama adalah sebuah sarana kontrol sosial.

Dalam hukum otonom peraturan dibuat untuk membatasi pemerintahan sekaligus mengawasinya. Masyarakat dalam tipe hukum otonom akan menempatkan pemerintah agar taat dengan aturan. Didalam hukum otonom dapat dilihat semakin banyaknya peraturan dari pada di hukum represif, dimana didalam hukum otonom peraturan digunakan sebagai pengawass pemerintahan, namun, kemudian timbul masalah bahwa tujuan hukum yang sesungguhnya adalah bukan semata mewujudkan keadilan prosedural semata. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.

(15)

kehidupan sosial dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan para penegak atau aparat hukum.

1. Kekuasaan politik memiliki akses langsung pada istnitusi hukum sehingga tata hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum disubordinasi pada “rasion de etre”

2. Konservasi otoritas menjadi preokupasi berlebihan para pejabat hukum yang memunculkan “perspektif pejabat, yakni perspektif yang memandang keraguan harus menguntungkan sistem dan sangat mementingkan kemudahan admnistratif.

3. Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan independen yang terisolasi dari konteks sosial yang memoderatkan dan kapabel melawan otoritas politik.

4. Rezim hukum ganda mengintitusionalisasi keadilan kelas yang mengkonsolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.

5. Perundang-undangan pidana mencerminkan dominan mores yang sangat menonjolkan legal moralism. 17

Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi-institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan

(16)

tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah:18

a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;

b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.

Khudzaifah Dimyati menyampaikan bahwa ketiga tipe hukum tersebut merupakan konsepsi yang abstrak dan jarang atau tidak pernah terwujud dalam bentuk-bentuk yang murni secara empiris. Setiap tata tertib hukum atau institusi hukum yang ada mungkin bersifat campuran dengan mencakup aspek-aspek dari ketiga tipe hukum. Akan tetapi, mungkin saja unsure-unsur dari salah satu

(17)

tipe akan lebih menonjol, sehingga wujud dasar suatu hukum tertentu akan bias dikenali sebagai represif, otonom, dan responsif.19

Nonet dan Selznick berpandangan bahwa ketiga tipe hukum ini harus dilihat sebagai berkaitan satu sama lain di dalam suatu proses perkembangan. Hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif tidak hanya merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda satu sama lainnya, melainkan dapat juga diartikan sebagai tahap-tahap evolusi didalam hukum dengan tata politik dan tata sosial.20

2. Penyempurnaan Hukum Represif, Otonomi dan Responsif dalam

Pandangan Philippe Nonet dan Philip Selznick Menuju Hukum Progresif

Dari paparan mengenai hukum represif, otonom dan responsip diatas, Penulis membandingkan dengan tipe hukum yang disebut hukum progresif. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyampaikan bahwa pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan tidak mampu menangkap kebenaran. Dalam ilmu hukum yang legalistis-positivis, hukum sebagai pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan.21

Beliau memberikan istilah berbeda tentang hukum responsif, yaitu hukum progresif, akan tetapi secara tegas beliaupun menyampaikan bahwa hukum progresif memiliki tipe responsif.22 Ide utama hukum progresif adalah

19 Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 103.

20 Nonet, Philippe and Philip Selznick, 2003, Law and Society in Transition: Toward Responsif Law (edisi terjemahan oleh Huma), Huma, Jakarta, hlm. 62.

21 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hlm. X.

(18)

membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi panduan bukan justru membelenggu, manusia-manusialah yang berperan lebih penting. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.23

Hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Hukum adalah institusi yang secara terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju pada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasikan kedalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakekat hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as process, law in the making).24 Hukum progresif lebih mengunggulkan aliran realisme hukum dan

penggunaan optik sosiologis dalam menjalankan hukum. Sebab cara kerja analitis yang berkutat dalam ranah hukum positif tidak akan banyak menolong hukum untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukannya.25

Hubungan hukum progresif dengan Critical Legal Studies (CLS) yang muncul di Amerika tahun 1977 yang langsung menusuk jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu suatu sistem hukum liberal yang didasarkan pada

23Ibid, hal. 4.

24Ibid, hal. 2.

(19)

pikiran politik liberal. Hukum progresif juga menggandeng kritik terhadap sistem hukum yang liberal itu, karena hukum di Indonesia juga turut mewarisi sistem tersebut. Akan tetapi hukum progresif memiliki basis yang lebih luas dari tujuan yang lebih luas pula dibandingkan CLS.26

Satjipto Raharjo mencoba menyoroti kondisi dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk Ilmu Hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya dengan kalimat “dari yang sederhana menjadi rumit” dan “dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan”. Inilah yang disebutnya sebagai “pandangan holistik dalam ilmu (hukum) Pandangan holistik ini memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh. Diilhami oleh gagasan Edward O. Wilson melalui tulisannya menjadi acuan para penstudi hukum yaitu Consilience; The Unity of Knowledge,

membawa kita kepada pandangan pencerahan tentang kesatuan pengetahuan, sebagaimana dijelaskan Ian G. Barbour, “Wilson berpendapat bahwa kemajuan sains merupakan awal untuk melakukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam, sains sosial dan sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar disiplin

(20)

merupakan tugas yang sangat penting, dan Wilson menghinpun beberapa disiplin secara luas dan anggun”.27

Menurut Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun tipenya, mempunyai kesamaan dalam satu hal:hubungan sipil-militer mereka tidak terlalu diperhatikan. Hampir semua tidak memiliki karakteristik hubungan sipil-militer sebagaimana yang ada di negara industrial yang demokratis, yang disebutnya dengan istilah “kontrol sipil obyektif” (Objective Civilian Control). Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk memastikan bahwa militer disusupi dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya, yang memecah belah dan bekerja untuk menjaga cengkraman kekuasaan diktator. Dalam pemerintahan satu partai, hubungan sipil-militer tidak begitu berantakan, tetapi militer dipandang sebagai instrumen dari partai; pejabat militer harus merupakan anggota partai; komisaris politik dan unsur-unsur partai paralel dengan rangkaian komando militer; dan loyalitas tertingginya lebih diutamakan kepada partai daripada kepada negara.28

Karena itu negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan yang serius untuk mereformasi hubungan sipil-militer mereka secara drastis. Tantangan ini tentu saja hanya salah satu dari sekian banyak tantangan lainnya. Negara-negara tersebut juga harus membangun kekuasaan di wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi lainnya, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah

27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhamadyah Press University, 2004, halaman 18.

(21)

ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran , mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antaretnis dan kelompok agama.29

Jika membandingkan antara hukum represif, otonom, dan responsif dengan hukum progresif, maka kita akan berbicara mengenai politik hukum disuatu negara. Dalam masa transisi politik, Usaha untuk menaati kedaulatan hukum dalam masa gejolak politik terkadang menimbulkan dilema. Terdapat ketegangan dalam hukum dalam masa transisi, yang sering kali melihat ke belakang selain ke depan, mapan sekaligus dinamis. Dalam dilema ini, kedaulatan hukum pada akhirnya menjadi kontekstual; alih-alih merupakan dasar tatanan hukum saja, ia juga memediasi pergeseran normatif yang mencirikan masa-masa tidak biasa tersebut. Di negara-negara demokratis, pandangan kita adalah bahwa kedaulatan hukum memiliki arti ketaatan pada aturan yang sudah ada, yang dipertentangkan dengan tindakan pemerintah secara sewenang-wenang.30

29 Ibid., hal. 4-5; sebagai bahan diskursus lihat pula Homes, Brenton dan Satya Arinanto, “Komisi Konstitusi: Catatan dari Filipina,” (Makalah disampaikan dalam diskusi Publik tentang “Pembentukan Komisi Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Komisi Konstitusi di Jakarta, 25 April 2001).

(22)

Hampir ada kemiripan dan hubungan antara kedua teori hukum tersebut. Apalagi bila mengutip apa yang disampaikan Satjipto Rahardjo dalam salah satu tulisannya yang menyatakan bahwa hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.31 Teori hukum progresif merupakan

pengembangan lebih lanjut dari hukum responsif yang bersumber dari legal realism dan sociological jurisprudence.

B. Hukum Progresif dan Hubungannya dengan Perlindungan HAM

1. Hukum Progresif sebagai Konsepsi Perlindungan HAM

Konsep dari hukum progresif sebagai penyempurnaan dari hukum represif, otonom dan responsif, jika dilihat secara keseluruhan mengandung konsepsi HAM. Keadilan substantif inilah yang belum menjadi orientasi penegakan hukum di Indonesia, sehingga hukum diartikan apa yang tertulis dalam undang-undang semata. Padahal hukum tidak berdiri sendiri sebagai subsistem sosial, akan

Cotterell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy (Philadelphia: University of philadelphia Press, 1989), 113-14, yang menjelaskan bahayanya memandang negara sebagai entitas yang mengatasi hukum. Untuk penjelasan tentang kaitan antara hukum dengan demokrasi, lihat Jean Hampton, “Democracy and the Rule of Law,” dalam Nomos XXXVI: The Rule of Law, ed. Ian Saphiro (New York: New York University Press, 1995), 13. Penjelasan klasik tentang syarat minimum legalitas ditemukan dalam Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven: Yale University Press, 1964), 33-34. Ronald Dworkin menawarkan pemaparan kontemporer yang terpenting tentang teori kedaulatan hukum yang substantif. Lihat Ronald Dworkin, A Matter of Principle ( Cambridge: Harvard University Press, 1985), 11-12 (Dworkin berpandangan bahwa “konsepsi hak” dalam kedaulatan hukum mensyaratkan, sebagai bagian dari pandangan ideal tentang hukum, bahwa aturan-aturan yang tertulis mencakup dan melaksanakan hak-hak moral). Lihat juga Frank Michelman, “Law’s Republic”, Yale Law Journal 97 (1988): 1493 (yang memaparkan interpretasi modern tentang pemerintahan oleh hukum melalui reinterpretasi teori politik republikanisme kemasyarakatan (civil republicanism) .

(23)

tetapi ada subsistem sosial lain yang juga ikut mempengaruhinya. Wacana hukum responsif ini terus bergulir menggeser paradigma lama penegakan hukum di Indonesia. Sebuah harapan besar perbaikan hukum yang selama ini didambakan seluruh rakyat Indonesia. Para pakar hukum pun semakin gencar memasyarakatkan teori hukum responsif, salah satu pakar yang cukup dekat dengan teori hukum responsif adalah Satjipto Rahardjo yang mengambil pemikiran dan mengembangkan hukum responsif dalam versi Indonesia menjadi hukum progresif. “ Satjipto Rahardjo secara tegas menyampaikan bahwa hukum progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan berbagi paham dengan aliran legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjurisprudenze, teori hukum alam, dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal.32

Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM)33 berarti membicarakan dimensi

kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan

32 Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit. hlm. 1

(24)

kebaikan dari negara.34 Dalam tataran konseptual35 HAM mengalami proses Sejalan dengan itu, muncul prinsip-prinsip demokrasi sebagai bentuk kebebasan politik yang memastikan adanya kebebasan warga negara untuk berpartisipasi aktif, atau mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan politik.36

34 Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hal. 121.

35 Todung Mulya Lubis, In search of human rights: Legal Political Dillemmas of Indonesia`s New Order, 1966-1990 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), Hal. 14-25. Todung Mulya Lubis menyebutkan ada 4 teori HAM, yaitu pertama hak-hak alami (natural rights), berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh umat manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human rights are rights that belong to all human beings at all times and in all places by virtue og being born as human beings). Kedua, teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang riil, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws and contracts).pandangan ini secara nyata berasal dari ungkapan bentham yang mengatakan, rights is a child of law, from real laws come real rights, but from imaginary law, laws of nature, come imaginary rights. Natural rights is simple nonsens, natural and impresicible rights rhetorical nonsense, nonsens upon still. Ketiga, teori relativitas kultural (cultural relativist theory). Teori ini adalah salah satu bentuk anti-tesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa menganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural imperialism), yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusa merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human). Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights belonging to all beings. Keempat, doktrin Marxis (Marxist doctrine and human rights). Doktrin Marxis menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber galian seluruh hak (repositiory of all rights).

36Zainal Abidin, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Di akses dari

(25)

Dalam konteks Indonesia, wacana HAM masuk dengan “indah” ke dalam pemikiran bangsa37 HAM diterima, dipahami selanjutnya diaktualisasikan dalam

bingkai formulasi kebijakan dan perkembangan sosio-historis dan sosio-politis. Dalam konteks reformasi, tidak jarang fenomena euforia demokrasi menjadikan HAM sebagai “kendaraan” untuk menjerat dan menjatuhkan seseorang. HAM berubah menjadi dua buah mata pisau, yang pada satu sisi mengedepankan dimensi humanisme manusia tetapi pada sisi yang lain ia terlalu menakutkan bagi setiap orang terlebih lagi pengambil kebijakan karena didalamnya sarat dengan hegemoni dan kooptasi.38

Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku dan bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Condé mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secara universal dan otoritatif. Banyak yang mendefinisikannya sebagai suatu klaim yang dapat dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusia vis-á-vis

pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia yang bersifat melekat dari manusia. Definisi HAM lainnya yang telah dikenal yaitu HAM secara umum dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tanpa hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia. 39

Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai dengan munculnya konsep hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman kuno yaitu filsafat

37 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,2007, Kencana, Jakarta, hlm. 3, Majda mengatakan bahwa Perbincangan Ham dalam Konteks Konstitusi Indonesia merupakan diskusi yang intens. Sejarah mencatat, perdebatan HAM telah dimulai pada saat perumusan negara Indonesia.

38 Majda El-Muhtaj, 2007, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm. 4.

(26)

stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca Reinaisans, John Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati sehingga melandasi munculnya revolusi yang terjadi di Inggris , Amerika Serikat dan Perancis pada abad 17 dan 18.

Berkembangnya ide tentang perlindungan terhadap HAM relatif baru yaitu sejak awal dan pertengahan abad ke-20 bersamaan dengan meluasnya aspirasi dekolonisasi negara-negara yang dijajah dunia barat. Sebelumnya, ide tentang perlindungan terhadap HAM itu tumbuh dilingkungan negara-negara Barat sendiri yang oleh para ilmuwan dikemudian hari dikaitkan dengan gerakan-gerakan pembebasan yang timbul di Eropa, mulai abad ke-13 sampai akhir abad ke-18.40 Sebenarnya, beberapa prinsip hak asasi manusia juga sudah tumbuh

dalam tradisi politik indonesia itu sendiri jauh sebelum bangsa barat datang ke indonesia. Malah, oleh Muhammad Yamin dikatakan bahwa dalam lingkaran peradaban bangsa indonesia sejak beratus-ratus tahun lamanya, setiap manusia memang mempunyai hak dan kewajiban terhadap diri sendiri, kepada keluarga, kepada masyarakat, dan kepada negara. Hak dan kewajibannya itu menurut muhammad yamin diakui dan diatur melalui hukum adat. Bahkan ada juga sebagian yang sudah dituliskan.

Sebelum membahas mengenai sejarah HAM di Indonesia, perlu dikaji mengenai pemikiran tentang hukum kodrati41 berakar dari kekuatan konservatif

40Ibid.

(27)

yang ingin melindungi properti-properti tertentu dengan selimut suci yang merupakan cikal bakal munculnya keprcayaan untuk melindungi HAM.

Motif tersebut diakui sebagai hak fundamental dari setiap individu dalam hidupnya. Namun uniknya dibalik sifat konservatif gagasan hukum kodrati tadi, ternyata tersimpan juga motif yang revolusioner, hal ini terbukti ketika pemikiran hukum kodrati tentang kesetaraan manusia terkandung dalam dokumen hukum di Amerika dan Perancis yang bertujuan untuk melindungi hakhak asasi manusia.

42

Namun, dari filosofi tersebut muncullah perlawanan bertolak dari keyakinan baru bahwa kekuasaan pemerintahan mestilah dirujukkan ke kedaulatan rakyat, dan tidak langsung ke kekuasaan Tuhan. Inilah kedaulatan manusia-manusia yang semula diperintah sebagai hamba-hamba oleh para raja yang pandai berkilah bahwa titah-titah adalah merupakan representasi kehendak Tuhan.

Hukum HAM internasional memperluas alasan diskriminasi. UDHR menyebutkan beberapa alasan diskriminasi, antara lain: ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status lainnya. Semua itu merupakan alasan yang tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.43

42 Antonius Cahyadi dan E Fernando M Manulang,2008, Pengantar filsafat Hukum, cet. 2, Kencana, Jakarta, hlm. 42.

43 Wiliam R. Slomanson, 2000, Fundamental Perspectives on International Law, 3rd Edition, Belmont:

(28)

Inilah kedaulatan rakyat awam yang kini telah mampu berartikulasi untuk menuntut pengakuan atas statusnya yang baru warga bebas pengemban hak yang kodrati, atas dasar keyakinan bahwa suara kolektif mereka adalah sesungguhnya suara Tuhan. Vox populi, “vox Dei” Di sinilah bermulanya pemikiran ulang tentang batas-batas kewenangan raja di satu pihak dan luasnya hak dan kebebasan rakyat yang asasi di lain pihak. Dalam pemikiran baru ini, kuasa raja atau kepala negara beserta aparatnya itu kini tidak lagi boleh dikonsepkan sebagai refleksi kekuasaan Tuhan yang oleh sebab itu juga tak terbatas. Kekuasaan negara itu mestilah terbatas dan punya batas, dibatasi oleh dan berdasarkan perjanjiannya dengan rakyat. 44

Kekuasaan negara di tangan penguasa-penguasa pemerintahan tidak lagi dikonsepkan sebagai kekuasaan yang berasal dari kuasa Tuhan, atas dasar perjanjian dengan-Nya, entah itu Perjanjian Lama entah itu Perjanjian Baru. Demikian antara lain oleh Jean J. Rousseau yang menulis Du Contract Social

pada tahun 1776. Rousseau inilah yang menteorikan suatu dasar pembenar moral falsafati bahwa rakyat yang bukan lagi kawula, melainkan warga itu, lewat proses-proses politik yang volunter dan sekaligus konstitusional, bersetuju untuk membatasi kebebasannya pada suatu waktu tertentu berkenaan dengan kasus-kasus tertentu demi dimungkinkannya terwujudnya kekuasaan pemerintahan pada waktu tertentu untuk urusan tertentu.45

44 Mohammad Ryan Bakry, 2010, Implementasi Hak Asasi Manusia, FH UI, hlm. 28.

(29)

Konsep dasar HAM di Indonesia dapat ditemukan peraturannya dalam UUD 1945. Indonesia sendiri menyusun UUD 1945 sebelum adanya The Universal Declaration of Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang tercermin dalam deklarasi tersebut sudah diketahui oleh para the founding father indonesia dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945.100 Rapat besar BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 15 juli 1945 menyimpan memori tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan dimuat secara terbatas dalam UUD 1945, yaitu sebanyak tujuh pasal saja.46 Sedikitnya pasal-pasal yang berbicara langsung tentang hak asasi

manusia dalam UUD 1945 bukan karena naskah UUD ini disusun sebelum adanya Universal Declaration of Human Rights.47

Oleh karena itu ide untuk mengadopsi perlindungan hak asasi manusia itu, terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan, lahirnya pemerintahan Orde Baru, adalah untuk melindungi HAM. Berpedoman kepada pengalam orde lama yang kurang mengindahkan hak asasi warga negara, sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara ke IV menetapkan ketetapan MPRS snomor XIV/MPRS/1966 yang memerintahkan antara lain penyusunan piagam hak asasi manusia. Artinya, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyadari menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar ekonomi, sosial dan kebudayaan; (3).konsepsi ini mencakup pengertian mengenai hak atas pembangunan. (dalam Mohammad Ryan Bakry, 2010, Implementasi Hak Asasi Manusia, FH UI, hlm. 29)

46 Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah Oleh MPR, cet. 1, UI Press, hlm. 178.

(30)

ketidaklengkapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur hak asasi manusia. Berdasarkan TAP MPRS tersebut dibentuklah panitia-panitia ad hoc, yang dalam penyusunannya mengundang para sarjana, cendikiawan dan tokoh masyarakat untuk memberikan ceramah tentang HAM. Berdasarkan bahan-bahan yang berhasil dihimpun panitia menyusun suatu piagam tentang Hak-hak Asasi dan Hak-hak serta kewajiban Warga Negara.

Setelah masa reformasi, perubahan UUD 1945 adalah dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Bahkan, perubahan UUD 1945 itu sendiri merupakan puncak dari aspirasi dari gerakan reformasi itu sendiri. Materi yang semula hanya tujuh butir sekarang telah bertambah dengan signifikan, perumusannya menjadi lebih lengkap dan menjadikan UUD NRI 1945 merupakan salah satu UUD yang paling lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan disahkannya perubahan satu sampai ke empat UUD NRI 194548 pada

tahun 2002, yang dimuat dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28A sampai dengan 28 J, yaitu:49

1) Pasal 28A. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya .50

2) Pasal 28 B. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (1), setiap anak berhak atas

48 Perubahan pertama tahun 1999 dalam sidang umum MPR, kedua kali dalam sidang tahunan 2000 MPR, ketiga kali dalam sidang tahunan 2001 MPR dan yang keempat sidang tahunan MPR 2002.

49 Harun Al Rasyid, 2007, Naskah Undang-Undang 1945 Sesudah Empat Kali di Ubah Oleh MPR, cet. 1, UI Press, Jakarta, hlm. 105-109.

(31)

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (2). 51

3) Pasal 28C. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (1), Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya (2). 52

4) Pasal 28D. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (1), Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (2), Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (3) dan, setiap orang berhak atas status kewarganegaraan (4). 53

5) Pasal 28E. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali (1), Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (2), Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (3).54

51 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B.

52 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 C.

53 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D.

(32)

6) Pasal 28F. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

7) Pasal 28G. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dariancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (1), Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (2).55

8) Pasal 28H Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, clan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (1), Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (2), Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (3), Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun (4) .56

55 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 G.

(33)

9) Pasal 28I . Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (1), Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (2), Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban (3), Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (4), Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaar, hak asasi - manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (5) .

10) Pasal 28J. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (1), Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (2).57

(34)

2. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia

Berkembangnya ide tentang perlindungan terhadap HAM relatif baru yaitu sejak awal dan pertengahan abad ke-20 bersamaan dengan meluasnya aspirasi dekolonisasi negara-negara yang dijajah dunia barat. Sebelumnya, ide tentang perlindungan terhadap HAM itu tumbuh dilingkungan negara-negara Barat sendiri yang oleh para ilmuwan dikemudian hari dikaitkan dengan gerakan-gerakan pembebasan yang timbul di Eropa, mulai abad ke-13 sampai akhir abad ke-18.58 Sebenarnya, beberapa prinsip hak asasi manusia juga sudah tumbuh

dalam tradisi politik indonesia itu sendiri jauh sebelum bangsa barat datang ke indonesia. Malah, oleh Muhammad Yamin dikatakan bahwa dalam lingkaran peradaban bangsa indonesia sejak beratus-ratus tahun lamanya, setiap manusia memang mempunyai hak dan kewajiban terhadap diri sendiri, kepada keluarga, kepada masyarakat, dan kepada negara. Hak dan kewajibannya itu menurut muhammad yamin diakui dan diatur melalui hukum adat. Bahkan ada juga sebagian yang sudah dituliskan.

Motif tersebut diakui sebagai hak fundamental dari setiap individu dalam hidupnya. Namun uniknya dibalik sifat konservatif gagasan hukum kodrati tadi, ternyata tersimpan juga motif yang revolusioner, hal ini terbukti ketika pemikiran hukum kodrati tentang kesetaraan manusia terkandung dalam dokumen hukum

(35)

di Amerika dan Perancis yang bertujuan untuk melindungi hakhak asasi manusia.

59

Sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telahbeberapa kali merubah konstitusi. Perjalanan perubahan konstitusi indonesia setidaknya dibagi menjadi 4 periode, diantaranya UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, amandemen UUD 1945. Dan seiring dengan perubahan konstitusi tersebut, jaminan tentangadanya perlindungan HAM juga mengalami perubahan.

1. UUD 1945

UUD 1945Konstitusi yang pertama kali di pakai oleh Indonesia adalah UUD 1945 yang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya diatur dalam pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Di dalamUUD 1945 ini setidaknya ada tiga pandangan.60 Pandangan pertama dikemukakan oleh Mahfudz MD dan

Bambang Sutiyoso. Kelompok ini berpendapat bahwa UUD 1945 tidakmemberikan jaminan atas HAM secara komperhensif. Istilah HAM yang tidak ditemukansecara eksplisit di dalam pembukaan, batang tubuh maupun penjelasannya kemudiandijadikan alasan bahwa sebenarnya UUD 1945 tidak memberikan perhatian pada HAM.

Perumusan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya sudah mulai diperjuangkan sejak zaman kemerdekaan terutama sejak berdirinya Serikat Dagang Islam Sampai dengan perdebatan dalam sidang 59 Antonius Cahyadi dan E Fernando M Manulang,2008, Pengantar filsafat Hukum, cet. 2, Kencana, Jakarta, hlm. 42.

(36)

Badan Pekerja Untuk Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI) 61

UUD 1945 menurut Mahfudz tidak berbicara apapun tentang HAM universal kecualidalam dua hal, yaitu sila keempat pancasila yang meletakkan asas kemanusiaan yang adildan beradab dan pasal 29 yang menderivasikan jaminan kemerdekaan tiap pendudukuntuk memeluk agama dan beribadah. Hal ini menurut Mahfudz memberi kesan bahwapembukaan dan batang tubuh tidak memiliki semangat yang kuat dalam memberikanperlindungan HAM. Kondisi ini menurut Mahfud merupakan salah satu penyumbangpenyebab terjadinya pelanggaran HAM di negara indonesia.Soedjono Sumobroto, Marwota, Azhari, dan Dahlan Thaib memiliki pandanganyang berseberangan dengan kelompok pertama. Dalam hal ini kelompok ini melihatbahwa UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komperhensif. 62

Pandangan inididasarkan bahwa UUD 1945 mengangkat fenomena HAM yang hidup dikalangan masyarakat. Atas dasar itu, HAM yang tersirat di dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM diindonesia sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan ber-negara dan berbangsa. Dengan kata lain, Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yanghidup dalam kepribadian bangsa.Senada dengan hal tersebut, bila dikaji baik

61Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 627.

(37)

dalampembukaan, batang tubuh maupun penjelasan akan ditemukan setidaknya ada lima belasprinsip hak asasi manusia. Prinsip tersebut antara lain;63

(1) hak untuk menentukan nasibsendiri

(2) hak akan warga negara

(3) hak akan kesamaan dan persamaan dihadapanhukum

(4) hak untuk bekerja

(5) hak untuk hidup layak

(6) hak untuk berserikat

(7) hak untuk menyatakan pendapat

(8) hak untuk beragama

(9) hak untuk membela negara

(10) hak untuk mendapatkan pengajaran

(11) hak akan kesejahteraan sosial

(12) hakakan jaminan sosial

(13) hak akan jaminan sosial

(14) hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan

(15) hak mempertahankan tradisi budaya

(16) hakmempertahankan bahasa daerah.

(38)

Kelompok ketiga didukung oleh Kuntjoro Purbopranoto, G.J.Wolhoffdan M.Solly Lubis. Mereka berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokokjaminan atas HAM. Menurut Kuntjoro jaminan UUD 1945 terhadap HAM bukannyatidak ada, melainkan dalam ketentuan-ketentuannya UUD 1945 mencantumkannyasecara tidak sistematis. M. Solly Lubis juga menegaskan bahwa ketika demokrasi diakuisebagai pilihan terbaik bagi sistem dan arah kehidupan sebuah bangsa, pada umumnyaorang tiba pada suatu prinsip umum bahwa pada hakikatnya hak-hak asasi itu haruslahmendapat jaminan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan mendasari sistempolitik dan kekuasaan yang sedang berjalan. UUD 1945 menurutnya tetap mengandungpengakuan dan jaminan yang luas mengenai hak-hak asasi walaupun harus diakui secararedaksional formulasi mengenai hak-hak itu sangat sederhana dan singkat.

Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945)64 tidak

hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain yang mendukung untuk dilakukannya perubahan itu misalnya saja menghindarkan dari pemerintahan diktator.

(2) Konstitusi RIS

Dalam konstitusi RIS 1949 berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949 ini memberika pembedaan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hak Asasi Warga Negara (HAW). 65

64 Mochtar Parbottinggi dan Abdul Mukthie Fadjar, 2002, Konstitusi Baru melalui KomisiKonstitusi Independen, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 37-38.

(39)

Konstitusi RIS 1949 mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bagian V yang berjudul “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33.370 Pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang isinya hampir seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam UUDS 1950.66 Di dalam UUDS

1950, pasal-pasal tersebut juga terdapat dalam Bagian V yang berjudul “Hak -Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”. Bagian ini terdiri dari 28 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34.67

Konstitusi RIS atau sering disebut dengan konstitusi republik indonesia serikat tahun 194968 berawal dari berakhirnya perang dunia II yang membuat

jepang kalah dan pergi dari Indonesia, hal ini di manfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk masuk kembali menjajah Indonesia dengan melakukan Agresi, dalam keadaan terdesak tersebut Indonesia atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tanggal 23 Agustus 1949 mengadakan Konferensi Meja Bundar dengan hasil kesepakatan mengenai tiga hal, yaitu:

1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat;

2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu:

66 Suradji, Pularjono, dan Tim Redaksi Tatanusa, eds., hlm. 88 – 94; Mengenai tiga UUD tersebut, sebagai bahan pembanding, lihat pula Ghalia Indonesia, 1981, Tiga Undang-Undang Dasar: UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, Jakarta.

67 Lihat Suradji, Pularjono, dan Tim Redaksi Tatanusa, eds., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, PT Tatanusa, Jakarta, 2000 hlm. 139 – 144. Tentang uraian mengenai beberapa macam HAM dalam perspektif 3 (tiga) UUD yang pernah berlaku di Indonesia – UUD 1945 (sebelum mengalami perubahan), Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950 – lihat Miriam Budiardjo, 1985, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, hlm. 129 – 137; Lihat pula Adnan Buyung Nasution (a), op. cit. hlm. 131 – 254.

(40)

(a) Piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RIS;

(b) Status uni; dan

(c) Persetujuan perpindahan

3. Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.69

Maka untuk membentuk Negara Republik Indonesia Serikat diubahlah Konstitusi UUD 1945 menjadi Konstitusi RIS.

Dalam konstitusi RIS 1949 berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949 ini memberika pembedaan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hak Asasi Warga Negara (HAW). 70

Babakan sejarah selanjutnya ternyata berpaling kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, ketika melalui Keppres Nomor 150 Tahun 1959 tertanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno antara lain menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali.373 Kembalinya Republik Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945 berarti juga berlakunya kembali ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia yang tercantum di dalamnya. Pada masa awal Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) telah berhasil merancang suatu dokumen yang diberi nama “Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Serta Kewajiban Warga Negara.”374 Di samping itu, sambil menunggu berlakunya Piagam tersebut, Pimpinan MPRS ketika itu juga

69 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, 2006, Konstitusi Press, Jakarta,hlml. 45.

(41)

menyampaikan “Nota MPRS kepada Presiden dan DPR tentang Pelaksanaan Hak-Hak Asasi Manusia”.71

(3) UUDS 195072

Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.

Meskipun begitu Bila dibandingkan antara Konstitusi RIS dan UUDS 1950, hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Konstitusi RIS diatur secara lebih lengkap dan dibagi dalam bagian tersendiri misalnya kewajiban dan hak negara dan warga negara Oleh UUDS 1950 ini, yaitu dalam bagian V meliputi 27 Pasal. Koentjoro menyatakan bahwa kedua konstitusi yaitu konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari segala konsitusi yang telah berhasil

71 A.H. Nasution (b), 1989, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 7: Masa Konsolidasi Orde Baru, CV Haji

Masagung, Jakarta, hlm. 289 – 295.

(42)

memasukkan hak asasi manusai seperi putusan UNO kedalam Piagam Konstitusi.73

(4) Amandemen UUD 194574

Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain yang mendukung untuk dilakukannya perubahan itu, yaitu :75

1) UUD 1945 pada hakekatnya belum pernah ditetapkan sebagai konstitusi RI yang resmi oleh badan perwakilan pilihan rakyat, kecuali kesepakatan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa pemerintahan Orde Baru Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya

73 Koetjoro Poerbopranoto, 1953, Hak-Hak Manusia dan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia, Groningen, J.B. Wolters, Jakarta, hlm. 92.

74 Perangkat hukum berkaitan dengan hak asasi manusia yang telah dimiliki Indonesia di

antaranya: A. Undang-Undang Dasar 1945 1. Undang Undang Dasar 1945 2. Amandemen Pertama UUD 1945 3. Amandemen Kedua UUD 1945 4. Amandemen Ketiga UUD 1945 5. Amandemen Keempat UUD 1945. B. Tap MPR-RI Nomor : XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. C. UU 20/1999: Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja UU 1/2000 : Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, UU 12/1995: Pemasyarakatan, UU 19/1999: Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa, UU 21/1999: Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, UU 26/2000: Pengadilan Hak asasi manusia, UU 29/1999: Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965, UU 3/1997 : Pengadilan Anak, UU 39/1999: Hak Asasi Manusia, UU 4/1979 : Kesejahteraan Anak, UU 5/1998 : Menentang Penyiksaan, UU 7/1984 : Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU 9/1999 : Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU 11/2005: Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya, UU 12/2005: Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. dapat dilihat di www.ham.go.id/sjdi_first di Akses pada 9 Mei 2016, Pukul 21.00 WIB.

(43)

sebagian besar adalah Golonga Karya pernah menetapkan TAP MPR yang di dalamnya mengatur tentang referendum terhadap UUD 1945. Di dalam kepemimpinan Era Orde Baru itu dikatakan merupakan rekayasa oleh Rezim Soeharto yang telah melakukan amandemen konstitusi dengan cara yang bertentangan dengan UUD 1945 sendiri.

Satu hal yang menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang didalamnya memuat hak-hak dasar manusia serta kewajiban yang bersifat dasar, namun istilah HAM itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya, yang ditemukan bukanlah HAM, tetapi hanyalah hak dan kewajiban warga negara.76

2) UUD 1945 tidak sesuai dengan perkembangan praktek kenegaraan sekarang, UUD 1945 dianggap terlalu sederhana, banyak kelemahan dan kekurangannya sehingga cenderung multi tafsir. Berbicara kelemahan UUD 1945 yang dimaksud maka sifat executive heavy adalah salah satu contohnya dalam pelaksanaan UUD 1945.Karena sistemnya yang eksecutive heavy sehingga penafsiran konstitusi yang dianggab benar adalah penafsiran yang dibuat atau dianut oleh presiden.

Praktek pelaksanaan UUD tahun 1945 selama beberapa masa pemerintahan yang pernah ada di Indonesia setelah Proklamasi

(44)

kemerdekaan memiliki ciri sistem pemerintahan berdasarkan konstitusi yang pernah diberlakukan di Indonesia. Menurut para sarjana dalam beberapa masa pemerintahan yang pernah memerintah di Indonesia sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensil dilihat dari ciri-ciri yang termuat dalam UUD 194577 Salah

satunya adalah menurut Jimly Asshiddqie bahwa Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sistem pemerintahannya menganut sistem presidensil.78

Undang-undang Dasar tahun 1945 dalam pembentukannya tidak menyatakan secara tegas Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil atau sistem pemerintahan parlementer. Menurut M. Yamin79,

para penyusun UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa sistem pemerintahan kita berlainan dengan sistem presidensil di Ameria Serikat dan berbeda dengan sistem parlementer yang diterapkan oleh Inggris.

Indonesia memiliki sistem pemerintahan sendiri yang berlandaskan pada konstitusi yaitu UUD 1945. Di dalam penjelasan UUD 1945 dikenal tujuh kunci pokok sistem pemerintahan Indonesia. Tujuh kunci pokok itu antara lain :

1) Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat).

2) Sistem konstitusional.

77 Moh. Mahfud MD, 2009, Politik hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 377.

78Ibid.

(45)

3) Kekuatan negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

4) Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah majelis.

5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

6) Menteri negara ialah pembantu presiden.

7) Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.

C. Pembaharuan Hukum melalui Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption

Of Innocent) dan Asas Kesamaan Kedudukan Dihadapan Hukum (Equality

Before the Law) dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia sebagai Upaya

Perlindungan HAM.

1. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption

Of Innocent)

(46)

interessenjurisprudenze, teori hukum alam, dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal.80 Konsep dari hukum progresif tersebut menurut Penulis sejalan

dengan konsep perlindungan HAM dalam asas Presumption Of Innocent. .

Ide utama hukum progresif adalah membebaskan manusia dari belenggu hukum. Hukum berfungsi memberi panduan bukan justru membelenggu, manusia-manusialah yang berperan lebih penting. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.81

Presumption Of Innocent atau yang dikenal dengan Asas Praduga Tak Bersalah terdapat ketentuannya didalam KUHAP dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.dalam KUHAP terdapat ketentuannya pada butir 3 bagian c yang rumusannya sebagai berikut:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

80 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hal. 1.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuktikan plasmid yang diisolasi mengandung DNA yang diligasikan dilakukan amplifikasi DNA dengan PCR menggunakan primer T7 dan SP6.. Produk PCR yang telah

Penulisan skripsi ini dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Pemanfaatan Sistem Informasi dan Penggunaan Sistem Informasi pada Industri Perbankan

The main purpose of this four-year study (a dissertation project at the University of Twente) is to develop a rich learning environment in the form of a Web site and a

Pemecahan konflik dengan strategi saya menang - anda menang ( win-win strategy ) adalah kemungkinan untuk memuaskan berbagai pihak yang terlibat. Penyelesaian konfli dengan

Hasil uji t untuk sampel berpasangan H-0 dan H-14 sebagaimana tertera di Tabe l 2 , nilai p=0,300 (>0,05) sehingga dapat disimpulkan perbedaan yang tidak bermakna rata- rata

Diberikannya kebebasan oleh Spanyol kepada Rusia untuk turut serta mengembangkan sektor wisatanya yang dirancang dalam kerengka kerja strategic partnership tersebut juga merupakan

Bagi lansia di Posyandu Lansia Ngudi Waras Sapen Umbulmartani Ngemplak Sleman diharapkan lansia dapat melakukan perilaku perawatan hipertensi dengan cara

Sebagai bagian dari SEP dari investasi yang teridentifikasi, Mekanisme Umpan Balik dan Penanganan Keluhan (Feedback and Grievance Redress Mechanism, FGRM) akan