Krisis Ekonomi, Intervensi Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
dalam Kerangka Nasionalisme Ekonomi
PERDANA WAHYU SANTOSA
Direktur Riset Ekonomi dan Keuangan, Sabang Merauke Circle
Setiabudi Building II, 6th Floor, Suite 605,Jl. HR. Rasuna Said Kav. 62, Kuningan, Jakarta 12920 Wakil Dekan FE Universitas YARSI, Jakarta dan staf pengajar di Program DMB IPB, Program MM dan DMB
Universitas Padjadjaran serta MBA SBM ITB. Email: [email protected]
Krisis demi krisis telah kita lalui, banyak hikmah sekaligus trauma yang didapat dari terutama, dua krisis terakhir yaitu Krisis Keuangan Asia tahun 1997/1998 dan Krisis Ekonomi Global yang dipicu oleh kasus subprime mortgage tahun 2008. Krisis 2008 memiliki skala dan dampak kerusakan perekonomian dunia yang jauh lebih kuat dibandingkan krisis Asia 1998. Selain itu, krisis 2008 juga telah membawa dampak lanjutan terhadap fluktuasi nilai tukar (currency) dan permasalahan fiskal akut di AS dan Uni Eropa. Namun faktanya, krisis global 2008 tersebut justru memberikan dampak yang minimal, dibandingkan krisis keuangan Asia 1997 yang menimbulkan kerusakan serius bagi perekonomian nasional serta memicu krisis sosial-politik skala nasional. Mengapa perekonomian Indonesia saat ini relative lebih stabil dan kuat terhadap krisis global 2008 dibandingkan dengan krisis keuangan 1997? Apakah ekonomi kita sudah memiliki fundamental yang kokoh? Apakah industri jasa keuangan kita sudah memiliki stabilitas sistem keuangan yang lebih baik?
Para ekonom dan analis keuangan telah melontarkan berbagai komentar profesionalnya berbasis argumen dan analisis canggihnya. Sebagian besar menilai bahwa penyebab perekonomian nasional lebih kebal terhadap krisis keuangan global 2008 karena faktor-faktor seperti kesehatan dan stabilitas sektor keuangan, jenis dan sumber krisis serta pengambilan kebijakan (policy) pemerintah
yang berbeda dibandingkan pada saat krisis keuangan 1997. Jadi kombinasi ketiga factor utama tersebutlah yang membuat perekonomian nasional lebih kokoh menahan krisis keuangan 2008 tersebut. Argumen-argumen tersebut tentunya dapat dipahami dengan mudah, misalnya factor kesehatan dan kehatian-hatian sektor perbankan dan lembaga keuangan saat ini sudah jauh lebih baik, meskipun masih belum ideal. Saat 1997, perbankan nasional memberikan kredit dalam jumlah besar-besaran dengan kurang hati-hati sehingga memicu non-performing loans (NPL) yang lebih tinggi dibandingkan saat ini. Jumlah utang yang menggelembung dengan NPL tinggi akan meningkatkan risiko krisis.
besar yang kemudian justru memicu masalah fiskal AS.
Krisis fiskal terus merembet ke kawasan Uni Eropa, beberapa anggota UE terindikasi mengalami masalah dengan utang dan defisit yang cukup parah seperti Portugal, Irlandia, Italia, Yunani dan Spanyol (PIIGS). Kabar terakhir,peringkat utang Perancispun sudah diturunkan menjadi Aa dan indikasi melambatnya kegiatan ekonomi di Jerman dan Belanda. Resesi susulan ini disebabkan oleh paket-paket penghematan anggaran dilakukan pada saat perekonomian terus melambat serta tidak adanya bantuan yang sungguh-sungguh dari negara Eropa utara. Para ekonom memperkirakan akan terjadi “tubrukan finansial” yang akan menyeret perekonomian global kepada “double dip recession”. Apabila hal ini terjadi, diyakini pemulihan krisis fiskal UE akan semakin sulit dan membutuhkan waktu jauh lebih lama.
Selanjutnya jika ditinjau dari aspek kebijakan yang diambil pemerintah dan Bank Indonesia pada krisis keuangan 1997 dengan 2008 terlihat perbedaan yang sangat menyolok. Pada 1997 pemerintah, berdasarkan resep dari IMF, mengambil kebijakan uang ketat (tight money policy) yang mengakibatkan bunga pinjaman komersial meroket tajam dengan ekspektasi menahan modal keluar (capital flight). Namun akibatnya sangat jauh dari harapan dalam keadaan panik dan terjadi social rush kebijakan ini justru langsung menghantam sektor riil sehingga memicu kredit macet (default) besar-besaran. Maka selanjutnya risiko bisnis meningkat tajam dan mendorong capital flight lebih kencang lagi. Untuk krisis global 2008, tampaknya pemerintah dalam posisi yang lebih tenang dan nyaman karena fundamental ekonomi dan kesehatan sektor finansialnya lebih baik. Selain itu, episentrum krisis
keuangan 2008 berada di AS dan Uni Eropa. Kebijakan pemerintah adalah menjaga likuiditas dan menurunkan bunga acuan (BI rate) sehingga sektor riil lebih terjaga dari dampak krisis 2008 tersebut.
Secara psikologis sektor perbankan dan lembaga keuangan Indonesia masih trauma atas krisis keuangan 1997 lalu sehingga tingkat kesehatan perbankan, NPL serta risiko credit bubble telah menjadi fokus utama regulator. Pengamatan perkembangan sektor financial dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan tren meningkatnya kesehatan perbankan nasional (NPL semakin rendah) namun fungsi intermediasinya masih lemah (terlihat dari rendahnya loan-to deposit ratio-LDR). Selama ini, kebijakan penting yang dilakukan pemerintah adalah penguatan secara finansial yang dikenal sebagai Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Namun implementasi SSK tersebut lebih fokus untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi kembali. Maka kebijakan tersebut memicu masalah intermediasi sistem finansial nasional yang menyebabkan LDR rendah dan dana pihak ketiga sebagian besar hanya berlabuh di pasar uang dan pasar modal. Hal ini tentu bukan kondisi yang diharapkan oleh pemerintah maupun pelaku bisnis (peminjam) karena jika dibiarkan akan menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi.
kepercayaan investor pada sektor perbankan dan pasar modal dari ancaman risiko sistemik sekaligus member ruang bagi sektor riil untuk bertahan. Perekonomian nasional dapat tumbuh di atas rerata pertumbuhan ekonomi global dan stabil. Pada 2008, PDB dapat bertumbuh hingga 6,1% sementara negara-negara maju mengalami pertumbuhan negatif. Hanya pada 2009 pertumbuhan Indonesia menurun menjadi 4,4% dan dalam dua tahun terakhir terus bertumbuh dengan stabil di atas 6 persen. Hal ini mengindikasikan berbagai kebijakan pemerintah baik fiskal maupun moneter yang tepat.
Dengan kinerja ekonomi yang baik tersebut, perekonomian nasional sering mendapat berbagai pujian baik dari lembaga keuangan dunia seperti World Bank, IMF, ADB dan lainnya serta berbagai pihak penting lainnya. Bahkan Indonesia diprediksi oleh Morgan Stanley (2009) akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang baru bersama Brazil, Rusia, India dan China (BRIC) dan McKinsey Global juga menyatakan sanjungan atas stabilitas pertumbuhan PDB dan meramalkan Indonesia akan menjadi negara besar pada 2030. Kita boleh saja berbangga atas pujian dan prediksi tersebut, namun yang lebih penting lagi adalah membenahi berbagai struktur ekonomi yang masih berdaya saing rendah dan miskin inovasi. Bebagai kebijakan pemerintah tentu ditunggu oleh pelaku ekonomi agar daya saing perekonomian dan inovasi lebih baik lagi sehingga produk dan jasa yang ditawarkan memiliki nilai kompetitif yang tinggi. Selain itu, diperlukan berbagai kebijakan mendasar terkait dengan perdagangan luar negeri, investasi asing dan proteksi strategik untuk melindungi sektor-sektor penting.
Kerangka kebijakan ekonomi dan keuangan nasional di masa depan seyogyanya dipayungi oleh aspek “nasionalisme ekonomi”. Hal ini penting
ditumbuhkan agar perekonomian nasional lebih kompetitif di pasar domestik dan berdaya saing di luar negeri. Mungkin bentuk ideal nasionalisme ekonomi nasional masih dalam “pencarian” dan perdebatan para ekonom, ahli keuangan, birokrat hingga akademisi. Namun yang jelas aspek nasionalisme ekonomi tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam kajian Ekonomi Politik. Hal lainnya, tahapan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi merupakan sebuah transformasi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern merupakan proses multidimensional yang kompleks. Proses pembentukan nasionalisme ekonomi tentu akan memerlukan perubahan orientasi ekonomi, politik dan struktur sosial menjadi lebih bermartabat dan diyakini akan menuju ke arah yang lebih baik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sikap ekonomi politik Indonesia dari krisis ke krisis yang dijelaskan secara sederhana di atas menujukkan bahwa kita mampu berubah menjadi lebih baik merupakan modal utama untuk tinggal landas berlandaskan nasionalisme ekonomi yang membumi.
Krisis Neo-Liberal: Sebuah Renungan Kritis
konsep efisiensi, efektivitas, produktivitas dan clean & good governance baik di tingkat individu (household), perusahaan (corporate) hingga pemerintahan/negara (country). Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari aliran ekonomi neo-liberal ini diperlukan “persaingan pasar bebas” yang mampu mendorong peningkatan kualitas dan value of chain sehingga memberikan nilai tambah maksimal. Paham liberal ini juga memberikan dukungan penuh pada aspek ilmiah, riset & pengembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi yang memungkinkan terciptanya berbagai temuan dan inovasi terbaru. Keunggulan lainnya adalah terjaminnya kebebasan, kemajemukan dan penegakan hukum untuk tercapainya demokrasi politik dan pertumbuhan ekonomiyang berkualitas.
Struktur ekonomi liberal ternyata tidak selalu dapat diimplementasikan dengan mudah dan memberikan hasil yang diharapkan karena memiliki berbagai kelemahan. Beberapa kelemahannya adalah potensi dan kecenderungannya menggunakan pendekatan linear, penyeragaman dan homogensisasi dalam rekayasa sosial, ekonomi maupun politik. Dengan demikian teori ini akan mengabaikan nilai-nilai historis struktural dan historis kultural di negara sedang berkembang (emerging market). Beberapa riset juga menujukkan bahwa teori neo-liberal dapat merusak nilai tradisional dan kearifan lokal (local wisdom), semangat kebersamaan dan solidaritas sosial bahkan tatanan agama. Prinsip kerjasama berbasis hubungan sosial dan spiritual juga dihormati oleh ekonomi liberal namun tidak substansial. Selain itu, ekonomi liberal juga cenderung over optimistic dalam memprediksi perekonomian masa depan sehingga sering terjadi hasil-hasil yang tidak sesuai ekspektasi (under expectation).
Konsep neoliberal kerap dituding sebagai biang keladi krisis ekonomi global 2008 yang hingga
kini masih menjerat sebagian besar negara maju seperti AS dan sebagian Uni Eropa. Sistem keuangan modern yang selama ini begitu perkasa mengalami kebangkrutan bersama jatuhnya Lehman Brothers, JP Morgan, Goldman Sach dan lainnya. Simbol kejayaan sebuah sistem finansial tersebut tampaknya perlu dikaji ulang secara fundamental. Salah satu akar permasalahan yang menjadi penyebab runtuhnya perekonomian AS dan sistem keuangan global adalah proses ketidakseimbangan (imbalances). Implikasi dari imbalances tentunya sangat rumit.Morgan Stanley (2007) melaporkan bahwa telah terjadi pemisahan (decoupling) yang semakin menganga antara kelompok negara maju (terutama AS) dengan negara-negara berkembang (terutama China). AS dan kelompok negara maju lainnya dinilai meningkatkan konsumsinya yang begaian besar dibiayai oleh utang. Dengan kata lain konsumsi saat ini dibebankan kemudian hari sehingga ketergantungannya atas utang semakin lama semakin besar. Di sisi lain, China dan sebagian negara berkembang justru semakin meningkatkan produksinya untuk dikonsumsi oleh negara-negara maju tersebut. Maka akan terjadi imbalances yang semakin besar karena di satu pihak uang konsumsi banyak beredar (sejatinya utang) dan di pihak lain justru melakukan saving atas hasil produksinya.
juga menimbulkan masalah lain, yaitu banjir likuiditas pada saat ini dengan segunung kewajiban di masa depan karena kebijakan moneter yang longgar (easy money). Selain produk keuangan, pasar global juga memperdagang-kan komoditas berbasis futures trading dalam nilai yang sangat besar. Singkatnya, sistem keuangan neoliberal ini memberikan ruang
seluas-luasnya untuk terjadinga berbagai macam penggelembungan (bubble) aset melalui berbagai produk derivatif tersebut. Penggelembungan nilai kelolaan hingga sangat besar yaitu sekitar USD450 trilliun dan bandingkan dengan nilai total ekonomi global yang hanya USD30 triliun dan ekonomi AS yang berukuran USD10 triliun.
Aliran neoliberal meyakini bahwa inovasi di pasar finansial melalui sistem shadow banking merupakan pilar utama pertumbuhan ekonomi sehingga regulasi yang berlebihan dapat merusak struktur perekonomian As dan global. Sistem peredaran uang juga tidak perlu diregulasi secara berlebih dan bebas interbvensi negara agar bersifat netral sehingga mekanisme pasar dapat bekerja dengan optimal. Pemahaman ini dikenal berasal dari Kaum Monetaris yang diotaki oleh Milton Friedman (1912-2006) dan dimplementasikan oleh Alan Greenspan selama menjadi chairman The Fed. Maka terjadilah pertumbuhan ekonomi AS yang sangat cepat namun memicu melonjaknya proporsi utang. Proporsi utang yang meningkat tajam justru “salah arah”, karena sebagian besar utang tidak dinikmati
Stabilitas Sistem Keuangan
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) nasional saat ini dan ke depan berada di bawah kendali Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan motivasi ekonomi-politik, dalam rangka memperbaiki kualitas microprudential seperti: aspek regulasi, pengawasan, manajemen risiko serta penindakan. Ruang lingkup OJK mencakup industri perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank (IKNB). OJK akan berperan dalam menentukan arah, termasuk strategi di dalam penguatan struktur perekonomian sebagai upaya mendukung pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas sistem keuangan nasional. Selain itu OJK juga memberikan unsur edukasi finansial dan perlindungan bagi konsumen. Direncanakan OJK akan mengawasi sekitar 3.681 lembaga keuangan bank, pasar modal, INKB warisan BI dan Bapepam-LK. Nilai aset yang dikelola juga mencapai sekitar Rp8000 triliun yang hampir setara dengan PDB. Ini merupakan cakupan (span of control) dan beban (load) kerja, yang menuntut ke hati-hatian serta dengan kerumitan yang luarbiasa.
Dalam krisis keuangan 2008 lalu, salah satu penyebabnya adalah terjadinya praktik shadow banking yang berlebih yang meliputi money market funds, mutual funds, hedge funds, pension funds hingga exchange traded funds (ETF). Di AS selama ini sistem perbankan bayangan ini berkembang pesat dan menumbuh suburkan produk-produk derivatif melalui prosesengineering yang sangat
Dalam sistem perbankan konvensional, pada umumnya nasabah menabungkan uangnya melalui institusi perbankan seperti commercial banking, saving instituion dan credit unions. Dana Pihak Ketiga tersebut, oleh perbankan didistribusikan dalam bentuk kredit komersial (commercial loans) dan/atau kredit konsumsi (consumer loans). Berbeda dengan itu, shadow banking menggunakan DPK tersebut untuk investasi di pasar finasial melalui produk-produk derivatif yang canggih dan variatif. Macam ragam produk derivatif tersebut meliputi namun tidak terbatas pada Asset Backed Securities (ABS), Resedential Mortgage Backed Security (RMBS), Commercial Mortgage Backed Securities (CMBS), Collateralized Debt Obligations (CDOs), Credit Default Swap (CDS), Structured Investment Vehicles (SIVs).
Indonesia tidak terkena dampak serius dari pecahnya gelembung derivatif tersebut karena
pasar finasial kita masih “tradisional” yang belum
mengenal produk-produk derivatif canggih tersebut. Sehingga, dengan dukungan indikator fundamental yang baik dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, IHSG terus berada dalam tren positif. Namun, produk-produk finasial yang inovatif tersebut, dalam perkembangan pasar finansial ke depan tampaknya akan teradopsi sehingga dibutuhkan regulasi yang longgar namun tetap terkendali. OJK harus memiliki wawasan yang
cukup terhadap berbagai produk finansial “hybrid” atau istilahnya “abu-abu”. Kasus Antaboga di Bank Century lalu juga terindikasi peranan produk hybrid ini. Sebaiknya OJK harus terus mengklasifikasikan setiap produk keuangan agar jelas statusnya sehinga efektivitas pengawasannya menjadi lebih baik.
Pengawasan terhadap perbankan nasional oleh BI terpantau semakin baik, walau masih jauh dari sempurna. Efek traumadua krisis keuangan terakhir 1997 dan 2008 lalu tampaknya masih
membekas tergambar dari pemantauan NPL yang rendah dan kebijakan anti credit bubble. Terlihat hasil pengawasan BI tersebut telah berhasil dengan baik, namun jika ditelaah rendahnya loan-to-deposit ratio (LDR) perbankan nasional tersebut menujukkan rendahnya penyaluran kredit ke sektor riil (produktif). Ini dampak negatif dari sikap pruden yang berlebihan. Sebagian besar DPK diparkir di pasar uang dan pasar modal,seharusnya digunakan untuk menopang pertumbuhan bisnis. Rendahnya fungsi intermediasi tersebut seharusnya segera ditangani oleh otoritas BI atau OJK ke depan karena jika dibiarkan akan menjadi penghambat pembangunan secara keseluruhan. Situasi tersebut diperparah dengan tingginya bunga kredit (cost of funds) yang disalurkan perbankan karena tingkat efisiensi mereka yang masih rendah sehingga menggunakan spread tinggi. Perbankan cenderung menggenjot kredit konsumsi dan kartu kredit yang tidak produktif yang menyebabkan masyarakat kita menjadi masyarakat pengutang.
Konklusi
yang lebih efisien. Tampaknya, jika melihat perlakuakn beberapa negara tetangga terhadap perbankan yang berkspansi di sana, sudah saatnya regulator mulai mengeluarkan dan merevisi peraturan-peraturan investasi asing di bidang keuangan.
Perekonomian nasional merupakan bagian tak terpisahkan dengan sistem keuangan global yang cenderung menerapkan paham liberal. Namun, sekalipun prinsip liberal menawarkan berbagai keunggulan dalam industri keuangan yang semakin canggih ini, namun pasar bebas seyogyanya tidak dibiarkan sebebas-bebasnya. Penerapan sistem ekonomi liberal harus dalam payung nasionalisme dan sesuai dengan struktur sosial, politik dan ekonomi tradisional serta nilai-nilai lokal dan agama. Untuk itu, sekalipun merupakan bagian dari sistem ekonomi liberal, Indonesia harus tetap melakukan intervensi yang wajar agar potensi negatif dari liberalisme tersebut dapat diminimalisisas sekecil mungkin. Dalam hal ini, mungkin konsep state-liberalism dapat dipertimbangkan kembali.
Referensi
American Banker Association (2012) Shadow Banking System Cut by Half, Deloitte Report, Dodd-Frank Tacker, US
Damanhuri, Didin. S (2010), Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang, Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.
International Monetary Fund (2009) Global Financial Stability Report: Responding to the Financial Crisis and Measuring Systematic Risk, IMF, Washington DC. Krugman, Paul (2009) reprinted 1999, The Return
of Depression Economics, WW Norton & Company, Inc., US
Minsky, Hyman P (2008) Stabilizing an Unstable Economy, McGraw-Hill, New York. Prasetyantoko, A. (2010), Ponzi Ekonomi: Prospek
Indonesia di Tengah Insta bilitas Global, Gramedia, Jakarta.
Raharjo, M. Dawam (2011), Nalar Ekonomi Politik Indonesia, Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.
Santosa, Perdana Wahyu (2012), Seleksi Pimpinan OJK dalam Pusaran Ekonomi Politik, Paper Seminar Nasional, Jakarta.
Stigliz, Joseph E. (2010) Freefall: Freemarkets and the Sinking of the World Economy, Penguin Books, UK.