• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langgeng Prima Anggradinata Sejarah Sast

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Langgeng Prima Anggradinata Sejarah Sast"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

Sejarah Sastra Periode 1960-an: Masalah Kelompok dan Aliran

Oleh Langgeng Prima Anggradinata

ABSTRAK:

Gejolak politik yang terjadi pada dekade 1960-an berdampak pada segala aspek kehidupan, salah satunya sastra. Perebutan kekuasaan, hegemoni, dan perang ideologi terjadi pada masa itu. Akhirnya, sastra dan politik menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Hal inilah yang kemudian membuat penulisan sejarah sastra untuk periode 1960-an menjadi tidak bebas dari kuasa. Dinamika sastra periode 1960-an selalu diawali dan ditandai dengan ketegangan antara dua kelompok, Lekra dan Manikebu. Hal ini membuat apa yang terdapat dalam sejarah sastra periode 1960-an penuh dengan ideologi dan kepentingan. Ada semacam diskriminasi, subordinasi, bahkan penghapusan kelompok Lekra pada sebagian historiografi. Hal ini justru merugikan sastra Indonesia itu sendiri dari segi ilmu pengetahuan karena bagaimana pun karya Lekra adalah salah satu kekayaan dari sastra Indonesia. Tulisan ini mencoba menggunakan perpektif lain dalam memandang sastra Indonesia periode 1960-an. Perspektif itu tidak menggunakan perspektif yang dilakukan oleh para ahli yang sudah-sudah. Perspektif yang digunakan ialah perspektif aliran. Selain itu, tulisan ini mencoba menggali fakta lain dalam periode 1960-an yang tidak sempat digali oleh para ahli. Fakta lain itu adalah komunitas sastra yang independen, yang jauh dari kesan politik.

Kata kunci: Sejarah sastra Indonesia, periode 1960-an, PSK, Simbolisme

1. PENGANTAR

Peristiwa politik tahun 1965 begitu melekat dibenak setiap orang, baik yang terlibat secara langsung, maupun yang tidak terlibat sama sekali; baik yang hidup di zaman itu maupun yang hidup setelahnya. Peristiwa tersebut berhasil menjadi memori kolektif rakyat Indonesia. Memori kolektif tersebut tentu saja dibangun sedemikian rupa oleh berbagai pihak untuk berbagai kepentingan, baik politik maupun ilmu pengetahuan. Melalui kebijakan politik dan ilmu pengetahuan (sejarah) memori kolektif itu dikonstruksi untuk mengukuhkan status quo; status quo politik dan status quo ilmu pengetahuan.

Sebut saja orde baru yang berhasil merebut status quo dari orde lama. Ia berhasil menciptakan status quo baru. Melalui meja-meja pendidikan dan kebudayaan, orde baru berhasil membentuk memori kolektif tentang peristiwa 1965. Pada saat itu pula, ilmu pengetahuan (sejarah) benar-benar dikuasai orde baru.

(2)

2 menyebabkan terjadinya keberpihakan ilmu pengetahuan (sejarah) terhadap satu golongan. Pada saat itulah yang berkuasa melakukan hegemoni terhadap segala aspek kehidupan secara struktural dan menyeluruh. Peristiwa politik tahun 1965 telah menyentuh berbagai sektor pengetahuan, tidak terkecuali sastra.

Buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) yang disusun H.B. Jassin menjadi contoh bagaimana ideologi penyusun sejarah sastra bermain. Karya-karya Lekra tidak dimuat dalam antologi itu dengan berbagai alasan yang cenderung politis dan sentimentil. Ajip Rosidi dalam beberapa bukunya (Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia [1970], Laut Biru Langit Biru (1977), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia [1977], dan Puisi Indonesia Modern [2010]) tidak menaruh perhatian terhadap Lekra dan karya-karyanya. Selain buku-buku dari kedua ahli itu, banyak buku sejarah sastra yang menempatkan Lekra pada posisi yang tidak menguntungkan, terutama buku yang terbit pada zaman orde baru.

Pasca-runtuhnya orde baru, hal-hal mengenai Lekra coba diungkap kembali. Berbagai penelitian dilakukan dan dibukukan. Beberapa buku ditulis untuk kembali mengungkapkan apa yang terjadi pada periode 1960-an dan bagaimana sepak-terjang Lekra saat itu. Misalnya, buku yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan berjudul Gugur Merah: Sehimpun Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) dan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (2008). Buku tersebut menghimpun seluruh karya Lekra yang dimuat di lembar kebudayaan Harian Rakjat. Ini merupakan suatu usaha untuk kembali mengenalkan karya-karya Lekra ke publik. Menjadikan karya-karya itu tampil di pentas sastra Indonesia.

Selain itu, ada juga penelitiannya yang berbicara mengenai sastra Indonesia 1960-an atau yang berkaitan dengannya dari berbagai sudut pandang. Di antara yang banyak itu ada dua nama yang menarik perhatian, yakni Asep Sambodja dan Wijaya Herlambang. Masing-masing dari mereka membuat buku yang berjudul Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (2010) dan Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013). Pada dasarnya kedua buku tersebut kira-kira memiliki tujuan yang sama, yaitu mengungkap kembali sejarah kelam 1965 (dan setelahnya) dan menempatkan kembali Lekra pada sastra Indonesia. Mereka menilai bahwa itu merupakan salah satu kekayaan sastra Indonesia yang mesti dimunculkan kembali.

(3)

3 komunitas sastra yang menasional, yang jauh dari kepentingan politik, yaitu Persada Studi Klub (PSK). Perspektif itu adalah perspektif aliran sastra yang sebenarnya mampu menampung ideologi berkarya semua kelompok sastra, baik Manikebu dengan humanisme universal maupun Lekra dengan realisme sosialis. Dua hal inilah—komunitas alternatif dan aliran sastra periode 1960-an—yang akan dibahas dalam tulisan ini. Hal ini merupakan upaya menemukan cara lain dalam membaca sastra Indonesia periode 1960-an. Diharapkan ini dapat menjadi pencair dalam kejumudan sastra Indonesia.

2. SASTRA PERIODE 1960-AN

2.1 POLEMIK LEKRA DAN MANIKEBU

Untuk mengetahui sastra Indonesia periode 1960-an, perlu rasanya untuk melihat kembali sejarah sastra yang memperlihatkan pertarungan Lekra dan Manikebu. Hal ini sebagai titik tolak atau dasar dalam melihat sejarah sastra Indonesia periode 1960-an yang lebih luas lagi.

Sejarah itu dimulai pada 17 Agustus 1950, ketika D.N. Aidit, M.S. Ashar, Njoto, dan A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Pada saat itu A.S. Dharta yang bertindak sebagai sekretaris jendral Lekra. Dalam perkembangannya, mereka menjadi lembaga yang menghegemoni. Mereka memaksa dan atau menganjurkan seniman-seniman untuk mengikuti cara mereka berkesenian. Dengan mengusung realisme sosialis, Lekra mengambil jalan bahwa sastra harus berguna bagi rakyat. Hal ini jelas menimbulkan pertentangan bagi sebagian orang yang lebih memilih berkesenian untuk seni itu sendiri. Merespons apa yang dilakukan Lekra, berdirilah Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada 17 Agustus 1963 yang dipelopori Goenawan Mohamad, Arief Budiman, H.B. Jassin, Boen S. Oemarjati, Taufiq Ismail, dll.

Manikebu hadir sebagai lembaga yang berupaya membela hak-hak manusia yang ditindas oleh tirani. Dengan kata lain, Manikebu adalah kelompok seniman yang menentang orde lama, menentang Soekarno, dan ingin mengembalikan ideologi Pancasila yang telah tercerabut dari akarnya karena komunisme pada saat itu. Oleh sebab kelompok ini menentang orde lama atau Soekarno, puisi-puisi, cerpen-cerpen, dan esai-esainya pun bernada protes atau puisi-puisi tentang kemanusiaan.

(4)

4 perkumpulan yang dilarang karena tidak sejalan dengan revolusi. Lekra pun menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi dari kehidupan kesenian di saat itu. Ia menguasai kesenian (mungkin) secara menyeluruh, dari kesenian rakyat, hingga seni kontemporer.

Namun, keadaan itu berbalik setelah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap jenderal Angkatan Darat—peristiwa itu dikenal dengan G30S. PKI diduga menjadi dalang dalam peristiwa itu. Pada tanggal 30 September 1965, PKI dan organisasi yang diduga menjadi bagian darinya dilarang dan dibasmi. Lekra yang dianggap berafiliasi dengan PKI pun turut dilarang dan seniman-seniman yang ada di dalamnya diasingkan. Akhirnya, sejak saat itu, dominasi Lekra pun digantikan oleh Manikebu.

Dominasi itu kemudian dikukuhkan dalam berbagai karya sastra, kanon sastra, dan penyusunan sejarah sastra Indonesia melalui perspektif politik. Apa yang terjadi mengakibatkan timbulnya kekaburan identitas dan sejarah sastra Indonesia. Akhirnya timbul pertanyaan, siapakah sebenarnya sastra Indonesia itu? Apakah hanya sebatas nama-nama yang tertulis di buku sejarah sastra yang telah terkontaminasi kepentingan itu? Hal inilah yang menyebabkan banyak orang merasa asing dengan karya-karya Lekra.

Masih banyak kalangan yang tidak tahu atau pun merasa tabu untuk menyoalkan Lekra, LKN, atau lembaga kebudayaan yang acapkali dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini disebabkan oleh sejarah yang menkonstruksi lembaga kebudayaan itu sebagai pihak—yang disebut Sambodja (2010) sebagai—antagonis. Mereka dikonstruksi menjadi sesuatu yang jahat dan terlarang. Pada tahap ini orde baru telah berhasil menciptakan ketakutan-ketakutan itu melalui sejarah, termasuk sejarah sastra.

Semestinya, sejarah sastra disusun berdasarkan pijakan suatu teori, meskipun tidak luput dari subjektivitas dan kemampuan dokumentasi karya-karya sastra. Namun setidaknya, dengan pijakan teori yang jelas, akan diraih sejarah sastra yang memuaskan dan bertanggung jawab. Dengan begitu sejarah sastra mampu menempati fungsinya, yaitu sebagai acuan untuk melihat dinamika suatu zaman. Pada saat itulah, sejarah sastra mampu menjadi acuan ilmu pengetahuan.

2.2 KELOMPOK PERSADA STUDI KLUB

(5)

5 maka peristiwa tersebut menjadi monumen sejarah sastra Indonesia yang patut dicatat? Faktanya, di kota Yogyakarta terdapat komunitas yang kiranya tidak memiliki tendensi politik, yang dibangun atas kecintaannya terhadap sastra. Komunitas itu seolah-olah menjadi alternatif di tengah gejolak politik pada tahun 1960-an dan terdikotominya sastrawan pada kelompok-kelompok tertentu.

Di tengah dikotomi sastrawan dalam kelompok-kelompok tertentu itulah (Lekra, Manikebu, LKN, Lesbumi), studi klub sastra Mantika hadir sebagai komunitas penyair yang independen. Abdul Hadi W.M., Umbu Landu Paranggi, Darmanto YT, dll. menjadi inisiator dalam komunitas tersebut. Namun, komunitas itu tidak berlangsung lama, kira-kira hanya bertahan dua tahun (1966-1968).

Selain studi klub sastra Mantika, terdapat pula komunitas lain yang tumbuh di Yogyakarta, yaitu Persada yang digawangi oleh Masry AG. Namun, sejak studi klub sastra Mantika bubar, Persada berubah namanya menjadi Persada Studi Klub. Umbu Landu Paranggi-lah yang kemudian mengurus komunitas itu. Komunitas ini memiliki basis media, yaitu Pelopor Yogya yang kemudian digawangi oleh Umbu Landu Paranggi.

Ketika itu ada mingguan Pelopor yang terbit 22 Januari 1950 sebagai embrio mingguan Pelopor Yogya yang bermarkas di Jalan Malioboro 175, inilah Umbu Landu Paranggi pada Rabu Paing jam 15.00 – 18.00 WIB pada tanggal 5 Maret 1969 mendirikan suatu study klub sastra terutama dalam bidang puisi yang dinamakan Persada Studi Klub (PSK). Tujuh proklamator di antaranya: Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno Pragolopati, Suparno S Adhy, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gitowarsono (Masry, 2009).

Uniknya, anggota dari PSK sendiri adalah orang-orang yang pernah dimuat dalam media Pelopor Yogya. Ragil Suwarna Pragolapati (dalam Masry, 2009) mencatat ada 1.555 orang yang telah menjadi anggota dari PSK. Namun, bukan sekadar pemuatan puisi di media tersebut, PSK bergerak dalam tradisi kepenulisan. PSK menjadi tempat berlatih orang-orang yang ingin serius menulis puisi.

PSK memiliki bermacam-macam cara berlatih. Forum-forum diskusi pun dibentuk untuk memperluas pengetahuan tentang sastra, baik teori maupun kepenulisan. Persaingan pun sengaja dibangun dalam komunitas tersebut untuk membentuk daya kreatif dan dinamika dalam komunitas.

(6)

6 menjadi sastrawan serius, misalnya (selain nama-nama yang telah disebutkan) Ashadi Siregar, Linus Suryadi Ag., Untung Basuki, Ebit G. Ade, Deded Er Moerad, Jabrohim, Iman Budhi Santosa, Faisal Ismail, Ahmad Munif, Mustofa W. Hasyim, Emha Ainun Najib, Bambang Darto, Joko Passandaran, Budi Sarjono, Tegus Ranusastra Asmara, Sutirman Eka Ardhana, Fauzi Absal, Arwan Tuti Artha, RS Rudhatan, AY Suharyono, Suryanto Sastroatmojo, Soeparno S. Adhiy, dll.

PSK juga kerap kali diundang ke Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk berpartisipasi dalam kegiatan sastra dan seni budaya. Artinya, PSK sebenarnya telah diakui oleh lembaga atau orang-orang sastra di luar Yogyakarta. Beberapa antologi bersama yang diterbitkan Pelopor Yogya atau PSK maupun penerbit lain yang di dalamnya memuat penyair PSK, antara lain Tiga Bayangan (PSK, 1970), Tugu (1986), dll.

Pada saat itu, kehidupan sastra di Yogyakarta bukan saja terjadi di PSK, tetapi telah meluas ke ruang-ruang formal dan media. Banyak pula sanggar-sanggar sastra yang dibentuk kala itu. Masry (2009) mengatakan bahwa sanggar-sanggar tersebut berbasis di kampus-kampus, misalnya FIB UGM, Fakultas Sastra UNY, Fakultas Sastra UAD, Fakultas Sasra USD, Fakultas Sastra Sarwi, dan Fakultas Sastra UTY.

Apa yang terjadi di Yogyakarta sebenarnya jauh dari wilayah politik. Proses kreatif-lah yang sebenarnya difokuskan dalam kehidupan sastra di Yogyakarta ketika itu. Oleh sebab itu, kebanyakan nama yang telah disebut di atas tidak masuk dalam kanon yang dibuat H.B. Jassin, yaitu Angkatan 66 padahal mereka bukanlah simpatisan apalagi anggota Lekra. Memang sebenarnya nama-nama di atas menjadi sangat terkemuka baru pada periode 1970-an. Namun, proses kreatif mereka telah dimulai pada periode 1960-1970-an.

3. SEJARAH SASTRA DAN LANDASAN TEORI

(7)

7 3.1. GAYA BAHASA DAN KECENDERUNGAN ZAMAN

Bahasa bisa menjadi titik tolak untuk memahami kecenderungan karya suatu zaman. Ia lebih objektif dalam melihat suatu karya sastra. Bahasa cenderung stabil, artinya jika ia dikaji pada zaman tertentu, ia cenderung tidak mengalami perubahan. Berbeda dengan pemikiran atau ide dalam karya sastra, ia sangat bergantung pada perspektif, pendekatan, dan atau interpretasi. Wellek dan Warren berpendapat bahwa bahasa adalah bahan baku kesusastraan sebagaimana cat untuk lukisan. Tetapi, bahasa bukanlah benda mati seperti batu, melainkan manusia, dan mempunyai muatan budaya dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu (1989: 14).

Oleh sebab bahasa menjadi perhatian utama dalam menemukan ciri khas suatu periode sastra, stilistika menjadi pendekatan yang tepat untuk melihat kekhasan itu. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, stilistika perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa pada zamannya (1989: 221). Sebagai bagian dari ilmu sastra, stilistika dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Apabila kita dapat menguraikan gaya suatu karya atau pengarang, tidak diragukan lagi bahwa kita pun dapat menguraikan gaya sekelompok karya, genre (1989: 233).

Wellek dan Warren menjelaskan kembali bahwa manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini khusus untuk karya sastra dan kelompok karya sastra yang dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya, stilistika akan menjadi penting karena hanya metode stilistika yang dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra (1989: 225).

Apa yang akan dilihat kemudian adalah bahwa pada periode 1960-an terdapat beberapa aliran yang dominan—khususnya dalam puisi, yaitu realisme sosialis, humanisme universal, dan simbolisme. Aliran-aliran itulah yang sebenarnya membentuk dan yang menjadi ciri khas dari periode 1960-an dalam sastra Indonesia. Lantas apa hubungannya antara aliran dan gaya bahasa? Jawabannya ialah bahwa apa yang akan dilakukan berikutnya yaitu ingin melihat bagaimana gaya bahasa yang digunakan suatu aliran.

3.2. ALIRAN DALAM PERIODE 1960-AN

(8)

8 terbuka. Baginya, sebuah karya sastra realis harus mampu menelanjangi kontradiksi-kontradiksi dalam suatu tatanan sosial. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pandangannya adalah pandangan marxis yang menekankan pada hakikat material dan sejarah struktur masyarakat (Selden, 1991).

Isitilah realisme sosialis ini pula yang digunakan Lekra untuk dasar kekaryaannya. Dalam buku Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (Yudiono, 2009:105) Pramudya Ananta Toer mengungkapkan konsep realisme sosialis, yaitu merupakan metode penciptaan sastra yang bertujuan memenangkan sosialisme sehingga memiliki ketegasan politik dan militan sebagai mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan tani yang harus menghalau imperalisme-kolonialisme demi peningkatan kondisi dan situasi rakyat pekerja di seluruh dunia

Humanisme (yang kemudian disebut humanisme universal) pertama kali diajukan oleh seorang sarjana bahasa Latin, yaitu Francesco Petrarca dan Giovani Boccacio. Humanisme mula-mula merupakan sebuah gerakan yang terjadi di Eropa pada masa Renaissance. Gerakan merupakan penelitian-penelitian kembali terhadap kebudayaan Yunani dan Romawi. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya Renaissance yang juga memiliki arti sebagai kelahiran baru, kelahiran manusia baru karena mendapat semangat baru. Dalam Aliran-Aliran Klasik, Romantik, dan Realisma dalam Kesusastraan yang ditulis Aoh K. Hadimadja (1972) disebutkan bahwa gerakan humanisme ini berpusat pada manusia. Ia memisahkan filsafat dan kebudayaan dengan agama.

Humanisme universal di Indonesia pertama kali dicetus melalui Surat Kepercayaan Gelanggang. Tentu saja apa yang dimaksud humanisme universal berakar dari humanisme yang ada sejak zaman Renaissance. Pokok-pokok dari humanisme universal ini masih sama dengan humanisme pada masa lampau, yaitu perihal budi pekerti manusia, cara memanusiakan manusia, dan hak-hak manusia atau kebebasan pribadi.

Humanisme universal menganjurkan pada kebebasan pribadi dan kedaulatan. Moral menjadi titik tekan pada humanisme universal. Dari moral luhur itulah kemudian tercipta kepedulian antar sesama manusia. Humanisme universal percaya bahwa pemecahan masalah-masalah yang dihadapi manusia ialah terletak pada pemikiran manusia itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aliran ini diusung oleh kelompok Manikebu.

(9)

9 Melani Budianta, melalui pengantarnya (2010: 2) menjelaskan bahwa simbolisme mulai muncul pada tahun 1886 di Prancis. Lahirnya simbolisme dicetuskan oleh kelompok sastrawan Prancis, yaitu Baudeleire, kemudian didukung oleh Verlaine, Rimbaud, dan Malarme. Mereka menamakan kelompok mereka simbolis. Kemudian nama itu dipakai oleh kritikus sastra untuk menandai gerakan atau aliran sastra di Prancis. Simbolisme ini kemudian menyebar ke berbagai daerah Eropa dan Amerika.

Budianta (2010:3) menulis, ―simbol dalam aliran simbolisme dipakai bukan untuk memaknai atau menjelaskan—tetapi untuk membangkitkan serangkaian nuansa sugesif yang unik—suatu pengalaman estetik yang tidak mungkin diredusir menjadi gagasan a atau b‖ (2010:3). Menurut Wilson (dalam Budianta [ed.], 2010: 3-4), ―tujuan sastrawan dalam mazhab simbolisme adalah untuk mengkomunikasikan suatu perasaan pribadi yang unik melalui gabungan atau medley metafor, yang membangkitkan asosiasi berbagai gagasan yang kompleks‖.

Dalam simbolisme, metafor dan simbol menjadi sesuatu yang penting posisinya. Hal tersebut dikarenakan metafor dan simbol menjadi semacam kendaraan untuk menghidupkan suatu karya. Dalam karya-karya simbolis, metafora dan simbol diolah menjadi sesuatu yang sangat personal, unik, dan tidak lazim. Untuk membuat metafora atau simbol, simbolis melakukan penyilangan penginderaan, misalnya lukisan yang merdu, atau suara yang gelap (2010:4).

4. ANALISIS GAYA BAHASA PUISI ALIRAN SIMBOLISME

(10)

10 4.1. UMBU LANDU PARANGGI

Umbu Landu Paranggi sedikit telah disinggung di bagian sebelumnya, bahwa ia adalah pencetus, pengasuh PSK. Ia lahir pada 10 Agustus 1943 di Waikabubak, Sumba Barat. Pengaruhnya sangat besar bagi sastra Indonesia, khususnya Yogyakarta dan Bali. Bagi beberapa penyair, ia dianggap sebagai guru penyair karena begitu banyak anak didiknya yang berhasil menjadi penyair. Salah satu puisinya yang akan dibahas pada bagian ini ialah puisi yang berjudul ―Solitude‖. Puisi ini dibuat pada tahun 1965 dan dimuat di Pelopor Yogya, 26 April 1970.

Dalam puisi tersebut pembaca akan dihadapkan pada kesadaran bunyi yang sangat tertata. sejumlah majas seperti personifikasi, matafora, hiperbola, dll. Puisi ini terkesan padat, karena majas dalam puisi ini begitu rapat, ada dalam setiap lariknya. Hal yang paling penting dalam puisi ini, bagaimana penyair menciptakan simbol-simbol yang kemudian menghasilkan sensasi indra yang unik, magis, penuh dengan fantasi. Simbol-simbol itu dibentuk dari idiom, diksi-diksi yang saling menyilang, bertabrakan.

Penyair menyediakan sejumlah citraan atau deskripsi pada setiap baitnya. Namun, penggambaran itu seolah-olah parsial. Maksudnya, citraan dalam suatu bait atau kalimat seperti terpotong, terpecah, dengan bait sebelum dan sesudahnya. Pembaca akan mendapatkan mozaik-mozaik citraan yang tertuju pada bentuk yang utuh. Simak, kutipan bait pertama dan kedua dalam puisi ini,

//dalam tanganmu sunyi/jam dinding masih bermimpi/di luar siang menguap jadi malam/tiba-tiba musim mengkristal rindu dendam// dalam detik-detik, dalam genggaman usia/mengombak suaramu jauh bergema/mengigilkan jemari, hati pada kenangan/bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kekinian// (―Solitude‖, 1965).

Dalam kutipan di atas pertama akan didapatkan frasa-frasa yang dibentuk dari diksi yang saling silang, saling bertabrakan, atau sinestesia. Misalnya, frasa ‗tanganmu sunyi‘, ‗genggaman usia‘, ‗mengombak suaramu‘, ‗rindu dendam‘, dan ‗mengigilkan jemari‘. Frasa -frasa tersebut kemudian menghasilkan citraan-citraan tertentu yang kemudian merujuk pada suatu makna tertentu. Namun, yang lebih penting dari makna ialah citraan yang terbentuk dari setiap idiom, larik, dan bait puisi ini menghasilkan suatu impresi, efek estetik tertentu.

(11)

11 larik tersebut bagaimana siang yang notabene waktu orang beraktivitas (ramai) tiba-tiba menjadi malam yang cenderung sepi.

Citraan penuh fantasi, lebih-lebih efek mistik atau magis juga dibangun melalui bahasa, idiom, atau majas, yang terdapat dalam puisi ini. Misalnya larik ‗jam dinding masih bermimpi‘, ‗mengombak suaramu jauh bergema‘, ‗seberkas cahaya dari menara waktu‘, ‗di luar tiba-tiba angin, lalu gerimis bederai‘, adalah larik-larik yang mencitrakan fantasi lebih-lebih efek mistik. Maksud mistik di sini ialah bagaimana sebuah larik menciptakan hal-hal yang tidak terjangkau dengan akal, namun ia masih bisa tercitrakan dan citraan itu menjadi sesuatu yang unik, kadang-kadang sangat personal. Kesan mistik ini sebenarnya hadir melalui majas personifikasi dan metafora.

Seperti apa yang telah disebutkan bahwa larik-larik atau kalimat dalam puisi tersebut terkesan parsial. Setiap kalimat atau larik membangun citraannya sendiri, seolah-olah tidak ada kaitannya dengan larik atau kalimat sesudah dan sebelumnya. Seolah-olah ada kesan melompat-lompat, lompatan imaji. Namun, ketika dikumpulkan, ketika puisi itu dibaca seluruhnya, ada keutuhan di sana, ada makna, yaitu gambaran tentang kesunyian yang diidap oleh seseorang.

4.2. RAGIL SWARNA PRAGOLAPATI

Adalah salah satu pelopor PSK. Ia dilahirkan di Pati, 22 Januari 1948. Pernah berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) sampai tahun 1972. Pada 1963 ia memulai proses kreatifnya dengan menulis puisi, cerita pendek, esai, dan cerita anak-anak. Akhir hayatnya tidak diketahui. Ia menghilang begitu saja.

Puisi Ragil Swarna Pragolapati memiliki kecenderungan yang hampir sama dengan Umbu Landu Paranggi. Puisinya mengandalkan terkesan padat akan majas, simbol, dan citraan-citraan. Pembaca akan mendapatkan kombinasi idom atau frasa yang unik. Namun, yang berbeda dari Umbu Landu Paranggi ialah bahwa puisi penyair ini tidak terkesan parsial pada setiap lirik atau kalimatnya. Hubungan antar larik terjalin dengan baik. Sehingga akan menghasilkan puisi yang sedikit lebih mengalir, namun sangat kental dengan majas, simbol, dan citraan.

(12)

12 segi sintaksisnya, semacam ada pengabaian atas itu. Puisi ini ditulis pada tahun 1970 dan dimuat di majalah Basis No. 12, Tahun XIX, September 1970. Berikut kutipan puisinya:

Di Depan Jendela

Jendela membuka cuaca

mempertiada gelap, dan senyap ruang Terasa diri kita tiba-tiba kembali ada tidak di sini, di mana lantai

mendingin, terinjak sepasang kaki

barangkali di tempat yang jauh, bayang atas udara bayangan lengkap dari diri kita

Sebab demikian saja senja tiba

seketika melengkapkan segalanya dan di sana, hingga ke kaki cakrawala

di sini: Di antara dindingdinding berkelam cahaya terasa, waktu mengubur bayangbayang seutuhnya

seluruh diri kita, tertiada dalam kelam udara, menyatu pula

ke satu titik, lenyap ke tengah spiral tandatanya.

Kamiswage, 12 Maret 1970

Seperti puisi simbolik pada umumnya, Puisi ini juga bertumpu pada idiom untuk kemudian membangun suatu citraan-citraan tertentu. Namun, lebih besar lagi, ia menggunakan kalimat atau larik untuk membangun citraan itu. Akhirnya, banyak frasa atau idom yang saling silang, imajinatif, dan simbolik, di antaranya, ‗senyap ruang‘, ‗bayang atas udara‘, ‗kaki cakrawala‘, ‗dindingdinding berkelam cahaya‘, dan ‗kelam udara‘. Frasa atau idiom itu kemudian merujuk pada suatu pemaknaan. Misalnya, pada frasa atau idiom ‗kelam udara‘ yang merujuk pada suasana yang penuh kesedihan atau kegamangan. Namun frasa yang terdapat dalam puisi ini tidak terlalu eksploratif, tidak seperti Umbu Landu Paranggi. Hal itu mengakibatkan fantasi yang dibangun dan makna yang di dapat tidak terlalu dalam, tidak mencapai tingkat mistik dan magis. Misalnya, frasa ‗senyap ruang‘ yang memiliki arti ruang yang kosong dan sepi. Dengan mudah pembaca akan merujuk pada makna itu karena masing-masing diksi (senyap dan ruang) memiliki makna yang saling melengkapi atau tidak bertabrakan. Begitu pun dengan ‗kaki cakrawala‘. Ada pula frasa atau idiom yang gelap, sangat personal, dan sulit untuk dicitrakan, ialah frasa ‗bayangan atas udara‘. Namun tetap saja frasa-frasa itu menjadi simbol yang merujuk pada pemaknaan tertentu itu.

(13)

13 bayangbanyang seutuhnya‘. Pada kalimat atau majas tersebut terdapat sesuatu yang berada di luar realitas dan penuh dengan fantasi. Hal ini disebab puisi ini cenderung menggunakan personifikasi untuk menciptakan efek fantasi itu. Misalnya pada kalimat ‗jendela membuka cuaca‘. Pada kalimat itu, akan tercitrakan suatu peristiwa perubahan cuaca ketika sebuah jendela terbuka, dari cuaca badai yang gelap ke cuaca yang cerah. Hal ini ditandai bait selanjutnya yang berbunyi, ‗mempertiada gelap, dan senyap ruang‘.

Puisi ini sebenarnya berbicara mengenai eksistensi seseorang atau ‗kita‘. Bagaimana ia kembali menemukan dirinya. Jendela menjadi simbol yang menghubungkan antara subjek dalam puisi dengan alam semesta, makrokosmos. Kemudian subjek puisi mempertanyakan kembali apa makna dari ‗kita‘ yang kecil itu di dalam semesta yang luas. Pada tahap ini, puisi ―Di Depan Jendela‖ sangat transenden.

4.3. IMAN BUDHI SANTOSA

Benar bahwa ia merupakan salah satu dari pelopor PSK. Ia dilahirkan di Magetan, 28 Maret 1948. Hingga tahun 1987, puisinya telah berbagai dimuat di antologi bersama dan di media masa, seperti Basis, Horison, Minggu Pagi, Pelopor Yogya, dan Keluarga. Hingga kini ia masih tinggal di Yogyakarya dan masih eksis menulis. Pada bagian ini, puisi yang akan dibahas ialah puisi yang berjudul ―Penyair‖. Puisi ini ditulis pada tahun 1969 dan termuat dalam antologi bersama Tiga Bayangan (PSK, 1970).

Iman Budhi Santosa menghadirkan puisi yang lebih cair dari puisi kedua penyair yang telah dibahas di atas. Ia nampak tidak memadatkan diksi-diksinya menjadi sebuah idiom. Jalinan antar bait cukup tertata. Ada lompatan-lompatan imaji, namun lompatan-lompatan itu tidak terlampau jauh secara isotopis. Misalnya pada bait pertama tertulis,

//hari-mati/waktu pun berdesakan pelan dan hati-hati/di luar, musim pun berangkat meninggi/di atas meja hidup berkisar-kisar dalam puisi// (―Penyair‖, 1969).

(14)

14 //siapa yang bersuara dalam kata-kata/kawanku hanya bayangan yang tidur/sejak hari-pertama/tidak usah bercakap, katanya/tapi senantiasa terdengar/gema bersahut-sahutan/harapan-harapan yang diberangkatkan/keyakinan yang menakutkan/dari hidup yang berakhir/dengan kematian/pertemuan yang membingungkan/dengan diri sendiri//(―Penyair‖, 1969).

Bait merupakan peristiwa simbolik yang merujuk pada makna kesepian yang dialami subjek puisi. Ia mengatakan bahwa temannya hanya bayangan yang tidur, ‗kawanku hanya bayangan yang tertidur‘. Namun, dari dunia yang sepi itu, ada suara-suara yang asalnya dari diri sendiri. Ia merasa asing dengan dirinya sendiri, ‗pertemuan-pertemuan yang membingungkan dengan diri sendiri‘.

//wahai betapa rindu untuk bisa mengerti/wahai betapa riuh perjamuan ini/perjamuan di dalam batas tidur/dan terjaga/dalam/sunyi// (―Penyair‖, 1969).

Suasana batin tentang kesepian semakin dikuatkan dalam bait terakhir. Walaupun terdapat larik ‗wahai betapa riuh perjamuan ini‘, makna riuh dalam larik tersebut bukanlah makna denotatif, namun makna yang menunjukan ironi kehidupan penyair. Ironi menunjukan kehidupan penyair yang merasa terasing dengan dirinya sendiri, dengan keriuhan dunia luar. Ia selalu berada pada batas kenyataan dan mimpi, angan-anganya yang penuh dengan kesunyian.

Puisi ini tidak terlalu bermain pada wilayah idiom dan sinestesia yang saling silang, saling tabrak-menabrak. Majas pun tetap berada pada wilayah metafora, personifikasi, dll. Dalam hal ini, harus disadari bahwa simbolisme tidak saja bekerja pada puisi-puisi yang ketat, namun juga bekerja pada puisi yang cenderung cair (tapi bukan puisi yang menggunakan bahasa sehari-hari).

Terlalu dini dan dangkal jika menyebut bahwa tiga puisi di atas merupakan representasi dari puisi aliran simbolisme di Indonesia yang berkembang pada periode 1960-an. Pada tahap ini, belum bisa di dapat bagaimana sebenarnya kecenderungan simbolisme di Indonesia. Tapi minimal, dari tiga puisi di atas, dapat dilihat bagaimana tiga penyair itu menyajikan bahasa yang majasi dan simbolik (baik yang dibangun dari idiom, majas, atau bait). Ciri khas dari gaya bahasa dalam simbolisme ialah ia tidak menggunakan majas perbandingan secara eksplisit seperti simile. Ia lebih mengutamakan majas kiasan seperti metafora dan personifikasi, atau majas lainnya.

(15)

15 Najib, Abdul Hadi W.M., dll. Artinya, dalam hal ini, tidak ada hubungannya antara PSK dan simbolisme. Tapi hubungan itu tejadi antara sastra Indonesia dengan simbolisme.

5. KESIMPULAN

Penyusunan sejarah sastra Indonesia periode 1960-an mengandung ideologi tertentu. Hal ini menyebabkan sejarah sastra Indonesia cenderung tidak objektif, ilmiah, dan total. Hal ini berpengaruh terhadap pengetahuan masa setelah periode 1960-an di mana terdapat subordinasi suatu kelompok sastrawan, yaitu Lekra. Oleh sebab itu, penting untuk membuat landasan yang ilmiah dalam menyusun sejarah sastra untuk mendapat sejarah yang ilmiah, objektif, dan menyeluruh.

Beberapa sejarah sastra Indonesia terfokus pada pertarungan ideologi pada waktu itu. Hal ini menyebabkan sejarah sastra justru malah cenderung membahas hal-hal di luar sastra. Padahal fenomena sastra pada periode 1960-an tidak hanya terfokus pada wilayah pertarungan ideologi itu saja, tetapi ada dinamika yang menarik lainnya, salah satunya kehidupan sastra di Yogyakarta yang berbasis pada komunitas dan media. Komunitas tersebut (PSK) mampu menjadi alternatif atas dikotomi-dikotomi sastra yang terjadi pada periode 1960-an.

(16)

16 SUMBER BACAAN

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Budianta, Melani (ed.). 2010. Simbolisme dan Imajisme dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Faruk. 2005. Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fokema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hadimadja, Aoh K. 1972. Aliran-aliran Klasik, Romantik, dan Realisma dalam Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangsel: Marjin Kiri. Jassin, H.B. (ed.). 1968. Angkatan ’66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung. __________. 2013. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

__________. 1966. ―Angkatan ‘66, Bangkitnya Satu Generasi‖. Majalah Sastra Horison, 2 Agustus 1966.

Kratz, Ernst Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: KPG. Linus Suryadi A.G. 1987. Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 3. Jakarta: Gramedia. Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening

Publishing.

Ratna Nyoman Kutha. 2008. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip. 1970. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya.

__________. 1977. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Putra A. Bardin. __________. 2010. Puisi Indonesia Modern. Bandung: Pustaka Jaya.

Sambodja, Asep. 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: Bukupop.

Santosa, Iman Budhi. 2003. ―Persada Studi Klub dan Sejarah Sastra Yogya‖. Harian Kedaulatan Rakyat, 31 Agustus.

Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terjemahan Rahmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni, Krisis Kesadaran. Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Wibisono, M.G., 2009, ―Umbu Landu Paranggi, ‗Presiden Malioboro‘‖, [online], ( http://emgewibisono.wordpress.com/2009/02/10/umbu-landu-paranggi-presiden-malioboro/ diakses pada tanggal 5 Desember 2013)

Yudiono K.S. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo

Referensi

Dokumen terkait

Tanggung jawab ini diwujudkan dengan di berikannya kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutangnya, sedangkan

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)

Apabila pihak agent melakukan satu kesalahan dalam pengambilan keputusan, maka dapat mengakibatkan kerugian yang besar terhadap perusahaan sehingga dapat berakhir

Oleh sebab itu, pada bagian pembahasa ini akan disajikan lebih sistematis mengenai sistem verba dalam bahasa Prancis mulai dari pengertian modus, makna yang

model tempat tinggal dan tempat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Lomba perbaikan rumah sebagai program CSR PT. Aneka Tambang di bidang perumahan memiliki alur layaknya

Beberapa peneliti menyimpukan bahwa mekanisme akupunktur dalam terapi leukopenia dihubungkan dengan adanya rangsangan pada fungsi hematopoietik sumsum tulang sehingga

Istilah sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua kata, yaitu: “sistem” dan “pemerintahan”. Sistem berarti keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di