BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koping
2.1.1 Definisi Koping
Koping didefinisikan sebagai perubahan kognitif dan perilaku secara
konstan berupaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus
yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Koping yang dilakukan ini
berbeda dengan perilaku adaptif otomatis karena koping membutuhkan suatu
usaha, yang apabila usaha tersebut berhasil dilakukan menjadi perilaku otomatis
lewat proses belajar. Koping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai
situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun,
koping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi yang
menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka,
koping yang efektif untuk dilakukan adalah koping yang membantu seseorang
untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan
yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus & Folkman, 1984).
Koping adalah apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi
yang dinilai sebagai suatu tantangan atau ancaman. Koping lebih mengarah pada
apa yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan
atau yang membangkitkan emosi. Dengan kata lain, koping adalah bagaimana
Menurut Nasir & Muhith (2011), koping diartikan sebagai proses dimana
seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara keinginan
(demand) dan pendapatan (resource) yang dinilai dalam suatu keadaan yang
penuh tekanan. Walaupun usaha koping dapat diarahkan untuk memperbaiki atau
mengatasi masalah, hal ini juga dapat membantu seseorang untuk mengubah
persepsinya atas ketidaksesuaian, menolerir atau menerima bahaya, juga
melepaskan diri atau menghindari stres.
2.1.2 Strategi Koping
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), dalam melakukan koping ada dua
strategi yang bisa dilakukan, yaitu:
1) Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)
Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara
mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang
menyebabkan terjadinya tekanan. Koping ini bertujuan untuk mengurangi stresor
atau meningkatkan sumber daya dalam menghadapi stres. Seseorang cenderung
menggunakan bentuk ini berdasarkan keyakinannya bahwa tuntutan stresor atau
sumber daya masih dapat diubah. Individu akan cenderung menggunakan strategi
ini apabila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi, individu secara aktif
mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres. Adapun strategi yang dipakai antara lain sebagai berikut:
a) Confrontative coping: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan
b) Seeking social support: usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan
bantuan informasi dari orang lain.
c) Planful problem solving: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, analitis.
2) Koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping)
Yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respons emosional
dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh
suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping
ditujukan untuk mengontrol respons emosional terhadap situasi stres. Seseorang
dapat mengatur respons emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kognitif.
Adapun strategi yang digunakan antara lain, yaitu:
a) Self control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan.
b) Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti
menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan
pandangan-pandangan yang positif.
c) Positif reappraisal : usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan
berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang
bersifat religius.
d) Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri
dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlihat bila masalah
e) Escape/avoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari
situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti
makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
Individu cenderung menggunakan problem focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurut mereka dapat dikontrolnya.
Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol. Terkadang
individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan namun
tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh individu.
2.1.3 Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan oleh individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri terhadap perubahan, respon terhadap
situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Berdasarkan penggolongannya, menurut
(Stuart dan Sundeen, 1995) mekanisme koping dibagi menjadi dua yaitu :
1. Mekanisme koping adaptif
mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar dan mencapai tujuan. Adapun kategorinya adalah berbicara dengan orang
lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan
2. Mekanisme koping mal adaptif
Merupakan mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi,
memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Adapun kategorinya yaitu makan berlebihan atau tidak makan,
bekerja berlebihan, menghindar.
2.1.4 Jenis-jenis Koping
Lazarus (1984) membagi koping menjadi dua jenis, yaitu:
1. Tindakan langsung (direct action)
Koping jenis ini adalah setiap usaha tingkah laku yang dijalankan oleh
individu untuk mengatasi kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan
cara mengubah hubungan yang bermasalah dengan lingkungan. Individu
menjalankan direct action bila dia melakukan perubahan posisi terhadap masalah
yang dialami.
Ada 4 macam jenis tindakan langsung, antara lain:
a) Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka
Dalam hal ini individu melakukan langkah aktif dan antisipatif (beraksi)
untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya dengan cara menempatkan diri
secara langsung pada keadaan yang mengancam dan melakukan aksi yang sesuai
b) Agresi
Adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan menyerang agen
yang dinilai mengancam atau akan melukai. Agresi dilakukan bila individu
menilai dirinya lebih kuat terhadap agen yang mengancam tersebut.
c) Penghindaran
Tindakan ini terjadi bila agen yang mengancam dinilai lebih berkuasa dan
berbahaya sehingga individu memilih cara menghindari atau melarikan diri dari
situasi yang mengancam.
d) Apati
Jenis koping merupakan pola orang yang berputus asa. Apati dilakukan
dengan cara individu yang bersangkutan tidak bergerak dan menerima begitu saja
agen yang melukai dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan.
2. Peredaan atau peringanan (palliation)
Jenis koping ini lebih mengacu pada mengurangi atau menghindari
ataupun menolerir tekanan-tekanan fisik, motorik atau gambaran afeksi dari
tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Ataupun bisa
diartikan bahwa bila individu menggunakan jenis koping ini, posisinya dengan
masalah relatif tidak berubah, yang berubah adalah diri individu yakni dengan
cara merubah persepsi atau reaksi emosinya. Ada 2 macam jenis peredaan atau
palliation, yaitu:
a. Diarahkan pada gejala (symptom directed modes)
Koping ini digunakan bila gejala-gejala gangguan muncul dari diri
gangguan yang berhubungan dengan emosi yang disebabkan oleh tekanan atau
ancaman tersebut. Melakukan relaksasi, meditasi ataupun berdoa untuk mengatasi
ketegangan juga tergolong ke dalam symptom directed modes yang bersifat
positif.
b. Cara intrapsikis (intrapsychis modes)
Koping jenis peredaan ini dilakukan dengan cara intrapsikis yaitu
cara-cara yang menggunakan perlengkapan psikologis kita, yang biasa dikenal dengan
istilah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism).
Adapun macam-macam mekanisme pertahanan diri, yaitu :
1. Identifikasi
Yaitu menginternalisasi ciri-ciri yang dimiliki oleh orang lain yang
berkuasa dan dianggap mengancam.
2. Pengalihan (displacement)
Yaitu memindahkan reaksi dari objek yang mengancam ke objek yang
lank arena objek yang asli tidak ada atau berbahaya bila diagresi secara
langsung.
3. Represi
Menghalangi impuls-impuls yang ada atau tidak bisa diterima sehingga
tidak dapat diekspresikan secara sadar dalam tingkah laku.
4. Denial
Yaitu melakukan bloking atau menolak terhadap kenyataan yang ada
5. Reaksi Formasi
Dorongan yang mengancam diekspresikan dalam bentuk tingkah laku
secara terbalik.
6. Proyeksi
Yaitu menerapkan dorongan-dorongan yang dimiliki pada orang lain
karena dorongan tersebut mengancam integritas.
7. Rasionalisasi
Dua gagasan yang berbeda dijaga supaya tetap terpisahkan karena bila
bersama-sama akan mengancam.
8. Sublimasi
Yaitu dorongan yang ditransformasikan menjadi bentuk yang diterima
secara sosial sehingga dorongan tersebut menjadi sesuatu yang benar-benar
berbeda dari dorongan aslinya.
2.1.5 Jenis-jenis Koping yang Konstruktif
Adapun jenis-jenis koping yang dianggap konstruktif menurut Harber &
Runyon (1984), antara lain:
1. Penalaran (reasoning)
Yaitu penggunaan kemampuan kognitif untuk mengeksplorasi bebagai
macam alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilih salah satu alternatif
yang dianggap paling menguntungkan. Individu secara sadar mengumpulkan
berbagai informasi yang relevan berkaitan dengan persoalan yang dihadapi,
yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya paling kecil dan
keuntungan yang diperoleh paling besar.
2. Objektifitas
Merupakan kemampuan untuk membedakan antara komponen-komponen
emosional dan logis dalam pemikiran, penalaran maupun tingkah laku.
Kemampuan ini juga meliputi kemampuan untuk membedakan antara
pikiran-pikiran yang berhubungan dengan persoalan dengan yang tidak berkaitan.
Kemampuan untuk melakukan koping jenis objektifitas mensyaratkan individu
yang bersangkutan memilki kemampuan untuk mengelola emosinya sehingga
individu mampu memilih dan membuat keputusan yang tidak semata didasari oleh
pengaruh emosi.
3. Konsentrasi
Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada
persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi memungkinkan individu untuk
terhindar dari pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha untuk
memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Pada kenyataannya, justru banyak
individu yang tidak mampu berkonsentrasi ketika menghadapi tekanan.
4. Humor
Merupakan kemampuan untuk melihat segi yang lucu dari persoalan yang
dihadapi, sehingga perspektif persoalan tersebut menjadi lebih luas, terang dan
tidak dirasa sebagai hal yang menekan lagi ketika dihadapi dengan humor. Humor
sudut pandang manusiawinya, sehingga persoalan diartikan secara baru, yaitu
sebagai persoalan yang biasa, wajar dan dialami oleh orang lain juga.
5. Supresi
Yaitu kemampuan untuk menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi
yang ada sehingga memberikan cukup waktu untuk lebih menyadari dan
memberikan reaksi yang lebih konstruktif. Koping supresi juga mengandaikan
individu memiliki kemampuan untuk mengelola emosi sehingga pada saat tekanan
muncul, pikiran sadarnya tetap bisa melakukan kontrol secara baik.
6. Toleransi terhadap ambiguitas
Merupakan kemampuan untuk memahami bahwa banyak hal dalam
kehidupan yang bersifat tidak jelas dan oleh karenanya perlu memberikan ruang
bagi ketidakjelasan tersebut. Kemampuan melakukan toleransi mengandaikan
individu sudah memiliki perspektif yang matang, luas dan memiliki rasa aman
yang cukup.
7. Empati
Empati merupakan kemampuan untuk melihat sesuatu dari pandangan
orang lain. Empati juga mencakup kemampuan untuk menghayati dan merasakan
apa yang dihayati dan dirasakan oleh orang lain. Kemampuan ini memungkinkan
individu mampu memperluas dirinya dan menghayati perspektif pengalaman
orang lain sehingga individu yang bersangkutan menjadi semakin kaya dalam
2.2 Keluarga 2.2.1 Definisi Keluarga
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998), keluarga adalah unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri atas Kepala Keluarga dan beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergantungan. Effendy (1997), mendefinisikan keluarga adalah sekelompok
manusia yang tinggal dalam suatu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten
dan hubungan yang erat.
Sedangkan menurut Friedman (2010), keluarga adalah dua orang atau
lebih, yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang
mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga. Keluarga juga diartikan
sebagai kelompok individu yang tinggal bersama dengan atau tidak adanya
hubungan darah, pernikahan, adopsi dan tidak hanya terbatas pada keanggotaan
dalam suatu rumah tangga.
2.2.2 Struktur Keluarga
Struktur dan fungsi merupakan hal yang berhubungan erat dan
terus-menerus berinteraksi satu sama lain. Struktur didasarkan pada organisasi, yaitu
perilaku anggota keluarga dan pola hubungan dalam keluarga. Hubungan yang
ada dapat bersifat kompleks, pola hubungan itu akan membentuk kekuatan dan
struktur peran dalam keluarga. Struktur keluarga dapat diperluas dan dipersempit
tergantung dari kemampuan keluarga tersebut untuk merespon stres yang ada
dalam keluarga.
Menurut Friedman (2002) struktur keluarga terdiri atas empat, yaitu:
1. Pola dan proses komunikasi
Pola interaksi keluarga yang berfungsi: bersifat jujur dan terbuka, selalu
menyelesaikan konflik keluarga, berpikir positif, dan tidak mengulang-ulang isu
dan pendapat sendiri. Komunikasi dalam keluarga ada yang berfungsi dan ada
yang tidak, hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang ada dalam
komponen komunikasi tersebut.
2. Struktur peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi
sosial yang diberikan. Yang dimaksud dengan posisi atau status adalah posisi
individu dalam masyarakat, misalnya status sebagai istri, suami atau anak.
3. Struktur kekuatan
Kekuatan merupakan kemampuan potensial atau aktual dari individu untuk
mengendalikan atau mempengaruhi untuk merubah orang lain ke arah yang
positif.
4. Nilai-nilai keluarga
Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar
atau tidak, empersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga
merupakan suatu pedoman perilaku dan pedoman bagi perkembangan norma
peraturan.
2.2.3 Fungsi Keluarga
Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan.
Menurut Friedman (2002) terdapat 5 fungsi dasar keluarga, yaitu:
1. Fungsi Afektif dan koping
Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang
merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak pada
kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Tiap anggota
keluarga saling mempertahankan iklim yang positif. Hal tersebut dipelajari dan
dikembangkan melalui interaksi dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian,
keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga
dapat mengembangkan konsep diri yang positif.
Adapun komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam
melaksanakan fungsi afektif, antara lain:
a) Saling mengasuh. Cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling
mendukung antar anggota. Setiap anggota yang mendapatkan kasih sayang
dan dukungan dari anggota yang lain maka kemampuannya untuk memberikan
kasih sayang akan meningkat, yang pada akhirnya tercipta hubungan yang
hangat dan saling mendukung.
b) Saling menghargai. Apabila anggota keluarga saling menghargai dan
mengakui keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu
c) Ikatan dan identifikasi. Adanya ikatan antara anggota keluarga dikembangkan
melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan
anggota keluarga.
2. Fungsi sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui
individu, yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam
lingkungan sosial. Sosialisasi dimulai sejak lahir, keluarga merupakan tempat
individu untuk belajar bersosialisasi. Keberhasilan perkembangan individu dan
keluarga dicapai melalui interaksi atau hubungan antar anggota keluarga yang
diwujudkan dalam sosialisasi.
3. Fungsi reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan
menambah sumber daya manusia. Dengan adanya program keluarga berenacana
maka fungsi ini sedikit terkontrol.
4. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
seluruh anggota keluarga, seperti kebutuhan akan makanan, pakaian dan tempat
berlindung.
5. Fungsi perawatan kesehatan
Keluarga juga berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan,
yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan atau merawat anggota
keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan
2.2.4 Dukungan Keluarga
Menurut Friedman (1998) dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Dimana dukungan keluarga
merupakan proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis
dukungan sosial yang berbeda-beda dalam berbagai tahap kehidupan. Namun
demikian, dalam semua tahap kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga
mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sebagai akibatnya hal ini
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga.
Dukungan keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang
sebagai sesuatu yang dapat diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau
tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).
Dukungan sosial keluarga berupa keluarga internal seperti suami atau isteri atau
saudara kandung dan dukungan sosial keluarga eksternal.
Dukungan sosial keluarga adalah proses yang terjadi selama masa hidup,
dengan sifat dan tipe dukungan soaial bervariasi pada masing-masing tahap siklus
kehidupan keluarga. Walaupun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan,
dukungan sosial keluarga memungkinkan keluarga berfungsi secara penuh dan
dapat meningkatkan adaptasi dalam kesehatan keluarga (Friedman, 2010).
2.2.5 Dimensi Dukungan Keluarga
Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga dibagi menjadi empat,
yaitu:
1) Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan
praktis dan konkrit
2) Dukungan informasional, keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan
disseminator (penyebar informasi)
3) Dukungan penilaian (appraisal), yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah
umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai
sumber dan validator identitas keluarga.
4) Dukungan emosional, keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.
Menurut House (Smet, 1994: 136) setiap bentuk dukungan sosial keluarga
mempunyai ciri – ciri antara lain:
1.Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan
oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan – persoalan yang dihadapi,
meliputi pemberian nasehat, pengarahan, idea atau informasi lainnya yang
dibutuhkan dan informasi ini dapat disampaikan kepada orang lain yang mungkin
menghadapi persoalan yang sama.
2.Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari
orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta,
kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang menghadapi
lain yang memperhatikan, mau mendengarkan segala keluhannya, bersimpati, dan
empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu
memecahkan masalah yang dihadapinya.
3.Bantuan instrumental, merupakan bantuan yang bertujuan untuk
mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan
persoalan – persoalan yang dihadapinya atau menolong secara langsung kesulitan
yang dihadapinya.
4.Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan
seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita.
Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi
seseorang.
2.3 Diabetes Melitus
2.3.1 Pengertian Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA), 2005 Diabetes Melitus
adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
syaraf, jantung dan pembuluh darah.
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemi bersama dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang disebabkan oleh defek sekresi insulin dan aksi insulin (Alberti,
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan
sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap terhadap insulin.
Menurut Boron & Boulpaep (2009), DM ditandai dengan tingginya
konsentrasi glukosa darah, namun abnormalitas ini hanya salah satu dari
banyaknya gangguan biokimia dan fisiologi yang terjadi pada penyakit ini. DM
tidak hanya satu gangguan, akan tetapi merupakan kumpulan dari berbagai macam
gangguan yang diakibatkan defek regulasi dari sintesis, sekresi dan aksi dari
insulin. Gangguan tersebut dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang dan
gangguan fungsi organ-organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah.
2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009, ada empat
klasifikasi dari DM, yaitu:
1) DM tipe I, yang juga disebut sebagai insulin dependent diabetes mellitus
(IDDM), yang disebabkan oleh kekurangan sekresi insulin (Guyton & Hall,
2011).
2) DM tipe II, yang juga disebut sebagai non insulin dependent diabetes mellitus
(NIDDM), yang disebabkan oleh menurunnya sensitivitas dari jaringan target
terhadap efek metabolisme dari insulin. Berkurangnya sensitivitas insulin
biasanya disebut sebagai resistensi insulin (Guyton & Hall, 2011).
3) DM tipe lain, disebabkan oleh berbagai kelainan genetik spesifik (kerusakan
genetik sel beta pankreas dan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
CMV atau Cito Megalo Virus, sebab imunologi yang jarang atau sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4) DM Gestasional, hanya muncul pada kehamilan yang disebabkan karena hormone hasil eksresi plasenta yang mengganggu kerja insulin (Price &
Wilson, 2006).
2.3.3 Faktor Resiko
Adapun faktor resiko yang memungkinkan seseorang terkena apabila
ditemukan kondisi-kondisi berikut ini:
1. Riwayat keluarga dengan DM
Orang tua atau saudara kandung mengidap DM. Sekitar 40% diabetes
terbukti terlahir dari keluarga yang juga mengidap DM, dan lebih kurang 60-90%
kembar identik merupakan penyandang DM.
2. Obesitas
Berat badan berlebih: BMI >25. Kelebihan berat badan 20% meningkatkan
resiko dua kali. Prevalensi obesitas dan diabetes berkorelasi positif, terutama
obesitas sentral.
3. Usia
Risiko bertambah sejalan dengan usia. Insiden DM tipe 2 bertambah
sejalan dengan pertambahan usia (jumlah sel beta yang produktif berkurang
seiring pertambahan usia). Upayakan memeriksa gula darah puasa jika usia telah
diatas 45 tahun, atau segera jika ada faktor risiko lain.
4. Tekanan darah tinggi
5. Kolesterol HDL
<40 mg/dL untuk laki-laki dan <50 mg/dL untuk wanita
6. DM kehamilan
Riwayat DM kehamilan atau pernah melahirkan anak dengan BB>4 kg.
kehamilan, trauma fisik, dan stres psikologi menurunkan seksresi serta kepekaan
insulin.
7. Riwayat ketidaknormalan glukosa
Riwayat toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa terganggu.
8. Gaya hidup
Olahraga kurang dari 3 kali seminggu ( atau bahkan sedentary). Olahraga
bagi penderita diabetes merupakan potent protective factor yang meningkatkan
kepekaan insulin hingga 6%.
9. Kelainan lain
Riwayat penyakit pembuluh darah dan sindrom ovarium polisiklik.
2.3.4 Manifestasi Klinis
Menurut (Widyanto & Triwibowo, 2013) Diabetes melitus ditandai
dengan hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa darah dan gangguan
metabolism karbohidrat. Adapun hal yang menyebabkan munculnya gejala-gejala
awal yang khas, yaitu:
1) Glikosuria
Yaitu kehilangan glukosa dalam urin karena ambang ginjal untuk
mereabsorbsi glukosa semakin tinggi.
2) Poliuria
Keadaan yang menyebabkan kehilangan natrium dan air dalam jumlah
besar pada urin karena tekanan osmotik yang dibentuk oleh glukosa berlebih
dalam tubulus ginjal yang dapat mengurangi reabsorpsi air.
3) Polidipsia
Yaitu keadaan rasa haus dan konsumsi air berlebihan yang terjadi karena
penurunan volume darah yang mengaktivasi pusat haus di hipotalamus.
4) Polifagia
Kondisi nafsu makan besar dan lahap yang terjadi karena kekurangan
karbohidrat dalam sel-sel tubuh.
5) Ketonemia dan ketonuria
Yaitu adanya penumpukan asam lemak dan keton dalam darah dan urin
yang terjadi akibat adanya proses katabolisme abnormal lemak sebagai sumber
energi.
2.3.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penatalaksanaan DM bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala,
mempertahankan berat badan ideal dengan mengatur pola makan dan mencegah
terjadinya komplikasi. Secara garis besar penatalaksanaannya dilakukan dengan:
1. Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
DM. Konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) menetapkan
bahwa asupan nutrisi yang dianjurkan pada klien dengan DM yaitu karbohidrat
dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk
mencapai berat badan ideal. Adapun penatalaksanaan nutrisi pada penderita DM
diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini :
A. Memberikan semua unsur makanan esensial seperti vitamin dan mineral
B. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang ideal.
C. Memenuhi kebutuhan energy.
D. Mencegah terjadinya fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang
aman dan praktis.
E. Menurunkan makan pada penderita DM.
2. Olahraga atau latihan
Sangat penting dalam penatalaksanaan DM karena efeknya dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler.
Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin, sirkulasi
darah dan tonus otot. Latihan ini sangat bermanfaat pada penderita DM karena
dapat menurunkan berat badan, mengurangi rasa stres dan mempertahankan
kebugaran tubuh. Dapat mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar
High Density Lipoprotein (HDL)kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total
serta trigeliserida.
Adapun latihan yang dianjurkan adalah 3-4 kali seminggu selama 30
menit. Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan
ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar
glukosa darah.
3. Obat-obatan
a. Golongan sulfonilurea
Adapun cara kerja golongan obat ini merangsang sel beta pankreas untuk
mengeluarkan insulin, jadi hanya bekerja bila sel-sel beta utuh. Obat ini juga
mampu menghalangi peningkatan insulin, mempertinggi kepekaan jaringan
terhadap insulin dan menekan pengeluaran glukogen.
b. Golongan Biguanid
Golongan obat ini tidak sama dengan sulfonilurea karena tidak
merangsang sekresi insulin. Biguanid menurunkan kadar glukosa darah menjadi
normal dan istimewanya tidak menyebabkan hipoglikemia.
c. Insulin
Adapun indikasi untuk pemberian insulin pada penderita DM yaitu:
1. Semua penderita DM dari setiap umur, baik (IDDM/NIDDM) dalam keadaan
ketoasidosis
2. Diabetes yang masuk dalam klasifikasi IDDM, yaitu juvenile diabetes.
3. Penderita yang kurus.
4. Bila dengan obat oral tidak berhasil
5. Kehamilan