• Tidak ada hasil yang ditemukan

Visi Misi GKPA 2016 2041

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Visi Misi GKPA 2016 2041"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

VISI MISI & RENSTRA

GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA (GKPA)

TAHUN 2016 – 2041

Tim Penyusun

VISI MISI

GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA (GKPA)

MENUJU 2041

&

RENCANA STRATEGIS

GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA (GKPA)

TAHUN 2016-2021

(2)

Ringkasan Eksekutif

Pintu masuknya kekristenan di daerah Angkola-Mandailing pada awalnya dimulai dengan berakhirnya perang Padri pada 1833. Sejak itu Belanda menempatkan Mayor Eilers sebagai komandan pasukan yang berkedudukan di Pakantan, Mandailing bersama Verhoeven, seorang tentara yang sekaligus pendeta dan berhasil membaptiskan Ja Mandatar Lubis dan Kalirancak Lubis menjadi Kristen sekitar tahun 1834. Namun, perkembangan kekristenan di daerah Mandailing tidak begitu menggembirakan.

Selanjutnya, perkembangan kekristenan di Tanah Batak dimulai lagi dengan kehadiran Gerrit van Asselt di Parausorat, Sipirok (Angkola) pada 1857. Dari “Luat (daerah) Angkola” Firman Allah disebarkan ke seluruh pelosok pulau Sumatera dan daerah ini menjadi daerah “Persemaian Firman Allah”. Kemudian sekitar 1940-an umat Kristen Angkola-Mandailing berkeinginan untuk berdiri sendiri dalam satu Badan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A). Namun keinginan itu belum terwujud berhubungan karena menghadapi banyak rintangan.

Gerakan kemandirian ini baru menjadi kenyataan pada 26 Oktober 1975, HKBP memberikan mandat kemandirian untuk orang Kristen Angkola dalam wadah Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A). Seturut dengan perkembangan jaman dan dinamika yang terjadi, HKBP-A mengalami skisma dan lahirlah Gereja Protestan Angkola (GPA) pada 1980-an. Skisma ini diatasi dengan rekonsiliasi di antara HKBP-A dan GPA dengan mengubah nama gereja menjadi GKPA pada 3 Juli 1988. GKPA berbentuk Badan Hukum yang berdiri sendiri, diawalnya bertempat kedudukan di Sipirok (1975) kemudian 1987 pindah ke Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Untuk dapat mengoptimalkan tugas dan panggilannya sebagai lembaga yang menjalankan Missio Dei, GKPA menatap ke masa depan tanpa melupakan sejarahnya. Untuk itu GKPA menyusun Visi Misi, Tata Nilai-nilai, Strategi dan program-program utamanya, sebagai penuntun menuju masa depan yang lebih jelas agar dapat memenuhi tuntutan perubahan serta harapan-harapan semua pihak yang berkepentingan (stake holders).

Setelah melalui langkah-langkah studi dan analisis internal, eksternal serta meneropong kecenderungan perubahan 25 tahun mendatang, di bawah terang Firman Tuhan, ditetapkanlah Visi GKPA 2016-2041 yaitu: “Gereja Yang Unggul Melayani Dalam Kebersamaan”( Parlagutan Na Dumenggan Mangkobasi Rap Sauduran –[“The Church who excellent service in togetherness”]).

(3)

pangkobasion di bagasan roha haimbaruon dohot harentaon” – [“To increase and develop marturia, coinonia, deaconia with the spirit of reform/renew and togetherness”]).

Di bawah tata nilai ideal dan inkremental yang berbasis pada teologi dan tradisi GKPA, maka ditetapkan tata nilai operasional dalam rangka membangun budaya kerja dan pelayanan GKPA, yaitu: TEDUH (Tangguh, Efektif & Efisien, Damai, Unggul, dan Hormat).

Langkah-langkah kunci utama (strategi) Gereja Kristen Protestan Angkola perlu dirumuskan secara konkrit dalam rangka mencapai Visi Tahun 2041. Dengan strategi utama ini GKPA diharapkan mampu menyikapi berbagai pengaruh dan perubahan eksternal yang semakin intensif, ekstensif dan cepat. Strategi Utama GKPA menuju 2041 berpedoman pada lima tahap yang dilakukan secara menyeluruh, paralel dengan penekanan atau fokus yang berkaitan, yaitu:

I. 2016-2021 – “Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas”- KONSOLIDASI II. 2021-2026 – “Penguatan Kebersamaan dan Kerukunan” – REFORMASI III. 2026-2031 – “Pengembangan Semangat Inovatif” - INOVASI

IV. 2031-2036 – “Pembaruan secara terpadu.” - OPTIMALISASI V. 2036-2041 – “Keunggulan & Kebersamaan” - TRANSFORMASI

(4)

KATA PENGANTAR

Gereja Kristen Protestan Angkola sudah memiliki sejarah perjalanan yang sangat panjang dalam menunaikan tugas dan panggilannya sebagai “rekan kerja” Allah di dunia ini dalam menghadirkan kerajaan-Nya di Indonesia. Perjalanan ini akan terus berlanjut dan selalu membutuhkan pimpinan-Nya. Di samping itu secara bersamaan, akal budi yang telah Tuhan berikan, juga perlu dioptimalkan untuk menyusun perencanaan ke depan dengan metode akademis dan praktis yang telah terbukti efektif.

Visi Misi GKPA 2016-2041 dan Rencana Strategis 2016-2021 disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan melalui kuesioner, focus group discussion (FGD), in depth interview, studi dokumentasi, dan berbagai masukan aspirasi pemangku kepentingan dapat teridentifikasi secara komprehensif. Dari berbagai masukan tersebut Tim Visi Misi melakukan analisis dengan data-data yang menggambarkan kondisi GKPA terkini.

(5)

Program Tahunan yang merupakan Block Building untuk mencapai visi 2041, (13) Menyusun laporan final rencana strategis GKPA berdasarkan koreksi dan masukan-masukan akhir.

Proses kerja dimulai pada 17 Oktober 2012 yang targetnya selesai di akhir 2013. Namun di perjalanan Tim Visi Misi mengalami berbagai hambatan yang membuat penyelesaian pekerjaan akhirnya mundur sampai awal 2016. Ini menunjukkan bahwa komitmen bersama untuk menyusun panduan perjalanan lembaga GKPA ke masa depan tidak surut meskipun banyak hambatan yang harus dihadapi.

Sesudah tersusunnya Visi Misi GKPA ini, langkah berikutnya adalah mewujudnyatakan dengan konsisten. Untuk itu dibutuhkan 4 (empat) K, yaitu (1)

Komitmen, (2) Kompetensi, (3) Koordinasi dan (4) Keberanian dari semua pemangku kepentingan GKPA.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua stake holder, instansi pemerintah dan swasta, para pemuka agama dan lembaga-lembaga keumatan, pribadi-pribadi yang telah memberikan idea, pemikiran, dan gagasan-gagasan dalam rangka penyelesaian rancangan visi misi GKPA ini. Juga terimakasih kepada Pucuk Pimpinan GKPA yang telah mempercayakan tim untuk menyusun visi misi GKPA. Secara khusus buat fasilitator bapak Drs. Sigit Triyono,MM yang telah bersedia memberikan pemikiran, tenaga, dan waktunya dalam membimbing dan mengarahkan seluruh anggota tim untuk bisa menyelesaikan penyusunan visi misi GKPA. Terakhir kepada semua anggota tim yang telah memberikan yang terbaik dalam rangka menuntaskan penyusunan visi misi GKPA ini. Kiranya hasil yang telah dicapai ini dapat menghantar “GKPA MENJADI GEREJA YANG UNGGUL MELAYANI DALAM KEBERSAMAAN”. Semoga Tuhan memampukan kita!

Padangsidimpuan, Medio April 2016

Tim Penyusun Visi Misi GKPA 2016-2041

Pdt.Agus H.J.Sibarani,S.Th. (Ketua merangkap Anggota) Ir.Surung Siregar,Dip.HE. (Wakil Ketua merangkap Anggota) Pdt.Guswin P.Simbolon,S.Th. (Sekretaris merangkap anggota) Pdt.Rosanna Pasaribu,S.Th. (Bendahara merangkap anggota) Pdt.Saud A.Sigalingging,S.Th. (Anggota)

(6)

KATA SAMBUTAN

Melalui pergumulan yang panjang dan membutuhkan pikiran, waktu dan materi akhirnya visi misi GKPA untuk 25 tahun dan Rencana Strategi 2016-2021 ke depan rampung dikerjakan oleh tim. Patut disampaikan terimakasih kepada anggota tim visi misi, Praeses, Pendeta Resort, Guru Jemaat, Penatua dan semua warga jemaat GKPA yang telah mendukung proses penyusunan Pernyataan1 Visi Misi (PVM) ini.

Juga tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada semua unsur yang terlibat sebagai sumber informasi di dalam proses penyusunan visi misi ini, seperti: pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, pemerintah kota Padangsidimpun, dan kelompok keumatan (FKUB, GMKI, GAMKI, PWKI kota Padangsidimpuan dan Tapanuli Selatan, dll), serta kepada Pimpinan Gereja tetangga (HKBP, GKPI, HKI, GPKB, GMI, dan GKPS) yang telah memberikan masukan sebagai bahan perbandingan buat tim.

Pernyataan visi misi ini sangat besar kaitannya dengan tugas dan fungsi “majelis” jemaat sebagai perencana, pelaksana dan pengevaluasi dari semua aktifitas warga jemaat di GKPA. Pernyataan visi misi sangat besar pengaruhnya untuk mendorong keefektifan fungsi kepemimpinan setiap anggota majelis jemaat.

Lebih jauh dari hal itu kami menghimbau agar semua lapisan di GKPA memberi waktunya untuk membaca, memahami, mendiskusikan semua isi dari visi misi ini. Kami sangat mengharapakan kontribusi yang konstruktif agar dalam penyusunan strategi lima tahunan tahap kedua, tahap ketiga dan seterusnya lebih baik lagi dan bisa mencapai sasaran sebagai mana makna yang terkandung di dalam Visi GKPA 2016-2041, menjadi “GEREJA

YANG UNGGUL MELAYANI DALAM KEBERSAMAAN”(The Church who Excellent

Service in Togetherness). Dan Misinya, “MENINGKATKAN DAN MENGEMBANGKAN KESAKSIAN, PERSEKUTUAN, PELAYANAN DENGAN SEMANGAT PEMBARUAN DAN KEBERSAMAAN” (To increase and Develop Marturia, Coinonia, Deaconia, with Spirit of Reform/renew and togetherness).

Kiranya Tuhan menolong kita!!!

Padangsidimpuan, April 2016

Pucuk Pimpinan GKPA,

Pdt.Adolv Bastian Marpaung,M.Min,M.Th.

Ephorus

Daftar Isi

(7)

Ringkasan Eksekutif 1

Kata Pengantar 3

Kata Sambutan 5

Daftar Isi 6

Daftar Tabel 8

Daftar Grafik 9

Daftar Diagram 10

Daftar Matrix 11

Daftar Foto 12

BAB I: PENDAHULUAN 13

1. Perjalanan Gereja Kristen Protestan Angkola 13

2. GKPA Menuju Masa Depan 23

3. Kekuatan & Keunikan 24

4. Konteks Masyarakat Angkola 25

5. Dasar Teologis GKPA 30

BAB II: GAMBARAN UMUM GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA 53

1. Gambaran Kinerja GKPA Tahun 20011-2015 53

2. Harapan-harapan Pemangku KepentinganTerhadap GKPA 56

BAB III: TATA NILAI GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA 58

1. Tata Nilai Ideal 59

2. Tata Nilai Inkremental 59

3.

Tata Nilai Operasional 61

BAB IV: ANALISIS STRATEGIS TOWS – ESFAS & ISFAS 62

BAB V: TREN PERUBAHAN 25 TAHUN MENDATANG 65

1. Tren Perubahan Global Dan Internasional 25 Tahun Mendatang 65

2. Tren Perubahan Nasional 25 Tahun Mendatang 68

(8)

BAB VI: SEMBILAN SKENARIO GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA DI

MASA MENDATANG 75

BAB VII: ISU STRATEGIS &HARAPAN PEMANGKU KEPENTINGAN 79

BAB VIII: VISI, MISI, NILAI-NILAI & STRATEGI UTAMA GEREJA KRISTEN 81 PROTESTAN ANGKOLA

1. VISI 81

2. MISI 81

3. STRATEGI UTAMA 82

BAB IX : POKOK-POKOK PROGRAM 2016-2021 89

BAB X: PENUTUP 90

PUSTAKA PENDUKUNG 91

L A M P I R A N:

1. SK TIM VISI MISI GKPA 93

2. KERANGKA ACUAN PENYUSUNAN VISI MISI GKPA 94

3. FORMAT KUESIONER 95-106

4. TABEL KUESIONER 107-111

5. HASIL FGD 112-117

6. HASIL IN DEPT INTERVIEW 118-147

Daftar Tabel

Tabel 1. Uraian Faktor dan Variabel 53

(9)

Daftar Grafik

(10)

Daftar Diagram

(11)

Diagram3. Skenario Masa Depan GKPA 75

Diagram 4. Strategi Utama GKPA Menuju Tahun 2041 82

Daftar Matiks

(12)

Daftar Foto

Foto 1. Uraian Faktor dan Variabel 53

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Perjalanan Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA)

(14)

Titik pijak wilayah GKPA ini pada awalnya berada dalam wilayah Tapanuli Selatan (Angkola-Mandailing). Namun sekarang, wilayah Tapanuli Selatan ini telah mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Mandailing-Natal, Kabupaten Padanglawas Utara, dan Kabupaten Padanglawas Selatan.

Masuknya kekristenan di wilayah ini dimulai dari Pakantan (Mandailing) pada 1834 oleh Verhoeven dan telah membaptiskan orang Batak Mandailing Kristen pertama, yaitu: Ja Mandatar Lubis dan Kalirancak Lubis. Misi ini tidak begitu berkembang karena pengaruh perang Padri.

Selanjutnya, di daerah Angkola misionaris Gerrit van Asselt telah tiba di Parausorat, Sipirok untuk memberitakan Injil pada 1857. Melalui hasil penginjilan ini Gerrit van Asselt membaptiskan Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon. Karenanya, Parausoratlah menjadi titik awal pekabaran Injil di tanah Batak dan penyebaran Firman Allah ke bagian Utara pulau Sumatera khususnya Tapanuli. Para misionaris2 yang tiba di tanah Batak memulai tugas penginjilannya dari Parusorat. Nommensen sendiri memulai tugas pelayanannya dari Parausorat. Namun karena penginjilannya kurang berhasil, maka beliau mengembangkan penginjilannya ke tanah Batak pedalaman, yakni Tapanuli bagian Utara.

1.2. Masuknya Injil Ke Tanah Angkola dan Mandailing

Masuknya Injil ke tanah Batak Angkola-Mandailing pada mulanya dibawa seorang pendeta tentara Belanda yang bernama Verhoeven pada 1834 yang berkedudukan di Pakantan.

Selanjutnya pelaksanaan penginjilan ini dilakukan oleh lembaga-lembaga zending. Lembaga-lembaga zending yang masuk ke daerah Batak Angkola-Mandailing ada banyak. Pertama, American Board of Commissioners for Foreign Missions (ABCMF) yang mengutus Pdt. Ellys pada 1834. Kedua, jemaat Ermelo dari kota Ermelo, Belanda. Utusan pertamanya ialah penginjil Gerrit van Asselt (1857). Ketiga, zending Rhein Jerman “Rheinsiche Missionsgesellschaft (RMG) pada 1859 dengan penginjilnya C.J.Klammer. Keempat, zending Belanda “Java Comitte” pada 1864 yang membantu pelayanan jemaat Ermelo di bidang tenaga dan dana. Kelima, Doopagezinde Zending Vereeniging (DZV) yang berkantor pusat di Amsterdam.3 Tenaga misionaris yang datang dari lembaga ini adalah H. Dirks, N. Wiebe, G. Nikkei, D. Dirks dan J. Thiessen. H.Dirks adalah misionaris pertama yang diutus DZV ke Pakantan pada 26 Januari 1871.4 Zending ini dikenal sebagai Mennonit-Anabaptist dari Belanda pada 1871 yang melakukan penginjilan ke kawasan Angkola-Jae dan Mandailing.

2 Misionaris yang pertama, seperti: Gerrit van Asselt [Ermelo (1857)], Dammerboer, van Dalen, Betz, Koster

[Ermelo (1858)], Heine, Klammer [RMG (1861)] dan I.L.Nommensen [RMG (1862)].

3 Lih. J.R.Hutauruk, “Makna Sejarah Gereja masa kini: Suatu analisa historis tentang sejarah kekristenan di luat

Angkola”, dalam Ramli SN Harahap (ed.), Bunga Rampai:Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA), 2011, hl.26.

4 Tanggal itulah yang kemudian dijadikan "hari-jadi" Gereja Mennonit di Mandailing. Gereja Mennonit

(15)

Keberagaman badan zending ini membawa keunikan tersendiri bagi GKPA hingga kini karena membawa tradisi ajaran yang berbeda misalnya di bidang pemahaman akan arti baptisan sebagai satu ajaran hakiki dalam kehidupan orang Kristen. Tiga lembaga zending mengajarkan baptisan anak-anak, sedang zending Mennonit mengajarkan baptisan orang dewasa, masing-masing dengan landasan dogma yang telah mengakar di dunia kekristenan di Barat sejak munculnya reformasi oleh Marthin Luther.5 Keberagaman lembaga zending ini akan menjadi peluang bagi GKPA untuk membangun kembali kerjasama dengan para lembaga zending itu ke masa depan.

Para misionaris yang telah bekerja di kedua daerah ini (Angkola-Mandailing), telah berhasil membaptiskan orang Batak menjadi Kristen. Pendeta Verhoeven pada 1834 telah membaptis Ja Mandatar Lubis dan Kalirancak Lubis menjadi Kristen. Gerrit van Asselt membaptis dua orang pada hari raya paskah 31 Maret 1861, yakni Pagar Siregar dengan nama baptis Simon Petrus, bersama-sama dengan Main Tampubolon yang diberi nama Jakobus di Parausorat, Sipirok. Simon Petrus adalah putra raja pamusuk (raja-kampung), Sutan Doli, dari Bungabondar, sementara Jakobus adalah seorang anak rantau asal Barus yang dibeli oleh van Asselt di salah satu pasar kemudian dijadikan pelayan pembantu van Asselt.

Dari fakta ini, sudah saatnya GKPA menetapkan hari kelahirannya sejak pembaptisan pertama pada 1834 (Pakantan-Mandailing) dan pada 31 Maret 1861 (Parausorat-Sipirok) serta hari kemandiriannya pada 26 Oktober 1975. Hal ini telah kita tetapkan dalam syair Mars GKPA bahwa GKPA-lah gereja yang sulung dahulu ditempa di Tanah Batak. Dari Tanah Angkola-lah penyebaran Injil dilakukan ke tanah Batak Utara, dan tanah Batak lainnya.

1.3. Embrio Kemandirian Gereja di Angkola

Gerakan kemandirian Gereja di Tanah Angkola-Mandailing sebenarnya dimulai pada 1940-an. Namun aspirasi masyarakat Kristen Angkola dan Mandailing akan suatu gereja sendiri yang manjae (mandiri) belum tercapai, karena pecahnya Perang Dunia II dan HKBP sendiri masih belum bersedia memberikan panjaeon kepada HKBP-A.

1.4. Alasan Kemandirian

Ada beberapa alasan dan tujuan berdirinya GKPA, yakni:

Pertama, karena alasan mempertahankan nilai-nilai sejarah. Kekristenan masuk ke tanah Batak dimulai dari daerah Angkola-Mandailing.

Kedua, alasan bahasa dan budaya. GKPA berada di daerah Angkola-Mandailing dan berbudaya Angkola-Mandailing yang berbeda dari bahasa dan budaya Toba yang tinggal di daerah Utara Tapanuli. Sering HKBP mengutus pendeta ke daerah Angkola yang tidak mengerti bahasa dan budaya Angkola sehingga orang Kristen Angkola-Mandailing merasa tidak nyaman dengan keadaan itu.

(16)

Ketiga, alasan semangat patanakhon Hata ni Debata tu Luat Angkola (memberitakan Firman Tuhan dengan sungguh-sungguh ke daerah Angkola-Mandailing). Alasan ini yang sangat kuat dalam gerakan kemandirian GKPA. Pelayanan gereja di daerah Angkola dirasakan kurang begitu diperhatikan oleh HKBP pada saat itu. Karena itu, orang-orang Angkola berkeinginan mandiri dalam pelayanan yang prima dan baik kepada orang Angkola oleh orang-orang Angkola dan yang terbeban untuk itu.

Keempat, karena pengalaman pahit. Hanya sedikit orang Angkola-Mandailing yang diberi kesempatan studi di lembaga teologi. Bahkan penerimaan menjadi mahasiswa teologi di lembaga teologi dihambat karena berasal dari Angkola-Mandailing. Pengalaman pahit ini menjadikan semangat untuk menjadi sebuah gereja yang mandiri.

Kelima, karena mundurnya pelayanan. Pelayanan kerohanian di daerah Angkola-Mandailing semakin tahun semakin menurun kualitasnya. Sejalan dengan kemunduran pelayanan di bidang kerohanian ini maka banyak di antara jemaat berada dalam kondisi yang semakin lemah dan akhirnya terpaksa ditutup. Contoh jemaat-jemaat yang tertutup di daerah Angkola yaitu: Pargarutan, Lobu Hatongga, Simapil-apil dan Simatorkis. Untuk meningkatkan mutu pelayanan ini, maka gerakan kemandirian Gereja semakin menguat di kalangan orang Kristen Angkola-Mandailing.

1.5. Kemandirian (Panjaeon) HKBP-Angkola

Setelah gerakan kemandirian gereja di daerah Angkola-Mandailing mengalami kegagalan pada 1940-an, maka pada 1970-an, keinginan dan kerinduan kemandirian ini bangkit kembali. Gerakan kemandirian gereja di daerah Angkola-Mandailing ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu:

1.5.1. Daerah Angkola adalah daerah persemaian Allah yang pertama di Tanah Batak.

Hal ini terlihat dalam mukadimah Tata Gereja HKBP-A (1975), yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen Angkola dan Mandailing memahami luat Angkola dan Mandailing menjadi daerah "persemaiam Firman Allah", sejak 1834 oleh Verhoeven di Mandailing, dan 1856 oleh Zending Ermelo di Lumut serta 1857 oleh van Asselt di Sipirok.6 Dari mukadimah itu terlihat bahwa kelompok Kristen Angkola-Mandailing menyadari telah tiba saatnya untuk menata-layani sendiri pekabaran Injil di kalangannya dan untuk itu perlu diwujudkan suatu struktur dan organisasi dalam bentuk gereja yang mandiri.7

1.5.2. Daerah Angkola merupakan ujung tombak penginjilan dan perkembangan kekristenan. Tapanuli Selatan menjadi ujung tombak dalam penginjilan dan perkembangan kekristenan di seluruh Tanah Batak dan yang seterusnya meluas ke utara sampai ke Sumatera Utara.8 Hal ini perlu dilanjutkan dengan memandirikan

6 Lih. J.U.Siregar, Dari Gereja Zending ke GKPA, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA), 1999, hl. 177. 7Ibid.

(17)

Gereja Angkola untuk meneruskan semangat penginjilan ini di Tanah Batak Angkola-Mandailing.

1.5.3. Keadaan dan situasi usaha zending yang memprihatinkan. Gerakan kemandirian ini juga didorong oleh karena keadaan dan situasi usaha zending yang memprihatinkan, sehingga membangkitkan gerakan reaksi di kalangan tokoh-tokoh Kristen Angkola dan Mandailing. Mereka semakin sadar akan tugas panggilannya mewujudkan dan membenahi gerejanya sendiri demi peningkatan misinya. Mereka berhasrat memegang peranan lebih banyak dalam menatalayani Gereja.9

1.5.4. Kebangkitan semangat Nasionalisme. Faktor lain yang mendorong usaha kemandirian HKBP-A adalah “gerakan kebangkitan Nasional” yang juga meresapi tokoh-tokoh Angkola-Mandailing sejak 1910-an. Semangat dan kesadaran ini mendorong mereka percaya pada potensi pribumi untuk menatalayani gerejanya, sekaligus menampilkan sosok gereja yang lebih bercorak kepribadian, budaya dan daerah sendiri.10

Dengan didasari beberapa faktor kemandirian di atas, maka umat Kristen Angkola-Mandailing mulai membentuk organisasi-organisasi kemandirian gereja. Organisasi-organisasi inilah kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya HKBP-A, seperti:

(1) Terbentuknya Persekutuan Angkola11

Selama kurun waktu 33 tahun (1941-1974) menanti perwujudan HKBP-A yang mandiri, semangat dan hasrat mandiri (manjae) senantiasa berkobar, tak padam-padam, yang kemudian terungkap dalam berbagai bentuk. Masyarakat Kristen Angkola-Mandailing di mana saja, khususnya yang diperantauan selalu rindu akan persekutuan dalam lingkungan sendiri yang bersifat khas etnis Angkola-Mandailing, yang mempergunakan bahasa daerahnya dalam kebaktian serta mempergunakan "Buku Ende Angkola" dan Perjanjian Baru bahasa Angkola, yang akrab baginya. Dirasakan melalui pertemuan ataupun partangiangan (persekutuan doa) semacam itu, banyak nilai-nilai positif dan berharga yang dapat diperoleh dan dikembangkan demi tercapainya cita-cita panjaeon HKBP-A.

Karena kerinduan yang mendalam itu, muncul dan tumbuhlah persekutuan-persekutuan Kristen Angkola-Mandailing di Medan Barat pada 1963 yang dinamai “Sauduran Kristen Angkola" (SKA), disusul kemudian tahun berikutnya dengan Marsiurupan Kristen Angkola" (MKA) di Medan Timur dan Satahi pada 1967 di Simpang Limun Medan. Badan-badan itu mengadakan persekutuan doa dalam bahasa Angkola, dan kegiatan-kegiatan memupuk rasa persaudaraan etnis, melalui tradisi dan adat daerahnya jika ada siriaon dan siluluton serta mengadakan usaha sosial yang hasilnya

9Ibid., hl.179. 10Ibid.

(18)

diperuntukkan membantu jemaat-jemaat di Bonabulu (kampung halaman). Eksistensi kumpulan-kumpulan itu semakin meluas dan frekwensi kegiatan-kegiatannya semakin ditingkatkan pula. Akhirnya setiap kumpulan itu mengadakan ibadahnya secara rutin setiap Minggu sore. Kegiatan diluaskan pula dengan pengumpulan buku-buku dan terbitan gereja lainnya yang sudah langka untuk diperbanyak (dicetak-ulang) dan dibagikan di kalangan sendiri, baik yang dirantau maupun yang di kampung halaman (Bonabulu).

(2) Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola (HKA) Medan12

Langkah maju berikutnya ialah pembentukan HKA (Hasadaon Kristen Angkola) pada 19 Juli 1967. Hasadaon (kesatuan) ini adalah badan penggabungan atau pengayoman dalam bidang kerohanian dari perkumpulan-perkumpulan: Sauduran, MKA dan Satahi di atas tadi. Ketiga badan itu tetap berjalan sebagai perkumpulan sosial antar anggotanya, tetapi kegiatan bidang rohani telah disatukan penyelenggaraannya dalam HKA - Huria Kristen Angkola. HKA inilah yang kemudian menjadi salah satu bakal jemaat dari HKBP-A di Medan.

(3) Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola Tapanuli Selatan (HKA-TS) di Jakarta13

Prihatin atas proses kemunduran kerohanian yang dialami jemaat Angkola-Mandailing di daerah Tapanuli Selatan, maka masyarakat Kristen Tapanuli Selatan di Jakarta pada September 1969 membentuk wadah persatuan yaitu "Hasadaon Kristen Angkola Tapanuli Selatan" (HKA-TS). Nama semula ialah 'Hasadaon ruas HKBP na ro sian Distrik I" (Tapanuli Selatan). Hasadaon ini mempunyai tujuan ganda. Pertama, mempersatukan warga gereja asal Distrik HKBP-Angkola dan Mandailing dalam satu wadah persekutuan, yang menyelenggarakan "sermon" setiap sabtu sore. Kedua, menjadi sarana pengumpulan dana bagi kepentingan jemaat-jemaat di Bonabulu antara lain memberi "si palas ni roha" (ucapan syukur) bagi pelayan-pelayan gerejawi di Bonabulu, pemberian beasiswa dan menanggung biaya cetak ulang dari Perjanjian Baru yang diringkaskan dalam bahasa Angkola karya Schutz.

(4) Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola (HKA) Padangsidimpuan14

Perkumpulan HKA Padangsidimpuan ini merupakan perkumpulan ketiga (sesudah Medan, Jakarta). Pembentukan perkumpulan ini pada 7 April 1974, merupakan suatu tindakan keterpaksaan yang harus ditempuh sebagai tindak lanjut "tragedi Padangsidimpuan"15. Menindaklanjuti tragedi Padangsidimpuan dilaksanakanlah berbagai 12 Lih. J.U.Siregar, Dari Gereja ... hl. 186.

13Ibid.

14Ibid., hl. 187.

15 Tragedi Padangsidimpuan adalah suatu peristiwa penolakan pendeta Angkola (Pdt.Z.S.Harahap) yang

ditugaskan di HKBP Resort Padangsidimpuan oleh sekelompok orang yang tidak suka dengan gerakan

(19)

pertemuan yang mengarahkan masyarakat Kristen Angkola dan Mandailing untuk mewujudkan HKBP-A yang berdiri sendiri.

Langkah selanjutnya adalah terbentuknya Badan Persiapan Panjeon (BPP) HKBP-A pada 4 Mei 1973 di Medan yang diketuai oleh St. Baginda Hasibuan dan yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil jemaat di Bonabulu, Medan dan Jakarta. Badan inilah selanjutnya yang mengkoordinir dan mengarahkan perjuangan hingga berdirinya HKBP-A.

1.6. HKBP-A berdiri sendiri16

Pada 26 Okotber 1975 HKBP memberikan kemandirian bagi Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A) dengan menetapkan Pdt. Melanchton Pakpahan sebagai Ephorus, Pdt. Zending Sohataon Harahap sebagai Sekretaris Jenderal, St. Baginda Galangan Siregar sebagai Sekretaris, dan St. Mara Sinaga sebagai Bendahara. HKBP memberikan kemandirian ini berdasarkan Rapat Parhalado Pusat HKBP pada 15-17 Oktober 1975 di Parapat yang memutuskan,

(1) Memberikan "panjaeon de Facto" kepada Gereja HKBP-A, berlaku terhitung mulai 17 Oktober 1975.

(2) Panjaeon de Jure akan diberikan pada Sinode Godang HKBP 1976 pada 1 Agustus 1976 di Pematangsiantar.

Penyerahan Panjaeon de Facto HKBP-A resmi dilangsungkan pada 26 Oktober 1975 di Bungabondar, sebagai acara awal dari Pesta Peresmian Panjaeon de Jure HKBP-A. Naskah Panjaeon ini ditandatangani Ephorus HKBP Ds. G. Siahaan, Sekretaris Jenderal Prof. Dr. F.H. Sianipar dan dari pihak HKBP-A, kedua Pimpinan HKBP-A dan Ketua Umum BPP-HKBP-A, St.Baginda Hasibuan serta Sekretaris Umum BPP-HKBP-A, St.Arif Hasibuan.

1.7. HKBP-A/GKPA - Pasca Mandiri (Manjae)

Dalam menjalani masa-masa kemandiriannya, GKPA mengalami dinamika organisasi yang banyak.

1.7.1. Masa kesukaran

Tahun-tahun pertama HKBP-A manjae, dinyatakan Ephorus Pdt. M. Pakapahan dalam laporannya kepada Sinode Am kedua (pertama sesudah Panjaeon de Jure) yang diselenggarakan di Padangsidempuan pada 30 Oktober - 1 Nopember 1976, sebagai masa hamaolon (kesukaran), keprihatinan dan kekecewaan yang dinyatakan oleh beliau dengan mengatakan:

(20)

nihadapan, angka na tangkas maralo tu ngolu partondion ni ha-Kristenon. Gabe rundut ma pangkilalaan, kacau-balau pamikirion. Betak beha dung "de Jure" ma sanoli on dapot keamanan i, na parohon hadameon dohot ketenangan bekerja, ninna roha laho pasabamsabam pangkilalan. Hape dung "de Jure"pe, laing nada dapot na niharapkon i, mur nangkok na gariada, ibarat ni dalan siboluson". (Saya kira setelah kita “mandiri”, maka perjalanan kehidupan HKBP-A akan aman dan tentram. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, yang dihadapi adalah hal-hal yang bertentangan dengan kehidupan rohani Kekristenan. Semakin runyam perasaan, kacau-balau pemikiran. Mungkin setelah “de Jure” nanti ketentraman (terjadi situasi yang damai antara HKBP dengan HKBP-A) akan dirasakan, yang mendatangkan kenyamanan bekerja. Itulah yang terbertik dalam hati sanubari untuk menentramkan jiwa. Ternyata setelah “de Jure” pun, tidak didapatkan apa yang dirindukan, malahan semakin tambah persoalannya, bagaikan jalan terjal yang harus ditempuh).17

Keluhan Pucuk Pimpinan HKBP-A itu cukup beralasan, karena memang HKBP-A pada waktu itu dihadapkan pada berbagai kendala dan rintangan yang menuntut banyak waktu, energi, kesabaran dan daya-upaya untuk mengatasinya. Semua itu adalah akibat dan ekses dari cara pemberian panjaeon yang kurang memenuhi aspirasi masyarakat Kristen Angkola–Mandailing.

1.7.2. Kesulitan Dana

Dalam penyerahan kemandirian HKBP-A, HKBP hanya memberikan 22 gereja kecil di pedesaan dan 9 orang pendeta tanpa memberikan fasilitas Kantor Pusat. Hal ini mengakibatkan HKBP-A banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi pembiayaan operasional, seperti: penggajian para pendeta dan karyawan Kantor Pusat, sarana transportasi, gedung kantor pusat, dan alat-alat tulis kantor. Sehingga, pada awalnya Kantor Pusat HKBP-A masih berkantor di Jl.Sipirok No.14 di salah satu rumah seorang jemaat, St.M.Sinaga.

1.7.3. Persoalan pemakaian bersama gedung gereja

(21)

membangun gedung gereja itu. Akibatnya jemaat Kristen Angkola-Mandailing yang tergabung dalam HKBP-A, harus membangun gedung gerejanya sendiri lagi.

1.7.4. Kesukaran yang disebabkan faktor internal

Kesukaran ini terjadi karena aturan-aturan Gereja yang belum ada ataupun belum cukup tersedia sehingga timbul berbagai kesulitan internal dan konflik. Memang HKBP-A memasuki era panjaeonnya hanya memiliki AD dan PRT 1975, yang disusun secara terburu-buru, tidak atau kurang professional dan dalam waktu sangat singkat. Keruwetan itu bertambah parah dengan penafsiran dan tanggapan yang berbeda-beda, malahan sering bertolak-belakang yang satu dengan yang lain. Semua itu menimbulkan persepsi dan tindakan yang berbeda-beda pula, malahan kerap saling bertentangan dan dualistis.

Dalam masa kesukaran internal ini HKBP-A pernah mengalami dinamika management dan kepemimpinan pada periode tahun 1982-1988 yang mengakibatkan perpecahan internal. Akibat perpecahan ini maka muncullah Gereja Protestan Angkola (GPA).

1.7.5. Masa Konsolidasi

Untuk mengatasi persoalan di atas, maka Sinode Am ke-II/1976 (pertama sesudah panjaeon de Jure) ditetapkan sebagai periode 5 tahun pertama, 1976-1981 sebagai periode "konsolidasi". Direncanakan sepanjang periode ini, seluruh perhatian dan daya-upaya dikerahkan dan dipusatkan pada penataan dan pemantapan organ-organ dan alat kelengkapan HKBP-A, termasuk sumber daya manusianya. Demikian diharapkan pada periode 5 tahun berikutnya dapat dilakukan usaha-usaha dan program pembangunan, pengembangan dan pertumbuhan menuju perwujudan gereja yang dewasa dan missioner. Berbagai hamaolon (kesukaran) internal maupun eksternal yang diuraikan di atas menjadi kendala utama tidak tercapainya program konsolidasi dimaksud. Tahun-tahun pertama periode 5 tahun kedua, 1981-1986 masih dimanfaatkan untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan konsolidasi. Tidak tersedianya dana yang cukup memadai, merupakan faktor penghambat tidak terealisirnya konsolidasi dimaksud tepat pada waktunya. Demikian program pembangunan, pengembangan dan pertumbuhan praktis baru dapat ditangani dan dilakukan mulai periode 5 tahun ketiga: 1986-1991.

Pada masa konsolidasi ini perpecahan internal antara HKBP-A dengan GPA dapat diselesaikan dengan semangat kebersamaan dan pendekatan kekeluargaan maka terjadilah penyatuan kembali antara HKBP-A dengan GPA dengan sebuah nama Gereja baru, yakni: GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA (GKPA) dalam Sinode Am VIII pada 3 Juli 1988 di Kantor Pusat GKPA Padangsidimpuan.

(22)

Berdasarkan hasil kuestioner, in depth interview, focus group discussion (FGD), wawancara kepada stake holder dan berbagai kalangan, studi dokumen gereja GKPA, maka keadaan GKPA saat ini berada pada pelayanan yang “tidak maju dan tidak mundur”, dan pelayanan para pelayan GKPA yang perlu ditingkatkan kualitasnya, dan pelayanan GKPA yang masih berorientasi ke dalam. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa indikator di bawah ini:

1.8.1. Angka Pertumbuhan

Pertumbuhan pesat GKPA dapat dijelaskandengan angka-angka sebagai berikut: Grafik 1. Pertumbuhan GKPATahun 1975-2015

19750 1978 1981 1985 1991 1995 2000 2005 2010 2015 5000

10000 15000 20000 25000 30000 35000

Angka-angka di atas menunjukkan jelas bahwa selama 20 tahun 1975-1995, jumlah jemaat GKPA telah berkembang dan bertumbuh 700%, berarti peningkatan 35,4 % per tahun. Bagi jumlah anggota, angka pertumbuhan itu adalah 270% atau rata-rata 13.5% per tahun. Menyangkut rumah Ressort terdapat pertumbuhan dari 1 rumah pada 1975 meningkat menjadi 21 rumah pada 1995 ataupun pertumbuhan rata-rata 21 % per tahun. Pada umumnya rumah-rumah tersebut dibangun atas biaya Ressort bersangkutan dengan bantuan insentif dari Kantor Pusat yang jumlahnya sangat terbatas. Hal tersebut menunjukkan betapa besar dan tingginya semangat gotong-royong, kemandirian dan swa-daya warga gereja GKPA. Padahal, HKBP-A mengalami kesulitan baik internal maupun eksternal.

(23)

pula dikelompokkan atas 4 distrik yaitu Distrik: I Angkola-Mandailing, II Sipirok - Dolok Hole, III: Sumatera Timur dan IV: Jawa-Sumbagsel.

Dari grafik di atas dapat juga ditarik pengertian bahwa pertumbuhan anggota jemaat GKPA menanjak secara signifikan dari 1975-1995, namun mendatar (stagnan) pada tahun 1995-2015. Data ini menantang semua pemangku kepentingan GKPA untuk bertanya mengapa?

1.8.2. Pelayan Gerejawi

Pertumbuhan jumlah pelayan gerejawi berjalan semakin meningkat, namun belum selaras dengan penambahan jumlah jemaat dan Resort. Dengan kata lain, masih banyak jabatan yang belum dapat diisi maupun terpaksa dirangkap, karena kekurangan tenaga pelayan gerejawi, khususnya tenaga pendeta. Pada masa ini, 2015 - jumlah pendeta GKPA adalah 54 orang. Dibandingkan dengan keadaan 1975, 9 tenaga pendeta, jumlah tersebut mengalami pertumbuhan 20 % per tahun.

Namun, ironisnya sejak 1996, pertumbuhan gereja tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan padahal jumlah pertumbuhan pelayan sangat siginifikan dan penataan struktur yang semakin bertambah (pertambahan Resort dan pembentukan 4 Distrik).

1.8.3. Tata Gereja/Tata Laksana

Dalam perjalanan HKBP-A/GKPA sejak manjae de jure, telah 5 kali mengalami penyempurnaan Tata Gereja (TG) dan Tata Laksana (TL). Pertama, TG/ TL yang disahkan oleh Sinode Am ke-I/1975 di Bungabondar, disempurnakan berdasarkan keputusan Sinode Am ke II/l 976 oleh Rapat Majelis Pusat yang bersidang di Medan, 15-16 April 1977 dan tidak pernah dibawakan kepada Sinode Am untuk pengesahan. Selama masa berlakunya TG/ TL itulah banyak timbul kesulitan internal disebabkan TG/TL yang kabur dan implementasinya yang tidak atau kurang tepat. Kedua, sesuai dengan keputusan Sinode Am ke-III/1978, TG/TL 1977 diperbaharui dan disahkan menjadi TG/TL 1981 oleh Sinode Am ke-IV/1981 yang bersidang di Padangsidimpuan. Pada TG/TL ini tercantum Pasal 22.3 yang menetapkan bahwa, "Setiap 10 tahun TG dan TL diteliti kembali untuk diadakan perubahan dan penyempurnaan, serta menyesuaikannya dengan situasi dan konsidi waktu itu". Demikian GKPA menginginkan agar TG/TLnya tetap up-to-date dan komprehensip pada wawasan, kondisi zaman. Ketiga, memenuhi ketetapan itu, maka TG/TL 1981, disempurnakan menjadi TG/TL-1991, yang disahkan oleh Sinode Am ke-IX yang bersidang di Padangsidimpuan tanggal 24-30 Juni 1991 dan diberlakukan untuk masa 10 tahun mendatang. Keempat, TG/TL disempurnakan pada Sinode Am XV/2003 di Padangsidimpuan dan kelima, TG/TL disempurnakan lagi pada Sinode Am XVIII/2013 di Padangsidimpuan.

(24)

1.8.4. Pengembangan Masyarakat

Dalam melaksanakan pengabdiannya kepada masyarakat, GKPA telah membuka beberapa yayasan, seperti: Yayasan Manna (1977-1980) yang mengembangkan proyek pertanian di Pulo Pakkat Batang Toru, Proyek Ayam di Medan dan Jakarta serta Training Centre di Silandit Padangsidimpuan, yayasan Sutan Gunung Mulia yang membidangi pendidikan, yayasan Angkola Sejahtera yang membidangi proyek kebun sawit.

GKPA juga membuka proyek ”Partisipasi Pembangunan” (Parpem) yang membidangi pengembangan masyarakat di semua bidang, seperti: pertanian, peternakan, pertukangan, Credit Union, ekonomi, ketrampilan-ketrampilan, Proyek air minum, bidang kesehatan, bidang pelayanan sosial (Panti Asuhan Debora di Silangge), bidang usaha (Kebun Salak, kebun sawit dan Toko Buku Kristen).

Namun dalam perjalanan sejarahnya, yayasan yang dikelola GKPA ini mengalami banyak tantangan dan kendala sehingga pengabdian kepada masyarakat ini tidak dapat dilakukan dengan maksimal dan baik. Bahkan ada beberapa yayasan yang tutup dan unit-unit usaha serta proyek pelatihan mengalami penutupan.

2. GKPA Menuju Masa Depan

Berdasarkan penelitian atas data dan fakta di atas, maka sudah saatnya GKPA memiliki visi dan misi yang jelas, sederhana, terarah dan terjangkau untuk membakar semangat semua warga jemaat (stoke holder) GKPA dalam mengembangkan GKPA ke dalam dan keluar.

Untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Gereja maju dan bertumbuh, maka GKPA akan melaksanakan beberapa rencana strategis yang disusun secara lima periodik hingga 25 tahun ke depan. Rencana strategis GKPA ini akan diuraikan secara khusus dalam bagian lain dari dokumen ini.

3. Kekuatan dan Keunikan

Dalam perjalanan sejarah dan kehidupan pelayanannya di tanah Batak Angkola, GKPA memiliki keunikan yang tidak dimiliki gereja lain, yang dapat menjadi faktor kekuatan dan penguat kelembagaan GKPA.

(25)

Kedua, pemakaian bahasa Angkola-Mandailing sebagai bahasa pengantar dalam ibadah dan kegiatan GKPA. Secara umum, gereja-gereja suku memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan budayanya. Begitu juga dengan GKPA yang mayoritas jemaatnya suku Angkola-Mandailing masih tetap mengharapkan agar bahasa Angkola-Mandailing jangan pernah dilupakan dalam ibadah. Misalnya agenda ibadah, kidung pujian, Alkitab dan lain-lain sudah menggunakan bahasa Angkola-Mandailing.

Ketiga, sikap toleransi dan rukun. Inilah yang membedakan GKPA dari gereja lainnya. GKPA tinggal di tengah-tengah umat Islam yang mayoritas. Warga jemaat GKPA menjalin hubungan yang baik dengan umat Islam. Hal itu disebabkan filosofi orang Angkola yang mengatakan bahwa “Sipirok Nasoli, Banua na sonang” (Sipirok yang indah, tempat yang aman). Masyarakat Angkola-Mandailing telah menjalin kerukunan umat beragama ini ratusan tahun yang lalu. Umat Islam dan Kristen saling membantu dalam rangka membangun rumah ibadah. Umat Islam dan Kristen saling mengunjungi dalam masa-masa hari raya besar agama seperti: Idul Fitri dan Natal. Dalam pelaksanaan adat-istiadat, orang Angkola-Mandailing menggunakan ayam, kambing dan kerbau sebagai makanan yang dikonsumsi pada acara-acara adat.

Keempat, Gereja GKPA dikenal sebagai “Gereja Koum” (Gereja Keluarga). Pada umumnya, jemaat GKPA baik yang ada di desa dan di kota memiliki hubungan keluarga sehingga rasa kekeluargaan sangat menonjol dalam kehidupan bergereja. Gereja koum inilah keunikan GKPA dari Gereja lainnya.

Kelima, GKPA memakai budaya Angkola-Mandailing dalam pelayanan di tengah-tengah Gereja. Misalnya memakai kopiah Angkola-Mandailing dalam kehidupan sehari-hari.

Keenam, GKPA menggunakan bahasa setempat di wilayah pelayanannya sebagai bahasa pengantar dan pelayanan. Misalnya, jemaat yang dominan suku Toba, GKPA memakai bahasa Toba dalam tugas pelayanannya. Demikian juga dengan suku lainnya.

Ketujuh, Gereja GKPA disendingi oleh beberapa lembaga zending. Setidaknya ada lima lembaga zending yang pernah melayani di daerah Angkola-Mandailing, yaitu: American Board of Commissioners for Foreign Missions (ABCMF), Jemaat Ermelo, Belanda, “Rheinsiche Missionsgesellschaft (RMG), “Java Comitte”, Doopagezinde Zending Vereeniging (DZV).

Kedelapan,orang Angkola-Mandailing memiliki sifat dan berkarakter yang adaptif. Masyarakat Angkola-Mandailing sangat mudah beradaptasi di mana mereka hidup dan tinggal. Kemampuan beradaptasi ini menjadi kekuatan orang Angkola-Mandailing untuk bisa bertahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa orang Angkola-Mandailing adalah masyarakat nasionalis yang tangguh dalam menghadapi dinamika kehidupannya.

4. Konteks Masyarakat Angkola-Mandailing

(26)

bermasyarakat, pada umumnya dipengaruhi cara berpikir dan cara hidup dari bahasa dan budaya yang dimilikinya itu sendiri.

4.1. Bahasa

Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Angkola dan bahasa Mandailing. Bahasa Angkola dan Mandailing dikenal sebagai bahasa Batak yang paling halus, kerena pengucapannya berintonasi lembut. Dari tutur kata ini, masyarakat Angkola-Mandailing mampu menunjukkan sikap hidup yang teduh dan damai sebab bahasa dan tutur kata mereka agak jarang terdengar dengan kata-kata yang kuat dan kasar. Namun dalam kehidupan berjemaat di seluruh GKPA, bahasa yang digunakan adalah beragam sesuai dengan situasi dan kondisi jemaat yang dilayani.

4.2. Budaya Angkola

Masyarakat Angkola maupun Mandailing merupakan komunitas yang berbudaya. Tiap-tiap kelompok dari masyarakat Angkola dan Mandailing, diatur oleh sistem sosial masing-masing. Hubungan nilai-nilai sosial dan norma-norma perilaku budaya masyarakat adat Angkola dan adat Mandailing senantiasa bisa menjaga keharmonisan. Namun, ada juga perbedaan yang mencolok antara adat budaya Mandailing dengan adat budaya Angkola yakni pada pakaian adatnya. Pakaian adat Mandailing didominasi warna merah, dengan ornamen yang ramai. Sedangkan pakaian adat Angkola lebih sederhana dan pengantin prianya didominasi warna hitam. Perbedaan lainnya adalah dalam hal alat-alat gondang dan penggunaanya. Di daerah Mandailing ada tambahan yang disebut dengan Gordang Sembilan.

4.3. Beberapa Prinsip Hidup Masyarakat Angkola-Mandailing 4.3.1. Memegang prinsip Dalihan Na Tolu18

Prinsip hidup Dalihan Na Tolu merupakan prinsip hidup yang sangat kuat dalam kehidupan orang Angkola. Dalihan na tolu sangat besar peranannya di dalam pengambilan keputusan, penataan adat, pemberlakuan hukuman, pembagian harta warisan, dan lain-lain. Hak dan kewajiban setiap unsur dalihan na tolu sangat menentukan warna demokrasi masyarakat Angkola. Pengaruh setiap unsur sangat besar, dihargai sebagai muara penggalangan kerukunan keluarga.

(27)

aktivitasnya. Oleh karena itu banyak makna filosofis yang terkadung di dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dimaksud. Menurut Ibrahim Gultom tatanan kekerabatan ini lahir dilatarbelakangi adanya krisis sosial kekerabatan pada generasi ketiga setelah Siraja Batak. Itu artinya bahwa konsep Dalihan Na Tolu terinspirasi dan lahir bertitik tolak dari semangat yang baik untuk menata komunitas orang Batak supaya terhindar dari peristiwa-peristiwa sosial buruk.19 Kehidupan sosial orang Batak secara umum berlangsung dengan baik, penuh kekerabatan, mempunyai norma-norma adat, memiliki tutur sapa persaudaraan (partuturon) di mana semua tata-cara hidup itu dirangkul dalam sebuah sistem yaitu dalihan na tolu. Sistem hidup ini sangat solid, berpengaruh dan mendominasi kehidupan masyarakat Batak. Ia bagaikan makhluk ajaib, mampu menjamin keharmonisan di antara masyarakat, oleh karena itu dapat disebutkan bahwa nilai sosial-budaya orang Batak termasuk salah satu pengikat kuat kerukunannya. Kekerabatan ini disebut sistem kekerabatan yang patrilineal.20

Dalam masyarakat Angkola kehidupan Dalihan na Tolu itu dilihat dari hubungan mora, kahanggi dan anak boru. Ketiga unsur ini memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak Angkola-Mandailing. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya. Dalam sistem kekerabatan dalihan na tolu, interaksi sosial antara mora dan anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi (penambah yang kurang dan mengambil yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang, menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora).21

Di samping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora. Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora). Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa manjuljulkon morana.

Kahanggi (saudara semarga) sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orangtua senantiasa memberi nasihat untuk manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga.

19 Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)., hl. 59. Peristiwa buruk

dimaksud khususnya perlakuan kawin incest yang sudah kerap terjadi dikalangan masyarakat Batak.

(28)

Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni:

1) Kahanggi: saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri mereka

2) Anak boru: saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki

3) Mora: saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka.

4.3.2. Memegang prinsip Sipirok na Soli Banua na Sonang

Daerah Angkola dikenal dengan sebuah kota kerukunan umat beragama khususnya di Sipirok. Sipirok dikenal sebagai Sipirok Na Soli Banua Na Sonang (Sipirok yang saleh dan daerah yang menyenangkan). Na soli artinya saleh, taat aturan adat, sentosa, sejahtera dan rukun. Banua artinya daerah atau tempat. Na sonang artinya menyenangkan.22 Dengan demikian Sipirok merupakan daerah atau tempat yang menyenangkan, aman dan sentosa karena terjamin kesejahteraan dan kerukunan hidup di antara sesama masyarakatnya. Sipirok Na Soli Banua Na Sonang dipahami dalam konteks hubungan antar masyarakat plural yang menyenangkan, membahagiakan karena ada kedamaian dan kerukunan sehingga kelangsungan hidupnya sungguh terjamin. Istilah tersebut sepertinya mampu mengispirasikan keadaan surga yang menyenangkan, membahagiakan masyarakatnya karena penuh kedamaian dan kerukunan.23 Penekanan inti di dalam julukan itu adalah sikap masyarakat Sipirok yang cinta kedamaian dan kerukunan.24

Dalam kehidupan bermasyarakat orang Angkola-Mandailing mengenal falsafah ”jujur mula ni bada, bulus mula ni dame” (merunut masalah awal perseteruan, ketulusan awal kedamaian). Falsafah ini mengajarkan agar setiap masalah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari tidak perlu diungkit-ungkit lagi tetapi masalah itu harus diselesaikan secara damai dan baik. Orang Angkola-Mandailing harus memiliki sikap yang tulus dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Jika ada kesalahan teman segera dimaafkan dan diperbaiki demi terciptanya keteduhan dan kedamaian. Dengan demikian orang Angkola-Mandailing lebih dikenal dengan keramahtamahannya dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup.

4.3.3. Memegang prinsip Kerukunan Umat Beragama25

Daerah Angkola-Mandailing khususnya Sipirok dikenal dengan kota kerukunan di Tanah Batak dan bahkan di Indonesia. Inilah salah satu menjadi kekuatan dan keunikan 22Sabam Parulian Marpaung, Gereja Kristen Protestan Angkola, Sejarah Ringkas Kekristenan Daerah

Sipirok-Angkola, (Sipirok: Panitia Pesta Penahbisan Gedung Gereja GKPASipirok, 1991)., hl. 40.

23Ibid., hl. 40.

24Lih. Adolv Bastian Marpaung, Jiwa Kerukunan Masyarakat Sipirok, (L-SAPA STT HKBP: Pematangsiantar,

2010), hl.25-26.

(29)

Angkola dari suku Batak lainnya, karena di daerah Angkola-Mandailing masyarakatnya lebih majemuk baik dari segi agama maupun penduduknya. Kerukunan masyarakat Angkola-Mandailing ini pada umumnya kelihatan pada saat pelaksanaan adat-istiadatnya. Susan Rodgers, menyebutkan bahwa pihak Islam cukup loyal terhadap adat yang beragama Kristen dan demikian sebaliknya. Dengan alasan ini beliau mengatakan bahwa Islam di Sipirok berbeda dengan Islam yang ada di daerah sekitarnya (tetangganya). Ide Susan itu mau membedakan sikap mental Islam di Sipirok jauh lebih toleran dan rukun jika dibandingkan dengan Islam di Minang Kabau, Melayu Deli atau Islam Aceh yang fanatik. Menurut beliau, hal yang cukup menarik adalah ketika kaum Kristen memberi wejangan dalam upacara adat adalah selalu bernafaskan alkitabiah demikian juga yang Muslim selalu bertitik tolak atas nilai ke Islaman dan selalu mengacu kepada satu kesatuan di antara sesama mereka. Islam-Kristen makin menyatu di dalam adat dan menjadikan hal tersebut menjadi kebanggaannya ketika mengundang kerabat lainnya untuk mengikuti sebuah pesta adat. Konsep dalihan natolunya cukup tinggi nilai toleransinya karena bukan berbasis kepada agama.26

Kerukunan itu terlihat ketika pelaksanaan adat Siriaon (Pesta Sukacita), seperti: Anak Tubu (Anak Lahir), Haroan Boru (Menyambut Mempelai Perempuan), Masuk Rumah Baru,dan Pesta Adat Siluluton (Adat dukacita), seperti: kematian, bencana alam, dll.

Kerukunan dan kedamaaian serta keteduhan masyarakat Angkola-Mandailing itu tercipta karena masyarakat Angkola-Mandailing sangat menjaga hubungan yang baik dengan umat beragama lainnya. Untuk menjaga keharmonisan ini, maka di setiap pesta orang Angkola-Mandailing makanan yang disuguhkan adalah makanan ayam, kambing, lembu, sapi dan kerbau. Dalam tradisi masyarakat Angkola-Mandailing tidak mengijinkan daging babi sebagai makanan adat.

Kerukunan itu juga terlihat dari kerjasama yang baik di antara sesama umat beragama. Umat Islam dan Kristen saling membantu dalam membangun rumah ibadahnya. Sikap seperti ini sudah lama dibangun di dalam kehidupan umat beragama.

4.3.4. Memegang prinsip kekerabatan darah27

Masyarakat Angkola-Mandailing memiliki falsafah hidup yang kuat dalam rangka menjaga hubungan kekerabatan. Filosopi itu dikenal dengan istilah “Alkot Aek, Alkotan do mudar” (sekalipun air pekat tetapi darah lebih pekat)28 Istilah ini maknanya merujuk kepada tradisi nenek moyang di Sipirok yang memiliki alur pikiran bahwa adat ada karena dilatarbelakangi oleh tutur sapa atas kekerabatan. Sementara ada pun tutur sapa atas kekerabatan di dalam konteks masyarakat Batak hal itu dilatar bekangi oleh ikatan darah. Oleh karena itu bicara tentang tutur sapa atas kekerabatan berarti sama dengan menelusuri 26 Susan Rodgers, “A Modern Batak Horja: Innovation In Sipirok Adat Cermoinial”, dalam http://

ethnomucicscape.de/Batak%20horja.pdf., hlm. 110. Diakses tgl. 19 Januari 2009.., hl. 115.

27Bnd. Adolv Bastian Marpaung, Jiwa …, hl.123-124.

28Parningotan Siregar Gelar Baginda Hasudungan Siregar, ”Alkot Aek Alkotan Do Mudar”, bahan makalah

(30)

ikatan darah. Dengan lebih sederhana kekerabatan orang Angkola-Mandailing adalah merujuk kepada ikatan darah. Dalam hidup sehari-hari yang berbicara bukan soal paham agama, sosial, emosional kesamaan ilmu teknologi, dan lain-lain, yang diutamakan adalah soal hubungan kekerabatan yang diikat oleh hubungan darah.

4.3.5. Memegang prinsip Poda na Lima (Lima Nasihat)

Masyarakat Angkola dikenal dengan prinsip Poda na Lima, yaitu: 1) Paias rohamu (bersihkan hatimu)

2) Paias pamatangmu (bersihkan badan/ragamu) 3) Paias bagasmu (bersihkan rumahmu)

4) Paias pakeanmu (bersihkan pakaianmu)

5) Paias pakaranganmu (bersihkan pekaranganmu)

4.3.6. Memegang prinsip Ojak di Bondul na Opat (Tungku yang empat)

Salah satu sifat yang amat menonjol pada orang Batak, adalah ikatan kekeluargaan. Jika 2 (dua) orang Batak bertemu, yang pertama sekali mereka lakukan adalah martutur (bukan saja berarti berkata-kata, tetapi khas berkata-kata tentang hubungan marga dan kekeluargaan). Begitu pentingnya martutur diungkapkan dalam peribahasa berikut: “Ditiptip sanggar baen huru-huruan, jolo ni sapai marga anso binoto partuturan” (Artinya, kita harus menanyakan marga seseorang yang berjumpa dengan kita agar kita tahu kekerabatan kita kepada yang bersangkutan).

Rasa kekeluargaan yang kental, sistem kekeluargaan dalihan na tolu, na ojak di bondul na opat (kahanggi, anak boru, mora dohot hatobangon harajaon ni huta), yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain. Sistem kekeluargaan jelas tidak dapat jalan tanpa sitem marga, sebaliknya sistem marga akan hilang maknanya kalau tidak diterapkan dan dikembangkan dalam sistem kekeluargaan.

4.3.7. Memegang prinsip Salumpat Saindege, Sabara Sabustak29 (Kebersamaan dalam suka maupun duka)

Orang Angkola-Mandailing memiliki rasa kebersamaan yang kuat baik dalam masa-masa suka maupun duka cita. Orang Angkola memiliki prinsip yang kuat untuk tetap setia kepada hal-hal yang sudah diputuskan bersama.

4.3.8. Memegang prinsip ulang loja mambaen na denggan, songon aek paihutihut rura

(Jangan lelah melakukan yang baik, seperti air mengalir di bentaran sungai)

Masyarakat Angkola-Mandailing dikenal dengan orang yang tidak jemu-jemu berbuat baik walau kebaikannya itu tidak dihargai oleh orang lain.

29Gambaran filosofi ini dilihat dari gerak langkah kaki kuda. Kaki belakang kuda akan menginjak jejak kaki

(31)

4.3.9. Memegang prinsip menghargai perempuan di dalam pelaksanaan adat

Dalam pelaksanaan adat-istiadat, posisi perempuan di dalam adat Angkola-Mandailing sangat dihormati. Kaum ibu selalu diberi ruang dan kesempatan yang pertama untuk menyampaikan kata-kata dan pemikirannya dalam hal pelaksanaan adat.

4.3.10. Memegang prinsip adaptif

Masyarakat Angkola-Mandailing sangat mudah beradaptasi di mana mereka hidup dan tinggal. Kemampuan beradaptasi ini menjadi kekuatan orang Angkola-Mandailing untuk bisa bertahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa orang Angkola-Mandailing adalah masyarakat nasionalis yang tangguh dalam menghadapi dinamika kehidupannya.

5. Dasar Teologis

5.1. Dasar Teologis GKPA dalam membangun Jemaat dan Menatap Masa Depan 5.1.1. Arti dan Dasar Panggilan Gereja

Untuk memahami arti dan panggilan gereja, lebih dulu harus memahami gereja itu sendiri. Kata gereja berasal dari kata igereja (bahasa Portugis) untuk menerjemahkan kata ecclesia (Yunani) yang ada dalam Alkitab. Kata ecclesia diawali dengan preposisi ec yang berarti ”keluar dari” dan kata caleo yang menjelaskan mengenai “dipanggil keluar dari komunitas tertentu”. Dalam Perjanjian Baru (PB) istilah ecclesia menjelaskan beberapa pengertian yang saling berkaitan, yakni:

a. Gereja yang dipanggil keluar (called out) dari kebiasaan atau dari hidup lama, cara hidup dan berpikir lama kepada hidup baru dalam Kristus.

b. Gereja dipanggil untuk Allah (called for), dipanggil keluar untuk kepentingan Allah.

c. Dipanggil untuk bersama-sama bersekutu (called together), mengabdi, beribadah kepada Allah.

d. Dipanggil kepada (called to) tanggung jawab untuk taat dalam tugas marturia atau penginjilan dan diakonia atau pelayanan sosial.

(32)

memiliki aspek ilahi. Artinya, keberadaan mereka merupakan akibat dan adanya karya Allah atau kehendak Allah.

Di samping aspek ilahi, gereja juga memiliki aspek manusiawi yang tampak dalam tanggapan atau jawaban manusia terhadap panggilan atau penyelamatan Allah. Orang-orang yang menanggapi karya Allah itu kemudian bersekutu, membentuk kehidupan bersama sebagai orang-orang yang sama-sama mengalami karya penyelamatan Allah.

GKPA sebagai gereja Allah di dunia dalam menjalani hidup dan karya-Nya tidak secara otomatis menjadi gereja yang benar-benar sesuai dengan kehendak Allah. Karena gereja sebagai komunitas hidup orang percaya tidak dapat melepaskan diri dari cacat manusiawi yang dimilikinya. Cacat manusiawi gereja itu dapat ditemukan dalam berbagai kekurangan dan keterbatasan gereja. Di samping itu, sebagai persekutuan orang beriman yang hidup di dunia ini, gereja tidak hanya berusaha untuk menggarami dan menerangi dunia, tetapi sebaliknya sering dipengaruhi oleh apa yang sedang terjadi di dunia. Pengaruh itu tidak seluruhnya positif bagi kehidupan orang beriman (Ef. 5:15-21). Itulah sebabnya Paulus mendorong gereja untuk terus-menerus membarui dirinya dengan berbagai upaya agar dalam situasi apapun, gereja berupaya menjadi gereja yang dikehendaki Allah (Ef. 4:1-16).

Gereja, termasuk GKPA membutuhkan transformasi Allah. Kita berpegang kepada motto ecclesia reformata semper reformanda (bahasa Latin: gereja reformasi harus terus menerus direformasi). Motto ini mendorong kita, dalam pembangunan jemaat untuk melepaskan diri dari kekacauan dan stagnasi, sekaligus mendorong kita untuk semakin berperan dalam aktualisasi missio Dei di dunia secara menyeluruh. Untuk mewujudkan pembaruan ini dapat diwujudkan melalui peningkatan penggembalaan, pembinaan warga jemaat, kaderisasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Melalui kegiatan ini diharapkan segenap warga gereja diperlengkapi dan dipersiapkan menjalani hidup kesehariannya sebagai orang beriman yang setia. Di samping itu, perbaikan-perbaikan juga dilakukan dengan merumuskan ulang identitas gereja dalam hubungannya dengan masyarakat di sekitarnya dan penataan organisasi gereja, dengan harapan agar menjadi gereja yang kehadirannya memberi pengaruh positif bagi dunia di mana gereja ditempatkan Allah. Tuntutan pembaruan gereja seperti itulah yang kemudian akan melahirkan apa yang disebut pembangunan jemaat. Harapannya jemaat semakin dimampukan membawa misi Allah di dunia ini.30

5.1.2. GKPA membawa misi Allah

(33)

Tuhan dan Juruselamat yang hidup. Sebagai satu-satunya Sinode Gereja yang berpusat di daerah Angkola-Mandailing, GKPA memiliki tugas membawa misi Allah ke daerah Angkola-Mandailing sekitarnya. Dasar misi GKPA ini digali dari kebenaran Alkitab baik dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). GKPA mengakui kebesaran perbuatan Allah untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir ke tanah Kanaan (Kel. 20:2, Ul. 6:20-23). Dengan keyakinan itu GKPA memiliki keyakinan bahwa GKPA mampu bertindak sebagai gereja pembebas di tengah-tengah pergulatan hidup di daerah Angkola-Mandailing.

Allah memakai umat-Nya dalam rangka mewujud nyatakan misi-Nya di tengah-tengah dunia ini. Misalnya, melalui bangsa Israel, Allah mau menyatakan misi-Nya (misio Dei) untuk menyelamatkan umat manusia dan seluruh alam semesta yang telah rusak sebagai akibat dosa (bd. Kej. 3:15). Misi Allah tetap harus dilanjutkan dan dilakukan. Tugas ini akan berakhir sampai langit dan bumi yang baru telah diturunkan Allah di dunia ini. Pada zaman nabi-nabi Misio Dei dihubungkan dengan pekerjaan Mesias dari keturunan Daud sebagai seorang hamba (Yes. 52 dan 53). Demikian bangsa Israel diharapkan sebagai penerus misi Allah dipanggil menjadi hamba Tuhan.Untuk melanjutkan pelaksanaan misi Allah, bangsa Israel bertemu dengan bangsa-bangsa lain yang sudah hidup dalam pemahaman filsafat-filsafat mereka. Bangsa Israel sudah memulai misi keluar dan melibatkan bangsa asing dalam menjalankan rencana Allah untuk membebaskan umat manusia.

Dalam PB misi Allah dimulai dalam diri Yesus. Dengan demikian teologi kepercayaan Israel mengalami peralihan ke dalam dunia non-Yahudi. Dalam Markus 1:1 “Permulaan Injil Yesus Kristus Anak Allah” dipandang sebagai dokumen awal dalam tradisi sinoptik. Dalam Markus 1:10, visi awal dilihat oleh Yesus adalah “Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya”. Visi ini diikuti suara yang menyatakan tentang identitas diri Yesus sebagai Anak Allah (Luk. 4:18-19). Kunci dari misi Yesus adalah Roh Tuhan yang memimpin dan memenangkan Yesus untuk memberitakan Injil. Pemberitaan Injil inilah yang menjadi maksud kedatangan Yesus. “… Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang …” (Mrk. 1:38). Injil Allah berisi tentang penggenapan kedatangan Kerajaan Allah yang diikuti oleh respons pertobatan dan iman oleh manusia yang mendengar dan menerima Injil tersebut.

(34)

hari Pentakosta, mereka teringat akan perintah Kristus untuk pergi memberitakan Injil dan menjadikan segala bangsa murid-Nya (Kis. 2:4; Mat. 28:18-20).

Seluruh gereja di dunia memiliki tanggungjawab yang sama dan terus berupaya untuk memfungsikan kehidupan keberagamaannya sebagai “pembebas” masyarakat dalam konteks masing-masing, sehingga kehadiran gereja dapat menjadi berkat dan menjadi gereja yang hidup serta mampu memberi jawaban terhadap segala persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di tempat dia bertumbuh. Gereja tidak boleh tutup mata dan telinga terhadap segala persoalan kehidupan yang dihadapi oleh warga jemaatnya. Hal ini sesuai dengan Amanat Agung yang diperintahkan Tuhan Yesus seperti yang tertulis dalam Matius 28:19-20, Markus 16:15-20, Kisah Para Rasul 1:8.

Dengan kata lain, kehadiran gereja untuk menjalankan tugas dan panggilan sebagai umat Allah dan Tubuh Kristus adalah menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah bagi kehidupan segala makhluk di atas muka bumi. Menjalankan tugas dan panggilan kudus ini tidak pernah selesai dan berkesudahan sebelum waktunya tiba, sampai hari kedatangan Allah yang kali kedua. Penentuan atas waktu tersebut tidak diketahui oleh siapapun, bahkan Yesus sendiri tidak mengetahuinya selain Bapa di surga (Mt. 23:14,36, 42, Mrk. 13:32-33). Oleh karena itu, tetaplah berjaga-jaga dan tekun mengerjakan tugas. Orang Kristen yang terhimpun dalam sebuah komunitas iman yang khas, di setiap waktu dan tempat perlu menjelaskan siapa mereka dan akan jadi apa mereka, dalam hubungan dengan Allah dan rencana Allah atas hidup mereka serta orang-orang di luar iman mereka tersebut. Dengan demikian, mereka dapat menemukan makna kehidupan mereka. Inilah yang menjadi dasar teologis misi gereja sepanjang masa, termasuk GKPA.

Salah satu misi gereja adalah penebusan. Tugas ini merupakan tugas utama gereja. Tugas ini hanya diamanatkan oleh Kristus kepada gereja dan tidak bisa dikerjakan oleh pihak manapun yang bukan gereja. Untuk menjalankan misi penebusan ini dilakukan dengan cara memberitakan Injil kepada semua orang. GKPA dalam pengakuan imannya mengaku sebagai gereja yang apostolis. Itu berarti bahwa GKPA adalah utusan Kristus di dalam dunia. Dengan demikian, sebagai utusan Kristus, GKPA harus berperan sebagai instrument (alat) Kristus untuk menyaksikan Kristus, dan menyampaikan Kabar Baik kepada semua orang. GKPA terpanggil untuk berperan aktif sebagai utusan Kristus menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. GKPA menjadi mitra Allah mewujudkan damai sejahtera di dunia ini. Dengan demikian, GKPA menjadi gereja yang sejalan dengan cita-cita panjaeon (kemandirian) GKPA.

Untuk menjangkau para jiwa-jiwa khususnya orang-orang Angkola-Mandailing yang berada di perantauan dan orang-orang yang belum mengenal Yesus di daerah terpencil, maka GKPA seharusnya terus berupaya mendidik dan melatih tenaga-tenaga penginjil dan pendeta.

5.2. Ajaran Iman GKPA

(35)

Lutheran. Bahkan masih ada jemaat GKPA yang menganut Mennonite. GKPA mengakui Pengakuan Iman Rasuli (PIR), Pengakuan Iman Nicea, dan Pengakuan Iman Athanasianum.

5.2.1. Pemahaman tentang Allah

GKPA memahami dan meyakini bahwa Allah itu Esa yang tidak berawal dan tidak berakhir. Allah yang Mahakuasa, yang tidak berubah, Maha adil, dan Mahakasih. GKPA mempercayai bahwa Allah adalah pencipta, yang memelihara, melindungi umat-Nya dan alam semesta. Dia yang menjadi manusia, yang mati dan dikuburkan, bangkit dan naik ke surga untuk menyediakan tempat bagi kita umat manusia.

5.2.2. Pemahaman tentang Sakramen

Sakramen merupakan tugas suruhan langsung dari Allah. Sakramen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah orang percaya. Melalui sakramen kita mengerti dan merasakan anugerah Allah dalam Yesus Kristus (Mat. 28:19; 1Kor. 11:23-28).

Sakramen adalah suatu ritus atau upacara keagamaan yang dilembagakan dan diakui oleh Yesus Kristus. Ada dua sakramen, yaitu baptisan kudus dan perjamuan kudus. Sakramen (baptisan dan perjamuan kudus) mendapat kedudukan yang utama di dalam peribadahan gereja mula-mula (Kis. 2:41-42; 10:47; 20:7,11). Melalui sakramen dapat dimaknai bahwa Yesus Kristus membawa umat-Nya ke dalam persekutuan atau ajaran-Nya (Mrk. 10:38-39) dan di dalam pikiran gereja, sakramen adalah sebagai sesuatu yang bermakna spiritual (1Kor. 10:1-5).

Baptisan dan perjamuan kudus merupakan anugerah yang kelihatan akan Firman yang diberitakan di dalam kerygma. Dengan dan melalui baptisan, warga jemaat disadarkan bahwa seseorang yang telah dibaptis akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh Kristus. Menurut PB, berita keselamatan yang disampaikan kepada orang percaya pada dasarnya melalui pemberitaan Firman, baptisan dan perjamuan kudus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Firman dan sakramen memiliki hubungan yang sangat erat.

Baptisan merupakan sakramen model Perjanjian Baru yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dengan baptisan seseorang bukan hanya diterima sebagai anggota gereja (pengesahan resmi menjadi pengikut Kristus), melainkan dia juga menjadi satu dengan Kristus (Gal. 3:27; Rm. 3:27), dan pelepasan dari dosa (Mrk. 1:4; Kis. 22:16). Baptisan yang dilaksanan GKPA adalah baptisan anak dan baptisan dewasa yang dilakukan dengan cara percik.

5.2.3. Pemahaman tentang Manusia

Gambar

Grafik 1. Pertumbuhan GKPATahun 1975-2015
Tabel 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja Gereja Kristen Protestan Angkola 40
Grafik 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja Gereja Kristen Protestan Angkola

Referensi

Dokumen terkait

Dalam ulasannya, pendeta yang adalah mantan sekretaris sinode Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) menegaskan bahwa Pancasila tetapkan sebagai dasar di mana kehidupan

Akhirnya, atas nama seluruh anggota Direksi Perseroan, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pemangku kepentingan, mitra bisnis, Dewan Komisaris yang telah dengan

c. Dosen dan mahasiswa PS terlibat dalam pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat yang bermutu dan terencana dengan berorientasi pada kebutuhan pemangku kepentingan. PS

Kami bekerjasama dengan pelanggan dan pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa perekonomian yang kami dukung memberikan dampak yang baik untuk manusia dan lingkungan..

Dalam ulasannya, pendeta yang adalah mantan sekretaris sinode Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) menegaskan bahwa Pancasila tetapkan sebagai dasar di mana kehidupan

Dalam ulasannya, pendeta yang adalah mantan sekretaris sinode Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) menegaskan bahwa Pancasila tetapkan sebagai dasar di mana kehidupan

Dalam ulasannya, pendeta yang adalah mantan sekretaris sinode Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) menegaskan bahwa Pancasila tetapkan sebagai dasar di mana kehidupan

Renstra mendapat persetujuan rapat senat 1.3.2 VISI DAN MISI PERGURUAN TINGGI DIJADIKAN PEDOMAN, PANDUAN, DAN RAMBU-RAMBU BAGI SEMUA PEMANGKU KEPENTINGAN INTERNAL SERTA DIJADIKAN