BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Siwak
Kayu siwak atau dikenali sebagai Miswak yang berasal dari kelompok
Salvadoracea yang tumbuh di daerah yang berbeda di dunia termasuk Timur Tengah
dan Afrika. Siwak merupakan salah satu tanaman obat yang paling umum digunakan untuk kebersihan mulut di antara komunitas Muslim.6 Siwak dikenal dengan sejumlah
nama-nama umum seperti : miswak, arak, pohon sikat gigi, pohon mustard.16
Sekarang siwak sedang banyak digunakan di berbagai belahan dunia. Di Timur Tengah, Asia dan masyarakat Afrika Amerika, metode tradisional pembersihan gigi masih digunakan karena biaya rendah, terjangkau, tersedia, penggunaan dalam ritual dan tujuan agama. Mengingat pentingnya sejarah, budaya dan agama dari siwak (Salvadora persica) sebagai alat kebersihan dan pemeliharaan rongga mulut, review
saat ini adalah pembaharuan perkembangan terakhir dalam penelitian siwak. Terutama ditekankan pada komposisi kimia, bagaimana dan kapan harus menggunakan siwak untuk membersihkan gigi dan mulut secara efektif.17
2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Siwak Klasifikasi dari tanaman siwak adalah :18
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliphytax
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Brassicales
Famili : Salvadoraceae
Genus : Salvadora
Menurut El-Desoukey (2015), Siwak (Salvadora persica) adalah sebuah pohon
kecil atau semak belukar dengan batang yang tidak lurus, yang biasanya berada satu kaki dari diameter akarnya yang bentuknya seperti spons dan mudah hancur diantara gigi.18 Siwak juga merupakan tumbuhan halofit yang selalu berdaun hijau dan dapat
tumbuh pada kondisi yang ekstrim, mulai dari lingkungan yang sangat kering sampai dengan lingkungan yang berkadar garam tanah yang sangat tinggi (Gambar 1).16
Gambar 1. Bagian batang, buah dan daun dari siwak (Sal-
vadora persica)16
Menurut Sher et al. (2010), pohon arak ini memiliki tinggi hingga 7 m, batang
utama diselimuti oleh cabang-cabang yang sangat lebat. Pertumbuhan tanaman ini menuju ke segala arah, sampai cabang-cabangnya menyentuh tanah.16 Jika kulitnya
dikelupas berwarna agak keputihan dan memiliki banyak juntaian serat. Akarnya berwarna cokelat dan bagian dalamnya berwarna putih (Gambar 2). Aromanya seperti seledri dan rasanya agak pedas.20 Daunnya berbentuk oblongelliptik (seperti telur)
cm. Buah berbentuk bola, berdaging, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna merah muda sampai ungu dan semi transparan ketika sudah matang (Gambar 1).16
Gambar 2. Kayu siwak 21
Salvadora persica ditemukan tumbuh di lembah, gurun pasir dan di gundukan
rayap. Salvadora persica dapat bertahan pada lingkungan yang sangat kering (curah
hujan kurang dari 200 mm) dan sangat tahan terhadap garam sehingga dapat juga ditemukan di wilayah pesisir pantai. Jangkauan ketinggian daerah pertumbuhan bervariasi mulai dari 0-1800 meter di atas permukaan laut. Dan juga Salvadora persica dapat tumbuh di tanah liat, tanah hitam dan pasir.16
2.1.2. Kandungan Kimia dan Aktifitas Antifungal Siwak
Efek menguntungkan dari siwak dalam hal pemeliharaan kebersihan mulut dan kesehatan gigi, dapat dikaitkan dengan metode mekanik dari menyikat dan komponen farmakologinya. Analisis kimia menunjukkan bahwa siwak mengandung banyak konstituen alami yang dikenal untuk manfaat kesehatan mulut.17 Bahan kimia yang
terkandung di Salvadora persica adalah sebagai berikut:5,17,21-23
Natrium klorida, kalsium oksalat, silica, fluoride, vitamin C, tannin, sitosterol yang berfungsi untuk remineralisasi struktur gigi, sebagai bahan abrasif untuk menghilangkan noda gigi, memproduksi saliva dan juga menguatkan pembuluh darah pada gingival serta mencegah inflamasi pada gingiva
Minyak esensial yang memiliki aroma yang khas untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan juga berperan dalam merangsang saliva.
Peran siwak dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans dapat dilihat dari
kandungan yang dimiliki siwak. Kandungan tanin telah dibuktikan dapat membentuk kompleks senyawa yang irreversible dengan prolin (suatu protein lengkap), yang mana ikatan
ini mempunyai efek penghambatan sintesis protein untuk pembentukan dinding sel. Akibatnya Candida albicans mengalami kerusakan dinding sel dan menyebabkan senyawa
antifungal dapat masuk ke dalam tubuh Candida albicans dan merusak komponen yang
terdapat di dalamnya.24
Selain itu flavonoid dan alkaloid yang terkandung dalam kayu siwak juga menunjukkan aktivitas antifungal yang baik. Mekanisme kerja flavonoid adalah menghancurkan membran dinding sel jamur, membentuk kompleks dengan reseptor yang ada di ekstrasel dan membentuk kompleks dengan protein terlarut. Sedangkan alkaloid memiliki kemampuan interkalasi dengan DNA jamur. Interkalasi adalah proses pemasukan reversible satu molekul
atau lebih ke dalam dua molekul atau lebih lainnya. Senyawa ini dengan mudah memasuki membran inti sel dan mengganggu sintesis asam nukleat Candida albicans dengan
menginterupsi sintesis DNA. Gangguan pada pembentukan partikel protein dapat mencegah proses sintesis protein di dalam inti sel sehingga menyebabkan kematian pada sel Candida
albicans.25
Beberapa penelitian seperti penelitian Al-Bayati dan Sulaiman (2008) di Irak, mengemukakan bahwa ekstrak kayu siwak dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme di rongga mulut diantaranya adalah Candida albicans.1 Penelitian
Runyoro et al. (2006) di Tanzania juga mengemukakan bahwa ekstrak kayu siwak
memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan Candida albicans.7
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman khas
Indonesia yang telah tersohor manfaat dan khasiatnya sejak dahulu kala. Temulawak sebagaimana nama padanannya, Curcuma javanica, dipercaya sebagai tumbuhan asli
Indonesia, yang kemudian menyebar ke beberapa negara seperti Malaysia, Cina bagian selatan, Thailand, Birma, India dan Filipina.26
Temulawak sering digunakan dalam pengobatan tradisional. Di berbagai daerah di Indonesia, rimpang temulawak merupakan salah satu bahan ramuan obat tradisional yang penting. Terdapat lebih dari 50 resep yang menggunakan temulawak untuk pengobatan berbagai penyakit, antara lain penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan, seperti diare, disentri, cacingan, kurang nafsu makan, gangguan hati, sakit kuning, pengobatan sakit ginjal, kencing batu, empedu, pengobatan rematik, kejang-kejang dan pegal linu.27
Penelitian modern yang dilakukan oleh berbagai peneliti di luar negeri menemukan bahwa temulawak memiliki efek seperti antihepatotoksik, antioksidan, antitumor, anti-inflamasi, dll. Selain itu, beberapa uji klinis produk kebersihan rongga mulut yang mengandung ekstrak temulawak telah ditetapkan dan dipublikasikan. Kesimpulan dari beberapa uji klinis tersebut menunjukkan bahwa temulawak dengan aktivitas antimikroba yang sangat selektif tampaknya akan menjadi bahan alami yang menggantikan bahan-bahan kimia, dan produk kebersihan rongga mulut yang mengandung temulawak akan menjadi paradigma baru yang memberikan manfaat alami bagi konsumen.28
2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Temulawak Klasifikasi ilmiah dari tanaman temulawak adalah :28
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Tumbuhan temulawak dapat hidup pada ketinggian 1200 m di atas permukaan laut, dan pada berbagai jenis tanah, tetapi untuk menghasilkan rimpang yang berkualitas baik diperlukan tanah subur yang mengandung banyak unsur hara.29
Temulawak merupakan tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Tanaman ini memiliki batang semu yang berwarna hijau dan cokelat gelap. Batang-batang tersebut tersusun atas upih-upih daun layaknya pohon pisang dan tumbuh tegak lurus. Tingginya dapat mencapai 1-2 m. Masing-masing rumpun terdiri dari beberapa tanaman (anakan) dan memiliki 2-9 helai daun pada setiap anakan.
Bentuk daunnya lonjong memanjang dan agak lebar. Panjangnya dapat mencapai 50-55 cm sedangkan lebarnya dapat mencapai 18 cm. Helai daun dan seluruh ibu tulang daun memiliki garis hitam. Masing-masing helai daun melekat pada tangkai daun dengan posisi yang saling menutupi secara beraturan. Telapak daunnya berwarna hijau tua, memiliki garis-garis cokelat dengan lebar antara 1-2,5 cm, dan memiliki bintik-bintik hijau muda yang terlihat jernih. (Gambar 3).30
Gambar 3. Tanaman Temulawak31
(A) Pohon Temulawak (B) Bunga Temulawak (C) Rimpang Temulawak
Karena tergolong sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar tunggang. Akar yang dimilikinya adalah akar rimpang. Sebenarnya, akar rimpang adalah bagian batang tanaman yang berada di dalam tanah. Rimpang temulawak terbentuk di dalam tanah pada kedalaman sekitar 16 cm. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Akar ini disebut juga sebagai umbi batang, umbi akar atau akar tinggal. Di antara genus Curcuma,
temulawak memiliki ukuran rimpang yang paling besar.30
Rimpang temulawak terdiri dari dua bagian, yaitu rimpang induk dan rimpang anakan. Bentuk rimpang induk bulat seperti telur. Bagian luar berwarna kuning tua atau coklat-kemerahan dan sebelah dalamnya kuning. Rimpang induk dapat memiliki 3-4 buah rimpang. Umumnya, masing-masing rumpun memiliki 6 buah rimpang tua dan 5 buah rimpang muda (Gambar 5). Pertumbuhan rimpang-rimpang muda tersebut mengarah ke samping dengan bentuk yang bermacam-macam.30
2.2.2 Kandungan Kimia dan Aktifitas Antifungal Temulawak
Temulawak telah lama diketahui mengandung senyawa kimia yang mempunyai keaktifan fisiologi, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid terdiri atas
senyawa berwarna kuning kurkumin dan turunannya. Selain itu, temulawak juga diketahui memiliki beragam kandungan fitokimia. Fitokimia biasanya digunakan untuk merujuk pada senyawa yang memiliki efek yang baik bagi kesehatan atau dapat digunakan untuk mencegah suatu penyakit. Kandungan-kandungan fitokimia pada temulawak adalah alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin, dan triterpenoid.30
Berdasarkan analisis rnutu rimpang temulawak secara kwantitatif diperoleh kadar air 13,98% kadar minyak atsiri 3,81% kadar pati 41,45% kadar serat 12,62% kadar abu 4,62% kadar abu tak larut asam 0,56% sari air 10,96% sari alkohol 9,48% dan kadar kurkumin 2,29%. Sedangkan berdasarkan Analisis secara kwalitatif dengan pengujian skrining fitokimia diperoleh bahwa didalam rimpang temulawak terdapat alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin, triterpennoid dan glikosida. Dari hasil pengujian skrining fitokimia terlihat dalam rimpang temulawak kandungan alkaloid, flavonoid, fenolik,triterpennoid dan glikosida lebih dominan dibanding tanin, saponin dan steroid.32
Dari kandungan-kandungan tersebut, pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri adalah komponen yang paling banyak manfaatnya. Sementara itu, pati merupakan kandungan kimia terbanyak pada rimpang temulawak.30 Kandungan minyak atsiri
pada temulawak tergolong cukup tinggi. Umumnya, minyak atsiri dari rimpang temulawak mengandung xanthorrhizol, germakren, alloaromadendren, tricyclin, dan isofurogermakren.33 Xanthorrhizol merupakan komponen yang paling aktif dan
diketahui dapat membunuh dan menghambat Candida albicans.34
dengan memicu denaturasi protein sehingga dapat meningkatkan permeabilitas sel sehingga dinding sel mengerut dan mati.10,11
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan aktifitas antifungal temulawak. Rukayadi et al. telah melakukan penelitian aktivitas antijamur secara in vitro dari xanthorrhizol yang merupakan senyawa yang terdapat di dalam minyak
atsiri. Hasilnya menunjukkan bahwa xanthorrhizol memiliki kemampuan untuk
menghambat Candida spesies, salah satunya adalah Candida albicans.9
Selain itu, penelitian Adila dkk melakukan uji antimikroba Curcuma spesies
terhadap pertumbuhan Candida albicans, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa Curcuma xanthorrhiza Roxb.
(temulawak) memiliki daya hambat yang kuat terhadap Candida albicans.11
2.3 Candidaalbicans
Candida albicans (Gambar 7) merupakan ragi oportunistik dan dapat menjadi
patogen ketika pertahanan host memburuk. Candida albicans dapat ditemukan pada
rongga mulut, usus, dan alat kelamin tetapi sebagai komensal (normal).12,13 Saat ini,
Candida albicans diperkirakan menjadi jamur patogen utama pada manusia. Candida albicans bahkan dapat masuk ke dalam aliran darah dengan penerobosan langsung
dari epitel yang telah mengalami kerusakan jaringan, atau dengan penyebaran dari biofilm yang terbentuk pada perangkat-perangkat kesehatan seperti kateter, implant gigi, endoprosthesis (sendi buatan), ataupun pusat sistem saraf.35
2.3.1 Klasifikasi dan Morfologi Candida albicans
Klasifikasi ilmiah dari Candida albicans adalah :36
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Subfilum : Ascomycotina
Kelas : Ascomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
Tidak seperti spesies Candida yang lain, Candida albicans ditemukan memiliki
tiga bentuk, yaitu sebagai ragi, hifa, atau pseudohifa sebagai bentuk intermediat.37
Beberapa ahli mengelompokkan hifa dan pseudohifa sebagai satu kelompok, sehingga Candida albicans sering disebut sebagai jamur dimorfik. Sel jamur Candida albicans adalah uniseluler dengan bentuk bulat atau lonjong, dan biasanya
membentuk koloni berwarna putih dengan permukaan yang halus. Reproduksi sel jamur dilakukan dengan cara membelah diri secara mitosis atau budding, dimana dari
satu sel induk membelah diri menjadi dua sel anak. Selain itu, Candida albicans juga
memiliki kemampuan untuk membentuk spora seperti blastospora dan klamidospora.36
Dinding sel Candida albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga sebagai
target dari beberapa antimikotik. Dinding sel berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik. Fungsi utama dinding sel tersebut adalah memberi bentuk pada sel dan melindungi sel ragi dari lingkungannya. Candida albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks, tebalnya 100-400 nm.
Menurut Segal & Bavin (1994) dinding sel Candida albicans terdiri dari lima lapisan
yang berbeda (Gambar 8).38
Gambar 4. Candida albicans 37
Komposisi primer terdiri dari glukan, manan, dan khitin. Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30% dari berat kering dinding sel, β-1,3-D-glukan dan β-1,6-D-glukan sekitar 47-60%, khitin sekitar 0,6-9%, protein 6-25% dan lipid 1-7%.
Candida albicans dapat tumbuh dalam perbenihan pada suhu 28oC - 37oC. Candida albicans membutuhkan senyawa organik sebagai sumber karbon dan sumber energi
untuk pertumbuhan dan proses metabolismenya. Unsur karbon ini dapat diperoleh dari karbohidrat.38
Gambar 5. Dinding sel Candida albicans38
2.3.2 Patogenesis Candida albicans
Tahap pertama dalam proses infeksi Candida albicans ke tubuh hewan atau
merupakan tahap penting dalam kolonisasi dan penyerangan (invasi) ke sel inang. Bagian pertama dari Candida albicans yang berinteraksi dengan sel inang adalah
dinding sel.39 Manan dan manoprotein merupakan molekul-molekul Candida
albicans yang mempunyai aktifitas adhesif. Khitin, komponen kecil yang terdapat
dalam dinding sel juga berperan dalam aktifitas adhesif.38
Perlekatan lapisan dinding sel dengan sel inang terjadi karena mekanisme kombinasi spesifik (interaksi antara ligand dan reseptor) dan non spesifik (kutub elektrostatik dan ikatan van der walls) yang kemudian menyebabkan serangan
Candida albicans ke berbagai permukaan jaringan. Perlekatan dan kontak fisik
antara Candida albicans dan sel inang selanjutnya mengaktivasi mitogen activated protein kinase (Map-kinase). Protein kinase tersebut merupakan bagian dari jalur
integritas yang diaktivasi oleh stress pada dinding sel (tempat Candida albicans dan
sel host melakukan kontak). Map-kinase juga diperlukan untuk pembentukan hifa
invasive dan perkembangan biofilm pada tahap selanjutnya.39
Tahap setelah perlekatan adalah invasi. Penelitian tentang invasi Candida albicans dilakukan pada kultur jaringan epitel mulut manusia (reconstuted human oral epithelium ; rhoe) untuk mengetahui penampilan ultrastruktur oral candidiasis.
Tempat aktivitas Candida albicans selama invasi diperiksa dengan menggunakan
metode sitokimia. Hasil menunjukkan bahwa selama 48 jam Candida albicans
menginvasi rhoe dan pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya ciri patologis akibat invasi. Hifa Candida albicans melakukan penerobosan ke dalam permukaan
epithelium terutama pada cell junction.39
Kemampuan suatu mikroorganisme untuk mempengaruhi lingkungannya diantaranya tergantung pada kemampuannya untuk membentuk suatu komunitas.
Candida albicans membentuk komunitasnya dengan membentuk ikatan koloni yang
menghindar dari system kekebalan sel. Berkembangnya biofilm biasanya seiring bertambahnya infeksi klinis sehingga biofilm menjadi salah satu faktor virulensi.39
2.4 Uji Antifungal dengan Pengukuran Zona Hambat
Uji antifungal dengan mengukur zona hambat adalah dengan menggunakan metode difusi disk (Kirby-Bauer). Prinsip metode ini adalah menentukan keampuhan agen antimikroba dengan mengukur diameter zona yang dihasilkan dari kekuatan antimikroba menghambat bahkan membunuh mikroba uji. Zona hambat yang terbentuk adalah daerah bebas koloni (zona bening) yang diukur dengan menggunakan kaliper dengan menghitung diameter vertikal dan diameter horizontal.
Kriteria kekuatan antimikroba menurut David dan Stout, adalah sebagai berikut:33
1. Diameter zona hambat 10-20 mm : Antimikroba kuat 2. Diameter zona hambat 5-10 mm : Antimikroba sedang 3. Diameter zona hambat <5 mm : Antimikrobia lemah
2.5 Landasan Teori
Selama beberapa tahun ini, tanaman obat telah digunakan di negara-negara berkembang sebagai pengobatan alternatif untuk masalah kesehatan. Banyak ekstrak tumbuhan dan minyak esensial diisolasi dari tanaman telah ditunjukkan untuk mengerahkan aktivitas biologis, yang mengembangkan peluang penelitian baru dan karakterisasi aktivitas antifungal dari tanaman karena tanaman menghasilkan berbagai senyawa yang memiliki sifat sebagai antimikrobial.
Peran siwak dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans dapat dilihat
dari kandungan yang dimiliki siwak. Kandungan tanin telah dibuktikan dapat membentuk kompleks senyawa yang irreversible dengan prolin (suatu protein
lengkap), yang mana ikatan ini mempunyai efek penghambatan sintesis protein untuk pembentukan dinding sel. Akibatnya Candida albicans mengalami kerusakan dinding
alkaloid yang terkandung dalam kayu siwak juga menunjukkan aktivitas antifungal yang baik. Mekanisme kerja flavonoid adalah menghancurkan membran dinding sel jamur, membentuk kompleks dengan reseptor yang ada di ekstrasel dan membentuk kompleks dengan protein terlarut. Sedangkan alkaloid memiliki kemampuan interkalasi dengan DNA jamur.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman
rempah kekayaan bumi Indonesia yang telah tersohor manfaat dan khasiatnya sejak dahulu kala dan banyak sekali digunakan dalam pengobatan tradisional. Temulawak telah lama diketahui mengandung senyawa kimia yang mempunyai keaktifan fisiologi, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Selain itu, rimpang temulawak juga mengandung beragam senyawa kimia lain, seperti glukosa, kalium oksalat, protein, mineral, serat dan pati. Kandungan minyak atsiri pada temulawak tergolong cukup tinggi. Xanthorrhizol yang merupakan salah satu senyawa yang terdapat dalam
minyak atsiri diketahui dapat menghambat Candida albicans. Senyawa ini dapat
memicu denaturasi protein pada dinding sel Candida yang berfungsi sebagai
pengeluaran protein, sehingga dinding sel akan mengerut dan mati. Flavonoid dan alkaloid merupakan salah satu senyawa dari ekstrak temulawak yang memiliki aktivitas biologis yang luas termasuk sebagai antivirus dan antimikroba. Mekanisme kerja dari flavonoid dan alkaloid adalah dengan cara membunuh jamur dengan memicu denaturasi protein sehingga dapat meningkatkan permeabilitas sel sehingga dinding sel mengerut dan mati.
Candida albicans merupakan ragi oportunistik dan dapat menjadi patogen
ketika pertahanan host memburuk. Candida albicans dapat ditemukan pada rongga
mulut, usus, dan alat kelamin tetapi sebagai komensal (normal). Saat ini, Candida albicans diperkirakan menjadi jamur patogen utama pada manusia. Candida albicans
bahkan dapat masuk ke dalam aliran darah dengan penerobosan langsung dari epitel yang telah mengalami kerusakan jaringan, atau dengan penyebaran dari biofilm yang terbentuk pada perangkat-perangkat kesehatan seperti kateter, implant gigi,
2.7 Kerangka Konsep
50% 25% 12,5% 6,25% 50% 25% 12,5% 6,25% Ekstrak Kayu Siwak Ekstrak Temulawak
Kayu Siwak Temulawak
Biakan Jamur Candida albicans
(ATCC®10231™)