• Tidak ada hasil yang ditemukan

this file 353 618 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "this file 353 618 1 SM"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

( Analisa pemikiran al-Ghazali )

Oleh : Dra.Tuti Munfaridah, M.S.I A. Pendahuluan

Konsep kepemimpinan dalam Islam memiliki dasar-dasar yang sangat kuat

dan kokoh yang bukan saja dibangun dari nilai-nilai ajaran Islam, namun telah

dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para

Shahabat dan al-Khulafa' al-Rosyidin. Bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah, Berkembang dinamis karena dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik dan budaya.

Ketika di Madinah Nabi Muhammad SAW mempunyai peran ganda, sebagai

kepala pemerintahan sekaligus sebagai hakim yang merupakan manifestasi

beliau sebagai Rasul utusan Allah SWT. Syari’at Islam menjadi dasar tata

pemerintahan pada waktu itu, yang selanjutnya sistem khilafah Islam dipegang oleh seorang Khālifah, termasuk di dalamnya yang dikenal sebagai Khulafa al-Rasyidin. Masa khilafah Islam ini berakhir bersamaan dengan runtuhnya system

kekhalifahan yang dihapus oleh Majelis Nasional Turki (1924 M) yang pada

waktu itu dipegang oleh Kemal at-Taturk.1 Sebelumnya dia juga telah sistem

Kesultanan Turki (1922 M). Hal ini ternyata menimbulkan dampak yang begitu

besar pada sistem pemerintahan negara yang secara struktural dan konstitusional

berubah secara radikal. Puncaknya adalah pernyataan Konstitusi Negara bahwa

1

Faisal Ismail, Islam Idealitas Ilahiyyah dan Realitas Insaniyyah, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana Group, 1999), hlm. 157.

(2)

Republik Turki adalah Negara Sekuler.2Sekularisasi Turki yang ditandai dengan

jatuhnya Imperium Abāssiyah pada awal abad ke-20, ternyata memberikan

wacana baru dalam khasanah pemikiran Islam Kontemporer.3 Setidaknya hal

inilah yang melatarbelakangi perdebatan kontroversial seputar relasi Islam dan

negara sampai saat ini. Salah satu persoalan yang cukup serius seputar relasi Islam

dan Negara adalah mengenai kepemimpinan dalam konteks kehidupan bernegara.

Kepemimpinan sebenarnya merupakan keharusan perwujudannya dan

memiliki aturan-aturan yang khasanah. Namun dalam fakta sejarah tidak sedikit pemimpin yang menghalalkan segala cara dalam meraih kursi kepemimpinannya.

Dunia politik penuh dengan intrik-intrik kotor guna memperoleh dan

mempertahankan kekuasaan. Bertemunya berbagai kepentingan antar golongan,

kelompok dan parpol dalam kalangan elit politik adalah sebuah keniscayaan akan

terjadinya konflik bila tidak adanya kesefahaman bersama, dan tidak jarang

berujung pada penyelesaian dengan jalan kekerasan. Rambu-rambu moral

memang sering disebut-sebut sebagai acuan dalam berpolitik secara manusiawi

dan beradab. Tetapi hal itu hanya menjadi bagian dari retorika politik.

Berbicara moralitas politik saat ini seolah berteriak di padang pasir yang

tandus dan kering. Sedangkan realitas politik hanya merupakan pertarungan

kekuatan dan kepentingan saja. Melalui kecenderungan umum dari tujuan politik

yang dibangun bukan dari yang ideal dan tidak tunduk kepada apa yang

2

Ibid., hlm.123-124

(3)

seharusnya, tetapi menghalalkan segala cara.4 Oleh karena itu, diperlukan telaah

mendalam dan bertanggung jawab tentang etika politik.

Etika politik sebenarnya lebih mempertanyakan tanggung jawab dan

kewajiban manusia dalam norma-norma moral yang berlaku, serta dalam

hubungan kemasyarakatan secara keseluruhan.5 Etika politik didalamnya

mengandung dua dimensi politis manusia yakni; pertama, hukum sebagai lembaga normative penataan masyarakat dan kedua, kekuasaan politis atau negara

sebagai lembaga penataan masyarakat efektif, dalam arti mengambil tindakan.6

Berkaitan dengan studi politik, kita tidak bisa memisahkan kriteria

pemegang kontrol politik tertinggi dalam hal ini, kita meletakkan control politik

tertinggi di bawah kontrol moral dengan meletakkannya sebagai subyek pada

perangkat yang berkaitan dengan sumber-sumber, pembatasanpembatasan,

tujuan-tujuan, dan berbagai penyelesaian.

Dalam sistem politik, proses utama adalah suatu upaya mengubah

tuntutan-tuntutan, yang mewakili kepentingan, tujuan, dan keinginan

individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi keputusan,

kemudian dipaksakan dan diterapkan melalui struktur-struktur pemerintahan.

Untuk itu, politik tidak hanya membahas mengenai hakekat, fungsi dan tujuan

4

Franz Magnis Suseno, Mencari Makna Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 181-183.

5

Ibid. 6

Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 23.

(4)

dari sebuah negara sebagaimana diketahui bersama 7, melainkan menjadi solusi

bagi kompleksnya persoalan-persoalan manusia dengan lingkungan sosialnya.

Meskipun, filsafat politik dalam tradisi klasik selalu bermuara pada persoalan

etika, dalam hal ini, kita melihat bagaimana filsafat politik mengajukan

pertanyaan kepada manusia tentang permasalahan moral dan segala usaha

manusia dalam memahami dan memaknai kehidupan sosialnya dengan segala

daya upayanya.8

Al-Ghazali adalah salah satu ulama/pemikir abad pertengahan yang

memiliki perhatian dalam permasalahan politik atau kekuasaan. Pemikiran

Al-Ghazali telah banyak mewarnai perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam

mau pun Barat dalam masalah politik atau kekuasaan. Ini dapat dilihat dari sekian

banyaknya pemikir Muslim pada generasi sesudahnya yang terinspirasi

pemikirannya.

Beberapa karyanya yang menjadi rujukan teori tentang politiknya adalah

kitab Ihya Ulum al-Din, al-Iqtibad wa al-I’tiqad dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk. Al-Ghazali menjelaskan teori politiknya dalam beberapa kitab tersebut tidak sepenuhnya membahas tentang politik kenegaraan, melainkan juga

membahas masalah Teologi, tasawuf, fiqih, etika dan interaksi sosial.

Dalam hal etika politik, Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia itu

mahluk sosial. Untuk itu, ia tidak dapat hidup sendirian. Lebih jauh ia melihat ada

dua faktor yang menyebabkan kenapa manusia itu menjadi makhluk sosial;

7Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 75.

(5)

pertama, kebutuhan akan keturunan demi keberlangsungan hidup umat manusia. Dan hal ini bisa di lakukan melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan dan

keluarga. Kedua, saling membantu dalam menyediakan makanan, pakaian dan pendidikan anak (diperlukan kerja sama dan saling membantu antar manusia).9

Kerjasama dan saling membantu menjadi suatu keharusan dalam hidup

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Al-Ghazali, untuk pengadaan

kebutuhan-kebutuhan manusia, diperlukan pembagian tugas antara para anggota

masyarakat dan penguasa (hubungan antar pemuka, baik agama dan pemerintah

dengan dasar saling tolong menolong).

Apabila apa yang dikemukakan Al-Ghazali bisa diaplikasikan, maka

interaksi antar manusia akan terbentuk. Tak terkecuali dalam pembentukan sebuah

negara, dalam hal ini, interaksi merupakan syarat mutlak untuk dilakukan.

Pembentukan sebuah negara dimulai dari adanya daerah (wilayah) dan rakyat

kemudian dibentuklah pemerintahan. Dengan kata lain, Negara bukan terjadi

dengan sendirinya, tetapi diadakan oleh manusia dan untuk manusia. Dalam

pandangan Al-Ghazali, negara merupakan suatu lembaga yang sedemikian

penting, untuk menjamin pergaulan hidup manusia. Bahkan, keberadaan negara

adalah dalam rangka menjaga dan merealisasikan syariat agama yang kokoh, yaitu

mengantarkan manusia menuju kebahagiaan hakiki. Secara tegas Beliau

menyatakan: “Agama merupakan pokok (pondasi) sebuah bangunan, sedangkan

negara adalah penjaganya”.10

9

J. Abdul Rojak. Politik Kenegaraan: Pemikiran Politik Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. (Surabaya: Bina Ilmu, 1999), hlm. 95.

10 Ibid, hal: 96

(6)

Untuk menopang kuatnya sinergi agama dan negara, Al-Ghazali

menganjurkan pentingnya pengembangan Ilmu Pengetahuan, Profesionalisme dan

Industrialisasi. Dan pra syarat yang dikemukakan Al-Ghazali di atas merupakan

pra syarat yang juga di adopsi negara modern.

B. Bentuk Kepemimpinan Negara Menurut Islam

Negara merupakan satu perangkat instrumental bagi pelaksanaan tata

pemerintahan. Hal ini telah disadari oleh umat Islam, tatkala Islam mulai

mengalami perkembangan, baik itu dalam hal jumlah kaum Muslimin maupun

pada sektor wilayah kekuasaan Islam yang semakin meluas. Hal tersebut cukup

memberi satu alasan penting untuk menumbuhkan kesadaran dikalangan umat

Islam tentang perlunya penataan sistem ketatanegaraan yang lebih rapih dan

terkordinasi.

Terdapat sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu rancangan yang

menyeluruh untuk menata kehidupan umat manusia, dengan politik sebagai

satu-satunya alat yang dipakai untuk menjamin ketaatan universal terhadap rancangan

tersebut.11Konsep ini telah difahami oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai sebuah

cara untuk membangun peradaban Islam dalam bidang Politik Ketatanegaraan.

Dan itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan landasan sebuah negara

yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam21 pada masa pemerintahan Islam waktu itu.

11Hamit Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’i: Pemikiran Politik Modern Menghadapi

Abad Ke-XX, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm.1.

(7)

Kata Negara merupakan pemakaian istilah dari ketata bahasaan Indonesia yang

memiliki arti: pertama, organisasi disuatu wilayah yang mempunyai kekusaan

tertinggi yang sah dan ditaati oleh seluruh rakyat; kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dibawah lembaga

politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat

sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.12

Sementara itu istilah ‘negara’ dalam ilmu politik dapat berarti agency

(alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan

manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam

masyarakat.13 Secara ringkas negara adalah suatu wilayah yang didalamnya

terdapat kesatuan penduduk yang diperintah oleh sekelompok orang (yang

berkuasa) untuk mencapai suatu kedaulatan.

Sedangkan dalam khasanah keilmuan Islam, definisi istilah ‘negara’ dapat

diartikan sebagai; Daulah, Khilafah, Hukumah, Imamah dan Kesultanan.14

a). Daulah

Istilah Daulah berasal dari bahasa Arab ‘daulah’ yang memilki makna: bergilir, beredar, dan berputar (rotate, alternate, take turns, or

accurriodically). Kata ini dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang

12Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundmentalis,

(Magelang: IndonesiaTERA, 2001), hlm.28.

13

Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet.XX (Jakarta: PT.Gramedia, 1999),hlm.38.

14Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara… hlm.28

(8)

menetap pada wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang

mengatur kepentingan dan kemaslahatan. 16 Artinya bahwa, kekuasaan yang

ada dalam sistem ‘daulah’ disini, berjalan secara bergilir, sesuai dengan

keinginan dan kehendak rakyat sebagai penentu (yang berkehendak) dalam

memberikan kepercayaan kepada penguasa, untuk menjalankan roda

pemerintahan. Jadi rakyat dalam hal ini berada “di dalam” mekanisme kontrol

terhadap kinerja yang dilakukan pemerintah (penguasa).

Menurut Olaf Schumann, istilah Daulah dapat diartikan sebagai “

dinasti” atau “Wangsa” yang berarti suatu sistem kekuasaan yang

berpuncakpada seorang pribadi yang didukung oleh keluarganya atau

clan-nya.16 Jelas, dalam konsep ini, kekuasaan pemerintahan telah dipegang oleh

sekelompok clan yang telah berkuasa secara turun temurun yang dalam

konteks modern, istilah ini diartikan sebagai sebuah konsep negara dan konsep

utama dikalangan diskursus Islamis kontemporer.17

Sebaliknya, Azra mengatakan bahwa daulah tidak sama dengan

konsep kedaulatan (soveregnity) atau bukan negara (Nation State) dalam pengertian modern.18 Kedua pendapat ini, tentunya memiliki perbedaan

terhadap konteks yang hendak dituju. Pendapat pertama ingin menunjukkan

16

Olaf Schumann, Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Madani dan Negara Islam, Vol.I No.2, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm.59.

17Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara… hlm.29

18

(9)

bahwa daulah mempunyai persamaan dengan definisi negara atau bangsa

(nation state).

Sedangkan Azumardi Azra mengartikan daulah sebagai kerajaan Islam di nusantara, merupakan kekuatan mutlak raja (penguasa) yang bersumber dari

kualitas sakral sang raja dengan kekuatan ghaib yang menjaganya dan dengan

keabadian kekuasaannya.19Dalam khasanah keilmuan Islam, istilah ini untuk

pertama kalinya digunakan dalam politik Islam ketika kekhalifahan dinasti

’Abbasiyah memimpin kekuasaan pemerintahan pada pertengahan abad

kedelapan.20Pada masa tersebut, kata Daulah diartikan dengan kemenangan,

giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.

Lebih lanjut, M. Din Samsuddin menyebutkan bahwa berpangkal pada

penisbatannya dengan kekuasaan Abbasiyah serta kemudian Utsmaniyyah,

maka kata Daulah mengalami transformasi makna menjadi “negara” atau

“kekuasaan Negara.” Sehingga untuk menunjukkan konsep negara atau

negara-bangsa, pemikiran politik Islam mengajukan kata Daulah, seperti yang terdapat dalam istilah din wa daulah31 yang mempunyai arti “agama dan Negara.”

b). Khilafah

Didalam sejarah pemerintahan Islam, istilah ini muncul setelah

pemerintahan kenabian dengan wafatnya beliau pada tahun 632 M. Istilah

khilafah ini mengandung arti “perwakilan”, “penggantian” atau “jabatan

19Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara… hlm.30.

20

Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, terjemahan Ihsan al-Fauzi, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm.50.

(10)

khalifah.” Istilah ini berasal dari behasa Arab, “khalf” yang berarti “wakil”,

pengganti”, dan “penguasa.”21

Lain halnya dengan perspektif politik Sunni, khilafah menurut mereka didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian

legitimasi (bay’ah).22 Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang

digunakan adalah dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik.

Setelah itu baru dibai’ah oleh rakyatnya demikian, menurut Harun Nasution,

bukanlah dalam artian suatu bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada

republik. Dalam arti, seorang kepala negara dipilih dan tidak tetap mempunyai

sifat turun-temurun.23

Sedangkan menurut Bernard Lewis, istilah khalifa muncul untuk pertama kalinya di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Pada

waktu itu kata Khalifa ditujukan kepada raja muda atau letnan yang bertindak

sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada ditempat lain.24 Dalam Islam

sendiri, istilah ini telah digunakan ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah

pertama Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.Dalam pidato

inagurasinya, Abu Bakar menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah”,

21Ibid., hlm.30.

22

Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke-20, terjemahan Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm.9

23

Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cet.V, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm.95.

(11)

dalam pengertian “Pengganti Rasulullah.”25 Karena itu, penggunaan istilah

Khalifah erat hubungannya dengan tugas kenabian yangtujuannya meneruskan

misi-misi Rasul, sebagai salah satu syi’ar dakwah.

Sejauh ini terdapat tiga teori tentang dasar-dasar pembentukan khilafah. Pertama, pembentukan khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan Syari’ah atau

berdasarkan wahyu. Para ahli Fiqh Sunni, antara lain, Abu Hasan Al-Ashari,

berpendapat bahwa khilafah itu wajib, karena wahyu dan Ijma’ para sahabat.

Pendapat Kedua, antara lain dikemukakan oleh al-Mawardi mengatakan bahwa mendirikan khilafah hukumnya farhu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan

Ijma.’ Ketiga, adalah pendapat kaum Mu’tazillah mengatakan bahwa,

pembentukan khilafah ini memang wajib tetapi dengan pertimbangan akal.26

Pada fase selanjutnya, konsep khilafah ini memiliki perluasan makna

yang akhirnya menjadi kontroversi di sebagian pemikir-pemikir Muslim pada

waktu itu. Pendapat ini mengataan bahwa, Islam itu tidak ada kaitannya

sedikitpun dengan kekhilafahan, artinya kehilafahan itu bukanlah satu sistem

yang Islamis, atau bercorak keagamaan sampai dengan kekhilafahan al-Khulafa al-Rashidin. Ia hanyalah sistem duniawiah yang sepenuhnya berbeda

dan bertentangan dengan agama, serta memiliki tujuantujuan yang bersifat

duniawiah untuk mempertahankan kerajaan, penaklukan dan kolonialisasi,

25H.Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, Edisi V,(Jakarta:

UI Press, 1993), hlm.21

26

M. Din Samsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hlm.78.

(12)

serta sama sekali bukanlah bertujuan merealisasikan tujuantujuan

agama.27Inilah yang menjadi tarik ulur dikalangan cendekiawan Muslim saat

itu. Propaganda-propaganda ganjil dan aneh itu ternyata terlahir dari seorang

Non- Muslim.28Jadi sudah hampir dapat dipastikan pokok-pokok pikiran yang

ada didalamnya benar-benar bertentangan dengan pandangan seluruh ulama

Islam sejak awal sampai saat ini. Hal itu disebabkan karena seiring dengan

wafatnya Rasulullah, maka tidak bisa tidak harus ada seseorang yang

menggantikannya sebagai seorang pemimpin dan mengemban amanatnya

dalam memelihara agama, memelihara kelestariannya, melaksanakan syri’at

-nya, melindungi umat-nya, dan menyampaikan risalahnya sampai keseluruh

dunia.

c) Hukumah

Secara terminolgi, istilah hukumah bermakna “pemerintah”. Istilah

ini tidak sama dengan istilah daulah (negara).29Selain itu dalam uraian beliau

selanjutnya, istilah ini juga berbeda dengan konsep khilafah dan Imamah.

Sebab kedua konsep ini, seperti telah dijelaskan diatas, lebih berhubungan

dengan format politik dan kekuasan. Sedangkan hukumah lebih berhubungan

dengan sistem pemerintahan yang akan dijalankan.30

27 Afif Mohammad, dalam: Islam dan Khilafah; Kritik terhadap Buku Khilafah dan

Pemerintahan Dalam Islam, terjemahan: Al-Islam wa al-Khalifah fi al-‘Ashar al-Hadist (Naqd Kitab

28Ibid., hlm.170.

29

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara… hlm.31.

30

(13)

Menurut Bernard Lewis, kata tersebut beberapa waktu yang lalu saja

digunakan dalam pengertian “pemerintahan”, yaitu kira-kira pada abad ke-19.

Lebih lanjut, menurut Lewis, kata hukuma sendiri telah digunalkan sejak masa

kuno. Akar kata h-k-m dalam bahasa Arab dan bahasa semit lainnya

mengungkapakan gagasan-gagasan pokok yang saling berkaitan, yaitu

pengadilan dan kebijaksanaan. Pada masa abad pertengahan, melalui

perkembangan yang alamiah sifatnya, ruang lingkup arti dari akar kata itu dari

berbagai turunannya diperluas sehingga mencakup wewenang politik serta

hukum, dan hukuma acapkali digunakan untuk menunjukkan jabatan atau

fungsi kegubernuran, atau bahkan ruang lingkup masa jabatan seorang

gubernur. Dalam bahasa Muhammad Said al-Ashmawy, hukuma berkenaan dengan administrasi masalah publik, khususnya urusan eksekutif. Dalam

konteks ini, urusan hukumah mengandung teori yang disampaikan oleh ideology Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb yang dikenal dengan teori

hakimiyah, yaitu: teori tentang kekuasaan dan kedaulatan ilahi (divine sovereignity).

Menurut Said Agil, konsep negara seperti hakimiyyah merupakan

produk dari pemahaman yang sangat harfiah terhadap al-Qur’an, Konsepsi

tersebut menuntut adanya suatu pemerintahan Ilahi, yang dlam format

kelembagaan negara akan berbentuk negara teokratis.31

d) Imamah

31

Ibid.

(14)

Di samping istilah diatas, kata imamah juga sering dipergunakan

dalam menyebutkan maksud ‘negara’ dalam kajian keislaman. Munawir

Sjadzali 32, dengan mengutip pendapat Mawardi mengatakan bahwa imam

adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara. Dengan demikian, menurut

Munawir, Mawardi memberikan juga bagi agama kepada jabatan kepala negara

disamping payung politik.33

Adapaun Taqiyyudin an-Nabhani menyamakan antara imamah dengan

khilafah. Karena menurutnya, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syari’at

Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.34 Sebagai

mana telah diketahui bahwa konsep pemikiran tentang imamah ini lebih

banyak berkembang dikalangan Syi’ah daripada dalam lingkungan

Sunni.47Disini dijelaskan bahwa dalam lingkungan Syi’ah, Imama mnekankan dua rukun, yaitu: kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian ‘ismah. Istilah ini

untuk pertama kali dalam pemikiran politik islam muncul setelah Nabi wafat

pada tahun 632 M.

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini berkembang menjadi

pemimpin dalam shalat, dan dari sana kemudian berkembang menjadi

pemimpin religiopolitik (religious-politik leadership) seluruh komunitas

32

Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 63-65.

33 Ibid., hlm.66.

34

(15)

muslim, dengan mengemban tugas seperti yang telah ditetapkan dalam

Syari’at islam yang diembankan kepadanya, yaitu pemimpin komunitas

tersebut dan memenuhi perintah-perintah - Nya.

e) Kesultanan

Istilah kesultanan sebenarnya bukan lagi merupakan istilah baru dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Kata ini, menurut Lewis, berkalikali

ditemukan dalam Al-Qur’an dengan arti “kekuasaan”, “bukti”, dan yang

lebih khusus lagi istilah ini dapat berarti “kekuasaan yang efektif”.

Lebih lanjut,Lewis mengatakan bahwa seorang penulis dari scribal, ‘Abdul Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum

menggunakan istilah sultan untuk “pengatur” atau “pemerintah.” Di Indonesia

sendiri penggunaan istilah kesultanan ini sering digunakan oleh raja-raja Islam

yang memerintah di Nusantara. Ketika seorang raja telah memeluk agama Islam,

maka kata sultan dipakai dibelakang namanya.35 Karena itu tidak mengherankan

jika pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai

misalnya, banyak gelar yang digunakan oleh penguasa-penguasa lokal mirip

dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub yang berjaya di Timur Tengah

sepanjang abad-abad XII.

Dari uraian-uraian yang telah di paparkan diatas, tampak bahwa

penggunaan istilah “negara” dalam sejarah perkembangannya, telah banyak

digunakan dikalangan umat Islam, dengan berbagai macam corak, baik di

35

Azra, Renaisans Islam..., hlm.90

(16)

Indonesia maupun didunia Islam lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwasanya

konsep “Negara Islam” sebenarnya telah mendapat sebuah legitimasi oleh

pemimpin-pemimpin umat dalam berbagai bentuknya, serta menepis anggapan

yang mengatakan bahwa Negara Islam tidak ada dalam khasanah keilmuan Islam.

Meskipun secara de jure tidak ada istilah Negara Islam ataupun konsep tentang

Negara itu sendiri, namun perlu diingat bahwa Islam telah mengenal sejumlah istilah yang sinonim dengan negara, seperti yang telah diterangkan diatas.

Sehinggga fakta inilah yang menepis anggapan

yang mengatakan bahwa Islam tidak mengenal istilah negara ataupun konsep

Negara Islam, seperti yang sering dipropagandakan oleh sebagian kaum

Liberalis.

C. Pandangan al-Ghazali tentang Kekuasaan

Setiap orang pasti memiliki gagasan tertentu mengenai kekuasaan,

namun bila ditanyakan apa itu kekuasaan orang itu akan menemui kesulitan

dalam mengurai gagasannya tentang apa yang disebut kekuasaan. Sebenarnya

sejak seseorang mengenal dirinya dan lingkungannya, ia telah mengenal apa

yang disebut kekuasaan itu. Kekuasaan pertama yang dikenal adalah kekuasaan

dalam keluarga, kemudian orang yang lebih besar atau lebih tua darinya, dosen

terhadap mahasiswanya dan seterusnya sampai pada kekuasaan pemerintah

terhadap rakyatnya.

Konsep kekuasaan dalam ilmu politik adalah suatu konsep yang sering

dibahas. Sebabnya adalah karena konsep ini dianggap mempunyai sifat yang

(17)

sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik

khususnya. Malahan pada suatu ketika politik (politics) dianggap tidak lain dari

masalah kekuasaan belaka. Dan dalam keadaan bagaimanapun juga kekuasaan

tetap merupakan gejala yang sangat sentral dalam ilmu politik dan dapat

diperdebatkan dengan hangat.36 Perbedaan pandangan tentang hakekat

kekuasaan itu di kalangan para sarjana agaknya adalah suatu hal yang telah

lumrah. Kendati demikian sekali pun ada banyak pandangan yang berbeda

mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang dianggap sebagai

kemampuan pelaku untuk mengetahui tingkah laku pelaku lain sedemikian

rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan

dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.37

Sumber kekuasaan itu bukan pangkat, kedudukan atau jabatan, juga

bukan harta milik kekayaan dan bukan pula dewa atau pun yang dianggap ilahi.

Plato menobatkan filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi yang mulia dan harus

di atas tahta pemerintahan negara ideal karena hanya dengan pengetahuan lah

yang sanggup membimbing dan menuntun manusia untuk datang pada

pengenalan yang benar akan segala sesuatu yang ada dalam keberadaannya

serta sempurna dalam dunia ide.38

36

A. Rahman Zainuddin. Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, (Jakarta: Gremedia, 1992), hlm. 103.

37Meriam Budiarjo. "Konsep kekuasaan: tinjauan Kepustakaan,” dalam Meriam

Budiarjo (ed.), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa (Jakarta: Sinar harapan, 1994), hlm. 9.

38

J. H Raper, Filsafat Politik, hlm. 86.

(18)

Merebut kekuasaan adalah sebagai salah satu cara untuk mendapatkan

kekuasaan. Dalam hal ini bukan hanya masalah moral, melainkan masalah

kesanggupan untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri. Untuk

memusatkan kosmis yang dimiliki dalam menata sebuah negara.

Membiarkan kekuasaan diperintah orang lain yang kurang menguasai

ilmunya sehingga institusi negara tidak bisa berperan sebagaimana mestinya

menjadi tanggung jawab bersama, rakyat berhak dan sah secara moral dan

hukum untuk merebut kekuasaan dalam negara apabila secara pribadi

menguasai ilmu tentang tata negara. Begitu pula menggunakannya kekuasaan

dengan sendirinya sah karena sejauh kekuasaan itu nyata.

Kekuasaan menurut al-Ghazali adalah menguasai hati rakyat (punya

wibawa) sehingga mereka dapat mentaati dan menghormati semua peraturan

yang telah ditetapkan. Inti dari kekuasaan adalah sebuah popularitas dan itu

tercela sebab akan menimbulkan sifat tamak, sombong dan syirik

(menyekutukan Tuhan), tetapi bisa menjadi terpuji bila orang yang memegang

kekuasaan itu telah ditunjuk oleh Allah dan menggunakan kekuasaan itu untuk

li maslahatil ‘ammah (demi kepentingan umum).39 Beliau juga menegaskan

bahwa sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Hal ini terlihat dari dasar rujukan

yang dijadikan al-Ghazali yaitu surat an-Nisa’ ayat 59, yang memerintahkan

orang-orang mukmin taat kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan kepada para

pemimpin:

39Imam Ghazali, Ihya ’

(19)

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( al-Qur’an : Ali Imron: 59 )

Diterangkan juga dalam surat ‘Ali Imran ayat 26, yang menegaskan bahwa

Allah memberikan kerajaan (kekuasaan) kepada yang Ia kehendaki;

Artinya : Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.( Q.S Ali Imron : 26 )

Al-Ghazali mendukung semboyan yang menyatakan bahwa kepala negara

atau sultan merupakan bayangan Allah di atas bumi-Nya. Karena itu, rakyat wajib

mengikuti dan menaatinya, tidak boleh menentangnya. Untuk itu, menurut

al-Ghazali dalam kenyataannya Tuhan memilih di antara cucu-cucu Adam menjadi

Nabi-nabi dan para pemimpin. Para nabi bertugas membimbing rakyat ke jalan

yang benar, dan para raja atau kepala negara mengendalikan rakyat agar tidak

bermusuhan sesama mereka, dan dengan kebajikannya ia mewujudkan

kemaslahatan rakyat.40

Pendapat al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa kekuasaan itu

muqaddas (suci). Karena rakyatnya wajib menaati segala perintahnya. Sistem pemerintahan seperti itu hampir sama dengan teori kenegaraan yang berdasarkan

40

Imam Ghazali, Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulu k, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm. 43-44.

19

(20)

atas ketuhanan (teokrasi) Kendatipun demikian, teokrasi al- Ghazali berbeda

dengan teori ketuhanan yang diformulasikan dalam teori Barat. Dalam teori

ketuhanan, kekuasaan berasal dari Tuhan. Penguasa bertahta atas kehendak Tuhan

sebagai pemberi kekuasaan kepada-Nya.41 Teori ketuhanan ini merupakan suatu

teori yang menyatakan kekuasaan politik diperoleh melalui kekuatan dalam

persaingan antar kelompok.

Negara dibentuk oleh pihak yang menang, dan kekuatannya yang

membentuk kekuasaan dan pembuat hukum.42 Sesuatu yang membedakan teori

ketuhanan al-Ghazali dengan Barat adalah adanya sumber kekuasaan itu

merupakan pengakuan dari rakyat, sedangkan Barat berdasarkan atas siapa yang

kuat dialah yang akan berkuasa. Teori ketuhanan barat akan mendorong penguasa

berbuat lalim atas nama Tuhan. Sedangkan al-Ghazali menurut penguasa tidak

boleh sekali-kali lalim, karena segala tindak-tanduknya akan

dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Al-Ghazali berpendapat mengenai kedudukan seorang kepala negara,

bahwa meskipun seseorang menjadi kepala negara atas kehendak Allah, namun ia

juga harus mendapat Tafwid (penyerahan kekuasaan) dan Tauliyat (pengangkatan

dari orang lain). Menurut al-Ghazali ada tiga cara untuk memperoleh Tafwid dan

Tauliyat, yaitu dengan cara penetapan dari Nabi, penetapan dari sultan yang

berkuasa dengan menunjuk putra mahkota (Wilayatal-Ahd) dari putra-putranya

41

Kranenburg dan TK Sabaruddin, Ilmu Negara Umum, (Jakarta: Pradnya Paramita,1986), hlm. 9.

42

(21)

atau orang yang diperkuat dengan baiat oleh ulama, Ahl al-Hall wa al-Aqdi.43 Seorang penguasa tidak dibenarkan memberikan peluang kepada para keluarga,

pembantu, dan para pengikutnya untuk berlaku zalim terhadap rakyat, agar

mereka tidak lemah dan sengsara dan karenanya mendorong mereka berpindah ke

wilayah lain, dan meninggalkan negaranya. Dengan begitu pamor kepemimpinan

penguasa menjadi menurun dan pemasukan negara pun menurun.

Dalam kitab Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk diceritakan tentang

seorang penguasa yang telah kehilangan kekuasaannya pernah ditanya, "Apa

sebab kekuasaanmu lenyap dan berpindah ke orang lain?" "Aku tertipu oleh

kekuasaan, kekuatan, dan kesenanganku akan pendapat dan pengetahuanku. Aku

melupakan musyawarah, dan menyerahkan kekuasaan kepada para petugas yang

tak berpengalaman, melupakan petugas senior dan berpengalaman. Aku telah

menyia-nyiakan peluang dan kesempatan yang tepat, tidak banyak berpikir

tentang peluang itu, dan tiada pula melaksanakan pada saat yang diperlukan. Aku

kurang tanggap pada tempat yang harus siap segera, dan kurang cepat

menggunakan kesempatan dan kesibukan untuk memenuhi segala keperluan."

Ditanyakan pula, "Apakah yang paling menimbulkan keburukan?" Para utusan

(delegasi) yang tidak jujur, yaitu orangorang yang berkhianat dalam

menyampaikan risalah, hanya karena kepentingan perut mereka. Betapa banyak

kerajaan yang menjadi hancur karena ulah mereka.44

43al-Ghazali, al-Iqtisad…, hlm. 106.

44Al-Ghazali, Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, hlm. 87-88.

(22)

Sebaik-baik penguasa adalah orang yang pandangannya tajam bak burung

rajawali, sedangkan orang-orang yang berada di sampingnya (para pejabat teras

kerajaan) memiliki kecerdasan serupa, bagaikan banyak burung rajawali, bukan

seumpama bangkai." Maksudnya, jika seorang penguasa memiliki pandangan

cemerlang dan dapat mengetahui segala hal, sementara para pendampingnya dan

para pejabat teras kerjaan memiliki pandangan serupa, maka sempurnalah segala

urusan pemerintahannya, dan tegaklah segala urusan penduduk negeri.45

Beberapa tanda-tanda penguasa yang akan kekal kekuasaannya sebagai

berikut: pertama, menghidupkan akal dan agama dalam hatinya, supaya rakyat

menaruh simpati kepadanya. Kedua, pemikirannya logis dan realistis. Ketiga, cinta ilmu pengetahuan, sehingga dikenal di kalangan kaum cerdik pandai.

Keempat, memiliki keutamaan dan rumah yang besar, sehinggamendapat

penghormatan dari orang-orang yang memiliki keutamaan. Kelima, mendidik orang-orang yang suka membesar-besarkan kelemahan orang lain dari

pemerintahannya, sehingga ia terhindar dari caci maki. Setiap penguasa yang

tidak memiliki beberapa kriteria di atas, ia tidak akan memperoleh kebahagiaan

dalam pemerintahannya. Sebaliknya, berbagai kendala dan hambatan akan

meruntuhkan kekuasaannya.46

Tanda seorang yang berjaya dan dapat mengalahkan musuh ialah seorang

raja yang fisiknya kuat, diamnya bermakna, pendapatnya selalu direnungkan dan

dipertimbangkan dengan hati, bersikap rasional dalam pemerintahannya, hatinya

45Ibid., hlm. 85.

46

(23)

mulia, dicintai rakyatnya, sayang terhadap para pegawainya, belajar dari sejarah,

dan konsisten terhadap agama dan keputusannya. Setiap penguasa yang memiliki

sifat-sifat di atas, dan direalisasikan dalam kenyataan, ia akan berwibawa dan

ditakuti oleh semua musuh, dan tak seorang pun dapat menemukan peluang untuk

mengkritik atau memakinya. Jika seorang raja memandang segala daya dan

upayanya bergantung kepada kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, dia akan

memperoleh kemenangan, kendati pun musuhnya kuat. Contohnya adalah kisah

yang diabadikan oleh Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 249 :

Artinya : …."Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat

mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar."

Ada empat hal yang merupakan kewajiban para penguasa. Pertama, menjauhkan orang-orang bodoh dari pemerintahannya. Kedua, membangun

negeri, merekrut orang cerdas dan potensial. Ketiga, menghargai orang tua bijak.

Keempat, melakukan uji coba dan meningkatkan kemajuan Negara dengan

melakukan penertiban dan pembersihan terhadap segala tindakan kejahatan.

Seorang penguasa tidak dibenarkan menyerahkan jabatan menteri maupun

jabatan penting lainnya kepada orang yang bukan ahlinya. Jika ia meyerahkan,

maka ia telah menghancurkan pemerintahannya. Orang yang shiddiq ada tiga: para nabi, para raja, dan orang-orang yang gila (sakr). Sakr diartikan dengan gila,

padahal yang sesungguhnya takut mabuk. Sebab mabuknya orang gila bersifat

batin, sedangkan gilanya orang yang mabuk bersifat lahir. Celaka bagi orang yang

selalu dalam keadaan mabuk dan lalai.47

(24)

Para kepala negara terdahulu membagi waktunya siang hari menjadi empat

jadwal. Pertama, dipergunakan untuk kebaktian dan menyembah Allah. Kedua,

dipergunakan untuk memberikan pelayanan kepada rakyat, memberikan

perlindungan dan keadilan kepada orang-orang yang teraniaya, juga dipergunakan

untuk berbincang-bincang dengan ulama dan kaum cerdik pandai, dipergunakan

pula untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan siasat negara, seperti

merealisasikan program dan pelbagai ketetapan pemerintah, menulis buku-buku,

dan mengirimkan utusan diplomatik. Ketiga, dipergunakan untuk makan, minum, mencari bekal dunia, dan rekreasi. Keempat, dipergunakan untuk berolah raga,

seperti main catur, bola, dan lainnya.

Aristoteles berpendapat, pengayoman Tuhan tertuang dalam 16 hal. Yaitu,

akal, ilmu, kecerdasan dan ketajaman analisis, rupa yang sempurna, keahlian

menunggang kuda, keberanian, kemajuan, sikap tenang, berbudi luhur, adil

kepada orang yang lemah, cinta rakyat, kepemimpinan yang menonjol, ulet,

disiplin, banyak ide, bisa mengatur segala macam persoalan, banyak membaca

kisah-kisah kehidupan dan perjalanan para raja, dan meneliti sifat-sifat dan

perbuatan yang menjadi pegangan para raja."49

Etika politik menuntut kepada pemegang kekuasaan, agar pemerintahan

dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara

demokratis dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral.

49 Ibid

(25)

Ketiga tuntutan itu dapat kita sebut sebagai normatif atau etis karena

berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis dalam artian

kekuasaan hanya sah apabila dijalankan sesuai dengan tiga tuntutan tersebut.

Proses legitimasi etis menuntut ketaatan nyata dari pihak pemegang kekuasaan,

maka sistem politik yang berdasarkan paham legitimasi etis kekuasaan

mengembangkan berbagai pengontrol secara nyata menunjang tuntutan

legitimasi etis.

C. Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Al-Ghazali

Sebuah hal yang lumrah ketika seseorang menjadi pemimpin atau kepala

negara mempunyai suatu keinginan menguasai segala hal. Hal ini menurut

al-Ghazali merupakan suatu penyakit dan harus segera diobati, karena ini akan

menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat dan negara, bahkan akan

mengancam kedamaian dunia. Penyakit yang akan menghampiri para kepala

negara adalah nafsu ingin berkuasa. Hal ini timbul ketika dirinya (kepala negara)

merasa maha kuasa.

Al-Ghazali membagi empat macam keinginan atau nafsu untuk berkuasa.

Pertama, ingin kebesaran penaklukan, yaitu keinginan hendak menjadi besar dan

menaklukkan, baik dengan ilmu pengetahuan maupun dengan kekuatan. Kedua, nafsu berkuasa, yaitu keinginan hendak menguasai dan menundukkan orang lain

di bawah kekuasaannya. Ketiga, nafsu hak pengistimewaan. Suatu keinginan supaya dianggap dan mempunyai hak-hak istimewa di dalam segala hal. Keempat, adalah nafsu maha kuasa, yaitu berkeinginan untuk menguasai segalanya atau

(26)

segalanya di bawah kekuasaannya.

Empat hal di atas menurut al-Ghazali adalah suatu ancaman yang akan

menghampiri bagi moral para kepala negara atau pemegang kekuasaan yang

berakibat menjadikan mereka otoriter dan totaliter. Seorang kepala negara akan

maksimal dalam memimpin suatu pemerintahannya bila dibantu oleh menteri

yang cerdas, jujur teguh dan dapat dipercaya dan pandai mengatur urusan negara,

beserta saran yang telah diberikan oleh kepala negara. Seorang kepala negara

dalam bekerja dengan para menterinya harus memperhatikan beberapa hal:

Pertama, jika terlihat kesalahan dan kekhilafan dari sang menteri, maka ia tidak

boleh langsung menindaknya. Kedua, jika sang kepala negara merasa puas dengan pelayanan yang diberikan sang menteri dan ia telah bekerja secara maksimal

dalam pemerintahannya, maka harta dan kekayaannya tidak boleh

diungkit-ungkit. Ketiga, jika ia mengajukan sebuah permohonan, maka sang kepala negara mesti segera memenuhinya, dan tidak boleh menunda-nundanya.

Ada tiga hal juga yang harus dicegah untuk para menteri. Pertama, jika menterinya senang melihat kepala negaranya, maka sang kepala negara tidak

boleh melarangnya. Kedua, seorang kepala negara tidak boleh memperdengarkan

kepada menterinya kata-kata yang dapat merusak. Ketiga, seorang kepala negara tidak boleh menyimpan rahasia kepada menterinya, karena menteri yang saleh

dapat menjaga rahasia kepala negara, dan cakap dalam mengatur segala urusan

negara, membangun wilayah, meningkatkan income dan keindahan negara, serta meningkatkan wibawa dan pengaruh.

(27)

Seorang kepala negara mesti menyadari bahwa kekalnya sebuah

kekuasaan adalah karena menteri, sedangkan kekalnya dunia karena ada kepala

negara. Ia juga tak selayaknya memberikan perhatian pada hal-hal di luar

kebaikan. Ia menyadari bahwa suatu yang pertama sekali diperlukan manusia

adalah pemimpin atau kepala negara.

Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang kepala negara yang baik dalam

proses kepemimpinannya harus lah berjalan mulus. Dalam kitab Al-Tibr

al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk dengan mengangkat dialog raja Bahram dengan

rakyatnya. Raja Bahram pernah ditanya, "Berapa hal yang diperlukan seorang

penguasa sehingga kepemimpinannya menjadi sempurna dan negara pun maju dan

sejahtera?" Jawabnya, "Seorang penguasa memerlukan enam hal sebagai partner”.

Pertama, menteri yang soleh, agar sang raja dapat menjelaskan sesuatu yang

rahasia. Kedua, merenungkan pendapatnya serta mengatur Negara bersamanya.

Ketiga, Kuda yang bagus yang dapat menyelamatkannya dalam keadaan genting.

Keempat, pedang yang tajam dan senjata yang ampuh.

Kelima, istri baik (cantik) yang dapat menyenangkan hatinya dan menghilangkan kesusahannya. Keenam, juru masak (koki) yang bijaksana ialah seorang yang jika

memegang sesuatu ia dapat mengaturnya dengan baik. Dalam kitab ini al-Ghazali

juga mengutip buku dari pesan-pesan Aristoteles "Segala persoalan yang

diselesaikan melalui tangan orang lain tanpa kekerasan dan pertempuran, masih

lebih baik dibanding persoalan dan dapat kamu selesaikan sendiri dengan

kekerasan.50

(28)

Para menteri dalam menjalankan tugas mesti mengikuti urutan (tartib)

pertimbangan berikut: Pertama, jika mereka memungkinkan melakukan perang

bukan dengan senjata, tetapi dengan ide dan pemikiran, maka mereka mesti

melakukan perang dalam bentuk ini. Kedua, jika mereka mengalami kesulitan

dalam menangani pelbagai persoalan dengan khilafah dan pengaturan tertentu,

maka mereka mesti mencari terobosan dan khilafah lain, misalnya, dengan

memberikan dana (harta), kenang-kenangan, dan hadiah. Ketiga, jika seorang

pasukan lari dari medan juang, maka mereka mesti memberi maaf kepada satuan

perang tersebut. Mereka tidak boleh tergesa-gesa membunuh prajurit itu. Sebab

melakukan pembunuhan terhadap orang hidup sangatlah mudah, sedang

menghidupkan orang-orang yang sudah mati merupakan suatu kemustahilan. Dan

manusia disebut manusia sesungguhnya, manakala ia telah mencapai usia 40

tahun. Dan dari setiap seratus orang akan ada seorang yang dapat memberikan

pengkhidmatan kepada raja dengan baik. Keempat, jika

seorang pasukan perang tertawan tentara musuh, maka seorang menteri mesti

menebus atau membelinya agar semua prajurit mendengar apa yang ia lakukan,

sehingga mempertebal keberanian dan semangat juang mereka dalam bertempur.

Ia harus pula memperhatikan kesejahteraan pasukan perang, dan setiap orang

mesti dihargai sesuai dengan pangkat dan kadarnya.51

51

(29)

Seorang pemimpin (kepala Negara) memiliki tugas dan tanggung jawab

yang berat dan mulia. Oleh karena itu seorang pemimpin (kepala Negara) menurut

al-Ghazali harus memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Tanggung jawab. Hal yang harus diketahui oleh seorang pemimpin adalah

batas dan kadar kekuasaan serta menyadari kemungkinan buruk kekuasaan

untuk sesegera mungkin mengevaluasi.

2. Menerima pesan ulama. Seorang pimpinan mesti senang bergaul dengan

para ulama' dan menerima nasehat mereka. Tapi ia perlu waspada akan

ulama' alsu' (ulama' culas), yang hanya menginginkan kekayaan duniawi.

3.Berlaku baik kepada bawahan. Secara garis besar dapat dikemukakan di

sini bahwa seorang pimpinan (kepala negara) yang punya minat dan tekad

untuk menegakkan keadilan, ia mesti mengatur dan mengarahkan para

petugas dan pegawainya kepada keadilan. Ia mesti menjaga mengawasi

keadaan mereka, keluarga dan anak-anak mereka, juga rumah dan tempat

kediaman. Namun pengawasan ini tidak akan efektif, kecuali sang pimpinan

telah lebih dulu berlaku adil dan memelihara dirinya. Misalnya, tekanan

emosi dan amarahnya

tidak mengalahkan rasionalitas dan agamanya. Demikian pula rasionalitas

dan agamanya tidak tunduk kepada emosi dan amarahnya, akan tetapi emosi

dan amarahnya tunduk pada rasio dan agama.

4.Rendah hati dan penyantun. Janganlah berhati takabur dan bersikap

sombong. Kepala negara haruslah merasakan dirinya sama dengan para

(30)

rakyat biasa di dalam segala hal.

5. Tidak mementingkan diri sendiri. Segala persoalan dan kejadian akan

dilaporkan kepada anda. Menanggapi hal ini, anda mesti mengandaikan diri

anda sebagai salah seorang rakyat biasa dan orang lain sebagai pemimpin

anda. Segala hal yang tidak anda sukai untuk diri anda sendiri, maka ia juga

tidak disukai oleh seorang pun dari kalangan umat islam. Jika anda menyukai

sesuatu untuk mereka yang tidak anda sukai untuk anda sendiri, sungguh anda

telah berkhianat dan menipu rakyat anda.

6. Loyalitas tinggi. Tidak sepatutnya baginda mencemooh orang-orang yang

menunggu di depan pintu baginda untuk suatu keperluan. Waspadalah anda

dari kemungkinan buruk ini. Jika seorang telah datang kepada anda untuk

suatu kepentingan, maka janganlah anda menyibukkan diri dengan ibadah74

ibadah sunnah sebab memenuhi kebutuhan dan kepentingan umat islam jauh

lebih utama dibanding ibadah sunnah.

7. Hidup sederhana. Seorang kepala negara harus dapat mengendalikan dorongan

hawa nafsu seperti mengenakan pakaian mewah dan makanan yang

lezat-lezat . Semesti bersikap qona’ah (menerima apa adanya) dalam segala hal.

Karena tidak ada keadilan tanpa sifat qonaah.

8. Lemah lembut. Jauhilah sifat-sifat yang kasar dan keras, selama sifat lunak

lembut dan bijaksana masih dapat di lakukan.

9. Cinta rakyat. Hendaklah kepala negra berusaha untuk membuat rakyat senang

dan rela, sesuai dengan tuntutan dan kehendak agama. Nabi pernah bersabda

(31)

kepada sahabatnya: "sebaik-baik umatku adalah orang-orang yang

mencintaimu dan kau pun mencintai mereka. Dan seburuk-buruk umatku

adalah orang-orang yang membenci kalian, dan kalian pun membenci mereka.

Mereka mengutuk kalian dan kalian pun turut mengutuk mereka".

10. Tulus dan ikhlas. Setiap penguasa dilarang mencari kesenangan seseorang

dengan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Sebab

seseorang yang benci atau murka karena ada sesuatu yang berlawanan dengan

syara', maka kemurkaannya tidak dipandang bahaya. Umar ibnu khattab

pernah berkata, "suatu hari, hampir separuh penduduk berada dalam

kebencian. Dan tentu saja orang yang dituntut untuk menyerahkan hak orang

lain darinya akan murka, sementara dalam satu kasus tidak mungkin

memenangkan kedua-duanya (kedua belah pihak yang sedang terlibat

sengketa). Orang yang paling bodoh adalah orang yang meninggalkan ridha

allah, hanya karena mencari ridha manusia”.52

Suatu hal yang luar biasa apa yang diidealkan oleh al-Ghazali dalam

menata sistem pemerintahan, tampaklah bahwa segala bentuk corak

kekuasaan mestinya bertumpu pada ajaran yang sangat fundamental, yaitu

terwujudnya

keadilan selaras dengan kualitas moral yang baik bagi seorang pemimpinnya,

tetapi apakah adil dan moral pemimpin yang baik itu? Maka dikatakan

bahwa; yang adil dan moral pemimpin yang baik itu kemuliaan agama, juga

52

Ibid., hlm. 173.

(32)

buat pemimpin dan kebijaksanaan sekalian manusia. Karena adil adalah

hikmah dari Allah dan perbuatan adil dari penguasa adalah suatu hal yang

didambakan oleh seluruh rakyatnya. Secara moral dan agama, legitimasi atau

daulat kekuasaan ditentukan oleh perbuatan dan keinginan murni untuk

menciptakan keadilan dari sang pemimpin. Tanpa adanya keadilan, maka

secara moral keabsahan kekuasaan itu tidak ada. Yang ada hanyalah tirani.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pemikiran Al-Ghazali tentang etika politik adalah etika politik yang

harus didasari oleh aqidah Islam. Karenanya, antara moral dan politik

merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Moral politik yang

dimaksud adalah moral yang bersendikan atau didasarkan kepada agama

atau doktrin yang diajarkan oleh agama Islam atau moralitas Islam yang

mengajarkan bahwa setiap manusia harus dalam srtiap aktifitasnya harus

berorientasi pada hubungan vertikal dan horizontal. Dalam konteks politik,

hubungan vertikal seorang pemimpin atau penguasa harus mematuhi

perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan dalam hubungan

horizontal seorang pemimpin atau penguasa bertanggungjawab atas

rakyatnya, sehingga akan membawa masyarakat yang adil makmur dengan

ditopang moral yang bersendikan agama.

2. Sumber kekuasaan menurut Al-Ghazali adalah dari Tuhan dan

(33)

legitimasi (pengakuan) dari rakyat. Orang yang memegang kekuasaan harus

menggunakan kekuasaan itu dalam rangka li maslahatil ‘ammah (demi

Referensi

Dokumen terkait

PDB sektor pertanian luas (termasuk kehutanan dan perikanan) pada tahun 2010 hingga tahun 2012 mengalami peningkatan secara terus-menerus yang menunjukan bahwa terdapat

Namun karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran.. Analisa

pemahaman konsep siswa kelas VIII MTs Negeri Langkapan Srengat Blitar? 2. Adakah pengaruh model pembelajaran teknik probing prompting terhadap. keterampilan siswa

Persepsi siswa bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit dan menakutkan menjadi penyebab rendahnya pemahaman konsep siswa terhadap materi yang disampaikan.

Jurnal ini secara umum berbeda dengan jurnal yang biasa dijumpai, pada jurnal ini, penulis tidak melakukan penelitian yang lebih lanjut, tidak menggunakan metode

Fritjof Capra dalam bukunya tersebut membahas perlunya manusia kembali melihat potensi bahaya ilmu pengetahuan yang cenderung dianggap membuat kacau tersebut agar kita

Pertumbuhan menghadapi risiko-risiko yang besar dengan berbagai penyesuaian yang dibutuhkan terhadap perlemahan neraca eksternal terus berjalan di dalam ekonomi dalam negeri, dan

Semua komponen masyarakat dunia harus mampu menciptakan kelestarian alam, seperti yang sudah dibahas dalam konferensi-konferensi Internasional, bahwa negara maju juga