11
Dompak Napitupulu. Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Tulisan ini adalah merupakan Bab II (Tinjauan Pustaka) dari Disertasi dengan
judul Model Perdagangan Karet Alam Indonesia: Simulasi Kebijakan Menghadapi
Kesepakatan Tripartite dan Perdagangan Bebas yang ditulis oleh penulis pada
Tahun 2004. Tinjauan pustaka dalam tulisan ini dibagi kedalam empat topik yakni:
kesepakatan triparteit, liberalisasi perdagangan, tinjauan industri karet alam, dan
tinjauan penelitian terdahulu. Bahasan kesepakatan triparteit dibatasi pada tinjauan
latar belakang lahirnya kesepakatan tersebut, liberalisasi perdagangan diutamakan
pada bahasan mengenai berbagai kesepakatan tentang perdagangan antar negara
khususnya liberalisasi perdagangan komoditas pertanian. Bahasan industri karet
alam ditujukan untuk menguraikan secara ringkas gambaran ekonomi karet dunia.
Bagian terakhir dari tinjauan pustaka ini berisi ringkasan beberapa penelitian
terdahulu dibidang perdagangan karet dunia.
2.1 Kesepakatan Triparteit
Depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat menyusul krisis moneter
yang melanda sebagian besar negara di kawasan asia tenggara pada pertengahan
tahun 1990’an secara teori seharusnya dapat meningkatkan pendapatan produsen
komoditas ekspor seperti karet alam misalnya. Namun demam kenaikan harga yang
menyebabkan peningkatan penawaran karet alam dari negara produsen karet alam
menyebabkan menumpuknya stok karet alam di negara importir. Krisis moneter
yang juga dirasakan oleh sebahagian negara di dunia menyebabkan permintaan
produk pengguna karet alam sebagai bahan mentah berkurang. Melemahnya
permintaan import karet alam juga turut dipengaruhi oleh menumpuknya stok akibat
pembelian sepanjang tahun 1998-2000. Lonjakan penawaran ekspor yang diiringi
oleh penurunan permintaan impor mengakibatkan harga komoditi ini di pasar
internasional turun sangat drastis dari harga tertinggi US$ 1,25 pada tahun 1995
menjadi hanya US $ 0,43 pada pertengahan tahun 2000 untuk spesifikasi karet alam
SIR 20 (FAO, 2001).
sepanjang sejarah perdagangan karet dianggap sudah tidak layak lagi jika dilihat dari
sisi produsen. Syarbaini (2001) mengatakan bahwa dengan posisi harga karet
kualitas ekspor (SIR-20) dibawah U.S. $ 0,50 cukup sulit bagi para petani produsen
termasuk perusahaan perkebunan untuk bisa secara optimal mengembangkan proses
budidaya karet dengan baik. Beban petani produsen semakin berat dengan depresiasi
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Nilai dollar yang semakin tinggi
menyebabkan harga berbagai input produksi ikut menaikkan biaya pemeliharaan
tanaman perkebunan karet.
Keadaan pasar karet alam yang semakin buruk menyebabkan tiga negara
produsen utama karet alam dunia yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia
menyepakati dilakukannya stock holding yakni dengan mengurangi kuota ekspor
masing masing negara sebesar 10 persen untuk tahun 2002 dan 2003 serta
mengurangi produksi sebesar 4 persen per tahun pada tahun yang sama.
Pengurangan quota ekspor yang dilakukan bersamaan dengan kesepakatan
pengurangan produksi masing-masing tiga negara produsen utama karet alam
tersebut diyakini dapat menaikkan kembali harga karet alam hingga berada pada
kisaran U.S. $ 1,00 pada akhir tahun 2003.
Lebih lanjut, Engchuan (2000) juga mengatakan bahwa pemerintah
Malaysia, Indonesia dan Thailand akan membuat kesepakatan bersama mengenai
perdagangan karet guna menaikan harga karet alam di pasar internasional. Tiga
negara produsen karet alam besar tersebut akan menetapkan harga pusat (bersama)
yang akan dikaitkan dengan perkembangan nilai mata uang dan bersepakat untuk
tidak akan menjual produk di bawah harga yang disepakati bersama tersebut.
Kebijakan triparteit telah menunjukkan dampak positip berupa kenaikan
harga karet alam di pasar internasional. Abdullah (2002) mengatakan bahwa harga
karet alam di pasar internasional telah menunjukkan kenaikan yang signifikan. Pada
periode bulan Juli 2002, harga karet alam SIR-20 telah mencapai 80,75 sen dollar
Amerika Serikat per kilogram. Kenaikan harga di pasar internasional telah juga
berimbas pada kenaikan harga ditingkat petani yakni berkisar antara Rp. 5800 – Rp 6000 per kg (KKK = 100 %).
2.2 Liberalisasi Perdagangan
Liberalisasi perdagangan yang juga dapat diartikan sebagai produk dari
kerjasama regional seperti GATT/WTO, APEC, AFTA, dan berbagai blok-blok
perekonomian yang dibentuk secara kawasan terdekat dalam bentuk segitiga
pertumbuhan seperti Singapura – Johor – Riau (SIJORI), Indonesia – Malaysia –
Singapura (IMS), Indonesia–Malaysia–Thailand (IMT).
Secara konseptual, liberalisasi perdagangan diyakini dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di kawasan negara-negara yang menjalin kerjasama. Hal
ini senada dengan pendapat Titapiwanatakun (1994) serta (Zulkifli, 2000)
mengatakan bahwa penurunan tarif dan penghapusan hambatan-hambatan non-tarif
akibat liberalisasi perdagangan internasional akan mengakibatkan turunnya harga
domestik dan akan mengubah term of trade negara importir. Lebih spesifik,
Anderson ( 2001) mengatakan bahwa globalisasi berarti penurunan biaya transaksi
dalam melakukan bisnis antar negara. Liberalisasi perdagangan menurut Anderson
bahkan telah mampu memacu laju pertumbuhan aktivitas perdagangan (trade) antar
negara dengan sangat pesat sekali. Terbukanya pintu impor dengan telah mulai
terpangkasnya berbagai barrier seperti tariff dan pajak telah menyebabkan setidaknya
seperlima dari total output dunia saling diperdagangkan antar negara. Jumlah ini
telah lebih dari dua kali jumlah komoditi yang diekspor pada tahun 1950’an.
Peningkatan volume perdagangan akibat berkurangnya berbagai bentuk proteksi
yang dilakukan baik oleh negara importir maupun eksportir memberikan alternatif
pilihan yang lebih banyak bagi masyarakat dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
Dee dan Kibbin (1996) mengatakan bahwa meski sejumlah negara di
kawasan APEC harus terlebih dahulu menanggung biaya dalam jangka pendek,
liberalisasi perdagang di kawasan ini akan memberikan manfaat yang besar bukan
hanya saja bagi negara maju tapi juga negara yang sedang berkembang di kawasan
ASIA. Biaya yang dimaksudkan oleh Dee dan Kibbin dalam periode awal
liberalisasi diantaranya adalah berupa meningkatnya jumlah pengangguran karena
sejumlah pabrik yang high cost menjadi gulung tikar.
Namun demikian sebagaimana yang diperoleh dalam pertemuan tingkat
Menteri dari negara-negara anggota WTO di Seattle pada tahun 2000, ternyata
sejumlah negara dan kelompok masyarakat tidak dapat menerima kehadiran
perdagangan bebas dengan beberapa alasan. Sebagai misal wakil dari negara-negara
yang memiliki tenaga kerja dengan skill rendah sangat menghawatirkan dampak dari
tingkat skill tinggi dari luar negeri akan masuk dengan bebas sehingga tenaga kerja
dalam negeri yang nota bene memiliki kemampuan lebih rendah akan tersisih dan
menganggur. Kelompok pemerhati lingkungan juga menghawatirkan liberalisasi
perdagangan akan dapat mengeksploitasi sumberdaya sehingga lingkungan akan
rusak.
2.2.1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)
Kesepakatan umum dalam tarif dan perdagangan (GATT) diciptakan pada
tahun 1948 di Genewa-Swiss untuk menata perdagangan internasional kearah yang
lebih baik. Berbagai kesepakatan mengenai tarif dan perdagangan telah dibahas dan
disepakati oleh negara-negara anggota GATT yang berakhir pada putaran Uruguay
pada tahun 1994 dengan kesepakatan: a) GATT akan digantikan oleh WTO efektif
sejak 1 Januari 1995, b) Penurunan tarif sebesar 33 % kecuali pada produk pertanian,
c) integrasi perdagangan textil kedalam GATT, d) pengalihan perdagangan produk
pertanian secara bertahap kedalam GATT, e) liberalisasi pada perdagangan jasa, f)
perlindungan hak kekayaan intelektual, dan g) penyempurnaan aturan untuk
mencegah kegiatan proteksi terselubung seperti anti-dumping, subsidi, dan
safeguards (Wijaya 2000).
Octaviani (2000) dalam Anindita (2002) juga menambahkan bahwa
Kesepakatan Putaran Uruguay setidaknya memiliki tiga komponen penting yang
berkaitan dengan sektor pertanian yakni: akses pasar, kebijakan persaingan, dan
kebijakan subsidi domestik. Kesepakatan tersebut memutuskan agar setiap negara
peserta melakukan dokumentasi secara transparan mengenai segala reasoning ilmiah
bagi setiap peraturan dan atau kebijakan yang dibuat yang dapat mempengaruhi
kinerja perdagangan internasionalnya. Negara-negara yang menandatangani
kesepakatan tersebut juga setuju dalam hal persyaratan impor agar sedapat mungkin
memenuhi standar internasional.
Dalam upaya meningkatkan akses terhadap pasar, kesepakatan tersebut juga
meratifikasi berbagai ukuran tarif yang layak, dan hambatan impor non-tarif seperti
misalnya batasan jumlah impor, pungutan impor, harga minimum impor, sistem
perijinan impor, intervensi pemerintah, dan berbagai strategi perdagangan lain yang
Uruguay dalam rangka membuka akses pasar adalah sebagai berikut: a) negara maju
akan menurunkan tarif rata-rata sebesar 36 persen, dengan pengurangan minimum
sebesar 15 persen pada setiap tarif selama enam tahun, b) negara sedang
berkembang diwajibkan menurunkan rata-rata sebesar 24 persen dengan penurunan
minimum sebesar 10 persen selama 10 tahun, serta c) bagi negara kurang
berkembang diperkenankan untuk tidak mengurangi tarif tapi tidak untuk
menaikkannya menjadi lebih tinggi dari tarif yang sedang berlaku pada saat
kesepakatan tersebut dibuat.
Komponen kedua yang cukup penting dari hasil kesepakatan Putaran
Uruguay adalah dalam hal kebijakan subsidi ekspor. Telah disepakati bahwa tidak
akan ada lagi bentuk baru dari subsidi ekspor yang boleh diberikan, sementara
subsidi yang sudah ada harus dikurangi dengan ketentuan sebagai berikut: a) negara
maju setuju untuk mengurangi subsidi ekspor sebesar 36 persen selama enam tahun
serta jumlah yang disubsidi dikurangi sebesar 21 persen, serta b) negara sedang
berkembang harus mengurangi subsidi sebesar 24 persen dalam 10 tahun dan jumlah
yang diperkenankan untuk disubsidi dikurangi hingga 14 persen.
Komponen terakhir dari kesepakatan Putaran Uruguay adalah persetujuan
untuk mengurangi support terhadap pasar komoditi di dalam negeri. Negara maju
sepakat untuk mengurangi belanja negara untuk subsidi sebesar 20 persen yang akan
dicapai selama enam tahun, sementara negara sedang berkembang mengurangi
anggaran untuk subsidi sebesar 13,3 persen yang akan dicapai dalam 10 tahun.
2.2.2 Asia Pasific Economic Cooperation (APEC)
Organisasi perdagangan internasional yang lebih sempit dari WTO yang
didalamnya termasuk Indonesia adalah APEC. Forum kerjasama ekonomi yang
didirikan pada tahun 1989 di Canbera - Australia ini dibentuk antara lain dalam
upaya mengantisipasi perkembangan kondisi politik dan ekonomi dunia khususnya
Uni Soviet dan Eropa Timur yang berubah secara cepat, kekhawatiran gagalnya
perundingan Putaran Uruguay akibat munculnya kelompok regional serta timbulnya
kecenderungan saling ketergantungan diantara negara-negara di kawasan Asia
Pasifik. Adapun tujuan pembentukan APEC adalah:
Menciptakan sistem perdagangan dan investasi yang bebas, terbuka dan adil di kawasan pada tahun 2010/2020 untuk ekonomi maju dan ekonomi
Memimpin dalam memperkuat sistem perdagangan multirateral yang terbuka, meningkatkan liberalisasi perdagangan dan jasa, serta
mengintensifkan kerjasama ekonomi di Asia-Pasifik.
Mempercepat proses leberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan dan investasi yang lebih jauh, meningkatkan arus barang, jasa, modal
secara bebas dan konsisten dengan GATT.
Forum kerjasama yang pada awalnya didirikan oleh 12 negara, termasuk
Indonesia, tersebut telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi suatu forum
konsultasi, dialog dan sebagai lembaga informal yang kerjasama ekonominya
berpedoman melalui pendekatan liberalisasi bersama berdasarkan sukarela. Wijaya
(2000) mengatakan bahwa negara-negara anggota APEC yang saat ini telah
berkembang menjadi 21 negara, memiliki suatu komitmen bersama menuju
liberalisasi perdagangan dan investasi dalam rangka regionalisasi terbuka yang akan
dicapai pada tahun 2010 bagi negara maju dan 2020 bagi anggota yang sedang
berkembang namun tanpa ikatan secara hukum.
Meski tanpa ikatan hukum formal, APEC dalam rangka mewujudkan
komitmennya telah mengesahkan sejumlah deklarasi diantaranya adalah Osaka
Actions Agenda (OAA)–yang memberikan arahan atau pedoman kerjasama APEC, dan Manila Action Plans For APEC (MAPA) pada tahun 1996. MAPA pada
dasarnya mengandung kesepakatan tentang Rencana Aksi Individu (RAK) atau
Individual Action Plan (IAP) dan Rencana Aksi Bersama (RAB) atau Collective
Action Plan (CAP). IAP dan CAP adalah merupakan implementasi dari kesepakatan
OAA yakni mengenai liberalisasi perdagangan dan investasi oleh anggota APEC
yang meliputi: tarif, non-tarif, jasa, investasi, standar dan kesesuaian, prosedur
pabean, hak kekayaan intelektual, kebijakan persaingan, intervensi pemerintah,
deregulasi, ketentuan asal barang, mediasi sengketa, mobilitas pengusaha, penerapan
kesepakatan Putaran Uruguay, dan informasi.
2.2.3 ASEAN Free Trade Area (AFTA)
Forum kerjasama ekonomi di kawasan ASEAN juga telah dibentuk dengan
nama ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada saat Konperensi Tingkat Tinggi (KTT)
ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. AFTA merupakan wujud dari kesepakatan
dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional
bagi sekitar 500 juta penduduknya. Hal ini sesuai dengan tujuan pembentukan
AFTA yakni: meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan
meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN.
Salah satu keunikan dari kerjasama ekonomi ini adalah kesepakatan untuk
melakukan perdagangan bebas (tarif 0 - 5 persen) diantara anggotanya sementara
tetap mempertahankan tarif sesuai dengan ketentuan GATT terhadap negara lain
yang bukan anggota AFTA (Wijaya, 2000). Mekanisme pengwujudan dari
kesepakatan bersama anggota AFTA tersebut dituangkan dalam Common Effective
Prefrential Tariffs (CEPT). Skema CEPT memuat program tahapan penurunan tarif
(0 –5 persen) dan penghapusan hambatan non-tarif bagi produk manufaktur,
termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta produk-produk yang tidak
termasuk dalam definisi produk pertanian kecuali produk-produk pertanian yang
termasuk pada klasifikasi sensitive dan highly sensitive sesuai dengan yang
disepakati oleh anggota ekonomi AFTA.
Pada dasarnya terdapat empat klasifikasi produk yang dituangkan dalam
skema CEFT yakni: Inclusion List (IL), General Exception List (GEL), Temporary
Exclusions List (TEL), dan Sensitive List (SL). Produk yang termasuk pada daftar IL
adalah produk-produk yang memenuhi kriteria: 1) jadwal penurunan tarif, 2) tidak
termasuk pada pembatasan kwantitatif, dan 3) hambatan non-tarifnya harus
dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
Klasifikasi produk yang kedua yakni General Exception List (GEL) adalah
daftar produk yang dikecualikan dara skema CEPT oleh suatu negara karena
dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat,
kehidupandan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang
seni, bersejarah atau arkeologis. Ketentuan mengenai General Exceptions dalam
perjanjian CEPT konsisten dengan Artikel X dari General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT). Contoh : senjata dan amunisi, narkotik, barang bersejarah, dsb.
Temporary Exclusions List (TEL) adalah daftar yang berisi produk-produk
yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk
TEL yang berupa barang manufaktur harus dimasukkan kedalam IL paling lambat 1
CEPT dari negara anggota ASEAN lainnya serta tidak memiliki hubungan sama
sekali dengan produk-produk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions.
Daftar produk keempat, Sensitive List, adalah merupakan daftar yang berisi
produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products = UAP
). Produk-produk pertanian bukan olahan meliputi bahan baku pertanian dan
produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk asalnya
seperti misalnya beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, cengkeh dan
karet alam. Produk dalam SL harus dimasukkan kedalam CEPT dengan jangka
waktu untuk masing-masing negara sbb: Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia,
Filipina dan Thailand tahun 2003; Vietnam tahun 2013; Laos dan Myanmar tahun
2015; Cambodia tahun 2017.
AFTA pada awalnya diberlakukan secara penuh untuk negara ASEAN-6
sejak 1 Januari 2002 dengan fleksibilitas terhadap produk-produk tertentu dimana
tarifnya masih diperkenankan lebih dari 0-5%, sedangkan untuk negara baru yakni
Vietnam pada tahun 2006; Laos dan Myanmar pada tahun 2008; serta Cambodia
pada tahun 2010. Namun perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah
adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi
Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand pada
tahun 2010 sementara bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun
2015.
2.3 Industri Karet Alam
Kajian pustaka tentang industri karet alam dipandang perlu dilakukan untuk
mendasari perumusan model perdagangan yang akan dilakukan. Kajian industri
karet alam dalam kesempatan ini di batasi pada uraian singkat tentang sejarah
penemuan, penawaran, permintaan dan harga karet alam.
2.3.1 Penemuan Karet Alam
Mubyarto dan Dewanta (1991) mengatakan bahwa olah raga tennis yang
awalnya merupakan permainan bola yang dilakukan oleh bangsa Astecs berperan
dalam penemuan karet. Tanaman karet secara komersial pertama kali ditemukan
oleh Michele Cuneo pada tahun 1493 pada pelayaran ekspedisinya ke daratan
Amerika. Pada saat itu, getah kayu yang elastis ini dipungut oleh penduduk setempat
Kebutuhan karet sebagai bahan baku bola tennis semakin meningkat seiring
dengan semakin diminatinya olahraga tennis yang telah menyebar di komunitas
bangsa Eropa. Permintaan bahan baku karet yang semakin meningkat menyebabkan
diberangkatkannya ekspedisi Peru pada Tahun 1749 menelusuri sungai Amazon dan
menemukan tanaman karet yang dikenal dengan pohon “Hevea”. Laporan ekspedisi
Peru yang ditulis oleh Freshneau (1749) semakin mengenalkan tanaman karet kepada
bangsa Eropa.
Nilai ekonomi getah karet yang semakin tinggi menyebabkan bangsa Eropa
berupaya mengembangkan tanaman ini dengan mengusahakannya dibeberapa daerah
yang menjadi jajahannya. The Royal Botanic Gardens di Kew, London mengutus
Markham pada tahun 1960 ke Amerika untuk mengumpulkan biji-biji karet dan
menyemaikannya di Kew Gardens dan Asia terutama di India dan Sri Lanka. Hasil
percobaan yang memuaskan di tiga tempat tersebut kemudian diikuti dengan
percobaan penyemaian di Kebun Raya Penang, Singapura, dan Kebun Raya Bogor.
Upaya pengembangan pohon karet secara komersial di Asia diawali oleh
perusahaan The North Borneo Trading Company pada tahun 1898 yakni dengan
menjual bibit karet untuk ditanam di wilayah Asia Tenggara. Pada tahun 1915,
negara-negara jajahan Eropa di Asia Tenggara telah mampu menghasilkan 116.500
ton karet alam guna menunjang kebutuhan industri di Eropa.
Perkembangan tanaman karet secara komersial di Indonesia diawali dengan
kebijakan perdagangan yang dibuat oleh ‘Nedherlands Indies’ yang membuka
kesempatan kepada para investor untuk menanamkan modal di bidang perkebunan
karet di Indonesia. Perusahaan asing pertama yang menanamkan modal di bidang
perkebunan karet di Indonesia adalah Harrison and Crossfield Company pada tahun
1906. Keberhasilan yang diperoleh oleh perusahaan Harrison and Crossfield
Company di bidang perkebunan karet di beberapa negara Asia kemudian
mengundang beberapa investor asing untuk masuk ke Indonesia. Masuknya para
investor asing tersebut menyebabkan perkembangan perkebunan karet di Indonesia
berjalan dengan sangat cepat.
Perkembangan perkebunan karet di Indonesia yang waktu itu masih berada
dibawah pemerintahan Hindia Belanda semakin berkembang seiring dengan
perkembangan permintaan karet dunia dan boom harga pada tahun 1922 hingga
berperan dalam memperluas perkebunan karet di Indonesia. Karet yang pada
awalnya diusahakan oleh para investor dari Eropa juga telah diusahakan oleh rakyat
di lahan yang mereka buka sendiri. Beberapa faktor lain yang turut memacu
perkembangan perkebunan karet di Indonesia diantaranya adalah:
perkembangan jaringan ekspor karet yang didukung oleh para investor dari Eropa
para jemaah haji yang mampir ke Singapura dan Malaysia membawa biji karet untuk ditanam di Indonesia
sifat tanaman karet yang mudah di rawat
keyakinan penduduk lokal atas prospek kedepan dari usaha perkebunan karet, dan
rantai perdagangan Cina yang lancar antara pulau Sumatera dan daratan Malaysia
2.3.2 Perdagangan Karet Alam
Sejarah perdagangan karet alam diwarnai oleh berbagai gangguan dari luar
(exogenous shocks), seperti misalnya krisis minyak, resessi ekonomi di negara
industi maju, liberalisasi perdagangan, serta krisis ekonomi yang melanda Asia pada
akhir abad 20, yang menyebabkan harga karet alam berfluktuasi dari waktu ke
waktu. Krisis minyak yang ditandai dengan naiknya harga minyak hingga empat kali
lipat pada tahun 1970’an menyebabkan berubahnya struktur biaya industri karet. Resessi ekonomi yang dialami negara industri pada tahun 1980’an menyebabkan
permintaan karet dunia menurun. Penurunan permintaan ini utamanya disebabkan
turunnya permintaan terhadap produk otomotif sebagai industri hilir pengguna
produk karet. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia sebagai eksportir
utama karet alam menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terdepresiasi
menyebabkan produsen memacu produksi dan dalam waktu yang singkat berakibat
pada over supply.
Industri karet mengalami pertumbuhan yang pesat hingga tahun 1973 seiring
dengan perkembangan teknologi otomotif. Pertumbuhan permintaan kendaraan
bermotor yang sangat pesat khususnya di negara industri maju menyebabkan
permintaan karet alam menunjukkan trend positip. Penawaran karet alam yang tidak
mampu mengimbangi permintaan yang semakin pesat terutama pada saat perang
kemudian secara perlahan menggeser pasar karet alam sehingga ekonomi karet alam
kembali mengalami leveling off jika tidak dapat dikatakan menunjukkan trend
negatif. Grilli at al.(1980) mengatakan bahwa selama periode tahun 1945 hingga
1973, industri karet termasuk didalamnya karet alam dan karet sintetis mengalami
pertumbuhan rata-rata 6,3 persen pertahun.
Pada tahun 1973, seiring dengan terjadinya krisis minyak bumi, industri karet
mengalami gangguan eksogenous yang cukup berarti. Industri karet sintetis
mengalami kenaikan biaya produksi karena kenaikan harga minyak mentah yang
menjadi bahan baku dari industri ini. Pada sisi lain kenaikan harga minyak bumi juga
dirasakan oleh industri hilir pengguna bahan baku karet. Meski tidak terlalu besar
dampaknya, industri karet alam juga terkena dampak dari krisis minyak pada tahun
1973 – 1974. Gelombang exogenous shock kedua dialami oleh industri karet pada
tahun 1974-1975 seiring dengan resesi yang melanda negara-negara industri maju.
Permintaan karet dunia merosot dengan sangat tajam akibat dua eksogenous shock
tersebut.
Pasca tahun 1975, industri karet dunia kembali bertumbuh secara konstan
(steady growth) seiring dengan semakin baiknya kondisi perekonomian dunia hingga
krisis yang melanda Asia pada tahun 1997. Depresiasi mata uang negara-negara
produsen karet alam di Asia terhadap dollar Amerika menyebabkan harga nominal
karet alam di pasar domestik meningkat dengan tajam. Kenaikan harga nominal
tersebut kemudian direspon oleh produsen dengan meningkatkan produksi hingga
terjadi over supply karet alam di pasar dunia. Dampak pasti dari over supply karet
alam tersebut adalah menurunnya harga, hingga kemudian tiga negara produsen karet
alam utama dunia yakni Thailand, Indonesia dan Malaysia menyepakati untuk
melakukan kuota ekspor dengan harapan harga karet alam akan kembali membaik
dalam jangka panjang.
2.3.2.1. Penawaran Karet Alam
Umumnya karet alam dihasilkan dengan cara menderes (menyadap) bagian
bawah batang karet yang dilakukan sekali dalam satu hari, empat sampai lima hari
dalam seminggu sepanjang tahun kecuali pada masa rontok daun. Petani karet rakyat
umumnya melakukan penderesan dengan pola 3 /1 /½ L yang berarti sadap tiga hari
dan istirahat satu hari dengan penderesan dilakukan pada setengah lingkar batang.
setelah berumur 6 hingga 7 tahun tergantung diameter lingkar batangnya. Tanaman
ini dengan rata-rata produksi 300 sampai 500 kg per bulan dapat di deres hingga
umur 25 hingga 30 tahun (Mubyarto dan Dewanta, 1991).
Karet alam yang umumnya masih dihasilkan oleh petani rakyat di Indonesia
dipasarkan oleh petani dalam bentuk bahan olahan karet (bokar) baik dalam bentuk
bantalan ataupun lump dengan kadar karet kering (KKK) berkisar antara 40 hingga
55 persen. Bokar kemudian diolah oleh pabrik crumb rubber kedalam bahan olahan
dengan kualitas SIR tertentu untuk kemudian di ekspor ke luar negeri.
Karet Alam, sesuai dengan kebutuhan iklim mikro yang dikehendaki,
umumnya masih diproduksi oleh negara-negara sub tropis khususnya di benua Asia
seperti Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam, serta beberapa negara sub tropis
lainnya seperti di Amerika Latin dengan jumlah produksi yang tidak terlalu
signifikan. Karet alam di negara-negara ini diproduksi baik oleh perkebunan rakyat,
swasta besar, serta perkebunan negara. Sesuai dengan perkiraan Dirjenbun, sebesar
76,1 persen produksi karet alam dihasilkan oleh perkebunan karet rakyat. Pada
Tabel 2 berikut disajikan kontribusi beberapa negara pemasok karet alam terbesar di
dunia.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Karet Alam Dunia Pada Periode Waktu Tahun 1998–2002 (.000 ton).
No Negara
T a h u n Pertum
buhan (%)
1997 1998 1999 2000 2001
1 Thailand 2,168,720 2,162,411 2,198,540 2,378,000 2,424,000 2.82 2 Indonesia 1,548,609 1,564,324 1,604,358 1,609,507 1,547,300 (0.02) 3 Malaysia 971,100 885,700 768,900 615,200 547,000 (13.37) 4 Vietnam 186,500 193,500 248,700 290,800 312,600 13.78
5 Nigeria 120,000 120,000 107,000 107,000 108,000 (2.60)
6 Côte d'Ivoire 107,985 105,363 118,860 123,398 127,900 4.32
Total 6,597,159 6,585,725 6,718,300 6,826,653 6,792,365 0,73 Sumber: FAO,2003
Tiga negara utama produsen karet alam dunia yakni Indonesia, Malaysia, dan
Thailand secara bersama sama menghasilkan 71,07 persen pada tahun 1997 dan
masih tetap memimpin dengan kontribusi sebesar 66,52 persen pada tahun 2001.
kecenderungan penurunan produksi karet alam yang dihasilkan oleh Indonesia dan
Malaysia selama lima tahun terakhir yakni masingmasing sebesar 0,02 persen dan
-13,37 persen. Disisi lain pertumbuhan positip dialami oleh Thailand yakni sebesar
2,82 persen pada kurun waktu yang sama. Pertumbuhan produksi yang cukup besar,
meski belum memiliki kontribusi yang memadai, dialami oleh Vienam yakni sebesar
13,78 persen pada tahun 1997-2001.
2.3.2.2. Permintaan Karet Alam
Karet adalah merupakan bahan baku industri ban mulai dari ban sepeda,
kendaraan bermotor hingga pesawat terbang. Selain untuk memenuhi kebutuhan
industri ban, karet juga dibutuhkan sebagai bahan baku berbagai perlengkapan
kendaraan bermotor lainnya seperti tali belt, hoses, peredam getaran, sweeper
hingga berbagai alat kedokteran seperti sarung tangan dan kondom. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa konsumen karet alam adalah negara negara industri
penghasil kendaraan bermotor dan alat kesehatan.
Hingga dewasa ini, lebih dari separuh (54,37 %) pangsa pasar karet alam
dunia berada pada empat negara importir karet alam utama yakni: USA, Jepang,
China, dan Korea, sementara sisanya yakni sekitar 45, 63 persen dikonsumsi oleh
puluhan negara importir lainnya dengan share kurang dari lima persen.
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Karet Alam Dunia Pada Periode Waktu Tahun 1993–1997 (.000 ton).
No Negara Tahun Growth Share
1995 1996 1997 1998 1999 (% / th) (%) 1 USA 949.115 939.420 975.466 1.087.647 1.031.184 2,09 22,28 2 Japan 686.449 713.792 719.264 669.300 746.636 2,12 15,69 3 China 358.181 553.495 448.838 454.774 466.679 6,84 10,18 4 Korea 270.138 281.219 276.803 262.757 306.357 3,20 6,22 5 Lainnya 1.874.784 1.834.354 1.920.775 2.260.098 2.219.225 4,31 45,63
Dunia 4.138.667 4.322.280 4.341.146 4.734.576 4.770.081 3,61
Sumber: FAO, 2000
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa permintaan karet alam mengalami
peningkatan yang signifikan selama kurun waktu tahun 1995 hingga tahun 1999.
Cina sebagai negara industri baru mengkonsumsi karet yang semakin meningkat
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,84 persen pertahun. Satu hal yang perlu
dicermati sejauh ini adalah bahwa negara tersebut ternyata bukan merupakan negara
tujuan utama bagi ekspor karet alam Indonesia.
Negara tujuan utama ekspor karet alam Indonesia adalah Amerika Serikat,
negara konsumen karet alam terbesar dunia sekaligus sebagai negara tujuan utama
ekspor karet alam Indonesia terlihat hanya mengalami pertumbuhan permintaan
sebesar rata-rata 2,09 persen pertahun pada kurun waktu yang sama. Data tersebut
menunjukkan bahwa penjajagan negara tujuan ekspor yang baru bagi karet alam
Indonesia perlu dipertimbangkan.
Ancaman terhadap pasar karet alam Indonesia juga datang dari industri karet
sintetis. Meskipun dalam beberapa aspek seperti bahan baku bagi alat peredam getar
dan peralatan kedokteran karet sintetis belum dapat menggantikan peran karet alam,
namun kehadiran karet sintetis telah mengurangi pangsa pasar karet alam pada pasar
karet. Burger, Smit, dan Vogelvang (2002) menunjukkan bahwa pada awal tahun
1940’an, karet alam masih memasok lebih dari 95 persen dari pangsa pasar karet
dunia. Share karet alam kemudian merosot sangat tajam pada periode tahun 1945
pada saat perang dunia ke dua. Kemerosotan share karet alam pada saat itu utamanya
disebabkan oleh merosotnya produksi karet alam dari negara negara di asia Tenggara
sebagai produsen utama komoditas.
Perkembangan teknologi karet sintetis pada periode tahun 1950’an kemudian
menyebabkan pangsa karet alam kembali menurun secara perlahan setelah meningkat
hingga sekitar 80 persen pada awal tahun 1950’an. Teknologi karet sintetis yang
semakin meningkat seakan menunjukkan bahwa kareet alam akan kehilangan pangsa
pasar pada tahun 1960’an. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4, permintaan karet alam kembali membaik walau dengan pertumbuhan yang relatif
sangat rendah pada tahun 1970’an hingga mencapai sekitar 45 persen pada tahun
2000. Burger, Smit, dan Vogelvang (2002) mengatakan bahwa kembalinya karet
alam ke pasar disebabkan karena komoditi ini ternyata memiliki beberapa sifat
tertentu yang tidak dimiliki oleh karet sintetis. Disamping itu perkembangan ban
kendaraan bermotor yang mengarah pada radialisasi dan tubeless menyebabkan
permintaan karet alam semakin membaik.
%
0 20 40 60 80 100 120
Satu hal yang perlu dicermati, terlepas dari semakin membaiknya kembali
pangsa pasar karet alam, adalah kehadiran karet sintetis telah dapat menggantikan
sebahagian dari kebutuhan bahan baku yang sedianya dipasok aleh karet alam. Karet
sintetis dalam beberapa segi telah menjadi subsitusi bagi karet alam. Schwarz (1998)
mengatakan bahwa perkembangan teknologi karet sintetis dapat mempengaruhi
permintaan dan sekaligus harga karet alam.
2.3.3 Harga Karet Alam
Burger, Smit, dan Vogelvang (2002) mengatakan bahwa perdagangan karet
alam dewasa ini diwarnai oleh penjualan langsung oleh pabrik crumb rubber ke
konsumen dan hanya sebahagian dari produksi karet alam yang di perdagangkan
melalui pasar. Pasar karet alam utama yang ada dewasa ini adalah New York,
Singapura, Tokyo dan Osaka. Hasil pengamatan Burger, Smit, dan Vogelvang
(2002) tentang perkembangan harga karet alam dan karet sintetis di pasar New York
menunjukkan pola yang berfliktuasi hingga menurun dengan konsisten setelah
pertengahan tahun 1990’an sebagaimana yang disajikan pada Gambar 5.
Tahun
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Karet Alam
K Sintetis
Data temuan Burger, Smit, dan Vogelvang (2002) diatas dapat dilihat adanya
perbedaan pola fluktuasi harga kedua jenis bahan baku karet tersebut. Secara visual
dapat dilihat bahwa harga karet sintetis mencapai titik tertinggi setelah harga karet
alam mulai menurun. Perilaku lainnya yang dapat diamati adalah fluktuasi harga
karet sintetis lebih rendah dibandingkan harga karet alam. Setelah tahun 1997, meski
dengan pola fluktuasi yang sama, harga kedua bahan baku karet yang dalam
beberapa hal dapat saling bersubsitusi tersebut terlihat semakin jauh dimana harga
karet sintetis cenderung bertahan lebih tinggi dari harga karet alam.
2.3.4 Kebijakan Perdagangan Karet Alam Indonesia
Secara sederhana kebijakan perdagangan karet alam dapat diartikan sebagai
segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam upaya memacu kinerja
perdagangan khususnya dalam upaya memperoleh netto perdagangan yang tinggi.
Dengan demikian penelusuran kebijakan perdagangan karet alam harus dimulai dari
kebijakan pemerintah dalam menstimuli produksi dan produktivitas karet alam.
Kebijakan pemerintah dalam memacu produksi dan produktivitas karet alam dapat
US $/ton
Tahun
dipilah menjadi kebijakan yang ditujukan langsung pada stimuli industri karet alam
maupun kebijakan yang berlaku umum pada industri pertanian.
Program intensifikasi pertanian pada dasarnya telah dimulai sejak awal tahun
1960’an yang ditandai dengan kebijakan pemberian subsidi harga pupuk. Namun
kebijakan tersebut secara tidak langsung masih ditujukan pada pembangunan sektor
pertanian tanaman pangan sebab pupuk dengan harga subsidi masih disalurkan
melalui program intensifikasi khusus dalam rangka mencapai swasemabada pangan
nasional. Pupuk yang telah disubsidi tersebut dapat diakses oleh petani tanaman
perkebunan dengan dikenalkannya Program Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman
Ekspor (PRPTE) pada tahun 1979. Menurut Hadisapoetra (1973) subsidi harga
pupuk yang dilakukan pemerintah dapat menekan harga pupuk di tingkat petani
hingga 28 persen dari harga pasar dunia.
Kebijakan subsidi input pertanian juga dilakukan oleh pemerintah terhadap
harga perstisida. Kebijakan ini juga pada awalnya ditujukan untuk melindungi petani
tanaman pangan dari kerugian akibat serangan belalang di Jawa dan Bali pada tahun
1976. Sama seperti pupuk dengan harga subsidi, pestisida yang disubsidi juga
disalurkan melalui Koperasi Unit Desa sehingga akses terhadap pestisida tersubsidi
tersebut terbatas pada petani tanaman pangan khususnya padi sawah. Subsidi harga
pestisida yang dilakukan oleh pemerintah dapat menekan harga hingga 85 persen
dibawah harga keseimbangan pasar dunia (Suryana, 1980). Putaran Uruguay yang
menyepakati pengurangan hingga penghapusan segala intervensi pemerintah dalam
rangka liberalisasi perdagangan menyebabkan pemerintah secara perlahan namun
pasti mengurangi subsidi yang diberikan atas harga pupuk dan pestisida hingga
terhapuskan sama sekali pada tahun 1990 (Anindita, 2002).
Sejalan dengan ketentuan yang disepakati bersama oleh negara peserta
GATT, Pemerintah Indonesia juga telah mengapuskan segala intervensi yang selama
ini dilakukan terhadap perdagangan karet alam. Pajak ekspor karet alam sebesar 5
persen dari harga f.o.b yang ditetapkan pada tahun 1976 telah dihapuskan oleh
pemerintah untuk beberapa jenis karet tertentu pada tahun 1981. Kesepakan
negara-negara peserta GATT dalam rangka liberalisasi perdagangan kemudian
menyebabkan pemerintah untuk menghapus semua jenis intervensi dalam
perdagangan karet alam pada tahun 1986.
Pemerintah kembali melakukan pelarangan secara resmi terhadap ekspor karet alam
Indonesia mutu rendah (SIR-50) pada tahun 1989. Kebijakan peningkatan mutu karet
alam di pasar dunia kembali dibuat oleh pemerintah dengan dikeluarkannya
peraturan yang mengharuskan eksportir memperoleh sertifikat mutu atas komoditas
karet yang akan di ekspor sejak tahun 1996.
2.4 Tinjauan Penelitian terdahulu
Penelitian dibidang perdagangan karet alam, meski dengan beberapa model
ekonometrika yang berbeda satu dengan yang lainnya, masih terbatas pada
pendugaan keterkaitan jumlah barang yang diperdagangkan sebagai variabel
dependen dengan determinan harga, pendapatan, nilai tukar mata uang, serta
kebijakan perdagangan sebagai variabel independen. Beberapa penelitian yang
mengkaji kinerja perdagangan karet alam didekati dalam tiga sub kelompok
penelitian yang meliputi mutu, liberalisasi pada perdagangan, serta model
perdagangan karet alam Indonesia.
2.4.1 Mutu Karet Alam Indonesia dan Faktor Yang Mempengaruhinya
Swardin (1995), dalam penelitiannya tentang mutu bokar dan pendapatan
petani, mengatakan bahwa terbatasnya teknologi menjadi salah satu penyebab
rendahnya mutu karet alam yang dihasilkan oleh petani karet di Indonesia. Mutu
karet yang rendah pada gilirannya menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani
produsen menjadi rendah. Konsep pemikiran ini menyebabkan Swardin
menghipotesiskan bahwa introduksi teknologi pengolahan bokar kepada petani dapat
meningkatkan pendapatan petani. Hasil penelitian Swardin menunjukkan bahwa
petani yang menggunakan teknologi creper mini secara berkelompok ternyata dapat
menikmati pendapatan 10 persen lebih besar dibandingkan petani yang mengolah
bokar dengan cara tradisional. Penggunaan teknologi creper mini juga dapat
miningkatkan pendapatan pedagang melalui penghematan biaya transportasi dari
lokasi petani produsen ke pabrik crumb rubber, serta pendapatan pabrik crumb
rubber masing-masing 45 hingga 50 persen dan 30 persen.
Hal senada juga dikemukakan oleh Marpaung (1998) dalam penelitiannya
tentang upaya peningkatan pendapatan petani karet rakyat di Kalimantan Tengah.
Hasil temuan Marpaung menunjukkan bahwa upaya perbaikan mutu bokar dapat
efisiensi biaya pemasaran/pengolahan sebesar 34,50 persen. Selain peningkatan
pendapatan yang dapat dinikmati oleh petani produsen, pedagang juga dapat
memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 28,03 persen melalui efisiensi biaya
transportasi.
Hasil temuan Sunaryo (2000) meski senada dengan dua temuan terdahulu
ternyata menunjukkan bahwa pengenalan hand milling tidak cukup mampu untuk
memacu motivasi petani produsen menghasilkan mutu bokar yang lebih baik.
Sunaryo menemukan bahwa perbaikan mutu bokar lebih banyak dinikmati oleh
pabrik crumb rubber. Lebih jauh hasil temuan Sunaryo menunjukkan bahwa tidak
termotivasinya petani untuk menghasilkan mutu baik disebabkan peningkatan harga
yang diperoleh oleh petani akibat menghasilkan mutu karet yang lebih baik ternyata
tidak sepadan dengan penurunan bobot bokar yang dihasilkan. Pendapatan petani
ternyata lebih besar jika mereka menghasilkan slab tebal dengan harga yang lebih
murah dibandingkan dengan sit angin dengan kualitas dan harga yang lebih tinggi.
Penerimaan petani per liter lateks untuk slab tebal setara dengan Rp 1.781 lebih
tinggi dibandingkan per liter lateks untuk sit angin yakni sebesar Rp. 1.657.
Hadi (1996) dalam Sunaryo (2000) juga telah terlebih dahulu menemukan
perilaku respon petani dalam menghasilkan bokar mutu baik. Hasil temuan Hadi
menunjukkan bahwa pendapatan petani yang menghasilkan mutu rendah ternyata
lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani yang menghasilkan mutu lebih
tinggi. Jumlah bahan baku lateks yang dibutuhkan untuk menghasilkan sit angin
ternyata hampir dua kali lebih besar dari kebutuhan lateks untuk sleb tebal. Harga sit
angin dengan KKK sekitar 80 sampai 85 persen berkisar antara Rp 1.800 hingga Rp
1 900 per kilogram, sementara harga bokar slab tebal dengan KKK 50 hingga 52
persen adalah Rp 1 200 hingga Rp 1 300. Hasil temuan Hadi tersebut secara implisit
menunjukkan bahwa nilai bokar mutu rendah, slab tebal yang memiliki KKK lebih
rendah ternyata lebih tinggi dari sit angin dengan mutu yang lebih tinggi.
Penghargaan yang belum sepadan terhadap bokar mutu tinggi menurut
Sunaryo (2000) lebih disebabkan cara penentuan mutu bokar di tingkat petani masih
dilakukan secara visual. Penentuan mutu karet yang hanya dilakukan berdasarkan
ciri-ciri fisik bokar sudah barang tentu rentan terhadap kesalahan pengukuran kadar
karet kering (KKK) yang sebenarnya.
memotivasi petani produsen untuk menghasilkan mutu bokar yang lebih tinggi telah
dilakukan diantaranya melalui pengenalan teknologi pengolahan bokar. Namun
rendahnya penghargaan yang diberikan pedagang pada bokar mutu yang lebih tinggi
menyebabkan petani lebih termotivasi untuk melakukan produksi secara
konvensional dengan hasil bokar mutu rendah. Perilaku pasar yang belum
memberikan penghargaan yang setimpal kepada petani produsen menyebabkan
hilangnya bokar mutu tinggi dari pasar. Meski belum terdapat penelitian terdahulu
yang mengkaji faktor penyebab rendahnya penghargaan konsumen terhadap bokar
yang dihasilkan petani, dapat diduga hal ini merupakan salah satu dampak dari
kurangnya informasi yang memadai atas mutu bokar yang dihasilkan oleh petani
produsen. Hasil penelitian Sunaryo (2000) menunjukkan bahwa penentuan mutu
bokar yang diperdagangkan di tingkat petani produsen masih dilakukan secara visual.
2.4.2 Liberalisasi Perdagangan
Kajian tentang liberalisasi perdagangan dan dampaknya terhadap industri
pertanian di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Hasil
kajian Dee dan Kibbin (1996) dalam Widjaja (2000) menunjukkan bahwa liberalisasi
perdagangan di kawasan APEC dapat memberikan manfaat yang besar bagi seluruh
negara anggotanya. Namun demikian, liberalisasi perdagangan akan menimbulkan
biaya yang harus ditanggung khususnya oleh negara berkembang di kawasan Asia
meskipun itu hanya terjadi dalam jangka pendek.
Adanya biaya yang harus ditanggung oleh negara-negara berkembang sebagai
akibat dari liberalisasi perdagangan juga menjadi salah satu hipotesis yang dibangun
oleh Matusz et al. (1999). Hasil temuan Matusz et al., dalam 50 kasus yang diamati
memperlihatkan bahwa biaya penyesuaian yang ditimbulkan oleh liberalisasi
perdagangan adalah berupa defisit perdagangan dan inflasi. Namun demikian hasil
studi yang sama juga menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan mampu
meningkatkan lapangan kerja di bidang manufaktur yang nilainya justru lebih besar
dari biaya yang ditimbulkan oleh liberalisasi tersebut.
Anderson dan Tyres (1990) juga telah melakukan kajian mengenai dampak
liberalisasi pada industri pertanian. Hasil analisis dengan menggunakan metode
General Least Sqare (GLS) yang dilakukan oleh dua orang peneliti tersebut
menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan keuntungan lebih
Moreddu et al. (1990) dengan menggunakan model Static World Policy
Simulation (SWOPSIM) melakukan kajian mengenai dampak liberalisasi
perdagangan terhadap sektor pertanian pada negara-negara berkembang. Model
yang didasarkan pada konsep Partial Ekuilibrium Comparative Static System tersebut
menunjukkan bahwa negara berkembang akan memperoleh manfaat lebih besar dari
liberalisasi perdagangan.
Hasil penelitian yang kurang lebih sama juga ditunjukkan oleh Frohberg et al.
(1990) yang meneliti dampak liberalisasi terhadap kinerja perdagangan antar negara
dengan menggunakan model Basic Link System (BLS). Hasil temuan Frohberg
menunjukkan bahwa khususnya bagi Indonesia akan berakibat pada turunnya GDP
pada jangka pendek namun akan berdampak positip terhadap pemerataan pendapatan
masyarakat.
Stepherson dan Erwidodo (1995) juga telah melakukan study mengenai
dampak pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan Putaran Uruguay terhadap kinerja
sektor pertanian di Indonesia. Hasil penelitian Stepherson dan Erwidodo dengan
menggunakan model GTAP menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan sesuai
dengan kesepakatan Putaran Uruguay akan meningkatkan volume ekspor dan impor
Indonesia dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan rumah tangga di
dalam negeri. Namun demikian, berdasarkan beberapa simulasi yang dilakukan,
terbukanya pintu impor akibat penghapusan hambatan tarif dan non-tarif akan
berdampak negatif terhadap kinerja produksi pada beberapa subsektor penghasil
bahan pangan dalam negeri.
Dampak negatif liberalisasi perdagangan terhadap kinerja produksi di bidang
pertanian pada negara sedang berkembang juga diteliti oleh Mergos et al. (1999) di
Albania. Hasil kajian Mergos et al., menyimpulkan bahwa penerapan kesepakan
liberalisasi perdagangan berdampak negatif terhadap produksi kebanyakan sektor
pertanian Albania.
Hasil temuan yang berbeda di tunjukkan oleh Ratnawati (1996). Ratnawati,
dengan menggunakan model Computable General Equlibrium (CGE) melakukan
analisis dampak kebijakan penurunan tarif impor dan pajak ekspor terhadap kinerja
perdagangan khususnya sektor pertanian dan distribusi pendapatan di Indonesia.
Hasil simulasi model menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yakni
non-migas Indonesia, dimana kenaikan nilai ekspor cenderung lebih tinggi
dibandingkan pertambahan nilai impor. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada
kinerja perdagangan di sektor agroindustri.
Hasil temuan dengan kecenderungan yang sama dengan temuan Ratnawati
juga ditunjukkan oleh Karadeloglou (1999). Karadeloglou dalam Anindita (2002)
mengamati transisi harga produk pertanian dibawah proses liberalisasi perdagangan
di Bulgaria dan Slovania. Dengan mengadopsi asumsi Walras serta memasukkan
persamaan biaya dan harga pada model yang dibangun, Karadeloglou menyimpulkan
bahwa liberalisasi perdagangan dapat meningkatkan harga-harga produk pertanian di
Bulgaria namun berdampak negatip bagi harga produk pertanian Slovania.
Anindita (2002) melakukan penelitian mengenai dampak ekonomi dari
liberalisasi perdagangan terhadap kinerja ekspor kopi, kelapa dan karet alam
Indonesia. Hasil temuan Anindita menunjukkan bahwa Nominal Protection Rate
(NPR) untuk kelapa adalah positip dan ternyata nilainya lebih besar setelah
liberalisasi dibandingkan nilai NPR sebelum era liberalisasi. Nilai positip dari NPR
menunjukkan bahwa pemerintah masih memberikan proteksi atau insentif terhadap
produsen kelapa untuk meningkatkan produktivitas mereka. Nilai NPR untuk
komoditi kopi dan karet alam telah bernilai negatif yang berarti pemerintah telah
mengurangi proteksi yang diberikan kepada produsen dua komoditi tersebut dalam
aktifitas perdagangan. Hasil temuan lain dari penelitian Anindita menunjukkan
bahwa indeks daya saing komoditi kopi dan karet alam Indonesia semakin membaik
setelah liberalisasi perdagangan. Dampak positip dari liberalisasi perdagangan juga
terlihat pada harga ditingkat produsen karet alam.
Hasil penelitian terdahulu secara umum menunjukkan bahwa liberalisasi
perdagangan yang mengarah pada pasar persaingan sempurna dapat meningkatkan
pendapatan petani produsen komoditas ekspor. Optimisme para peneliti terhadap
dampak liberalisasi perdagangan ternyata masih perlu di pertanyakan hingga
menjelang tahun 2010. Khususnya pada perdagangan karet alam, tenggang waktu
yang masih tersedia telah dimanfaatkan oleh tiga produsen karet alam utama dunia
untuk melakukan restriksi perdagangan melalui kesepakatan triparteit dengan tujuan
mengangkat harga karet alam di pasar dunia. Dampak kesepakatan triparteit
2.4.3 Perdagangan Karet Alam
Bambang (1984) melakukan penelitian tentang prospek karet Indonesia
dalam hubungannya dengan perkembangan perekonomian internasional. Bambang,
dalam analisis yang dilakukan, menggunakan model regresi linier berganda dimana
harga karet alam, harga karet sintetis, rata rata laju pertumbuhan inflasi dunia,
rata-rata laju pertumbuhan perekonomian negara maju, volume ekspor karet alam
Malaysia dan Thailand, konsumsi karet alam dunia, pajak ekspor karet alam,
kebijakan perekonomian untuk mengatasi resesi, rata rata laju pertumbuhan inflasi
dalam negeri, serta nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
dijadikan sebagai determinan penawaran ekspor karet alam Indonesia. Hasil analisis
yang dilakukan ternyata menunjukkan bahwa dari sepuluh variabel yang diamati
hanya variabel harga karet sintetis (X2) dan nilai tukar mata uang dollar Amerika
Serikat (X10) yang secara nyata berhubungan dengan volume ekspor karet alam
Indonesia.
Adanya hubungan yang nyata antara nilai tukar rupiah atas dollar Amerika
Serikat terhadap kinerja penawaran ekspor karet alam Indonesia juga disimpulkan
oleh Nancy (1988) dalam penelitiannya yang mengkaji usaha peningkatkan daya
saing karet alam Indonesia di Pasar Internasional. Dengan menggunakan pendekatan
model double log linier berganda, Nancy menduga bahwa determinan yang
berpengaruh terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia adalah harga nyata
karet alam spesifikasi RSS di pelabuhan Tanjung Periok, Pertumbuhan GNP negara
importir, jumlah ekspor karet alam Malaysia dan Thailand, pajak ekspor, dan nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Nancy menyimpulkan bahwa diantara
variabel penjelas yang dihipotesiskan, harga f.o.b Tanjung Periok dan nilai tukar
rupiah terhadap dollar ternyata berpengaruh secara nyata terhadap penawaran ekspor
karet alam Indonesia.
Hendratno (1989) dalam penelitiannya melakukan formulasi model
perdagangan karet alam antar negara dengan membangun sistem pasar dunia
kedalam empat kelompok persamaan yakni: a) persamaan permintaan, b) penawaran,
c) harga, dan d) keseimbangan pasar. Dengan menggunakan pendekatan model
autoregressif, Hendratno menyimpulkan bahwa jumlah penawaran karet alam dari
negara produsen adalah merupakan fungsi dari harga karet alam di pasar domestik,
Saleh (1991) dalam penelitiannya menggunakan alat analisis double
logaritma untuk mengkaji optimalisasi produksi dan pemasaran karet alam Indonesia.
Saleh yang membatasi lingkup penelitiannya pada penawaran ekspor karet alam
dengan spesifikasi kualitas TSR menemukan bahwa pangsa pasar karet alam
Indonesia dipengaruhi oleh rasio harga karet mutu TSR dengan karet konvensional
(bokar), perkembangan teknologi hilir berbahan baku karet , seperti ban kendaraan
bermotor, serta penawaran karet TSR beda kala.
Rahman (1992) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Penawaran dan
Permintaan Karet Rakyat di Provinsi Jambi melakukan analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran dan permintaan ekspor crumb rubber Indonesia selama 17
tahun yakni sejak tahun 1973 hingga 1989, serta mempelajari kebijakan pemerintah
di bidang ekonomi pada kurun waktu yang sama. Model penawaran ekspor crumb
rubber yang diajukan oleh Rahman untuk menjelaskan hipotesis yang hendak
dibuktikan diformulasikan dalam bentuk logaritma, dimana penawaran ekspor diduga
dipengaruhi oleh: harga karet remah SIR 20 pada tahun t, harga rata-rata pasar
internasional pada tahun t, nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS, dan teknologi yang
didekati dengan trend waktu. Hasil temuan Rahman menunjukkan bahwa harga
crumb rubber tidak secara nyata berpengaruh terhadap volume ekspor karet
Indonesia. Hal yang sama juga terlihat bahwa harga karet sintetis tidak berpengaruh
terhadap permintaan karet Indonesia di pasar internasional.
Elwamendri (2000), dalam penelitiannya dengan judul ‘Perdagangan Karet
Alam Antara Negara Produsen Utama dan Amerika Serikat’ mengkaji kinerja
perdagangan karet alam spesifikasi teknis dari negara produsen utama ke Amerika
Serikat serta perilaku harga karet alam spesifikasi teknis baik di negara produsen
maupun pasar Amerika Serikat. Dalam menjawab permasalahan yang diajukan,
Elwamendri menggunakan pendekatan model simultan dinamis yang dikelompokkan
kedalam empat aspek bahasan yaitu: a) penawaran ekspor karet alam spesifikasi
teknis Indonesia (TSR), karet alam Malaysia (SMR), dan karet alam Thailand (STR)
ke Amerika Serikat; b) permintaan impor karet alam di pasar Amerika Serikat; c)
harga ekspor karet alam spesifikasi teknis di masing-masing negara produsen utama;
serta d) harga karet alam spesifikasi teknis di pasar Amerika Serikat.
Hasil temuan Elwamendri menunjukkan bahwa tiga negara; Indonesia,
memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan ekspor ke Amerika Serikat. Hasil
temuan lainnya menunjukkan bahwa harga karet alam spesifikasi teknis di negara
produsen utama memiliki tingkat sensitifitas yang kurang baik terhadap perubahan
harga di pasar Amerika Serikat.
Anindita (2002), dalam penelitiannya tentang dampak ekonomi dari
liberalisasi perdagangan pada industri kopi, kelapa, dan karet dari Indonesia
memperkenalkan beberapa variabel dalam model persamaan penawaran ekspor tiga
komoditi tersebut. Selain variabel nilai tukar riel, produksi dan harga komoditi yang
diperdagangkan, Anindita menyertakan variabel indeks daya saing, keunggulan
komparatif, konsumsi dalam negeri, koefisien proteksi nominal, tingkat bunga
nominal, serta liberalisasi perdagangan sebagai variabel dummy. Hasil penelitian
Anindita menunjukkan bahwa variabel indeks daya saing, liberalisasi perdagangan,
serta nilai tukar riel ternyata berpengaruh sangat nyata, sementara harga di tingkat
produsen berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia.
Penelitian lain dibidang perdagangan karet alam juga telah dilakukan oleh
Grilli at al. (1980). Grilli dengan kawan-kawan meneliti daya saing karet alam
terhadap karet sintetis dipasar industri berbahan baku karet. Dengan asumsi bahwa
setiap industri berbahan baku karet memiliki fungsi produksi yang sudah baku dan
jumlah permintaan masing-masing karet berdasarkan jenisnya dapat diketahui, maka
market share karet alam dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga karet alam, harga
karet sintetis dan teknologi. Aplikasi model yang dilakukan pada pasar konsumen
karet di Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang menunjukkan bahwa ratio harga
dan teknologi berdampak positip terhadap market share karet alam di tiga pasar yang
diteliti.
Dampak krisis moneter yang melanda Asia pada akhir tahun 1990’an
terhadap perdagangan karet alam telah juga dikaji oleh Burger, Smit, dan Vogelvang
(2002). Dalam tulisan mereka, ke tiga penulis melakukan pendekatan dengan
menggunakan prosedure Eangel-Granger dan model VAR. Hasil kajian dari tiga
penulis tersebut menunjukkan bahwa devaluasi yang terjadi pada negara produsen
berdampak pada perubahan elastisitas harga sebesar 0,4. Kombinasi dari penurunan
nilai tukar mata uang Bath, Rupiah, dan Ringgit berdampak pada menurunnya harga
karet alam di pasar internasional sebesar 15 %.
pedagang berkaitan dengan krisis moneter yang terjadi. Jika sebelum krisis terlihat
kaitan yang nyata antara nilai tukar beda kala, maka pada pasca krisis terlihat
pengaruh perubahan kontemporer nilai tukar yang sangat menonjol. Kajian yang
dilakukan dengan membedakan periode sebelum dan setelah krisis menunjukkan
bahwa terjadi perubahan pola pengaruh nilai tukar terhadap harga karet alam. Pada
periode sebelum krisis nilai tukar berpengaruh secara beda kala, sementara setelah
krisis variabel ini berpengaruh secara langsung pada bulan yang sama. Namun juga
terlihat bahwa pengaruh nilai tukar setelah krisis menjadi semakin kurang bermakna.
Hal ini dapat dipahami disebabkan oleh perubahan yang sulit diperkirakan dari
waktu ke waktu khususnya yang terjadi pada nilai tukar Rupiah.
Model VAR yang memberikan kebebasan lebih banyak terhadap
kemungkinan terjadinya interaksi dari variabel endogen utama seperti konsumsi,
produksi, dan harga karet alam dan karet sintetis ternyata tidak begitu mampu
memberikan prediksi yang baik dari pengaruh perubahan perubahan nilai tukar.
Produsen karet alam lebih diuntungkan oleh adanya penurunan harga internasional
sebesar 15 % serta devaluasi sebesar 40 % dimana harga real naik sebesar 25 %.
Namun karena Indonesia mengalami devaluasi yang terparah, maka keuntungan
tersebut lebih banyak dirasakan oleh produsen Indonesia. Hasil kajian menunjukkan
bahwa 15 % dari penurunan harga ternyata terkait pada perubahan nilai tukar,
sementara sisanya disebabkan oleh variabel lain.
Hasil kajian penelitian terdahulu mengenai perdagangan karet alam Indonesia
yang disajikan diatas menunjukkan adanya kesimpulan yang berbeda tentang faktor
yang mempengaruhi kinerja perdagangan karet alam Indonesia di pasar internasional.
Kesimpulan yang berbeda dari masing-masing peneliti tersebut boleh jadi disebabkan
perbedaan model analisis yang dilakukan serta kelengkapan data yang dimiliki.
Dilain sisi, informasi yang akurat tentang determinan yang mempengaruhi kinerja
perdagangan karet alam perlu dimiliki guna penentuan kebijakan yang harus
dilakukan agar potensi komoditas karet alam sebagai salah satu pemasok devisa
negara dapat dioptimalkan.
2.4.4 Liberalisasi Perdagangan Komoditas Pertanian Lainnya
Selain kinerja perdagangan karet alam, dalam tinjauan pustaka ini juga di
review kinerja perdagangan komoditas pertanian lain yang diduga memiliki pola
dalam karyanya yang berjudul Analisis Ekonomi Lada Putih Muntok dan
Perdagangan Lada Putih Dunia Sebagai Usaha Peningkatan Daya Saing Lada Putih
Indonesia di Pasar Internasional memformulasikan fungsi penawaran ekspor lada
putih sebagai variabel dependen yang dipengaruhi oleh harga ekspor lada putih, nilai
tukar, dan jumlah lada putih yang diekspor tahun sebelumnya, serta trend waktu
untuk memfasilitasi perubahan teknologi dan infra struktur. Disisi lain, model
permintaan impor lada putih di formulasikan kedalam suatu persamaan permintaan
yang dipengaruhi oleh harga lada putih, harga komoditi subsititusi, indeks harga, dan
total pengeluaran.
Zulkifli (2000) dalam penelitiannya, meski berusaha membedakan penawaran
domestik dengan penawaran ekspor sebagaimana dianjurkan oleh Labys (1973),
membangun model perdagangan kelapa sawit Indonesia kedalam penawaran ekspor
dan permintaan impor. Persamaan penawaran ekspor minyak sawit oleh Zulkifli
dibangun dalam bentuk persamaan regressi dimana penawaran ekspor sebagai
variabel dependen dipengaruhi oleh harga pada tahun t, harga pada tahun lalu,
produksi minyak sawit pada tahun t, serta nilai tukar riel efektif (ERt).
Dimasukkannya vaiabel produksi kedalam persamaan ekspor dengan pertimbangan
perputaran produk kelapa sawit harus cepat dilakukan sebab produk ini tidak tahan
lama dalam penyimpanan.
Frandsen, at al (2001) melakukan penelitian dengan simulasi model
kebijakan perdagangan gula oleh Uni Eropa (EU) dengan skenario pengurangan
intervensi harga sebesar 25 persen dan pengurangan kuota ekspor gula sebesar 13
persen. Hasil temuan tim peneliti tersebut menunjukkan bahwa pengurangan kuata
ekspor gula sebagai salah satu skenario reformasi kebijakan EU menjelang
liberalisasi perdagangan memiliki dampak berbeda terhadap industri gula (tebu) di
negara anggota EU. Pengurangan kuota ekspor gula bagi Francis, Jerman, Australia,
dan Inggris (UK), yang merupakan negara negara penghasil gula utama di Uni
Eropa, memiliki dampak yang kurang berarti bagi produsen gula. Bagi kelompok
negara penghasil gula utama tersebut ternyata lebih menguntungkan memproduksi
gula pada harga pasar dunia. Produksi gula (sugar beet) di negara negara besar
produsen gula tersebut pada dasarnya tidak mengalami dampak dari pengurangan
kuota ekspor.
skenario pengurangan kuota ekspor gula. Meski kelompok negara produsen gula ini
pada umumnya memiliki skedule biaya produksi yang lebih ting dari kelompok
negara produsen gula terdahulu, produsen gula di negara ini dapat menikmati
kenaikan harga akibat pengurangan kuota ekspor. Produsen gula di kelompok negara
ini merespon pengurangan kuota ekspor dengan mengurangi produksi gula domestik.
Dampak pengurangan kuota yang berbeda dirasakan oleh kelompok negara
produsen kecil seperti Irlandia, Belanda, Swedia, Finlandia, Italia, Junani, dan
Portugal. Terlepas dari struktur rata rata biaya produksi yang lebih tinggi yang
dimiliki industri gula di kelompok negara ini, kenaikan harga gula akibat
pengurangan kuota ekspor direspon dengan kenaikan produksi.
Secara ringkas ditunjukkan bahwa pengurangan kouta ekspor gula oleh EU
hanya berdampak pada berkurangnya produksi gula sebesar 1 (satu) persen.
Produksi gula berkurang di Denmark dan Belgia, Kelompok negara besar tidak
berubah, serta kenaikan produksi di kelompok negara produsen kecil. Dampak
negatif dari pengurangan kuota adalah hancurnya pasar gula eks EU di pasar dunia.
Hal ini dapat terjadi karena pengurangan kuota ekspor secara umum direspon dengan
mengurangi bahkan menghapus share gula B (mutu menengah) dan menyisakan
gula- C (mutu rendah) untuk diekspor. Gula mutu A dan B dipasarkan secara
domestik dengan harga yang lebih tinggi.
Kecuali Frandsen, at al, secara implisit dapat dilihat bahwa beberapa peneliti
terdahulu masih berorientasi pada upaya mengkaji determinan penawaran komoditi
dengan lebih menempatkan harga sebagai variabel eksogen serta permintaan pada
posisi given. Semakin besar kuantitas yang ditawarkan semakin tinggi pendapatan
produsen yang akan diperoleh. Liberalisasi perdagangan juga dilatarbelakangi motif
bagaimana memperbesar volume perdagangan melalui penghapusan berbagai
restriksi yang diberlakukan sebelumnya. Prinsip efisiensi sangat mewarnai dasar
pemikiran liberalisasi perdagangan.
Salah satu issu terbaru dalam perdagangan karet alam yang diduga akan
sangat mewarnai kinerja industri ini adalah kesepakatan triparteit tiga negara
eksportir karet alam utama dunia untuk menaikkan harga melalui instrumen
pengurangan kuota dan produksi. Meski secara teori dua kesepakatan tersebut dapat
menggeser kurva penawaran karet alam di pasar dunia, namun dampaknya pada