• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Militer Jepang dan Cina dalam Kedaulatan Wilayah: Studi Kasus Perebutan Wilayah Sengketa Kepulauan SenkakuDiaoyu Tahun 20122016 T1 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Militer Jepang dan Cina dalam Kedaulatan Wilayah: Studi Kasus Perebutan Wilayah Sengketa Kepulauan SenkakuDiaoyu Tahun 20122016 T1 BAB V"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

STRATEGI MILITER JEPANG DAN CINA DARI TAHUN

2012-2016

5.1.Arah Kebijakan Keamanan Luar Negeri Jepang Terkait Perebutan Wilayah di Kepulauan Senkaku/Diayou

Dalam menangani klaim kedaulatan kepulauan Senkaku/Diaoyu yang dilayangkan oleh

Cina, Jepang telah menentukan sikap dan kebijakannya tersendiri. Berdasarkan pada

kebijakan Jepang tentang wilayah maritimnya, Jepang menyatakan bahwa negaranya ingin

menciptakan perdamaian maritim yang berdasarkan pada hukum dan bukan berdasarkan

pada force dan coercion. Secara berkala, Jepang akan meneruskan misinya untuk

menciptakan perdamaian dan kestabilan regional yang akan dibentuk melalui aturan-aturan

dalam hukum internasional.

Jepang menyatakan bahwa di perairan Senkaku/Diaoyu tidak ada wilayah kedaulatan

yang harus diperebutkan. Kepulauan Senkaku/Diaoyu secara resmi dan legal adalah bagian

dari teritori dan kedaulatan Jepang berdasarkan sejarah serta hukum internasional. Sehingga

Jepang akan bertindak secara sungguh-sungguh dan tenang dalam menjaga serta

mempertahankan integritas teritorial selayaknya tugas negara dalam melindungi

kedaulatannya.

Seiring berjalannya waktu kebijakan tersebut mengalami perubahan. Sejak tahun 2010,

tepatnya setelah Cina dan Jepang sempat terlibat percekcokan di wilayah kepulauan

Senkaku/Diaoyu serta meningkatnya aktivitas militer Korea Utara terkait uji nuklir, Jepang

mulai meningkatkan perhatiannya di bidang militer serta mengembangkan kebijakan

kemananan mengikuti kondisi Asia Timur.

Pada tahun 2010, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, membuat kebijakan politik

keamanan baru yang berisi tentang diperdalamnya kerjasama keamanan dengan Amerika

Serikat serta memperbaiki dan memperkuat kebijakan keamanan Jepang tentang “Proactive

Contributor to Peace. Dengan adanya kebijakan ini, maka secara intensif Jepang akan

terlibat secara langsung dalam lingkup keamanan regional dan Internasional.

Setelah kebijakan tersebut dibuat, Jepang mulai meningkatkan anggaran militernya,

(2)

Operations, melakukan ekspor dan impor senjata, mengintensifkan latihan pasukan militer

dengan negara-negara sekutunya seperti Amerika Serikat, dan meningkatkan penjagaan

keamanan melalui sektor militer di setiap perbatasan teritorinya terutama yang berhadapan

langsung dengan Cina.

Setelah pada tahun 2012 Jepang secara resmi menasionalisasi tiga dari delapan pulau di

kepulauan Senkaku/Diaoyu, pemerintah Jepang mulai memperketat penjagaan di wilayah

tersebut menggunakan coast guard mereka karena meningkatnya aktivitas Cina di wilayah

perairan tersebut.

Di bawah kepemimpinan Shinzo Abe, Jepang sering menyuarakan pendapatnya tentang

perilaku Cina yang sering dianggap kontroversial serta memicu tensi diantara kedua negara

terutama jika hal itu terkait dengan konflik di Laut Cina Selatan dan tentu saja di kepulauan

Senkaku/Diaoyu. Hal ini kemudian membuat parlemen Jepang merasa bahwa sudah saatnya

bagi pemerintah Jepang untuk membuat undang-undang militer baru karena situasi dan

kondisi di kawasan regional telah berubah.

Pada bulan Desember 2013, Shinzo Abe bersama dengan pemerintahannya, mulai

mengangkat isu tentang strategi keamanan nasional Jepang terkait Laut Cina Timur dan Laut

Cina Selatan.

Strategi Keamanan Nasional Jepang (2013: 12) :

“Cina telah mengambil tindakan pemaksaan yang dapat mempengaruhi serta merubah status quo suatu wilayah melalui pernyataan-pernyataan mereka yang tidak sesuai dengan tatanan hukum internasional, di wilayah maritim dan udara, yaitu Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan.”

Pada tahun 2014, Jepang terus meningkatkan konsentrasinya terhadap sektor keamanan

setelah Cina secara besar-besaran membangun pangkalan militer di Laut Cina Selatan.

Jepang yang menilai bahwa kegiatan tersebut kemungkinan besar akan merambah ke

wilayah Laut Cina Timur dan akan mengancam keamanan negaranya1, maka pada tahun 2015 ia mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan anggaran militer terbesar dalam kurun

waktu 22 tahun sebesar 4.82 triliun Yen atau sekitar 48.97 miliar USD.

1

(3)

Dari seluruh anggaran militer di atas, Jepang lebih memfokuskan pembangunan armada

laut dan udaranya. Hal tersebut dilakukan guna menjaga keamanan wilayah-wilayah yang

rentan akan ancaman dari negara-negara tetangganya seperti Rusia dan Cina. Kemudian,

untuk menangani aktivitas Cina yang mengancam kedaulatan di kepulauan Senkaku/Diaoyu,

Jepang menggelontorkan dana cukup besar bagi coast guard-nya yaitu 27% dari seluruh

anggaran militer Jepang. Hal tersebut dilakukan karena coast guard merupakan salah satu

pasukan pengamanan perbatasan terkuat yang dimiliki Jepang.

5.2.Arah Kebijakan Keamanan Luar Negeri Cina Terkait Perebutan Wilayah di Kepulauan Senkaku/Diayou

Sebagai pihak yang gencar melakukan klaim terhadap kepulauan Senkaku/Diaoyu, tentu

saja Cina mengeluarkan beberapa kebijakan terkait sengketa tersebut. Berdasarkan pada

kebijakan Cina mengenai wilayah kedaulatan negara, Cina menyatakan bahwa ia akan

dengan senantiasa menjaga dan mengamankan setiap wilayah yang menjadi bagian dari

kedaulatannya.

Pada 25 Februari 1992, Cina mengeluarkan undang-undang tentang Laut Teritorial.

Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa wilayah teritorial RRC yang meliputi wilayah darat, lepas

pantai, Taiwan, dan seluruh pulau yang terafiliasi termasuk kepulauan Senkaku/Diaoyu,

Penghu, Dongsha, Xisha, dan Nansha (Spratly) adalah bagian dari kedaulatan Republik

Rakyat Cina. Menitik dari undang-undang diatas berserta klaim Cina yang menyatakan

bahwa kepulauan Senkaku/Diaoyu merupakan wilayah teritorialnya sejak abad ke-14 dan

15, maka secara berkala Cina akan merebut kembali wilayah tersebut dari tangan Jepang.

Pada tahun 2012, setelah Jepang secara resmi menasionalisasikan tiga dari delapan pulau

Senkaku/Diaoyu, pemerintah Cina menciptakan task force yang disebut dengan “Office to Respond to the Diaoyu Crisis”. Cina yang menilai bahwa tindakan Jepang merupakan bentuk provokasi yang dapat mengubah status quo di perairan tersebut, maka mulai

menyusun beberapa kebijakan politik dan keamanan terhadap kondisi di kepulauan

Senkaku/Diaoyu.

Kebijakan politik disusun untuk memaksa pemerintah Jepang mengubah posisinya

sebagai pihak yang tidak mau mengakui adanya persengketaan kedaulatan di kepulauan

(4)

pemahaman bahwa status kedaulatan wilayah tersebut masih dalam persengketaan, maka

terciptanya penyelesaian melalui jalur diplomatis akan terwujud terutama untuk menyetujui

bahwa coast guard dari masing-masing negara akan berpatroli di perairan yang

disengketakan pada hari-hari tertentu untuk menegaskan kedaulatan kedua belah pihak.

Selain itu, kedua negara juga dapat menyepakati batas penangkapan ikan bagi kapal nelayan

yang seringkali menjadi sumbu ketegangan antara Jepang dan Cina.

Presiden Cina saat ini, Xi Jinping, mengatakan bahwa pemerintahannya akan berfokus

pada permasalahan kedaulatan dan stabilitas negara (wei quan dan wei wen). Untuk itu

segala bentuk wilayah yang terafiliasi oleh Cina, harus dijaga dan dipertahankan

menggunakan kekuatan militer jika diperlukan.

Berdasarkan pada task force di atas, kebijakan keamanan Cina kemudian ditekankan pada

patroli rutin yang dijalankan oleh China Coast Guard (CCG) maupun militer. Selain

melakukan patroli rutin, CCG juga bertugas untuk mengawal kapal penangkap ikan Cina

yang berlayar di wilayah Laut Cina Timur terutama yang berdekatan dengan perairan

Senkaku/Diaoyu.

Kebijakan tentang patroli rutin tidak hanya dilakukan di wilayah perairan saja, namun

juga diterapkan di wilayah udara. Untuk melanjutkan task force yang dibuat pada tahun

2012, Cina secara resmi mengumumkan zona udaranya atau ADIZ yang mencangkup

(5)

Gambar 9.

Air Defense Identification Zone (ADIZ) Jepang dan Cina

Sumber : Website Kementerian Pertahanan Jepang, http://www.mod.go.jp/e/d_act/ryouku/

Setelah zona pertahanan udara tersebut resmi diumumkan, pesawat militer Cina telah

beberapa kali melakukan patroli rutin untuk memantau kondisi perairan yang disengketakan.

Selanjutnya, kedua kebijakan diatas terus dilakukan hingga sekarang yang ritmenya

disesuaikan dengan kondisi dan situasi diplomatik kedua negara dengan tujuan sebagai

penegak hukum jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

5.3.Persaingan Kekuatan Militer Jepang dan Cina di Wilayah Kepulauan Senkaku/Diayou Sebagai dua negara besar yang sama-sama memiliki tujuan untuk bertahan hidup, baik

Jepang dan Cina sama-sama berusaha untuk mematenkan status kepulauan Senkaku/Diaoyu

sebagai bagian dari teritorinya. Selain mengeluarkan berbagai macam kebijakan terkait

kasus kedaulatan di kepulauan Senkaku/Diaoyu, kedua negara juga mengerahkan

kemampuan militernya di wilayah perairan maupun udara kepulauan tersebut. Secara mata

telanjang, kemampuan militer Cina jauh diatas Jepang, namun jika dilihat berdasarkan

kemampuan mengolah strategi militer, politik, fokus, teknologi, serta aliansi, dapat

dikatakan bahwa kedua negara tersebut memiliki kekuatan yang seimbang.

Berangkat dari pemikirian Mearsheimer tentang offensive realism, Cina merupakan salah

satu the new great power menyaingi Jepang dan AS. Masing-masing negara memiliki power

yang dapat mengancam satu sama lain. Cina dengan kekuatan ekonomi, militer, serta people

power-nya mampu membuat Jepang kalang kabut sehingga sebagai aktor rasional, dirinya

mulai melakukan counter-balancing2 dengan cara meningkatkan kemampuan internalnya

yaitu menciptakan strategi militer baru yang meliputi peningkatkan anggaran militer,

teknologi militer serta aliansi dengan AS guna menghadapi Cina yang terus menerus

berusaha menggeser posisi Jepang sebagai tuan rumah di kepulauan Senkaku/Diaoyu.

Melalui kekuatan ekonominya, Cina mampu mendanai fasilitas-fasilitas militernya untuk

menunjang kepentingannya di kepulauan Senkaku/Diaoyu. Namun dengan demikian, Cina

juga memiliki fokus yang terpecah belah jika dibandingkan Jepang. Meskipun saat ini

2

(6)

Jepang tidak hanya berhadapan dengan Cina terkait ancaman kedaulatan, namun skala

ancaman yang dihadapi Jepang masih cukup rendah dibanding Cina yang menghadapi

konflik di Laut Cina Selatan. Dimana klaim Cina terhadap sebagian besar wilayah tersebut,

mampu menarik sebagian besar tenaga dan anggaran Cina karena ia tidak hanya menghadapi

satu kekuatan negara, namun lima negara berdaulat yaitu Vietnam, Malaysia, Indonesia,

Brunei Darusalam, Filipina beserta aliansinya termasuk Jepang dan AS.

Berdasarkan penjelasan diatas, berikut adalah kekuatan militer dari masing-masing

negara serta aktivitas keduanya di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu dalam kurun waktu

beberapa terakhir paska meningkatnya intensitas pergesekan hubungan diplomatis kedua

negara pada tahun 2012.

5.3.1. Kekuatan Militer Jepang

Paska Perang Dunia II, Jepang kemudian „pensiun‟ dari aktivitas militernya. Negara ini memiliki trauma tersendiri atas apa yang terjadi di masa

lampau. Bom atom yang dijatuhkan di kota Nagasaki dan Hirosima membawa

pukulan hebat bagi Jepang. Sanksi yang dijatuhkan AS pada Jepang untuk tidak

mengembangkan kekuatan militernya menjadi titik baru kehidupan negara

tersebut.

Seiring dengan berjalannya waktu dan berubahnya situasi serta kondisi

politik dan keamanan dunia internasional, kemudian memaksa Jepang mengubah

pandangannya untuk kembali melakukan pengembangan sektor militer. Di

bawah kepemimpinan Shinzo Abe, anggaran militer Jepang berangsur naik dari

tahun 2010-2017. Seperti yang telah disebutkan dalam bab I, pada tahun 2015

Jepang menyisihkan anggaran militer terbesar setelah 22 tahun yang mencapai

4.82 triliun Yen atau 48.97 miliar USD dan terus meningkat hingga tahun 2017

(7)

Gambar 10.

Kenaikan Anggaran Militer Jepang dari 1997-2017

Sumber : Dokumen White Paper Kementerian Pertahanan Jepang tentang Dana Fiskal tahun 2017.

Semenjak coast guard Jepang menjadi salah satu penjaga perbatasan

terkuat yang dimiliki oleh Jepang, maka negara ini menyisihkan 27% dari

keseluruhan anggaran militernya untuk meningkatkan kekuatan coast guard-nya

terutama di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu yang saat ini menjadi perhatian

besar karena gencarnya klaim Cina terhadap wilayah tersebut. Selanjutnya, coast

guard Jepang memiliki dana sebesar 210.6 miliyar Yen untuk keperluan fiskal

dan 57.8 miliyar Yen akan digunakan untuk meningkatkan pengawasan terutama

di perairan dekat pulau-pulau terpencil.

Selain coast guard, Jepang memiliki kekuatan laut lain yang disebut

dengan Japanese Maritime Self-Defense Force (JMSDF) yang merupakan

cabang Angkatan Laut terbaik Jepang karena memiliki teknologi yang lebih

mempuni, berpengalaman, dan terlatih dibandingkan People Liberation Army

Navy (PLAN) milik Cina.

JMSDF menjadi kunci kekuatan Angkatan Laut Jepang kerena memegang

kendali yang cukup besar dalam menjaga keamanan laut Jepang. JMSDF

(8)

2010, Angkatan Laut Jepang mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan

armada kapal selamnya dari 16 menjadi 22 kapal. Sepuluh diantaranya berjenis

Soryu yang merupakan kapal selam diesel terbesar dan berteknologi maju di

dunia. Dari keseluruhan kapal selam Soryu, lima diantaranya akan beroperasi

pada tahun 2019.

Selain memiliki kekuatan Angkatan Laut yang mempuni, Jepang sedang

mengembangkan teknologi pesawat militernya ke arah yang lebih serius.

Berdasarkan White Paper Jepang yang dirilis pada tahun 2016 lalu, Jepang

sedang berusaha untuk menciptakan serta mengembangkan teknologi seluruh

pesawat patrolinya seperti P-3C, helikopter penyelamat SH-60K dan SH-60J,

pesawat intelijen OP-3C, pesawat tempur F-35A serta F-2, dan lain-lain guna

meningkatkan kemampuan Jepang dalam menjaga wilayah perbatasan.

Dari seluruh kekuatan militer yang dimiliki oleh Jepang, tidak lengkap

jika kekuatan tersebut tidak didukung oleh Amerika Serikat. Jepang diketahui

telah menjadi sekutu AS paska PD II dan hampir 70 tahun Amerika Serikat

menjadi perisai militer Jepang. Kedua negara ini memiliki perjanjian keamanan

yang mencangkup beberapa kegiatan militer seperti latihan bersama, kerjasama

dalam pengembangan teknologi militer dll.

Amerika Serikat yang menyandang gelar sebagai negara dengan kekuatan

militer pertama di dunia, tentu saja menyuguhkan posisi tawar yang cukup tinggi

bagi Jepang dalam menghadapi ancaman-ancaman yang datang dari

negara-negara tetangganya terutama Cina. Terlebih lagi, saat ini Amerika Serikat

sedang mengarahkan pandangannya ke wilayah Asia Pasifik karena kehadiran

Cina di wilayah tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap hegemoni Amerika

Serikat. Kolaborasi antara majunya industri teknologi Jepang dengan kekuatan

Amerika Serikat sebagai negara adidaya, menciptakan kekuatan yang cukup

sepadan dalam menghadapi Cina sebagai The New Rising Power.

5.3.2. Kekuatan Militer Cina

Jika berbicara tentang kekuatan militer Cina, maka kekuatan negara ini

(9)

ketiga di bawah Amerika Serikat dan Rusia, tentu saja negara ini menjadi negara

yang ditakuti oleh banyak negara. Di kawasan Asia, Angkatan Bersenjata Cina

atau People Liberation Army (PLA) nyaris unggul di seluruh bidang militer.

Tercatat bahwa Cina memiliki lebih dari 1.600.000 personel militer tersendiri.

Walaupun dalam kurun waktu dua tahun terakhir anggaran militernya terlihat

menurun dari tahun-tahun sebelumnya, namun kekuatan yang dimiliki negara

tersebut tidak lah berkurang.

Gambar 11.

Kenaikan Anggaran Militer Cina Tahun 1989-2016

Sumber : Dokumen White Paper Kementerian Pertahanan Jepang Tahun 2016

Untuk kekuatan Angkatan Laut Cina atau PLAN sendiri, ia memiliki

235.000 pasukan yang membawahi tiga armada laut yaitu Armada Beihai,

Armada Donghai, dan Armada Nanhai. Setiap armada memiliki kantor pusat

penerbangan, support bases, armada kapal, korps pasukan maritim, divisi

penerbangan dan unit brigade laut. Selain itu, PLAN juga didukung oleh kapal

induk Liaoning yang digunakan untuk pengembangan pesawat induk bagi

(10)

Berdasarkan pada White Paper yang dikeluarkan oleh Jepang pada tahun

2014, PLAN dan PLAAF3 memiliki sekitar 2,580 pesawat tempur yang kebanyakan diimpor dari Rusia dan berjenis Su-27. Selain itu, Cina juga

memproduksi sendiri beberapa jenis pesawat tempur seperti J-11B yang

digadang-gadang sebagai tiruan dari pesawat tempur Su-27. Selain itu, sebagai

salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia, Cina juga terus menerus

mengembangkan beberapa jenis pesawat tanpa awak yang mampu melakukan

penerbangan secara berjam-jam untuk menjalankan misi pengintaian serta

membawa rudal dan senjata lainnya untuk tujuan penyerangan.

5.3.3. Aktivitas Jepang dan Cina di Wilayah Kepulauan Senkaku/Diaoyu

Selain mendeklarasikan ADIZ, menasionalisasi pulau, serta mengirim

protes resmi antar pemerintah, Jepang dan Cina juga kerap kali terlibat

percekcokan vis a vis di beberapa wilayah udara yang oleh Jepang disebut

sebagai wilayah kedaulatan negaranya. Tercatat sejak tahun 2012-2017, pesawat

Cina menjadi yang terbanyak dalam memasuki wilayah udara Jepang terutama

di zona pertahanan udara kepulauan Senkaku/Diaoyu.

Gambar 12.

Jumlah Pelanggaran Batas Udara Oleh Beberapa Negara di Wilayah Udara Jepang

Sumber : Press Release Kementerian Pertahanan Jepang

http://www.mod.go.jp/js/Press/press2017/press_pdf/p20170413_02.pdf

3

(11)

Gambar 13.

Aktivitas Pesawat Patroli Cina dan Rusia di Zona Udara Jepang Sumber : Press Release Kementerian Pertahanan Jepang

http://www.mod.go.jp/js/Press/press2017/press_pdf/p20170413_02.pdf

Berdasarkan pada data dan gambar di atas, maka aktivitas udara Cina

kerapkali menyambar zona udara di dekat kepulauan Senkaku/Diaoyu. Dengan

adanya hal ini, maka sudah jelas jika Cina memiliki kepentingan tersendiri di

wilayah tersebut. Menanggapi aktivitas udara Cina, beberapa kali pesawat

tempur Jepang tidak segan untuk turun lapangan dan memberikan peringatan

pada Cina untuk mundur dan menjauh dari wilayah udara yang dilindungi oleh

Jepang itu.

Selain aktivitas udara dan patroli laut yang dimandatkan oleh pemerintah

masing-masing negara. Ketegangan di wilayah ini sering terjadi karena aktivitas

kapal penangkap ikan yang sering kali melanggar batas wilayah dan hal ini lebih

sering dilakukan oleh kapal penangkap ikan dari Cina. Hal tersebut kerap terjadi

karena banyak masyarakat cina termasuk para aktivis yang merasa memiliki hak

untuk melakukan aktivitas di perairan tersebut karena wilayah itu merupakan

wilayah Cina dan bukan Jepang. Akibatnya, coast guard Jepang sering mengusir

dan bahkan beberapa kali harus menangkap kapal-kapal penangkap ikan

tersebut.

Untuk menghindari kejadian diatas, maka CCG harus rela melakukan

(12)

perairan Senkaku/Diaoyu untuk mencegah mereka masuk lebih jauh ke wilayah

sengketa dan mendesak coast guard Jepang untuk tidak melakukan tindakan

yang agresif terhadap kapal-kapal itu.

Aktivitas lain yang dilakukan oleh kedua negara di sekitar kepulauan

Senkaku/Diaoyu adalah menempatkan teknologi militer di wilayah-wilayah

yang berdekatan dengan kepulauan tersebut. Dari sisi Jepang, dari tahun 2015

lalu, ia mulai memperbaharui pemasangan radar di beberapa titik yang

berdekatan dengan Okinawa. Sedangkan dari sisi Cina, ia dikabarkan sedang

mempersiapkan pembangunan dermaga bagi kapal perang di sebuah pulau lepas

pantai yang berdekatan dengan wilayah sengketa. Dermaga tersebut dibangun di

Pulau Nanji, Wenzhou Cina, dengan panjang sekitar 80 m dan mampu

menampung kapal-kapal pendarat. Selain itu, beberapa pulau disekitarnya juga

telah dipasangi sistem radar dan heliport yang diduga digunakan untuk

membangun landasan pacu bagi keperluan militer.

5.4.Perimbangan Kekuatan (Balance of Power) Jepang dan Cina terkait Permasalahan Kedaulatan di Kepulauan Senkaku/Diaoyu

Selama kasus tentang kepulauan Senkaku/Diaoyu muncul kepermukaan, telah banyak

terjadi pertarungan kebijakan antara Jepang dan Cina. Walaupun dalam beberapa kondisi

mereka memiliki beberapa kebijakan yang hampir sama, namun kebijakan-kebijakan

tersebut tidak dapat disinkronisasikan karena bedanya pandangan terhadap status kepulauan

tersebut. Jepang yang tidak mengakui bahwa kepulauan tersebut berstatus sengketa seperti

yang dilayangkan oleh Cina, kemudian memperlihatkan secara jelas tentang banyaknya

perbedaan kebijakan di antara keduanya. Menurut Jepang, kepulauan Senkaku/Diaoyu telah

resmi sebagai bagian dari kedaulatan negaranya berdasarkan nilai historis dan hukum

internasional. Maka dari itu kebijakan yang Jepang ambil seperti meningkatkan anggaran

militer, memodernisasi kekuatan militer, meningkatkan penjagaan oleh coast guard, dan

aktivitas lain terkait pengamanan wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu, didasarkan pada

kewajiban dan hak sebagai negara berdaulat untuk melindungi wilayahnya yang terancam

oleh negara lain. Jepang mempertahankan wilayah tersebut menggunakan kekuatan yang ia

(13)

untuk menasionalisasi tiga pulau di Senkaku/Diaoyu yang tadinya dimiliki oleh

perseorangan bukanlah suatu bentuk provokasi karena itu adalah hak Jepang terhadap

wilayah kedaulatannya. Dan hal-hal tersebut merupakan bagian dari internal balancing yang

dilakukan oleh Jepang dalam menghadapi Cina di kepulauan Senkaku/Diaoyu

Bagi Negara Cina yang melihat bahwa status kepulauan Senkaku/Diaoyu adalah

sengketa, kemudian melakukan internal balancing dengan mengeluarkan kebijakan law

enforcement untuk memaksa Jepang mengubah posisinya terhadap kepulauan

Senkaku/Diaoyu. Cina mulai mempertegas kebijakannya dengan mengirimkan pasukan

patroli CCG ke wilayah perairan Senkaku/Diaoyu dan merilis zona pertahanan udaranya

yang mencangkup seluruh wilayah udara kepulauan Senkaku/Diaoyu.

Dirilisnya zona pertahanan udara atau Air Defence Identification Zone (ADIZ) oleh Cina,

kemudian menimbulkan kontroversi bagi Jepang. Kegiatan yang dilakukan oleh Cina

merupakan salah satu tindakan balancing terhadap kebijakan Jepang terkait

penasionalisasian pulau-pulau di wilayah sengketa pada tahun 2012. Selain itu, tindakan

Cina juga dianggap sebagai bagian dari national interest-nya terhadap status quo di

kepulauan Senkaku/Diaoyu. Analoginya, Cina mendeklarasikan ADIZ karena ia sadar

bahwa Jepang tidak akan mengubah posisi kedaulatannya terhadap kepulauan

Senkaku/Diaoyu. Cina memutuskan untuk menguasai wilayah udara di sekitar kepulauan

Senkaku/Diaoyu karena ia sadar bahwa saat ini ia tidak dapat menguasai perairan maupun

daratan di wilayah tersebut. Maka dari itu, guna menunjukkan bahwa ia juga memiliki

power terhadap kepulauan tersebut, ia pada akhirnya harus mengambil alih wilayah udara

kepulauan Senkaku/Diaoyu.

Perimbangan yang dilakukan oleh Cina tersebut tentu saja direspon keras oleh Jepang

karena dengan luasnya ADIZ yang dideklarasikan Cina, maka akan mengganggu stabilitas

wilayah udara Jepang. Selain itu, ADIZ yang dideklarasikan Cina akan memaksa Jepang

untuk melaporkan segala aktivitas udaranya di wilayah kedaulatannya sendiri kepada Cina.

Sedangkan jika Jepang tidak melaporkan aktivitas tersebut, maka Cina tidak akan segan

untuk mengambil tindakan agresif dengan cara militer. Terlebih lagi, ADIZ tersebut akan

memudahkan pesawat-pesawat Cina, terutama pesawat militer, masuk ke wilayah udara

(14)

Konsep mengenai ADIZ sendiri merupakan gagasan Amerika Serikat pada tahun 1951

dengan tujuan untuk mengidentifikasi maksud serta tujuan masuknya pesawat dari Amerika

Utara ke wilayah AS pada saat itu. Batas wilayah ADIZ biasanya lebih luas dari satu

wilayah teritorial untuk memudahkan pengidentifikasian pesawat yang akan memasuki

ruang udara suatu negara. Namun demikian, cara kerja ADIZ tidak terikat oleh hukum atau

perjanjian internasional karena ia merupakan mandat nasional suatu negara. Jadi negara lain

diperbolehkan untuk menaati atau menolak kebijakan tersebut, walaupun jika ada pesawat

suatu negara yang tidak mengikuti instruksi dari petugas administrasi ADIZ nekat untuk terbang di wilayah tersebut, maka angkatan senjata dari negara „tuan rumah‟ berhak untuk meresponnya sebagai ancaman dan dapat menggunakan kekuatan militer sebagai bentuk

perlindungan terhadap kedaulatan negaranya.

Untuk external balancing, sebenarnya dari kedua negara yang terlibat, Jepang merupakan

negara yang secara terang-terangan memanfaatkan metode external balancing sebagai

tambahan kekuatan internalnya. Kerjasama militernya dengan AS merupakan bentuk

kesepakatan yang sangat mengikat bagi Jepang dan sudah menjadi kebijakan paten terkait

pertahanan negara. Walaupun sejak tahun 2015 Amerika Serikat mulai membatasi intensitas

kerjasama militer antara keduanya, tetapi pada kenyataannya pada tahun 2017 ini, kedua

negara kembali lengket dalam urusan peningkatan kerjasama militer. Pada bulan Februari

lalu, Sekertaris Pertahanan AS, James Mattis, menyatakan bahwa ia akan mendukung

Jepang dalam menghadapi Cina terkait pertahanan kedaulatan di kepulauan

Senkaku/Diaoyu.

Walaupun Cina bukan negara yang benar-benar memanfaatkan metode external

balancing sebagai tambahan kekuatan dalam menghadapi negara pengancam kedaulatannya,

namun Cina memiliki Rusia sebagai rekan kerjasama teknologi militer yang cukup setia.

Dilatarbelakangi dari ideologi yang sama, kedua negara ini telah sejak lama menjalin

kerjasama terkait teknologi militer. Hal tersebut dapat dilihat dari persenjataan militer serta

pesawat Cina yang bahan-bahannya berasal dari Rusia. Walaupun tidak secara langsung

Rusia mendukung Cina atas klaimnya terhadap kepulauan Senkaku/Diaoyu, namun kedua

negara ini memiliki ikatan yang baik dalam mendukung satu sama lain. Terlebih, Rusia

merupakan negara yang sama-sama sedang menghadapi sengketa kedaulatan dengan Jepang

(15)

Untuk permasalahan pembagian wilayah di kepulauan Senkaku/Diaoyu, Cina

menyarankan bahwa pembagian wilayah tersebut dapat dilakukan melalui ketentuan Zona

Ekonomi Ekslusif (ZEE), sedangkan Jepang mengusulkan untuk menggunakan konsep

equidistant atau menarik garis median dari wilayah yang tumpang tindih karena luas Laut

Cina Timur tidak lebih dari 400 mil di wilayah yang disengketakan.

Berdasarkan pada ketentuan dari United Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS) tahun 1982 mengenai Hukum Laut Internasional, jika jarak perairan laut yang

membelah dua negara (berhadap-hadapan) kurang dari 400 mil, maka kedua negara tersebut

berhak melakukan perundingan untuk menciptakan kesepakatan tentang batas negaranya.

Tetapi karena Jepang dan Cina telah memiliki pandangan dan national interest yang

berbeda, maka kesepakatan antar keduanya selalu gagal terwujud. Bagi Jepang, jika

menuruti kemauan Cina untuk menggunakan konsep ZEE, maka negaranya akan sangat rugi

karena Cina akan mendapatkan seluruh wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu yang mana

diakui sebagai kedaulatan negara Jepang. Sedangkan bagi Cina, pembagian menggunakan

konsep equidistant tidak dapat diterima karena itu berarti ia akan menyerahkan seluruh

wilayah perairan kepulauan Senkaku/Diaoyu kepada Jepang.

Balancing antara Jepang dan Cina tidak hanya soal kebijakan namun juga soal bagaimana

negara tersebut saling bertindak dan berperilaku. Penggunaan kekuatan militer sebagai jalan

kedua negara dalam mempertahankan kedaulatan wilayah mereka, telah menjadi ancaman

yang nyata bagi keamanan nasional Jepang maupun Cina. Seperti yang telah digambarkan

pada sub bab sebelumnya tentang aktivitas kedua negara di wilayah kepulauan

Senkaku/Diaoyu, baik Jepang maupun Cina sama-sama saling mengancam satu sama

lainnya dengan cara mengerahkan teknologi militer yang mereka miliki. Pergesekan antar

coast guard, kapal militer, dan pesawat militer kedua negara di wilayah yang bermasalah,

menjadi sumbu yang memperkeruh hubungan keduanya. Salah satu contohnya terjadi di

tahun 2013 ketika kapal perang Cina me-lock-on radar fire-control-nya ke kapal dan

helikopter angkatan pertahanan maritim Jepang atau Maritime Self-Defence Force (MSDF)

yang sedang berpatroli di kawasan Senkaku/Diaoyu. Dimana setelah diselidiki lebih lanjut,

radar tersebut merupakan sebuah sistem kapal perang yang digunakan untuk mengarahkan

(16)

Negara Jepang dan Cina, keduanya sama-sama mengerahkan power yang mereka miliki

untuk mempertahankan apa yang menurut mereka menjadi miliknya. Kedua negara ini tidak

henti-hentinya saling mengancam, lock-on melalui radar kapal perang terhadap angkatan

bersenjata militer negara lain, merupakan suatu bentuk tindakan provokasi yang sangat

berbahaya dalam dunia internasional karena hal tersebut merupakan ancaman terhadap

keamanan nasional suatu negara dan dapat memicu perang jika terus berlanjut.

Jika dianalisis lebih jauh, penggunaan angkatan bersenjata Cina ke Jepang, merupakan

salah satu bentuk dari tindakan offensive Cina dalam menghadapi Jepang yang bersikeras

untuk tidak mengubah posisinya yang menyatakan bahwa kepulauan Senkaku/Diaoyu

merupakan bagian dari kedaulatan negaranya. Untuk memperlihatkan kesungguhannya, Cina

kemudian mengambil tidakan seperti law enforcement dengan mengirimkan pasukan

CCG-nya ke perairan Senkaku/Diaoyu untuk lebih memperlihatkan bahwa ia tidak main-main

dalam klaim yang ia layangkan. Sedangkan dari sisi Jepang, sebagai tindakaan offensive

-nya, ia secara mengejutkan mulai meningkatkan anggaran militernya secara besar-besaran,

mengembangkan teknologi militernya menggunakan kemampuan dan kecanggihan

teknologi negaranya yang telah diakui dunia, dan tentu saja menjalin kerjasama yang

semakin akrab dengan Amerika Serikat.

Walaupun Jepang dan Cina telah benar-benar saling menunjukkan tindakan agresif yang

mengancam, keduanya tidak kunjung mengobarkan perang satu sama lain dan malah saling

menciptakan balance of power secara berkala. Terciptanya situasi balance of power antara

Cina dan Jepang, tentu saja didasari oleh beberapa alasan kuat, berikut adalah alasan-alasan

tersebut. Pertama, Jepang dan Cina sama-sama memiliki visi untuk menciptakan kestabilan

regional yang damai dengan membentuk kerjasama kawasan di wilayah Asia Timur. Sebagai

dua great power di wilayah regional Asia Timur, Jepang dan Cina memiliki peran besar

dalam menjaga kestabilan kawasan baik dari segi politik, ekonomi, dan keamanan. Tidak

hanya di kawasan saja, mereka juga bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan dunia

karena pengaruh mereka sangat besar dalam sirkulasi dunia internasional baik dari segi

ekonomi, politik maupun keamanan. Jika kedua negara ini memutuskan untuk berperang,

maka kestabilan kawasan dan bahkan dunia akan terganggu. Lebih kecil lagi, kestabilan

nasional mereka akan melemah sehingga akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan

(17)

Kedua, Negara yang berperang cenderung akan lebih memfokuskan urusan rumah

tangganya untuk dapat bertahan dan menang dalam pertarungan yang dihadapi. Hal itu, tentu

saja akan mengganggu kestabilan nasionalnya karena urusan negara bukan hanya soal

urusan keamanan saja namun juga soal ekonomi, pemerintahan, sosial, dll. Selain itu, saat

ini situasi dunia telah semakin maju. Globalisasi mengubah fokus setiap negara dunia yang

tadinya berfokus pada sektor keamanan, kemudian berpindah haluan menjadi sektor

ekonomi. Dimana sektor ini merupakan sektor terpenting dan menjadi pondasi kehidupan

suatu negara dalam membangun serta mengembangkan negaranya. Sebagai aktor rasional,

pembentukan strategi balance of power, merupakan hal yang patut dilakukan suatu negara

dalam dunia globalisasi saat ini. Jika negara ingin bertahan hidup, maka ia harus menjaga

kekuatan ekonominya agar tidak terganggu karena modal untuk melakukan pembangunan

dan pengembangan negara adalah adanya pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, Jepang dan Cina sama-sama masih memiliki nasional interest satu sama lain.

Sebagai negara yang saling bertetangga, keduanya memiliki ikatan ketergantungan

walaupun hubungan antar keduanya sering kali mengalami pasang surut. Kedua negara ini

memiliki hubungan yang disebut dengan “cold politics and warm economic relations”. Globalisasi membawa mereka pada hubungan kerjasama ekonomi khususnya dalam sektor

industri dan perbankan. Hal tersebut dapat diketahui pada tahun 2014 ketika Jepang menjadi

negara terbesar kedua bagi Cina terkait kerjasama ekonomi karena investasi-investasi yang

ditanamkan oleh Jepang di Cina. Walaupun investasi yang dilakukan kedua negara memiliki

resiko kerugian karena situasi dan kondisi politik yang tidak menentu, namun keduanya

tetap melakukan kerjasama karena mereka telah berada dalam pola ketergantungan satu

sama lain. Mungkin, kerjasama ekonomi yang masih terjalin antara Jepang dan Cina dapat

meredam sedikit ketegangan yang sering terjadi antara dua great power ini. Namun

demikian, melalui dokumen white paper-nya pada tahun 2015, secara khusus Cina

menyatakan bahwa ia akan siap melindungi aset maupun institusi yang terletak di negara

lain menggunakan pasukan militernya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di negara

tersebut.

Dengan penjelasan di atas, maka situasi Jepang dan Cina tidak akan berubah menjadi

situasi perang walaupun keduanya telah saling mengancam. Adanya balance of power, telah

(18)

dilakukan Jepang dan Cina bukan lagi sekedar untuk bertahan, namun digunakan untuk

mengancam lawan sebelum ia diancam terlebih dahulu. Tindakan yang saling mengancam

dan percikan ketegangan fisik antar kedua kubu di perairan maupun udara kepulauan

Senkaku/Diaoyu merupakan hal yang tidak bisa lagi mereka hindari karena pada

kenyataannya mereka memiliki kapasitas power yang memungkinkan mereka untuk

mengambil tindakan tersebut. Selain itu, sebagai great power, mereka akan sama-sama

memiliki banyak pertimbangan dalam melakukan segala tindakan untuk tetap bertahan

hidup. Baik Jepang atau Cina, akan terus melakukan peningkatan kekuatan militer terutama

di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu sebagai alat untuk meningkatkan posisi tawarnya

dalam setiap perselisihan yang mereka hadapi sekaligus untuk memperlihatkan kepada

lawan bahwa negaranya tidak lemah dan bisa saling mengimbangi dengan cara melakukan

ancaman menggunakan kekuatan militer.

5.5.Refleksi Penelitian

Penelitian mengenai strategi militer Jepang dan Cina dalam mempertahankan kedaulatan

Kepulauan Senkaku/Diaoyu dimulai dari rasa ketertarikan penulis atas perubahan situasi

keamanan regional Asia Timur. Dari seluruh faktor perubahan yang ada, ketegangan antara

Cina dan Jepang atas status sebuah wilayah perairan dengan pulau-pulau tak berpenghuni

telah menarik penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai permasalahan

tersebut. Dimana sebuah kepulauan yang memiliki julukan berbeda dari Jepang dan Cina

yaitu Senkaku/Diaoyu telah menciptakan situasi yang cukup rumit bagi hubungan

diplomatik kedua negara.

Sebagai refleksi dari hasil penelitian dan analisa terkait topik di atas, terdapat beberapa

temuan menarik dari seluruh strategi militer yang dikeluarkan oleh Jepang maupun Cina.

Pertama, kepulauan Senkaku/Diaoyu merupakan wilayah yang memiliki letak strategis bagi

Jepang dan Cina. Seperti yang dijelaskan dalam penelitiannya tentang sengketa wilayah

antara Jepang dan Cina di Laut Cina Timur, Reinhard Drifte mengatakan bahwa nilai-nilai

strategis yang terletak di kepulauan Senkaku/Diaoyu seperti migas, mampu menarik kedua

negara untuk saling bersitegang dan mengancam satu sama lain menggunakan kekuatan

(19)

Senkaku/Diaoyu, namun keduanya masih belum berani untuk menaikkan level menjadi

keadaan perang karena berbagai pertimbangan. Baik Jepang maupun Cina sama-sama

menciptakan kondisi balance of power yang tujuannya bukan hanya soal bertahan namun

mengancam negara lawan dimana strategi dan kekuatan militer menjadi jalan keluar bagi

kedua negara dalam menghadapi situasi tersebut. Walaupun keduanya melakukan

perundingan secara diplomatis dan membentuk perjanjian kerjasama untuk mengolah

nilai-nilai strategis di kepulauan Senkaku/Diaoyu seperti kerjasama eksplorasi energi, tetapi

kepentingan dan berbedanya pandangan terhadap status kepulauan tersebut akan terus

mendorong konflik antar kedua negara.

Yang kedua terkait status kedaulatan kepulauan Senkaku/Diaoyu yang masih belum jelas.

Berdasarkan pada buku yang ditulis oleh Unryu Suganuma tentang kedaulatan kepulauan

Senkaku/Diaoyu, status kedaulatan kepulauan tersebut masih sangat rancu karena Jepang

dan Cina sama-sama memiliki bukti-bukti kuat yang dapat diserahkan ke ICJ (International

Court of Justice). Hal tersebut terbukti dari bukti-bukti yang dikeluarkan oleh pemerintah

Jepang dan Cina melalui Kementerian Luar Negerinya. Dimana baik Jepang dan Cina,

sama-sama menjelaskan bahwa mereka sama-sama-sama-sama berhak atas kedaulatan kepulauan

Senkaku/Diaoyu berdasarkan pada nilai historis maupun hukum internasional. Penulis

menyetujui bahwa belum ada hukum internasional yang mampu menyelesaikan kasus

kedaulatan ini karena baik Jepang dan Cina sama-sama tidak mau melepaskan klaimnya

serta sikap saling pengertian antar keduanya masing sangat kurang terbukti dari terus

meningkatnya aktivitas militer di wilayah sengketa.

Ketiga, terkait kebijakan Cina yang mendeklarasikan Air Defense Identification Zone

(ADIZ) di atas kepulauan Senkaku/Diaoyu. Sebenarnya, jauh sebelum Cina

mendeklarasikan zona pertahanan udaranya tersebut, Jepang telah terlebih dahulu memiliki

kebijakan ADIZ yang batasnya 130 km mendekati daratan Cina dan di dalamnya termasuk

kepulauan Senkaku/Diaoyu. Ketika Jepang menyebutkan bahwa tindakan Cina merupakan

pemprovokasian terhadap hubungan diplomatik kedua negara dan Cina dianggap tidak

memiliki etika, maka sebenarnya dari empat dekade lalu Jepang telah melakukan hal yang

sama.

Dari sisi Cina, terdapat beberapa hal yang perlu dipahami tentang tindakannya dalam

(20)

kedaulatannya yang diambil oleh negara lain dan negara itu tidak mau melepaskan posisinya

untuk melakukan perundingan, maka adalah hal yang wajar jika kemudian Cina

memutuskan untuk melakukan tindakan berbasis law enforcement. Berdasarkan pada teori

balance of power, suatu negara akan melakukan tindakan pengimbang untuk menaikkan

posisi tawarnya agar tidak jatuh dari pihak lain atau counter balancing, maka jika Cina tidak

dapat mengambil dan menguasai daratan maupun perairan kepulauan Senkaku/Diaoyu,

maka ia akan menggunakan udara untuk memperkuat posisinya dalam persengketaan yang

ia hadapi. Setidaknya, Cina memiliki posisi tawar yang cukup baik untuk mendorong musuh

ke dalam situasi yang dapat membuatnya sadar bahwa Cina tidak main-main dalam kasus

persengketaan kedaulatan tersebut.

Yang keempat terkait kekuatan militer Cina dan Jepang yang sebenarnya memiliki jarak

yang cukup jauh untuk disandingkan. Kita telah mengetahui bahwa Jepang merupakan

negara dengan kekuatan militer yang tidak seberapa dibanding Cina. Namun demikian,

Jepang memiliki hal yang tidak dimiliki oleh Cina yaitu soal fokus negara yang tidak

terpecah serta external balancing. Jepang tidak seperti Cina yang tengah menghadapi

berbagai macam konflik kedaulatan. Ia memiliki strategi dan fokus yang lebih kerucut

dibanding Cina yang saat ini tengah berkonflik di Laut Cina Selatan. Hal ini memberi

keuntungan bagi Jepang karena ia dapat memaksimalkan power-nya untuk melindungi

kepulauan Senkaku/Diaoyu.

Berdasarkan pada penelitian sebelumnya tentang “Diplomasi Jepang dan Amerika Serikat dalam Merespon Peningkatan Anggaran Militer Tiongkok Periode 2006-2010” yang ditulis

oleh Mohamad Reza Tri Satriakhan, hadirnya Amerika Serikat sebagai great power bagi

Jepang menciptakan keuntungan ganda baginya. Dalam segi militer, Jepang hanya memiliki

segelintir pasukan yang dapat mendukung negaranya dalam mempertahankan

kedaulatannya, namun Amerika Serikat memiliki banyak pasukan yang dapat memberikan

bala bantuan bagi Jepang dalam melaksanakan kewajibannya sebagai negara. Dari penelitian

tersebut, maka dapat dilihat bahwa Jepang benar-benar memanfaatkan external balancing

untuk memperkuat negaranya dalam menghadapi kekuatan Cina yang terus meningkat.

Kedua negara tersebut saling melakukan hubungan timbal balik dimana Jepang

menyuguhkan kesetiaan dan teknologi mempuni, dan Amerika Serikat memberikan

(21)

kedua negara juga memiliki kepentingan yang sama untuk menekan kekuatan Cina yang

semakin mengancam hegemoni kedua negara di wilayah Asia.

Sedangkan dari sisi Cina, ia tidak benar-benar mengandalkan external balancing karena

ia telah memiliki kekuatannya tersendiri. Kemudian untuk persoalan fokus negara, Cina saat ini ia tengah menghadapi „pertarungan‟ besar terkait konflik Laut Cina Selatan. Konflik tersebut telah membawa Cina pada pemecahan konsentrasi atas anggaran dan kekuatan

militernya. Cina menggunakan kekuatan militernya di wilayah tersebut dengan komposisi

yang cukup besar karena apa yang ia hadapi tidak hanya satu negara namun lima negara

berdaulat yaitu Filipina, Malaysia, Indonesia, Brunei Darusalam, dan Vietnam berserta

aliansi mereka termasuk Jepang dan Amerika Serikat. Dengan banyaknya negara yang ia

hadapi ditambah keterlibatan Amerika Serikat, maka semakin mengganggu konsentrasinya

Gambar

Gambar 10.  Kenaikan Anggaran Militer Jepang dari 1997-2017
Gambar 11.  Kenaikan Anggaran Militer Cina Tahun 1989-2016
Gambar 12.  Jumlah Pelanggaran Batas Udara Oleh Beberapa Negara di Wilayah Udara
Gambar 13.  Aktivitas Pesawat Patroli Cina dan Rusia di Zona Udara Jepang

Referensi

Dokumen terkait

Sumatra melakukan unjuk rasa agar ada tanggapan dari pihak BRI. Perundingan bipatrit baru terjadi karna adanya unjuk rasa para Pensiunan yang di lakukan pada

Judul Skripsi : PELAYANAN ADMINISTRATIF KESEHATAN MELALUI BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR PROVINSI SUMATERA SELATAN..

pemeriksaan surat. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksan sebagai tersangka atau saksi.. Mengadakan penghentian penyidikan. Menyerahkan berkas perkara

[r]

In relation to this issue, this study is aimed at investigating the way the teacher teaches ESP and the problems of the teacher’s performance which affects the

Kesehatan saat ini tidak terlalu baik (tangan kanan klien tidak dapat digerakan, pada kaki kanan klien terjadi deformitas tulang, dan pada kaki kiri klien terdapat luka

Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana bilamana dilakukan dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (5) dan (6), pidana pokok yang

In Indonesian context, the gap of literacy develop- ment among children occurs due to the diversity of children literacy backgrounds. Two types of back- ground can be used