Bab VI
Program Inovatif Pemberdayaan Masyarakat
Desa Tlogoweru
Pada bab ini, penulis menyajikan laporan empiris dari hasil penelitian di lapangan untuk memberi gambaran tentang bagaimana proses lahirnya program inovatif Desa Wisata sebagai wujud pemberdayaan masyarakat yang mampu mendorong pergerakan partisipasi masyrakat desa Tlogoweru untuk bersama-sama melakukan pembangunan masyarakatnya. Penulis juga mencatat beberapa konsep pembangunan masyarakat desa Tlogoweru dalam meng-implementasikan konsep pembangunan yang berorientasikan pada
ecocentrism, yaitu proses pengembangan bina usaha sektor lingkungan yang dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan desa bersama dengan masyarakat desa Tlogoweru sebagai wujud program pembangunan masyarakat yang berkelanjutan (sustainability community development). Dengan demikian, bab ini diharapkan dapat memberi inspirasi kepada siapa saja yang berkehendak melakukan pemberdayaan masyarakat dengan lebih baik dan maju.
Di tengah-tengah mulai terasanya denyutan kesejahteraan hidup masyarakatnya1, pemerintah dan masyarakat desa Tlogoweru
tidak melupakan pentingnya pembangunan desa yang harus ditopang dengan perspektif pembangunan masyarakat yang menekankan keseimbangan antara pola pembangunan masyarakat yang mengutamakan kepentingan komunitas (anthropocentrism), yaitu konsep pembangunan masyarakat yang menempatkan kesejahteraan manusia menjadi prioritas tertinggi, dengan pola pembangunan masyarakat yang mengutamakan kepentingan ekologi (ecocentrism), yaitu konsep pembangunan masyarakat yang memandang bahwa
manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem di sekitarnya, sebab itu segala kegiatan manusia harus terkait erat dengan kepentingan ekosistem secara keseluruhan dari suatu masyarakat (Mirovitskaya & Acher 2001; O’Riordan 1989).
Melalui pembicaran dalam forum pertemuan formal (rapat bulanan) dan dialog-dialog informal sebagaimana yang dilakukan sebulan sekali bersama dari ibu Elisabeth, pak Seotedjo bersama beberapa perangkat pemerintaha desa dengan beberapa mitra pengembangan usaha2 membahas tentang konsekuensi pembangunan
masyarakat dan bagaimana melalukan pemeliharaan, pengawasan, pengembangan dan pencegahan dari efek buruk dari pembangunan masyarakat. Pak Soetedjo, selaku Kepala Desa, lebih lanjut mengajak masyarakat desa Tlogoweru untuk memulai melanjutkan pembangunan masyarakatnya ke arah pembangunan masyarakat yang mengutamakan pembangunan yang berkonsep pembangunan masyarakat yang keberkelanjutan (sustainable community development).
Dan sebagai tindak lanjutnya, segenap aparatur pemimpin pemerintahan desa Tlogoweru bersama-sama dengan bu Elisabeth mencetuskan prakarsa untuk pembuatan rencana program pengembangan usaha masyarakat berupa program Desa Wisata Tlogoweru dengan konsep pembangunan masyarakat yang mengacu pada pembangunan masyarakat yang mengedepankan konsep berbasis Desa Ekologis (Ecological Village atau Eco-Village).
Program ini mendapat respon dan dukungan yang antusias dari pimpinan pemerintahan kabupaten Demak, yaitu mulai dari unsur pejabat Pemerintahan Provinsi Jateng dan Pemerintahan Kabupaten Demak, juga unsur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng. Menurut anggota tim kreatif Dinbudpar, Bapak Yossiady Bambang Singgih bahwa desa Tlogoweru di Kecamatan Guntur ini dinilai layak menjadi Desa Wisata karena memiliki daya tarik wisata yang handal yaitu
2 Beberapa mitra pengembang usaha diantaranya adalah pimpinan dari PT Sango,
berupa penangkaran burung Tyto Alba dan rubuha-rubuha burung Tyto Alba yang menyebar di kawasan lahan persawahan pertanian desa, dan juga sekaligus menawarkan keindahan panorama alam perdesaan yang asri kehijauan sepanjang mata memandang dengan segala pernak perniknya, yaitu tempat-tempat peternakan, gedung LPKS dan hasil-hasil produksinya, antara lain; kaos sablonan dengan logo desa Tlogoweru, souvenir sederhana icon burung Tyto Alba dari ukiran kayu.3
Penetapan dan pengesahan program Desa Wisata Tlogoweru dengan konsep eco-village akhirnya diresmikan langsung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak pada tahun 2011. Sejak berpredikat sebagai Desa Wisata, masyarakat desa Tlogoweru mengalami kesibukan hampir disetiap hari mereka, karena desa Tlogoweru mulai kebanjiran pelancong-pelancong (turis) mulai dari sekitar desa, sekitar beberapa kecamatan dan kabupaten.
Kepala desa Tlogoweru, pak Sutejo, mengakui desanya mulai kebanjiran banyak turis-turis. Banyak turis-turis berasal dari berbagai daerah Jawa dan dari luar Jawa bahkan dari mancanegara. Kedatangan para turis tersebut bukan saja untuk melihat secara dekat keberadaan habitat burung Tyto Alba, namun juga belajar langsung tentang penangkaran dan pembudidayaan burung-burung Tyto Alba di area persawahan masyarakat. Segmentasi para turis bukan hanya dari lingkungan pemerhati lingkungan hidup, namun juga berasal dari lingkungan akademisi perguruan tinggi.
“Para professor itu ingin langsung melihat praktik di
lapangan. Selain melengkapi banyak teori yang sudah ada mereka berkeinginan bisa menjawab pertanyaan jika ada mahasiswanya yang mengambil penelitian tentang burung
hantu,” kata kades Soetedjo. (21 Maret 2014)
Dari data buku tamu dan bahan-bahan materi pembinaan warga maupun pengunjung yang disampaikan oleh pak Pujo Arto dan
3 Catatan didapat ketika persiapan sarasehan ilmiah tentang desa inovatif yang akan
pak Soetedjo, serta memo tulisan tangan dari pak Soetedjo4, penulis
mendapati data jumlah pengunjung. Dari catatan daftar tamu pada tahun 2012 , jumlah pengunjung yang datang untuk mengadakan studi lapangan, studi banding dan atau wisata mencapai jumlah 2.068 orang pengunjung yang meliputi 2011 orang pengunjung domestik dan 57 orang pengunjung warga negara asing. Jumlah kunjungan pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi berjumlah 2.988 orang pengunjung terdiri dari 2.967 orang pengunjung domestik dan 21 orang pengunjung warga negara asing. Kemudian di tahun 2014 tercatat meningkat menjadi 3.889 orang pengunjung yang terdiri dari 3.857 orang pengunjung domestik dan 32 orang pengunjung dari warga negara asing. Mayoritas pengunjung yang datang adalah para peneliti dan pemerhati lingkungan. Sebagai akibatnya, pak Pujo Arto seringkali diundang sebagai nara sumber berkenaan dengan penyampaian materi tentang pengetahuan dan pengalaman pengembangbiakan burung Tyto Alba yang diadakan oleh Dirjen Kementerian Pertanian se Kabupaten Jawa, Balai Pengembangan Hewan, maupun Kodam IV Diponegoro.
Sumber: LPKS
Gambar 6.1 Gapura Desa: Desa Wisata Tlogoweru
4 Pak Soetedjo amat perhatian dan membantu penulis dengan rela menuliskan dengan
Proses Pengembangan Bina Usaha
Eco-Village
Desa Wisata
Tlogoweru
Perencanaan untuk pengembangan bina usaha lingkungan diawali dari pak Soetedjo selaku kepada desa melalui komunikasi di forum diskusi dan forum dialog non-formal sebagai sarana evaluasi dan perencanaan program kerja bersama-sama dengan setiap orang yang terlibat dalam proyek-proyek pembangunan masyarakat di desa Tlogoweru. Pada waktu wawancara dengan penulis (1 Juni 2012), Pak Soetedjo selaku kepala desa mengungkapkan tentang prinsipnya tentang bagaimana ia dapat menggalang kerjasama dengan orang lain adalah melalui 3 elemen, yaitu pemerintah desa, masyarakat, dan unsur swasta. Dan, “Semenjak saya ketemu ibu Elizabeth Philips, ini melengkapi. Jadi menjadi satu dorongan kepada saya, masyarakat disini untuk maju.”
Dan salah satu hasil dari pembicaran dalam forum-forum semacam tersebut adalah tercetusnya program pengembangan pembangunan masyarakat desa berupa program Desa Wisata. Beragam unsur masyarakat dilibatkan dan terlibat dalam program Desa Wisata Tlogoweru, antara lain mulai dari seluruh tim Tyto Alba, anggota PKK, segenap anggota Paguyuban Sepeda Onthel Mintorogo (Potro), guru-guru TK, segenap penguru-gurus dan anggota kelompok-kelompok Tani, Dinas Pariwisata kabupaten Demak. Pamor Desa Wisata Tlogoweru semakin berkibar, melalui penyiaran stasiun TV SCTV, Metro dan TV-One yang mengekpos keberadaan Desa Wisata Tlogoweru, di up-load
nya beberapa klip film singkat tentang keberadaan burung-burung Tyto Alba serta gambaran kemajuan desa Tlogoweru yang dimuat di media You-Tube, kemudian adanya situs blog yang dibuat untuk memberi informasi tentang desa Tlogoweru.5
5 http://tlogoweru.blogspot.com/ ; http://bpd-tlogoweru.blogspot.com/
Sumber: LPKS
Gambar 6.2 Berbagai Unsur dan Latarbelakang Masyarakat Tertarik Berkunjung ke Desa Wisata Tlogoweru
Materi program wisata andalan dari Desa Wisata Tlogoweru adalah wisata fauna yaitu berkunjung ke kandang penangkaran burung Tyto Alba dan menyaksikan secara on the spot keberadaan rubuha-rubuha burung-burung Tyto Alba di area-area persawahan lahan tanaman padi dan jagung.
penangkaran buru Tyto Alba, menyaksikan sumur-sumur pantek dan berakhir dengan acara santai bersama di sekitar perswahan yang mempesona.
Program wisata yang cukup menarik perhatian adalah program wisata Home Stay. Tercatat sudah ada 4 (empat) sekolah internasional dari Jakarta dan satu sekolah swasta dari Semarang yang pernah mengikuti program ini. Program wisata home stay di desa Tlogoweru adalah program wisata yang berlangsung selama sehari penuh atau lebih, dimana para peserta bermalam di rumah-rumah penduduk, berkenalan dengan penduduk, makan lauk pauk tradisi lokal, belajar memerah sapi, melihat cara pengairan sawah dari sumur-sumur pantek, menyaksikan proses sederhana tentang pembuatan pupuk kompos, pembuatan bio gas dari kotoran hewan ternak, dan tentunya belajar tentang seluk beluk kehidupan burung Tyto Alba. Andika siswa dari sekolah swasta Jakarta amat terkesan dengan program wisata ini,
“aku pertama agak gimana gitu ada di tengah-tengah
Ada beberapa ibu dari Jakarta yang datang untuk mendampingi putra-putri mereka, dan juga harus bermalam di rumah penduduk. Seorang ibu menceritakan bagaimana ia pun juga belajar tentang menghargai kehidupan dengan lebih serius ketika sesudah mengalami pengalaman yang cukup membuatnya sempat bergemetaran,
“waktu ini udah tengah malam, tiba-tiba saya kebelet pipis,
waduh… saya jadi agak kalang kabut. Bagaimana nih
caranya, saya mau bangunin anak tidak tega, mau minta tolong tuan rumah, malulah. Maka saya nekat aja, dan ternyata menyeremkan juga, untuk ke kamar kecilnya harus keluar rumah di tengah kegelapan malam,
suasananya serem deh…”
lingkungan rumah maupun jalan-jalan umum. Disamping itu ibu-ibu rumah tangga memperoleh tambahan kegiatan dan penghasilan yang menambah pemasukan ekonomi mereka. Keramahan dan sikap positif masyarakat desa Tlogoweru merupakan nilai tambah yang membuat program Desa Wisata terus berkembang.
Sumber: LPKS
Gambar 6.3 Kegiatan Home Stay Siswa Internasional di Jakarta: Turun ke sawah belajar menanam, membuat kompos, peternakan sapi
Konsep ecological village (eco-village) merupakan konsep pembangunan kawasan perdesaan yang mempertimbangkan pencapaian kualitas individu, keluarga, masyarakat serta kualitas lingkungan alam yang berkelanjutan (sustainable). Dengan demikian diharapkan akan terjadi arus balik dari kota ke desa, sehingga berdampak terjadinya berkurangnya masalah kependudukan, masalah urbanisasi, masalah energi, serta masalah sosial perkotaan yang semakin kompleks. Aspek lain dari keunggulan konsep pembangunan
akses terhadap pengembangan IPTEKS, serta peningkatan kualitas dan nilai tambah komoditas ekspor dan komoditas konsumsi untuk kebutuhan dalam negeri (Wright & Bernard, 2002; Chiras, 2006; Anderies, dkk, 2004).
Keunggulan dari konsep pembangunan berbasis eco-vilage
adalah dapat terjalinnya hubungan sosial masyarakat antara satu kesatuan di suatu pemukiman dan segenap unit usaha yang dikembangkan masyarakat setempat, dengan demikian pemukiman area perdesaan akan dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang cukup untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat perdesaan setempat dan juga untuk memfasilitasi usaha kerja masyarakat. Hasilnya adalah pengelolaan usaha dan antar usaha masyarakat dilakukan secara terpadu, sehingga sumberdaya masyarakat desa setempat dapat diberdayakan seefesien mungkin (Keraf, 2002).
Dalam kasus desa Tlogoweru, konsep eco-village melalui program Desa Wisata Tlogoweru telah menjadikan pemukiman masyarakat desa dilengkapi dengan sarana dan prasarana umum dan sosial yang cukup memadai, hampir semua bagian jalanan dan area persawahan telah ditata apik dan asri dengan menonjolkan aspek kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan keindahan. Pengembangan konsep pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village
dipandang penting karena memiliki makna, tujuan dan manfaat yang signifikan bagi kemajuan pembangunan masyarakat perdesaan (Gillman, 1991):6 Pertama, konsep pembangunan masyarakat perdesaan
berbasis eco-village merupakan jalan keluar untuk masalah sosial-ekonomi masyarakat perdesaan, yaitu dalam mengatasi masalah urbanisasi dan persoalan ketimpangan atau ketidak seimbangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Konsep eco-village merupakan solusi strategis untuk masalah ini, yaitu dengan mengembalikan kehidupan perdesaan menjadi nyaman, dengan menyediakan kesempatan dan peluang usaha masyarakat sehingga
mereka mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan dasar pokok kehidupan serta kebutuhan pengembangan diri, misalnya; pendidikan, pelatihan kerja atau penambahan peralatan kerja (dalam hal ini adalah peralatan pertanian dan teknologi pertanian). Kedua, konsep pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village merupakan kegerakan yang dapat membantu upaya pemerintahan negara dalam mencari solusi untuk menurunkan tingkat kepadatan penduduk di perkotaan, menurunkan tingkat urbanisasi dari masyarakat perdesaan dan merupakan solusi strategis dalam pemetaan pembangunan masyarakat yang adil melalui pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di perdesaan. Ketiga, konsep pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village
merupakan suatu kegerakan yang akan mengoptimalkan sumber daya alam, misalnya melalui efisiensi penggunaan bahan bakar, sehingga mendorong terjadinya kemandirian energi masyarakat perdesaan. Dengan demikian, melalui perubahan pola masyarakat tersebut, diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat baik secara individu, keluarga dan masyarakat luas yang bermukim di wilayah perdesaan.
Dari pemahaman di atas, maka sesungguhnya sebuah kawasan atau daerah wilayah perdesaan yang mempratikkan prinsip-prinsip konsep pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village tersebut akan mendapatkan paling tidak 3 (tiga) manfaat dari dimensi sistem eco-village, yaitu7;
Dimensi ekologis
Dalam dimensi ini, suatu masyarakat desa eco-village memiliki ketertarikan dan keterikatan untuk mengeksplorasi semaksimal mungkin keterkaitan yang harmonis antara manusia dan sistem alam lingkungannya (ekosistem). Akibat dari keterkaitan ini adalah terjadinya pemanfaatan sumberdaya alam lokal secara harmonis dengan kebutuhan konsumsi dari masyarakat (manusia) lokal. Dengan
7Luky Andrianto, “Menuju Desa Berwawasan Lingkungan 2030: Sebuah pendekatan
demikian akan tercipta dengan sendirinya suatu pola konsumsi kehidupan yang berkelanjutan (sustainable consumption) dalam masyarakat yang bersangkutan, yaitu konsumsi yang tidak bersifat massal dan intensif, melainkan konsumsi bersifat efisiensi. Konsep yang diakibatkan dari dimensi ekologis ini, pada akhir-akhir ini menjadi suatu kegerakkan masyarakat yang dinamakan kegerakan “bioregionalism” yaitu suatu pemikiran untuk mengupayakan
keseimbangan yang intergrasi antara manusia dengan sistem hubungan manusia di luar sistem kemanusiaan, yaitu dengan sistem lingkungan alam (ekosistem). Dengan kata lain, bioregionalism adalah suatu kegerakkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable) yang berfokus pada isu desentralisasi, lokalisasi, human-scale communies, ketahanan lokal, kerjasama dan tanggung jawab masyarakat dengan ekosistem.
Ecovillage Network (2002) memberikan beberapa karakteristik dari dimensi ekologis dalam suatu desa berbasis eco-village: (a) Memproduksi bahan pangan yang sesuai dengan karakteristik bio-region (b) Mendukung pola produksi bahan pangan organik. (c) Membangun dengan mempergunakan materi lokal yang sudah diadaptasi. (d) Mempromosikan pemanfaatan sistem energi terbarukan. (e) Melindungi keberagaman hayati. (f) Mempertimbangkan life-cycle
atas semua produk sehingga meminimalisir efek negatif limbah produk. (g) Mengkonservasi kualitas sumberdaya alam melalui pengelolaan energi dan limbah yang sesuai dengan kondisi alam lingkungan.
Dimensi sosial atau komunitas
“ecovillages are communities in which people feel supported
by and responsible to those around them. They provide a deep sense of belonging to a group. They are small enough that everyone feels safe, empowered, seen and heard. People are then able to participate in making decissions that effect their own lives and that of the community on a transparent
basis.”
Adapun nilai sistem komunitas tersebut di atas yang merupakan dimensi sosial dari pembangunan masyarakat perdesaan berbasis eco-village dapat dinyatakan sebagai berikut (Ecovillages Network, 2002): (a) Setiap anggota masyarakat (komunitas) mengenalkan diri sebagai komunitas atau masyarakat sosial yang berbasiskan eco-village, dengan demikian (b) setiap anggota masyarakat akan saling berbagi sumberdaya dan senantiasa tergerak untuk saling membantu, yang akan menggerakkan (c) setiap anggota masyarakat untuk lebih berfokus pada kesehatan masyarakat secara keseluruhannya daripada kesehatan per-individu, maka akan menjadikan (d) setiap anggota masyarakat lebih memiliki paradima yang mengutamakan pekerjaan yang mendatangkan manfaat bagi seluruh anggota masyarakat lokal, dengan demikian akan (e) mengikutsertakan setiap anggota kelompok masyarakat marjinal dalam pemberdayaan masyarakat, dengan demikian akan (f) mendorong adanya pendidikan yang berkelanjutan, yang akhirnya masyarakat tersebut mampu (g) memiliki sistem masyarakat yang menyatukan perbedaan sosial maupun perbedaan dalam berpendapat.
Dimensi budaya dan spiritualitas
alam sebagai pusat sumber hakikat hidup masyarakat yang harus didayagunakan dengan baik dan benar sesuai kebutuhan masyarakat.
Adapun nilai-nilai sistem masyarakat dari dimensi budaya tersebut di atas dapat dinyatakan sebagai berikut (Ecovillages Network, 2002): (a) Masyarakat melakukan setiap aktivitas budaya secara bersama-sama. (b) Setiap individu anggota masyarakat memiliki rasa sensitivitas terhadap satu dengan lainnya sehingga terjalin persatuan dalam masyarakat. (c) Masyarakat memiliki respek terhadap kehidupan spiritual. (d) Kelompok-kelompok (komunitas) masyarakat memiliki fleksibilitas dan sistem responsif yang komunikatif dalam mengatasi perbedaan dan problema yang terjadi. (d) Masyarakat memiliki pemahaman yang jelas tentang koneksi dan ketergantungan antara seluruh unsur kehidupan alam dan kehidupan masyarakat (manusia).
Catatan Penutup
pemilik yang melakukan eksploitasi hak atas sumberdaya alam (rights of owners).
Untuk menyimpulkan dengan gamblang apa yang telah dibahas di atas, Gambar 6.4 dibawah ini memberi acuan rangkuman sederhana dan konkrit tentang bagaimana desa Tlogoweru melalui program Desa Wisata berbasis eco-village mengimplementasikan aspek-aspek dan dimensi-dimensi pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.
Sumber: Ecovillage Design Education; Jain, 2001
Gambar 6.4 Pola dan dimensi konsep eco-village
untuk pembangunan ekonomi semata ke arah pembangunan masyarakat yang bertumpu pada pembangunan sosial-budaya dan lingkungan hidup.
Sumber: Sukip Sowan
Gambar 6.5 Anak-anak di Tlogoweru telah memiliki ecological sense terhadap binatang yang ada dalam lingkungan mereka
Pemerintahan desa Tlogoweru, dalam hal ini melalui pak kades Soetedjo, senantiasa memegang komitmen dalam konsep pembangunan masyarakat desa berbasis eco-village. Hal ini dapat terekam jejaknya melalui berbagai pertemuan formal maupun informal, pak kades Soetedjo acapkali mengutarakan prinsip 8 (delapan) pilar, yang merupakan rangkuman dari penuturan dan wejangan yang pernah diterimanya dari bu Elisabeth, untuk pembangunan masyarakat desa Tlogoweru,
“Saya sendiri diberi pemahaman, kita pegang 8 pilar untuk memajukan desa Tlogoweru” jelasnya. “Jadi pertama, Tuhan.
yang keempat, hidup rendah hati. Karena kesombongan itu awal kehancuran, tinggi hati itu awal pada kejatuhan. Yang kelima adalah kejujuran. Tuhan itu akan memberi pertolongan kepada orang yang jujur dan hidup tidak bercela. Pilar keenam adalah kerendahan hati. Ilmu yang kita peroleh, keberhasilan yang sudah kita peroleh, kita harus berani kembali membagikan kepada orang lain. Pilar ketujuh adalah menjalin harta hubungan. Saya katakan hubungan itu merupakan harta, harta yang tidak bisa hilang. Jangan menilai segala sesuatu hubungan itu dengan uang. Uang itu bisa habis. Delapan adalah menerima semua manusia sebagai saudara, sekalipun kami berbeda warna kulit, berbeda suku bangsa, berbeda kebudayaan, berbeda agama, tetapi mereka
adalah manusia, sesama yang harus kita hargai dan hormati.”
Hal ini sesuai prinsip pembanguan masyarakat yang berbasis ekologi yang menekankan hubungan antara pembangunan berkelanjutan dan pembangunan ekologi (kelestarian lingkungan) sebagai dua kutub pembanguan yang amat penting untuk menjadi perhatian bagi setiap pemerhati dan praktisi maupun teorikus pembangunan masyarakat, karena tanpa adanya dua kutub ini, maka pembangunan masyarakat akan terjebak kedalam permainan ideologi