• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB IV"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV

Peranan Para Agen Perubahan

dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa

Tlogoweru

Bab ini merupakan pemaparan hasil penelitian lapangan berupa temuan empiris tentang bagaimana peranan para agen perubahan yang mampu menginspirasi dan memotivasi masyarakat desa Tlogoweru sehingga terjadi proses pemberdayaan masyarakat yang dapat menghasilkan kemajuan dalam pembangunan masyarakat mereka. Adapun kemajuan pembangunan tersebut berupa: Pertama, peningkatan kesejahteraan material (ekonomi) yang dihasilkan dari meningkatnya pendapatan hasil pertanian melalui tersedianya pengairan bagi tanah persawahan yang dihasilkan dari pembangunan sumur-sumur pantek, terkendalinya wabah tikus melalui penangkarangan burung Tyto Alba, dan berhasilnya pengembangan peternakan sapi. Kedua, peningkatan kesejahteraan non-material berupa meningkatnya rasa percaya diri yang lebih baik, semakin eratnya hubungan antar warga, serta semakin banyaknya warga desa, khususnya para ibu rumah tangga, yang terlibat dalam kegiatan sosial maupun usaha. Dengan demikian, bab ini diharapkan akan dapat dijadikan rujukan bagi siapa saja yang berkehendak melakukan proses pendekatan dan memotivasi masyarakat agar berpartisipasi dalam pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat dengan efektif.

Memperkenalkan Para Agen Perubahan

(2)

masyarakatnya sehingga pemberdayaan masyarakatnya dapat berjalan dengan efektif pula. Dan tingkatan partisipasi masyarakat tersebut ditentukan oleh peranan dari para agen perubahan dalam hal menginspirasi, memotivasi dan menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan masyarakat setempat yang digerakkan oleh para agen perubahan untuk melakukan segala upaya sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pemahaman Nasution (1990:37) yang menyatakan bahwa para agen perubahan adalah perseorangan atau kelompok orang yang berpotensi menggerakkan partisipasi masyarakat untuk terlaksananya suatu perubahan sosial atau suatu pembangunan yang terencana. Soekanto (1992:273) lebih lanjut menyatakan bahwa seorang agen perubahan yang efektif adalah seorang agen perubahan yang mampu menciptakan sikap kepercayaan (trust) dalam diri anggota masyarakat, sehingga ia dapat berperan sebagai mitra dari masyarakat setempat dalam pembangunan dalam rangka perencanaan dan pengimplementasian suatu perubahan-perubahan pada suatu kelompok masyarakat atau organisasi masyarakat dimana ia berada dengan cara mempengaruhi masyarakat tersebut melalui sistem yang terbuka, teratur dan direncanakan. Dengan demikian para agen perubahan merupakan individu atau kelompok orang yang menginspirasi terjadinya suatu rekayasa sosial (social engineering), dengan kata lain, seorang agen perubahan dapat pula disebut sebagai seorang perencanaan perubahan masyarakat atau (social change planning).

Dalam kasus desa Tlogoweru, para agen perubahan adalah terdiri dari dua kelompok utama; Kelompok pertama adalah kelompok internal, yakni tim kerja yang terdiri dari para staf kantor pemerintahan desa dibantu dengan beberapa anggota masyarakat desa Tlogoweru yang diwakili oleh bapak Soetedjo selaku Kepala Desa. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok eksternal, yakni tim pelayanan (kerja) dari Persekutuan Doa Putri Sion di Semarang yang diwakili oleh ibu Elisabeth Philip.1 Sebelum bulan Agustus tahun 2008,

pak Soetedjo sama sekali tidak mengenal sosok pribadi ibu Elisabeth

(3)

Philip demikian sebaliknya. Namun dari sejak adanya perkenalan tersebut dan melalui silahturami yang sering mereka adakan dalam rangka untuk mendiskusikan persoalan pembangunan masyarakat dan merencanakan pembangunan masyarakat desa Tlogoweru, maka kedua agen perubahan ini bersama dengan anggota kelompok mereka (tim kerja) mampu berperan sebagai penggerak dari partisipasi masyarakat desa Tlogoweru melalui pemberdayaan masyarakat yang mereka lakukan dengan efektif.

Dari catatan penelitian dalam rangka penulis ikut serta berkunjung sebagai rekan pelayanan ibu Elisabeth maupun dalam rangka melakukan penelitian sejak Maret 2009 di desa Tlogoweru, penulis dapat memberi gambaran bahwa sosok kepribadian dari pak Soetedjo dan ibu Elisabeth secara natural merupakan dua pribadi yang memiliki kesamaan dalam hal kemampuan berinteraksi dengan orang lain secara intuitif melalui keterbukaan diri, yakni kemampuan intra-personal intuitif. Kemampuan ini terlihat dari sifat keterbukaan mereka yang sederhana apa adanya dengan mengesampingkan perbedaan agama maupun suku di antara mereka. Sebagai contoh, Pak Soetedjo seringkali tanpa ada sekat sosial apapun dengan leluasa

(4)

dan integritas dalam mengelola setiap jumlah dana bantuan untuk pembangunan dengan tepat guna dan dapat dipertanggung jawabkan.

Tahapan Awal Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat

Desa Tlogoweru

(5)

Bab ini hanya menyajikan tahapan awal bagaimana ibu Elisabeth besama dengan pak Soetedjo melakukan peran mereka sebagai agen perubahan untuk menggerakkan masyarakat desa Tlogoweru untuk berpartisipasi secara aktif sehingga terjadi pemberdayaan masyarakat yang berhasil dalam pengembangan pertanian, penanggulangan hama tikus dan pengembangan pertenakan sapi. Sedangkan tahapan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ketrampilan praktis bagi masyarakat desa Tlogoweru akan diutarakan pada bab berikutnya.

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pembuatan

Sumur-Sumur Pantek

“Kami setiap tahun hanya berhasil memanen padi hanya sekitar

3 sampai 4 ton pertahunnya, dan sebagian besar berkualitas kurang

baik, sehingga harga jualnya rendah” demikian ungkap pak Soetedjo

pada pertemuan di bulan Agustus 2008. Dari pertemuan tersebut disimpulkan bahwa penyebab utama dari minimnya hasil panen pertanian adalah tidak adanya debit air yang memadai untuk pengairan ke tanah persawahan para petani, kemudian adanya serangan hama tikus yang ganas di setiap musim panen, serta kurang tersedianya pupuk yang baik karena banyaknya beredar pupuk yang palsu.

Pembahasan tentang pencarian solusi terhadap masalah pengairan tanah persawahan tersebut di atas ditindaklanjuti dengan pertemuan pada Oktober 2008 yang dihadiri oleh pak Soetedjo selaku kepala desa, pak Kyai Achmad selaku pemuka agama bersama dengan tiga orang pemimpin lainnya dengan ibu Elisabeth, pak Hizkia Totok bersama empat orang ibu selaku anggota Persekutuan Doa Putri Sion di Semarang2 dan menghasilkan usulan pembuatan sumur pantek sebagai

pemecahan masalah kebutuhan pengairan tanah pertanian. Maka sebagai pilot project, Ibu Elisabeth memberi sumbangan dana awal sebesar lima juta rupiah untuk pembuatan sebuah sumur pantek. Pak

(6)

Soetedjo bersama dengan pak Pujo Arto selaku ketua kelompok tani Tulodo Makaryo segera melakukan koordinasi untuk pembuatan sumur yang dimaksud. Pembuatan sumur perdana tersebut ternyata membuahkan hasil yang memuaskan sehingga mampu mengairi sekitar dua lahan tanah pertanian. Keberhasilan ini menimbulkan semangat dari para pemuka desa dan petani untuk bangkit dari kelesuhan hasil panen padi dan jagung yang selama ini mereka alami. Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan tersebut, Pak Soetedjo melaporkan hal ini kepada ibu Elisabeth. Setelah mengadakan pembicaraan tentang rencana kelanjutan pembuatan sumur-sumur berikutnya, baik melalui hubungan telepon maupun kunjungan singkat di kantor pak Soetedjo, maka sekitar sebulan kemudian, dimulailah proyek dengan target pembuatan 200 buah sumur pantek hingga tahun 2013 untuk pengairan area sawah pertanian seluas 225.2 ha (77,25%) dengan bantuan dana sebesar seratus juta rupiah dari para donatur yang dikoordinir oleh ibu Elisabeth bersama tim Persekutuan Putri Sion Semarang.

Sumber: arsip Soetedjo

Gambar 4.1 Profil sumur sawah pantek

(7)
(8)

Soetedjo dan rekan-rekan pemimpinan desa lainnya. Yang ditekankan oleh ibu Elisabeth adalah kejujuran, ketulusan dan kesungguhan. Hal ini dibenarkan oleh Pak Pujo Arto selaku kepala kelompok tani yang menyatakan bahwa sistem hubungan kerja yang dibangun oleh bu Elisabeth di desa Tlogoweru adalah sistem partisipatif kemasyarakatan. Berikut penuturannya,

“saya melihat cara kerja bu Elis itu semua orang harus terlibat dan siapa yang mau didorong untuk berusaha dan mampu melakukannya. Seperti proyek pembangunan sumur-sumur ini merupakan ide dan dukungan dana dari ibu Eliz, tapi yang memikirkan dan menjalankan pembuatannya adalah dari kami anggota kelompok tani” (wawancara, 13 Maret 2012)

(9)

sehingga pemberdayaan masyarakatnya dapat efektif (Theresia 2014: 97-101).

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pembudidayaan Burung

Tyto Alba

(10)

ekor anakan/per-ekor induk tikus. Populasi sepasang tikus bisa mencapai 2048 ekor dalam setahun.3

Namun sejak adanya implementasi penangkaran, pembiakan dan pendayagunaan burung Tyto Alba (burung hantu serak jawa) sebagai predator tikus yang dimulai sekitar akhir tahun 2011, masyarakat pertanian desa Tlogoweru mulai bisa bernafas lega, karena hama tikus telah berhasil mereka tekan dengan amat efektif sehingga tingkat kerugian hanya sekitar 2% saja. Hal ini dimungkinkan oleh karena burung Tyto Alba memiliki kemampuan berburu sangat tinggi yang memiliki kemampuan memangsa tikus hingga 2-3 ekor tikus dewasa dalam seharinya bahkan lebih jika populasi tikus bertambah. Dari perhitungan kasar oleh pak Pujo Arto sebagai ketua tim penangkaran Tyto Alba, setiap pasangan burung Tyto Alba dalam setiap tahunnya jika mendapat tempat habitat yang baik akan mampu memangsa sekitar 7.200 ekor tikus. Burung Tyto Alba merupakan jenis burung cepat beradapatasi dengan lingkungan barunya baik didataran rendah maupun di dataran tinggi, itulah sebabnya burung Tyto Alba tidak mudah mengalami stress seperti jenis burung lainnya apabila dipindahkan ke tempat habitat baru. Burung Tyto Alba relatif cepat berkembang biak, dalam satu tahun rata-rata bertelur hingga 2-3 kali sebanyak 5-10 butir telur per-burungnya. Kemampuan berburu mereka sesuai dengan keunikan indera penglihatan dari burung ini yang memiliki daya penglihatan yang amat tajam di malam hari yang mampu menangkap setiap gerakan tikus hingga jarak 500 meter. Sebab itu, keberadaan burung Tytto Alba merupakan andalan masyarakat desa Tlogoweru dalam pemberantasa wabah hama tikus, sebagaimana diutarakan oleh pak kades Soetedjo dengan menjelaskan bahwa,

“Sebelum ada burung Tyto Alba, petani hanya memanen jagung sekitar 3,3 ton dan padi sekitar 3,2 ton per hektare. Setelah ada burung hantu, petani di Tlogoweru dapat memanen jagung dan padi masing-masing hingga 7 ton dan 9 ton untuk jagung. Pendapatan petani dari panen padi yang semula hanya Rp11,55 juta per hektare meningkat

3 Olah data dari catatan observasi dan wawancara, 24 September 2012 dan 19 Februari

(11)

menjadi Rp. 23,1 juta per hektare.” (wawancara, 13 Agustus 2013)

Bertolak dari keefektifan predator burung Tyto Alba tersebut, desa Tlogoweru diidentikan sebagai desa “burung hantu.” Dalam rangka hendak ikut serta dalam suatu acara pertemuan ibu Elisabeth dan beberapa perangkat desa Tlogoweru untuk membahas rencana penambahan rumah burung hantu (rubuha), penulis pada pertengahan bulan Agustus 2013 berangkat sendirian dan mengalami salah jalan, ketika bertanya seorang penduduk yang dapat penulis temui dan bertanya tentang arah ke desa Tlogoweru, dengan spontan penduduk

tersebut mengatakan, “O, desa burung hantu ya.” Maka tidaklah

berlebihan apabila hingga saat ini lambang burung Tyto Alba menjadi ikon dari kemajuan pembangunan masyarakat desa Tlogoweru. Suatu jenis burung yang dahulunya amat ditabukan dan ditakuti oleh masyarakat, tapi pada masa kini justru dipelihara dan didayagunakan untuk kepentingan pengembangan usaha pertanian masyarakat.

Proses pengembangan dan pembudidayaan burung Tyto Alba berawal dari sebuah informasi tentang adanya predator hama tikus berupa burung Tyto Alba yang telah dilakukan di dusun Munggur, desa Giriharjo, kecamatan Ngrambe, kabupaten Ngawi melalui penelusuran situs internet oleh pak Hizkia Totok dan pak Sumanto.4

Penemuan informasi ini setelah disampaikan kepada pak Seotedjo selaku kepala desa dan ketua kelompok tani Tulodo Makaryo, yaitu pak Pujo. Maka muncullah suatu ide agar beberapa dari antara anggota kelompok tani bisa melakukan studi banding dan belajar tentang pendayagunaan burung Tyto Alba di dusun Munggu, Ngrambe sesuai dengan info yang mereka dapatkan. Ide tersebut mendapat dukungan dari ibu Elisabeth. Maka sebagai tindaklanjutnya, pak Soetedjo membentuk satu tim untuk melakukan pembelajaran dan pelatihan tentang burung Tuto Alba secara terpadu di dusun Munggur, desa Giriharjo, kecamatan Ngrambe, Ngawi. Dan pada 23 Maret 2011

4 Hal ini dimungkinkan karena sebagaimana telah diutarakan dalam Bab IV, desa

(12)

selama tiga minggu, tim dari desa Tlogoweru yang terdiri dari; pak Soetedjo, pak Sumanto, pak Pujo Arto, pak Winarto, pak Suwardi, pak Jumari, dan pak Supadi mendapat pengetahuan dasar tentang burung Tyto Alba serta pelatihan singkat di lapangan tentang bagaimana melakukan penangkaran, pembiakan dan pendayagunakan burung Tyto Alba yang dipandu oleh pak Jumangin. Sepulang dari Ngrambe, pak kades Soetedjo membentuk tim Tyto Alba dengan komposisi personel sebagai berikut:

Pengurus Harian Tim Tyto Alba Pelindung : Kepala Desa

Pembina : Soetedjo & Elisabeth Philip Ketua : Pujo Arto

Sekretaris : Sumanto Bendahara : Sri Suwarti

Tim Lapangan Tyto Alba

Karantina : Pujo Arto, Eko Sudibyo

Rubuha : Sumarto

Populasi : Sanipan

Pakan : Kasmudi, Mulyadi

Pemandu Lapangan : Djamiman

Keamanan : Supriyadi

Konsumsi : Jumiati

Gedung : Sundarni

Transportasi : Djaiman, Suwardi

Peralatan : Erik

IT : Sumanto, Jumari

(13)

tim yang paling interesan dan proaktif dalam pengembangan burung Tyto Alba adalah pak Pujo Arto.

Penulis pada masa awal pendampingan sekitar pertengahan tahun 2011 dan selama proses pengembangan dan penangkaran burung Tyto Alba sering menyaksikan bagaimana pak Pujo dalam perjuangannya untuk usaha pengembangan ini mulai dari anakan hingga dewasa burung Tytto Alba, bahkan beberapakali mengalami pagutan dari paruh Tyto Alba yang amat tajam sehingga melukai tangannya beberapa kali. Dengan bersusah payah pak Pujo terus mempelajari mulai dari mencari, menangkap burung Tyto Alba, kemudian memeliharanya hingga beberapa burung Tyto Alba mulai bertelor dan menetaskan anak-anak burung Tyto Alba. Dari pengalaman dan pembelajaran yang mulai menampilkan hasil tersebut, pak Pujo akhirnya memiliki kepercayaan diri untuk bisa membangun kepercayaan diri tim Tyto Alba untuk meneruskan usaha pengembangan dan pemberdayaan tersebut.

(14)

1,250 juta. Dan agar mengurangi biaya pakan tersebut, tim Tyto Alba dan kepala desa menggalakkan gerakan penyediaan makanan burung

hantu secara sukarela. “Setiap warga yang menemukan tikus di rumah

atau sawah diharapkan menyerahkannya ke penangkaran (burung Tyto

Alba). Hal itu bisa menghemat biaya perawatan hingga 90 persen,” kata

pak Manto.

Sumber: Yusuf

Gambar 5.2 Kandang Karantina Penangkaran Burung & Rubuha Tyto Alba

Cara yang ditempuh oleh tim Tyto Alba untuk melakukan pengujian sekaligus pembuktian tentang sepak terjang pola kehidupan burung-burung Tyto Alba kepada masyarakat adalah dengan cara hewan-hewan peliharaan yang berhabitat disekeliling rumah-rumah penduduk yang dimasukkan untuk menghuni kandang karantina, yaitu hewan-hewan yang terdiri dari berbagai jenis hewan peliharaan domestik (domestic animals), antara lain; satu hingga tiga ekor ayam, itik, bebek, burung dara, ada kolam ikan kecil, tikus dan tentunya burung Tyto Alba.

(15)

mengimplementasikan program pembasmian wabah tikus dengan burung Tyto Alba sebagai predatornya. Maka dimulailah pemasangan rubuha (rumah burung hatu) atau pagupon. Dan sebagai langkah awalnya didirikanlah sebanyak 20 puluh rubuha. Pak Pujo Arto selaku ketua tim Tyto Alba desa Tlogoweru menjelaskan bahwa

“Rumah burung itu ada yang terbuat dari perpaduan kayu

-bambu dan beton cor dengan ketinggian sekitar 3 meter.”

Sehubungan dengan semakin banyaknya rubuha-rubuha yang harus dipasang di area-area tanah persawahan dan juga semakin banyak pulang orang-orang dari desa-desa tetangga bahkan dari luar kabupaten yang sengaja datang ke desa Tlogoweru untuk melihat penangkaran burung Tyto Alba, maka kepala desa Soetedjo mengeluar-kan Perdes Nomor 4 Tahun 2011 tentang Burung Predator Tikus Tytus Alba. Perdes yang merupakan rujukan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Eko-sistemnya itu tidak lain agar bertujuan melindungi burung Tyto Alba dari ancaman sasaran tembak atau pencurian untuk dikomersilkan.

Isi pokok dari Perdes ini adalah melarang setiap warga desa untuk berburu, menangkap, memperjualbelikan, mengganggu, atau melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan matinya burung-burung yang ada di wilayah desa Tlogoweru, khususnya burung Tyto Alba. Setiap warga desa Tlogoweru atau anggota warga desa tetangga yang kedapatan melanggar yaitu menembak atau menyebabkan matinya burung Tyto Alba di kawasan desa Tlogoweru akan dikenakan denda uang minimal sebesar Rp 1,250 juta. Disamping adanya perdes tersebut, pak kades Soetedjo menghimbau juga kepada anggota warga petani yang sawahnya menjadi tempat pendirian pagupon atau rubuha untuk turut serta secara dengan sukarela melindungi dan menjaga keberadaan burung-burung Tyto Alba yang berhabitat disekitar persawahan mereka.

(16)

masyarakat di Tlogoweru. Jika kita berjalan-jalan disekitar lingkungan perdesaan Tlogoweru, maka dapatlah kita menyaksikan perkembangan penempatan rubuha-rubuha burung Tyto Alba yang sudah meluas hingga tepian batas areal tanah persawahan-persawahan dari desa tetangga, bahkan desa Pundenarum dan desa Pamongan sudah mulai pula menempatkan rubuha-rubuha juga. Meresponi perkembangan dan pengembangbiakan serta pendayagunaan burung Tyto Alba sebagai predator hama tikus, sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Demak, bapak Hari Adi Soesilo, menambahkan bahwa Pemerintah Kabupaten Demak juga akan mengembangkan burung Tyto Alba di 14 kecamatan setelah melihat hasil yang amat baik di desa Tlogoweru (wawancara dengan pak Soetedjo, 13 Agustus 2013).

Pemberdayaan

Masyarakat

Melalui

Pengembangan

Peternakan Sapi

Masyarakat desa Tlogoweru, khususnya masyarakat pertanian, sebelum tahun adanya LPKS yang diresmikan pada tahun 2010, tidak pernah memiliki angan-angan sekecilpun untuk berternak sapi untuk usaha peningkatan kesejahteraan mereka, karena selama ini mereka merasa tidak mampu mengatasi masalah dengan kondisi kontur pertanahan desa Tlogoweru5 yang rendah dan bergelombang, sehingga

berlangganan terlanda banjir jika musim hujan dan mengalami kekeringan yang menyengat pada musim kemarau yang memicu suhu cuaca yang cukup panas (30-320C) dan sebagai akibatnya memicu pula

bertambahnya populasi nyamuk, kondisi seperti ini tentunya amat tidak efesien untuk suatu usaha peternakan sapi, karena populasi nyamuk yang banyak mempengaruhi produksivitas sapi. Sebab itu, pada umumnya hanya beberapa petani yang memelihara sapi, dan jenis sapi yang dipelihara adalah jenis sapi lokal dan mereka memeliharanya hanya sekedar sebagai cadangan modal yang bisa dijual sewaktu-waktu guna untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak.

(17)
(18)

mengelolanya menjadi pupuk organik yang amat membantu dalam mengurangi biaya pertanian.6 Melalui kemampuan pengelolahan

pupuk organik, para petani desa Tlogoweru hari ini juga telah mampu menanam dan menghasilkan beras dan sayur mayur organik. Dan ada manfaat lain yang tidak kalah pentingnya yang dapat membanggakan masyarakat desa Tlogoweru dengan hasil dari pengembangan peternakan sapi-sapi unggul adalah pada setiap hari Idul Fitri, masyarakat desa Tlogoweru mampu menyediakan sapi-sapi sendiri untuk dipotong sebagai bagian dari pembagian zakat. Dan pada setiap hari Idul Adha menjual sapi-sapi dan juga kambing-kambing untuk memenuhi kebutuhan binatang kurban dari desa-desa sekitar bahkan di luar daerah kabupaten.

Ada dua hal penting yang menjadi catatan penting penulis dalam penelitian tentang pengembangan bina usaha bidang peternakan di desa Tlogoweru, antara lain; Pertama, kejelian dan tekad ibu Elisabeth yang memberanikan diri mendesak untuk diadakannya pelatihan ketrampilan peternakan sapi sekalipun para petani kurang simpatik sebagaimana adanya kendala dan pengalaman mereka yang telah diuraikan di atas. Kedua, respon yang tanggap dan instruksi yang jelas dari pak Soetedjo selaku kepala desa menjadi motivasi bagi para anggota dari ketiga kelompok petani (Kelompok Tani Mintorogo, Margo Kamulyan, Tulodho Makaryo) untuk berani mengambil resiko untuk berternak sapi. Kedua sikap ini menurut pendapat penulis amat penting sebagai modal penggerak untuk suatu usaha pemberdayaan masyarakat sehingga para anggota masyarakat, khususnya para pemimpinnnya, dapat turut mengambil bagian dalam partisipasi secara akitf dalam proses pembangunan masyarakat yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru melalui partisipasi masyarakatnya merupakan suatu fenomena sosial yang lahir dari pengimplementasian proses pemberdayaan masyarakatnya, yaitu suatu proses sosial yang berupaya menolong anggota masyarakat untuk memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengindentifikasi

6 Ketrampilan ini mereka dapatkan dari pelatihan singkat dari bp. Alit Irianto (Bali

(19)

kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Suharto 2010:23-39). Proses ini tidak dapat dilepaskan dari adanya peranan pemimpin masyarakat yang menjalankan pola kepemimpinan yang mampu memberi wawasan dan tindakan yang jelas untuk menuju kepada suatu pembangunan masyarakatnya. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Maxwell (1990) bahwa jatuh bangunnya suatu masyarakat bergantung dari pemimpinnya, karena kepemimpinan (Stodgill 1974) adalah suatu proses atau tindakan untuk mempengaruhi orang, aktivitas atau kelompok orang dalam upayanya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Juda Barlan (2011) menegaskan bahwa suatu tujuan akan dapat dicapai apabila pemimpinnya mampu mempengaruhi masyarakatnya dengan tindakan yang nyata melalui motivasi, pelatihan atau mengikut sertakan masyarakat untuk pengambilan keputusan-keputusan.

Catatan Penutup

Gambar

Gambar 4.1 Profil sumur sawah pantek
Gambar 5.2 Kandang Karantina Penangkaran Burung & Rubuha Tyto Alba

Referensi

Dokumen terkait

pendanaan, investasi, serta dividen pada perusahaan keluarga dari tahapan. pendiri menuju tahapan konfederasi sepupu untuk mencapai

4. Bab 4: Penganggaran. Bab ini memandu pembaca memahami tahapan perencanaan pembangunan desa yang akan memandu pemerintah desa dan masyarakat melakukan proses tahapan sesuai

d. Bab 4: Penganggaran. Bab ini memandu pembaca memahami tahapan perencanaan Pembangunan Desa yang akan memandu Pemerintah Desa dan masyarakat melakukan proses tahapan sesuai

Gerakan yang bergerak dalam bidang pembangunan desa dengan memberikan edukasi-edukasi kepada masyarakat melalui potensi-potensi ekonomi yang ada dalam desa , baik dari segi

Melihat keberhasilan yang cukup tinggi dari penerapan konsep kearifan lokal yang langsung diawasi dan terus dilaksanakan oleh Kepala Desa beserta jajarannya dan

Dalam penelitian ini penulis hanya memfokuskan pada persepsi, sikap dan partisipasi masyarakat terhadap rencana pembangunan PLTP di Desa Idamdehe, Kecamatan

Kondisi sosial desa Idamdehe berdasarkan analisa kemiskinan tahun 2011 yang dibuat dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dengan menggunakan tahapan kajian analisis

• Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa. • Pembangunan