• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEADING ARTICLE Diabetes Mellitus Tipe 2 dan tata laksana terkini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "LEADING ARTICLE Diabetes Mellitus Tipe 2 dan tata laksana terkini"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 27, No.2, Agustus 2014 MEDICINUS 9

Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini

Suzanna Ndraha

Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta

PENDAHULUAN

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM) meru-pakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.1,2

Epidemiologi

Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa klit putih berkisar antara 3%-6% dari jumlah pen-duduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir.3 Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di ta-hun 2010.4 Di Indonesia, kekerapan dia-betes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.3

Diagnosis

Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glu-kosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl di-agnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM.

Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan di-agnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. Alur penegakkan diag-nosis DM dapat dilihat pada skema di gambar 11

(2)

Klasifikasi

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:

a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.

2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa ma-suk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insu-lin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glu-kosa.

Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.

3. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 1.

4. Diabetes Melitus Gestasional

(3)

Vol. 27, No.2, Agustus 2014 MEDICINUS 11 KOMPLIKASI

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM meru-pakan penyebab utama dari end-stage renal di- sease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.5

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunk-an glukosa darah, terutama setelah ditemukmenurunk-an- ditemukan-nya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat dia-betes yang tidak terkendali adalah:6,7

Kerusakan saraf (Neuropati)

Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang menga-tur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan ber-langsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi nor-mal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Na-mun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembu-luh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuro-pati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau ter-lambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi berk-isar 13.1% s/d 45.0%.6

Kerusakan ginjal (Nefropati)

Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan

berjuta-juta pembuluh darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan da-rah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja se-lama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada pender-ita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf.

Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d 37.6% pada popu-lasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam peneli-tian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%.

Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan dalam peneli-tian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.6

Kerusakan mata (Retinopati)

(4)

retinopati pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berki-sar 10.1% s/d 55.0%.6

Penyakit jantung koroner (PJK)

Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di din-ding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, se-hingga kematian mendadak bisa terjadi.

Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung koro-ner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes tipe 2.6

Stroke

Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabe-tes tipe 2.6

Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadi-nya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.

Penyakit pembuluh darah perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vas-cular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes ber-langsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gang-guan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka

yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah men-galami penyempitan pada pembuluh darah jan-tung.

Gangguan pada hati

Banyak orang beranggapan bahwa bila pende-rita diabetes tidak makan gula bisa bisa meng-alami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak men-derita diabetes, penmen-derita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepati-tis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mu-dah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan siro-sis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada pen-derita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita dia-betes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibi-arkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.

Penyakit paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tu-berkulosis paru dibandingkan orang biasa, seka-lipun penderita bergizi baik dan secara sosio-ekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.

Gangguan saluran cerna

Gangguan saluran cerna pada penderita diabe-tes disebabkan karena kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan. Ganggu-an ini dimulai dari rongga mulut yGanggu-ang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan se-hingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah aki-bat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang diminum.

Infeksi

(5)

Vol. 27, No.2, Agustus 2014 MEDICINUS 13 kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya

virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Ka-dar glukosa Ka-darah yang tinggi juga merusak sis-tem saraf sehingga mengurangi kepekaan pen-derita terhadap adanya infeksi.

PENATALAKSANAAN

Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian besar me-ngenai organ vital yang dapat fatal, maka tata-laksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif un-tuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelo-laan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik be-ratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.1

A. Edukasi

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam peru-bahan perilaku sehat yang memerlukan partisi-pasi aktif dari partisi-pasien dan keluarga partisi-pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.1,8

Tujuan dari edukasi diabetes adalah men-dukung usaha pasien penyandang diabetes un-tuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku peman-tauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.8

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti me-rokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengu-rangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.8

B. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing indi-vidu, dengan memperhatikan keteraturan

jadw-al makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat seki-tar 25g/hari.1

C. Latihan Jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.1

D. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1 Obat

yang saat ini ada antara lain:

I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO) Pemicu sekresi insulin:

a. Sulfonilurea

• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas

• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang

• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi

b. Glinid

• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid

• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase per-tama.

• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin:

a. Biguanid9

• Golongan biguanid yang paling banyak diguna-kan adalah Metformin.

• Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada ting-kat seluler, distal reseptor insulin, dan menu-runkan produksi glukosa hati.

• Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai dislipidem-ia, dan disertai resistensi insulin.

(6)

• Menurunkan resistensi insulin dengan mening-katkan jumlah protein pengangkut glukosa se-hingga meningkatkan ambilan glukosa perifer. • Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal

jantung karena meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis: Biguanid (Metformin).

• Selain menurunkan resistensi insulin, Metfor-min juga mengurangi produksi glukosa hati. • Metformin dikontraindikasikan pada gangguan

fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis • Metformin tidak mempunyai efek samping

hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. • Metformin mempunyai efek samping pada

saluran cerna (mual) namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa : Acarbose

• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

• Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea. • Acarbose mempunyai efek samping pada

salur-an cerna yaitu kembung dsalur-an flatulens. • Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan

suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat peng-lepasan glukagon.

II. OBAT SUNTIKAN Insulin

a. Insulin kerja cepat b. Insulin kerja pendek c. Insulin kerja menengah d. Insulin kerja panjang e. Insulin campuran tetap

Agonis GLP-1/incretin mimetik

• Bekerja sebagai perangsang penglepasan in-sulin tanpa menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan glukagon

• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin

dan sulfonilurea

• Efek samping antara lain gangguan saluran cer-na seperti mual muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Se-mua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani se-cara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan men-jalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid di-berikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acar-bose diberikan bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat ma-kan atau sebelum mama-kan.

Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka diberikan kombi-nasi 2 OHO. Untuk terapi kombikombi-nasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda, misalnya golong-an sulfonilurea dgolong-an metformin. Bila denggolong-an GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah be-lum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang per-tama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin ba-sal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur.

(7)

Vol. 27, No.2, Agustus 2014 MEDICINUS 15 dilihat pada gambar 2.

Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini di-anjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3 menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.

Kriteria pengendalian DM

Untuk mencegah komplikasi kronik, diper-lukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinya-takan terkendali baik bila kadar glukosa da-rah, A1c dan lipid mencapai target sasaran. Kriteria lengkap dari keberhasilan pengen-dalian DM ini dapat dilihat pada gambar 4.

Metformin dan DM tipe 2

Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai beberapa efek tera-pi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi in-sulin khususnya di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan kadar insulin plasma. Metformin menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas in-sulin melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan invitro membuktikan efek metformin ter-hadap fluidity membran palsma, plasticity dari reseptor dan transporter, supresi dari

mitochondrial respiratory chain, peningka-tan insulin-stimulated receptor phosphoryla-tion dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi translokasi GLUT4 transporters, dan efek enzimatik metabolic pathways.10

Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya ber-tujuan untuk kendali glikemik, tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman mortalitas dan morbiditas justru datang dari berbagai komplikasi kronik ter-ebut. Dalam mencapai tujuan ini, Metfor-min salah satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi untuk kendali glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi endotel, hemostasis, stress oksidatif, re-sistensi insulin, profil lipid dan redistribusi lemak.11 Metformin terbukti dapat

(8)

sensi-tivitas insulin, dan mengurangi lemak visceral.12

Pada penderita perlemakan hati (fatty liver), di-dapatkan perbaikan dengan penggunaan Met-formin.13 Metformin juga terbukti mempunyai

efek protektif terhadap komplikasi makrovasku-lar.14 Selain berperan dalam proteksi risiko

kardio-vaskuler, studi-studi terbaru juga mendapatkan peranan neuroprotektif Metformin dalam mem-perbaiki fungsi saraf, khususnya spatial memory function15 dan peranan proteksi Metformin dalam

karsinogenesis. Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam kanker terutama kanker hati, pankreas, endome-trium, kolorektal, payudara, dan kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan insidens keganasan pada pasien yang menggunakan Metformin.11

Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the American Diabetes Associa-tion/European Association for the Study of Dia-betes (ADA/EASD) dan the American Association of Clinical Endocrinologists/American College of Endocrinology (AACE/ACE) merekomendasi-kan pemberian metformin sebagai monotera-pi lini pertama. Rekomendasi ini terutama ber-dasarkan efek metformin dalam menurunkan kadar glukosa darah, harga relatif murah, efek

samping lebih minimal dan tidak meningkatkan berat badan.1,16 Posisi Metformin sebagai terapi

lini pertama juga diperkuat oleh the United King-dom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga men-dapatkan efikasi Metformin setara dengan sul-fonilurea dalam mengendalikan kadar glukosa darah.17 Ito dkk dalam studinya menyimpulkan

bahwa metformin juga efektif pada pasien de-ngan berat badan normal.18

KESIMPULAN

Diabetes mellitus tipe-2 masih merupakan masalah kesehatan yang penting, khususnya karena komplikasi kronik yang ditimbulkannya. Tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 bukan ha-nya ditujukan pada kendali glikemik, tetapi juga terhadap proteksi komplikasi kardiovaskuler. Metformin merupakan obat hipoglikemik lini pertama untuk diabetes mellitus tipe-2, karena disamping terbukti efektif dalam kendali glike-mik, Metformin juga terbukti mempunyai efek protektif terhadap komplikasi kardiovaskuler, disamping masih mempunyai banyak efek positif lainnya yang sebagian masih dalam tahap pe-nelitian.

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29 2. American Diabetes Association. Diagnosis And Classiication Of Diabetes

Mellitus. Diabetes Care 2011;34:s62-9.

3. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hlm.1874-8

4. Gregg EW, Li Y, Wang J, Burrows NR, Ali MK, Rolka D, et al. Changes in Diabetes-Related Complications in the United States, 1990–2010. N Engl J Med 2014;370:1514-23

5. (9)Powers AC. Diabetes mellitus. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medi-cine. 17th Edition. United States: The McGraw-Hill Companies; 2008. hal2275-304.

6. (10)Tapp R, Shaw J, Zimmet P. Complications of Diabetes. Dalam: Gan D, Allgot B, King H, Lefèbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes At-las. Edisi ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.72-112) 7. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: Mekanisme terjadinya, diagnosis

dan strategi pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadi-brata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hlm.1874-8 8. J Piette. Efectiveness of Self-management Education. Dalam: Gan D,

All-got B, King H, Lefèbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas. Edisi ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.207-15) 9. Sugondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus

tipe 2. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departe-men Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hlm.1882-5

daftar pustaka

10. Marić A Metformin – more than ‘gold standard’ in the treatment of type 2 diabetes mellitus. Diabetologia Croatica 2010; 39-3 11. Rojas LBA, Gomes MB. Metformin: an old but still the best

treatment for type 2 diabetes. Diabetology & Metabolic Syn-drome2013,5:6. Diunduh dari http://www.dmsjournal. com/ content/5/1/6

12. Reinehr T, Kiess W, Kappellen T, Andler W:I nsulin sensitivity among obese children and adolescents, according to degree of weight loss. Pediatrics 2004,114:1569–1573

13. Tock L, Dˆamaso A, de Piano A, Carnier J,et al: Long-Term Efects of metformin and lifestyle modiication on nonalcoholic fatty liver disease obese adolescents. J Obes2010,831901:6. Article ID 831901

14. Holman RR, Paul SK, Bethel MA, Matthews DR, Neil HA:10-year follow up of intensive glucose control in type 2 diabetes.N Engl J Med2008, 359:1577–1589

15. Wang J, Gallagher D, De Vito L,et al: Metformin activates an atypi-cal PKC-CBP pathway to promote neurogenesis and enhance spa-tial memory formation. Cell Stem Cell2012,11:23–35

16. Rodbard HW, Jellinger PS, Davidson JA,et al: Statement by an American association of clinical endocrinologists/American college of endocrinology consensus panel on type 2 diabe-tes mellitus. An algorithm for glycemic control. Endocr Pract 2009,15(6):540–559.

17. Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group:Efect of inten-sive blood glucose control with metformin on complications in overweight patients with type 2 diabetes (UKPDS 34). Lan-cet1998,352(9131):854–865.

Gambar

Gambar 1. Langkah diagnostik Diabetes Mellitus (DM) dan gangguan toleransi glukosa (GTG)1
tabel 1.4. Diabetes Melitus Gestasional

Referensi

Dokumen terkait

Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah. mengintesifkan

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan pengendalian glukosa darah pada penderita DM adalah pengukuran hemoglobin-glikosilat (HbA1c).Tujuan

protein dengan kadar yang cukup tinggi pada penderita dengan resistensi insulin. Peningkatan kadar kompleks imun pada penderita DM tidak

Penderita diabetes mellitus tipe 2 akan menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah pada tingkat normal, namun insulin

Kegagalan kompensasi dengan cara meningkatkan sekresi insulin terjadi pada Impaired Glucose Tolerance (IGT, point C) atau toleransi glukosa terganggu dan juga pada DM tipe 2

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.. Namun demikian, tidak

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu TGT atau Gula Darah Puasa Teranggu GDPT

Pada diabetes mellitus tipe-2 tubuh kita baik menolak efek dari insulin atau tidak memproduksi insulin yang cukup untuk mempertahankan tingkat glukosa yang normal... Diabetes Mellitus