• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Badan Pengusahaan dan Pemerintah Kota Batam dalam Pengelolaan Pemerintahan di Kota Batam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Badan Pengusahaan dan Pemerintah Kota Batam dalam Pengelolaan Pemerintahan di Kota Batam"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945. Ini berarti bahwa negara yang bersusunan negara kesatuan, maka segenap kekuasaan/kewenangan serta tanggung jawab pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup bangsa berada dibawah kendali satu pemegang kekuasaan

terpusat yang terdapat pada pemerintah pusat.

Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. Kedua UU ini mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dikarenakan pemda memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (UU No. 32 tahun 2004). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian.

Pengelolaan Kota Batam dapat menimbulkan permasalahan karena adanya dua organisasi pemerintah, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam. Kedua organisasi ini memiliki landasan hukum yang kuat dalam menjalankan kewenangannya mengelola kota Batam. Badan Otorita Batam dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 41 tahun 1973. Oleh karena

(2)

1983. Tugas pemerintah kota saat itu adalah untuk melayani warga masyarakat yang ada di Pulau Batam dan sekitarnya. Tugas pembangunan dijalankan oleh Badan Otorita Batam.

Pada 1999 terbitlah Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Dengan berlakunya undang-undang tersebut maka sejumlah daerah berpeluang untuk dimekarkan menjadi daerah otonom. Salah satunya adalah Kota Batam yang terbentuk berdasarkan HU No. 53 tahun 1999. Devas dan Rakodi ahli manajemen perkotaan mengatakan bahwa banyaknya aktor yang terlibat dalam pengelolaan kota dapat mengakibatkan konflik.

Menurut teori Louis Pondy, konflik dapat terjadi karena perbedaan

kepentingan, perbedaan pandangan, dan tujuan-tujuan atau juga karena perebutan sumber daya alam.

Dengan demikian corak pemerintahan yang demikian cenderung bersifat sentralisasi. Berbeda halnya dengan negara bersusunan serikat (federasi) dimana corak pemerintahannya lebih cenderung bersifat desentralisasi.

Wilayah negara Republik Indonesia sedemikian luasnya dan didiami berbagai suku bangsa yang beranekaragam (Bhineka Tunggal Ika) serta diperkaya lagi dengan latar belakang sejarah perjuangan dalam melepaskan diri dari belenggu kekuasaan penjajahan bangsa selama berabad-abad lamanya, menyebabkan corak pemerintahan sentralisasi bukanlah merupakan tipe ideal sistem pemerintahan yang cocok buat mengatur wilayah dan penduduk yang demikian banyak dan beragam itu.

Para pendiri negara (founding fathers) kita menyadari keadaan alamiah yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam tersebut. Dalam menyikapi heterogenitas bangsa tersebut maka diaturlah masalah corak pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan kelompok-kelompok masyarakat didaerah yang akhirnya menciptakan Pemerintahan Daerah berdasarkan sistem desentralisasi sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 18 UUD 1945.

Secara ketatanegaraan pengertian desentralisasi adalah dimaksudkan untuk

(3)

daerah tingkat atasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengurus kepentingan rumah tangga daerah itu sendiri. Dalam hal ini sudah tentu usaha untuk melepaskan diri dari pusat bukanlah berarti lepas sama sekali dari ikatan negara (apalagi dalam negara Indonesia), melainkan dengan diserahkannya beberapa kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah dimaksudkan agar tidak terlalu bergantung sama sekali kepada pusat.1

Mengingat pada saat berlakunya undang-undang ini penyelenggaraan sebagian tugas dan wewenang ada pada pihak Badan Pengusahaan Batam selanjutnya disingkat BP. Batam, maka dalam rangka mendudukan tugas, fungsi dan kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, diperlukan pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota dan Otorita untuk

Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan wewenang atau kekuasaan dan hak kepada masyarakat didaerah-daerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik)

sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur lagi oleh Pemerintah Pusat yang pada perkembangan selanjutnya menurunkan pengertian otonomi daerah.

Pada awalnya Batam dikembangkan oleh pihak Badan Otorita Batam selanjutnya disebut BO. Batam dan telah berkembang menjadi pusat industri, perdagangan, alih kapal (transshipment) dan pariwisata di kawasan Asia Tenggara. Seluruh proses perizinan investasi telah dilakukan dibawah satu atap yaitu di Batam Industrial Development Authority (BIDA) atau Badan Otorita Pengembangan Industri Batam. Tetapi dengan diberlakukannya Otonomi Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka Batam di kelola oleh Pemerintah Kotamadya yang menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999, yaitu dengan penetapan Kota Batam serta pembentukan kabupaten dan kecamatan serta pembentukan Provinsi Kepulauan Riau kemudian sebagai pemekaran dari Provinsi Riau sebelumnya.

1

(4)

menghindari terjadinya tumpang tindih kekuasaan dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Batam.

Dengan adanya UUD 1945 merupakan negara yang berdasarkan atas hukum sehingga tidak berdasarkan kekuasaan semata. Pemerintah yang berdasarkan atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. Dengan demikian maka kebijaksanaan Pemerintah Pusat untuk menyerahkan sebagian urusan-urusannya untuk menjadi kewenangan. Daerah, garis-garis besarnya diserahkan melalui peraturan-peraturan perundang-undangan2

Masalah kewenangan, tentu tidak dapat dilepaskan dari konsep kekuasaan. Bentuk-bentuk kekuasaan pada dasarnya bisa berupa influence (pengaruh) yakni

kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela; persuasion (persuasi) yakni kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu; manipulation

(manipulasi), yaitu penggunaan pengaruh dalam hal ini yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan; coercion yakni peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi; dan force

yaitu penggunaan tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan menimbulkan rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan biologis terhadap pihak lain agar melakukan sesuatu.3

Salah satu bentuk dari kekuasaan adalah kewenangan. Namun keduanya memiliki perbedaan pada dimensi keabsahan (legitimasi). Jika kekuasaan tidak selalu harus diikuti oleh legitimasi atau keabsahan, maka kewenangan adalah kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power)4

2

Dann Sugandha, 1981, Masalah Otonomi Serta Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bandung: Sinar Baru, hal 3-4

3

Ramlan Surbakti, Memahami ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1992, hal 57 4

Ibid. hal 85

(5)

keputusan melaksanakan keputusan politik5

Kewenangan tersebut meliputi penyelenggaraan dual functions, yaitu (a) sebagian fungsi pemerintahan, berupa pemberian izin, pelayanan masyarakat, pertanahan dan sebagainya, atas dasar pendelegasian berbagai kewenangan Pemerintah Pusat cq. Departemen teknis terkait; (b) fungsi pembangunan, dimana Badan Otoritas.

. Sedangkan yang dimaksud dengan urusan adalah segala aktivitas yang dapat dilaksanakan sebagai hasil dari kewenangan yang ada. Manifestasi dari kewenangan adalah adanya hak untuk menjalankan aktivitas-aktivitas. Dengan demikian, urusan baru bisa diberikan ketika seseorang atau sekelompok orang atau institusi tersebut tidak diberikan kewenangan sebelumnya.

Wewenang BP. Batam Dalam Pengelolaan Kota. Meski pengelolaan Kawasan Batam sejak Tahun 1983 telah melibatkan Pemerintah Kota Administratif, namun BO. Batam tetap memiliki kewenangan yang sangat luas untuk mengelola Pulau Batam dalam rangka menarik investor dalam menanamkan

modalnya di Pulau Batam.

6

Wewenang Pemerintah Kota Batam Dalam Pengelolaan Kota yaitu:7 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan

2. Perencanaan, pemanfaatan , dan pengawasan tata ruang

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum

5. Penanganan bidang kesehatan 6. Penyelenggaraan pendidikan 7. Penanggulangan masalah social 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan

9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah 10.Pengendalian lingkungan hidup

11.Pelayanan pertanahan

5

Dann Sugandha, Op.Cit 6

7

(6)

12.Pelayanan kependudukan dan catatan sipil 13.Pelayanan administrasi umum pemerintahan 14.Pelayanan administrasi penanaman modal 15.Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya

16.Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan

Permasalahan aktual yang muncul akibat dualisme pemerintahan Di Kota Batam. Berdasarkan telaah terhadap lingkup wewenang kedua lembaga pemerintahan tersebut maka dapat ditemu kenali beberapa tumpang tindih kewenangan dalam hal-hal sebagai berikut:8

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan

b. Perencanaan, pemanfaatan , dan pengawasan tata ruang c. Penyediaan sarana dan prasarana umum

d. Pengendalian lingkungan hidup e. Pelayanan pertanahan

f. Pelayanan administrasi penanaman modal

Berdasarkan uraian di atas maka tertarik memilih judul “Hubungan Badan Pengusahaan dan Pemerintah Kota Batam dalam Pengelolaan Pemerintahan di Kota Batam “

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah efektifitas penyelenggaraan BP. Batam terhadap Pemko Batam pada masa otonomi daerah?

2. Bagaimanakah kewenangan Otorita yang sudah didelegasikan kepada Pemerintah Kota Batam?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

8

(7)

1. Untuk mengetahui efektifitas penyelenggaraan BP. Batam terhadap Pemko Batam pada masa otonomi daerah

2. Untuk mengetahui kewenangan Otorita yang sudah didelegasikan kepada Pemerintah Kota Batam

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terutama terhadap perkembangan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Menambah pengetahuan dan pemahaman serta meningkatkkan kreativitas penulis dalam membuat suatu karya ilmiah khususnya dalam bidang ilmu politik.

b. Manfaat praktis

Memberikan kontribusi pemikiran dan menambah khazanah ilmu pengetahuan serta memperbanyak referensi bagi ilmu politik sendiri maupun proses pendidikan lainnya secara lebih komprehensif.

1.5. Kerangka Teoretis 1.5.1. Teori Desentralisasi

Shabbir cheema dan dennid a rondinelli yang berjudul “Decentralizing Governance” chapter pertama banyak hal yang menarik didalamnya mengenai teori desentralisasi pemeritahan yang menjelaskan teori desentralisasi, bagaimana pengertian desentralisasi, tujuan dari desentralisasi, penjelasan pelaksanaan desentralisasi serta hambatan dalam desentralisasi yang ditulis dari buku ini.

Pemerintah dipandang sebagai perwujudan kelembagaan kedaulatan negara dan sebagai sumber dominan pengambilan keputusan politik dan hukum.

(8)

kemajuan ekonomi dan sosial dan potensi keuntungan dan kerugian dari desentralisasi kewenangan kepada unit subnasional administrasi, pemerintah daerah, atau lembaga lain dari negara.

Menurut Rondinelli Desentralisasi didefinisikan sebagai pengalihan wewenang, tanggung jawab, dan sumber daya-melalui dekonsentrasi, delegasi, atau devolusi dari pusat ke tingkat yang lebih rendah dari administrasi.9

Menurut Rondinelli sampai akhir 1980-an pemerintah menemukan tiga bentuk utama desentralisasi: dekonsentrasi, devolusi, dan delegation.

Sebagai konsep desentralisasi berkembang selama setengah abad terakhir, telah diambil makna semakin beragam dan bervariasi, tujuan, dan bentuk. Pertama pasca-Perang Dunia berpikir II tentang desentralisasi, pada 1970-an dan 1980-an, berfokus pada dekonsentrasi struktur pemerintahan hirarkis dan birokrasi. Kedua

desentralisasi, dimulai pada pertengahan 1980-an, memperluas konsep untuk memasukkan pembagian kekuasaan politik, demokratisasi, dan liberalisasi pasar, memperluas ruang lingkup untuk pengambilan keputusan sektor swasta. Selama tahun 1990-an desentralisasi dipandang sebagai cara membuka pemerintahan dengan partisipasi publik yang lebih luas melalui organisasi masyarakat sipil.

10

1. Dekonsentrasi bertujuan untuk mengalihkan tanggung jawab administrasi dari kementerian pusat dan departemen untuk tingkat administrasi regional dan lokal dengan mendirikan kantor perwakilan departemen nasional dan mentransfer beberapa kewenangan untuk pengambilan keputusan kepada staf lapangan regional.

2. Devolusi bertujuan untuk memperkuat pemerintah daerah dengan memberikan mereka otoritas, tanggung jawab, dan sumber daya untuk menyediakan layanan dan infrastruktur, melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat, serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan lokal.

3. Delegasi, bertujuan otoritas pemerintah nasional bergeser untuk manajemen fungsi-fungsi khusus untuk organisasi semiotonomi atau

9

Rondinelli, Dennis, A and Chemma, G Shabbir, et 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, Beverly Hills. hal 1

(9)

parastatal dan BUMN, perencanaan regional dan badan-badan pengembangan wilayah, dan otoritas publik dan multi-tujuan tunggal. Dekonsentrasi global kegiatan ekonomi tidak hanya diberikan daerah sumber daya baru, tetapi juga membawa tekanan baru pada pemerintah daerah untuk membentuk tugas-tugas administratif secara lebih efektif.

Meskipun banyak negara telah bergerak menuju pemerintahan yang demokratis, upaya mereka untuk mendesentralisasikan tidak selalu mudah atau sukses. Menurut Rondinelli reformasi telah belajar bahwa desentralisasi bukanlah obat mujarab untuk semua penyakit dari pemerintahan yang tidak efektif. Percobaan sukses dalam desentralisasi telah menghasilkan banyak manfaat

diklaim oleh para pendukungnya, tetapi skeptis juga menunjukkan keterbatasan.11

Menurut Guido Bertucci dan Maria Senese dalam Rondinelli melihat dampak dari informasi teknologi komunikasi (TIK) dalam proses desentralisasi. Setelah memeriksa tren dalam kepercayaan politik, yang menyoroti kepercayaan diri rendah di pemerintahan, mereka menganalisis bagaimana TIK dapat memainkan peran kunci dalam mempromosikan dan membantu proses desentralisasi menjadi lebih efektif dan bermakna. Mereka menekankan, dengan beberapa bukti dari studi kasus, bagaimana TIK dapat mendorong desentralisasi dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dengan meningkatkan efisiensi, transparansi, partisipasi, dan keterlibatan warga.

Di banyak negara berkembang, desentralisasi dapat meningkatkan potensi untuk “elit” dari pemerintah daerah atau dirusak oleh ketidakmampuan mereka untuk meningkatkan sumber daya keuangan yang cukup untuk menyediakan layanan secara efisien. Desentralisasi sering gagal karena rendahnya tingkat kapasitas administrasi dan pengelolaan dalam pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil. Desentralisasi telah disertai dengan memperluas kesenjangan ekonomi dan sosial antar daerah di beberapa negara dan peningkatan tingkat korupsi lokal dan nepotisme dalam hal lainnya.

12

1.5.2. Teori pertanggungjawaban keuangan daerah.

11 Ibid 12

(10)

Pertanggungjawaban berarti sesuatu yang dipertanggungjawabkan. Istilah pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah ”responsibility” dan istilah ”liability”.

Kedua istilah ini menurut Pinto mempunyai pengertian yang berbeda, yaitu: Istilah responsibility ditujukan bagi adanya indikator penentu atas lahirnya suatu tanggungjawab, yakni suatu standard yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati, serta saat lahirnya tanggungjawab itu.

Sedangkan istilah liability lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standard tersebut, dan bentuk tanggungjawab diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat dari

terjadinya kerusakan atau kerugian. Perbedaan antara istilah responsibility dengan

liability juga dapat dilihat: Istilah responsibility menunjukkan suatu standard

perilaku dan kegagalan memenuhi standard itu, sedangkan terminologi liability

lebih menunjukkan kepada kerusakan atau kerugian yang timbul sebagai akibat kegagalan didalam memenuhi standard dimaksud, termasuk pula dalam hal ini untuk pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan.13

Atas dasar uraian tersebut diatas, maka tanggungjawab mempunyai 2 (dua) arti. Pertama, yaitu tanggungjawab dalam arti responsibility terhadap tanggungjawab dalam artian ini maka tanggungjawab dititik beratkan pada pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturan-aturan standard yang telah ditentukan. Tanggungjawab dalam arti liability, tanggungjawab dalam artian ini dititik beratkan pada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kerugian yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan.14

Tanggungjawab dan pertanggungjawaban dapat dibedakan dalam 3 (tiga) batasan, yaitu: responsibility, accountability dan liability. Tanggungjawab dalam arti responsibility adalah tanggungjawab yang berlaku antara bawahan dan atasan. Liability menunjukkan tanggungjawab hukum atau tanggungjawab gugat, seperti halnya penyelesaian perkara melalui pengadilan (hukum), sedangkan tanggungjawab accountability adalah pertanggungjawaban yang dibuat oleh mereka yang menerima kuasa atau Prajudi Atmosudirjo mengatakan:

13

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Op.cit, hal. 124. 14

(11)

mendapat kewenangan yang diterima digunakan untuk kebaikan (kesejahteraan) mereka yang memberi kuasa (rakyat).15

1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti luas hubungannya

dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang menyangkut kriminal (kejahatan dan pelanggaran jabatan) dalam rangka tugas pembantuan dapat dipidana, misalnya UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Atas dasar pengertian akuntabilitas di atas, maka istilah akuntabilitas lebih

luas pengertiannya dari istilah responsibility dan liability. Hal tersebut dikarenakan akuntabilitas tidak hanya dititik beratkan pada pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturan-aturan standard yang telah ditentukan (responsibility), dan juga tidak hanya dititik beratkan pada pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan (liability), melainkan suatu bentuk pertanggungjawaban secara keseluruhan yang meliputi responsibility, liability dan ditambah dengan suatu kewajiban untuk membuktikan manajemen, pengendalian, kinerja yang baik, yang harus dilakukan oleh pengemban tanggungjawab tersebut. Kemudian apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya, maka menurut ketentuan bunyi Pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan, dinyatakan bahwa:”Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) memuat aspek pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Ketentuan tersebut diatas menurut Yudha Bhakti Ardhiwisastra bahwa pada penafsiran peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikaji dalam arti luas dan dalam arti sempit, maka ada 3 (tiga) ketentuan, yaitu:

2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti luas hubungannya dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang merugikan masyarakat

15

(12)

(onrechtmatige overheidsdaad), maka pemerintah daerah atau pemerintah pusat harus mengganti kerugian tersebut.

3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit hanya menurut ketentuan dalam penyelenggaraan tugas pembantuan, yaitu: pemberhentian tugas pembantuan dapat dilakukan apabila :

a. Dalam pelaksanaannya terdapat perubahan kebijaksanaan baru dari pemerintah, provinsi dan kabupaten

b. Berdasarkan hasil penilaian, evaluasi dan pembinaan dari pemberi tugas pembantuan bahwa penerima tugas pembantuan tidak mampu menyelenggarakan tugas pembantuan.

c. Penyelenggaraan tidak sesuai dengan rencana/program yang telah ditetapkan oleh pemberi tugas pembantuan.

d. Pelaksanaan tugas pembantuan telah selesai.16

Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan akuntabilitas publik pengelolaan keuangan daerah yang merupakan sebuah pertanggungjawaban administrasi dan politik, maka pertanggungjawaban kepala daerah dalam pengelolaan keuangan daerah, dapat dikatakan bahwa tujuan umumnya adalah:

1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship).

2. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.17

Secara khusus, tujuan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh kepala daerah adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi keuangan guna menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah.

16

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, hal. 128.

17

(13)

2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya.

3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan.

4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional.

5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan

organisasional.18

Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat).

APBD dapat diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Adapun yang menjadi asas-asas dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud diatas adalah sebagai berikut:

18

(14)

1. Asas desentralisasi.

Adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

2. Asas dekonsentrasi.

Adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

3. Tugas pembantuan.

Adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

1.5.3. Good Governance

1.5.3.1 Pengertian Good Governance

Istilah “Good Governance” mulai muncul dan populer di Indonesia sekitar tahun 1990-an. Dalam penyelenggaraan pemerintahan kita “Good Governance” menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kemunculannya disaat penyelenggaraan pemerintahan Indonesia sedang mengalami distorsi terhadap efektivitas pelayanan kepada publik.

Dalam konsep “Good Governance” atau sering disebut sebagai “tatakelola kepemerintahan yang baik” untuk membedakan dengan “pemerintahan yang bersih dan berwibawa” (clean government), maka “tatakelola kepemerintahan yang baik”, sebagai kata sifat adalah “cara-cara penyelenggaraan pemerintahan secara efisien dan efektif.19

19

Bambang Istianto. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. hal. 183.

(15)

Pengertian “Good Governance” menurut Healy dan Robinson yang di kutip Hamdi,20

Adapun pengertian “Good Governance” menurut UNDP dalam sedarmayanti,

mengatakan bahwa “good governance” bermakna tingkat efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi kebijakan dan kebijakan yang senyatanya dilaksanakan, khususnya dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan, stabilitas dan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang baik juga bermakna akuntabilitas transparansi, partisipasi dan keterbukaan.

21

Dengan demikian penerapan konsep good governance dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri. Dalam memahami tentang pengertian “Good Governance” patut menjadi catatan bagi kita agar tidak salah pengertian terhadap istilah “Good Governance” seperti yang disampaikan oleh Tjokroamidjojo

“Good Governance” merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service

disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan istilah yang lebih populer disebut “Good Governance” (kepemerintahan yang baik). Agar good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. “Good governance” yang efektif menuntut adanya “aligment”

(koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi.

22

20

Muchlis Hamdi. 2003. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta: Yarsif Watampone. hal. 54 21

Sedarmayanti. 2003. Good Governance; Kepemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju. hal.2

22

Bintoro Tjokroamidjojo. 2001. Good Governance, Paradigma Baru Ilmu Pemerintahan. Jakarta: ISBM. hal 13.

(16)

Dari beberapa pengertian mengenai “Good Governance” dan juga karakteristik Good Governance”, terdapat beberapa kesamaan dalam tuntutan serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi; rule of law, transparansi, accountability, konsensus. Dari segi masing-masing tersebut adalah seiring dengan arti dan makna demokrasi sehingga sistem politik yang demokratis dapat terwujud maka akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, teratur dan tertib.

1.5.3.2 Prinsip-prinsip Good Governance

Word Bank maupun UNDP mengembangkan istilah baru yaitu

”governace” sebagai pendamping kata ”government”. Istilah tersebut sekarang sedang sangat populer digunakan dikalangan akademisi maupun masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menterjemahkan menjadi ”tata pemerintahan”, ada pula yang menterjemahkan menjadi ”kepemerintahan”.23

Perubahan penggunaan istilah dengan pengertiannya akan mengubah secara mendasar pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Perubahannya akan mencakup tiga dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, struktur hubungan antara eksekutif dan legislatif maupun struktur hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja intraorganisasi, antarorganisasi maupun eksraorganisasi.

24

United Nation Development Programe (UNDP), memberikan batasan pada kata governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa”. Governance dikatakan

23

Sadu Wasistiono, 2007. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqprint, Bandung: Jatinangor, hal. 27.

(17)

baik (good atau sound) apabila sumber daya publik dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien, yang merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif dan efisien dan responsive terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan masalah-masalah publik yang didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan.

Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik (penyelenggaraannya).

Clean government mengandung arti pemerintahan yang bersih (lembaga),

sedangkan Clean government berarti pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Baik buruknya suatu pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance sebagaimana tersebut di bawah ini.25

1. Partisipasi (Participation)

Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi intermediasi seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya. Partisipasi rakyat warga negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara disebut transparansi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan, yaitu :

a. Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan) b. Ada keterlibatan secara emosional

c. Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.

25

(18)

2. Penegakan Hukum (Rule of Law)

Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokratisasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, melainkan anarki. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain, termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan

good governance adalah membangu sistem hukum yang sehat, baik perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware) maupun sumber daya manusia yang

menjalankan sistemnya (human ware).

3. Transparansi (Transparancy)

Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai pada tahap evaluasi.

4. Daya Tanggap (Responsiveness)

Sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan, maka setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance perlu memiliki daya tanggap terhadap keinginan maupun keluhan para pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini cendrung tertutup, arogan serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey tingkat kepuasan konsumen

(custumer satisfaction).

5. Berorientasi pada Konsenseus (Consensus Orientation)

(19)

Di dalam good governance, pengambilan keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesedian untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama. Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah melalui “musyawarah”.

6. Keadilan (Equity)

Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi karena

kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, maka sektor publik perlu memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.

7. Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)

Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya kompetensi tidak akan tercapai efisiensi.

8. Akuntabilitas (Accountability)

Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan juga pada para pemegang saham (stake holder), yakni masyarakat luas. Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu sebagai berikut :

a. Akuntabilitas Organisasional / administratif. b. Akuntabilitas legal

c. Akuntabilitas politik

(20)

1.5.3.3 Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Dalam perkembangan dewasa ini kebijakan pemerintah ke arah penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik sudah mulai dilakukan dengan diawali dengan desentralisasi kewenangan kepada daerah kabupaten/kota melalui UU No. 22 Tahun 1999 juga UU No. 32 Tahun 2004 beserta peraturan pemerintahannya.

Oleh karena itu dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan terjadi perubahan yang cukup signifikan menuju terwujudnya “Good Governance”.

Demikian pula tujuan kebijakan otonomi daerah di Indonesia tersebut di atas

dalam perspektif pendayagunaan aparatur negara pada hakekatnya adalah memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan responsif terhadap kepentingan masyarakat luas; membangun sistem pola karir politik dan administrasi yang kompetitif; mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif; meningkatkan efisiensi pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan transparansi pengambilan kebijakan dan akuntabilitas publik, pada akhirnya diharapkan terciptanya kepemerintahan yang baik (Good Governance).

1.5.4 Teori Otonomi Daerah

1.5.4.1 Pengertian Otonomi Daerah

Seperti dikatakan oleh Mark Turne, ‘desentralisasi merupakan salah satu konsep di dalam ilmu sosial yang memiliki banyak makna disepanjang waktu’. Pemaknaan yang beragam ini tidak lepas dari banyaknya aplikasi disiplin dan perspektif di dalam ilmu sosial yang concern terhadap studi mengenai desentralisasi. 26

Otonomi bila kita tinjau dari segi etimologisnya berasal dari dua kata dalam bahasa yunani, yakni kata “auto” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti undang-undang atau peraturan. Selanjutnya istilah ini berkembang menjadi terminology “pemerintahan sendiri” atau mengatur dengan “undang-undang

(21)

sendiri”. Lalu beberapa ahli mencoba menarik sebuah definisi otonomi yang diartikan sebagai “pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan, daerah atau “kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan”.

Sementara istilah “daerah” itu memiliki arti yang cukup luas yakni sebagai “bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya yang khusus; Lingkungan pemerintahan; Wilayah; selingkungan kawasan, tempat-tempat sekeliling atau yang termasuk dalam lingkukangan suatu kota (wilayah dan sebagainya); tempat-tempat dalam suatu lingkungan yang sama keadaannya (iklimnya, hasilnya dan sebagainya); tempat-tempat yang terkena peristiwa yang

sama; bagian permukaan tubuh” 27

Dengan demikian otonomi daerah secara istilah dapat dirumuskan sebagai sebuah kondisi dimana kewenangan daerah dijunjung tinggi dan mendapat tempat yang strategis dalam arti pemerintah daerah sama sekali tidak mengalami proses intervensi yang dapat mengganggu kewenangannya tersebut dan untuk mengatur wilayahnya dalam lingkup kewenangannya itu

Lalu keterkaitan antara kedua kata tersebut yakni otonomi dan daerah adalah merupakan dua buah kata yang sering dipakai secara bersamaan. Ini disebabkan karena menurut Sumitro Maskun: “pengertian otonomi dalam lingkup suatu Negara selalu dikaitkan dengan daerah atau pemerintahan daerah (local government). Otonomi dalam pengertian ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke daearah, juga berarti menghargai atau mengefektifkan daerah kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi system prosedur pemerintahan negara di daerah”.

28

Bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Menurutnya Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit

27

Kamisa, 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya, hal. 116, Dalam, Politeia Jurnal Ilmu Politik Volume 2, Husnul Isa Harahap, Militer Dan Politik;Otonomi Daerah Dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Sipil-Militer Di Daerah, Penerbit Kerjasama Departemen Ilmu Politik dan Laboratorium Politik FISIP USU, Medan, 2006, hal. 20

28

(22)

definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya; dan Adanya pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian tugas itu.

Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian tugas penyelenggaraan pemerintahan, batasan otonomi sebagai “…kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otomom dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusannya, untuk mengurus kepentingan-kepentingan umum.”

Dari berbagai batasan tentang otonomi daerah tersebut diatas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari pengakuan pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang menjadi satu-satunya sumber untuk menentukan pemerintahan negara. Memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi rakyat untuk turut serta dalam mengambil bagian dan tanggung jawab dalam proses pemerintahan”. bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan,yaitu: Pembagian dan pembatasan kekuasaan.Salah satu persoalan pokok dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang sewenang-wenang.

Dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah pusat membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.

Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Adalah terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya terhadap segala persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu diberi wewenang untuk turut serta

(23)

rumah tangganya, diharapkan masalah-masalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang wajar dan baik.

Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi faktor-faktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan menciptakan perikehidupan sejahtera. Dengan adanya pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga daerahnya, partisipasi rakyat dapat dibangkitkan dan pembangunan benar-benar diarahkan kepada kepentingan nyata daerah yang bersangkutan, karena merekalah yang paling mengetahui kepentingan dan kebutuhannya.

1.5.4.2 Dimulainya Reformasi Otonomi Daerah

Reformasi yang ada saat ini di bidang politik dan pemerintahan melahirkan agenda dan kesepakatan naional baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigma baru tatanan pemerintahan daerah. Dari semangat TAP MPR No. XV/1998 tersebut dapat dilihat beberapa aspek penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu :

a) Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional, melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

b) Otonomi daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasioanal yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

c) Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah.

d) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat

(24)

e) Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien, bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi.

f) Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah.

g) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan.

h) Penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka mempertahankan dan

memperkokoh NKRI, dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan dan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan masyarakat. Dimensi otonomi daerah sedemikian ini memberika suatu harapan bagi tercipta dan terlaksananya keadilan, demokratisasi dan transparansi kehidupan sektor publik. Hal ini tentunya suatu lompatan jauh bagi tertatanya masyarakat sipil yang dicita-citakan.

Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas bagi daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan wajib yang merupakan bagian dari tanggung jawab publik pemerintah daerah dalam pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuannya ini dilaksanakan secara demokratis, transparan dan egaliter, yang berarti menempatkan prioritas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang menyangkut program yang bersifat massal,

uniform dan sentralistis harus dieliminasi. Disamping hal tersebut, daerah menjadi titik sentral awal gagasan dan perencanaan berbagai kegiatan pemerintahan.

Penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan manifestasi dari pemerintahaan seluruh wilayah negara. Untuk itu segala aspek menyangkut konfigurasi kegiatan, dan karakter yang berkembang. Hal ini akan mewarnai penyelengaraan pemerintahan secara nasional. Dengan jelas dapat dikatakan bahwa peran dan kedudukan pemerintahan daerah sangat strategis dan sangat

(25)

menyelenggarakan fungsi pengarah dan penanggung jawab segala kegiatan di daerah dengan kepercayaan sepenuhnya, sehingga persepsi lama yang sering di dengar menyangkut egoisme sektoral akan terhapus.

Seiring dengan penyelenggaraan pemerntahan yang semakin demokratis, di pihak lain hal ini memberikan tantangan terhadap berbagai stakeholder di daerah. Karena konteks mengatur rumah tangga daerah, maka daerah harus mampu merespons tugas dan perannya. Peran besar yang diikuti oleh komitmen yang kuat, keberadaan aparatur, kekuatan sosial politik, dan semua komponen daerah akan memberikan sinergi bagi mantapnya keberhasilan pembangunan di daerah.

Peran besar dan perubahan konstelasi yang sangat mendasar ini harus dipahami oleh segenap stakeholder yang meliputi jajaran aparatur, kekuatan sosial dan kemasyarakatan, DPRD dan semua komponen daerah. Semua ini telah menjadi tekad nasional; oleh karena itu, semangat penyelenggara pemerintahan, respons publik, dan faktor psikologis menyangkut sense of crisis dan sense of urgency harus ditumbuhkan dan dipelihara bagi terlaksananya hakikat dari reformasi. Persoalan kelembagaan pemerintah daerah terkait dengan persoalan yang terus berlangsung yang merupakan akumulasi dari gejala sebelumnya.

Tuntutan reformasi adalah dimaksudkan untuk mengoptimalkan kelembagaan yang ada yang pada prinsipnya mengedepankan aspek-aspek :

a) Kerangka pemerintahan negara sebagai satu sistem, bermakna suatu kesadaran akan keterkaitan.

b) Pengembangan visi dan misi daerah, dalam kerangka visi dan misi bangsa, dalam wadah negara kesatuan, sebagai arah yangg jelas.

c) Paradigma tatanan pemerintahan daerah, yang mewujudkan tanggung jawab, hak dan kewajiban, kewenangan dan tugas.

d) Adanya kondisi yang berasal dari periode sebelumnya, bermakna kesadaran akan keterhubungan.

e) Kondisi nyata dan kondisi spesifik daerah.

f) Adanya aspek-aspek yuridis, politis, sosiologis, ekonomis, pragmatis,

(26)

g) Perhatian pada aspek kemanusiaan, berkaitan dengan optimalisasi dan keseimbangan peranan sumber daya.

Berbagai tantangan dan hambatan bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akomodatif terhadap kebutuhan dalam berbagai dimensi apapun, akan melahirkan suatu bentuk organisasi pemerintah daerah yang kenyal dan fleksibel. Oleh karena itu, objek bagi tercapainya pemerintahan daerah yang dapat menjawab berbagai tuntutan zaman adalah kembali kepada semangat penyelenggara pemerintahan di daerah29

Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta

Selain dari pada itu, menurut Brian C. Smith, munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa

adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Pandangan yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas di tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah negara di berbagai belahan dunia, Smith mengemukakan empat alasan untuk memperkuat pandangannya tersebut.

Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Hal ini tidak lepas dari tingkat proximity dari pemerintah daerah dengan masyarakat. Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi itu berlangsung.

Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti demokratis di dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini, khususnya, terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Dalam masa transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat.

29

(27)

bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu diantara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila di bandingkan di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di dalam berdemokrasi.

Keempat, kasus kolumbia menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat.

Munculnya perhatian yang lebih serius terhadap proses demokratisasi di

daerah juga berkaitan dengan semakin menguatnya secara massive kebijakan desentralisasi di negara-negara sedang berkembang sejak 1990-an. laporan untuk Bank Dunia, ‘kecuali 12 negara, dari 75 negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi dengan penduduk lebih dari lima juta, semuanya mengklaim sedang melakukan transfer kekuasaan politik ke unit-unit pemerintahan di daerah’. Berbeda dengan implementasi kebijakan desentralisasi pada 1960-1970-an yang lebih menekankan pada kebijakan desentralisasi administrasi, implementasi kebijakan desentralisasi pada 1990-an didesain untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi yang lebih komprehensif. Kebijakan itu tidak hanya difokuskan pada desentralisasi administrasi, melainkan juga desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal.

Menguatnya perspektif politik mengenai desentralisasi tidak hanya menarik para ilmuan politik untuk menganalisis relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Para ilmuan politik juga mulai tertarik untuk menganalisis relasi kekuasaan yang ada di daerah. Misalnya saja, apakah transfer kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah itu diiringi oleh alokasi dan distribusi sumber-sumber kekuasaan kepada berbagai komunitas atau kelompok yang ada di daerah, khususnya kelompok-kelompok yang sebelumnya termarginalisasi atau dalam posisi oposisi? Atau sebaliknya, apakah kekuasaan itu tetap saja tersentralisasi pada kelompok kecil elite, yang pada akhirnya

(28)

Di Indonesia, salah satu faktor utama pendorong munculnya kebijakan desentralisasi pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru (sebagaimana tertuang di dalam UU No. 22 dan 25 tahun 1999) adalah untuk mempercepat proses demokratisasi dan memperbaiki kualitas demokrasi di daerah. Melalui transfer kekuasaan dan otoritas ke daerah, diharapkan bisa membuat daerah memiliki bargaining position yang lebih besar kepada pemerintah pusat. Dengan demikian daerah tidak hanya berfungsi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat. Lebih dari itu, daerah memiliki kekuasaan dan otoritas untuk merumuskan kebijakan-kebijakan untuk diri mereka sendiri. Pandanagan seperti ini di dasari oleh pemikiran bahwa para pemegang

kekuasaan di daerah lebih tahu selera masyarakat di daerah daripada pemegang kekuasaan di pusat. 30

Uniknya dalam rumusan tentang dekonsentrasi, terdapat pengertian yang sama. Keduanya menyebutkan sebagai pelimpahan "wewenang". Mengapa

1.5.4.3 Asas-asas Pemerintahan Daerah

Asas-asas yang dipakai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tetapmengacu pada tiga asas umum yang sama seperti yang ada pada UU No. 5 tahun 1974, yaitu: asas pembantuan, asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi. Namun karena pengertian dan prinsip otonomi daerah yang dijadikan landasan dalam UU No. 22 tahun 1999 berbeda dengan apa yang dimaksudkan dalam UU No. 5 tahun 1974, asas-asas tersebut mengandung implikasi yang berbeda. Hal ini terlihat misalnya dalam rumusan tentang desentralisasi. Dalam UU No. 5 tahun 1974 yang dimaksudkan dengan desentralisasi adalah penyerahan "urusan" pemerintahan, sedangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 dikatakan sebagai penyerahan "wewenang" pemerintahan. Ini adalah dua hal yang berbeda. Dalam hal yang pertama, tugas daerah adalah melaksanakan "urusan" yang diserahkan, sementara "wewenang"nya tetap ada pada pemerintah pusat. Sebab itu asas desentralisasi disini tidak berbeda dengan asas dekonsentrasi. Sekalipun dalam rumusannya diembel-embeli dengan "menjadi urusan rumah tangganya"

30

(29)

pengertian dekonsentrasi dalam UU No. 5 tahun 1974 mencantumkan istilah wewenang padahal istilah tersebut mengandung muatan yang lebih demokratis dibandingkan dengan istilah urusan? Dalam hal ini maksud dari pelimpahan wewenang tersebut dapat dibaca pada posisi dari organisasi yang dilimpahkan wewenang itu, yakni kepada instansi vertical yang ada di daerah. Berarti bahwa wewenang itu hanyalah untuk melaksanakan tugas, bukan wewenang untuk mengatur. Ini menunjukkan bahwa kedudukan pusat dalam hal dekonsentrasi, secara hirarkis berada diatas daerah. Dengan demikian pelimpahan wewenang itu berbeda halnya dengan wewenang seperti yang ada pada otonomi daerah dalam UU No.22 tahun 1999, dimana otonomi itu bukan karena dilimpahkan tetapi

karena memang milik daerah. Ini berarti bahwa otonomi daerah yang disebutkan dalam UU No.22 tahun 1999 itu tidak dapat dicabut oleh pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1974.

Perbedaan pengertian tentang otonomi daerah dalam kedua UU tersebut terletak pada prinsip otonomi yang dipakai. Dalam UU No. 5 tahun 1974 dipakai prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebab itu dalam Penjelasan Umum UU tersebut secara tegas-tegas dinyatakan bahwa "urusan yang diserahkan kepada daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi tetapi tanggung jawab terakhir terhadap urusan-urusan tersebut tetap berada di tangan pemerintah (Pusat). Oleh karena itu maka urusan-urusan yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah itu apabila diperlukan dapat ditarik kembali menjadi urusan pemerintah (Pusat)". Pada bagian lain dari Penjelasan Umum juga disebutkan, bahwa "Sebagai konsekwensi dari prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, UU ini membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah Otonom".

Adapun dalam UU No. 22 tahun 1999 dikatakan bahwa "pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab." Pengertian "luas" disini diartikan sebagai "…keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan

(30)

pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain."

Selanjutnya dalam penjelasan tentang otonomi yang bertanggung jawab itu dijelaskan sebagai "konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah".

Sedangkan dalam hal tugas pembantuan, kedua UU memberikan tekanan

pada posisi pemerintah pusat yang secara hirarkis berada diatas pemerintah daerah. Sebab itu terdapat istilah "penugasan" dan "pertanggungjawaban". Ini penting dilihat dari konsekwensi yang dapat timbul dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Bagaimanapun, pemerintah pusat tetap mempunyai kedudukan yang secara hirarkis lebih tinggi dari pemerintah daerah. Sedangkan kedudukan daerah provinsi, kabupaten dan daerah kota dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 tahun 1999 disebutkan "masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkis satu sama lain". Ini suatu konsekwensi dari otonomi daerah di tingkat II. Bisa jadi keadaan ini mengandung berbagai akibat dikemudian hari, yang sekarang menjadi pertimbangan untuk melakukan tinjauan terhadap UU tersebut.

Aspek lain yang secara langsung berhubungan dengan ketiga asas tersebut, antara lain adalah tentang pengertian otonomi daerah. Dalam UU No.5 tahun 1974 dikatakan bahwa otonomi daerah adalah "wewenang dan 'kewajiban' daerah untuk 'mengatur' rumah tangga sendiri 'dengan' peraturan perundang-undangan yang berlaku". Sementara dalam UU No.22 tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan sebagai "wewenang untuk mengatur dan mengurus 'kepentingan masyarakat setempat' menurut 'prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat' 'sesuai' dengan perundang-undangan". Ini jelas mencerminkan nuansa yang

berbeda dari aplikasi asas-asas tersebut di atas.

(31)

(delegation). Yakni kewajiban untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh yang mendelegasikan, untuk kemudian harus mempertanggungjawabkan kepadanya. Jadi secara teoritis, otonomi tersebut belum sampai pada taraf devolution.

Sedangkan pada UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, daerah telah memperoleh kewenangan penuh untuk menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pertanggungjawabannya juga dengan demikian kepada masyarakat setempat. Sebab itu dapat dipahami, mengapa UU No.5 tahun 1974 berjudul tentang Pemerintahan di Daerah, sedangkan UU No. 22 tahun 1999 berjudul tentang Pemerintahan Daerah, tanpa ada istilah "di". UU No.

5 tahun 1974 mengatur pemerintahan pusat yang ada di daerah, sedangkan No. 22 tahun 1974 mengatur pemerintahan daerah. Dua sisi yang berbeda.

1.5.5. Koordinasi

Menurut Pearce II dan Robinson yang dimaksud dengan koordinasi adalah integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan unit-unit ke dalam satu usaha bersama yaitu bekerja ke arah tujuan bersama.15 Sedangkan menurut Stoner koordinasi adalah proses penyatu-paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang terpisah (bagian atau bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mncapai tujuan organisasi secara efisien.31

Sedangkan Brech, memberikan pengertian koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.32

Fayol, menjelaskan bahwa coordinate (koordinasi) dalam bahasa Arab “Tanssiq”: yaitu usaha untuk mengharmoniskan dalam rangkaian struktur yang ada. Pada hakekatnya, yang dikoordinir itu adalah manusianya.33

31

Dann Sugandha,1991. Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi, Jakarta: Intermedia, 1991, hal. 12.

32

S. P. Melayu Hasibuan, 2001, Manajemen Pasar, Pengetian dan Masalah, Bandung: Bumi Aksara, hal. 85.

33

Azhar Arsyad, 2002, Pokok-Pokok Manajemen, Pengetahuan Praktis Bagi Pimpinan dan Eksekutif Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 15.

(32)

mengartikan bahwa koordinasi adalah penggabungan usaha dan peraturan semua kegiatan perusahaan agar sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan

Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa koordinasi merupakan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang mempunyai tujuan bersama yang menjadi sasaran dari kegiatan tersebut.

Dalam melakukan koordinasi, diperlukan adanya kerja sama antar anggota yang pada akhirnya menimbulkan keharmonisan kerja sehingga tidak adanya pekerjaan yang tumpang tindih antara yang satu dengan yang lain dan semua usaha dan kegiatan yang dilakukan bgerjalan sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan.

Menurut PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah Pasal 1 ayat (1), koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh Kepala Wilayah guna mencapai keselarasan, keserasian dan keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua Instansi Vertikal, dan antara Instansi Vertikal dengan Dinas Daerah agar tercapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya

1.5.5.1.Ciri-ciri Koordinasi Handayaningrat34

Selanjutnya, adanya pengaturan usaha kelompok secara teratur. Hal ini disebabkan koordinasi adalah konsep yang diterapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu tetapi sejumlah individu yang bekerja sama di dalam kelompok untuk tujuan bersama. Dan didukung oleh adanya konsep kesatuan mengatakan yang menjadi ciri-ciri koordinasi adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah tanggung jawab koordinasi terletak pada pimpinan. Oleh karena itu, koordinasi adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab dari pimpinan. Dikatakan bahwa pimpinan yang berhasil, karena telah melakukan koordinasi dengan baik. Yang kedua adalah koordinasi adalah suatu usaha kerjasama. Hal ini disebabkan karena kerjasama merupakan syarat mutlak terselenggaranya koordinasi dengan sebaik-baiknya. Lalu koordinasi adalah proses kerja yang terus-menerus, artinya suatu proses yang bersifat kesinambungan dalam rangka tercapainya tujuan organisasi.

34

(33)

tindakan. Kesatuan tindakan adalah inti dari koordinasi. Hal ini berarti bahwa pimpinan harus mengatur usaha-usaha/tindakan-tindakan dari setiap kegiatan individu yang bekerjasama sehingga diperoleh adanya keserasian di dalam mencapai hasil bersama. Dan memiliki tujuan organisasi, yaitu tujuan bersama (common purpose). Kesatuan usaha/tindakan manusia/kesadaran/pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan bersama sebagai kelompok dimana mereka bekerja

Dari ciri-ciri di atas, dapat disimpulkan bahwa yang merupakan ciri-ciri koordinasi adalah suatu usaha kerjasama yang dilakukan secara terus-menerus yang didukung adanya kesatuan usaha atau tindakan yang ditanggungjwabi oleh

pimpinan.

1.5.5.2.Ciri-ciri Koordinasi Menurut Sugandha35

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah, terdapat koordinasi fungsional, antara dua atau lebih instansi yang mempunyai program yang bekaitan erat, , beberapa jenis koordinasi sesuai dengan lingkup dan arah jalurnya yaitu menurut lingkupnya, terdapat koordinasi intern, yaitu koordinasi antar pejabat antar unit di dalam suatu organisasi dan koordinasi ekstern, yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Kemudian menurut arahnya, terdapat koordinasi horizontal yaitu koordinasi antar pejabat atau antar yang mempunyai tingkat hierarki yang sama dalam suatu organisasi dan antar pejabat dari organisasi-organisasi yang setingkat, koordinasi vertikal yaitu koordinasi antar pejabat dari unit-unit tingkat bawah oleh pejabat atasannya atau unit tingkat atasannya langsung, juga cabang-cabang suatu organisasi oleh organisasi induknya, koordinasi diagonal koordinasi antar pejabat atau unit yang berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hierarkinya dan koordinasi fungsional yaitu koordinasi antar pejabat, antar unit atau antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.

35

(34)

koordinasi instansional, terhadap beberapa instansi yang menangani satu urusan tertentu yang bersangkutan dan koordinasi territorial, terhadap dua atau lebih wilayah dengan program tertentu.

1.5.5.3.Prinsip-Prinsip Koordinasi Menurut Sugandha,36

1.6.Metode Penelitian

beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam menciptakan koordinasi antara lain adanya kesepakatan dan keastuan pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama, adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, termasuk target dan jadwalnya, setelah itu adanya kataatan atau

loyalitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal yang telah diterapkan. Kemudian adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalah-masalah yang dihadapi masing-masing, didukung dengan adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin pemecahan masalah bersama, dan adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak, serta dilengkapi denagn adanya saling hormati terhadap wewenang fungsional masing-masing pihak sehingga tercipta semangat untk saling bantu.

Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip koordinasi adalah adanya tindakan dalam menyatukan informasi yang disetai dengan ketaatan terhadap pertauran dan kepemimpinan

1.6.1 Jenis dan Sifat Penelitian

Di dalam penelitian ini adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah,

36

(35)

dimana peneliti sebagai instrumen kunci, analisis data bersifat induktif yang lebih menekankan makna daripada generalisasi. Filsafat postpositivisme sering juga disebut paradigma interpretasi dan konstruktif yang memandang realita sosial sebagai sesuatu yang utuh, kompleks, dinamis dan penuh makna. Penelitian dilakukan pada objek yang alamiah.

Objek alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya tidak dimanipulasi dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi objek tersebut. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi tetapi lebih menekankan pada

makna. Sedangkan dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dimana penelitian ini bermaksud menggambarkan bagaimana fenomena-fenomena kekuasaan yang terjadi dalam hubungan pemerintahan kecamatan dan desa pada masa otonomi daerah.

1.6.2 Responden Penelitian

Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah pimpinan/pejabat BP. Batam Dwi Joko Wiwoho direktur PTSP dan Humas BP.Batam dan Pemko Batam Ardy Winata, Ka.Bagian Humas Setdako Batam yang berwenang untuk memberikan informasi dalam penelitian ini. Disamping itu juga digali informasi dari berbagai elemen masyarakat lainnya.

1.6.3 Sumber Data

Salah satu yang diperlukan dalam persiapan penelitian adalah mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.

(36)

Data sekunder dapat diklasifikasikan yaitu data yang diperoleh dari buku, artikel, jurnal dan sebagainya juga data yang dapat diakses melalui internet yang tentu berhubungan dengan penelitian.

1.6.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis dalam hal ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu

a. Penelitian kepustakaan (library research) dengan instrument penelitian dokumentasi kepustakaan, artinya bahwa dalam mengkaji persoalan yang berhubungan dengan permasalahan diatas bersumber pada

literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan tersebut dengan sumber data primer yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Selain sumber data primer tersebut juga akan merujuk pada sumber hukum sekunder berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel yang mengandung komentar maupun analisis tentang hubungan BP. Batam dan Pemerintah Kota Batam dan disamping itu juga menggunakan sumber hukum tertier seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain yang relevan dengan pokok permasalahan sebagai pendukung terhadap 2 (dua) rujukan yang elah disebutkan sebelumnya

b. Penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer tentang esensi hubungan BP. Batam dan Pemko Batam dalam Pengelolaan pemerintahan di Kota Batam. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan informan yang merupakan informan yang terkait dengan penelitian. Dokumen dapat memberi kita banyak hal tentang bagaimana kejadian yang terjadi atau diciptakan pada waktu tertentu, alasan dibalik suatu peristiwa, dan menyediakan materi yang dapat menjadi basis untuk investigasi lebih lanjut37

1.6.5 Analisis Data

37

(37)

Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan tujuan memberi penjelasan mengenai efektifitas penyelenggaraan BP. Batam terhadap Pemko Batam pada masa otonomi daerah dan kewenangan BP. Batam yang sudah didelegasikan kepada Pemerintah Kota Batam. Data-data yang terkumpul melalui

metode library reaseach dan literature kepustakaan akan dieksplor secara mendalam sehingga akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.38

1.7. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui gambaran jelas tentang hal-hal yang diuraikan dalam penulisan ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan kedalam empat bab, masing-masing bab dibagi dalam sub bab dengan rincian sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penulisan, kerangka teori dan sistematika penulisan.

BAB II DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Bab ini akan memberikan gambaran secara umum tentang sejarah singkat lokasi penelitian yang dalam hal ini adalah Kota Batam

BAB III HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

Bab ini akan memuat hasil dan analisis penelitian dari penelitian yang berhubungan dengan efektifitas penyelenggaraan Otorita terhadap Pemko Batam pada masa otonomi daerah dan kewenangan Otorita yang sudah didelegasikan kepada Pemerintah Kota Batam

BAB IV PENUTUP

(38)

Referensi

Dokumen terkait

Entitas - entitas tersebut harus diberi nama dengan suatu kata benda entitas yang sama bisa digunakan lebih dari sekali atas suatu diagram aliran data tertentu untuk

Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan

Hasil dari penelitian dengan putaran engine yang sama, sistem dua tingkat turbocharger terbukti mampu menghasilkan performansi (daya dan torsi) yang lebih besar

Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja Kota Sorong, jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan sampai akhir tahun 2003 tercatat 5.089 orang.. Sementara pencari kerja yang

Pasca dirilisnya hasil keputusan rapat FOMC yang baru akan mempertimbangkan melakukan tappering off pada Januari 2014 dan masih mempertahankan tingkat suku bunga rendahnya membuat

Kurang lebih 10% pasien dengan trauma tulang servikal mengalami fraktur kolumna vertebralis kedua yang tidak berhubungan.. Menyingkirkan adanya trauma spinal pada pasien

TBS yang di pasang di Desa Bener kurang efektif dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya pola tanam yang tidak serempak menjadikan tanaman perangkap yang

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi