BAB II
DESKRIPSI INDONESIA DALAM PENERAPAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY
2.1. Kondisi Keamanan Non Tradisional
Cetak biru APSC mengatur kondisi-kondisi yang termasuk dalam kategori
keamanan non tradisional dan juga langkah-langkah pencegahan dan
penanganannya. Berikut adalah kondisi yang termasuk dalam kategori keamanan
non tradisional menurut poin-poin dalam bagian B.3 cetak biru APSC yang terjadi
di Indonesia :
2.1.1. Terorisme
Sejak serangan terorisme meruntuhkan gedung kembar World Trade
Center (WTC) di New York dan sebagian gedung Pentagon di Washington, DC.
tanggal 11 September 2001 isu terorisme global menjadi perhatian semua aktor
politik dunia baik negara maupun non negara.57 Mulai saat itu, Amerika Serikat
melakukan kampanye besar-besaran dalam melawan terorisme. Pada kampanye
anti teroris, beberapa negara, termasuk negara-negara ASEAN, secara langsung
bertanggung jawab dalam penangkapan teroris dengan menggolongkan dan
menerapkan tindakan keamanan internal pada setiap negara masing-masing.58
Negara-negara di kawasan ASEAN sendiri tidak lepas dari aksi terorisme.
Keberadaan jaringan teroris Al-Qaeda di kawasan Asia Tenggara dituding
57
Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik edisi 2 (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2014) hal.125
58
Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah (Jakarta, 20
September 2003) diunduh dari
menjadi bangkitnya gerakan Islam Radikal di kawasan ini menjadi kelompok
teroris yang melakukan operasi di Filipina, Thailand, Singapura, Malaysia dan
Indonesia. Adapun kelompok-kelompok Islam radikal yang telah berkembang
menjadi kelompok teroris adalah Moro Islamic Liberation Front (MILF), dan Abu
Sayyaf Group (ASG) di Filipina; Laskar Jundullah di Indonesia; Kumpulan
Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia; Jemmah Salafiyah di Thailand; Arakan
Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan Rohingya Solidarity
Organization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh; dan Jemaah Islamiyah (JI),
merupakan salah satu jaringan yang berkembang sampai ke Australia.59
Kemunculan kelompok-kelompok ini sendiri tidak hanya dapat dilihat dari
ajaran Islam radikal yang dibawakan oleh Al-Qaeda. Kelompok-kelompok ini
sendiri memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kelompok teroris di Filipina
dan Thailand misalnya, selain sebagai gerakan yang muncul karena ajaran agama,
kelompok ini hadir sebagai wujud gerakan separatis. Gerakan separatis ini
menuntut wilayah yang didudukinya untuk dilepas dan dijadikan negara sendiri
karena merasa tidak diperdulikan oleh pemerintah nasional yang sedang berkuasa.
Akibat kepentingan yang dimiliki oleh jaringan teroris Al-Qaeda yang melakukan
perang terhadap pasukan Unisovyet maka jaringan teroris Al-Qaeda memberikan
pelatihan dan bantuan dana untuk membantu kelompok-kelompok Islam radikal
yang berada di Asia Tenggara dalam mencapai tujuan dan motivasi
59
Vasperton Sinambela. 2015. Kepentingan Indonesia Dalam Konvensi Asean Tentang Pemberantasan Terorisme (Asean Convention On Counter Terrorism). hal. 55diunduh dari
kelompok radikal tersebut di masing-masing negara. Dibalik pelatihan dan
bantuan yang diberikan oleh jaringan teroris Al-Qaeda ada kepentingan jaringan
Al-Qaeda di dalamnya yaitu mendapatkan bantuan relawan yang akan melakukan
perang terhadap Unisovyet dan memasukkan paham ideologi untuk menegakkan
Khalifah Islam dengan menentang dominasi barat yaitu AS dan sekutunya.60
Terkhusus di Indonesia, terdapat Jama’ah Islamiyah (JI) sebagai kelompok
teroris terbesar dan paling banyak menjadi otak dibalik serangkaian aksi
terorisme. Pada awalnya, kelompok ini tidak begitu dikenal luas dan tidak
diwaspadai oleh masyarakat, hingga Indonesia dituduh tidak serius dalam
menanggapi masalah terorisme. Namun kondisi itu mulai berubah sejak terjadinya
peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dan
melukai 235 orang.61
Kasus terorisme menjadi pembahasan utama dan menarik perhatian secara
luas. Serangkaian aksi terorisme kembali terjadi dan JI masih dianggap sebagai
kelompok paling bertanggung jawab atas serangan tersebut. Selain kelompok JI,
ancaman kasus terorisme saat ini berasal dari Santoso bersama kelompoknya
Mujahidin Indonesia Timur. Kelompok teroris tersebut telah menyatakan berbaiat
atau memberi dukungan kepada ISIS.62
60
Ibid. hal 56.
61
Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah (Jakarta, 20
September 2003) diunduh dari
2016 pukul 10.19 WIB
62
Lihat : Selamat Ginting. Kiblat Radikalisme Mengapa Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menjadi sentral dari gerakan jaringan kelompok terduga teroris di Indonesia? diakses dari http://www.republika.
co.id/berita/koran/teraju/16/01/12/o0tyga1-kiblat-radikalisme-mengapa-mujahidin-indonesia-timur-mit-Menurut data Polri, terdapat seribu orang yang ditangkap sejak tahun 2000
terkait kasus terorisme. Jumlah tersebut sudah termasuk 97 tersangka yang
meninggal di tempat perkara, dua belas pelaku yang mati karena bom bunuh diri,
tiga orang teror yang dihukum mati yaitu, Amrozi, Ali Gufron, dan Imam
Samudera. Kemudian, 27 orang yang masih disidik Densus 88/Antiteror, 296
orang yang telah menjalani hukuman, 28 orang yang masih disidang, 451 orang
yang telah bebas dari penjara, dan 86 orang yang tertangkap lalu dipulangkan
karena tidak terbukti. Selain dari seribu orang tersebut terdapat dua penangkapan
terkait perkembangan ISIS di Indonesia, dan pengungkapan pabrik senjata milik
Jamaah Islamiyah di Solo. Selanjutnya ada pula penangkapan empat orang WNA
yang hendak gabung dengan kelompok Santoso dan pemulangan 12 orang dari
Malaysia terkait ISIS.63
2.1.2. Narkoba
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba menjadi masalah yang
masih banyak terjadi di negara-negara ASEAN yang ditunjukkan BNN dalam
Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba (P4GN) Tahun 2013 Edisi Tahun 2014. Peredaran gelap Narkoba di
wilayah negara ASEAN dan sekitarnya menunjukkan perkembangan yang
signifikan, hal ini ditandai dengan terungkapnya sejumlah kasus Narkoba di
masing-masing negara tersebut :
menjadi-sentral-dari-gerakan-jaringan-kelompok-terduga-teroris-di-indonesia pada 11 Maret 2016 pukul 10.32 WIB
63
Lihat : Farouk Arnaz. 97 Teroris dan 34 Anggota Polri Tewas Sejak Tahun 2000 (4 Januari 2015) diakses
dar
a. Penangkapan WN Iran di Indonesia, Thailand, dan Philipina yang
memasukkan Narkoba jenis Metamphetamine atau dikenal dengan Shabu
dalam jumlah besar.
b. Terungkap perkembangan baru cara melakukan penanaman Ganja di Jepang
dengan system indoor (dalam rumah) dengan menggunakan pot dalam
jumlah besar.
c. Terungkap pula di kelompok kriminal Vietnam yang melakukan metode
cloning untuk menghasilkan tanaman Ganja dengan kualitas yang sama.
d. Masih berkembangnya sindikat Nigeria yang menggunakan kurir
kebanyakan wanita setempat.
e. India sebagai sumber produksi Ketamine banyak mengirim selain ke
negara-negara di daratan Amerika dan Eropa juga ke Asia termasuk
negara-negara di ASEAN.
f. Penyelundupan tablet cold (obat flu dalam bentuk tablet) dalam jumlah
besar ke Thailand dari Korea Selatan, karena 100.000 tablet dapat
diekstrak menjadi 6 (enam) Kg Pseudo-ephedrine berubah fungsinya
sebagai bahan kimia untuk membuat Narkoba jenis Shabu.
g. Pada tahun 2009 di Myanmar telah berhasil disita sebanyak 29,3 tablet
Metamphetamine yang siap diedarkan ke Negara tetangga.
h. Laporan UNODC Asia and the Pacific 2011 Regional Amphetamine Type
Stimulant Report, di tahun 2010 terdapat sekitar 136 juta metamfetamin
i. Laporan UNODC Asia Pasifik, Global SMART Update 2012, sepertiga
dari ATS global dan setengah dari metamfetamin global yang disita pada
tahun 2010 berasal dari Asia Timur dan Asia Tenggara.
j. Dengan nilai jual narkotika yang tinggi dan jumlah permintaan yang terus
tumbuh, menyebabkan kawasan ASEAN menjadi sasaran penyelundupan
narkotika dan bahan-bahan prekursor dari berbagai jenis dan kemasan.64
2.1.3. Perdagangan dan Penyelundupan Manusia
Secara terkhusus di Indonesia sendiri kasus narkoba sangat marak terjadi.
Hal itu dibuktikan dengan 265.766 kasus yang diungkap dan 346.778 orang yang
ditangkap oleh Kepolisian Republik Indonesia karena peredaran gelap dan
penyalahgunaan narkoba. Kemudian, BNN juga merilis secara tersendiri 1.536
kasus dan 2.286 tersangka yang ditangkapnya untuk kasus peredaran gelap,
penyalahgunaan dan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan
narkoba.
Menurut data yang diungkapkan oleh International Organization for
Migration sejak Maret 2005 hingga Desember 2014, jumlah perdagangan orang
atau human trafficking yang terjadi di Indonesia mencapai 6.651 orang. Rincian
korban wanita usia anak 950 orang dan wanita usia dewasa 4.888 orang.
Sedangkan korban pria usia anak 166 orang dan pria dewasa sebanyak 647
64
Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Perdagangan Gelap Narkoba (P4GN)
Tahun 2013 Edisi Tahun 2014 diunduh dar
orang.65 Kemudian, menurut data yang diungkapkan oleh kepolisian Republik
Indonesia sejak tahun 2011 sampai dengan 2013 terjadi 509 kasus TPPO yang
dengan rincian 213 kasus eksploitasi ketenagakerjaan, 205 eksplotasi seksual, 31
kasus bekerja tidak sesuai perjanjian, dan lima kasus bayi diperjualbelikan.
Korban terbanyak adalah perempuan dewasa berjumlah 418 orang, anak
perempuan berjumlah 218 orang, dan laki-laki berjumlah 115 orang dewasa dan
tiga anak laki-laki.66
Menurut data yang diungkap oleh PBB pada Global Report on Trafficking
in Person di kawasan Asia Pasifik tahun 2014, 36 persen perdagangan orang
adalah anak-anak dan 64 persen sisanya adalah orang dewasa. Jika dilihat dari
jenis perdagangannya, 26 persen korbannya dieksploitasi secara seksual, 64
persen dipekerjakan secara paksa, dan 10 persen lagi seperti penyewaan bayi,
anak-anak untuk mengemis dan sebagainya. TPPO sendiri merupakan kejahatan
yang bisa meraub untung besar setelah perdagangan narkoba dan senjata.
67
65
Septian Deny. Catatan IOM: Human Trafficking Paling Banyak terjadi di Indonesia (11 Juni 2015) diakses dar
Praktik perdagangan manusia ini marak terjadi juga karena kondisi geografis
Indonesia yang memiliki garis pantai panjang dan banyak pulau menyebabkan
sulitnya pengawasan.
66
Lihat : Larasari Ariadne Anwar. Perdagangan Orang di Indonesia Masih Tiga Besar Dunia
pada 14 Maret 2016 pukul 10.38 WIB
67
Lihat : Bilal Ramadhan. Ini Modus Baru Perdagangan Manusia di Perusahaan Swasta (22 Januari 2016)
diakses dar
2.1.4. Penyelundupan Senjata Api
Kasus terorisme yang banyak terjadi seperti telah disebutkan sebelumnya
memberikan gambaran bahwa banyak terjadi peredaran senjata di kalangan bukan
aparat. Laporan dari International Crisis Group (ICG), menyebutkan empat
sumber utama senjata-senjata ilegal di Indonesia, yaitu: pencurian atau pembelian
secara ilegal dari oknum TNI (Tentara Nasional Indonesia) atau polisi, sisa
senjata di wilayah-wilayah konflik, hasil rakitan pembuat senjata lokal, dan
penyelundupan. Persoalan ini telah menarik perhatian masyarakat setelah
sejumlah perampokan kelas kakap dan penemuan bahwa senjata-senjata yang
digunakan di sebuah kamp latihan tempur teroris berasal dari persediaan lama
milik polisi.68
Rute penyelundupan dari Thailand yang di masa lalu digunakan oleh
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan dari Mindanao yang digunakan oleh Jemaah
Islamiyah, KOMPAK dan kelompok-kelompok ekstrimis lain. Selain itu, rute
tersebut digunakan juga oleh pihak lain, termasuk para dealer narkotik dan
kelompok-kelompok jihadi.69
68
Senjata Gelap di Indonesia (7 September 2010) diakses dari
Keberadaan terorisme, dan juga pasar narkoba yang
cukup besar menyebabkan terjadinya penyelundupan senjata api ini melalui
jalur-jalur di perbatasan yang pengawasannya tidak begitu ketat.
WIB
69
2.1.5. Cybercrimes
Kejahatan menggunakan jaringan atau sering dikenal dengan cybercrimes
merupakan fenomena yang marak terjadi seiring perkembangan teknologi. Selama
tiga tahun terakhir, tercatat 36,6 juta serangan cyber crime terjadi di Indonesia.
Sejak 2012 sampai dengan April 2015, Subdit IT/ Cyber Crime telah menangkap
497 orang tersangka kasus kejahatan di dunia maya. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 389 orang di antaranya merupakan warga negara asing, dan 108 orang
merupakan warga negara Indonesia.70
Serangan kejahatan dalam jaringan di Indonesia oleh para peretas
atau hacker terhitung hingga Agustus 2015, telah merugikan negara mencapai Rp
33,29 miliar.
71
2.1.6. Bencana
Kejahatan melalui dunia maya dalam bentuk penipuan dengan
berbagai modus dilakukan dari Indonesia oleh para tersangka untuk mendapat
keuntungan dari korbannya yang berasal bukan hanya dari Indonesia. Belum
adanya regulasi tentang kejahatan siber atau cybercrimes secara khusus di
Indonesia menjadi salah satu sebab banyaknya kasus kejahatan melalui jaringan di
Indonesia.
Cetak biru APSC memasukkan kerjasama dalam penanggulangan bencana
sebagai salah satu poin dalam hal keamanan non tradisional. Bencana merupakan
70
Lihat : Indonesia Urutan Kedua Terbesar Negara Asal "Cyber Crime" di Dunia (12 Mei 2015)diakses dari
71
CyberCrime, Lebih dari Rp 33 M Melayang Gara-gara Hacker (26 Agustus 2015) diakses dari
hal yang cukup sering terjadi di Indonesia baik karena kondisi alami alam
Indonesia maupun yang bencana yang disebabkan ulah manusia.
Tabel 2.1. Jumlah kejadian dan korban bencana tahun 2000-2016
No. Provinsi Jumlah
kejadian Meninggal Mengungsi
33. Papua Barat 23 186 37.533
34. Papua 113 612 62.676
Total 19.674 189.881 9.419.944
Sumber : Data dan Informasi Bencana Indonesia BNPB
Kejadian bencana tersebut merupakan rekapitulasi dari seluruh jenis
bencana seperti, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, kebakaran,
kekeringan, angin puting beliung, kerusuhan sosial dan lainnya. Masalah bencana
termasuk kepada salah satu kategori keamanan non tradisional karena kejadian
bencana dapat merenggut korban jiwa, dan mengganggu keamanan hidup dari
manusia di dalam sebuah negara.
2.2. Kapabilitas Indonesia dalam Keamanan Non Tradisional
Kondisi keamanan suatu negara berkaitan erat dengan kemampuan atau
kapabilitas negara tersebut dalam mencegah, maupun menangani kasus-kasus
ancaman keamanan yang terjadi. Indonesia sendiri memiliki berbagai kasus yang
termasuk dalam kategori keamanan non tradisional yaitu ancaman keamanan yang
membahayakan keselamatan manusia sebagai warga negara. Ancaman itu dapat
diminimalisir atau dicegah dengan keberadaan peraturan dan pelaksanaan aturan
yang baik. Berikut adalah data yang menggambarkan bagaimana keberadaan
peraturan dan badan-badan yang terkait keamanan non tradisional di Indonesia :
2.2.1. Terorisme
Terdapat beberapa undang-undang yang mengatur tentang tindakan
terorisme, antara lain Undang-undang nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
lahir sebagai reaksi terhadap serangkaian kasus peledakan bom yang terjadi di
Indonesia. Kemudian, pada tahun 2003 Perpu tersebut disahkan menjadi
undang-undang agar memiliki kekuatan hukum yang berlaku permanen.
Pada tahun 2013 muncul undang-undang nomor nomor 9 tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Undang-undang tersebut lahir sebagai konsekuensi terhadap ratifikasi
International Convention For The Suppressionof The Financing Of Terrorism
1999 yang disahkan undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2006
Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The
Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan
Terorisme, 1999).
Undang-undang lain adalah Undang-undang Republik Indonesia nomor 5
tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of
Terrorist Bombings, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman
Oleh Teroris, 1997). Kemudian, Undang-undang Republik Indonesia nomor 5
tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention On Counter Terrorism
(Konvensi ASEAN Mengenai Pemberantasan Terorisme). Selanjutnya,
Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2014 tentang Pengesahan
International Convention For The Suppression Of Acts Of Nuclear Terrorism
(Konvensi Internasional Penanggulangan Tindakan Terorisme Nuklir).
Terdapat pula badan yang dibentuk untuk melaksanakan penanggulangan
terhadap dinamika terorisme, maka pada tanggal 16 Juli 2010 Presiden Republik
Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme.72
2.2.2. Narkoba.
Acuan dalam kasus narkoba berada pada Undang-undang Republik
Indonesia nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan juga undang-undang
Republik Indonesia nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Ada pula
undang-undang yang merupakan ratifikasi perjanjian internasional, yaitu Undang-Undang
nomor 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961
beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya, Undang-undang nomor 7 tahun
1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika, 1988) dan juga Undang-undang nomor 8 tahun 1996 tentang
Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika
1971).
Selain undang-undang, terdapat peraturan pemerintah Republik Indonesia
nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor, peraturan pemerintah Republik
Indonesia nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung
Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dan peraturan pemerintah
Republik Indonesia nomor 40 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.
Selain undang-undang ada juga Badan Narkotika Nasional atau BNN
sendiri dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang
Badan Narkotika Nasional.73 Terbitnya Undang-Undang nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika menjadikan BNN sebagai lembaga pemerintah nonkementerian
yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.74
BNN sendiri secara kelembagaan memiliki perwakilan di tingkat provinsi dan
kabupaten.75
2.2.3. Perdagangan dan Penyelundupan Manusia
Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang menjadi dasar hukum tentang tindak pidana
perdagangan orang di Indonesia. Terdapat undang-undang Republik Indonesia
nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang nomor 7 tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of
Discrimination Against Women), Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35
tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak yang turut menjadi dasar hukum pencegahan dan
penanggulangan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.
73
Lihat:
74
Lihat : Pasal 64 Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
75
Terdapat juga Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2009
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi), undang-undang Republik Indonesia nomor 14
tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol To Prevent, Suppress And Punish
Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol
Untuk Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama
Perempuan Dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
Kemudian ada juga undang-undang Republik Indonesia nomor 15 tahun
2009 tentang Pengesahan Protocol Against The Smuggling Of Migrants By Land,
Sea And Air, Supplementing The United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Protokol Menentang Penyelundupan Migran
Melalui Darat, Laut, Dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). Hingga
undang-undang Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan
Optional Protocol To The Convention On The Rights Of The Child On The Sale
Of Children, Child Prostitution And Child Pornography (Protokol Opsional
Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan
2.2.4. Penyelundupan Senjata Api
Terdapat undang-undang yang sudah berlaku lama di Indonesia, yaitu
Undang-undang 1948 No. 8 (8/1948) tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin
Pemakaian Senjata Api. Kemudian diubah undang-undang darurat Republik
Indonesia nomor 12 tahun 1951 tentang Mengubah "Ordonnantietijdelijke
Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948 nomor 17) dan undang-undang Republik
Indonesia Dahulu nomor 8 tahun 1948. Undang-undang tersebut menjadi landasan
bagi peredaran senjata api di Indonesia dan mengatur tentang perizinan
kepemilikan, pengawasan kepemilikan serta penggunaan senjata api.
Pelaksanaan pemberian izin, kepemilikan dan penggunaan senjata api
dilakukan oleh kepolisian Republik Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan pasal
15 ayat 2 undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang salah satu poinnya berbunyi “memberikan izin dan
melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam.”76
2.2.5. Cybercrimes
Kejahatan dengan menggunakan jaringan berdasarkan data yang telah
dipaparkan sebelumnya sangat banyak terjadi di Indonesia. Kapabilitas Indonesia
dalam mengatur tindakan yang menggunakan jaringan ini terdapat pada
undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Undang-undang tersebut menempatkan Bab VII dengan 11 pasal yaitu
pasal 27 sampai dengan 37 yang khusus membahas tentang perbuatan yang
76
dilarang dalam penggunaan jaringan di Indonesia. Akan tetapi, dalam bab
perbuatan yang dilarang ini tidak secara jelas menyebutkan istilah cybercrime atau
kejahatan siber.
Selain undang-undang no 11 tahun 2008, penanganan cybercrimes di
Indonesia juga dilakukan oleh lembaga negara. Lembaga yang bertanggung jawab
dalam proses pencegahan dan penanggulangan kejahatan siber ini adalah
kepolisian negara Republik Indonesia dan juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal tersebut disebutkan
dalam pasal 43 dalam bagian tentang penyidikan.
2.2.6. Bencana
Pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut mengatur tentang bencana
dalam kategori bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.77
77
Lihat: Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Selain
dengan undang-undang, penanggulangan bencana juga diatur dalam peraturan
pemerintah nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan Dan
Pengelolaan Bantuan Bencana, dan peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2008
tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah
Pelaksanaan penanggulangan bencana sendiri di Indonesia dilakukan oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana di tingkat nasional dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah di tingkat daerah. Keberadaan badan tersebut
diatur dalam undang-undang nomor 24 tahun 2007 dan juga peraturan pemerintah
nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
2.3. Pelaksanaan ASEAN Political-Security Community
Penanganan masalah keamanan non tradisional juga dilakukan melalui
berbagai tindakan yang ada di dalam cetak biru APSC. Tindakan tersebut berupa
mekanisme dalam bentuk pertemuan sebagai berikut :
2.3.1. APSC Council
Dewan komunitas politik keamanan ASEAN merupakan dewan yang
berisi menteri-menteri dari negara-negara anggota ASEAN. Dewan ini bertugas
untuk a) menjamin pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Tingkat Tinggi
ASEAN di bidang politik-keamanan; b) mengoordinasikan kerja dari berbagai
sektor yang berada di lingkup kerja sama politik-keamanan, dan isu-isu lintas
Dewan Komunitas lainnya; dan c) menyerahkan laporan-laporan dan
rekomendasi-rekomendasi kepada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN mengenai
hal-hal terkait dengan perkembangan politik-keamanan. Dewan ini bertemu
sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. Pertemuan pertamanya dilakukan
pada 10 April 2009 di Pattaya, Thailand. 78
78
Lihat : Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi 19 Tahun 2010. (Jakarta : Sekretariat ASEAN) hal. 53
Pada cetak biru APSC yang baru
besar kepada isu-isu besar dan mendasar dan membuat keputusan lebih efektif
antar sektor dan antar pilar di bawah pengawasannya.79
2.3.2. ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM)
Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN diadakan setiap satu tahun sekali
sejak tahun 1967. AMM ini dimasukkan ke dalam cetak biru APSC pada salah
satu poin dalam bagian B.1.1 yang diartikan sebagai berikut, “Meningkatkan
peran ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) dan ketuanya dalam
menanggapi tantangan yang ada dan tampak, khususnya yang muncul dari
pesatnya perkembangan bidang geopolitik, dan penguatan sentralitas ASEAN.”80
Selain AMM yang diselenggarakan satu tahun sekali, dilaksanakan juga
AMM Retreat yang umumnya dilaksanakan pada awal tahun dan dipimpin oleh
menteri luar negeri yang negaranya menjadi ketua ASEAN. Pertemuan ini
dilaksanakan sebagai awal keketuaan di ASEAN dan untuk membahas tindak
lanjut hasil Konfrensi Tingkat Tinggi ASEAN sebelumnya. Kemudian ada pula
Informal ASEAN Foreign Ministers Meeting (IAMM) dan Special ASEAN
Foreign Ministers Meeting ( Special AMM) yang digunakan untuk membahas
isu-isu khusus yang mendapat perhatian bersama oleh negara-negara ASEAN.
81
Hingga tahun 2015 telah terlaksana 48 kali ASEAN Foreign Ministers
Meeting (AMM). Pada tahun 2015, AMM diselenggarakan di Kuala Lumpur,
Malaysia pada tanggal 4 Agustus 2015.82
2.3.3. ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM)
AMM tersebut menghasilkan sebuah
Joint Communique (Pernyataan Bersama) yang di dalamnya berisi hasil-hasil dari
pertemuan menteri-menteri luar negeri ASEAN dalam menanggapi berbagai
permasalahan yang ada.
Pada cetak biru APSC yang telah diperbaharui, terdapat satu poin pada
bagian B.1.1 yang menyebutkan peningkatan peran the ASEAN Defence Ministers
Meeting (ADMM) dan ketuanya, dalam mempromosikan dialog pertahanan dan
keamanan sebagai praktek kerjasama untuk meningkatkan perdamaian, keamanan,
dan stabilitas kawasan.83 Pertemuan ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali dan
disertai dengan ADMM retreat pada tahun yang sama. Pertemuan ini dilakukan
untuk memberikan dorongan terhadap perdamaian dan stabilitas keamanan di
kawasan, mempromosikan kerjasama pertahanan dan keamanan, memberikan
arahan pada pertemuan pejabat senior pertahanan, meningkatkan saling percaya
dan transparansi dalam kaitan isu pertahanan dan keamanan, serta memberikan
sumbangan terhadap perwujudan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN.84
ADMM ini diadakan pertama kali pada tahun 2006. Rencana aksi ASEAN
Security Community (ASC), disahkan pada KTT ASEAN ke-10 bahwa ASEAN
harus bekerja menuju pengadaan pertemuan tahunan ADMM. Hingga saat ini
telah terlaksana sembilan kali ADMM. The 9th ADMM dilaksanakan di
82
Liha
83
Lihat: ASEAN 2025: Forging Ahead Together. hal. 30.
84
Langkawi, Malaysia pada 15-17 Maret 2015. Pertemuan ini menghasilkan suatu
deklarasi bersama yang bertajuk Maintaining Regional Security and Stability For
and By the People. Terdapat enam belas poin dalam deklarasi ini termasuk
kesepakatan tentang tindak lanjut peningkatan praktek kerjasama menjawab
kepentingan keamanan non tradisional dan transnasional dan pembangunan
mekanisme koordinasi untuk partisipasi militer seperti yang digariskan oleh the
ADMM Three Year Work Programme 2014 to 2016.85
Selain ADMM yang diikuti oleh negara-negara internal ASEAN, terdapat
juga ADMM yang diikuti oleh mitra ASEAN dengan sebutan ADMM Plus.
ADMM Plus ini adalah wadah bagi negara-negara ASEAN dan delapan negara
sahabat yaitu Australia, Cina, India, Jepang, Selandia Baru, Republik Korea
Selatan, Federasi Russia, dan Amerika Serikat untuk memperkuat kerjasama
keamanan dan pertahanan demi perdamaian, stabilitas dan pembangunan di
kawasan.86
Pertemuan ADMM Plus ini diadakan setiap tiga tahun sekali. Pertemuan
pertama diadakan pada di Ha Noi, Vietnam, pada 12 Oktober 2010, yang kedua
pada 2013 di Brunei Darussalam dan ketiga di Malaysia pada November 2015.
Para Menteri Pertahanan sepakat pada lima bidang kerjasama untuk dilaksanakan
di bawah mekanisme yang baru, dinamakan keamanan maritim, melawan
85
Joint Declaration of the ASEAN Defence Ministers on Maintaining Regional Security and Stability for and by the People, Langkawi, 16 March 2015 hal. 6 diunduh dari https://admm.asean.org/dmdocuments/ Joint%20Declaration%20of%20the%209th%20ADMM.pdf pada 20 Maret 2016 pukul 20.00 WIB
86
Liha
terorisme, humanitarian assistance and disaster management, operasi penjaga
perdamaian, dan pengobatan militer.87
2.3.4. ASEAN Law Ministers Meeting (ALAWMM)
Salah satu poin dalam bagian B 1.1 cetak biru ASEAN menyebutkan,
meningkatkan peran ALAWMM dan ketuanya dalam penguatan hukum, dan
kerjasama hukum di dalam ASEAN dan ketentuan hukum timbal balik dan
bantuan peradilan antara negara anggota ASEAN untuk mendukung ASEAN
Community.88
ALAWMM pertama kali dilaksanakan pada 1986 di Bali, Indonesia dan
dilakukan pertemuan setiap tiga tahun sekali.
Maksudnya, keberadaan ALAWMM harus diperkuat untuk
mendukung berbagai kebutuhan akan hukum dan peradilan dalam pelaksanaan
Masyarakat ASEAN yang satu visi, dan satu identitas.
89
ASEAN Law Ministers Meeting
(ALAWMM) di Bali tanggal 18-22 Oktober 2015 sepakat untuk meningkatkan
the Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLAT) menjadi
sebuah instrumen ASEAN dan mempercepat finalisasi teks the Model ASEAN
Extradition Treaty.90
87
Liha
Terdapat pula sebuah pernyataan bersama yang dihasilkan
dalam ALAWMM ini. Pernyataan tersebut juga menyinggung masalah
diakses pada 20 Maret 2016 pukul 20.45 WIB
88
Lihat: ASEAN 2025: Forging Ahead Together. hal. 30
89
Liha
90
pemberantasan kejahatan transnasional yang termasuk ancaman keamanan non
tradisional di kawasan.
2.3.5. ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes
Pertemuan Para Menteri Bidang Kejahatan Transnasional merupakan
pertemuan yang dilakukan sejak tahun 1997 dan yang paling baru dilaksanakan
adalah AMMTC kesepuluh di Kuala Lumpur, Malaysia pada 29 September-1
Oktober 2015.91 AMMTC ini dimasukkan ke dalam cetak biru APSC sebagai
salah satu poin dalam bagian B.1.1 yang bunyinya ialah, “meningkatkan peranan
the ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes (AMMTC) dan
ketuanya untuk membahas kejahatan transnasional yang ada dan tampak, dalam
kerjasama dan koordinasi dengan badan-badan ASEAN lain yang relevan.92
AMMTC dipercayai untuk menangani delapan bidang kejahatan
transnasional berupa terorisme, perdagangan manusia, kejahatan siber, bajak laut,
kejahatan ekonomi, pencucian uang, penyelundupan senjata, dan penyelundupan
narkoba. AMMTC berwenang untuk berkoordinasi pada badan-badan sektoral
ASEAN yaitu, Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC),
ASEAN Senior Official on Drug Matters (ASOD), ASEAN Chiefs of National Pertemuan ini dilakukan secara berkala setiap dua tahun sekali.
91
Liha
Press Statement for
the 10th ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime. hal. 1 diunduh dar
92
Police (ASEANPOL), dan Directors-General of Immigration and Heads of
Consular Affais Divisions of the Ministries of Foreign Affairs (DGICM).93
Pada AMMTC yang ke sepuluh di Kuala Lumpur, 30 September 2015,
menghasilkan sebuah Joint Statement yang berisi tentang pernyataan bersama dari
para menteri ataupun pejabat yang menjadi wakil dari negara-negara anggota
ASEAN dalam AMMTC. Pernyataan bersama itu berisi beberapa hal baru salah
satunya adalah diadakannya AMMTC setahun sekali mulai tahun 2017.
Kemudian, dalam ranah keamanan non tradisional kesepakatan bersama ini
menghasilkan dua deklarasi, yaitu the Kuala Lumpur Declaration in Combating
Transnational Crime dan the Kuala Lumpur Declaration on Irregular Movement
of Persons in Southeast Asia yang masuk ke dalam poin ketujuh dan delapan.94
AMMTC kesepuluh ini memperkenalkan the ASEAN Convention Against
Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP) dan mendorong
percepatan ratifikasi serta implementasi dari the ASEAN Plan of Action Against
Trafficking in Persons, Especially Women and Children (APA) yang masuk ke
dalam poin ke tiga belas the Kuala Lumpur Declaration in Combating
Transnational Crime.95
93
Lihat : Press Statement for the 10th ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime. hal. 1 diunduh dar
pada 21
Maret 2016 pukul 16.30 WIB
94
Joint Statement Of The Tenth Asean Ministerial Meeting On Transnational Crime (10th AMMTC) hal. 2
diunduh dari
20Statement%20of%20the%2010th%20AMMTC.PDF pada 21 Maret 2016 pukul 18.00 WIB
95
The Kuala Lumpur Declaration in Combating Transnational Crime. hal. 4 diunduh dari
AMMTC kesepuluh ini juga memperkenalkan perdagangan ilegal satwa
liar, kayu dan penyelundupan manusia sebagai area baru kejahatan lintas nasional
yang berada di bawah pengawasan AMMTC.96 Perluasan cakupan dalam masalah
kejahatan lintas negara merupakan amanah dari cetak biru APSC yaitu pada poin
yang berbunyi, “Meningkatkan kerjasama dalam menangani ancaman kejahatan
lintas negara lainnya, termasuk perdagangan ilegal satwa liar dan kayu
sebagaimana penyelundupan manusia, sejalan dengan konvensi internasional yang
relevan.97
Pertemuan untuk membahas kejahatan lintas negara ini selain melibatkan
negara-negara di kawasan ASEAN juga melibatkan negara-negara mitra ASEAN
dalam mekanisme AMMTC+3 yang melibatkan tiga negara mitra ASEAN yaitu
China, Jepang, dan Korea Selatan. Kemudian terdapat kerjasama tersendiri antara
ASEAN dan China dalam mekanisme AMMTC+China serta ASEAN dengan
Jepang dalam mekanisme AMMTC+Japan.98 Penguatan kerjasama dengan negara
mitra ASEAN ini sejalan juga dengan cetak biru APSC bagian B.1.5. yaitu
penguatan kerangka kerjasama ASEAN Plus Three untuk mendukung komunitas
ASEAN.99
2.3.6. ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters (AMMD)
Pertemuan para menteri dalam permasalah narkoba merupakan salah satu
mekanisme kerjasama yang masuk dalam salah satu poin cetak biru APSC. Poin
96
Ibid, hal. 3
97
Lihat: ASEAN 2025: Forging Ahead Together. hal. 34
98
Liha
99
tersebut berbunyi, “meningkatkan peranan the ASEAN Ministerial Meeting on
Drug Matters (AMMD) dan ketuanya dalam menyiapkan panduan strategi
mewujudkan Drug-Free ASEAN dan penguatan kerjasama pemberantasan
permasalahan narkoba.”100
AMMD sendiri telah terlaksana empat kali, dan petemuan keempatnya
dilaksanakan pada 29 Oktober 2015 di Malaysia.
AMMD tersebut masuk ke dalam cetak biru APSC
menunjukkan keseriusan dari negara-negara di kawasan ASEAN dalam
merumuskan strategi penanganan penyalahgunaan narkoba di negara-negara
ASEAN.
101
a. Peningkatan produksi narkoba jenis opium di Golden Crescent;
Pertemuan keempat tersebut
menghasilkan sebuah Chairman’s Statement sebagai bentuk pernyataan tentang
keseriusan negara-negara di kawasan ASEAN untuk mencegah dan menangani
permasalah narkoba. Pernyataan tersebut juga menyatakan bahwa, meskipun
terdapat peningkatan perkembangan yang dicapai di tingkat nasional dan regional,
para menteri berbagi perhatian mereka tentang :
b. Ancaman Amphetamine-Type Stimulants dan pengalihan dari prekusror
yang terus mengalir ke kawasan;
c. Peningkatan ancaman dari narkoba sintetis, seperti New Psychoactive
Substances, dan tantangan untuk menguatkan hukum.102
2.3.7. ASEAN Regional Forum (ARF)
ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan hasil dari kesepakatan pada
pertemuan para menteri ASEAN yang ke-26 di Singapura, tepatnya 23-25 Juli
1993. Pertemuan perdana ARF dilaksanakan di Bangkok, 25 Juli 1994.103 ARF
sendiri masuk ke dalam cetak biru APSC sebagai salah satu bentuk mekanisme
kerja sama dalam menangani masalah keamanan. Poin yang menyebutkan ARF di
dalam cetak biru APSC berbunyi, meningkatkan peranan ketua dari ASEAN
Regional Forum (ARF) dalam meningkatkan dialog dan kerjasama pada isu-isu
politik-keamanan melalui promosi dari langkah-langkah pembangunan
kepercayaan diri, aktifitas diplomasi preventif sebagai langkah awal resolusi
konfik.104
ARF diikuti oleh beberapa negara selain negara-negara anggota ASEAN.
Negara-negara di luar anggota ASEAN tersebut ialah Australia, Bangladesh,
Kanada, Tiongkok, Korea Utara, Uni Eropa, India, Jepang, Mongolia, Selandia
Baru, Pakistan, Papua Nugini, Korea Selatan, Russia, Sri Lanka, Timor-Leste, dan
Amerika Serikat.105 ARF sudah melakukan pertemuan sebanyak 22 kali hingga
tahun 2015. Pertemuan ke-22 ARF dilaksanakan pada 6 Agustus 2015 di Kuala
Lumpur, Malaysia.106
103
Liha
Pertemuan ARF ini dilakukan sebanyak satu kali dalam satu
tahun.
104
Lihat: ASEAN 2025: Forging Ahead Together. hal. 30.
105
Liha
106
Chairman’s Statement Of The 22nd Asean Regional Forum Kuala Lumpur, 6 August 2015. hal. 1 diunduh
Isu-isu terkait keamanan non tradisional juga masuk ke dalam dari
Chairman’s Statement pada ARF ke-22. Disebutkan bahwa para menteri
menggaris bawahi kebutuhan untuk menjadikan ARF lebih efektif dan efisien
dalam menyediakan kontribusi berarti untuk mencegah peningkatan tantangan
keamanan tradisional dan non tradisional yang kompleks. Menuju hal tersebut,
para menteri menekankan kebutuhan untuk memastikan implementasi
komprehensif dari the Hanoi Plan of Action to Implement the ARF Vision
Statement, sebagaimana rencana-rencana kerja yang lain di bawah area prioritas
masing-masing untuk mendukung langkah-langkah ARF dalam pembangunan
kepercayaan diri.107 Isu-isu keamanan non tradisional yang masuk ke dalamnya
adalah penanganan bencana, pemberantasan terorisme dan kejahatan lintas negara,
serta tidak ada proliferasi dan pelucutan senjata.108
2.3.8. Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
Kerjasama dalam ruang lingkup APSC untuk menangani permasalahan
keamanan non tradisional tidak hanya dalam mekanisme berbentuk institusi.
Bentuk kerjasama itu juga diatur oleh cetak biru APSC berupa perintah untuk
melakukan penguatan hukum melalui perjanjian-perjanjian antar negara ASEAN.
Perjanjian-perjanjian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Salah satu cara dalam penanganan kejahatan lintas negara yang disebutkan
dalam cetak biru APSC ialah meningkatkan MLAT 2004 menjadi ASEAN
107
Ibid.
108
Lihat : The Hanoi Plan of Action to Implement the ARF Vision Statement. hal. 1-4 diunduh dari
Treaty.109 MLAT 2004 atau Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal
Matters ditandatangani oleh para perwakilan dari Indonesia, Brunei Darussalam,
Malaysia, Kamboja, Filiphina, Viet Nam, Laos dan Singapura pada 29 November
2004 di Kuala Lumpur, Malaysia. MLAT ini sendiri ditujukan untuk
meningkatkan efektivitas dari pihak penegak hukum dari tiap negara dalam hal
pencegahan, investigasi, dan penuntutan kejahatan melalui kerjasama dan bantuan
hukum timbal balik dalam masalah pidana.110
Hingga saat ini, perjanjian ini masih belum menjadi perjanjian di bawah
naungan ASEAN. Hal tersebut merupakan dampak dari belum masuknya
keseluruhan negara anggota ASEAN ke dalam perjanjian ini. Berdasarkan hal
tersebut, dalam cetak biru APSC terdapat salah satu poin yang berbunyi,
“Consider accession of third countries to the MLAT 2004.”111
109
Lihat : ASEAN 2025: Forging Ahead Together. hal. 33.
Hal tersebut
merupakan upaya dari negara-negara anggota ASEAN untuk mempermudah
upaya pencegahan, penyelidikan, dan penuntutan dalam kasus-kasus kejahatan di
kawasan. Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian ini dengan
undang-undang nomor 15 tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal
Assistance in Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik dalam
Masalah Pidana). Berdasarkan undang-undang tersebut maka Indonesia memiliki
kewajiban dan hak dalam membantu penangangan kasus kejahatan lintas negara.
110
Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters hal. 4 diunduh dari
111
2.3.9. ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes
Pada cetak biru APSC dalam bagian pemberantasan masalah keamanan
non tradisional disebutkan salah satu usahanya ialah, mengimplementasikan
secara efektif program kerja dari The ASEAN Plan of Action to Combat
Transnational Crimes melingkupi terorisme, perdagangan narkoba ilegal,
perdagangan manusia, penyelundupan senjata, bajak laut, pencucian uang,
kejahatan ekonomi internasional dan cybercrimes.112 Rencana kerja ini adalah
panduan bagi negara-negara di kawasan ASEAN dalam melakukan berbagai
tindakan pencegahan dan penanganan masalah kejahatan lintas negara yang
merupakan ancaman keamanan non tradisional. Program kerja tersebut
melingkupi pertukaran informasi, persoalan hukum, persoalan penegak hukum,
pelatihan, pembangunan kapasitas institusional, dan kerjasama luar kawasan.113
2.3.10. ASEAN Convention on Counter-Terrorism dan ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter-Terrorism
Permasalahan terorisme merupakan masalah keamanan non tradisional
yang masuk ke dalam cetak biru APSC sebagai satu kategori tersendiri.
Permasalahan terorisme selain masuk ke dalam jenis kejahatan lintas negara yang
berada di bawah pengawasan AMMTC seperti yang disebutkan dalam Press
Statement for the 10th ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime
halaman pertama. Terorisme diatur secara tersendiri melalui sebuah konvensi
yang disahkan pada KTT ASEAN di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007.
112
Lihat : Ibid. hal. 34.
113
Liha
Ratifikasi dari konvensi ini dilakukan Indonesia dengan menerbitkan
Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2012 tentang Pengesahan
ASEAN Convention On Counter Terrorism (Konvensi ASEAN Mengenai
Pemberantasan Terorisme). Konvensi ini ditujukan untuk memberikan kerangka
kerjasama kawasan untuk memberantas, mencegah, dan menghentikan terorisme
dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan untuk mempererat kerja sama antar
lembaga penegak hukum dan otoritas yang relevan dari para Pihak dalam
memberantas terorisme.114 Terdapat pula ASEAN Comprehensive Plan of Action
on Counter-Terrorism yang disahkan pada 9 Juni 2009 di Nay Pyi Taw,
Myanmar.115
2.3.11.The ASEAN Convention Against Trafficking in Persons,
Rencana aksi tersebut menjadi panduan bagi negara-negara ASEAN
dalam mengambil langkah-langkah taktis penanganan terorisme.
Especially Women and Children dan the ASEAN Work Plan of Action Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children
Cetak biru APSC pada poin pertama dalam sub bagian 3.4.
mengamanahkan, memastikan ratifikasi secepatnya dari the ASEAN Convention
Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children dan implementasi
efektifnya, sebagaimana diterbitkannya the ASEAN Work Plan of Action Against
Trafficking in Persons, Especially Women and Children.116
114
Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme. hal. 2 diunduh dari
Konvensi ini sendiri
115
ASEAN. 2009. ASEAN Documents on Combating Transnational Crime and Terrorism : A Compilation of ASEAN Declarations, and Statements on Combating Transnational Crime and Terrorism. (Jakarta :
Sekretariat ASEAN) hal. 69.
116
disahkan saat KTT ASEAN ke-27 pada 21 November 2015, di Kuala Lumpur,
Malaysia.117
Kovensi ini ditujukan untuk secara efektif mencegah dan memberantas
perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak, dan untuk memastikan
peradilan dan hukuman efektif para pelaku; melindungi dan membantu korban
perdagangan manusia dengan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia
mereka; dan mempromosikan kerjasama antar para pihak dalam rangka mencapai
tujuan ini. Para pihak setuju untuk menetapkan langkah-langkah dalam konvensi
ini harus dibuat dan diterapkan dengan cara yang sejalan dengan prinsip tanpa
diskriminasi yang sesuai secara internasional dan regional, khususnya untuk para
korban perdagangan orang.
118
Selain keberadaan konvensi ini, masalah perdagangan manusia juga diatur
dengan ASEAN Plan of Action Against Trafficking in Persons, Especially Women
and Children yang diperkenalkan melalui Kuala Lumpur Declartion in
Combating Transnational Crime.119
117
Lihat : The ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children hal. 33 diunduh dari
Tujuan dari rencana kerja ini adalah untuk
secara efektif menangani tantangan-tantangan untuk peningkatan pencegahan,
menekan dan menghukum segala bentuk dari perdagangan manusia termasuk
perlindungan dan bantuan kepada para korban perdagangan di kawasan dan
118
Ibid. hal. 3.
119
The Kuala Lumpur Declaration in Combating Transnational Crime. hal. 4 diunduh dari
bekerja menuju peningkatan pendekatan komprehensif dan koordinasi kawasan
untuk mencapai tujuan ini. 120
Berkaitan dengan perdagangan manusia, pada November 2015 di
Yogyakarta telah dilaksanakan AICHR-SOMTC Joint Workshop. Hasil dari
pertemuan itu ialah pembagian tugas antar badan-badan yang ada di ASEAN.
Tugas pencegahan, perlindungan, kerjasama dan langkah ke depannya dibagi
porsinya kepada tiap badan-badan yang bersangkutan. Badan-badan yang
dimaksud antara ialah SOMTC, AICHR, ACWC, ACMW, SOMSWD, ACDM,
AHA Centre, ASEAN Witness and Victim Protection Network dan SEANF.121
2.3.12.ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response
Kesepakatan ASEAN tentang manajeman bencana dan tanggap darurat
merupakan kesepakatan yang disepakati oleh para Menteri Luar Negeri
negara-negara anggota ASEAN pada 26 Juli 2005 di Vientiane, Laos.122 Kesepakatan ini
disebut dalam salah satu poin dalam cetak biru APSC di sub bagian B.3.8. Poin
tersebut menyatakan, pengimplementasian the ASEAN Agreement on Disaster
Management and Emergency Response (AADMER) sebagai dasar utama untuk
manajemen bencana di kawasan.123
120
Lihat : ASEAN Plan of Action Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children. hal. 4 diunduh dari
Kesepakatan ini sendiri ditujukan untuk
menyediakan mekanisme yang efektif untuk mencapai pengurangan yang
mendasar atas kerugian yang disebabkan bencana dalam hal korban tewas,
121
Lihat : AICHR – SOMTC Joint Workshop Human Rights-Based Approach To Combat Trafficking In Persons, Especially Women And Children : Summary and Ways Forward to Further Cooperation.
122
Lihat : ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response. hal. 27 diunduh dari
123
kerugian sosial, ekonomi dan lingkungan dari para pihak, dan secara bersama
menanggapi keadaan darurat bencana melalui upaya nasional terpadu serta
kerjasama intensif regional dan internasional.
Hal ini harus dicapai dalam konsep menyeluruh melalui pembangunan
yang berkelanjutan dan sesuai dengan ketentuan dari perjanjian ini.124
124
Lihat : ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response. hal. 5-6 diunduh dari
Bentuk-bentuk mekanisme dalam cetak biru APSC yang baru disahkan pada KTT
ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur tahun 2015 lalu merupakan tindak lanjut dari
langkah-langkah yang terus berjalan dalam mewujudkan komunitas
politik-keamanan ASEAN selain langkah-langkah yang telah tuntas dilaksanakan.