• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA TANT (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA TANT (1)"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

TANTANGAN MASA DEPAN DALAM MEMPERSIAPKAN PENDIDIK BERKUALITAS

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan sektor sangat menentukan kualitas suatu bangsa. Kegagalan pendidikan berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa, keberhasilan pendidikan juga secara otomatis membawa keberhasilan sebuah bangsa. Pada dunia pendidikan, hendaknya memperhatikan unsur pendidikan, yang diantaranya: peserta didik, pendidik, software, manajemen, sarana dan prasarana dan stake holder. Aset yang diperlukan dalam pendidikan adalah sumber daya manusia yang bekualitas. Sumber daya yang berkualitas dapat berupa dari siswa, masyarakat, maupun dari pendidik.

Pelaksanaan suatu pendidikan mempunyai fungsi, antara lain: inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi merupakan fungsi pendidikan untuk memulai suatu perubahan. Inovasi merupakan wahana untuk mencapai perubahan. Konservasi berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dasar. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kehidupan suatu bangsa, harus dimulai penataan dari segala aspek dalam pendidikan.

1 Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen pengelola Kepemimpinan Pendidikan Profesional, (2009)

Tujuan dari pendidikan yang diharapkan adalah menciptakan out come pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan dari berbagai pihak. Dalam hal ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Manajemen yang bagus (good management) dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat diharapkan oleh seluruh warga Indonesia. Manajemen pendidikan yang bagus dapat diciptakan dan dapat dilaksanakan oleh manajer pendidikan yang berkualitas. Manajer dalam dunia pendidikan salah satunya adalah guru. Tugas guru selain mengajar, juga menjadi seorang manajer pendidikan. Seorang guru harus dapat merencanakan manajemen yang baik. Menurut Jamal Ma’mur Asmani (2009), Manajer pendidikan yang bagus adalah seseorang yang mau merencanakan manajemen pendidikan dimasa yang akan datang.

(2)

dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam yang berasal dari berbagai sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai alasan dan kepentingan. Bahkan ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis Nasional sekarang ini bersumber dari pendidikan dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru. Benarkah ada unsur “salah” pada guru? Mungkin “ya” dan mungkin “tidak” tergantung dari sudut mana memandang dan menilainya. Namun yang pasti ialah bahwa kondisi guru saat ini bersumber dari pola-pola bangsa ini memperlakukan guru. Meskipun diakui guru sebagai unsur penting dalam pembangunan bangsa, namun secara ironis guru belum memperoleh penghargaan yang wajar sesuai dengan martabat serta hak-hak azasinya. Hal itu tercermin dari belum adanya jaminan kepastian dan perlindungan bagi para guru dalam pelaksanaan tugas dan perolehan hak-haknya sebagai pribadi, tenaga kependidikan, dan warga negara.

2 Ibid. hal 29

Siapapun mulai dari Presiden, wakil rakyat, para pejabat, dan semua warga masyarakat sangat setuju bahwa kualitas pendidikan kita harus ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalannya di dalam tantangan global. Namun bagaimana upaya itu harus dilakukan secara sistemik agar dapat terwujud dengan baik. Tulisan ini akan mengemukakan satu pandangan bahwa upaya mencapai pendidikan berkualitas harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan menghasilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka. Guru yang berkualitas bukan hanya diwujudkan dari eksternal sekolah akan tetapi faktor internal sekolah terutama dalam mengembangkan lingkungan sekolah yang efektiflah yang memberi dampak sangat penting mewujudkan guru yang berkualitas.

(3)

BAB II

MENEROPONG TANTANGAN PENDIDIKAN GLOBAL

Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan berubah semakin cepat dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada digarda depan perubahan global tersebut. Kalau tidak mampu menjawabnya, maka lembaga pendidikan tidak akan berwibawa di hadapan roda dinamika zaman yang berjalan dengan cepat. Bahkan, lembaga pendidikan akan dianggap tidak mampu mengantisipasi realitas kekinian yang terjadi.

Karena itu, tidak ada waktu santai bagi dunia pendidikan dalam merespon secara cepat perubahan global tersebut. Ia harus mendinamisasi diri secara massif dan akseleratif agar mampu mengejar ketertinggalan dan mampu memimpin perubahan masa depan yang meniscayakan kreativitas tinggi, produktivitas memadai, dan daya jangkau yang mendunia. Reformasi besar-besaran harus segera dilakukan lembaga pendidikan jika tetap ingin survive dan memenangkan kompetensi terbuka. Infra dan supra struktur harus dilengkapi, didefinisikan ulang, dan diorientasikan ulang secara efektif, baik konsep maupun implementasinya.

1 Lihat kompas, tanggal 20/4/2009

Laporan kompas (20/4/2009) menjelaskan, betapa perguruan-perguruan tinggi disingapura sudah jauh-jauh hari mengirim tim khusus untuk mengamati dan bernegosiasi dengan para pelajar berprestasi di Indonesia dengan iming-iming fasilitas memadai dan masa depan yang prospektif agar mereka melanjutkan studi dan bekerja disana. Ini adalah tamparan keras bangsa ini. Asset-aset potensial masa depan ditelantarkan bangsa sendiri dan dimanfaatkan pihak asing untuk kepentingannya.1

(4)

yang miskin dan terbelakang, menjadi budak di negeri sendiri, tanahnya menjadi rebutan investor asing dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan.

Disinilah urgensi lembaga pendidikan meneropong tantangan-tantangan dunia dengan kecepatan tinggi, mendeskripsikannya secara detail, menyiapkan langkah-langkah terukur dan sistematis, dan berjuang mewujudkan mimpi besar sebagai Negara yang melek ilmu pengetahuan dan teknologi. Murid-murid berprestasi diperhatikan dengan serius, diberikan beasiswa penuh untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam dan luar negeri, dan memberikan prospek pekerjaan cerah sesuai dengan bidang keahliannya. dari sinilah, pelan tapi pasti, bangsa ini akan mengalami perkembangan signifikan dalam penguasaan iptek. Intinya semua berawal dari penataan lembaga pendidikan yang efektif yang melahirkan aktor-aktor genius masa depan yang kreatif.

Dengan demikian, pendidikan harus memberikan hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus berlangsung. Karena hidup terus berlangsung, maka menangani pendidikan sebetulnya sama dengan menangani masa depan, me-manage masa depan. Oleh karena itu, pendidikan harus terus menerus diperbaharui, dipertegas, dan dipertajam.

Menjemput masa depan yang cerah membutuhkan sebuah proses yang cukup serius. Di situlah peran seorang pendidik untuk mengondisikan peserta didik, baik di tengah keluarga, masyarakat, ataupun secara formal sekolah. Sehingga, sekarang orang pun tidak terlalu memilah-milah antara pendidikan disekolah dan pendidikan di rumah yang merupakan terminology pendidikan klasik yang formal. Oleh karena itu, pendidikan tidak akan pernah berakhir. Long life education.

Sayang, di tengah pusaran perubahan dahsyat sekarang ini, tantangan pendidikan semakin kompleks. Setiap insan pendidikan dituntut untuk merumuskan tantangan tersebut dan menjawabnya dengan ide-ide segar yang solutif dan aplikatif. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal.

A. Tantangan eksternal

Tantangan eksternal yang dirasakan dunia pendidikan saat ini antara lain: 1. Globalisasi

(5)

informasi, produksi, pembangunan, sabotase, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat ini pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia.

Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat menghadirkan peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan. Dalam globalisasi terjadi “banjir pilihan dan peluang”, terserah kemampuan seseorang untuk memilikinya. Dalam ranah pendidikan, mampukah kita menciptakan dan mengembangkan system pendidikan yang menghasilkan lulusan-lulusan yang “mampu memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati diri kita?

2. Kompleksitas

2 Lihat Prof. Dr. mastuhu, M.Ed , memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (2003)

Kompleksitas mengesankan bahwa sesuatu terjadi secara serentak, sekaligus, dalam waktu yang sama, dan semrawut. Saat ini, semua pihak, terutama para pesaing, pemimpin perusahan, supplier, distributor, ilmuwan, dan pemimpin, berada dan berlomba dalam perubahan yang terus menerus.

Dalam zaman modern, tidak ada yang tetap kecuali perubahan. Masalahnya, mampukah kita menyambut dan bermain dengan perubahan sebagai peraturan yang tidak terhindarkan, tanpa kita diatur atau didikte oleh perubahan?

3. Turbulence

Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan membangunkan harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan rutin, normal dan damai. Turbulence berasal dari istilah yang menggambarkan kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk menggambarkan menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa, memporak-porandakan system peluang emas bagi para pelaku system.

Masalahnya, system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu mengantar anak didik untuk tidak mudah “terkejut”, “terheran-heran”, dan mudah “collapse” atau jatuh, dan putus asa, tetapi mampu bangkit kembali dengan lebih segar, penuh semangat dan percaya diri?

4. Dinamika

(6)

menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar cepat, makin cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin lambat perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh. Tetapi masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka peluang benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi unsur-unsur dari system yang bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes (kecelakaan atau kegagalan).

Kiat baru dari manajemen modern adalah kegagalan suatu system justru ditentukan oleh mata rantai yang paling rendah dinamikanya. Factor utama yang menentukan tinggi rendahnya dinamika adalah sumber daya manusia, ilmu, teknologi, dan telekomunikasi. Dari segi pendidikan, mampukah kita mengembangkan system pendidikan yang dapat membawa anak didik mampu mengembangkan model dinamika dalam kesatuannya dengan stabilitas agar tujuan pembangunan dapat tercapai?

5. Akselerasi

Akselerasi adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era informasi hal itu adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan meningkat; di dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah kompetisi. Dari sudut pandang ini, mampukah sistem pendidikan membawa anak didik menyadari pentingnya waktu dan manfaatnya?

6. Keberlanjutan dari Kuno Menuju modern

Ada suatu kenyataan bahwa yang modern tidak begitu saja lahir dan mengada atau exist tanpa yang tradisional. Sebaiknya, yang tradisional hanya akan menjadi dongeng masa lalu tanpa diinjeksi dengan temuan, nilai, pemikiran, semangat, dan harapan baru. Dalam zaman modern ini, orang dituntut untuk tetap melestarikan nilai-nilai lama, yang luhur yang bermoral dan seterusnya, sekalipun dari dimensi teknokratiknya terdapat hal-hal tertentu yang harus sudah ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi dengan masalah yang dihadapi dengan tetap bersumber pada nilai-nilai luhur (moral) dari ajaran agama dan nilai kemanusiaan yang terus berkembang dalam budaya dan pandangan hidup bangsa. Kata-kata kunci untuk menyambut yang kuno dan yang modern adalah tetap dalam perubahan, bahkan mengantisipasinya, dan menyadari sepenuhnya bahwa perubahan-perubahan yang bergerak maju dan semakin cepat itu tidak selalu bergerak linear menurut hukum sebab akibat dan dapat diprediksi.

(7)

Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri. Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan kerja. Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan jaringan global, melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu kemajuan teknologi dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini, kita sulit mengisolasi diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi oleh kehidupan modern yang penuh dengan rekayasa dan barang pengawet.

8. Konvergensi

Konvergensi muncul bila dua system yang berbeda bergerak menuju satu titik temu atau suatu pola tanpa meleburkan diri ke dalam satu system. Namun, berkat teknologi yang semakin canggih dapat diperoleh model baru yang lebih efektif, produktif, efisien, murah, dan dengan kualitas yang lebih baik. Dalam era informasi global, terjadi konvergensi yang membawa benturan ide, tradisi, system, dan sebagainya. Dari silang pendapat ini kemudian terdapat nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima oleh semua pihak, disamping tetap menyisakan nilai-nilai lama yang berbeda.

Dengan demikian, core konvergensi dalam abad ke-21 adalah lahirnya entitas baru yang merupakan tuntutan global, yang menyebar dengan lebih cepat, murah, tepat/benar, praktis, dapat diterima secara universal, serta memiliki keguanaan berkali lipat, tanpa meleburkan diri ke dalam sistem-sistem yang baru.

9. Konsolidasi

Di era global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok yang lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas pada bidang bisnis saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang agama.

10. Rasionalisasi

Semua system dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang dan mengevaluasi kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien, dan produktif dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan men-setting ulang atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau meredefinisikan visi, misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan sebagainya; demi tercapainya cita-cita yang dituju.

(8)

Paradoks global benar-benar telah membudaya dalam tata kehidupan modern di abad ke-21. Paradoks merupakan suatu perumusan atau pernyataan yang absurd, membingungkan karena tampak bertentangan. Sebab, di dalamnya berisi dua entitas yang saling bertentangan satu sama lain, tetapi dikemas dalam satu perumusan atau satu pernyataan. Meski demikian, paradoks tetap abash dan dibenarkan, misalnya “ lebih sedikit adalah lebih banyak”. Pernyataan tersebut berasal dari bidang arsitektur yang maksudnya adalah makin sedikit anda mengacaukan suatu gedung dengan hiasan, makin anggun gedung dimaksud.

Paradoks merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan. Tetapi, paradoks dalam kehidupan modern terasa lebih menggugah dan mendorong untuk berpikir lebih tajam dan cerdik. Misalnya semakin kecil, semakin besar. Maksudnya, seperti telepon genggam, makin kecil, makin praktis, tetapi jangkauannya semakin besar dan beragam. “ semakin besar ekonomi dunia, semakin kuat pula para pemain terkecilnya”. Maksudnya, perusahan-perusahan raksasa, tunggal, dan memusat cenderung stagnan dalam memperoleh keuntungan. Karena itu mereka mengubah diri dalam system hierarchy (sentralistis) menjadi system heterarki, otonom, reformasi (desentralisasi), yaitu dengan memperbanyak pusat kekuatan otonom dengan memperbanyak pusat kekuasaan otonom dengan menggunakan beratus-ratus stasiun kera on-line di seluruh penjuru dunia dengan hanya ditangani oleh beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan jari tetapi menggunakan alat informasi komunikasi yang amat canggih. Diperkirakan, penyelenggaraan pendidikan yang bermutu juga akan membutuhkan system heterarki seperti di atas.

12. Kekuatan Pikiran

Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan social yang lebih tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya, makin tinggi dan penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan modern suatu masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk meraih ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya. Sering kali manusia yang menciptakannya terkejut dan terjeran-heran menyaksikan dampak atau implikasi dan temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.

(9)

tetap menjadikan ilmunya sebagai system yang mengabdi kepada kehidupan bersama dan kepada nilai-nilai kemanusiaan? Wawasan akademik yang bagaimana yang harus kita kembangkan dalam system pendidikan kita?

B. Tantangan Internal

Selain tantangan eksternal, tantangan internal pendidikan Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang masih belum progresif, baik Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

Pertama, Orde Lama (1945-1965). System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945 yang menyatakan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia, selanjutnya dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang mengiringinya untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan operasional. Misalnya, inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU No. 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya.

Kedua, Orde Baru, dari 1965-1998, System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan perraturan-peraturan pemerintah pelaksanaannya seperti PP No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990 bertutur tentang pendidikan Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan Tinggi, dan sebagainya.

Seiring keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan produk Orde Baru, juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan tuntutan global. Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:

Ø Setralisasi. Kerja pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke pelosok-pelosok daerah yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar, tenaga kependidikan, penilaian, ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana, dan sebagainya.

Ø Tidak demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda secara diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas, dan pengakuan terhadap ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan sebagainya.

(10)

menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal ini berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya, penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).

Ketiga, Orde Reformasi, dari 1997 sehingga sekarang. Bersamaan dengan terbongkarnya kepalsuan rezim Orde Baru, orde Reformasi mengalami keguncangan politik yang amat hebat. Hal itu disebabkan oleh “kran demokrasi” yang dibuka terlalu lebar. Tampaknya pemimpin dan rakyat masih sama-sama belajar berdemokrasi. Barang kali, mereka tidak menyadari bahwa demokrasi tidak identik dengan kebebasan tanpa rambu-rambu. Ingat, demokrasi tidak akan bermakna tanpa tegaknya sistem dan hukum serta tingginya profesionalitas. System Pendidikan Nasional masih diatur berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989, yang semua pihak menilainya bahwa UU ini sudah harus diganti dengan yang baru sesuai dengan tantangan global. Maka munculnya UU No 20 Tahun 2003 dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Setiap unit atau organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dalam menjabarkan kegiatannya mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional ditentukan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat atau para pakar yang berkompeten dan kemudian dirumuskan oleh pemerintah dan anggota DPR.

Disinilah fungsi strategis lembaga pendidikan untuk merevitalisasi fungsinya dalam membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa depan andal yang dibutuhkan di era kompetisi terbuka, dan mengantisipasi segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif sehingga dihormati bangsa-bangsa lain di dunia.

(11)

oleh bangsa lain, tapi oleh dirinya sendiri dalam mengembangkan aset-aset produktif bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Potret pendidikan di atas, baik internal maupun eksternal, adalah tantangan serius bagi insan pendidikan untuk mengubahnya menjadi peluang berprestasi. Orang yang sukses adalah yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang meraih sukses. Oleh karena itu, semua insan pendidikan seyogianya memandang tantangan pendidikan di atas sebagai starting point melakukan langkah-langkah dinamis dan progresif dalam mengembangkan diri seoptimal mungkin untuk mengejar ketertinggalan dan kemunduran. Jangan berlaku putus asa, patah semangat, dan mundur teratur, sekali kita mundur, maka kondisi pendidikan di negeri ini semakain amburadul dan bangsa ini semakin tertindas.

Menurut Ahmad Makki dalam Jamal Ma’mur Asmani, jika pendidikan dalam sebuah bangsa sudah maju, niscaya akan maju pula bangsa itu. Sebaliknya ketika pendidikan di suatu bangsa tidak berkembang, maka dapat dipastikan bangsa akan terbelakang. Pada hakikatnya, pendidikan bertujuan memfasilitasi pencapaian tujuan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Untuk itulah sekarang kita dituntut untuk dapat mengembangkan system pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman global, dengan pendidikan yang berperspektif global.

BAB III

BEBERAPA TANTANGAN MASA DEPAN PENDIDIKAN A. Tantangan yang Berhubungan dengan Sistem Pendidikan.

(12)

sesungguhnya yaitu seseorang mampu mengembangkan seluruh kemampuan (potensi) yang dimilikinya, sikap-sikap dan bentuk-bentuk prilaku yang bernilai positif di masyarakat.

1 Dr. M Sukardjo, dan Ukim Komarudin, M.Pd. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (2009), hlm 9.

2 Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D dan Drs. Djihad Hisyam, M.Pd, Refleksi dan Reformasi Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III (2000), hlm 6.

Bila kita memaknai hakekat pendidikan seperti tersebut di atas lalu dikaitkan dengan realita yang ada disekitar kita maka proses pendidikan kita belum memaknai hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Kolberg (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000) menjelaskan bahwa praktik-praktik moral berbangsa dan bernegara yang terjadi dalam keseharian belum mencerminkan tingkat yang tertinggi pada tataran post-conventional atau principled yang mendasarkan diri pada nilai-nilai yang universal, akan tetapi praktik-praktik moral berbangsa dan bernegara dewasa ini justru berada pada tataran preconventional yang mendasarkan diri pada kalkulasi dan pertimbangan moral yang sangat rendah. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Sudarminta, SJ (Dalam Sukardjo, 2009, h.79) bahwa masalah besar yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia dewasa ini adalah mutu pendidikan yang masih rendah, sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum memadai dan krisis moral yang melanda masyarakat. Kita memang tidak patut menimpakan fenomena masalah yang terjadi dewasa ini pada seseorang atau sekelompok orang atau suatu lembaga teretentu bertanggung jawab atas masalah tersebut, namun setidaknya dunia pendidikanlah yang memiliki porsi terbesar dalam mengambil peran untuk memecahkan masalah tersebut.

Bila kita menelaah sistem dan konsep yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen beserta seluruh Peraturan yang menjadi turunan dari kedua Undang Undang tersebut memiliki muatan yang sangat baik dan cukup meyakinkan. Namun bila diterpakan dalam tataran oprasional maka seluruh komponen pelaksana sistim tersebut terutama bagi seorang guru sangatlah sulit.

(13)

1:19 menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Kurikulum dalam pengertian tersebut hanya merupakan seperangkat rencana dan peraturan yang berakaitan dengan masalah tujuan, isi serta bahan pelajaran. Rencana dan pengaturan tersebut selanjutnya hanya digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pembelajaran. Makna kurikulum seperti ini terlalu sempit bahkan mungkin dipahami oleh guru dan kepala sekolah dalam pengertian yang sempit pula bahwa kurikulum itu hanya berupa rencana atau aturan yang telah disusun oleh guru seperti menyusun KTSP, membuat silabus, membuat program tahunan dan program smester, membuat SAP/RPP, melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai program semester yang telah dibuat, membuat soal ujian, melaksanakan ujian, memeriksa bahan ujian dan menganalisis hasil ujian, menyususn program pengayaan dan melaksanakannya dan pada akhirnya guru dan pihak sekolah terlalu terfokus pada pencapaian tujuan dari pendidikan yang dimaksud dalam pengertian kurikulum tersebut adalah siswa dapat memperoleh nilai yang baik dan dapat berpindah ke kelas yang lebih tinggi dan atau dapat lulus pada Ujian nasional. Makna kurikulum yang dipahami oleh seluruh komponen sekolah seperti ini tentu telah mengaburkan konsep taksonomi pendidikan seperti yang disebutkan oleh Bloom bahwa pendidikan itu setidak-tidaknya harus menyentuh pada tiga ranah yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotor atau oleh Al-Syaibany bahwa pendidikan harus menumbuhkan potensi jasmani, akal dan akhlak. Pemahaman guru dalam konteks melaksanakan kegiatan pembelajaran seperti dijelaskan diatas telah memaksa daya dan kemampuan untuk berusaha menyelesaikan seluruh bahan/materi pembelajaran yang telah disusun sesuai program semester yang lebih cendrung pada aspek kognitif sehingga aspek afektif dan psikomotor pasti terabaikan. Dan bahkan masalah moral dan akhlak tidak dipedulikan lagi oleh sang guru.

4 Ibid, Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D dan Drs. Djihad Hisyam, M.Pd, Refleksi dan Reformasi …… hlm. 80.

(14)

dimensi budaya, sosial, dan kemanusiaan kepada anak didik, menjadi tidak berdaya akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan perkembangan kondisi sosial budaya baik lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu agar adanya relevansi tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat dengan pemahaman konsep kurikulum yang baik maka Beane (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, h.59) menjelaskan bahwa kurikulum harus dipahami sebagai sebuah produk, sebagai program, sebagai hasil belajar yang diinginkan dan sebagai pengalaman belajar bagi siswa.

Dalam pengertian kurikulum dlama arti produk dapatlah kita mengacu pada Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37:1 menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: Pendidikan Agama; Pendidikan Kewarganegaraan; Bahasa; Matematika; Ilmu Pengetahuan Alam; Ilmu Pengetahuan Sosial; Seni dan Budaya; Pendidikan Jasmani dan Olahraga; Ketrampilan/Kejuruan; dan Muatan Lokal. Pada sisi lain dalam pasal 35 memberi kewenangan pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun standar isi, standar proses dan standar kelulusan yang harus digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum. Dari sini kemudian BSNP memproduksi sejumlah standar kompetensi untuk seluruh mata pelajaran sesuai pasal 37:1 yang selanjutnya diwajibkan bagi seluruh sekolah dan guru untuk menyususn seluruh perangkat pembelajaran harus seuai dengan standar isi yang diproduksi oleh BSNP. Standar isi tersebut selanjutnya menjadi acuan dalam penyusunan standar kelulusan bagi siswa, maka tidak heran guru harus wajib dituntut untuk melaksanakan seluruh programnya harus selesai pada setiap tahun pelajaran dan harus sesuai dengan apa yang telah di tetapkan BSNP.

(15)

berbagai pihak terutama guru, maka sekolah terlalu memusatkan diri pada pencapaian target kurikulum dalam domain kognitif semata, sedangkan masalah sistim nilai, kreatifitas dan kompetensi prilaku kurang mendapat perhatian secara proporsional.

Selanjutnya kurikulum dari aspek proses dalam artian akan terkait dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Kurikulum dalam aspek produk hanya merupakan blueprint dari sebuah konsep yang dijadikan dasar dan acuan dalam pelaksanaan sebuah kegiatan selanjutnya. Meskipun blueprint dari konsep kurikulum pendidikan kita cukup baik dan berkualitas, namun tidak dipahami secara tepat oleh guru dan seluruh unsur pendidikan dan sekolah yang menjadi pelaksana konsep blueprint tersebut maka dapat dipastikan bahwa hasil produkpun akan menjadi rendah. Oleh karena itu dalam artian proses maka seluruh komponen sekolah terutama guru sebagai ujung tombak dari proses pelaksana pendidikan harus memiliki pemahaman yang utuh tentang konsep kurikulum.

Kenyataan membuktikan bahwa hingga dewasa ini dalam artian proses kegiatan pembelajaran sebagaian besar orintasinya masih bermuara pada aspek kognitif. Hal ini dipengaruhi oleh faktor umumnya yaitu yang menjadi dasar dalam penentuan kelulusan seorang siswa adalah dapat memperoleh nilai minimal sesuai kriteria kelulusan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dalam kenaikan kelas dan atau oleh BSNP dalam kelulusan seorang siswa. Faktor inilah yang memaksa seluruh komponen sekolah terutama guru dalam merekayasa berbagai strategi agar seluruh kriteria kelulusan tersebut dapat dicapai oleh seorang siswa. Dan aspek ini pula yang mendorong guru dalam melaksanakan tugasnya tidak lagi menjadi seorang pendidik yang baik tetapi hanya menjadi seorang pengajar yang baik.

(16)

kearah tujuan pendidikan nasional. Paulo Freire (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, h.63) menjelaskan bahwa model pembelajaran kita masih menganalogi dengan banking concept yakni guru masih menjadi deposito berbagai informasi ke benak peserta didik tanpa mengetahui maksud dari informasi itu untuk apa bagi kehidupan mereka, sehingga informasi itu hanya menjadi pengetahuan saja dan tidak mewujudkan sikap, minat, dan memotivasi untuk mengembangkan diri.

B. Tantangan Pendidikan Yang berhubungan dengan Tenaga Kependidikan

Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai berikut:

a. Kuantitas, kualitas, dan distribusi.

Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.

b. Kesejahteraan.

(17)

pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.

c. Manajemen guru

Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin semrawut. d. Penghargaan terhadap guru

Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.

e. Pendidikan guru

(18)

disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi. Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.

f. Karir tak berjenjang

Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains, rekayasa, dsb. menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa lulus ke jabatan profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dilakukan secara berjenjang melalui seleksi yang cukup ketat dengan kriteria yang jelas. Ketika memulai bertugas pada tahap awal dimulai dengan magang kepada yang lebih seniror dan terus secara berhjenjang sampai pada posisin tertinggi. Dalam jabatan guru hal itu tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana anak itik yang langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir masa jabatan tidak pernah terjadi seleksi karir yang berjenjang. Dengan begitu guru pemula sama saja dengan guru yang sudah puluhan tahun bekerja, yang membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang semakin tinggi.

Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru pratama sampai ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun dalam pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif ketimbang penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya seorang asisten ahli tidak diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing skripsi.

(19)

Pada umumnya di sekolah para guru jarang melakukan dialog atau diskusi berkenaan dengan pengajaran baik antar sesama guru maupun dengan supervisornya seperti kepala sekolah atau pengawas. Kalaupun terjadi pertemuan antara pejabat Departemen, Dinas, pengawas atau Kepala Sekolah, pembicaraan lebih banyak bersifat top down dan sedikit menyinggung dialog mengenai pengajaran. Hal-hal yang dibahas lebih banyak bersifat informatif yang berkenaan dengan berbagai peraturan, ketentuan administratif, atau perintah, dsb. Kalau terjadi dialog sesama guru pada waktu istirahat atau waktu luang, lebih banyak obrolan santai membicarakan masalah-masalah pribadi, kesejahteraan, keluarga, lingkungan dsb.

Ada satu bentuk forum yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan dialog instruksional yaitu apa yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sayangnya forum ini lebih banyak berbentuk kepanjangan kedinasan yang sekali lagi lebih banyak mengarah ke hal-hal administratif.

h. Kurang keterlibatan dalam pengambilan keputusan kurikulum sekolah dan pengajaran.

Jika guru kurang kesempatan berdialog dengan sesama guru, tidak saling melihat satu dengan lain dalam proses pengajaran, dan guru cukup berkinerja dalam kelas, maka tidak heran apabila guru kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan kurikulum dan pengajaran. Keadaan ini jelas sangat kurang menguntungkan guru sebagai unsur pendidikan yang berada digarda terdepan pendidikan.

Keputusan pendidikan termasuk kurikulum dan pengajaran lebih banyak ditetapkan dari atas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang seolah-olah sebuah resep yang harus dilaksanakan. Kalau saja inovasi mengenai penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang akan melibatkan guru dalam pelaksanaannya, maka ini satu langkah baik untuk memberikan peluang bagi guru untuk mewujudkan otonomi pedagogisnya. Masalahnya, apakah guru sudah siap, dan apakah ada pembinaan sistematis?

BAB IV

(20)

A. Memahami Sekolah Sebagai Sebuah Sistem.

Untuk memahami sebuah konsep sekolah yang efektif maka kita harus dapat mengerti secara konprehensif tentang sistem yang berlaku dalam sekolah tersebut. Sistem itu terdiri atas sejumlah komponen yang saling terkait antara satu dengan yang lain dan tidak dapat berfungsi secara sendiri-sendiri. Yang menjadi permasalahan selanjutnya mampukah kita berperan untuk memfungsikan komponen-komponen sistem yang ada dalam sekolah tersebut sehingga dapat mendorong sekolah untuk tetap berkembang secara efektif dan berkualitas ?

Mendasari pada permasalahan tersebut maka yang perlu kita pahami sekarang sebelum kita mengkaji permasalahan tentang sekolah yang efektif, maka terlebih dahulu kita memahami permasalahan yang berkaitan dengan komponene-komponen sekolah sebagai sebuah sistem yang efektif. Kemudian permasalahan peran manajemen untuk mewujudkan sekolah yang efektif, permaslahan pengelolaan unsur-unsur pendukung untuk mewujudkan sekolah yang efektif. Selanjutnya permasalahan seberapa pentingkah biaya dalam memenej sekolah yang efektif dan terakhir adalah tentang bagamana sekolah itu dapat dikatakan sebagai sekolah yang efektif, berkualitas atau bermutu.

1 Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, April 2008 hlm.1.

(21)

pendidikan, imput pendidikan, proses pendidikan dan output pendidikan. Dalam sistem imput pendidikan hal-hal yang menjadi perhatian terpenting dalam sebuah sekolah terdiri atas sejumlah komponen yang meliputi manusia yaitu siswa, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan dan semua stekholder yang berperan aktif dalam menciptakan sistem sekolah yang efektif. Komponen lainnya yaitu uang (money) yang menjadi suplai penting dalam pemrosesan raw input atau manusianya. Selanjutnya adalah komponen barang/bahan (materials) sebagai pnunjang dalam proses pembelajaran berupa saran prasarana, alat-alat/media pendidikan dan sumber-sumber pendidikan. Kemudian komponen metode-metode (methods) yang meliputi cara, teknik dan strategi yang dikembangkan sekolah dalam melaksanakan proses pendidikan. Dan komponben terakhir adalah mesin-mesin yaitu perangkat yang mendukung terjadinya proses pembelajaran.

2 Ibid, Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, (2008)

3 Prof. Dr. Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik, (2008)

Prof. Dr. Sudarwan Danim menjelaskan bahwa mutu masukan (input) dapat dilhat pada beberapa sisi yaitu kondisi baik atau tidaknya sumber daya manusia berupa guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan siswa. Terpenuhinya masukan material berupa alat praga, buku-buku, kurikulum, sarana dan prasarana. Tersediannya perangkat lunak yang meliputi peraturan, struktur organisasi, dan diskripsi kerja. Serta terpenuhi mutu masukan seperti visi dan misi, motivasi, ketekunan dan cita-cita. Semua komponen imput tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan sekolah yang efektif. Bila komponen-komponen tersebut telah berfungsi secara bersama-sama dan saling terkait dalam proses maka akan tercipta suasana sekolah yang kondusif dimana sekolah dapat berkembang secara efektif menuju tujuan sebagaimana yang diharapkan.

(22)

menghormati, dan kepuasan pada setiap unsur imput dalam memberi dan menerima jasa layanan.

3 Ibid, Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah …. hlm. 2-3.

Oleh karena itu seorang manajemen pendidikan harus berlaku sebagai agent of change yang selalu berupaya untuk menciptakan difusi inovasi bagi seluruh unsur imput. Roe dan Norton (Aan Komariah dan Cepi Triatna, 2008, h. 2-3) berpendapat bahwa dalam mengelola program sebagai proses penyelenggaranan sekolah yang efektif, manajemen sekolah harus mampu melaksanakn pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah secara holistik dan integratif meliputi perencanaan, pengembangan dan evaluasi program, pengembangan kurikulum dan proses belajar mengajar, pengelolaan sumberdaya manusia, pengelolaan fasilitas, pengelolaan hubungan dengan stekholder, pengelolaan keuangan dan pengelolaan siswa. Dengan demikian maka sistem sekolah sangat menentukan hasil akhir dari sebuah proses dimana kelulusan siswa dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat dengan terpenuhinya harapan sebagaimana dikemukakan oleh Sudarwan Danim di atas.

B. Manajemen Dalam Sekolah Yang Efektif.

Pembicaraan tentang manajemen di tulisan ini dapat disamakan pengertiannya dengan masalah kepemimpinan sekolah meskipun banyak para pakar memberikan pengertian yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh pokok pembahasan pada tema tulisan ini lebih mengarah pada permasalahan bagaimana peran manajemen atau kepemimpinan sekolah dalam mengelola sistem sekolah yang terkait dengan komponen input, proses dan output dalam sekolah itu sendiri sehingga dapat mewujudkan sekolah yang efektif dan murah agar dapat dijangkau oleh sebagaian masyarakat Islam Indonesia yang terancam putus sekolah karena faktor mahalnya biaya pendidikan.

(23)

4 Dr. E. Mulyasa, M.Pd, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, (2009), hlm. 19.

Manajemen pendidikan menurut Gaffar (E. Mulyasa) mengandung pengertian bahwa sebagai suatu proses kerja sama dalam pengelolaan proses pendidikan yang sistematik, sistemik dan konprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Secara sistematik berarti bahwa dalam pengelolaan proses tersebut harus dilakukan secara teratur dan berurut sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Secara sistemik artinya bahwa dalam proses pengelolaan tersebut setiap komponen pendidikan selalu terkait dan berhubungan serta saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Oleh karena itu setiap komponen pendidikan baik terkait masalah imput, proses maupun output harus dipandang sama perannya dalam pengelolaan untuk mencapai tujuan pendidikan. Selanjutnya pengelolaan dalam makna komprehensif berarti semua komponen pendidikan dalam sistem sekolah harus dikembangkan dalam proses secara keseluruhan, sehingga tidak terpandang oleh seorang manajemen sekolah bahwa ada komponen tertentu lebih diutamakan dari komponen yang lainnya.

(24)

Baik knezvich ataupun Engkoswara memahami makna manajemen pendidikan merupakan sebagai upaya untuk memberikan pelayanan yang lebih terbaik dalam menata sumberdaya yang ada dalam pendidikan yang termasuk didalamnya adalah komponen-komponen imput dalam sistem pendidikan. Pelayanan yang diberikan tersebut dapat menciptakan suasana sekolah yang lebih kondusif melalui perencanaan, pengambilan keputusan, prilaku kepemimpinan, penyiapan alokasi sumberdaya, koordinasi personil, penciptaan iklim organisasi yang sehat dan dinamis sehingga dapat terpenuhi kebutuhan bagi sistem imput untuk seluruh komponene manusianya.

Dalam konsep manajemen pendidikan dimaksud maka kepala sekolah memiliki peran yang cukup penting untuk menciptakan suasana sekolah yang lebih kondusif, sehat dan dinamis. Kepala sekolah dalam konteks ini tentu harus menjadi agent of change untuk menciptakan difusi inovasi bagi seluruh unsur imput. Kepala sekolah harus menjadi agen perubahan bagi sebuah dinamika yang lebih kondusif dalam menata serta memberdayakan manusianya, uang, maetrials, methods dan machines sebagai unsur imput secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan sekolah itu sendiri. Dengan demikian jiwa kepala sekolahlah yang menjadi taruhan dalam sebuah proses dari pemberdayaan unsur imput. Untuk itu sebagai pemimpin dalam manajemen sekolah, ia harus mengetahui, memahami dan mengerti semua hal yang berkaitan dengan potensi-potensi yang dimilki oleh semua komponen yang terdapat dalam unsur manusia.

Selain itu dalam konsep manajemen juga seorang kepala sekolah harus dapat menjadi seorang administraur yang baik yang dapat mengerti dan memahami tentang bagaimana mengelola seluruh hal yang terkait proses dalam sistem sebuah sekolah. Sebagai administratur dalam manajemen pendidikan kepala sekolah harus dapat melaksanakan prinsip-prinsip administrasi seperti disebutkan oleh Prof. Dr. Agus Salim Mansyur, M.Pd dalam pengantarnya yang ditulis oleh Herabudin yaitu: Berprinsip efisiensi yaitu menggunakan semua sumber tenaga, dana dan fasilitas yang ada secara efisien.

Berprinsip pengelolaan yaitu mengelola langkah-langkah manajemen secara baik meliputi merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengontrol semua proses secara dinamis untuk mencapai tujuan.

(25)

Berprinsip kepemimpinan yang efektif yaitu mampu menjadikan dirinya sebagai human relationship dengan membangun hubungan yang baik dengan seluruh unsur imput dalam sistem serta senantiasa bijaksana dalam membuat keputusan, tegas, lugas, tuntas dan berkualitas.

Berprinsip kerja sama yang dilakukan secara sinergi, profesional, dan proporsional. Dapat melaksanakan tugas sesuai kemampuan dan pengetahuannya serta mendistribusikan kewenangan kepada stafnya untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan mereka. Mampu melaksanakan hubungan dengan pihak luar baik secara horisontal maupun secara vertikal untuk mencari peluang-peluang baru dalam mengembangkan sekolah.

6 Drs. Herabudin, M.Pd, Administrasi dan Supervisis Pendidikan (2009)

Bila prinsip-prinsip seperti ini benar-benar dilaksanakan oleh seorang kepala sekolah dalam manajemen sekolah tentu upaya untuk mencapai sekolah yang efektif dengan sendirinya akan terwujud. Dengan demikian dalam konsep manajemen sekolah yang terpenting bukanlah keuangan sekolah yang menjadi domai utama untuk mencapai sekolah yang efektif dalam proses dari sebuah sistem sekolah, karena keuangan (money) hanyalah satu dari 5 unsur utama dalam komponen imput dari sebuah sistem pendidikan. Akan tetapi yang terpenting bagi seorang manajemen dalam pendidikan adalah bagaiman sekolah itu diberdayakan secara sistematik, sistemik dan konprehensif seperti yang dikemukakan oleh Gaffar agar semua unsur imput merasakan nyaman dan terpenuhi rasa kepuasannya dalam dinamika lingkungan sekolah yang lebih harmonis.

(26)

kebodohan dan keterbelakangan akan dapat kita putuskan. Dan semua lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan secara baik.

C. Pengelolaan Unsur-unsur Pendukung Sekolah Efektif.

7 Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, Dr.Hj. Suti’ah, M.Pd. Dr. Sugeng Listio Prabowo, M.Pd. Manajemen Pendidikan, (2009)

Kunci penting dalam sebuah lembaga organisasi sekolah agar dapat berkembang secara dinamis dalam kehidupan persekolahan adalah bagaimana seorang kepala sekolah mampu memberikan perannya yang berpusat pada penggerak atau pemberdayaan seluruh unsur-unsur yang ada dalam sekolah agar dapat bergerak secara sadar menuju pada tujuan yang diharapkan. Unsur-unsur penting dalam sebuah sekolah adalah unsur imput yang terdapat dalam sistem sekolah. Bagaimana seorang kepala sekolah dapat berkomunikasi, melatih, membimbing, membina, memotivasi unsur manusia sebagai raw imput atau sebagai unsur utama dalam sekolah. Bagaimana seorang kepala sekolah mampu member-dayakan unsur uang (money) secara efektif dan efisien serta dapat mempertanggung-jawabkannya secara akuntable dihadapan semua komponen sekolah. Bagaimana seorang kepala sekolah dapat mengelola methods dan materials yang dimiliki sekolah secara berdaya guna dan berhasil guna. Dan seorang kepala sekolah yang baik dalam mengelola organisasi sekola secara efektif adalah ia mampu mengelola dan memenafaatkan potensi mechines yang dimiliki oleh sekolah secara baik dalam kerangka pengembangan dinamika sekolah yang lebih sehat dan dinamis.

(27)

moral kerjanya secara baik dalam budya kehidupan sekolah yang sehat dan dinamis.

8 Lihat Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, April 2008.

Efektifitas merupakan kemampuan organisasi secara aktif memberdayakan seluruh unsur dan komponen-komponen sekolah untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Didalam konsep efektifitas yang terpenting bagi sebuah organisasi sekolah adalah bagaiman sekolah itu mampu menciptakan suasana kerja dimana para guru, siswa, tenaga kependidikan, stekholder dan kepala sekolah tidak hanya dapat melksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya akan tetapi jauh lebih besar lagi sebuah sekolah dapat membuat suasana agar semua pekerja dan pengguna kerja lebih fleksibel, bertanggung jawab, bertindak secara kreatif, dengan suasana batin yang lebih nyaman demi peningkatan efisiensi dalam usahanya untuk mencapai tujuan.

Dengan suasana batin yang lebih nyaman akan memotivasi seluruh unsur sekolah lebih leluasa dalam melaksanakan seluruh program sekolah untuk mencapai tujuan maka akan melahirkan tingkat produktifitas sekolah yang lebih berkualitas. Produktifitas merupakan suatu perbandingan nilai yang terbaik dari hasil yang diperoleh dari output sekolah dengan jumlah sumber yang digunakan dalam pemberdayaan imput. Output yang dimaksud adalah kelulusan siswa yang dihasilkan benar-benar dapat menjadi daya saing kuat dan bermanfaat dalam percaturan pasar. Sedangkan imput yang dimaksud adalah seluruh komponen yang digunakan selama proses untuk memproduksi output yang meliputi guru, peralatan, perlengkapan, uang, dan lain sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah tidak memenuhi unsur produktifitas bila memiliki sarana prasarana yang lengkap, tenaga pendidik dan kependidikan yang profesional, mengeluar-kan biaya yang besar akan tetapi hasil produksinya hanya menjadi beban dan bahkan hanya menjadi sumber masalah bagi masyarakat.

(28)

muncul kegairahan atau motivasi belajar yang tinggi, semangat kerja yang besar, kepercayaan berbagai pihak dan pembiayaan, waktu serta tenaga yang sekecil mungkin untuk mendapatkan produktifitas hasil yang lebih besar dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas.

Dari konsep efisiensi ini akan melahirkan berbagai ide dan kreasi baru bagi setiap individu yang ada dalam sebuah organisasi sekolah. Ide dan pikiran-pikiran yang dilahirkan oleh setiap komponen sekolah itu merupakan sebuah konsep baru yang perlu di kembangkan sebagai sebuah inovasi bagi sekolah. Dengan ide dan kreasi komponen sekolah akan melhirkan keragaman dan nuansa yang lebih dinamis shingga upaya untuk mencapai produktifitas sekolah akan lebih terwujud secara efektif dan efisien. Oleh karena itu sebuah inovasi yang berkembang dalam organisasi sekolah harus memenuhi karakteristik inovasi seperti yang disebutkan Rogers (Aan Komariah, 2009, h. 21) yaitu memberi dampak keuntangan yang ekonemis, mengandung unsur kesesuaian dengan nilai-nilai dan kebutuhan semua unsur sekolah, memiliki tingkat complexity yang rendah dalam penerimaannya, dapat diterima secara cepat, dan mudah diamati dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu inovasi harus dapat memberi dampak ekonomis dan bernilai guna dalam mewujudkan produktifitas sekolah yang lebih berkualitas. Inovasi jauga harus bersifat kompleks dan dapat diterima secara cepat oleh penggunanya. Dan pada akhirnya sebuah inovasi harus dapat membukrtikan sebuah keunggulan yang kompetitif.

Bila unsur-unsur pendukung sekolah benar-benar difungsikan secara baik dengan menggunakan prinsip efektifitas, produktifitas, efisiensi dan inovatif maka dengan sendirinya akan melahirkan suatu kualitas kehidupan kerja dalam organisasi sekolah yang lebih baik. Moralitas personal dalam kehidupan kerja yang berkualitas dapat menjamin sebuah keberlangsungan interaksi yang lebih harmonis, empati dan selalu berada pada jalur moral dan lebih etis serta sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, adat istiadat dan kesantunan yang tinggi. Kulaitas kehidupan kerja juga memberi makna akan pentingnya sebuah martabat dan pertumbuhan manusia dimana dapat mendorong kita untuk dapat memahami bahwa sebuah pekerja adalah amat penting bagi kita akan tetapi dengan memperhatikan kepuasan hati bagi setiap pekerja dalam organisasi sekolah jauh lebih penting kedudkannya dalam pelaksanaan manajemen sekolah.

(29)

secara efektif, produktif, efisien dan inofatif agar kulaitas kehidupan kerja dapat diwujudkan dalam kehidupan organisasi sekolah maka akan mendorong terciptanya surplus dan moral kerja yang baik dalam budaya kehidupan sekolah. Unsur-unsur penting yang menjadi komponen utama sekolah yang harus diperhatikan dalam pengembangan manajemen sekolah seperti yang disebutkan E. Muliyasa adalah Kurikulum dan program pengajaran, Tenaga pendidik dan kependidikan, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat, serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35 yang dikutip di dalam bukunya Hasbullah, M.Pd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, menyebutkan bahwa pendidikan yang dikelola sebuah lembaga pendidikan harus memenuhi standar nasional pendidikan yang meliputi standar isi, proses, kompetensi kelulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasaran, pengelolaan, pembiyayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

9 Lihat Hasbullah, M.Pd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (1997)

Bila dihubungkan dengan pandangan E. Muliyasa diatas maka yang lebih terpenting yaitu bagaimana manajemen sekolah dapat mengelola semau standar tersebut sesuai kondisi masing-masing sekolah. Sekolah tidak dapat memaksakan dirinya harus memenuhi seluruh standar yang telah ditetapkan dalam pasal 35 tersebut, akan tetapi yang terpenting bagi sekolah adalah bagaimana sekolah mampu memberdayakan semua komponen yang dimilikinya secara efektif, produktif, efisien dan inovatif guna menumbuhkan kualitas kehidupan kerja sehingga terbentuk budya sekolah yang sehat dan dinamis. Bila sekolah teramat jauh menentukan target yang tidak berimbang pada kondisi objektif sekolah maka akan menjadi beban yang amat berat bagi orang tua dan masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan jumlah putus sekolah menjadi meningkat dan tingkat pengangguran yang semakin tingga dan selanjutnya menjadi beban bangsa maka tentu tingkat kemiskinan, kebodohan dan keterbelakngan masyarakat Indonesia dan umat Islam secara khusus juga menjadi meningkat.

D. Biaya Pendidikan Dalam Memenej Sekolah Efektif.

(30)

peran daerah diseluruh aspek pembangunan secara mandiri dan otonom memberdayakan potensinya untuk membangun dan mensejahterakan kehidupan yang lebih baik. Menyertai perubahan tersebut dunia pendidikanpun ikut merubah paradigma lama dalam konsep kebijakannya dengan konsep baru yang menyertai lahirnya otonomisasi daerah-daerah yang berpusat pada kebijakan desentralisasi. Melalui konsep desentralisasi ini semua aspek pembangunan menjadi kewenangan daerah dalam menentukan semua kebijakannya dan merencanakan berbagai strategi dalam kerangka sebuah perubahan yang berpihak pada pengembangan dan pemberdayaan potensi daerah demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat yang ada didaerahnya masing-masing. Paradigama baru pendidikanpun ikut merubah konsep kebijakan. Dengan desntralisasi maka sekolah memiliki kewenangan lebih leluasa dalam menyususn segala kegiatannya sesuai kondisi dan kemampuan sekolahnya masing-masing. Dengan demikian maka lahirlah apa yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), meskipun hingga kini masih terdapat penafsiran beragam dengan manifestasinyapun akan muncul dengan keragaan pula sesuai karakteristik daerah, koitmen pembuat keputusan dan potensi sekolah. Betapa tidak terjadi defiasi yang berlebihan dimana masih banyak sekolah di daerah yang belum siap dari aspek ketenagaannya, sarana prasarananya, bahkan dari aspek pembiayaanpun sangat minim membuat kebijakan dan pengelolaan program sekolah semakin tidak stabil. Hal inilah yang dapat menyebabkan lahirlah sejumlah masalah yang dihadapi pendidikan nasional dewasa ini.

Selain itu kemampuan manajemen sekolah juga sangat minim dalam mengelola sumberdaya sekolah mengakibatkan sekolah memiliki visi, misi dan program yang tidak jelas sehingga dapat mengaburkan tujuan sekolah yang ingin dicapai. Kekaburan makna dalam pengelolaan manajemen sekolah ini pula membuat sekolah tdak mampu mensinergikan antara kebutuhan yang strategis dan prioritas dalam menyusun program sekolah dengan kemampuan finansial sekolah dalam konsep pengelolaan anggaran yang berimbang. Dalam kerangka inilah maka sekolah dituntut untuk menyusun anggaran sekolahnya pada setiap awal tahun pelajaran yang disebut RAPBS yang disesuaikan dengan kemampuan dan sumber pendapatan secara rasional agar lembaga sekolah dapat berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang berorintasi pada pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang berorintasi pada pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat.

(31)

diberbagai sekolah akan adanya distorsi dan deviasi penggunaan anggaran mengakibatkan sekolah mengalami kesulitan dalam mengembangkan programnya dan bahkan sering kali muncul konflik dan hubungan yang disharmonis antara pihak manajemen sekolah dengan seluruh raw input terutama guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dan pada akhirnya proses penyelenggaraan pendidikan di sekolahpun menjadi terganggu dan dapat mempengaruhi secara langsung kinerja dan kualitas pembelajaran di sekolah. Sebagai contoh misalnya terdapat beberapa sekolah di daerah terpencil lebih banyak menggunakan anggaran sekolahnya untuk kepentingan perjalanan dinas kepala sekolah, atau contoh lain misalnya masih banyak sekolah SD dan SMP yang walaupun telah mendapat dana BOS dengan jumlah yang cukup signifikan namun tetap memberlakukan biaya tambahan dari orang tua sebagai alasan adanya wujud partisipasi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah.

Mengacu pada sistem anggaran sekolah yang berimbang yang disesuaikan dengan terbatasnya kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki sekolah maka dalam menyusun RAPS perlu digerakkan oleh visi dan misisnya yang jelas dan disertai dengan implemen-tasi programpun harus sesuai dengan prinsip efektifitas, produktifitas, dan efisiensi biaya. Dalam konteks ini maka Osborne dan Gaebler (Sudarwan Danim, 2009) berpendapat bahwa khusus untuk sekolah dalam pengelolaan anggarannya perlu didasarkan pada konsep anggaran yang digerakkan oleh visi dan misi sekolah yang berorientasi pada:

Mendorong kepada setiap komunitas sekolah untuk menghemat uang. Membebaskan komunitas sekolah untuk menguji berbagai gagasan baru.

Memberikan otonomi kepada unsur manajemen sekolah untuk merespons setiap kondisi lingkungan yang berubah.

Memberikan peluang kepada komunitas sekolah untuk dapat menciptakan lingkungan yang secara relatif dapat diramalkan.

Menyederhanakan proses anggaran.

10 Lihat Osborn dan Geabler dalam Prof. Dr. Sudarwan Danim, 7 konsep anggran yang digerakan oleh visi dan misi sekolah Visi Baru Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik, Juli 2008.

Menghemat dana untuk auditor atau belanja pegawai yang kurang relefan.

(32)

Kesadaran untuk mewujudkan institusi pendidikan sebagai sekolah yang totalitas bertanggung jawab terhadap mutu tertinggi dari proses dan produk yang dihasilkan oleh sekolah harus diprioritaskan oleh semua manajemen sekolah. Dan ini hanya terwujud pada kepala sekolah yang memiliki tingkat profesinalitas yang tinggi yang dalam dunia kerjanya senantias didasarkan pada niat yang ikhlas dan hanya mencari keridhoaan dari Allah SWT. Dalam konteks inilah maka seluruh komponen sekolah hanya menjadikan sekolah sebagai wujud dari sebuah pengabdian dengan hanya mencari kemuliaah hidup di sisi Allah SWT bukan materi hingga ia akan mendapat derajat ketaqwaan.

Agar anggaran sekolah selalu berimbang yang didasarkan pada perinsip efisiensi dan efektifitas serta berorientasi pada anggaran yang digerakkan visi dan misis sekolah maka dalam penyusunannya harus disesuaikan dengan rencana kegiatan dan program yang telah disusun dan kemudian disesuaikan dengan jumlah biaya yang diperkirakan akan dapat diperoleh untuk membiayaai beban kegiatan dimaksud. Dalam penyususnan anggaran perlu dihindari pemahaman bahwa perlu menyususn kegiatan yang kemudian menjadikan sumber pendapatan sekolah tertentu yang dibebankan untuk membiayainya. Bila pendekatan seperti ini terjadi maka tidak heran kemudian program itu akan menjadi beban orang tua atau masyarakat yang sesungguhnya secara ekonomis tidak dapat memenuhi tuntutan sekolah. Untuk itu maka langkah-langkah yang ditawarkan oleh Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, dkk yang perlu diikuti dalam merencanakan penyususnan RAPBS secara berurut sebagai berikut: 1) Menginfentarisasi rencana yang akan dilaksanakan; 2) Menyusun rencana berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya; 3) Menentukan program kerja dan rincian program kerja; 4) Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program; 5) Menghitung dana yang dibutuhkan; 5)Menentukan sumber dana yang telah ada untuk membiayai rencana kegiatan yang telah ditetapkan.

(33)

keempat dalam penyususnan RAPBS yang disebutkan Muhaimin dkk adalah menentukan seberapa penting kebutuhan rincian program yang telah disusun tersebut untuk kepentingan peningkatan mutu output pendidikan. Dari rincian kebutuhan yang telah dianalisis tersebutlah baru akan dilanjutkan dengan langkah selanjutnya yaitu menghitung kebutuhan biaya yang akan diperlukan dan disesuaikan dengan sumber pendapatan sekolah.

Yang menjdi persoalan umumnya adalah sekolah cendrung memaksakan program yang notabene program tersebut dipaksakan untuk dibiayai oleh orang tua siswa dengan alasan adanya partisispasi orang tua, peningkatan mutu sekolah atau diprogramkan oleh dinas terkait. Padahal program-program yang dilaksanakan tersebut bila dianalisis lebih dalam maka sesungguhnya kurang bahkan tidak menyentuh aspek pemberdayaan input –proses dan output sistem sekolah. Dari konsep inilah maka tidak salah ada sebagian orang menyatakan bahwa sesungguhnya uang yang menjadi beban sebuah program sekolah itu tidak terlalu penting walaupun dalam pelaksanaan program tersebut dibutuhkan pembiayaan. Akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana manajemen sekolah mampu menciptakan suatu kondisi sekolah yang sehat dan dinamis sehingga seluruh unsur sistem dalam komponen raw input termotivasi untuk melukukan inovasi-inovasi baru dalam setiap kegiatan cendrung bersifat efektif dan efisien dengan dasar niat yang ikhlas dan kesadaran akan mencari nilai ibadah kepada Allah SWT.

(34)

Di dalam dana langsung ada disebut dana pembangunan dan dana rutin. Dengan di dasarkan pada UU. Nomor 20 Tahun 2003 maka sesungguhnya antara sekolah negri dan sekolah swasta telah disamakan kedudukan, hak dan kewajibannya dalam perlakuan pembiayaan pendidikan. Oleh karena itu untuk memenuhi kekuranagan sarana prasaran dan prasarana sekolah perlu dipertimbangkan kemampuan masyarakat dalam hal penga-daannya, karena ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai PP. Nomor 19 Tahun 2005 yang berhubungan dengan Standar Nasional pendidikan bidang sarana prasarana. Selain itu sekolah juga harus memiliki komitmen proaktif dalam pelaksanaan anggaran pembangunan yang didapatnya, sehingga setiap paket pembangunan harus disisihkan sebagian kelebihan biayanya untuk menjadi sumber paendapatan sekolah. Bila ini yang dilakukan maka post pada dana yang menjadi beban masyarakat atau orang tua sedikit dikurangi.

Pada aspek lain sekolah juga memiliki dana rutin yang bersumber dari bantuan pemerintah daerah dalam bentuk dana pendidikan daerah ataupun dana bantuan pusat yang disebut dana bantuan oprrasional sekolah (BOS), bantuan oprasional manajemen mutu (BOMM), dana bantuan khusus murid (BKM) dana bantuan laife skil dan masih banyak sumber dana lainnya yang diberikan melalui dana rutin. Sayangnya sebagian besar manajemen sekolah tidak memeiliki kemampuan untuk mengatur dan memberdayakan sumber-sumber tersebut sehingga pada setap tahun anggaran sekolah dalam melaksanakan APBS-nya sering mengalami defisit, dan defisit itulah kemudian dipaksakan menjadi beban masyarakat atau orang tua. Hal inilah yang emneybabkan angka putus sekolah bagi anak usia sekolah dinegara kita semakin tinggi.

(35)

menyesuaikannya dengan perkembangan dan perubahan sebagai dampak dari tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi.

E. Guru Yang Berkualitas Dalam Organisasi Sekolah Yang Efektif.

Sekolah efektif adalah menjadi harapan kita semua, menjadi harapan pemerintah, harapan pihak manajemen sekolah, harapan guru dan tenaga kependidikan, harapan siswa dan harapan stekholder. Betapa tidak, bahwa pada sekolah efektif ini bukan persoalan material yang menjadi tujuan utama bagi seluruh komponen sekolah, akan tetapi kepuas-annya dalam mendapatkan pelayanan yang menjadi target yang paling utama.

Guru merasa nyaman melaksanakan tugasnya disekolah dan termotivasi untuk berperan dalam kegiatannya diluar sekolah dalam membimbing siswa. Siswa merasa nyaman untuk belajar disekolah sehingga termotivasi untuk selalu tetap hadir b di sekolah setiap hari. Seluruh tenaga kependidikan melaksanakan seluruh tugasnya untuk melayani semua kebutuhan pelanggang. Dengan demikian pihak manajemen sekolahpun secara leluasa dengan prinsip demokratis melahirkan berbagai ide dan kebijakan cerdas untuk memngembangkan program dan kegiatan sekolah. Dan lebih penting lagi seluruh stekholder merasa optimis dan tidak ragu-ragu ikut berpartisipasi dalam memajukan sekolah.

11 Lihat Peter Shenge, Disiplin Kelima Strategi dan Alat untuk Membangun Organisasi Pembelajaran (2002).

Agar organisasi sekolah dapat dimanej secara baik maka Peter Shenge menawarkan konsep organisasi pembelajaran perlu diberlakukan dalam manajemen organisasi sekolah sehingga efektifitas sekolah dapat berjalan secara baik, berkualitas dan bermutu. Konsep penerapan organisasi pembelajaran dimaksud adalah seperti dijelaskan oleh Peter Shenge di dalam bukunya berjudul The Fifthy Dicipline, yaitu dengan menerapkan 5 prinsip pembelajaran dalam mengorganisasikan setiap lembaga usaha termasuk sekolah yang meliputi:

Keahlian Pribadi yaitu meningkatkan kapasitas pribadi untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang selalu mendorong semua anggotanya untuk mengembangkan diri.

(36)

Visi Bersama yaitu membangun suatu rasa dan komitmen bersama dalam suatu kelompok dengan gambaran yang sama terhadap masa depan yang ingin dicapai secara bersama dengan menggunakan praktek-praktek penentu.

Pembelajaran Tim yaitu mengubah keahlian percakapan dan berpikir dari individu ke keahlian kolektif sehingga secara berkeompok dan bersama-sama mengemb-angkan kecerdasan dan kemampuan untuk mencapai tujuan.

Pemikiran Sistem yaitu cara berpikir untuk menguraikan dan memahami kekuatan dan hubungan antar-pribadi untuk membentuk prilaku sistem ehingga dapat mendorong sebuah tindakan yang selaras dengan proses untuk mencapai tujuan. Dalam konsep manajemen yang lebih profesional dalam mengelola organisasi untuk mencapai tujuan secara maksimal dan efektif maka model pembelajaran dalam berorgani-sasi seperti yang ditawarkan Peter Shenge sangat penting untuk diterapkan. Dalam hal ini seorang kepala sekolah harus memiliki keahlian pribadi untuk menciptakan lingkungan sekolah dimana seluruh raw imput harus mampu memberdayakan dan mengembangkan dirinya. Selain itu seorang kepala sekolah harus mampu mengelola emosi dan kemampuan dirinya untuk membentuk model mentalnya yang baik sehingga mampu memahami dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi objektif yang ada dalam kehidupan persekolahan.

Referensi

Dokumen terkait

ekstrakurikuler wajib bagi sekolah dalam pembentukan karakter dan penanaman jiwa bela negara bagi peserta didik. Upacara merupakan alat pendidikan dalam kepramukaan

Dari kedua pengertian tersebut maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pemeriksaan adalah serangkaian dari kegiatan yang dilaksanakan oleh para petugas perpajakan

Penelitian oleh I Gede Marsaja (2008) menyatakan bahwa dadia atau dusun Tihing memiliki angka tuli bisu yang cukup tinggi, dikarenakan masyarakat dengan dadia

Ayah dari dua putra putri itu sejak duduk di bangku SMP menggeluti seni tabuh dan tidak pernah absen untuk ikut pentas bersama duta seni Kabupaten Jembrana dalam arena

Pada fase stabilisasi, diharapka perusahaan sudah familiar dengan implementasi sistem ERP yang mereka lakukan dan mampu mengatasi perubahan yang terjadi (Hawking, 2004).

Menciptakan kerangka dasar dari beberapa sub program yang ada didalamnya sebagai tampilan utama dari program Sistem Informasi Geografis Jaringan Tiang Listrik dan

As the attacker punches with his right fist the defender shifts away on his right foot and catches the opponent’s sleeve in his left hand... Reversing our

Meski memiliki kemiripan dalam penggunaan teori terhadap potensi daya tarik wisata, namun ketiga penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini karena penelitian ini