• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS PARU 2.1.1 DEFINISI

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari seluruh kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis

extrapulmonar. Diperkirakan bahawa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi

kuman M.Tuberkulosis (Djojodibroto, 2009).

2.1.2 KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena

1. Tuberkulosis paru

:

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)

paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis extra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), tulang, persendian, kulit, usus,

ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

1. Tuberkulosis paru BTA positif

Klasifikasi berdasarkan dahak pemeriksaan mikroskopis:

(2)

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman tuberkulosis

positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru positif

Kriteria TB paru negatif harus meliputi yang berikut:

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA negatif

b) Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian obat antibiotika non OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk pemberian obat.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1.Tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif

Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.

Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru

yang luas.

2.Tuberkulosis ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,

yaitu:

i. Tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe, tulang

(3)

ii. 2) Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis tulang belakang,

tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan

OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.

3. Kasus setelah putus berobat (default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA

positif.

4.Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini

termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

(4)

2.1.3 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia

ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan

tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan

bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta

adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang

terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi

kuman tuberkulosis (Menkes RI, 2011).

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di

dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan

estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat

TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.

Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah

dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan

pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap

tahunnya.

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara

pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian

yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan

pengobatan pada tahun 2006.

Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan

diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+.

(5)

selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai

91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program

pengendalian TB nasional yang utama (Aditama, 2011).

2.1.4 MORFOLOGI

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan

ukuran 0,2 - 0,4 x 1 - 4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk

identifikasi bakteri tahan asam.

Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2 minggu bahkan

kadang-kadang setelah 6-8 rninggu. Suhu optimum 37°C, tidak tumbuh pada suhu

25°C atau lebih dari 40°C. Medium padat yang biasa dipergunakan adalah

Lowenstein-Jensen. PH optimum 6,4- 7,0.

Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6°C selama 15-20 menit. Biakan

dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat

bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8

– 10 hari. Biakan basil ini dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat

disimpan dalam lemari dengan suhu 20oC selama 2 tahun (Hiswani, 2004).

(6)

2.1.5 CARA PENULARAN

Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman

yang terdapat dalam paru–paru penderita, persebaran kuman tersebut diudara melalui

dahak berupa droplet. Penderita TB- Paru yang mengandung banyak sekali kuman

dapat terlihat langung dengan mikroskop pada pemeriksaan dahaknya (penderita BTA

positif) adalah sangat menular.

Penderita TB paru BTA positif mengeluarkan kuman–kuman ke udara dalam bentuk

droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini

mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis

dan dapat bertahan si udara selama beberapa jam.

Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika kuman

tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka kuman

mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang ke

orang lain (Hiswani, 2004).

2.1.6 PATOGENESIS

2.1.6.1 TUBERKULOSIS PRIMER

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 90% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirupnya

dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan

seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi proses

imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat

dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,

makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.

Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus

(7)

Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus

primer Gohn.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus

primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe ( limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe akan terlibat adalah kelenjar limfe

parahilus (perihilier), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan

terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gambungan antara fokus primer, limfangitis, dan

limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan

pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak

masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi

selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa

inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10³-10⁴, yaitu

jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular (Werdhani).

2.1.6.2 TUBERKULOSIS SEKUNDER

TB sekunder berasal dari reaktivasi fokus yang dorman. Pada 5% populasi yang

terinfeksi TB, reaktivasi endogen dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer.

Reaktivasi TB ini biasanya terjadi di apeks paru. Lesi di apeks ini didapatkan melalui

penyebaran hematogen selama infeksi primer beberapa tahun sebelumnya. Segmen

apikal dan posterior dari lobus superior serta segmen apikal lobus inferior merupakan

tempat reaktivasi sering terjadi. Hal ini diakibatkan tekanan oksigen di tempat

(8)

Penjelasan lain adalah sistem pengaliran limfatik di daerah tersebut yang kurang baik.

Lesi di apeks tersebut merupakan kelanjutan dari fokus Simon yang terjadi setelah

infeksi primer. Setelah reaktivasi, lesi di fokus Simon akan berkonfluens, dan

mengalami likuefaksi serta ekskavasi. Infeksi sekunder juga dapat terjadi akibat

reinfeksi, walaupun hal ini jarang terjadi bila pasien berdomisili di negara-negara

maju (Werdhani).

2.1.7 FAKTOR RESIKO

Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti: status sosial ekonomi, status gizi, umur jenis kelamin, dan faktor toksis untuk

lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini :

1. Faktor Sosial ekonomi

Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan,

lingkungan dan sanitasi tempat bekrja yang buruk dapat memudahkan penularan

TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena

pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi

syarat – syarat kesehatan.

2. Status Gizi.

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain – lain

akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit

termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di

negara miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak – anak.

3. Umur.

Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif

(9)

harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem

imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit,

termasuk penyakit TB Paru.

4. Jenis Kelamin.

Penyakit TB-paru cenderung lebih tinggi pada jenis pada jenis kelamin laki –laki

dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada

sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-paru, dapat disimpulkan bahwa

pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru

dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin

laki–laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol

sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah

dipaparkan dengan agent penyebab TB-Paru (Hiswani, 2004).

2.1.8 MANIFESTASI KLINIS

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang

timbul sesuai dengan organ yang terlibat.

Gejala sistemik/umum:

 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam

hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti

influenza dan bersifat hilang timbul

 Penurunan nafsu makan dan berat badan

 Perasaan tidak enak (malaise), lemah

Gejala khusus:

 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan

(10)

kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara

“mengi”,suara nafas melemah yang disertai sesak.

 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai

dengan keluhan sakit dada.

 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang

pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya,

pada muara ini akan keluar cairan nanah.

 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut

sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,

adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang (Werdhani).

2.1.9 PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,suhu demam,badan kurus atau

berat badan menurun.

Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama

pada kasus-kasus dini atau sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Bila dicurigai

adanya infiltrate yang agak luas, maka di dapatkan perkusi yang redup dan auskultasi

suara napas bronchial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki

basah,kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate diliputi oleh penebalan pleura, suara

napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi

memberi suara hipersonar atau timpani dan akultasi bersuara amforik (Crofton,

(11)

2.1.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.1.10.1 PEMERIKSAAN SPUTUM

Pemeriksaaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, keberhasilan

pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaaan dahak untuk

penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpul 3

spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa

dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

• S(Sewaktu)

Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.

Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan

dahak pagi pada hari kedua.

• P(Pagi)

Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidue. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas Fasyankes.

• S(Sewaktu)

Dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak

pagi.

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari

faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien

sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008). Untuk interpretasi

pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and

Lung Disease) yaitu :

(12)

- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

2.1.10.2 PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan

dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi

tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai

berikut:

• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru

BTA positif.

• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).

• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,

efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis

(13)

2.1.10.3 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto rontgen

toraks, tetapi ada beberapa gambaran yang karakteristik untuk tuberkulosis paru

yaitu:

 apabila lesi terdapat terutama di lapangan atas paru

 bayangan berawan atau beracak

 terdapat kavitas tunggal atau multipel

 terdapat kalsifikasi

 apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru

 bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang

beberapa minggu kemudian (Crofton, 2002)

2.1.10.4 BRONKOSKOPI

Pemeriksaan bronkoskopi adalah pemeriksaan sistem pernapasan dengan

menggunakan endoskop. Endoskop adalah alat untuk memeriksa rongga di dalam

organ. Endoskop yanh digunakan untuk pemeriksaan organ paru disebut bronkoskop.

Pemeriksaan bronkoskopi termasuk dalam golongan tindakan invasive. Ada dua

macam pemeriksaan bronkoskopi, yaitu pemeriksaan dengan bronkoskop rigid dan

pemeriksaan dengan bronkoskop serat-optik lentur dapat terlihat 85% dari

keseluruhan jumlah bronkus subsegmental turunan ke-5 dan 55% dari keseluruhan

humlah bronkus subsegmental turunan ke-6. Visualisasi dan washing (cuci bronkus)

merupakan prosuder standar pemeriksaan bronkoskopi. Prosedur lain yang dapat

dilakukan adalah: biopsi transbronkial(TBB), broncho alveolar lavage(BAL),

transbronkial needle aspiration(TBNA),ultrasonografi bronkoskopik, dan

(14)

Indikasi dilakukan bronkoskopi,yaitu:

• Pemeriksaan hemoptysis,mencari asal pendarahan

• Pengambilan benda asing(corpus alienum)

• Terapi pada atelectasis

• Penggunaan di ICU: Intubasi intratrakea, menghisap secret

• Mendiagnosis dan menentukan staging kanker paru

• Mendiagnosis nodul di perifer dan infiltrate

• Mendiagnosis penyakit paru interstial

• Mendiagnosis pneumonia dengan cara mendapatkan sekret atau mucus di

trakea atau bronkus

• Mendiagnosis penyebab batuk

• Mendiagnosis penyebab efusi pleura

Walaupun penggunaan bronkoskop dinilai dapat ditoleransi oleh pasien, terdapat

kemungkinan timbulnya komplikasi, yaitu hipoksemia, pendarahan, demam, aritmia

kordis, bronkospasme, pneumonia, dan pnuemotoraks. Pemeriksaan bronkoskopi

yang sampai menyebabkan kematian kejadiannya sangat kecil, yaitu 0,01%,

sedangkan penyebab komplikasi mayor, jumlahnya kurang dari 1%. Pemeriksaan

bronkoskopi dapat menyebabkan penurunan Pa02 antara 15-20mmHG (Djojodibroto,

2009).

2.1.10.5 Bronchoalveolar Lavage (BAL)

Bilas bronkoalveolar dilakukan (Bronkoalveolar Lavage) dilakukan untuk memperoleh konstituen alveolus. BAL berbeda dengan bronkial washing. Pada

bronkial washing, cairan garam fisiologik yang digunakan untuk mendapatkan sel bronkus hanya beberapa mL. Pada BAL, diperlukan 150-300mL cairan garam

(15)

untuk diperiksa. Cairan yang disemprotkan pertama sebanyak 20-30mL, dibuang

karena banyak mengandung sel bronki. Untuk menghindari sampling errors, dan menghindari kontaminasi oleh darah, BAL dilakukan sebelum brushing atau TBB. Bronkskop langsung mengarah ke perifer,yaitu ke bronkus subsegmental turunan

ke-4 atau turunan ke-5. Garam fisiologik disemprotkan dan langsung diisap kembali.

Komplikasi BAL adalah hipoksemia, demam, bronkospasme, dan pendarahan

(Djojodibroto, 2009).

2.1.11 DIAGNOSIS

Diagnosis TB Paru

• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan

dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis

sepanjang sesuai dengan indikasinya.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada

TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Diagnosis TB ekstra paru

• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada

Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar

limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang

(gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

• Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau

(16)

Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)

Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai

berikut:

1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. 2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran

klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB

positif.

3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang

terkena. (Menkes RI, 2011)

2.1.12 PENATALAKSANAAN

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Tabel 2.1: Pengelompokkan OAT

Kanamycin (Km) Amikacin (Am)

(17)

(Strategi Nasional Pengendalian TB, 2011)

Tabel 2.2 : Efek Samping OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Minor

Tidak nafsu makan,mual dan

sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam sebelum

tidur

Nyeri sendi Pyranazinamid Beri aspirin/allopurinol

Kesemutan sehingga rasa

terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 (piridoksin)

100mg perhari

Warna kemerahan pada air

seni

Rifampisin Beri penjelasan,tidak perlu

diberi apa-apa

Mayor

Gatal dan kemerahan pada

kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin dan

dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT

sehinnga ikterik hilang

Binggung dan muntah-muntah Hampir senua obat Hentikan semua OAT dan Golongan-4/Obat

belum terbukti efikasinya dan

(18)

lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol

Purpura dan renjatan (shok) Rifampisin Hentikan rifampisin

(Pedomen Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia)

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

 Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.

Tabel 2.3 : Dosis Obat AntiTuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap

BB

Fasa Intensif Fasa Lanjutan

2 bulan 4 bulan

Harian Harian 3X/minggu Harian 3X/minggu

(19)

>71 5 5 5 5 5

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis &

Penatalaksanaan di Indonesia.)

Available from:

Tahap Pengobatan TB Paru menurut Program Nasional Penanggulan TB di

Indonesia:

1. Tahap intensif

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara

langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif

tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam

kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka

waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT Yang Digunakan di Indonesia paduan pengobatan yang digunakan oleh

program nasional Penanggulangan TB oleh pemerintah Indonesia:

1. Kategori 1: 2 (HRZE) / 4 (HR)3

Tahap intensif diberikan untuk penderita baru TB paru BTA Positif, penderita TB

paru BTA negatif rontgen positif dan penderita TB ekstra paru terdiri dari Isonazid

(20)

setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri

dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

2. Kategori 2: 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5 (HR)3E3

Tahap intensif diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan streptomisin (S),

diberikan setelah penderita selesai menelan obat. setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan

dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5

bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

3. Kategori 3 : 2(HRZ) / 4(HR)3

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),

diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali

seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif

sakit ringan dan Penderita TB ekstra paru ringan.

Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek

samping obat serta evaluasi keteraturan berobat.(PDPI,2006)

2.1.12.1 EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU

Evaluasi Klinik

• Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan

selanjutnya setiap 1 bulan

• Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada

tidaknya komplikasi penyakit

(21)

Evaluasi Bakteriologik (0-2-6/9)

• Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

• Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

- Pada akhir pengobatan

• Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)

Evaluasi Radiologik (0-2-6/9)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

• Sebelum pengobatan

• Setelah 2 bulan pengobatan

• Pada akhir pengobatan

Evaluasi Efek Samping Secara Klinik

• Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan

darah lengkap

• Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula

darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping

pengobatan

• Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

• Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.

• Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan

audiometri

• Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal

tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek

samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka

dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan

(22)

Evaluasi Keteraturan Berobat

• Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah

keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka

sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan

keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan

• Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Kriteria Sembuh

• BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir

pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

• Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/perbaikan

• Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

2.1.13 PENCEGAHAN

Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan

hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. Tersedia sarana-sarana

kedokteran, pemeriksaan pnderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan,

pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.

Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit

inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan. BCG, vaksinasi

diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan

keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa

tempat pencegahan. Memberantas penyakit TBC pada pemerah air susu dan tukang

(23)

2.2 MULTI DRUG RESISTANCE/MDR (RESISTEN GANDA)

2.2.1 DEFINISI

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis

dibagi menjadi :

• Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat

pengobatan TB

• Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah

pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak

• Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan

sebelumnya (PDPI, 2006).

Drug Resistance TB dikonfirmasi melalui uji laboratorium yang menunjukkan bahwa

isolate Mycobacterium Tuberculosis dapat tumbuh secara invitro meskipun dengan adanya satu atau lebih obat antituberkulosis(OAT). Empat kategori resistensi OAT

dapat dibedakan atas:

 Mono-resistance: resistensi terhadap salah satu dari OAT

 Poly-resistance: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid

(INH) dan rifampisin secara bersamaan

 Multidrug-resistance: resisten terhadap sekurang-kurangnya INH beserta

rifampisin

 Extensive drug-resistance: Multidrug-resistance ditambah resisteni terhadap

salah satu golongan fluroquinolon, dan sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini

(24)

2.2.2 PATOGENESA TB-MDR

Kejadian resistensi M.Tuberculosis terhadap OAT adalah akibat mutasi alami. Amplifikasi M.Tuberculosis yang resisten selanjutnya terjadi akibat kesalahan manusia seperti:

 Kesalahan pengelolaan OAT

 Kesalahan manajemen kasus TB

 Kesalahan proses penyampaian OAT kepada pasien

 Kesalahan hasil uji DST

 Pemakaian OAT dengan mutu rendah

 Kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang tidak selesai

TB yang rentan OAT dan TB yang resisten menular dengan cara yang sama yaitu

melalui droplet saluran nafas yang menyebar di udara (Yunita, 2011).

2.2.3 PENYEBAB

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,yaitu :

• Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang

tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal

pengobatan, maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi

yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin

dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut

sudah cukup tinggi

• Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga

(25)

mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian

seterusnya

• Fenomena “addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat

ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.

• Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang

pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan

menambah panjang nya daftar obat yang resisten

• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat

• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah

kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

• Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan

kebosanan

• Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB

• Belum menggunakan strategi DOTS (PDPI, 2006)

2.2.4 FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor resiko untuk terjadinya kasus TB-MDR adalah:

 Pengobatan TB yang sebelumnya tidak berhasil(kasus kambuh, gagal, kronik)

 Kontak erat dengan penderita TB-MDR

 Orang dengan daya tahan tubuh yang rendah

 Tinggal/lahir di tempat prevalensi TB-MDR yang tinggi

 Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat (Yunita, 2011)

2.2.5 MEKANISME RESISTENSI OAT Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hdyrasilasi dari asam isonikotonik, molekul yang larut air

(26)

menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting

pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen

seperti rekasi katase peroksidase.

Mutan M.Tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 10⁵-10⁶ organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan

oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau

promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangya aktivitas katalase dan peroksidase (Syahrini,

2008).

Mekanisme Resistensi Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun extraseluler. Obat ini menghambat

sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase

yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan

gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,

biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frequensi 1: 10⁷ atau

lebih.

Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barrier atau

adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin menghambat RNA

polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA

bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), terapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frequensi tinggi

dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10ˉ ⁷ sampai 10ˉ³, dengan akibat terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan

(27)

Mekanisme Resistensi Terhadap Pirazinamid

Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai

bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif

terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pirazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan

bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana

asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil

tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pirazinoat.

Mekanisme resistensi pirazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas

pirazinamidase sehingga pirazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam

pirazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pirazinamid ini berkaitan dengan mutasi pada

gen pncA, yang menyandikan pirazinamidase (Syahrini, 2008).

Mekanisme Resistensi Terhadap Etambutol

Etambutol merupakan turunan ethlyenediamine yang larut air dan aktif hanya pada

mycobakteria. Etambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar.

Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang

memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam

dinding sel.

Resistensi etambutol pada M.Tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi

(28)

Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomisin

Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menggangu fungsi ribosomal.

Pada 2/3 strain M.Tuberkulosis yang resisten terhadap streptomisin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S

rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target

diyakini terlibat pada ikatan streptomisin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada

rpsl. Mutasi pada rpsl telh diindentifikasi sebanyak 50% isolate yang resisten

terhadap streptomisin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang

menjadi lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frequensi resisten mutan terjadi

pada 1 dari 10⁵ sampai 10⁷ organisme. Strain M.Tuberculosis yang resisten terhadap streptomisin tidak mengalami resisten silang terhadap capreomisin maupun amikasin

(Syahrini, 2008).

2.2.6 DIAGNOSA SUSPEK TB-MDR

Menurut Menkes RI, (2011):

1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)

2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.

3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.

4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.

6. Pasien TB kambuh.

7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.

8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR

(29)

2.2.7 PENATALAKSANAAN

Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah

berikut:

• Pengobatan menggunakan minimal 4 macam obat OAT yang masih efektik

• Jangan menggunakn obat yang kemungkinan menimbulkan resisten silang

(cross-resistance)

• Membatasi penggunaan yang tidak aman

• Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai potensinya.

Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus

dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.

• Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6

bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

• Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan

Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan

jarak pemeriksaan 30 hari.

• Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan

menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.

Pilihan panduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah panduan

standar ( standardized treatment), yaitu:

Panduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila (Menkes RI, 2011):

a. Etambutol

(30)

sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap etambutol.

b. Panduan

OAT disesuaikan panduan atau dosis pada:

 Pasien TB

MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.

 Bila ada

riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.

 Terjadi efek

samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi penyebabnya.

 Terjadi

Gambar

Gambar 2.1 Electron Micrograph of Mycobacterium Tuberculosis
Tabel 2.1:  Pengelompokkan OAT
Tabel 2.2 : Efek Samping OAT
Tabel 2.3 : Dosis Obat AntiTuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap

Referensi

Dokumen terkait

Hepatotoksisitas.. pada kasus baru TB paru di mana OAT diberikan kepada pasien TB paru yang tidak pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang

1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis „TB paru BTA positif. 2)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:  Pasien baru TB paru BTA positif.  Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif  Pasien TB

Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal satu bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau

 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial (dalam dua bulan)

Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif

Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus

Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan