• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita HIV AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) Tuberkulosis (TB) di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2013-2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Penderita HIV AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) Tuberkulosis (TB) di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2013-2015"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan singkatan Acquired artinya tidak diturunkan dan dapat menularkan kepada orang lain,Immuneartinya sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit, Deficiency artinya berkurangnya kurang atau tidak cukup, dan Syndrome artinya kumpulan tanda dan gejala penyakit. Atau singkatnya, AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh (Kemenkes RI, 2012).

2.1.2 Etiologi

AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh seorang ilmuwan dari Institute Pasteur Paris, Barre-Sinoussi yaitu Montagnier pada tahun 1983, yang mengisolasi virus ini dari seorang penderita dengan gejala

(2)

Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Toxonomy of Viruses tahun 1986, WHO memberikan nama resmi HIV. Tahun 1986 di Afrika ditemukan juga virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun maupun antigenik. HIV-2 yang ditemukan di Afrika Barat dianggap kurang patogen dibandingkan HIV-1 yang sering menyerang manusia (Murtiastutik, 2008).

Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan untuk mengkode enzim khusus, reserve transcriptase (enzim transkriptase reversi), yang memungkinkan DNA ditranskripsi dari RNA. Sehingga HIV dapat menggandakan gen-nya sendiri. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4 dan limfosit (Nursalam dan Kurniawati, 2007).

Sumber: US National Institute of Health (http:/en.wikipedia.org)

(3)

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid), enzimreverse transkriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp41 dan gp120). Gp120 berhubungan dengan reseptor lymfosit (T4) yang rentan (Widoyono, 2008). Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.

2.1.3 Patogenesis

(4)

HIV cenderung menyerang jenis sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus ini juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel Langerkans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak.

HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satunya ialah tat, gen yang dapat mempercepat replikasi virus sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh dan kelumpuhan inilah yang mengakibatkan timbulnya penyakit opurtunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS (Duarsa, 2011).

2.2 Klasifikasi Klinis HIV/AIDS

(5)

2.2.1 Menurut CDC

Klasifikasi klinis HIV menurut CDC berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4 sebagai berikut.

Tabel 2.1 Klasifikasi HIV Berdasarkan Gejala Klinis dan Jumlah CD4

CD4 Kategori Klinis

Total Persen (%) A (Asimtomatik, infeksi akut)

B

(Simptomatik) C (AIDS)

>500 sel/mL >29 A1 B1 C1

200-499 sel/mL 14-28 A2 B2 C2

<200 sel/mL <14 A2 B3 C3

Sumber : Depkes RI, 2006 2.2.2 Menurut WHO

Tabel 2.2 Klasifikasi HIV Berdasarkan Stadium

Berat Badan (BB) Gejala onikomikosis, ulkus oral yang rekuren (berulang), keilitis angularis (lika di sekitar bibir)

• Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir • Infeksi saluran napas bagian atas (ISPA),

seperti sinusitis bakterialis atau otitis

• TB paru dalam tahun terakhir

(6)

• Retinitas virus sitomegalo

• Herpes simpleks mukokotan >1 bulan • Leukoensefalopati multifocal progresif • Mikosis seminata seperti histoplamosis • Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus

dan paru

Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ditemukan terutama pada pasien TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB.

(7)

HIV tentunya akan memiliki peran dalam peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat.

Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.

2.4 Epidemiologi Ko-Infeksi HIV-TB

Infeksi HIV semakin umum pada populasi dengan prevalensi TB yang tinggi. Misalnya, Amerika Serikat, HIV sudah menjadi hal yang lazim bagi pengguna narkoba suntik dan populasi dengan tingkat kejadian TB yang juga tinggi. Data menunjukkan prevalensi HIV 80% pada pengguna narkoba suntik dengan TB di New York. Meningkatnya angka kejadian HIV/AIDS memberikan kontribusi dalam peningkatan TB di Amerika Serikat secara signifikan.

(8)

aksesibilitas untuk pengobatan infeksi TB. Di negara-negara berkembang, dimana prevalensi infeksi TB pada orang dewasa dapat melebihi 50 persen, penyebaran HIV telah menyebabkan kenaikan angka kejadian TB. Peningkatan morbiditas TB terkait dengan infeksi HIV telah terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika, Thailand, dan negara-negara Amerika Latin. Analisis TB secara global memperkirakan bahwa sekitar sepersepuluh dari semua kasus TB di dunia disebabkan oleh HIV, mulai dari 1 persen di Pasifik Barat hingga sepertiga dari semua kasus di Afrika. Meskipun prevalensi keseluruhan TB rendah, seperempat dari kasus TB di Amerika Serikat disebabkan oleh HIV, hal ini dapat mencerminkan kerentanan sub-populasi tertentu terinfeksi HIV dan tuberkulosis. Meningkatnya angka kejadian tuberkulosis karena epidemi HIV menimbulkan masalah lain yaitu, wabah TB pada orang yang terinfeksi HIV di rumah sakit atau daerah yang penduduknya padat, dan munculnya TB multi drug resistant. (Fishman, 2008).

2.5 Pencegahan Ko-Infeksi HIV-TB 2.5.1 Pencegahan Primer

(9)

Promosi kesehatan dapat dilakukan terintegrasi dengan pelayanan kesehatan maupun program promosi kesehatan lainnya. Dimana dalam hal ini diutamakan pada pelayanan tuberkulosis.

2.5.2 Pencegahan Sekunder 2.5.2.1 Diagnosa HIV

Pemeriksaan diagnosa HIV dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV. Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan melalui KTS atau TIPK dan harus dengan persetujuan pasien.

a. KTS (Konseling dan Tes Sukarela) dilakukan dengan langkah-langkah meliputi: konseling pra tes, tes HIV, dan konseling pasca tes.

b. TIPK (Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan) dilakukan dengan langkah-langkah meliputi: pemberian informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes, pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes, dan konseling.

Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis dan/ atau teknisi laboratorium yang terlatih. Tes HIV dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau EIA (Enzyme Immuno Assay). Sedangkan, konseling wajib diberikan pada setiap orang yang telah melakukan tes HIV oleh konselor terlatih baik tenaga kesehatan maupun non kesehatan (Kemenkes, 2013)

a. Rapid Diagnostic Test(RDT) (Widoyono, 2008)

WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test (dipstick) sehingga hasilnya bisa segera diketahui.

(10)

1. Kehilangan berat badan (BB) >10% 2. Diare Kronik >1 bulan

3. Demam >1 bulan

Sedangkan tanda minornya, antara lain: 1. Batuk menetap >1 bulan

2. Dermatitis pruritis (gatal) 3. Herpes Zoster berulang 4. Kandidiasis orofaring

5. Herpes simpleks yang meluas dan berat 6. Limfadenopati yang meluas

Tanda lain adalah sarkoma kaposi yang meluas dan meningitis kriptokokal.

Jika ada minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau bila terdapat salah satu saja dari tanda lain.

b. Enzyme Immuno Assay (EIA) atauEnzyme-Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA)

(11)

Sumber : Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Nasional, Informasi Dasar HIV-AIDS & IMSLayanan Komprehensif Berkesinambungan

Gambar 2.2 Perjalanan Infeksi HIV

Selama fase permulaan penyakit, dalam darah penderita dapat ditemukan HIV/ partikel HIV dan penurunan CD4. Setelah bebrapa hari terkena infeksi HIV, IgM dapat dideteksi dan setelah 2 minggu IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya, HIV tidak dapat ditemukan lagi dalam peredaran darah dan jumlah sel T4 kembali normal.

(12)

2.5.2.2 Diagnosis TB Paru pada ODHA(Kemenkes RI, 2013)

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

a. Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi

Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadapM.tuberculosisdan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut. b. Pemeriksaan foto toraks

(13)

Sumber: Mpiko Ntsekhe, Cardiology, Department of Medicine, Groote Schuur Hospital, University of Cape Town

Gambar 2.3 Rontgen Dada Seorang Pasien Afrika Selatan dengan Infeksi HIV dan Efusi Perikardial Tuberkulosis

c. Pemeriksaan biakan dahak c.1 Pemeriksaan dahak

(14)

dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.

c.2 Pemeriksaan Biakan

Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :

1) Pasien TB Ekstra Paru 2) Pasien TB Anak

3) Pasien TB BTA Negatif

Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan.

c.3 Uji Kepekaan Obat TB

(15)

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Gambar 2.4 Alur Diagnosa TB Paru

Keterangan:

1. Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain.

2. Antibiotik non OAT : Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan gunakan fluorokuinolon).

(16)

ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadioverdiagnosis

Sulitnya diagnosis TB pada pasien HIV secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering negatif, diperlukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis yang merupakan baku emas untuk diagnosis TB. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahaknya negatif, biakan sangat dianjurkan karena dapat membantu menegakkan diagnosis TB. Perlu juga dilakukan uji sensitivitas obat untuk mengetahui TB-MDR karena HIV merupakan salah satu faktor risiko TB-MDR.

(17)

Sumber: Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV Gambar 2.5 Alur Diagnosa TB Paru pada ODHA

Keterangan:

a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.

b. BTA Positif = sekurang- kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif.

c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.

(18)

e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi sehingga mempercepat penegakan diagnosis.

f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal.

g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.

h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan adalah sebagai berikut:

a. Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien tersebut.

b. Kunjungan kedua:Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.

(19)

mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.

d. Kunjungan keempat:Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan bagaimana respons pasien pada pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga. Untuk pasien yang mempunyai respons yang baik (cepat) terhadap pengobatan PCP atau pengobatan dengan antibiotik, lanjutkan pengobatannya untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed tuberculosis). Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya, perlu dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak.

Jika di Puskesmas dijumpai ODHA yang menderita sakit berat (mempunyai salah satu dari tanda bahaya) maka pasien tersebut harus segera dirujuk ke Fasyankes yang mempunyai sarana lebih lengkap. Jika rujukan tidak dapat segera dilaksanakan, upaya berikut harus dilakukan:

(20)

b. Bila diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA positif), mulailah pengobatan TB dengan pemberian OAT. Pengobatan dengan antibiotik tetap terus dilanjutkan sampai selesai.

c. Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka harus diperhatikan bagaimana respons pemberian antibiotik suntikan setelah pengobatan 3–5 hari. Jika tidak ada perbaikan maka pengobatan TB dapat dimulai dengan pertimbangan dokter, misalnya kemungkinan terdapatnya TB ekstraparu. Penentuan stadium klinis HIV harus dilakukan dan selanjutnya pasien perlu dirujuk ke Fasyankes yang lebih lengkap untuk penegakan diagnosis TB maupun untuk layanan HIV. Bila tetap tidak memungkinkan untuk dirujuk maka pengobatan TB diteruskan sampai selesai.

d. Bila rujukan ke Fasyankes yang lebih lengkap memungkinkan maka unit penerima rujukan harus memberikan tatalaksana pasien tersebut sebagai pasien gawat darurat dan semua pemeriksaan harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan untuk mendiagnosis TB.

2.5.2.2 Diagnosis TB Ekstra Paru pada ODHA

(21)

kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

Pemeriksaan spesimen untuk penegakan diagnosis TB ekstraparu dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan biakan maupun histopatologi. Hasil biakan spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang memberikan hasil positif. Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.

2.5.3 Pencegahan Tersier 2.5.3.1 Pengobatan

A. HIV(Kemenkes RI, 2013)

Pengobatan HIV bertujuan untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup pengidap HIV yang dilakukan secara bersamaan dengan penapisan dan terapi infeksi oportunistik, pemberian kondom dan konseling. Pengobatan AIDS bertujuan untuk menurunkan sampai tidak terdeteksi jumlah virus (viral load) HIV dalam darah dengan menggunakan kombinasi obat ARV.

Pengobatan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan:

a. terapeutik, meliputi pengobatan ARV, pengobatan IMS, dan pengobatan infeksi oportunitis.

(22)

c. penunjang, meliputi pengobatan suportif, adjuvant dan perbaikan gizi. Pengobatan ARV diberikan setelah mendapatkan konseling, mempunyai pengingat minum obat (PMO) dan pasien setuju patuh terhadap pengobatan seumur hidup dan harus diinkasi bagi:

a. penderita HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3;

b. ibu hamil dengan HIV, dan

c. penderita HIV dengan tuberkulosis. B. Tuberkulosis(Kemenkes RI, 2011)

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan memperhatikan riwayat pengobatan sebelumnya. Sehingga penderita tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif

b. Kasus yang sebelumnya diobati

(23)

b.2 Kasus setelah putus berobat (Default)adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

b.3 Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

c. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya.

d. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti:

d.1 Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,

d.2 Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, d.3 Kembali diobati dengan BTA negative.

Catatan:

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

(24)

Tabel 2.3 Rekomendasi Dosis untuk Tiap Jenis Obat Berdasarkan Berat

Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampicin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40)

-Ethambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35)

-Streptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

(WHO, 2009)

Khusus untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun mungkin tidak bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena itu direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mg/kg per hari pada pasien dengan umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin tidak bisa menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari (WHO, 2009).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

(25)

c.1 Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Dan sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

c.2 Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persistersehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

(26)

obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yaitu: pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, atau pasien TB ektra paru.

Tabel 2.4 Panduan OAT yang Diberikan untuk Pasien Baru Berat Badan Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)

3037 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT

38–54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

5570 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

(27)

2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, yaitu : pasien kambuh, pasien gagl atau pasien dengan setelah putus berobat (default).

Selama 56 hari Selama 28

hari streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan

aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250 mg). 3. Kategori Anak : 2HRZ/4HR

(28)

Tabel 2.6 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada Anak Berat Badan (Kg) 2 bulan tiap hari

RHZ (75/50/150)

4 bulan tiap hari RH (75/50)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:

a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.

c. Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit. d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum.

4. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah sebagai berikut:

a. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif. b. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan

silang (cross-resistance)

c. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman

(29)

e. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

f. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari.

g. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT =Directly/Daily Observed Treatmendengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.

Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yaitu :

Km - E - Eto - Lfx - Z - Cs / E - Eto - Lfx - Z - Cs

Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila :

a. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap etambutol.

b. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :

b.1 Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.

(30)

b.3 Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi penyebabnya.

b.4 Terjadi perburukan klinis. C. Tuberkulosis pada ODHA

Tatalaksanan pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak.

Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB. Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :

a. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun dibawah 200/mm3.

b. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4 < 350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.

c. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa memandang nilai CD4.

(31)

Tabel 2.7 Paduan Pengobatan ARV pada Waktu TB Didiagnosis

Lini Pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV 2 NRTI + NVP* Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau

Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r Lini Kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan (bila

sementara menggunakan) paduan mengandung LPV/r

Keterangan :

*) Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu dimulai ART bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan janin). Setelah pengobatan dengan rifampisin selesai dapat dipikirkan untuk memberikan kembali NVP. Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP tidak diperlukan leadin dose. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 menderita TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Alternatif lain, pada ibu hamil trimester pertama dengan CD4 > 250/mm3 atau jika CD4 tidak diketahui, berikan paduan pengobatan ARV yang mengandung NVP disertai pemantauan yang teliti. Bila terjadi gangguan fungsi hati, rujuk ke rumah sakit.

2.5.3.2 Rehabilitas(Kemenkes RI, 2013)

(32)

pengguna napza suntik dengan cara rawat jalan, rawat inap dan program pasca rawat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.. Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial. Hal ini ditujukan untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif secara ekonomi dan sosial.

2.6 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah: Karakteristik infeksi TB pada penderita HIV/AIDS: 1. Sosiodemografi

Umur

Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pekerjaan

Status Pernikahan Tempat Tinggal 2. Jenis TB

Gambar

Gambar 2.1Virus HIV
Tabel 2.2Klasifikasi HIV Berdasarkan Stadium
Gambar 2.2Perjalanan Infeksi HIV
Gambar 2.3Rontgen Dada Seorang Pasien Afrika Selatan dengan Infeksi HIV
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut gambaran infeksi opportunistik pada penderita HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm 3 menjadi 200/mm 3 atau

Sindrom ini sering terjadi pada pasien yang mengalami infeksi. oportunistik TB namun juga dapat timbul pada

• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan. setelah pemberian antibiotika

Dari 226 subjek penderita HIV didapatkan 122 penderita juga menderita TB dan hanya 15 penderita yang didiagnosis limfadenitis TB-HIV namun hanya 11 orang

Dari 226 subjek penderita HIV didapatkan 122 penderita juga menderita TB dan hanya 15 penderita yang didiagnosis limfadenitis TB-HIV namun hanya 11 orang

memberikan reaksi positif pada orang yang terinfeksi TB, tetapi 25% pasien yang terinfeksi TB aktif akan mempunyai hasil tes Tuberkulin yang negatif.. Jadi, bisa disimpulkan

Hasil survey awal yang dilakukan peneliti, penderita yang datang dengan IO yang sudah berat dan pelayanan holistik yang diberikanpun kurang memadai seperti nutrisi yang