• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proporsi Infeksi Opportunistik Pada Penderita Hiv Aids Di Rsup Haji Adam Malik Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proporsi Infeksi Opportunistik Pada Penderita Hiv Aids Di Rsup Haji Adam Malik Tahun 2010"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.3 HIV/AIDS

2.3.1 Epidemiologi 1. Situasi Global

Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda

menentukan karakteristik penyakit HIV di setiap daerah. Angka

seroprevalensi di antara pengguna obat suntik sangat bervariasi di

seluruh dunia, namun epidemi terkini terjadi di Eropa bagian

timur, Rusia, dan India bagian utara (Mandal, 2008).

Tabel 2.1. Rekapitulasi Global Epidemi AIDS

Jumlah orang yang hidup dengan HIV tahun 2008 Total 33,4 juta [31,1 juta-35,8 juta] Dewasa 31.3 juta [29,2 juta-33,7 juta] Wanita 15,7 juta [14,2 juta-17,2 juta] Anak < 15 tahun 2,1 juta [1,2 juta-2,9 juta] Orang yang baru terinfeksi HIV tahun 2008 Total 2,7 juta [2,4 juta- 3,0 juta] Dewasa 2,3 juta [2,0 juta-2,5 juta] Anak < 15 tahun 430.000 [240.000-610.000] AIDS-dengan kematian tahun 2008

Total 2,0 juta [1,7 juta-2,4 juta] Dewasa 1,7 juta [1,4 juta-2,1 juta] Anak < 15 tahun 280.000 [150.000-410.000]

Catatan: jarak estimasi pada tabel dibagi batas jumlah yang

aktual, berdasarkan informasi terbaik yang tersedia.

(2)

Gambar 2.1. Diagnosis Infeksi HIV pada dewasa dan remaja

dilhat dari perilaku sex dan kategori transmisi, 2009–40 negara

dan 5 area dependen Amerika Serikat.

Sumber: CDC, 2009

Tabel 2.2. Epidemiologi HIV/AIDS di Asia

Jumlah orang yang hidup dengan HIV

2008: 4,7 juta [3,8 juta-5,5 juta]

2001: 4,5 juta [3,8 juta-5,2 juta] Jumlah Infeksi

Jumlah anak yang baru terinfeksi

Sumber: UNAIDS dan WHO, 2009

2. Situasi Nasional

Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia

pada tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang

dilaporkan di Indonesia datri tahun ke tahun secara kumulatif

(3)

Pada tahun 2006 Ditjen PP & PL Depkes RI mengadakan

kegiatan estimasi populasi rawan tertular HIV dengan hasil

sebagai berikut:

Tabel 2.3. Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV Tahun 2006

No. Kelompok Rawan Terinfeksi HIV Estimasi Jumlah ODHA 1. Penyalahguna NAPZA suntik (IDU) 90.000 2. Non-IDU partner dari IDU 12.810 3. Wanita Penjaja Seks (WPS) 8.910

4. Pelanggan WPS 28.340

5. Pasangan pelanggan WPS 5.200 6. Laki-laki Suka Laki-laki (LSL) 9.160

7. Waria 3.760

8. Pelanggan waria 2.230

9. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)

5.190

10. Umum 27.470

Total 193.070

Sumber: Depertemen Kesehatan RI, 2006

Pada April 2009, jumlah penderita HIV dan AIDS di

Provinsi Sumatera Utara berjumlah 1680 (AIDS 872+HIV808),

dengan kasus terbanyak pada kota Medan dengan jumlah 581

penderita AIDS dan HIV 600 orang, menyusul Deli Serdang

berjumlah 142 (HIV 76+AIDS 66) penderita. Jumlah penderita

AIDS yang meninggal di Provinsi Sumatera Utara yang

dilaporkan berjumlah 124 orang sampai dengan April 2009 (KPA

(4)

2.3.2 Dasar Virologi dan Infeksi HIV 1. Struktur Genomik HIV

Acquired immune defficiency syndrome (AIDS) dapat

diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan

oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV

(Human Immmunodeficiency Virus) yang termasuk famili

retroviridae, AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV

(Djoerban, 2007). HIV adalah retrovirus, anggota genus

Lentivirus, dan menunjukkan banyak gambaran fisikomia yang

merupakan ciri khas famili. Genom RNA lentivirus lebih

kompleks daripada genom RNA Retrovirus yang bertransformasi.

Virus mengandung tiga gen yang dibutuhkan untuk replikasi

retrovirus – gag, pol, dan env (Brooks, 2004.)

Gambar 2.2. Peta genome dari Lentivirus

Sumber: Osmand, 2002

(5)

Tabel 2.4. Antigen Mayor HIV, Tipe-1

Gen Produk Gen

Group-specific antigen/core (GAG)

P(protein) 18, p24, p55

Polymerase (POL) P31, P51, P666 Envelope (ENV) Gp (glycoprotein)41,

gp120, gp160

Sumber: Winn, 2006

2. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target

HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan

replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di

dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung

HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada

permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4+). Sel

target utama adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor

CD4 (astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s

dendritik).

Gambar 2.3. Poin potensial dari intervensi pada siklus hidup HIV

(6)

2.3.3 Transmisi Infeksi HIV

1. Transmisi melalui kontak seksual

Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi

HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam

cairan semen, cairan vagian, cairan serviks. Transmisi infeksi HIV

melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya

terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek,

anus sering terjadi lesi.

2. Transmisi melalui darah atau produk darah

Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama

homseksual) dan dari suntikan darah yang terinfeksi atau produk

darah (Asjö, 2002). Diperkirakan bahwa 90 sampai 100% orang

yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIVakan mengalami

infeksi. Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko

infeksi HIV-1 melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi

HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000

(Nasronudin, 2007). Pemeriksaan antibodi HIV pada donor darah

sangat mengurangi transmisi melalui transfusi darah dan produk

darah (contoh, konsentrasi faktor VIII yang digunakan untuk

perawatan hemofolia) (Lange, 2001)

3. Transmisi secara vertikal

Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang

terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil , persalinan, dan

setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka

penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan

10-20%, dan saat pemberian ASI 10-20% (Nasronudin, 2007). Di

mana alternatif yang layak tersedia, ibu-ibu positif HIV-1 tidak

boleh menyusui bayinya karena ia dapat menambah penularan

perinatal (Parks, 1996). Selama beberapa tahun terakhir,

ditemukan bahwa penularan HIV perinatal dapat dikaitkan lebih

(7)

Penularan vertikal lebih sering terjadi pada kelahiran preterm,

terutama yang berkaitan dengan ketuban pecah dini (Cunningham,

2004).

4. Potensi transmisi melalui cairan tubuh lain

Walaupun air liur pernah ditemukan dalam air liur pada

sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang

menyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi HIV baik

melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu

bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu, air liur dibuktikan

mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga

belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata,

keringat dan urin dapat merupakan media transmisi HIV

(Nasronudin, 2007).

5. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium

Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa

risiko penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam

lainnya yang tercemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV

adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV ke membran

mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitara 0,09%. Di

rumah sakit Dr. Sutomo dan rumah sakit swasta di Surabaya,

terdapat 16 kasus kecelakaan kerja pada petugas kesehatan dalam

2 tahun terakhir. Pada evaluasi lebih lanjut tidak terbukti terpapar

HIV (Nasronudin).

2.3.4 Patogenesis dan Patofisiologi HIV 1. Patogenesis

Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel

CD4, yang memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga

memungkinkan pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya

CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi penyatuan pori yang

(8)

Gambar 2.4. Patofisiologi HIV

Sumber: Castillo, 2005

Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA

ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse transcriptase

(RT) yang dibawa oleh virus. Ini merupakan proses yang sangar

berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya DNA ini ditranspor

ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel

pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus.

Pada aktivasi sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini

dan selanjutnya di translasi menyebabkan produksi protein virus.

Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim

(misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein

struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk

menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan

sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru

(virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi

dan mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup (hampi semua

infeksi adalah grup M) dan subtipe (grup B domina di Eropa)

(9)

2. Patofisiologi

Karena peran penting sel T dalam “menyalakan” semua

kekuatan limfosit dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap

sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus AIDS secara selektif

menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan

sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus

ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem

imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga

timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang

dijumpai pada sebagian pasien AIDS (Sherwood, 2001).

Gambar 2.5. Patogenesis HIV

Sumber: Fauci, 2003

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan

DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV,

seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang

(10)

tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10

tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi

HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala

yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan

kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi

akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa

tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun

(Djoerban 2008).

Gambar 2.6. Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan

perkembangan virus berkesinambungan pada infeksi HIV yang

tidak diterapi.

Sumber: Bennet, 2011

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat,

klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi

HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan dengan

replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,

untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan

(11)

2.3.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Infeksi HIV/AIDS 1. Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan

berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia

diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat

bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya

didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor (Nasronudin,

2007).

Tabel 2.5. Gejala Mayor dan Minor pada Pasien HIV & AIDS

Gejala Karekteristik

Mayor Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan Diare kroniks yang berlangsung lebih dari 1 bulan

Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

Penurunan kesadaran dan ganggguan neurologis

Ensefalopati HIV

Minor Batuk menetap lebih dari 1 bulan Dermatitis generalisata

Herpes zoster multisegmental berulang

Kandidiasis orofaringeal

Herpes simpleks kroniks progresif

Limfadenopati generalisata

Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Retinitis oleh virus sitomegalo

Sumber: Nasronudin, 2007

Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai

ketentuan WHO melalui stadium klinis pada orang dewasa serta

(12)

Klasifikasi Klinis dan CD4 (CDC)

Tabel 2.6. Klasifikasi klinis dan CD4 orang dewasa menurut

CDC

Limfosit CD4 Kategori A (asimtomatis,

Sumber: Nasronudin, 2007

2. Pemeriksaan

Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk

menentukan adanya infeksi HIV. Salah satu cara penentuan

serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA, mempunyai

sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan

serologi HIV sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda.

Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih spesifik

Western blot (Nasronudin, 2007).

Tes serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi

WB. Melalui WB dapat ditentukan antibodi terhadap komponen

protein HIV yang meliputi inti (p17, p24, p55), polimerase (p31,

p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160).

Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes

penapisan melalui EIA terdapat potensi false positif 2%.

Interpretasi WB meliputi (Nasronudin, 2007):

a. Negatif: tidak ada bentukan pita

b. Positif: reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24

c. Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi

(13)

Akurasi pemeriksaan serologi standar (EIA dan WB atau

immunoflourescent assay) sensitivitas dan spesifitasnya mencapai

> 98%(Nasronudin, 2007).

2.3.6 Penatalaksanaan Klinis Infeksi HIV/AIDS

Penatalaksanaan penderita AIDS di UPIPI (Nasronudin, 2007)

a) Penatalaksanaan Umum

Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis

makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV&AIDS,

konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial,

membiasakan gaya hidup sehat antara lain membiasakan senam

seperti yang dilakukan di UPIPI.

b) Penatalaksanaan Khusus

Pemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi

infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi

malignansi.

Terapi Antiretroviral

Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja

pada penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh

langkah-langkah yang arif dan bijaksana, serta mempertimbangkan berbagai

faktor; dokter telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek

samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV; kesanggupan dan

kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak

terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV

(14)

Tabel 2.7. Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita

dewasa menurut WHO (2006).

Stadium Klinis WHO

Pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan

Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan

I ARV belum direkomendasikan

Terapi bila CD4 <200 sel/

mm3

II ARV belum direkomendasikan

Mulai terapi bila CD4

<200 sel/mm3

III Mulai terapi ARV Pertimbangkan terapi bila CD4 <350 sel/mm3acd dan

mulai ARV sebelum CD4

turun <200 sel/mm3

IV Mulai terapi ARV Terapi tanpa

mempertimbangkan

jumlah CD4

Sumber: Nasronudin, 2007

2.4 Infeksi Opportunistik dan HIV/AIDS

Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan

stadium lanjut infeksi HIV adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat

yang diinduksi oleh agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada

individu yang imunokompeten. Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi

pada pasien yang terinfeksi HIV hingga jumlah sel T CD4 turun dari kadar

normal sekitar 1.000 sel/µl menjadi kurang dari 200 sel/ µl. Ketika

pengobatan terhadap beberapa patogen oportunistik umum terbentuk dan

penatalaksanaan pasien AIDS memungkinkan ketahanan yang lebih lama,

(15)

Tabel 2.8. Pola Infeksi Oportunistik di RS Ciptomangunkusumo (n=698)

Infeksi Oportunistik %

Kandidiasis (orafaring, esofagus) 40

TBC paru 37,1

Diare kronik 27,1

Pneumonia bakteri 16,7

Toksoplasma ensefalitis 12

TBC luar paru 11,8

Herpes Zoster 6,3

Sumber: Merati, 2007

2.4.1 Patogen Penyebab

Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) ,

tubuh secara gradual akan mengalami penurunan imunitas akibat

penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada keadaan di mana

jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada keadaan di mana jumlah

limfosit CD4 <200/ml atau kurang, sering terjadi gejala penyakit

indikator AIDS. Spektrum infeksi yang terjadi pada keadaan imunitas

tubuh menurun pada infeksi HIV ini disebut infeksi oportunistik

(Merati, 2007).

Perjalan menuju infeksi oportunistik pada pengidap HIV

sangat ditentukan oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap

HIV tersebut. Regulasi imun ternyata dikendalikan oleh faktor

genetik, imunogenetika, salah satunya adalah sistem HLA yang pada

setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang karakteristik. Pada

awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon

imun yang terjadi adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi

down regulation karena kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan

terjadi exhausted dari sistem imun. Keadaan ini menyebabkan tubuh

pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik

(16)

Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan

flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten

dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum IO pada

defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu

dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran

IO yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun

jumlah limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit

mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian. Pegobatan

dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga

jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan

keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme

yang sering menyebabkan IO terdapat di lingkungan hidup kita yang

terdekat, seperti air, tanah, atau organisme tersebut memang berada

dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara laten lalu

mengalami reaktivasi (Merati, 2007).

Tabel 2.9. Penyebab Infeksi Oportunistik pada AIDS, Sumber dan

Transmisinya

Organisme Sumber Cara

Transmisi

Penularan Orang ke

Orang Bakteria

1. MTB Reaktivasi endogen,

orang sakit

inhalasi Ya

2. MAC Air, tanah Inhalasi,

ingestion

Tidak

3. Salmonella Air, tanah ingestion Tidak

(17)

2. Herpes Zozter Reaktivasi endogen, orang sakit

Tidak tentu Tidak tentu

3. CMV Reaktivasi endogen, orang sakit

Seksual,

darah

Ya

4. EBV Reaktivasi endogen, orang sakit

Inhalasi Mungkin

2. Toksoplas-ma

Gondii

Reaktivasi endogen, orang sakit

Ingestion Tidak

3.

Mikrospori-2. Kriptokokkus

Neoforman

Tanah, kotoran

burung/ binatang

Inhalasi Tidak

3. Aspergillus Tanah Inhalasi Tidak

4. Histoplasma

Capsulatum

Air, tanah Inhalasi/ing

-estion

Tidak

5. Coccidioido

immitis

Air, tanah Inhalasi/ing

-estion

Tidak

Sumber: Merati, 2007

1. Penyakit kulit dan mulut

Pasien-pasien yang menderita AIDS (acquired

immunodeficiency syndrome) mengalami peningkatan risiko

terjadinya sejumlah kelainan mukokutan, yaitu (Brown, 2005):

(18)

b. “leukoplakia berambut” di mulut–terdapat kerutan-kerutan

putih pada bagian tepi lidah yang disebabkan oleh virus

Epstein-Barr.

c. Infeksi stafilokokus, herpes zoster, moluskum kontangiosum,

dan infeksi jamur dermatofit lebih mudah timbul pada

pasien-pasien AIDS.

d. Serangan herpes simpleks terjadi lebih sering dan lebih hebat,

dan lesi-lesi bisa menjadi kronis.

e. Sarkoma Kaposi: suatu tumor yang dianggap berasal dari

enotel pembuluh darah dan ada hubungannya dengan infeksi

human herpes virus type 8 (HHV-8). Lesi biasanya multipel,

dan dapat timbul pada bagian manapun di kulit, begitu pula

pada bagian organ-organ dalam. Kelainan ini jarang

menyebabkan kematian pada pasien AIDS, yang biasanya

meninggal akibat terjadinya infeksi yang menyertainya.

Merupakan tumor yang radiosensitif.

f. Psoriasis yang sudah ada sebelumnya pada pasien AIDS dapat

menjadi lebih hebat dan ekstensif.

g. Angiomatosis basiler. Lesi ini disebabkan oleh basil

Bartonella henselae.

h. Angiomatosis basiler. Lesi ini disebabkan oleh basil

Bartonella henselae. Lesi yang seperti angioma ini terjadi pada

kulit, mukosa, dan organ dalam. Kelainan ini dapat diobati

dengan eritromisin.

i. Kelainan-kelainan terkait obat. Obat-obat antiretrovirus yang

saat ini digunakan secara luas untuk mengobati infeksi HIV

dapat menyebabkan timbulnya bercak-bercak pada kulit dan

terjadinya pigmentasi pada kuku.

j. Infeksi varicella-zoster virus (VZV) dapat menjadi buruk,

kronis, dan dapat menjadi komplikasi infeksi parenkim,

(19)

imunodefisiensi, infeksi VZV memiliki tampilan klinis seperti

lesi verukus dermatom kronik; satu atau lebih nyeri ulkus

kronik tau lesi ektimatus, ulkus, atau nodulmenyerupai

karsinoma sel basal atau karsinoma sel squamos. Herpes zoster

dapat rekuren pada dermatom yang sama atau

dermatom-dermatom lainnya (Fitzpatrick, 2001).

2. Penyakit Gastrointestinal

Penyakit terkait HIV seringkali melibatkan saluran

gastrointestinal (GI). Penurunan berat badan dan selera makan

merupakan gejala umum apapun patologinya (Mandal, 2008).

a. Penyakit esofagus biasanya timbul dengan keluhan nyeri saat

menelan dan disfagia. Kandidiasis merupakan penyebab 80%

kasus (terjadi pada 30% pasien dengan OCP). Plak

pseudomembranosa tampak saat pemeriksaan barium meal

sebagai defek pengisian (filling defects) dan saat endoskopi.

b. Penyakit usus halus sering berhubungan dengan diare cair

bervolume banyak, nyeri perut dan malabsorpsi. Bila terdapat

imunidefisiensi sedang (100-200 CD4 sel/mm3),

Cryptosporidium, mikrosporidium, dan Giardia merupakan

penyebab yang mungkin. Bila kadar CD4 <50 sel/mm3,

Mycobacterium avium intercelluler (MAI) dan CMV

merupakan diagnosis alternatif.

c. Penyakit usus besar timbul sebagai diare (sering berdarah)

bervolume sedikit yang disertai dengan nyeri perut. Suatu

patogen enterik bakterial standar mungkin berperan seperti

Clostridium difficile. Kolitis CMV merupakan diagnosis

penting pada pasien dengan hitung CD4 rendah yang terjadi

pada hingga 5% pasien. Penegakan diagnosis diakukakn

melalui endoskopi yang sering memperlihatkan ulkus dalam

(20)

biopsi. Megakolon toksik, perdarahan, dan perforasi dapat

menyebabkan komplikasi pada infeksi.

3. Penyakit hepatobilier

a. Penyakit bilier dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi

CMV, Crytosporidium, atau mikrosporidium dalam bentuk

kolangitis sklerosans atau kolesistitis akalkulia. Manifestasinya

adalah nyeri kuadran kanan atas, muntah, dan demam; ikterus

jarang terjadi. Pada kolangitis sklerosans, peningkatan

fosfatase alkali dan γ-glutamil transferase serum biasanya mendahului timbulnya ikterus. Pencitraan ultra sonografi

memperlihatkan pelebaran saluran empedu. Akan tetapi,

endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)

penting untuk memperlihatkan gambaran menyerupai kabut

intrahepatik dan ekstrahepatik yang khas untuk kolangitis

sklerosans (Mandal, 2008).

b. Penyakit hati dapat disebabkan oleh koinfeksi dengan HBV

atau HCV. Koinfeksi hepatitis B atau C menjadi masalah yang

meningkat pada HIV. Pada kedua hepatitis tersebut, viremia

lebih tinggi dan penyakit lebih agresif. Pada koinfeksi HBV,

imunosupresi yang terlihat pada penyakit tahap lanjut dapat

memberikan suatu perlindungan, karena kerusakan hepar

diperantarai oleh sistem imun. Stimulan imun (interferon) dan

antivirus (3TC, tenofovir) memiliki peran dalam pengobatan.

Pada hepatitis C, respons terhadap inerferon dan ribavirin tidak

(21)

4. Penyakit Paru

Lebih dari setengah pasien-pasien dengan HIV akan

mengalami penyakit paru pada suatu waktu tertentu. Beberapa

faktor mempengaruhi kemungkinan penyebabnya termasuk hitung

CD4, etnis, dan usia, kelompok risiko, serta riwayat profilaksis

PCP.

Tabel 2.10. Diagnosis Banding Gambaran Rontgen Toraks

Gambaran Rontgen Penyebab Utama

Infiltrat difus Pneumonia pneumocystis carinii, tuberkulosis (milier), KS, NHL

Konsolidasi nodul/fokal

KS, tuberkulosis, NHL, pneumonia

bakterial piogenik

Limfadenopati hilus Tuberkulosis, KS, NHL

Efusi pleura KS, tuberkulosis, pneumonia bakterial piogenik

KS, sarkoma Kaposi; NHL, limfoma non-Hodgkin. Sumber: Mandal, 2008

5. Penyakit sistem saraf/mata

Penyakit sistem saraf umum terjadi pada infeksi HIV.

Kategori manifestasinya yang luas merupakan lesi desak ruang

(spaceoccupying lesion), suatu penyakit demensia global, serta

penyerta saraf radiks dan perifer (Mandal, 2008).

Tabel. 2.11. Diagnosis Banding Penyakit Sistem Saraf dan Mata

Lokasi Penyakit

Manifestasi Penyebab Utama

Otak Lesi desak ruang Toxoplasma, PCNSL, PMFL

Ensefalopati HIV, CMV

(22)

meningitis Cryptococcus

Medula spinalis Paraparesis spastic Mielopati vakuolar HIV

Radiks saraf Kelemahan/ baal pada tungkai,

inkontinensia

CMV

Saraf perifer Nyeri, baal pada tungkai

HIV, obat-obatan

(ddC, d4T, dll)

Retinitis Floater, defek lapang pandang

Asimtomatik HIV

CMV, sitomegalovirus; PMFL, progressive multifocal leucoencephalopathy; PCNSL, primary CNS; VZV, virus varisela zoster.

Sumber: Mandal, 2008

6. Kondisi diseminata dan lain-lain

Dalam keadaan deplesi imun yang berat (CD4<50

sel/mm3), penyakit diseminata tidak jarang terjadi dan patogen OI

multipel dapat diidentifikasi (misalnya MAI, CMV). Seringkali

manifestasinya adalah gejala nonspesifik berupa demam dan

penurunan berat badan dengan bukti anemia pada uji laboratorium.

1. Sumsum tulang. Anemia tidak jarang terjadi pada HIV tahap

lanjut. Penyebabnya banyak namun infiltrasi sumsum tulang

(misalnya MAI, NHL), supresi sumsum tulang (ZDV),

kehilangan darah (sarkoma Kaposi gastrointestinal), dan

(23)

Leukopenia biasanya terdapat pada keadaan penggantian

sumsum tulang seperti di atas atau toksisitas obat. Limfopenia

merupakan penanda untuk HIV dan fungsi imunologis.

Trombositopenia dapat timbul pada awal (5-10%) dengan

manifestasi yang serupa dengan ITP: responsnya terhadap

imunoglobulin baik namun hanya jangka penek; pengobatan

pilihan adalah HAART.

2. Mycobacterium avium-intercellulare merupakan

mikobakterium lingkungan yang umumnya terdapat dalam air

dan makanan. Infeksi terjadi setelah kolonisasi slauran

pernapasan dan gastrointestinal dalam sebagian besar kasus.

Penyakit diseminata:

a. Hanya terjadi bila hitung CD4 < 50 sel/mm3.

b. Mengenai semua organ (terutama sistem retikuloendotelial)

dengan infiltrasi masif organisme dan respons inflamasi

minimal.

c. Timbul sebagai demam, berkeringat, penurunan berat

badan, diare kronik, muntah dan nyeri perut;

hepatosplenomegali dan limfadenopati biasa didapatkan

pada pemeriksaan fisik. CT scan biasanya menunjukkan

limfadenopati intraabdomen dan mediastinum.

2.4.2 Profilaksis untuk Infeksi Oportunistik

Penelitian yang sahih telah membuktikan efektifitas profilaksis

kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan dari

berbagai tingkat latar belakang resisten terhadap kotrimoksasol dan

prevalensi malaria. Oleh karena itu dianjurkan bagi semua ODHA

dewasa dan remaja yang memenuhi kriteria klinik dan imunitas untuk

terapi ARV harus pula diberi profilaksis kotrimoksasol untuk

mencegah serangan PCP dan toksoplasmosis (Depertemen Kesehatan,

(24)

Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA

menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptoporidiasis yang sebelumnya

sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit

oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan

infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan (Djoerban, 2007).

Pemberian obat antiretroviral akan menekan jumlah HIV

dalam darah sehingga penghancuran CD4 dapat dikurangi. Namun

demikian kekebalan tubuh juga dapat menimbulkan sindrom imun

rekonstitusi yaitu sindrom yang timbul akibat terjadinya proses radang

setelah kekebalan tubuh pulih kembali. Sindrom ini dapat berupa

demam, pembengkakan kelenjar limfe, batuk serta perburukan foto

toraks. Sindrom ini sering terjadi pada pasien yang mengalami infeksi

oportunistik TB namun juga dapat timbul pada infeksi oportunistik

Gambar

Tabel 2.1. Rekapitulasi Global Epidemi AIDS
Gambar 2.1. Diagnosis Infeksi HIV pada dewasa dan remaja
Tabel 2.3. Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV Tahun 2006
Gambar 2.2. Peta genome dari Lentivirus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 5.5 Jenis protozoa usus yang menyebabkan infeksi oportunistik pada pasien AIDS. Frekuensi

Tujuan Penelitian : Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sindrom depresif pada penderita-penderita HIV/AIDS dengan menggunakan kuesioner BDI dan tujuan

Pendahuluan: Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit paling tidak selama 72 jam dan pasien

Pendahuluan: Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit paling tidak selama 72 jam dan pasien

Gambar 5.12 Diagram Batang Proporsi Jumlah CD4 Berdasarkan Jenis TB Terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik TB di Rumah Sakit Umum PusatH.Adam Malik

Tabel 4.8 Distribusi Proporsi Jumlah TB Berdasarkan Stadium HIV terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik. Tahun

Untuk mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) tuberkulosis (TB), dilakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat H.. Adam

Gambar 5.12 Diagram Batang Proporsi Jumlah CD4 Berdasarkan Jenis TB Terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik TB di Rumah Sakit Umum PusatH.Adam Malik