HUBUNGAN JUMLAH CLUSTER OF DIFFERENTIATION 4 (CD4) DENGAN INFEKSI OPORTUNISTIK PADA PASIEN HIV/AIDS DI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN JANUARI SAMPAI DESEMBER 2012
Oleh:
MARINI YUSUFINA LUBIS
100100031
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN JUMLAH CLUSTER OF DIFFERENTIATION 4 (CD4) DENGAN INFEKSI OPORTUNISTIK PADA PASIEN HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
JANUARI SAMPAI DESEMBER 2012
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh:
MARINI YUSUFINA LUBIS
100100031
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hubungan Jumlah Cluster of Differentiation 4 (CD4) dengan Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Januari sampai Desember 2012
Nama : Marini Yusufina Lubis NIM : 100100031
Pembimbing
dr. Rita Evalina, SpA (K) (140360090)
Penguji I
DR. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes (NIP.19690609 199903 2 001)
Penguji II
dr. Flora Marlita Lubis, SpKK (NIP.19770323 200912 2 002)
Medan, 11 Januari 2014 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan infeksi yang menyerang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV menyebabkan penurunan jumlah CD4 sehingga meningkatkan progresifitas penyakit dan menyebabkan tingginya risiko terkena infeksi oportunistik (IO). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS.
Penelitian ini bersifat analitik menggunakan desain cross sectional, dengan mengambil data rekam medik. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien positif HIV/AIDS berusia lebih dari 12 tahun di Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2012. Data hasil penelitian diolah dengan uji hipotesis Chi Square.
Berdasarkan hasil uji hipotesis dari 209 pasien, terdapat 191 orang memiliki infeksi oportunistik. Heteroseksual merupakan kemungkinan risiko penularan yang paling tinggi (83,3%). Demam merupakan gejala klinis yang paling dominan (29,7%). Oral kandidiasis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai (53,6%). Hubungan signifikansi terlihat pada rendahnya jumlah CD4 (<200 sel/mm3) dan didapati nilai p sebesar 0,001 (CI 95%) yang menunjukkan bahwa ada hubungan jika p< 0,005.
Dari hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik.
The Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection is commonly destroy and depress the body immune system. With the progression of the disease there is a fall in CD4 count, which increases the risk of opportunistic infections (OIs). This research, demonstrates the relationship between CD4 count and occurance of opportunistic infection in HIV/AIDS infected patients.
This research was made on an analytic design with cross sectional approach, using medical record files as samples. The population in this research were all patient HIV/AIDS positive aged more than 12 years old in Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan between Januari to December 2012. Research data was analyzed with Chi Square hypothesis test.
Of the 209 patients, according to hypothesis test analysis were found that 192 patients
with opportunistic infections. The heteroxesual was the higgest probable risk transmission (83,3%). Fever is the predominat clinical manifestation (29,7%). Oral candidiasis was found to be the predominant OIs (53,6%). Significant relationship could be established between low CD4 count (<200 cell/mm3) and the p 0,001 (CI 95%), which the result had significant meaning if the p < 0.005.
There is a relation between CD4 count with opportunistic infection.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk ilmu yang dikaruniakan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul “Hubungan Jumlah Cluster of Differentiation 4 (CD4) dengan Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Januari sampai Desember 2012” dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Besar harapan Penulis penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran, dan menjadi masukan yang berarti khususnya dalam upaya diagnosis dan menilai progresifitas dari HIV/AIDS.
Dalam penelitian dan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini Penulis telah banyak mendapatkan bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan, rasa hormat, dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. dr. Rita Evalina Rusli, SpA(K), selaku Dosen Pembimbing dalam tugas Karya Tulis Ilmiah ini, atas segala kesabaran dalam proses bimbingan dan ilmu yang telah diberikan.
2. dr. Flora Marlita Lubis, SpKK dan DR. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku Dosen penguji Karya Tulis Ilmiah ini, atas kritik dan saran yang membangun.
3. Komisi Etik dan Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah menyetujui pelaksanaan penelitian ini.
4. Pihak Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan di bagian Klinik Pusyansus VCT (Pusat Pelayanan Khusus Voluntary Counseling Test) Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, atas izin penelitian yang diberikan.
5. Seluruh dosen dan staff pengajar Program Studi Pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
8. dr. Putri Annisa Melia Sari, atas kritik, saran, motivasi, dan nasihat yang mendewasakan.
9. Sahabatku, Desy Handayani terima kasih atas semua semangat, teguran, doa, tawa, dan senyuman yang telah diberikan selama ini.
10.Rekan-rekan seperjuangan di PHBI FK USU, SCORE PEMA FK USU, dan TBM FK USU PEMA FK USU yang penulis cintai karena Allah.
11.Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung.
Seperti kata pepatah tiada gading yang tak retak, Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah ‘azzawajalla. Sebagai manusia Penulis masih memiliki banyk kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif guna proses penyempurnaan dan perbaikan. Semoga penelitian ini pada akhirnya dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Medan, Desember 2013 Penulis
3.2. Definisi Operasional ... 24
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN………. 29
5.1. Hasil Penelitian ………..…. 29
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………..… 29
5.1.2. Karakteristik Responden ………..….. 29
5.1.3. Hasil Analisis Data ……….….... 31
5.2. Pembahasan ………...… 36
5.2.1.Hubungan Karakteristik Individu terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan... 37
5.2.1.1.Hubungan Usia terhadap Infeksi Oportunistik ... 37
5.2.1.2.Hubungan Jenis Kelamin terhadap Infeksi Oportunistik ... 38
5.2.1.3.Hubungan Pekerjaan terhadap Infeksi Oportunistik …... 39
5.2.1.4.Hubungan Kemungkinan Risiko Penularan terhadap Infeksi Oportunistik ………... 39
5.2.1.5.Hubungan Stadium terhadap Infeksi Oportunistik dan Jumlah CD4 ………..……. 40
5.2.1.6.Hubungan Gejala Klinis terhadap Infeksi Oportunistik dan Jumlah CD4 ………..……….... 40
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……… 43
6.1. Kesimpulan ………. 43
6.2. Saran ………...… 44
DAFTAR PUSTAKA ... 45
Nomor Judul Halaman
2.1. Persentase AIDS yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko sampai Desember 2012
8
3.1. Definisi Operasional Penelitian 24
5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosiodemografi Subjek 30
5.2. Distribusi Frekuensi Gejala-Gejala Klinis 31
5.3. Distribusi Frekuensi Infeksi Oportunistik 32
5.4. Distribusi Frekuensi Prevalensi Infeksi Oportunistik 33
5.5. Distribusi Frekuensi Jumlah CD4 34
5.6. Distribusi Frekuensi Stadium 34
Nomor Judul Halaman
2.1. Poin Intervensi Potensi pada Siklus Hidup HIV
7
2.2. Patogenesis HIV 9
2.3. Perjalanan Infeksi HIV 12
2.4. Gambaran Waktu Sel CD4 dan Perubahan Perkembangan Virus
14
3.1. Kerangka Konsep Penelitian 24
Lampiran 1 Lembar Hasil Kegiatan Bimbingan Proposal Penelitian Lampiran 2 Lembar Hasil Kegiatan Bimbingan KTI
Lampiran 3 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 4 Rincian Biaya Penelitian Lampiran 5 Jadual Penelitian
Lampiran 6 Ethical Clearance Lampiran 7 Surat Izin Penelitian Lampiran 8 Data Induk
AIDS :Acquired Immuno Deficiency Syndrome
ARV :Antiretroviral
CCR2b : Chemokine reseptor R2b
CCR3 : Chemokine reseptor R3
CCR5 : Chemokine reseptor R5
CD4 :Cluster of Differentiation 4
CMV :Cytomegalovirus
CXCR4 : Chemokine reseptor R4
DNA :Deoxyribo nucleic acid
EBV :Ebstain Barr Virus
GO :Niseria gonorrhoea
gp120 :Glycoprotein 120
gp41 :Glycoprotein 41
HBV :Hepatitis B Virus
HIV :Human Immunodeficiency Virus
HLA :Human leucocyte antigen
IDU :Injected Drug User
IL-1β :Interleukin-1β
IL-2 :Interleukin-2
IRT :Ibu Rumah Tangga
IRT :Ibu Rumah Tangga
mRNA :Messenger ribonucleic acid
NF :Nuclear factor
OC :Oral Candidiasis
ODHA :Orang dengan HIV & AIDS
PCP :Pneummocystis Carinii
Pneumonia
PID :Pelvic inflammatory disease
PNS :Pegawai Negeri Sipil
PSK :Pekerja Seks Komersial
PPD :Purified protein derivative
RNA :Ribo nucleic acid
RPR :Rapid plasma reagent
TB :Tuberculosis
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan infeksi yang menyerang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV menyebabkan penurunan jumlah CD4 sehingga meningkatkan progresifitas penyakit dan menyebabkan tingginya risiko terkena infeksi oportunistik (IO). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS.
Penelitian ini bersifat analitik menggunakan desain cross sectional, dengan mengambil data rekam medik. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien positif HIV/AIDS berusia lebih dari 12 tahun di Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2012. Data hasil penelitian diolah dengan uji hipotesis Chi Square.
Berdasarkan hasil uji hipotesis dari 209 pasien, terdapat 191 orang memiliki infeksi oportunistik. Heteroseksual merupakan kemungkinan risiko penularan yang paling tinggi (83,3%). Demam merupakan gejala klinis yang paling dominan (29,7%). Oral kandidiasis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai (53,6%). Hubungan signifikansi terlihat pada rendahnya jumlah CD4 (<200 sel/mm3) dan didapati nilai p sebesar 0,001 (CI 95%) yang menunjukkan bahwa ada hubungan jika p< 0,005.
Dari hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik.
The Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection is commonly destroy and depress the body immune system. With the progression of the disease there is a fall in CD4 count, which increases the risk of opportunistic infections (OIs). This research, demonstrates the relationship between CD4 count and occurance of opportunistic infection in HIV/AIDS infected patients.
This research was made on an analytic design with cross sectional approach, using medical record files as samples. The population in this research were all patient HIV/AIDS positive aged more than 12 years old in Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan between Januari to December 2012. Research data was analyzed with Chi Square hypothesis test.
Of the 209 patients, according to hypothesis test analysis were found that 192 patients
with opportunistic infections. The heteroxesual was the higgest probable risk transmission (83,3%). Fever is the predominat clinical manifestation (29,7%). Oral candidiasis was found to be the predominant OIs (53,6%). Significant relationship could be established between low CD4 count (<200 cell/mm3) and the p 0,001 (CI 95%), which the result had significant meaning if the p < 0.005.
There is a relation between CD4 count with opportunistic infection.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah menjadi wabah diseluruh dunia dan masalah kesehatan global dengan angka kejadian yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) pada tahun 2011 diperkirakan 34 juta penduduk dunia positif terinfeksi HIV, sekitar 1,7 juta meninggal karena Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), dan 2,5 juta merupakan kasus baru. Posisi pertama ditempati oleh Sub Sahara Afrika, diikuti oleh Association of South East Asia Nation (ASEAN) pada peringkat kedua, dan Eropa Timur serta Asia Tengah menempati peringkat ketiga (UNAIDS, 2012).
Epidemik AIDS menyebar secara cepat di Asia. Lima negara Asia dengan mayoritas terbanyak kasus infeksi HIV adalah India, Myanmar, Nepal, Thailand, dan Indonesia. Empat dari lima negara tersebut dengan epidemik terbanyak yaitu India, Myanmar, Nepal dan Thailand. Sedangkan Indonesia masih tergolong negara dengan epidemik HIV/AIDS yang terus meningkat (WHO, 2012).
Di Indonesia kasus AIDS pertama kali ditemukan pada seorang turis asing tahun 1987 di Provinsi Bali. Sampai dengan Desember 2012, HIV/AIDS tersebar di 345 dari 497 kabupaten/kota di seluruh provinsi dan yang terakhir kali melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat. Di Sumatera Utara sendiri dari tahun 2005 sampai dengan 2012 tercatat sebanyak 6.364 kasus infeksi HIV (Depkes, 2013).
Pada penderita HIV yang memiliki sistem imun buruk dan tidak bekerja secara efektif, risiko dan keparahan infeksi oportunistik akan meningkat, sehingga infeksi oportunistik merupakan penyebab tersering meningkatnya mortalitas dan morbiditas pada pasien-pasien HIV (Sharma, Dhungana, Pokhrel, Rijal, 2010).
Target utama dari HIV adalah populasi sel CD4 yang berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis, sehingga penurunan jumlah dan fungsi sel CD4 menyebabkan gangguan respons imun dominan yang progresif. Pengukuran kadar sel CD4 penderita HIV/AIDS penting dilakukan secara rutin untuk mengetahui waktu pemberian terapi antiretroviral serta pencegahan infeksi oportunistik (Taylor, Fahey, Detels, Giorgi, 1989).
Beberapa literatur menyebutkan bahwa ada korelasi antara penurunan jumlah CD4 dengan kejadian infeksi oportunistik. Seperti pada tahun 2011 di Brazil tercatat bahwa ditemukan 9 dari 45 penderita HIV mem punyai kavitas di rongga mulut dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3 pada daerah dengan prevalensi tinggi infeksi Staphylococcus aureus dan Pseudomonas (Back-Brito et al, 2011). Di Bangkok juga tercatat selama tahun 2010, sekitar 10 dari 131 sampel darah pasien seropositif Cryptococcosis dengan jumlah CD4 <100 sel/mm3 (Pongasai, Atamasirikul, Sungkanuparph, 2010).
Berbagai infeksi oportunistik yang sering terjadi pada pasien HIV/AIDS adalah toksoplasmosis, kriptokokal, pneumonia, tuberkulosis paru, infeksi virus sitomegalo, sepsis, pneumoniakistik karinii, diare kronis, kandidiasis oroesofageal dan manifestasi infeksi pada kulit (Nasronudin, 2007).
CD4. Jumlah CD4 dapat menjadi penanda yang baik untuk menilai perkembangan dari HIV dan kemungkinan infeksi oportunistik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang disebutkan diatas maka, rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
a. Bagaimanakah hubungan jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS di RSUP. H. Adam Malik Medan?
b. Bagaimana hubungan jumlah CD4 dengan jenis infeksi oportunistik?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS di RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui prevalensi infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS di RSUP. H. Adam Malik Medan.
2. Mengetahui karakteristik pasien HIV/AIDS.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1.4.1. Bagi Objek Penelitian atau Masyarakat
a. Pengetahuan dan informasi tentang bagaimana hubungan jumlah CD4 dengan kejadian infeksi oportunistik.
1.4.2. Bagi Tenaga Kesehatan
a. Meningkatkan penyuluhan pencegahan terhadap infeksi oportunistik dan komplikasi-komplikasinya yang bisa menyebabkan tingginya angka kematian dan kesakitan HIV/AIDS.
1.4.3. Bagi RSUP.Haji Adam Malik Medan
a. Menambah informasi tentang pengaruh jumlah CD4 dengan terjadinya infeksi oportunistik pada pasien-pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan.
b. Bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berhubungan dengan penelitian ini.
1.4.4. Bagi Peneliti
a. Sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah dalam bentuk melakukan penelitian ilmiah secara mandiri. b. Memenuhi tugas mata kuliah Community Research Program sebagai
prasyarat untuk menyelesaikan program pendidikan Sarjana Kedokteran. c. Sebagai masukan dan rujukan untuk instansi dan mahasiswa yang akan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIV/AIDS 2.1.1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi. Virus ini menyerang dan merusak fungsi sel-sel pertahanan tubuh, sehingga imunitas tubuh akan terus menurun secara progresif. Akibat imunitas tubuh yang melemah, terjadi kerentanan terhadap berbagai infeksi dan penyakit, walaupun infeksi tersebut dapat diatasi atau sembuh bila menyerang pasien imunitas tubuh yang baik (WHO, 2011).
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan melemahnya fungsi sistem kekebalan tubuh (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009). Sindrom ini merupakan tahap lanjutan dari infeksi HIV yaitu pada 10 sampai 15 tahun kemudian akan berkembang dan ditandai dengan perkembangan kanker tertentu, infeksi, atau manifestasi klinis lain yang parah (WHO, 2011).
2.1.2. Etiologi
Penyebab utama HIV/AIDS adalah virus yang disebut retrovirus karena memiliki enzim reverse transcriptase, yang mampu mengubah RNA menjadi DNA pada sel yang terinfeksi, kemudian berintegrasi dengan DNA sel pejamu yang selanjutnya bereplikasi menjadi virus baru (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009).
core. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA yang deperlukan untuk replikasi HIV yakni : reverse transcriptase, integrase dan protease (Astari, Sawitri, Safitri, Hinda, 2009).
2.1.3. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target
Virus HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4+). Sel target utama adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dendritik) ( Asjo, Haaheim, Pattison, 2001).
Interaksi gp120 HIV dengan CD4 mengakibatkan terjadi ikatan antara HIV dan sel target. Ikatan semakin diperkuat dengan adanya ko-reseptor kedua yang memungkinkan gp41 menjalankan fungsinya untuk memperntarai masuknya virus ke dalam sel target. Melalui gp41 terjadi fusi membran HIV dengan membrane sel target. Fusi antara kedua membran memungkinkan semua partikel HIV masuk ke dalam sitoplasma sel target. Bertindak sebagai ko-reseptor lini kedua adalah 7 (tujuh) reseptor transmembran, tetapi yang terpenting adalah CC Chemokine reseptor 5 (CCR5) dan CXC chemokine reseptor 4 (CXCR4) dengan melibatkan lebih 100 protein terkait (Nasronudin, 2012).
Setelah gp120 HIV terikat pada reseptor CD4 dan ko-reseptor CCR5 dan CXCR4, diiringi terjadinya perubahan konformasi gp41 sehingga memungkinkan terjadi insersi pada region N-terminal hydrophobic fusion-peptide ke dalam membrane sel taret. Sehingga akibat insersi ini menghasilkan fusi kedua membrane (Nasronudin, 2012).
dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase, sehingga mengakibatkan provirus menjadi tidak aktif dan proses transkripsi serta translasi tidak berjalan (Nasronudin, 2012).
Pada tahap selanjutnya, enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109 sampai 1011 virus baru (Fauci, Chiffordlane, 2008).
2.1.4. Transmisi Infeksi HIV
Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga jalan utama, yaitu secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, dan menyusui), secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual), dan secara horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi). Di Indoneia kasus HIV dan AIDS paling sering menular melalui hubungan seksual, kemudian diikuti faktor risiko yang tidak diketahui, penyalahgunaan jarum suntik, perinatal, dan melalui transfusi darah (Depkes, 2013).
Tabel 2.1 : Persentase AIDS yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko, Januari sampai Desember 2012
Sumber : Depkes, 2013
2.1.5. Patogenesis Infeksi HIV
pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5 sampai 2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS (Fauci, Chiffordlane, 2008).
Gambar 2.2. Patogenesis HIV
Sumber: Castillo, 2005
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4, CCR5, CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target melalui peranan glikoprotein 41 (gp41). Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi
sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Untuk mengaktifkan provirus ini memerlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. Long terminal repeats berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain, misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA (Fauci, Chiffordlane, 2008).
Ketika HIV masuk ke tubuh, maka virus mencari sel CD4 dan mereplikasikan diri. Sel CD4 merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun tubuh. Setelah virus bereplikasi dan menghancurkan sel CD4, maka partikel virus
baru akan mencari lagi dan menginfeksi sel CD4 yang lain (Fahey et al, 1990).
Sehingga jumlah CD4 akan semakin rendah didalam tubuh. Secara progresif, sistem
defensif tubuh akan menurun dan tidak dapat melindungi tubuh dari infeksi dan
penyakit. Oleh sebab itu pemantauan jumlah CD4 pada seseorang yang terinfeksi
HIV sangatlah penting untuk melihat perjalanan penyakit beserta prognosisnya
(Stein, Korvick, Vermund, 1992).
1. Direct cell killing. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dihancurkan secara langsung ketika sejumlah besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, merusak membran sel, atau ketika protein viral dan asam nukleat yang tekumpuldalam sel menganggu sistem selular.
2. Pembentukan syncytia. Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon yang disebut syncytia.
3. Apoptosis. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular terganggu oleh protein HIV, yang mungkin menyebabkan penghancuran sendiri sel yang dikenal sebagai apoptosis.
4. Innocent bystanders. Sel yang tidak terinfeksi dapat mati dengan skenario innocent bystanders. Pertikel HIV dapat berikatan dengan permukaan sel, menyebabkan sel seakan-akan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer.
5. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi missfolding dan denaturasi protein, jejas, dan kematian sel.
Infeksi dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium karena kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3 sampai 6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Fase ini sangatlah penting karena pada fase ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window periode” (Nasronudin,2012).
Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul paling cepat 1 sampai 4 minggu setelah pajanan. Gejala yang timbul dapat berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, kadar limfosit T CD4 yang tinggi dapat terdeteksi di darah perifer (Sterling, Chaisson, 2010).
Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas 500sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV.
Gambar 2. 3. Perjalanan Infeksi HIV
Sumber: Nasronudin, 2012
Pada fase infeksi akut, akan terjadi tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif. Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik atau laten. Pada awal fase ini, kadar limfosit T CD4 umumnya sudah kembali mendekati normal dan jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe. Sehingga, penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3, meskipun telah terjadi serokonversi positif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis. Namun pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurng dari 10 %, diare, lesi pada mukosa dan penyakit infeksi kulit berulang. Gejala-gejala ini merupakan tanda awal munculya infeksi oportunistik.
Keterangan: Jumlah CD4+ T Limfosit (sel/mm³) HIV RNA kopi per mL plasma
Gambar 2.3. Gambaran Waktu Sel CD4 dan Perubahan Perkembangan Virus
Sumber: Bennet, 2011
2.1.7. Pemeriksaan HIV
1. Skrining HIV
2. Hitung Sel T CD4
Pemeriksaan ini adalah indikator yang cukup dapat diandalkan untuk mengetahui risiko terkena infeksi oportunistik. Jumlah normal CD4 berkisar antara 500-2000 sel/μL. Setelah serokonversi, CD4 biasanya berada dalam jumlah rendah (rata-rata 700 sel/μL). Di Amerika, definisi AIDS adalah CD4 <200 sel/μL, karena tingginya risiko infeksi oportunistik pada level ini (Hull MW et al, 2012).
3. Viral Load (VL)
Viral load pada darah perifer biasanya dipakai sebagai penanda alternatif untuk mengetahui laju replikasi virus. Dikatakan alternatif karena kebanyakan replikasi viral terjadi pada nodus limfatik, daripada darah perifer. Akan tetapi, pemeriksaan VL kuantitatif tidak bisa digunakan sebagai alat diagnosis, karena kemungkinan adanya positif palsu. Sehingga biasanya, VL berkaitan dengan laju progresi menjadi AIDS, walaupun kemampuan prediktabilitasnya masih lebih inferior dari CD4. Dengan terapi ART (anti-retroviral) yang adekuat, VL dapat ditekan hingga mencapai tingkat tidak terdeteksi (<20-75 kopi/ μL). Pada tingkatan ini, biasanya jumlah CD4 meningkat, dan risiko infeksi oportunistik berkurang (Department of Health and Human Services, 2011).
4. Pemeriksaan HIV Sekunder
Kultur virus dapat digunakan pada pemeriksaan resistensi obat secara fenotipik, walaupun sensitivitasnya berkurang seiring dengan menurunnya VL.
5. Temuan Histologis
normal. Mikroskop elektron dapat menunjukkan keberadaan virion di dalam fagosom makrofag.
2.1.8. Klasifikasi Hasil Pemeriksaan Berdasarkan Jumlah CD4 dan Gejala Klinis
CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi kategori sebagai berikut:
1. Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik, tanpa adanya riwayat gejala maupun keadaan AIDS.
2. Kategori B adalah terdapatnya gejala-gejala yang terkait HIV; termasuk: diare, angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster.
3. Kategori C adalah infeksi HIV dengan AIDS. 4. Kategori A1, B1, dan C1 yaitu CD4 >500/ µ L. 5. Kategori A2, B2, dan C2 yaitu CD4 200-400/ µ L. 6. Kategori A3, B3, dan C3 yaitu CD4 <200/ µ L. (CDC, 2009).
2.2. Cluster of Differentiation 4 (CD4) 2.2.1. Definisi
Sel T CD4 adalah limfosit T yang mengekspresikan molekul protein ko-reseptor CD4 pada permukaan sel. Istilah CD berarti cluster of differentiation
yang mengacu pada suatu molekul yang dikenal oleh sekelompok (cluster) antibodi monoklonal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jalur atau stadium diferensiasi limfosit, sehingga dapat membedakan antar kelas limfosit (Bratawidjaja, Rengganis, 2010).
Yang target utama dari virus HIV adalah limfosit T CD4 karena pada permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 permukaan (surface glycoprotein 120) pada permukaan luar HIV (enveloped). Meskipun demikian kompleks gp120 dan reseptor CD4 tersebut masih belum memungkinkan HIV masuk ke dalam limfosit T melalui prses internalisasi. Internalisasi ke dalam limfosit T di tubuh host perlu dibantu oleh peran ko-reseptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan limfosit T (Nasronudin, 2012).
2.2.3. Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan CD4
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah CD4 seperti perubahan diurnal yang menunjukkan bahwa nilai terendah didapati saat pukul setengah satu siang sedangkan nilai puncak saat pukul setengah sembilan malam.Penurunan dapat terjadi juga pada penderita infeksi akut dan operasi mayor. Pemberian kortikosteroid pada penyakit akut dapat menurunkan jumlah CD4, tetapi pemakaian lama untuk penyakit kronik menunjukkan tidak terlalu berpengaruh. Perubahan pada penyakit mungkin disebabkan redistribusi lekosit antara sirkulasi perifer dengan sumsum tulang, limpa,dan nodus limfoid. Jenis kelamin,usia pada orang dewasa, stress psikologi,stres fisik dan kehamilan mempunyai efek minimal terhadap jumlah CD4. Pemakaian obat antiviral dapat meningkatkan jumlah CD4 sebanyak ≥ 50 sel/mm3. Setelah pemakaian 4 sampai 8 minggu dan meningkat 50-100 sel/mm3 tiap tahunnya (WHO, 2010).
2.3. Infeksi Oportunistik 2.3.1. Definisi
turun dari kadar normal sekitar 1.000 sel/µl menjadi kurang dari 200 sel/mm3. Penderita dengan jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 memiliki kerentanan enam kali dalam perkembangan infeksi oportunistik dibandingkan dengan jumlah sel CD4 > 350 sel/mm3 (Ghate M et al, 2009).
Berdasarkan penelitian Hanum (2009) bahwa sistem imun penjamu merupakan faktor penting terjadinya infeksi oportunistik pada manusia. Bila terjadi kontak dengan antigen bakteri, maka diferensiai dan proliferasi sel akan terangsang untuk membentuk populasi sel T yang spesifik (sel efektor dan sel memori). Sel memori tinggal dalam sirkulasi untuk beberapa tahun dan akan menghasilkan respon yang cepat apabila terjadi paparan dengan antigen. Rusaknya sistem imun akan mempermudah terjadinya infeksi. Pada penderita HIV/AIDS, terjadi peurunan sel T CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh HIV. Setelah infeksi akut, terjadi masa asimtomatik dimana penurunan jumlah CD4 secara lambat dan penurunan jumlah CD4 semakin tajam pada stadium lanjut, yang diawali oleh munculnya infeksi jamur. Pada CD4< 200 sel/mm 3 risiko infeksi oportunistik akan meningkat. Selain itu juga disebabkan faktor lain seperti lingkungan dan paparan dari bakteri atau jamur.
2.3.2. Faktor-faktor Risiko Perkembangan Infeksi Oportunstik
Dalam Journal of Crohn’s and Colitis, Rahler JF, et al. (2009) menyebutkan ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan peningkatan atau resistensi terhadap infeksi oportunistik, diantaranya yaitu :
1. Terapi imunomudulator
(Candida spp.), azathioprine menyebabkan infeksi virus dan terapi anti-TNF menyebabkan infeksi jamur dan mikobakterium.
2. Paparan Patogen dan Keadaan Geografis
Paparan patogen dan keadaan geografis tertentu dapat menyebabkan penyebaran dari infeksi oportunistik meningkat. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah terpapar secara langsung oleh patogen.
3. Usia
Pada orang-orang yang berusia lanjut akan terjadi disregulasi fungsi imun yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi, kanker, dan penyakit autoimun.
4. Komorbid
Faktor-faktor komorbid seperti penyakit paru kronik, alkoholims, gangguan organik di otak, dan diabetes melitus menyebabkan infeksi oportunistik lebih mudah terjadi. Hal ini dikarenakan penyakit-penyakit tersebut menyebabkan gangguan supresi imun secara nyata.
5. Malnutrisi
Malnutrisi merupakan mayoritas penyebab penurunan fungsi imun dikarenakan meningkatnya pemakaian metabolisme berlebihan dalam waktu yang lama. Sehingga terjadi defisiensi nutrisi yang menyebabkan gangguan cell-mediated immunity, penurunan fungsi fagosit, produksi sitokin, dan sekresi antibodi, serta gangguan sistem komplemen.
2.3.3. Etiologi
Human Leucocyte Antigen (HLA) yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi karakteristik yang berbeda. Pada awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang terjadi adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan terjadi penurunan dari sistem imun. Semakin menurun jumlah limfosit T CD4 semakin berat manifestasi infeksi oportunistik dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian. Pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit T CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik (Merati, 2007). Dan infeksi oportunistik pada pengidap HIV di Indonesia, memiliki potensiasi munculnya lebih awal karena pengaruh lingkungan tempat tinggal yang sangat dekat dengan angka kejadian infeksi lain yang masih tinggi, selain akibat semakin melemahnya sistem imun yang diserang oleh virus HIV (Nasronudin, 2012).
Organisme penyebab infeksi oportunistik adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum infeksi oportunistik pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan infeksi oportunistik pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran infeksi oportunistik yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien AIDS tergantung pada prevalensi infeksi di wilayah geografis tempat tinggal pasien.
Beberapa infeksi oportunistik yang melibatkan beberapa organ, seperti yang tertera dibawah ini, yaitu :
1. Pneumonia pneumocystis jarang dijumpai pada orang yang sehat dan imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii.
ditangani setelah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, dan dapat dicegah dengan terapi obat.
3. Esofagitis adalah peradangan pada esofagus. Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur (kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus).
4. Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV terjadi akibat berbagai penyebab. Termasuk beberapa diantaranya infeksi bakteri (Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang umum dan infeksi oportunistik tidak umum seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus (CMV). Pada beberapa kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV.
5. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan toksoplasma ensefalitis, tetapi juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.
6. Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yang merupakan penghancuran sedikit demi sedikit selubung mielin yang menutupi akson sel saraf sehingga merusak penghantaran impuls saraf. 7. Kompleks demensia AIDS adalah ensefalopati metabolik yang disebabkan
oleh infeksi HIV dan didorong oleh aktivasi imun makrofag dan mikroglia otak yang terinfeksi HIV yang mengeluarkan neurotoksin.
9. Infeksi oportunistik lainnya. Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus. Sitomegalovirus dapat menyebabkan kolitis, seperti yang dijelaskan di atas, dan retinitis sitomegalovirus dapat menyebabkan kebutaan. Penisiliosis yang disebabkan oleh Penicillium marneffei kini adalah infeksi oportunistik ketiga paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara (Nasronudin, 2007).
2.3.4. Pemeriksaan Infeksi Oportunistik
Pemeriksaan ko-infeksi oportunistik di bawah ini sebaiknya dilakukan dengan segera pada pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV.
1. PPD (purified protein derivative) pada skin test untuk TB/tuberkulosis, dilanjutkan dengan foto toraks.
2. Cytomegalovirus (CMV) dengan tes serologi. Keberadaan IgG anti-CMV mengindikasikan pasien yang pernah terpajan CMV. Lanjutkan dengan pemeriksaan oftalmologi untuk mengevaluasi retinitis CMV pada hasil tes CD4 yang rendah.
3. Sifilis dengan RPR (rapid plasma reagent). Hasil positif sebaiknya dilanjutkan dengan pungsi lumbal, terutama jika terdapat gejala neurologis.
5. Serologi hepatitis A, B, dan C dilakukan pada pasien untuk menentukan kebutuhan akan vaksinasi dan mengevaluasi infeksi kronik. Pemeriksaan krusial lainnya adalah tes fungsi liver.
6. Antibodi anti-toksoplasma diukur untuk mengetahui kejadian toksoplasmosis, karena pada imunosupresi, reinfeksi dapat terjadi sewaktu-waktu. Pasien dengan infeksi toksoplasma sebelumnya memerlukan profilaksis apabila CD4 berada dalam jumlah <100/ µ L. 7. Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya untuk mengetahui adanya diare,
angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau
BAB 3
pasien
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional study, dengan observasi dan pengukuran variabel dilakukan pada satu saat tertentu.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Juli sampai Oktober 2013 di bagian Klinik Pusyansus V (Pusat Pelayanan Khusus). Rumah sakit ini dipilih karena merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien positif HIV/AIDS berusia lebih dari 12 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2012.
4.3.2. Sampel
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah pasien di yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah a. Kriteria Inklusi
1. Merupakan pasien positif HIV/AIDS berusia lebih dari 12 tahun yang memiliki kelengkapan data sosiodemografi, dan pemeriksaan laboratorium yang tertera dalam rekam medis di bagian Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. 2. Pasien positif HIV/ AIDS yang baru terdiagnosis oleh dokter dan belum
b. Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang sedang atau telah mengonsumsi ARV sebelum data diambil. 2. Data rekam medis yang tidak lengkap.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode total sampling, dimana semua sampel akan dimabil dan dianalisis berdasarkan pemenuhannya terhadap kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari pengumpulan rekam medis pasien Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Januari sampai Desember tahun 2012.
4.4.1. Alur Penelitian
Populasi pasien positif HIV/AIDS usia > 12 tahun yang
tertera di rekm medik
Seleksi sampel penelitian data pasien sesuai kriteria inklusi dan
eksklusi
Pengolahan data yang sudah terkumpul dengan menggunakan
komputer
Analisis data
Rekapitulasi hasil analisis data dalam bentuk laporan hasil
penelitian
4.5. Metode Analisis Data
Setelah dilakukan pengumpulan data, maka selanjutnya data tersebut akan diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution).
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Pengambilan data penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Juli sampai Oktober 2013 di bagian Klinik Pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus).
5.1.2. Karakteristik Responden
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosiodemografi Subjek
Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%)
Kelompok Usia (Tahun)
17-26 40 19,1
27-36 129 61,7
37-46 32 15,3
47-56 4 1,9
57-66 3 1,4
67-76 1 0,5
Jenis Kelamin
Pria 121 57,9
Wanita 88 42,1
Pekerjaan
IRT 70 33,5
Wiraswasta 67 32,1
Pengangguran 59 28,2
PSK 6 2,9
PNS 4 1,9
Petani 3 1,4
Kemungkinan Risiko Penularan
Perilaku Seksual
- Heteroseksual 174 83,3
- Homoseksual 24 11,5
Pemakaian tatto 10 4,8
Tabel 5.1. menunjukkan persentase dari karakteristik subjek. Kelompok usia 27-36 tahun memilki persentase paling tinggi yaitu sejumlah 129 orang (61,7%), diikuti usia 17-26 tahun sejumlah 40 orang (19,1%), usia 37-46 tahun dan sejumlah 32 orang (15,3%), usia 47-56 tahun sejumlah 4 orang (1,9%), usia 57-66 tahun sejumlah 3 orang (1,4%), dan usia 67-76 tahun berjumlah 1 orang (0,5%). Kemungkinan risiko penularan yang paling banyak terjadi adalah secara perilaku seksual, baik melalui heteroseksual yaitu sejumlah 174 orang (83,3%), dan homoseksual sejumlah 24 orang (11,5%), dan melalui cara-cara lain seperti tatto sejumlah 10 orang (4,8%) serta melalui penggunaan narkoba suntik yaitu sejumlah 1 orang (0,5%). Mayoritas pasien berjenis kelamin pria lebih yaitu sejumlah 121 orang (57,9%), sedangkan wanita sejumlah 88 orang (42,1%). Sedangkan jenis pekerjaan yang memiliki frekuensi paling dominan adalah IRT sebanyak 70 orang (33,5%), diikuti wiraswasta sebanyak 67 orang (32,1%), pengangguran sebanyak 59 orang (28,2%), PSK sebanyak 6 orang (2,9%), PNS sebanyak 4 orang (1,9%), dan petani sebanyak 3 orang (1,4%).
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Gejala-Gejala Klinis
Gejala Klinis Jumlah (Orang) Persentase (%)
Demam 62 29,7
orang (21,5%), diare sejumlah 25 orang (12%), sesak sejumlah 17 orang (8,1%), gatal-gatal sejumlah 8 orang (3,8%), dan jaundice sejumlah 2 orang (1%).
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Infeksi Oportunistik
Infeksi Oportunistik Jumlah (Orang) Persentase (%)
Oral Candidiasis 112 53,6
Tuberculosis 47 22,5
Pneumocystis Carinii Pneumonia 17 8,1
Hepatitis B 5 2,4
Herpes Simplex 5 2.4
Toxoplasmosis 4 1,9
Tidak ada 19 9,1
Total 209 100
Tabel 5.3. menunjukkan bahwa spectrum infeksi oportunistik yang dominan terlihat adalah Oral Candidiasis sejumlah 112 orang (53,6%), diikuti oleh Tuberculosis sejumlah 47 orang (22,5%), Pneumocystis Carinii Pneumonia sejumlah 17 orang (8,1%), Hepatitis B dan Herpes Simplex masing-masing sejumlah 5 orang (2,4%), Toxoplasmosis sejumlah 4 orang (1,9%), dan tidak ada sejumlah 19 orang (9,1%).
5.1.3. Hasil Analisis Data
a. Prevalensi Penderita Infeksi Oportunistik
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Prevalensi Infeksi Oportunistik
Infeksi
Oportunistik Jumlah (Orang) Persentase (%)
Ada 192 91,9
Tidak Ada 17 8,1
Total 209 100
Tabel 5.4. menunjukkan bahwa dari 209 orang sampel penelitian, ditemukan infeksi oportunistik pada 192 orang (91,9%) dan sebanyak 17 orang (8,1%) tidak ditemukan infeksi oportunistik.
b. Prevalensi
Dari 209 orang pasien sampel penelitian, dilakukan pengelompokan jumlah CD4 pasien.
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Jumlah CD4
Jumlah CD4
(Sel/mm3) Jumlah (Orang) Persentase (%)
>500 12 5,7
200-499 66 31,6
<200 131 62,7
Total 209 100
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Stadium
Stadium Jumlah (Orang) Persentase (%)
I 12 5,7
II 14 6,7
III 137 65,6
IV 46 22,0
Total 209 100
c. Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS. Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.7. Hubungan antara Jumlah CD4 dengan Infeksi Oportunistik
Jumlah CD4 (sel/mm3) CD4 200-500 sel/mm3 sejumlah 59 orang dan jumlah CD4 >500 sel/mm3 sejumlah 7 orang. Sementara dari 17 orang sampel pasien, pasien yang tidak terdapat infeksi oportunistik dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3 sejumlah 5 orang, jumlah CD4 200-499 sel/mm3 sejumlah 7 orang dan jumlah CD4 >500 sel/mm3 sejumlah 5 orang. Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi Square dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5 %), diperoleh nilai p (p value) adalah p 0,001 (p< 0,05) yang berarti bahwa ada hubungan antara jumlah CD4 dengan infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS.
variabel dependen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini jumlah CD4 merupakan faktor risiko terjadinya infeksi oportunistik.
5.2. Pembahasan
Infeksi oportunistik merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien HIV sejak epidemik HIV terjadi (Kanabus et al, 2006). Infeksi oportunistik ini terjadi akibat defisiensi imun sehingga jumlah CD4 menjadi rendah dan menyebabkan individu lebih rentan terkena infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Ghate M et al pada tahun 2009, menunjukkan bahwa pasien dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3 memiliki kerentanan enam kali dalam perkembangan infeksi oportunistik dibandingkan dengan jumlah sel CD4 > 350 sel/mm3 dengan demikian dapat dikatakan bahwa jumlah CD4 yang rendah menyebabkan individu lebih rentan terkena infeksi oportunistik.
5.2.1. Hubungan Karakteristik Individu terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan
5.2.1.1. Hubungan Usia terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara usia dengan infeksi oportunistik pasien HIV/AIDS didapatkan kelompok usia 27-36 tahun merupakan kelompok umur terbanyak, yaitu sebanyak 123 orang (95,7%) yang ada infeksi oportunstik dan sebanyak 6 orang (4,7%) yang tidak ada infeksi oportunistik. Sedangkan usia 17-26 tahun terdapat 33 orang ( 82,5%) yang ada infeksi oportunistik dan 7 orang (17,5%) yang tidak ada infeksi oportunistik. Pada penelitian ini ditemukan bahwa variabel usia tidak bermakna secara statistik terhadap terjadinya infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS yaitu sebesar p 0,12 (p> 0,05).
5.2.1.2. Hubungan Jenis Kelamin terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan infeksi oportunistik pasien HIV/AIDS ditemukan dari 209 orang pasien, 57,9% merupakan pria, sedangkan 42,1% merupakan wanita. Penelitian sama yang dilakukan oleh Sharma et al., (2012) juga menunjukkan bahwa 80% pasien merupakan pria, dan 20% merupakan wanita. Hasil dari penelitian lain yang dilakukan oleh Vinay et al., (2012) di India menyebutkan bahwa kelompok usia produktif yaitu kelompok usia 21-40 tahun menduduki posisi tertinggi penderita infeksi oportunistik. Salah satu penyebabnya adalah perubahan pola transmisi yang semakin lama semakin cepat terjadi pada usia yang lebih muda sehingga manifestasinya juga terlihat lebih cepat.
Berdasarkan hasil uji statistik untuk melihat perbedaan proporsi antara pasien HIV/AIDS pria dan wanita yang terinfeksi oportunistik, ditemukan bahwa variabel jenis kelamin tidak memberikan kemaknaan dengan nilai p 0,145 (p> 0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meditz et al (2011), bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin pria dan wanita. Pria lebih banyak dikarenakan pria juga memiliki kemungkinan mendapatkan infeksi dua kali melalui perilaku seksual yang berisiko dan pengunaan jarum suntik.
5.2.1.3. Hubungan Pekerjaan terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan
Pasien yang terinfeksi HIV lebih banyak berasal dari kalangan ibu rumah tangga (33,5%) dibandingkan pekerjaan lainnya dikarenakan kontak penularan secara seksual melalui pasangan suami istri merupakan kemungkinan paling sering terjadi. Hal serupa juga dipaparkan oleh Vinay et al., (2012), bahwa 80% ibu rumah tangga terinfeksi oleh HIV.
analisis statistik menunjukkan hasil yang tidak bermakna, tetapi pekerjaan seharusnya berhubungan dengan terjadinya koinfeksi. Widoyono (2008) juga memaparkan hal sama yaitu status pekerjaan seseorang berpengaruh pada kesehatan individu.
Selain itu, pekerjaan berdasarkan status perkawinan (ibu rumah tangga) dalam penelitian ini menunjukkan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Boileau (2009), menyebutkan bahwa status perkawinan akan menentukan seorang wanita untuk menderita HIV positif baik dengan infeksi oportunistik maupun tidak.
5.2.1.4. Hubungan Kemungkinan Risiko Penularan terhadap Infeksi Oportunistik pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan
Penyebaran penularan HIV terjadi akibat faktor-faktor sosiohistorikal dan sosiokultral, termasuk lokasi geografis, struktur sosial lokal, keyakinan budaya dan kegiatan akan mempengaruhi perilaku berisiko HIV. Misalnya seks pra nikah, penggunaan kondom, dan penggunaan narkoba suntik. Pada penelitian ini, perilaku seksual baik secara heteroseksual maupun homoseksual merupakan kemungkinan pola penularan paling tinggi (94,8%). Hal yang sama juga diungkapkan oleh National Surveillance UNAIDS (2011) bahwa 85,69% kemungkinan pola risiko penularan terjadi melalui perilaku seksual.
5.2.1.5. Hubungan Stadium terhadap Infeksi Oportunistik dan Jumlah CD4 pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan
Stadium klinis WHO sangat berhubungan jumlah CD4. Semakin tinggi stadium klinis WHO maka penurunan jumlah CD4 juga semakin signifikan. Hasil uji analisis pada penelitian ini menunjukkan hubungan kemaknaan dengan nilai p 0,001 (p< 0,05). Hal sama juga terlihat pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prabhavanthi et al., (2013) yang menyebutan bahwa stadium III dan IV memilki bukti supresi imun yang lebih berat sehingga saat pasien datang ditemukan gejala klinis yang lebih berat sesuai tingginya stadium klinis. Gejala klinis yang paling sering muncul berupa gejala akibat infeksi oportunistik, misalnya leukoplakia pada rongga mulut dengan jumlah CD4< 200 sel/mm3. Pada penelitian ini stadium yang paling sering ditemukan adalah stadium III (65,6%) dan diikuti stadium IV (22%), yang menunjukkan buruknya kondisi klinis pasien saat datang berobat.
5.2.1.6. Hubungan Gejala Klinis terhadap Infeksi Oportunistik dan Jumlah CD4 pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan
Gejala klinis sendiri, gejala yang timbul biasanya lebih dari satu gejala. Namun demam merupakan gejala yang paling sering ditemukan (29,7%), diikuti oleh batuk (23,9%) dan malaise (21,5%). Anant et al., (2012) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa demam merupakan gejala yang paling sering muncul (82,2%).
Tuberculosis merupakan IO terbanyak kedua dalam penelitian ini yaitu 22,5 % dan hal sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakuakan oleh Anant et al., (2012) yang menjunjukkan prevalensi yang juga cukup tinggi yaitu 52,3%. Hal ini dikarenakan TB masih merupakan endemis di beberapa negara berkembang seperti India dan Indonesia. Selain secara epidemiologis, keadaan geografis, iklim, dan keadaan sosioekonomi dimana pasien itu tinggal, pada pasien HIV, TB secara cepat dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas dan kejadian Multi Drug Resistance (MDR).
Kejadian PCP biasanya terjadi pada tingkat infeksi HIV lanjut dengan jumlah CD4< 200 sel/mm3. Pada penelitian ini, prevalensi PCP sekitar 8,1% dan lebih rendah dibandingkan dprevalensi pada penelitian yang dilakukan oleh Anant et al., (2012) yaitu sebesar 14,2%. Namun kedua nilai ini dapat membuktikan bahwa PCP merupakan IO yang juga sering terjadi.
Infeksi Herpes Simplex Virus (HSV) dan Hepatitis B Virus (HBV) juga ditemukan pada penelitian ini yaitu masing-masing 2,4%. Persentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan persentase penelitian yang dilakukan oleh Vinay et al., (2012) yaitu 12% dan 8%. Sedangkan diagnosis Toxoplasmosis ditemukan hanya 4 kasus, berdasarkan hasil CT Scan otak.
Berdasarkan uji statistik, diperoleh kemaknaan antara jenis infeksi oportunistik dengan jumlah CD4 sehingga diperoleh nilai p 0,011 (p< 0,05). Secara nyata terlihat bahwa dengan jumlah CD4 tertentu maka jenis infeksi oportunistik yang muncul juga beragam. Perbedaan ini kemungkinan terjadi akibat distribusi sampel yang homogen sehingga tidak terlihat dinamika sampel dari aspek jenis infeksi oportunistik.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Infeksi oportunistik merupakan infeksi yang terjadi akibat jumlah CD4 yang rendah (< 200 sel/mm3) sehingga seseorang akan lebih rentan terhadap infeksi. Pada pasien infeksi HIV tahap lanjut , penyebab utama mortalitas dan morbiditas pasien adalah infeksi oportunistik. Prevalensi infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS pada tahun 2012 sebanyak 192 orang, dan prevalensi penderita tanpa infeksi oportunistik sebanyak 17 orang.
6.2. Saran
1. Bagi Rumah Sakit dan Sarana Pelayanan Kesehatan Lain
Pola infeksi infeksi oportunistik pada daerah tertentu dapat menjadi petunjuk untuk memaksimalkan fasilitas kesehatan dan perobatan bagi pasien.
2. Bagi Pasien/ Masyarakat
Infeksi oportunistik menjadi faktor risiko yang menunjukkan terjadinya suatu proses penurunan sistem imun tubuh, oleh karena itu pasien diharapkan lebih waspada akan gejala dan tanda yang muncul.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Asjö B., Haaheim L.R., Pattison J.R., 2001. Human Immunodeficiency Virus (HIV). A Practical Guide to Clinical Virology Second Edition. John Wiley & Sons Ltd. England: 213-218
Astari L., Sawitri, Safitri Y.E., Hinda P.S., 2009. Viral Load pada Infeksi HIV. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 21(1).1.
Back-Brito GN, El Ackhar VNR, Querido SMR, dos Santos SSF, Jorge AOC, Reis ASM et al., 2011. Staphylococcus SPP, Enterobacteriaceae and Pseudomonadaceae oral isolates from Brazilian HIV-Positive patients. Correlation with CD4 Cell Counts and Viral Load. J Arch Oral Biol. 56:1041-1046
Bennett, Nicholas John., 2011. HIV Disease. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview#showall.[Accesed 23 April 2013].
Bratawidjaja G.K., Rengganis I.,2010. Sel-Sel Sistem Imun Spesifik. Dalam: Imunologi Dasar Bab. 5. Edisi IX. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 143.
Center for Disease Control and Prevention, 2009. Epidemiology of HIV Infection Through. Available from:
http://www/cdc.gov/hiv/topics/surveillance/resources/slides/general/general.pdf. [Accessed 23 April 2013]
Center for Disease Control, 2003. Revision of CDC Surveillance Case Definition for Aqcuired Immunodeficiency Syndrome. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR). 36 Available from:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan IV Tahun 2012 di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penceghan Lingkungan, 1- 93..
Department of Health and Human Services, 2011. Guidelines for The Use of Antiretroviral Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents. 1-174. Available from:
http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/AdultandAdolescentGL.pdf.[Accessed May 16, 2013]
Fahey J.L., Taylor J.M., Detels R., Hofmann B., Melmed R., Nishanian P., et al., 1990. The Prognostic Value of Cellular and Serologic Markers in Infection with Human Immunodeficiency Virus Tyoe 1. N. Engl J. Med; 322: 166-172.
Fauci A.S., Chiffordlane H., 2008. Human immunodeficiency virus disease, AIDS and related disorders. In : Lango D.L., Kasper D.L., Jameson J.L., Fauci A.S., Hauser S.L., Loscalzo J., editors, Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th ed, Vol. I, New York : McGraw Hill; p.1137-1203.
Ghate M, Deshpande S, Tripathy S, Nene M, Gedam P, Godbole S et al., 2009. Incidence of Common Opportunistic infections in HIV-infected individuals in Pune, India: analysis by stages of immunosuppression represented by CD4 counts. Int Journal Infectious Disease. (13): 1-8
Hoffmann C.J., Brown T.T., 2007. Thyroid Function Abnormalities in HIV-Infected Patients. Clin Infect Dis;45(4):488-94
Hull MW, Rollet K, Odueyungbo A, Saeed S, Potter M, Cox J, et al., 2012. Factors Associated With Discordance Between Absolute CD4 Cell Count and CD4 Cell Percentage in Patients Coinfected With HIV and Hepatitis C Virus. Clinical Infectious Disease. June 2012;54(12):1798-1805
Kashou AH, Agarwal A, 2011. Oxidants and Antioxidants in The Pathogenesis of HIV/AIDS. The Open Reproductive Science Journal. 2011;3: 154-161
Sakit Penyakit Infeksi Suliati Suroso Tahun 2011. Jakarta.Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Merati, Parwati T., Djauzi, Samsuridjal, Sudoyo W., Aru, dkk., 2007. Respons Imun Infeksi HIV. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 271-276.
Nasronudin, 2007. HIV/AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
Nasronudin, 2012. HIV/AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
New Mexico AIDS Education and Training Center, 2009. Educate Health Care Providers about Management of HIV Infection, Including Prevention, Diagnosis, and Treatment. Available from:
http://hsc.unm.edu/som/medicine/id/aidscenter.shtml
Pongasai P, Atamasirikul K, Sungkanuparph S. The Role of Serum Cryptococal Antigen Screening for The Early Diagnosis of Cryptococcosis in HIV – Infected Patients with Different Ranges of CD4 Cell Counts, 2010. J Infect: 60: 474 -477
Rahler JF et al., 2009. European evidence-based Consensus on The Prevention, Diagnosis, and Management of Opportunistic Infections in Inflammatory Bowel Disease. Journal of Crohn’s and Colitis. 10.1016.
Saidu A, Bunza MDA, Abubakar, Adamu T, Ladan MJ, Fana SA, 2009. A Survey of Opportunistic Infections in HIV Seropositive Patients Attending Major Hospitals of Kebbi, Nigeria. Bayero Journal of Pure and Applied Sciences, December 2008: 2(1): 70 – 74
Sharma S., Dhungana G.P., Pokhrel B.M., and Rijal B.P., 2010. Opportunistic Infections in Relation to CD4 Level Among HIV Seropositive Patients from Central Nepal. Nepal Med Coll Journal; 12 (1): 1-4.
Stein., D.S., Korvick, J.A., and Vermund S.H., 1992. CD4+ Lympocyte Cell Enumeration for Prediction of Clinical Course of Human Immunodeficiency Virus Disease. A review. J. Infect. Dis., 165, 352-363.
Sterling TR, Chaisson RE. General Clinical Manifestation of HIV Infections (including retroviral syndrome and oral, cutaneous, renal, ocular,
metabolic and cardiac disease), 2010. In : Mandell GL, Bennett JE, Dolin
R. Principles and practice of infectious diseases. 7th ed, United States: Churchill Livingston .p.1705-1726.
Taylor J.M., Fahey J.L., Detels R., Giorgi J.V., 1989. CD4 Percentage, CD4 Number and CD4:CD8 Ratio in HIV Infection: Which to Choose and How to Use. Journal of Acquired Immuno Deficiency Syndrome. 2(2) 114-24.
United Nations Programme for HIV/AIDS, 2012. Progress Report 2011. Available from : http://data.unaids.org/pub/report/2012.jcl1700_epi_update_2012_en.pdf [Accessed April, 21 2013]
United States Preventive Services Task Force, 2011. Screening for HIV. Available at: http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf/uspshivi.htm. [Accessed April 16, 2013]
Winn, Washington C, Jr, et al. 2006. Koneman’s Color Atlas Textbook of Diagnostic Microbiology Sixth Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
World Health Organization, 2011. HIV/AIDS in The South East Asia Region. Available from:
Nama : Marini Yusufina Lubis Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 16 Juli1992
Alamat : Jl. Sei Batang Kuis No.42 Medan Baru No. Telepon/ HP : 085715787217
Alamat email : [email protected]
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan Riwayat Pendidikan :
1. Taman Kanak-Kanak Raudhatul Athfal Langsa 1996-1998 2. Sekolah Dasar Negeri 1 LangsaTahun 1998-2004
3. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Langsa Tahun 2004-2007 4. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Langsa Tahun 2007-2010
5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Program Studi Pendidikan Dokter Tahun 2010-2014
Riwayat Organisasi :
1. Anggota Divisi Kreativitas & Kemahasiswaan Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2010-2011