• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Renjitha A/P Gurunathan

Tempat / Tanggal Lahir : Malaysia / 07 April 1993

Agama : Hindu

Alamat : Jalan Jamin Ginting No.46, Padang Bulan, Medan,

Indonesia.

Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Kebangsaan (1) Convent Bukit Nanas, Malaysia

2. Sekolah Menengah Kebangsaan Convent Bukit Nanas, Malaysia

3. Nirwana College

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Di Indonesia (PKPMI),

Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Anggota Kelab Kebudayaan India Malaysia (KKIM),

(2)
(3)
(4)
(5)

LAMPIRAN 4 DATA INDUK

NO UMUR SEX S.KAHWIN PEKERJAAN PEMBERIAN OAT

1 44 L Udah Pegawai Swasta 6 bulan Puskesmas

2 45 L Udah Petani 6 bulan Puskesmas

1 bulan Dokter umum

3 47 P Udah IRT 6 bulan Puskesmas

9 bulan I Puskesmas

(6)

15 31 L Udah Pegawai Swasta 6 bulan DPS

1 tahun RS Pemerintah

(7)

29 34 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

4 bulan RS Pemerintah

3 bulan Rs Pemerintah

5 bulan RS Pemerintah

5 bulan RS Pemerintah

2 bulan RS Pemerintah

(8)

40 67 L Udah Wiraswasta 9 bulan DPS

9 bulan Puskesmas &

(9)

53 22 L Belum Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

7 bulan RS Pemerintah

(10)
(11)
(12)
(13)

101 57 L Udah Supir 6 bulan RS

1 bulan RS

102 55 P Udah IRT 6 bulan Puskesmas

2 bulan Puskesmas

9 bulan Puskesmas

103 48 P Janda Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

6 bulan RS

5 bulan DPS

3 bulan DPS

104 32 L Udah Petani 4 bulan Puskesmas

8 bulan Puskesmas

2 bulan Puskesmas

105 41 L Udah Buruh 6 bulan Dr Umum

2 bulan Puskesmas

106 55 L Udah Wiraswasta 9 bulan RS

107 53 L Udah Petani 9 bulan RS

108 43 P Udah PNS 6 bulan Puskesmas

3 bulan Puskesmas

109 62 L Udah PNS 6 bulan Puskesmas

8 bulan Rs Pemerintah

110 55 L Udah Perbengkelan 2 bulan Puskesmas

3 bulan RS

111 66 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

(14)

LAMPIRAN 5

OUTPUT DATA HASIL PENELITIAN

Distribusi Data Penelitian

Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

(15)

Jenis Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB. Kementerian Kesehatan

REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. Diunduh: http://pppl.depkes.go.id / _asset

/_regulasi/STRANAS_TB.pdf. [Diakses pada 3 Juni 2014]

Ạmad, I., Aqil, F., & Wiley InterScience (Online service) (2008). Types of bacterial

infections. New strategies combating bacterial infection. Weinheim:

Wiley-VCH. Hal 73.

Crofton, J. 2002. Diagnosis TB.Tuberkulosis Klinis (2nd ed.)..Indonesia:

Penerbit Widya Medika. Hal 96-103

Dalimunthe, N., Keliat, E.N., Abidin, A. Penatalaksanaa Tuberkulosis dengan

Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi,

Departmen Ilmu Penyakit Dalam,Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera.

Diunduh

Djojodibroto, D. 2009. Tuberkulosis Paru. Respirologi (Respiratory Medicine).

Jakarta: EGC. Hal 151-168.

Herlina, L. Tuberkulosis dan Faktor Resiko Kejadian Multidrug Resistant

Tuberculosis (MDR TB/Resistensi Ganda). Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Padjadjaran. Diunduh

(17)

Hiswani, 2004. Tuberkolosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi

Masalah Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara. Diunduh

International Union Against Tuberculosis And Lung Disease (2010)

Diunduh:

[Diakses pada 15 Maret 2014]

Mapparenta, M.A., Suriah., Ibnu, I.F. 2013.Perilaku Pasien Tuberkulosis Tipe MDR

Di BBKPM dan RSUD Labung Baji Kota Makassar Tahun 2013. Fakultas

Kesehatan Masyarakat UNHAS.

Diunduh

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011). (2nd ed) Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009. Pedomen

Penanggulan Tuberkulosis (TB).

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2009). Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009. Pedomen Penanggulan

Tuberkulosis (TB)

Otaviani, D. 2011. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis dengan

Status Gizi Anak Penderita Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro. Diunduh

(18)

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis &

Penatalaksanaan di Indonesia. Diunduh

Rahajoe, N. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan TB. Buku Ajar Respirologi

Anak (1st ed.). Jakarta, Indonesia. Hal 163-170

Sarwani, Nurlaela, S.,A Zahratul, Isnani 2012. Faktor Risiko Multidrug Resistant

Tuberculosis (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat. Diunduh:

Syahrini, H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departmen Ilmu Penyakit

Dalam R.S.U.P. H. Adam Malik Universitas Sumatera Utara.

Tirtana, B.T. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan pada

Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis di

Wilayah Jawa Tengah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Diunduh

2014]

Werdhani, R. A. Patofisiologi,Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. Departemen

Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga,FKUI.

Diunduh

Yunita, R. 2011

Multi-Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Departmen Mikrobiologi

(19)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 KERANGKA KONSEP

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 DEFINISI OPERASIONAL

1) Riwayat OAT : Informasi tentang pengunaan OAT pada seseorang pada masa

lalu

2) Pengobatan OAT lini pertama : Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid,

Etambutol dan Streptomisin

3) Terdiagnosa TB-MDR : TB-MDR menunjukkan M.tuberkulosis yang resisten

terhadap Rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT

lainnya.

Riwayat pengobatan OAT lini pertama

(20)

Tabel 3.1. Variabel, Alat Ukur, Hasil Ukur, dan Skala Ukur

Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Gejala Klinis TB

paru

Hasil dari data

rekam medik

Tempoh waktu

timbulnya kembali

gejala klinis TB

paru

Ordinal

Riwayat pengobatan

OAT lini pertama

Hasil dari data

rekam medik

Tempoh waktu

pengambilan

pengobatan

(21)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 JENIS PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian berupa

cross-sectional study untuk melihat profil pemberian OAT lini pertama pada pasien

TB-MDR di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik periode bulan Juli

2012 hingga April 2014.

4.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

4.2.1 WAKTU PENELITIAN

Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan 1 Juni 2014 hingga 1 Desember

2014, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan dan analisis data.

4.2.2 TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik yang merupakan RS Rujukan

TB-MDR untuk wilayah regional Sumatera Utara dan tersediannya data pasien TB-TB-MDR.

4.3 POPULASI DAN SAMPEL

4.3.1 POPULASI

Populasi dari penelitian ini adalah semua penderita TB-MDR yang sudah mempunyai

(22)

4.3.2 SAMPEL

Kriteria inklusi:

1) Umur >20 tahun

Kriteria eksklusi:

1) Rekam medik yang tidak memiliki data pengobatan OAT lini pertama

Sampel penelitian ini adalah data pasien TB-MDR yang ada di RSUP Haji Adam

Malik periode bulan 1 Juli 2012 hingga 30 April 2014. Sampel dalam penelitian ini

adalah populasi yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan

sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode total sampling.

4.4 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat, dikelompokkan kemudian diolah sesuai

dengan tujuan penelitian dengan menggunakan komputer dengan SPSS (Statistical

Package for the Social Science) versi 17, kemudian dianalisa secara deskriptif dan

(23)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dengan SK

Menkes No.335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan

sesuai dengan SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai

pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga merupakan pusat rujukan

kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera

Utara,Aceh,Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas kurang

lebih 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 Km 12, Kecamatan Medan

Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara.

RSUP H.Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari

pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat darurat,

bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi diagnostik terpadu,

patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi medik, kardiovaskular,

mikrobiologi), pelayanan penunjang non medis (instalasi gizi, farmasi, Central

Sterilization Supply Depart (CSSD), bioelektrik medik, Penyuluhan Kesehatan

Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS), dan pelayanan non medis (instalasi tata usaha

pasien,teknik sipil pemulasaraan jenazah).

5.1.2 Dekskripsi Data Penelitian

Dari 141 pasien TB MDR yang berobat jalan di RSUP H.Adam Malik pada

periode Juli 2012 hingga April 2014, hanya 111 data pasien yang digunakan dalam

penelitian ini, sementara 30 data yang lainnya dimasukkan ke dalam kriteria ekslusi

karena hasil pemberian OAT lini pertama yang tidak tercantum di dalam rekam medis

(24)

adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis pasien TB MDR yang

berobat jalan di RSUP H.Adam Malik pada periode Juli 2012 hingga April 2014.

Jumlah data keseluruhan adalah 111 data rekam medis yang lengkap berisi

umur, jenis kelamin, status kahwin, pekerjaan, tempat pengobatan TB dan frequensi

pengobatan TB.

5.1.2.1 Distribusi Pasien TB MDR yang Berobat Jalan Berdasarkan Umur

Tabel 5.1 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Umur Umur Frekuensi (n) Persentase (%)

20-30 tahun 21 18.9

31-40 tahun 24 21.6

41-50 tahun 38 34.2

51-60 tahun 20 18.0

61-70 tahun 6 5.4

71-80 tahun 2 1.8

Total 111 100.0

Berdasarkan table 5.1, didapati bahwa mayorits pasien yang berobat berumur

41-50 tahun yaitu sejumlah 38 orang (34.2%), pada rentang usia 31-40 tahun adalah

sejumlah 24 orang (21.6%), pada rentang usia 20-30 tahun sejumlah 21 orang

(18.9%), pada rentang usia 51-60 tahun sejumlah 20 orang (18.0%), pada rentang usia

61-70 tahun sejumlah 6 orang (5.4%), dan pada rentang usia 71-80 tahun adalah yang

(25)

5.1.2.2 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.2 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 79 71.2

Perempuan 32 28.8

Total 111 100.0

Berdasarkan table 5.2, didapati bahwa mayorits pasien berjenis kelamin

laki-laki yang berobat untuk pengobatan OAT yaitu sebanyak 79 orang (71.2%),

sedangkan pasien yang berjenis perempuan adalah sebanyak 32 orang (28.8%).

5.1.2.3 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Status Pernikahan

Tabel 5.3 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Status Pernikahan

Berdasarkan Tabel 5.3, didapati bahwa mayoritas pasien yang berobat untuk

pengobatan TB adalah pasien yang sudah menikah yaitu sejumlah 89 orang (80.2%),

sementara pasien yang belum menikah adalah sebanyak 18 orang (16.2%), dan pasien

yang janda adalah sebanyak 4 orang (3.6%).

Status Pernikahan Frekuensi (n) Persentase (%)

Sudah Menikah 89 80.2

Belum Menikah 18 16.2

Janda 4 3.6

(26)

5.1.2.4 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Tabel 5.4 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Berdasarkan Tabel 5.4, dapat dilihat bahwa mayoritas pasien berprofesi

sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 33 orang (29.7%), sementara jenis pekerjaan

pasien yang paling sedikit adalah sebagai penarik becak yaitu sebanyak 1 orang

(0.9%).

Jenis Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)

Buruh 2 1.8

Guru 4 3.6

IRT 17 15.3

Karyawan 7 6.3

Mahasiswa 2 1.8

Pegawai Swasta 10 9.0

Petani 11 9.9

PNS 10 9.0

Supir 10 9.0

Penarik Becak 1 0.9

Perbengkelan 4 3.6

Wiraswasta 33 29.7

(27)

5.1.2.5 Distribusi Berdasarkan Frequensi Pengobatan TB

Tabel 5.5 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Frekuensi Pengobatan TB

Frekuensi Pengobatan Frekuensi (n) Persentase (%)

1x pengobatan 30 27.0

2x pengobatan 51 45.9

3x pengobatan 20 18.0

4x pengobatan 7 6.3

5x pengobatan 1 0.9

6x pengobatan 2 1.8

Total 111 100.0

Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat bahwa mayoritas pasien dengan riwayat

pengobatan 2 kali berjumlah 51 orang (45.9%), diikuti dengan riwayat pengobatan 1

kali berjumlah 30 orang (27.0%), riwayat pengobatan 3 kali berjumlah 20 orang

(18.0%), riwayat pengobatan 4 kali berjumlah 7 orang (6.3%), riwayat pengobatan 6

kali berjumlah 2 orang (1.8%) dan minoritas pasien dengan riwayat pengobatan 5 kali

pengobatan TB sebelumnya sejumlah 1 orang (0.9%). Terdapat sebanyak 58 orang

(51.8%) yang teratur berobat sementara terdapat sejumlah 53 orang (48.2%) yang

(28)

5.1.2.6 Distribusi Berdasarkan Tempat Pengobatan TB

Gambar 5.6 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Tempat Pengobatan TB

Berdasarkan gambar 5.6, mayoritas pasien mendapatkan pengobatan TB

terbanyak di Puskesmas atau RS Pemerintah yaitu sejumlah 154 orang (65.2%),

sementara pasien TB mendapatkan pengobatan TB melalui Dr Spesialis adalah

sebanyak 54 orang (22.9%), manakala pasien TB mendapatkan pengobatan yang

paling sedikit adalah di RS Swasta (Dr.Umum) yaitu sebanyak 28 orang (11.9%).

Terdapat sebanyak 84 orang (75.7%) berobat di satu tempat, 25 orang (22.5%)

berobat di dua tempat dan terdapat 3 orang (1.8%) yang berobat di ketiga tempat

(29)

5.2 PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini, dijumpai mayoritas pasien yang berobat berumur

41-50 tahun sebanyak 38 orang (34.2%) sementara minoritas pasien berobat berumur

71-80 tahun adalah sejumlah 2 orang (1.8%). Menurut B. T Tirtana kelompok umur yang

rentan terkena TB pada dasarnya adalah pada usia produktif karena kebanyakan

keluar rumah mencari nafkah pada usia produktif, dengan frekuensi keluar rumah

yang sering dapat dimungkinkan terjadi penularan.

Menurut Munawwarah et al. (2013), pasien berjenis kelamin laki-laki lebih

rentan menderita TB karena laki-laki sebagai ketua keluarga yang lebih banyak

beraktifitas di luar sehingga mudah untuk tertular TB. Banyak aktivitas yang

dilakukan menjadi penyebab kelalaian menjalani pengobatan sehingga menjadi

MDR-TB. Laki-laki juga biasanya sulit untuk di atur sehingga kemungkinan lalai

selama pengobatan lebih besar dibanding perempuan. Pada penelitian ini didapati

bahwa mayoritas pasien yang berobat untuk pengobatan TB adalah berjenis kelamin

laki-laki yaitu sejumlah 79 orang (71.2%) sementara pasien berjenis kelamin

perempuan didapati sebanyak 32 orang (28.8%).

Pada penelitian ini dijumpai mayoritas pasien yang datang berobat adalah

mereka yang sudah menikah yaitu sejumlah 89 orang (80.2%). Salah satu alasannya

adalah kemungkinan mereka dipengaruhi oleh anggota keluarga dan teman-teman

mereka ketika mereka kembali ke rumah setelah motivasi/pengobatan awal dan

pengobatan wajib bulan pertama. Motivasi dari anggota keluarga lain mungkin

berpengaruh ke pasien untuk mendukung program pengobatan TB secara tuntas

(Sarwani et al, 2012).

Studi di Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar pasien TB resisten

OAT adalah bekerja sebagai pedagang/ wiraswasta (38,5%). Dari hasil penelitian ini

didapati bahwa mayoritas pasien yang datang berobat bekerja sebagai wiraswasta

yaitu sebanyak 33 orang (29.7%) sementara minoritas pasien berprofesi sebagai

(30)

penelitian terpapar oleh zat-zat yang dapat mengganggu fungsi paru dan pekerjaan

yang memungkinkan subyek penelitian yang kontak dengan pasien TB dianggap

sebagai pekerjaan yang berisiko (Tirtana, B.T, 2011).

Menurut Mapperenta et al. (2013), di Indonesia masih banyak ditemukan

ketidakberhasilan dalam terapi tuberkolosis, hal ini disebabkan karena ketidakpatuhan

pasien dalam meminum obat secara rutin sehingga dapat menyebabkan resistensi

kuman tuberkulosis terhadap obat-obat anti tuberkulosis dan kegagalan terapi.

Ketidaksesuaian pemilihan jenis obat OAT berdasarkan standar pengobatan dapat

menyebabkan terjadinya kegagalan terapi dan terjadinya kekambuhan karena jenis

obat yang diterima pasien tidak sesuai dengan keadaan dan perkembangan

pengobatan tuberkulosisnya.

Pada penelitian ini dijumpai, mayoritas pasien dengan riwayat pengobatan

sebanyak 2 kali yaitu sejumlah 51 orang (45.9%) dan minoritas pasien dengan

riwayat pengobatan sebanyak 5 kali adalah berjumlah 1 orang (0.9%). Pengobatan TB

dilakukan dengan pemberian OAT yang diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa

jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat. Pengobatan TB diberikan dalam 2

tahap yaitu tahap awal (intensif) selama 2 bulan dan tahap lanjutan selama 4 bulan.

Untuk pengobatan selanjutnya setelah 6 bulan sekiranya pasien tidak sembuh maka

harus dicuriga terjadi TB-MDR. Menurut Dwiastuti (2011), riwayat pengobatan

merupakan faktor resiko kejadian TB paru resisten. Risiko kejadian TB paru resisten

dengan riwayat pengobatan lebih besar dibandingkan dengan penderita TB paru yang

tidak memiliki riwayat pengobatan sebelumnya. Menurut Notoamodja, S(2010),

pengobatan dapat berhasil jika dipengaruhi oleh kepatuhan penderita meminum obat.

Jika penderita tidak patuh meminum obat, berhenti minum obat sebelum waktu yang

ditentukan, atau putus berobat maka akan menimbulkan mutan Mycobacterium

Tuberculosis yang resisten dengan pengobatan (Mapperenta et al, 2013).

Pada penelitian ini dijumpai, mayoritas pasien mendapatkan pengobatan TB

adalah di Puskesmas atau RS Pemerintah yang berjumlah 154 orang (65.2%) dan

(31)

yang berjumlah sebanyak 28 orang (11.9%). Kebanyakan pasien ini mendapatkan

pengobatan TB lebih dari satu tempat. Terdapat sebanyak 84 orang (75.7%) berobat

di satu tempat, 25 orang (22.5%) berobat di dua tempat dan terdapat 3 orang (1.8%)

yang berobat di ketiga tempat pengobatan tersebut. Kemungkinan jarak tempat asal

pasien ke fasilitas pengobatan mempengaruhi tempat mereka berobat serta pasien

berpendapat bahwa penyakitnya akan sembuh sekiranya berobat di beberapa tempat

dan tidak teratur berobat di satu tempat. Menurut Ti T et al. (2006), menyatakan

bahwa orang yang melakukan pengobatan tidak teratur memiliki risiko terkena

TB-MDR lebih besar dibandingkan dengan yang melakukan pengobatan teratur (Sarwani

(32)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang di peroleh, maka kesimpulan yang dapat

diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat sejumlah 111 penderita TB-MDR dengan pengobatan OAT lini

pertama.

2. Penyakit TB sering terjadi pada laki-laki sebanyak 79 kasus (71.2%) yang

berusia 41-50 tahun sebanyak 38 kasus (34.2%). Mayoritas pasien sudah

bernikah sebanyak 89 kasus (80.2%) dan berprofesi sebagai wiraswata

sebanyak 33 kasus (29.7%).

3. Jumlah penderita yang teratur berobat adalah sebanyak 58 kasus (51.8%).

4. Jumlah pengobatan TB terbanyak terdapat di Puskesmas atau RS Pemerintah

sebanyak 154 kasus (65.2%).

5. Jumlah penderita TB-MDR dengan riwayat pengobatan sebanyak 2 kali

pengobatan TB sebelumnya berjumlah 71 kasus (64.0%).

6.2Saran

 Sehubungan dengan tingginya angka kejadian TB MDR, maka pasien dengan

riwayat pengobatan lebih dari 2 kali pengobatan TB sebelumnya harus

disuspek terjadi TB MDR.

 Jika pasien tidak mengambil pengobatan yang tuntas maka pasien beresiko

untuk mendapat infeksi TB kembali jadi pasien haruslah mengambil

pengobatan seperti yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan agar pasien dapat

sembuh sepenuhnya dan dapat mencegah infeksi kembali.

 Dokter harus bertanya kepada pasien apakah pasien tersebut pernah

mendapatkan pengobatan TB sebelumnya setelah dokter menegakkan

diagnosa.

(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS PARU 2.1.1 DEFINISI

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari seluruh

kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis

extrapulmonar. Diperkirakan bahawa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi

kuman M.Tuberkulosis (Djojodibroto, 2009).

2.1.2 KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena

1. Tuberkulosis paru

:

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)

paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis extra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), tulang, persendian, kulit, usus,

ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

1. Tuberkulosis paru BTA positif

Klasifikasi berdasarkan dahak pemeriksaan mikroskopis:

(34)

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman tuberkulosis

positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru positif

Kriteria TB paru negatif harus meliputi yang berikut:

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA negatif

b) Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian obat antibiotika non OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk pemberian obat.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1.Tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif

Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.

Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru

yang luas.

2.Tuberkulosis ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,

yaitu:

i. Tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe, tulang

(35)

ii. 2) Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis tulang belakang,

tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan

OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.

3. Kasus setelah putus berobat (default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA

positif.

4.Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini

termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

(36)

2.1.3 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia

ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan

tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan

bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta

adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang

terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi

kuman tuberkulosis (Menkes RI, 2011).

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di

dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan

estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat

TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.

Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah

dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan

pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap

tahunnya.

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara

pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian

yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan

pengobatan pada tahun 2006.

Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan

diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+.

Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000

(37)

selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai

91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program

pengendalian TB nasional yang utama (Aditama, 2011).

2.1.4 MORFOLOGI

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan

ukuran 0,2 - 0,4 x 1 - 4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk

identifikasi bakteri tahan asam.

Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2 minggu bahkan

kadang-kadang setelah 6-8 rninggu. Suhu optimum 37°C, tidak tumbuh pada suhu

25°C atau lebih dari 40°C. Medium padat yang biasa dipergunakan adalah

Lowenstein-Jensen. PH optimum 6,4- 7,0.

Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6°C selama 15-20 menit. Biakan

dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat

bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8

– 10 hari. Biakan basil ini dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat

disimpan dalam lemari dengan suhu 20oC selama 2 tahun (Hiswani, 2004).

(38)

2.1.5 CARA PENULARAN

Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman

yang terdapat dalam paru–paru penderita, persebaran kuman tersebut diudara melalui

dahak berupa droplet. Penderita TB- Paru yang mengandung banyak sekali kuman

dapat terlihat langung dengan mikroskop pada pemeriksaan dahaknya (penderita BTA

positif) adalah sangat menular.

Penderita TB paru BTA positif mengeluarkan kuman–kuman ke udara dalam bentuk

droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini

mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis

dan dapat bertahan si udara selama beberapa jam.

Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika kuman

tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka kuman

mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang ke

orang lain (Hiswani, 2004).

2.1.6 PATOGENESIS

2.1.6.1 TUBERKULOSIS PRIMER

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 90% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirupnya dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan

seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi proses

imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat

dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,

makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.

Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus

(39)

Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus

primer Gohn.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus

primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe ( limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe akan terlibat adalah kelenjar limfe

parahilus (perihilier), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan

terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gambungan antara fokus primer, limfangitis, dan

limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan

pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak

masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi

selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa

inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10³-10⁴, yaitu

jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular (Werdhani).

2.1.6.2 TUBERKULOSIS SEKUNDER

TB sekunder berasal dari reaktivasi fokus yang dorman. Pada 5% populasi yang

terinfeksi TB, reaktivasi endogen dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer.

Reaktivasi TB ini biasanya terjadi di apeks paru. Lesi di apeks ini didapatkan melalui

penyebaran hematogen selama infeksi primer beberapa tahun sebelumnya. Segmen

apikal dan posterior dari lobus superior serta segmen apikal lobus inferior merupakan

tempat reaktivasi sering terjadi. Hal ini diakibatkan tekanan oksigen di tempat

(40)

Penjelasan lain adalah sistem pengaliran limfatik di daerah tersebut yang kurang baik.

Lesi di apeks tersebut merupakan kelanjutan dari fokus Simon yang terjadi setelah

infeksi primer. Setelah reaktivasi, lesi di fokus Simon akan berkonfluens, dan

mengalami likuefaksi serta ekskavasi. Infeksi sekunder juga dapat terjadi akibat

reinfeksi, walaupun hal ini jarang terjadi bila pasien berdomisili di negara-negara

maju (Werdhani).

2.1.7 FAKTOR RESIKO

Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti: status sosial ekonomi, status gizi, umur jenis kelamin, dan faktor toksis untuk

lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini :

1. Faktor Sosial ekonomi

Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan,

lingkungan dan sanitasi tempat bekrja yang buruk dapat memudahkan penularan

TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena

pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi

syarat – syarat kesehatan.

2. Status Gizi.

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain – lain

akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit

termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di

negara miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak – anak.

3. Umur.

Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif

(41)

harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem

imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit,

termasuk penyakit TB Paru.

4. Jenis Kelamin.

Penyakit TB-paru cenderung lebih tinggi pada jenis pada jenis kelamin laki –laki

dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada

sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-paru, dapat disimpulkan bahwa

pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru

dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin

laki–laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol

sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah

dipaparkan dengan agent penyebab TB-Paru (Hiswani, 2004).

2.1.8 MANIFESTASI KLINIS

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang

timbul sesuai dengan organ yang terlibat.

Gejala sistemik/umum:

 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam

hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti

influenza dan bersifat hilang timbul

 Penurunan nafsu makan dan berat badan  Perasaan tidak enak (malaise), lemah

Gejala khusus:

 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan

(42)

kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara

“mengi”,suara nafas melemah yang disertai sesak.

 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai

dengan keluhan sakit dada.

 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang

pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya,

pada muara ini akan keluar cairan nanah.

 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut

sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,

adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang (Werdhani).

2.1.9 PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,suhu demam,badan kurus atau

berat badan menurun.

Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama

pada kasus-kasus dini atau sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Bila dicurigai

adanya infiltrate yang agak luas, maka di dapatkan perkusi yang redup dan auskultasi

suara napas bronchial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki

basah,kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate diliputi oleh penebalan pleura, suara

napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi

memberi suara hipersonar atau timpani dan akultasi bersuara amforik (Crofton,

(43)

2.1.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.1.10.1 PEMERIKSAAN SPUTUM

Pemeriksaaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, keberhasilan

pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaaan dahak untuk

penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpul 3

spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa

dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

• S(Sewaktu)

Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.

Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan

dahak pagi pada hari kedua.

• P(Pagi)

Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidue. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas Fasyankes.

• S(Sewaktu)

Dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak

pagi.

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari

faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien

sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008). Untuk interpretasi

pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and

Lung Disease) yaitu :

(44)

- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

2.1.10.2 PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan

dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi

tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai

berikut:

• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru

BTA positif.

• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).

• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,

efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis

(45)

2.1.10.3 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto rontgen

toraks, tetapi ada beberapa gambaran yang karakteristik untuk tuberkulosis paru

yaitu:

 apabila lesi terdapat terutama di lapangan atas paru  bayangan berawan atau beracak

 terdapat kavitas tunggal atau multipel  terdapat kalsifikasi

 apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru  bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang

beberapa minggu kemudian (Crofton, 2002)

2.1.10.4 BRONKOSKOPI

Pemeriksaan bronkoskopi adalah pemeriksaan sistem pernapasan dengan

menggunakan endoskop. Endoskop adalah alat untuk memeriksa rongga di dalam

organ. Endoskop yanh digunakan untuk pemeriksaan organ paru disebut bronkoskop.

Pemeriksaan bronkoskopi termasuk dalam golongan tindakan invasive. Ada dua

macam pemeriksaan bronkoskopi, yaitu pemeriksaan dengan bronkoskop rigid dan

pemeriksaan dengan bronkoskop serat-optik lentur dapat terlihat 85% dari

keseluruhan jumlah bronkus subsegmental turunan ke-5 dan 55% dari keseluruhan

humlah bronkus subsegmental turunan ke-6. Visualisasi dan washing (cuci bronkus)

merupakan prosuder standar pemeriksaan bronkoskopi. Prosedur lain yang dapat

dilakukan adalah: biopsi transbronkial(TBB), broncho alveolar lavage(BAL),

transbronkial needle aspiration(TBNA),ultrasonografi bronkoskopik, dan

(46)

Indikasi dilakukan bronkoskopi,yaitu:

• Pemeriksaan hemoptysis,mencari asal pendarahan

• Pengambilan benda asing(corpus alienum)

• Terapi pada atelectasis

• Penggunaan di ICU: Intubasi intratrakea, menghisap secret

• Mendiagnosis dan menentukan staging kanker paru

• Mendiagnosis nodul di perifer dan infiltrate

• Mendiagnosis penyakit paru interstial

• Mendiagnosis pneumonia dengan cara mendapatkan sekret atau mucus di trakea atau bronkus

• Mendiagnosis penyebab batuk

• Mendiagnosis penyebab efusi pleura

Walaupun penggunaan bronkoskop dinilai dapat ditoleransi oleh pasien, terdapat

kemungkinan timbulnya komplikasi, yaitu hipoksemia, pendarahan, demam, aritmia

kordis, bronkospasme, pneumonia, dan pnuemotoraks. Pemeriksaan bronkoskopi

yang sampai menyebabkan kematian kejadiannya sangat kecil, yaitu 0,01%,

sedangkan penyebab komplikasi mayor, jumlahnya kurang dari 1%. Pemeriksaan

bronkoskopi dapat menyebabkan penurunan Pa02 antara 15-20mmHG (Djojodibroto,

2009).

2.1.10.5 Bronchoalveolar Lavage (BAL)

Bilas bronkoalveolar dilakukan (Bronkoalveolar Lavage) dilakukan untuk

memperoleh konstituen alveolus. BAL berbeda dengan bronkial washing. Pada

bronkial washing, cairan garam fisiologik yang digunakan untuk mendapatkan sel

bronkus hanya beberapa mL. Pada BAL, diperlukan 150-300mL cairan garam

(47)

untuk diperiksa. Cairan yang disemprotkan pertama sebanyak 20-30mL, dibuang

karena banyak mengandung sel bronki. Untuk menghindari sampling errors, dan

menghindari kontaminasi oleh darah, BAL dilakukan sebelum brushing atau TBB.

Bronkskop langsung mengarah ke perifer,yaitu ke bronkus subsegmental turunan

ke-4 atau turunan ke-5. Garam fisiologik disemprotkan dan langsung diisap kembali.

Komplikasi BAL adalah hipoksemia, demam, bronkospasme, dan pendarahan

(Djojodibroto, 2009).

2.1.11 DIAGNOSIS

Diagnosis TB Paru

• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan

dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis

sepanjang sesuai dengan indikasinya.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada

TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Diagnosis TB ekstra paru

• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada

Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar

limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang

(gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

• Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau

(48)

Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)

Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai

berikut:

1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. 2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran

klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB

positif.

3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang

terkena. (Menkes RI, 2011)

2.1.12 PENATALAKSANAAN

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Tabel 2.1: Pengelompokkan OAT

Kanamycin (Km) Amikacin (Am)

(49)

(Strategi Nasional Pengendalian TB, 2011)

Tabel 2.2 : Efek Samping OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Minor

Tidak nafsu makan,mual dan

sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam sebelum

tidur

Nyeri sendi Pyranazinamid Beri aspirin/allopurinol

Kesemutan sehingga rasa

terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 (piridoksin)

100mg perhari

Warna kemerahan pada air

seni

Rifampisin Beri penjelasan,tidak perlu

diberi apa-apa

Mayor

Gatal dan kemerahan pada

kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin dan

dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT

sehinnga ikterik hilang

Binggung dan muntah-muntah Hampir senua obat Hentikan semua OAT dan Golongan-4/Obat

belum terbukti efikasinya dan

(50)

lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol

Purpura dan renjatan (shok) Rifampisin Hentikan rifampisin

(Pedomen Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia)

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

 Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.

Tabel 2.3 : Dosis Obat AntiTuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap

BB

Fasa Intensif Fasa Lanjutan

2 bulan 4 bulan

Harian Harian 3X/minggu Harian 3X/minggu

(51)

>71 5 5 5 5 5

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis &

Penatalaksanaan di Indonesia.)

Available from:

Tahap Pengobatan TB Paru menurut Program Nasional Penanggulan TB di

Indonesia:

1. Tahap intensif

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara

langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif

tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam

kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka

waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT Yang Digunakan di Indonesia paduan pengobatan yang digunakan oleh

program nasional Penanggulangan TB oleh pemerintah Indonesia:

1. Kategori 1: 2 (HRZE) / 4 (HR)3

Tahap intensif diberikan untuk penderita baru TB paru BTA Positif, penderita TB

paru BTA negatif rontgen positif dan penderita TB ekstra paru terdiri dari Isonazid

(52)

setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri

dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

2. Kategori 2: 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5 (HR)3E3

Tahap intensif diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure),

dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) diberikan selama 3

bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan streptomisin (S),

diberikan setelah penderita selesai menelan obat. setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan

dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5

bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

3. Kategori 3 : 2(HRZ) / 4(HR)3

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),

diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali

seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif

sakit ringan dan Penderita TB ekstra paru ringan.

Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek

samping obat serta evaluasi keteraturan berobat.(PDPI,2006)

2.1.12.1 EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU

Evaluasi Klinik

• Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan

selanjutnya setiap 1 bulan

• Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada

tidaknya komplikasi penyakit

(53)

Evaluasi Bakteriologik (0-2-6/9)

• Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

• Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

- Pada akhir pengobatan

• Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)

Evaluasi Radiologik (0-2-6/9)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

• Sebelum pengobatan

• Setelah 2 bulan pengobatan

• Pada akhir pengobatan

Evaluasi Efek Samping Secara Klinik

• Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan

darah lengkap

• Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula

darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping

pengobatan

• Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

• Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.

• Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan

audiometri

• Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal

tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek

samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka

dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan

(54)

Evaluasi Keteraturan Berobat

• Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah

keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka

sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan

keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan

• Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Kriteria Sembuh

• BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir

pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

• Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/perbaikan

• Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

2.1.13 PENCEGAHAN

Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan

hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. Tersedia sarana-sarana

kedokteran, pemeriksaan pnderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan,

pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.

Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit

inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan. BCG, vaksinasi

diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan

keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa

tempat pencegahan. Memberantas penyakit TBC pada pemerah air susu dan tukang

(55)

2.2 MULTI DRUG RESISTANCE/MDR (RESISTEN GANDA)

2.2.1 DEFINISI

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH

dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis

dibagi menjadi :

• Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB

• Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak

• Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan sebelumnya (PDPI, 2006).

Drug Resistance TB dikonfirmasi melalui uji laboratorium yang menunjukkan bahwa

isolate Mycobacterium Tuberculosis dapat tumbuh secara invitro meskipun dengan

adanya satu atau lebih obat antituberkulosis(OAT). Empat kategori resistensi OAT

dapat dibedakan atas:

 Mono-resistance: resistensi terhadap salah satu dari OAT

 Poly-resistance: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid

(INH) dan rifampisin secara bersamaan

 Multidrug-resistance: resisten terhadap sekurang-kurangnya INH beserta

rifampisin

 Extensive drug-resistance: Multidrug-resistance ditambah resisteni terhadap

salah satu golongan fluroquinolon, dan sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini

(56)

2.2.2 PATOGENESA TB-MDR

Kejadian resistensi M.Tuberculosis terhadap OAT adalah akibat mutasi alami.

Amplifikasi M.Tuberculosis yang resisten selanjutnya terjadi akibat kesalahan

manusia seperti:

 Kesalahan pengelolaan OAT  Kesalahan manajemen kasus TB

 Kesalahan proses penyampaian OAT kepada pasien  Kesalahan hasil uji DST

 Pemakaian OAT dengan mutu rendah

 Kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang tidak selesai

TB yang rentan OAT dan TB yang resisten menular dengan cara yang sama yaitu

melalui droplet saluran nafas yang menyebar di udara (Yunita, 2011).

2.2.3 PENYEBAB

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,yaitu :

• Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal

pengobatan, maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi

yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin

dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut

sudah cukup tinggi

(57)

mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian

seterusnya

• Fenomena “addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.

• Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan

menambah panjang nya daftar obat yang resisten

• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat

• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

• Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan

• Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB

• Belum menggunakan strategi DOTS (PDPI, 2006)

2.2.4 FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor resiko untuk terjadinya kasus TB-MDR adalah:

 Pengobatan TB yang sebelumnya tidak berhasil(kasus kambuh, gagal, kronik)  Kontak erat dengan penderita TB-MDR

 Orang dengan daya tahan tubuh yang rendah

 Tinggal/lahir di tempat prevalensi TB-MDR yang tinggi

 Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat (Yunita, 2011)

2.2.5 MEKANISME RESISTENSI OAT Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hdyrasilasi dari asam isonikotonik, molekul yang larut air

(58)

menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting

pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen

seperti rekasi katase peroksidase.

Mutan M.Tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan

kecepatan 1 dalam 10⁵-10⁶ organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan

oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau

promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi

katG berkaitan dengan berkurangya aktivitas katalase dan peroksidase (Syahrini,

2008).

Mekanisme Resistensi Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang

bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun extraseluler. Obat ini menghambat

sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase

yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan

gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,

biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frequensi 1: 10⁷ atau

lebih.

Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barrier atau

adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin menghambat RNA

polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA

bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai

(chain elongation), terapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi

rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frequensi tinggi

dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10ˉ ⁷ sampai 10ˉ³, dengan akibat terjadi pada

gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan

(59)

Mekanisme Resistensi Terhadap Pirazinamid

Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai

bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif

terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan

pH netral, pirazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan

bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana

asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil

tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pirazinoat.

Mekanisme resistensi pirazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas

pirazinamidase sehingga pirazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam

pirazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pirazinamid ini berkaitan dengan mutasi pada

gen pncA, yang menyandikan pirazinamidase (Syahrini, 2008).

Mekanisme Resistensi Terhadap Etambutol

Etambutol merupakan turunan ethlyenediamine yang larut air dan aktif hanya pada

mycobakteria. Etambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar.

Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang

memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam

dinding sel.

Resistensi etambutol pada M.Tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi

missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltranferase. Mutasi ini

telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam

(60)

Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomisin

Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces

griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menggangu

fungsi ribosomal.

Pada 2/3 strain M.Tuberkulosis yang resisten terhadap streptomisin telah

diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S

rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target

diyakini terlibat pada ikatan streptomisin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada

rpsl. Mutasi pada rpsl telh diindentifikasi sebanyak 50% isolate yang resisten

terhadap streptomisin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang

menjadi lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frequensi resisten mutan terjadi

pada 1 dari 10⁵ sampai 10⁷ organisme. Strain M.Tuberculosis yang resisten terhadap

streptomisin tidak mengalami resisten silang terhadap capreomisin maupun amikasin

(Syahrini, 2008).

2.2.6 DIAGNOSA SUSPEK TB-MDR

Menurut Menkes RI, (2011):

1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)

2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.

3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.

4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.

6. Pasien TB kambuh.

7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.

8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR

(61)

2.2.7 PENATALAKSANAAN

Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah

berikut:

• Pengobatan menggunakan minimal 4 macam obat OAT yang masih efektik

• Jangan menggunakn obat yang kemungkinan menimbulkan resisten silang (cross-resistance)

• Membatasi penggunaan yang tidak aman

• Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus

dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.

• Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6

bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

• Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan

jarak pemeriksaan 30 hari.

• Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO

diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.

Pilihan panduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah panduan

standar ( standardized treatment), yaitu:

Panduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila (Menkes RI, 2011):

a. Etambutol

(62)

sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap etambutol.

b. Panduan

OAT disesuaikan panduan atau dosis pada:

 Pasien TB

MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.

 Bila ada

riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.

 Terjadi efek

samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi penyebabnya.

 Terjadi

(63)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan satu dari sepuluh penyakit didunia penyebab kematian.

Tuberkulosis ialah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis masih menjadi permasalahan kesehatan

masyarakat dunia dimana setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 9 juta penderita

baru dengan kematian 3 juta orang (Oktaviani, 2011).

Menurut Departmen Kesehatan, kini penanggulan TB di Indonesia menjadi lebih

baik, data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan Indonesia turun

dari peringkat tiga menjadi ke peringkat lima dunia dengan jumlah insiden terbanyak

TB pada tahun 2009 setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Beberapa hasil

dan pencapaian program TB, menurut Tjandra Yoga angka keberhasilan pengobatan

TB di Indonesia naik sebesar 91% pada tahun 2008. Target pencapaian angka

penemuan kasus TB paru Case Detection Rate ( CDR) tahun 2009 sudah mencapai

73,1%. Insiden TB paru sejak tahun 1998 hingga 2005 trennya menurun dan rata-rata

penurunan insiden TB paru positif pada tahun 2005-2007 adalah 2,4% (Tirtana,

2011).

Namun masih terdapat tantangan dalam pengobatan TB di dunia dan di Indonesia,

antara lain kegagalan pengobatan,putus pengobatan, pengobatan yang tidak benar

sehingga mengakibatan terjadinya kemungkinan retensi primer kuman TB terhadap

(64)

MDR-TB merupakan bentuk TB yang tidak merespon terhadap standar 6 bulan

pengobatan yang menggunakan obat standard atau first-line(resisten terhadap

isoniazid dan rifampicin). Dibutuhkan waktu 2 tahun untuk diobati dengan obat yang

100 kali lebih mahal dibandingkan pengobatan dengan obat standard (first-line)

(Mapparenta, 2013).

Menurut Tjandra Yoga dalam Tanggap,B (2011),pada perokok terjadi gangguan

makrofag dan meningkatkan resistensi saluran nafas dan permeabilitas epitel paru.

Rokok akan menurunkan sifat responsif antigen. Insiden dan beratnya TB

berhubungan dengan penggunaan rokok. Penderita TB paru yang masih merokok

sejak terdiagnosis TB paru akan berisiko 1.204 kali lebih besar untuk mengalami

kejadian TB paru resisten dibanding yang tidak merokok sejak terdiagnosis TB paru

(Mapparenta, 2013).

Setyarini dalam Tanggap, B (2011) yang mendapati bahwa sebagian besar pasien TB

yang resisten OAT memiliki status gizi kurang (61.5%). Infeksi TB dapat

menyebabkan penurunan berat badan,status gizi yang buruk meningkatkan risiko

infeksi dan penyebaran penyakit TB. Selain itu, gizi kurang akan menyebabkan daya

tahan tubuh rendah sehingga pertahanan tubuh terhadap kuman TB akan berkurang.

Studi Tanggap (2011) bahwa peningkatan status gizi selama 6 bulan saat pengobatan

berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan (Mapparenta, 2013).

Obat tuberculosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama 6 bulan

berturut-turut tanpa henti. Kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu

diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah. Apabila pengobatan

terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali

penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya

(65)

Tahitu (2006) kegagalan pengobatan TB disebabkan oleh kebiasaan pasien meminum

obat. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak patuh meminum

obat akan berisiko 41,8 kali mengalami kegagalan konversi BTA(+) dibandingkan

responden yang patuh meminum obat. Resisten terhadap OAT disebabkan pasien

tidak meminum obat secara teratur selama periode waktu yang ditentukan sehingga

dapat mempengaruhi dalam upaya penyembuhan (Aditama dalam Setyowati 2011).

Risiko kejadian TB paru resisten dengan ketidakpatuhan minum obat yaitu 3,5 kali

lebih besar dibandingkan penderita TB paru yang patuh minum obat (Mapparenta,

2013).

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah profil pemberian pengobatan OAT (Obat Anti-Tuberkulosis) lini

pertama pada penderita TB-MDR”.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui profil pemberian OAT ( Obat Anti-Tuberkulosis) lini pertama

pada penderita TB-MDR.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui jumlah penderita TB-MDR dengan pengobatan OAT lini

pertama

2. Mengetahui demografi (umur, jenis kelamin, pekerjaan dan status

perkahwinan) penderita TB-MDR

3. Mengetahui keteraturan pengobatan OAT lini pertama

(66)

5. Mengetahui frequensi pemberian OAT lini pertama

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bidang Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi tambahan dalam

meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang kesehatan khususnya dalam

mengevaluasi pemberian OAT pada penderita TB supaya tidak terjadi TB

MDR.

1.4.2 Bidang Pelayanan Masyarakat

Data atau informasi hasil penelitian ini dapat memberi informasi tentang

penyakit TB dan TB MDR.

1.4.3 Bidang Akademis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan bacaan untuk

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Tabel 5.3 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Status Pernikahan
Gambar 5.6 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Tempat Pengobatan TB
Gambar 2.1 Electron Micrograph of Mycobacterium Tuberculosis
+4

Referensi

Dokumen terkait

 double klik kiri pada DIAGRAM (yang telah terjaring blok hitam).  Setelah muncul kotak isian, ISI atau GANTI dengan NILAI

[r]

[r]

Acara : Klarifikasi dan negosiasi teknis dan biaya Pekerjaan Pembuatan DED Gedung BLKLN Semarang Tahun 2012.. Atas perhatian dan kehadiran Saudara, kami ucapkan

katalog berdasarkan instansi dan menurut urutan waktu. e) Penyimpan mempunyai tugas menyimpan kartu kendali lembar III berwarna kuning yang diterima kembali dari tatausaha

Bagi peserta yang merasa keberatan atas pengumuman ini diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan kepada Panitia Cut and Fill pengembangan Kampus II IAIN

[r]

Kedua Ketetapan pemenang ini dibuat dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam pengadaan Barang/Jasa. Ditetapkan di