LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Renjitha A/P Gurunathan
Tempat / Tanggal Lahir : Malaysia / 07 April 1993
Agama : Hindu
Alamat : Jalan Jamin Ginting No.46, Padang Bulan, Medan,
Indonesia.
Riwayat Pendidikan :
1. Sekolah Kebangsaan (1) Convent Bukit Nanas, Malaysia
2. Sekolah Menengah Kebangsaan Convent Bukit Nanas, Malaysia
3. Nirwana College
Riwayat Organisasi :
1. Anggota Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Di Indonesia (PKPMI),
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Anggota Kelab Kebudayaan India Malaysia (KKIM),
LAMPIRAN 4 DATA INDUK
NO UMUR SEX S.KAHWIN PEKERJAAN PEMBERIAN OAT
1 44 L Udah Pegawai Swasta 6 bulan Puskesmas
2 45 L Udah Petani 6 bulan Puskesmas
1 bulan Dokter umum
3 47 P Udah IRT 6 bulan Puskesmas
9 bulan I Puskesmas
15 31 L Udah Pegawai Swasta 6 bulan DPS
1 tahun RS Pemerintah
29 34 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas
4 bulan RS Pemerintah
3 bulan Rs Pemerintah
5 bulan RS Pemerintah
5 bulan RS Pemerintah
2 bulan RS Pemerintah
40 67 L Udah Wiraswasta 9 bulan DPS
9 bulan Puskesmas &
53 22 L Belum Wiraswasta 6 bulan Puskesmas
7 bulan RS Pemerintah
101 57 L Udah Supir 6 bulan RS
1 bulan RS
102 55 P Udah IRT 6 bulan Puskesmas
2 bulan Puskesmas
9 bulan Puskesmas
103 48 P Janda Wiraswasta 6 bulan Puskesmas
6 bulan RS
5 bulan DPS
3 bulan DPS
104 32 L Udah Petani 4 bulan Puskesmas
8 bulan Puskesmas
2 bulan Puskesmas
105 41 L Udah Buruh 6 bulan Dr Umum
2 bulan Puskesmas
106 55 L Udah Wiraswasta 9 bulan RS
107 53 L Udah Petani 9 bulan RS
108 43 P Udah PNS 6 bulan Puskesmas
3 bulan Puskesmas
109 62 L Udah PNS 6 bulan Puskesmas
8 bulan Rs Pemerintah
110 55 L Udah Perbengkelan 2 bulan Puskesmas
3 bulan RS
111 66 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas
LAMPIRAN 5
OUTPUT DATA HASIL PENELITIAN
Distribusi Data Penelitian
Umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Jenis Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T. Y. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB. Kementerian Kesehatan
REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Diunduh: http://pppl.depkes.go.id / _asset
/_regulasi/STRANAS_TB.pdf. [Diakses pada 3 Juni 2014]
Ạmad, I., Aqil, F., & Wiley InterScience (Online service) (2008). Types of bacterial
infections. New strategies combating bacterial infection. Weinheim:
Wiley-VCH. Hal 73.
Crofton, J. 2002. Diagnosis TB.Tuberkulosis Klinis (2nd ed.)..Indonesia:
Penerbit Widya Medika. Hal 96-103
Dalimunthe, N., Keliat, E.N., Abidin, A. Penatalaksanaa Tuberkulosis dengan
Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi,
Departmen Ilmu Penyakit Dalam,Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera.
Diunduh
Djojodibroto, D. 2009. Tuberkulosis Paru. Respirologi (Respiratory Medicine).
Jakarta: EGC. Hal 151-168.
Herlina, L. Tuberkulosis dan Faktor Resiko Kejadian Multidrug Resistant
Tuberculosis (MDR TB/Resistensi Ganda). Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Padjadjaran. Diunduh
Hiswani, 2004. Tuberkolosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi
Masalah Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara. Diunduh
International Union Against Tuberculosis And Lung Disease (2010)
Diunduh:
[Diakses pada 15 Maret 2014]
Mapparenta, M.A., Suriah., Ibnu, I.F. 2013.Perilaku Pasien Tuberkulosis Tipe MDR
Di BBKPM dan RSUD Labung Baji Kota Makassar Tahun 2013. Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNHAS.
Diunduh
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011). (2nd ed) Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009. Pedomen
Penanggulan Tuberkulosis (TB).
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2009). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009. Pedomen Penanggulan
Tuberkulosis (TB)
Otaviani, D. 2011. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis dengan
Status Gizi Anak Penderita Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Diunduh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Diunduh
Rahajoe, N. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan TB. Buku Ajar Respirologi
Anak (1st ed.). Jakarta, Indonesia. Hal 163-170
Sarwani, Nurlaela, S.,A Zahratul, Isnani 2012. Faktor Risiko Multidrug Resistant
Tuberculosis (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat. Diunduh:
Syahrini, H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departmen Ilmu Penyakit
Dalam R.S.U.P. H. Adam Malik Universitas Sumatera Utara.
Tirtana, B.T. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan pada
Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis di
Wilayah Jawa Tengah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Diunduh
2014]
Werdhani, R. A. Patofisiologi,Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. Departemen
Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga,FKUI.
Diunduh
Yunita, R. 2011
Multi-Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Departmen Mikrobiologi
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 KERANGKA KONSEP
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
3.2 DEFINISI OPERASIONAL
1) Riwayat OAT : Informasi tentang pengunaan OAT pada seseorang pada masa
lalu
2) Pengobatan OAT lini pertama : Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid,
Etambutol dan Streptomisin
3) Terdiagnosa TB-MDR : TB-MDR menunjukkan M.tuberkulosis yang resisten
terhadap Rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT
lainnya.
Riwayat pengobatan OAT lini pertama
Tabel 3.1. Variabel, Alat Ukur, Hasil Ukur, dan Skala Ukur
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Gejala Klinis TB
paru
Hasil dari data
rekam medik
Tempoh waktu
timbulnya kembali
gejala klinis TB
paru
Ordinal
Riwayat pengobatan
OAT lini pertama
Hasil dari data
rekam medik
Tempoh waktu
pengambilan
pengobatan
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 JENIS PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian berupa
cross-sectional study untuk melihat profil pemberian OAT lini pertama pada pasien
TB-MDR di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik periode bulan Juli
2012 hingga April 2014.
4.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
4.2.1 WAKTU PENELITIAN
Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan 1 Juni 2014 hingga 1 Desember
2014, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan dan analisis data.
4.2.2 TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik yang merupakan RS Rujukan
TB-MDR untuk wilayah regional Sumatera Utara dan tersediannya data pasien TB-TB-MDR.
4.3 POPULASI DAN SAMPEL
4.3.1 POPULASI
Populasi dari penelitian ini adalah semua penderita TB-MDR yang sudah mempunyai
4.3.2 SAMPEL
Kriteria inklusi:
1) Umur >20 tahun
Kriteria eksklusi:
1) Rekam medik yang tidak memiliki data pengobatan OAT lini pertama
Sampel penelitian ini adalah data pasien TB-MDR yang ada di RSUP Haji Adam
Malik periode bulan 1 Juli 2012 hingga 30 April 2014. Sampel dalam penelitian ini
adalah populasi yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan
sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode total sampling.
4.4 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat, dikelompokkan kemudian diolah sesuai
dengan tujuan penelitian dengan menggunakan komputer dengan SPSS (Statistical
Package for the Social Science) versi 17, kemudian dianalisa secara deskriptif dan
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dengan SK
Menkes No.335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan
sesuai dengan SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai
pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga merupakan pusat rujukan
kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera
Utara,Aceh,Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas kurang
lebih 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 Km 12, Kecamatan Medan
Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara.
RSUP H.Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari
pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat darurat,
bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi diagnostik terpadu,
patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi medik, kardiovaskular,
mikrobiologi), pelayanan penunjang non medis (instalasi gizi, farmasi, Central
Sterilization Supply Depart (CSSD), bioelektrik medik, Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS), dan pelayanan non medis (instalasi tata usaha
pasien,teknik sipil pemulasaraan jenazah).
5.1.2 Dekskripsi Data Penelitian
Dari 141 pasien TB MDR yang berobat jalan di RSUP H.Adam Malik pada
periode Juli 2012 hingga April 2014, hanya 111 data pasien yang digunakan dalam
penelitian ini, sementara 30 data yang lainnya dimasukkan ke dalam kriteria ekslusi
karena hasil pemberian OAT lini pertama yang tidak tercantum di dalam rekam medis
adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis pasien TB MDR yang
berobat jalan di RSUP H.Adam Malik pada periode Juli 2012 hingga April 2014.
Jumlah data keseluruhan adalah 111 data rekam medis yang lengkap berisi
umur, jenis kelamin, status kahwin, pekerjaan, tempat pengobatan TB dan frequensi
pengobatan TB.
5.1.2.1 Distribusi Pasien TB MDR yang Berobat Jalan Berdasarkan Umur
Tabel 5.1 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Umur Umur Frekuensi (n) Persentase (%)
20-30 tahun 21 18.9
31-40 tahun 24 21.6
41-50 tahun 38 34.2
51-60 tahun 20 18.0
61-70 tahun 6 5.4
71-80 tahun 2 1.8
Total 111 100.0
Berdasarkan table 5.1, didapati bahwa mayorits pasien yang berobat berumur
41-50 tahun yaitu sejumlah 38 orang (34.2%), pada rentang usia 31-40 tahun adalah
sejumlah 24 orang (21.6%), pada rentang usia 20-30 tahun sejumlah 21 orang
(18.9%), pada rentang usia 51-60 tahun sejumlah 20 orang (18.0%), pada rentang usia
61-70 tahun sejumlah 6 orang (5.4%), dan pada rentang usia 71-80 tahun adalah yang
5.1.2.2 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.2 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 79 71.2
Perempuan 32 28.8
Total 111 100.0
Berdasarkan table 5.2, didapati bahwa mayorits pasien berjenis kelamin
laki-laki yang berobat untuk pengobatan OAT yaitu sebanyak 79 orang (71.2%),
sedangkan pasien yang berjenis perempuan adalah sebanyak 32 orang (28.8%).
5.1.2.3 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Status Pernikahan
Tabel 5.3 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Status Pernikahan
Berdasarkan Tabel 5.3, didapati bahwa mayoritas pasien yang berobat untuk
pengobatan TB adalah pasien yang sudah menikah yaitu sejumlah 89 orang (80.2%),
sementara pasien yang belum menikah adalah sebanyak 18 orang (16.2%), dan pasien
yang janda adalah sebanyak 4 orang (3.6%).
Status Pernikahan Frekuensi (n) Persentase (%)
Sudah Menikah 89 80.2
Belum Menikah 18 16.2
Janda 4 3.6
5.1.2.4 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Tabel 5.4 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Berdasarkan Tabel 5.4, dapat dilihat bahwa mayoritas pasien berprofesi
sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 33 orang (29.7%), sementara jenis pekerjaan
pasien yang paling sedikit adalah sebagai penarik becak yaitu sebanyak 1 orang
(0.9%).
Jenis Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)
Buruh 2 1.8
Guru 4 3.6
IRT 17 15.3
Karyawan 7 6.3
Mahasiswa 2 1.8
Pegawai Swasta 10 9.0
Petani 11 9.9
PNS 10 9.0
Supir 10 9.0
Penarik Becak 1 0.9
Perbengkelan 4 3.6
Wiraswasta 33 29.7
5.1.2.5 Distribusi Berdasarkan Frequensi Pengobatan TB
Tabel 5.5 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Frekuensi Pengobatan TB
Frekuensi Pengobatan Frekuensi (n) Persentase (%)
1x pengobatan 30 27.0
2x pengobatan 51 45.9
3x pengobatan 20 18.0
4x pengobatan 7 6.3
5x pengobatan 1 0.9
6x pengobatan 2 1.8
Total 111 100.0
Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat bahwa mayoritas pasien dengan riwayat
pengobatan 2 kali berjumlah 51 orang (45.9%), diikuti dengan riwayat pengobatan 1
kali berjumlah 30 orang (27.0%), riwayat pengobatan 3 kali berjumlah 20 orang
(18.0%), riwayat pengobatan 4 kali berjumlah 7 orang (6.3%), riwayat pengobatan 6
kali berjumlah 2 orang (1.8%) dan minoritas pasien dengan riwayat pengobatan 5 kali
pengobatan TB sebelumnya sejumlah 1 orang (0.9%). Terdapat sebanyak 58 orang
(51.8%) yang teratur berobat sementara terdapat sejumlah 53 orang (48.2%) yang
5.1.2.6 Distribusi Berdasarkan Tempat Pengobatan TB
Gambar 5.6 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Tempat Pengobatan TB
Berdasarkan gambar 5.6, mayoritas pasien mendapatkan pengobatan TB
terbanyak di Puskesmas atau RS Pemerintah yaitu sejumlah 154 orang (65.2%),
sementara pasien TB mendapatkan pengobatan TB melalui Dr Spesialis adalah
sebanyak 54 orang (22.9%), manakala pasien TB mendapatkan pengobatan yang
paling sedikit adalah di RS Swasta (Dr.Umum) yaitu sebanyak 28 orang (11.9%).
Terdapat sebanyak 84 orang (75.7%) berobat di satu tempat, 25 orang (22.5%)
berobat di dua tempat dan terdapat 3 orang (1.8%) yang berobat di ketiga tempat
5.2 PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini, dijumpai mayoritas pasien yang berobat berumur
41-50 tahun sebanyak 38 orang (34.2%) sementara minoritas pasien berobat berumur
71-80 tahun adalah sejumlah 2 orang (1.8%). Menurut B. T Tirtana kelompok umur yang
rentan terkena TB pada dasarnya adalah pada usia produktif karena kebanyakan
keluar rumah mencari nafkah pada usia produktif, dengan frekuensi keluar rumah
yang sering dapat dimungkinkan terjadi penularan.
Menurut Munawwarah et al. (2013), pasien berjenis kelamin laki-laki lebih
rentan menderita TB karena laki-laki sebagai ketua keluarga yang lebih banyak
beraktifitas di luar sehingga mudah untuk tertular TB. Banyak aktivitas yang
dilakukan menjadi penyebab kelalaian menjalani pengobatan sehingga menjadi
MDR-TB. Laki-laki juga biasanya sulit untuk di atur sehingga kemungkinan lalai
selama pengobatan lebih besar dibanding perempuan. Pada penelitian ini didapati
bahwa mayoritas pasien yang berobat untuk pengobatan TB adalah berjenis kelamin
laki-laki yaitu sejumlah 79 orang (71.2%) sementara pasien berjenis kelamin
perempuan didapati sebanyak 32 orang (28.8%).
Pada penelitian ini dijumpai mayoritas pasien yang datang berobat adalah
mereka yang sudah menikah yaitu sejumlah 89 orang (80.2%). Salah satu alasannya
adalah kemungkinan mereka dipengaruhi oleh anggota keluarga dan teman-teman
mereka ketika mereka kembali ke rumah setelah motivasi/pengobatan awal dan
pengobatan wajib bulan pertama. Motivasi dari anggota keluarga lain mungkin
berpengaruh ke pasien untuk mendukung program pengobatan TB secara tuntas
(Sarwani et al, 2012).
Studi di Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar pasien TB resisten
OAT adalah bekerja sebagai pedagang/ wiraswasta (38,5%). Dari hasil penelitian ini
didapati bahwa mayoritas pasien yang datang berobat bekerja sebagai wiraswasta
yaitu sebanyak 33 orang (29.7%) sementara minoritas pasien berprofesi sebagai
penelitian terpapar oleh zat-zat yang dapat mengganggu fungsi paru dan pekerjaan
yang memungkinkan subyek penelitian yang kontak dengan pasien TB dianggap
sebagai pekerjaan yang berisiko (Tirtana, B.T, 2011).
Menurut Mapperenta et al. (2013), di Indonesia masih banyak ditemukan
ketidakberhasilan dalam terapi tuberkolosis, hal ini disebabkan karena ketidakpatuhan
pasien dalam meminum obat secara rutin sehingga dapat menyebabkan resistensi
kuman tuberkulosis terhadap obat-obat anti tuberkulosis dan kegagalan terapi.
Ketidaksesuaian pemilihan jenis obat OAT berdasarkan standar pengobatan dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan terapi dan terjadinya kekambuhan karena jenis
obat yang diterima pasien tidak sesuai dengan keadaan dan perkembangan
pengobatan tuberkulosisnya.
Pada penelitian ini dijumpai, mayoritas pasien dengan riwayat pengobatan
sebanyak 2 kali yaitu sejumlah 51 orang (45.9%) dan minoritas pasien dengan
riwayat pengobatan sebanyak 5 kali adalah berjumlah 1 orang (0.9%). Pengobatan TB
dilakukan dengan pemberian OAT yang diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat. Pengobatan TB diberikan dalam 2
tahap yaitu tahap awal (intensif) selama 2 bulan dan tahap lanjutan selama 4 bulan.
Untuk pengobatan selanjutnya setelah 6 bulan sekiranya pasien tidak sembuh maka
harus dicuriga terjadi TB-MDR. Menurut Dwiastuti (2011), riwayat pengobatan
merupakan faktor resiko kejadian TB paru resisten. Risiko kejadian TB paru resisten
dengan riwayat pengobatan lebih besar dibandingkan dengan penderita TB paru yang
tidak memiliki riwayat pengobatan sebelumnya. Menurut Notoamodja, S(2010),
pengobatan dapat berhasil jika dipengaruhi oleh kepatuhan penderita meminum obat.
Jika penderita tidak patuh meminum obat, berhenti minum obat sebelum waktu yang
ditentukan, atau putus berobat maka akan menimbulkan mutan Mycobacterium
Tuberculosis yang resisten dengan pengobatan (Mapperenta et al, 2013).
Pada penelitian ini dijumpai, mayoritas pasien mendapatkan pengobatan TB
adalah di Puskesmas atau RS Pemerintah yang berjumlah 154 orang (65.2%) dan
yang berjumlah sebanyak 28 orang (11.9%). Kebanyakan pasien ini mendapatkan
pengobatan TB lebih dari satu tempat. Terdapat sebanyak 84 orang (75.7%) berobat
di satu tempat, 25 orang (22.5%) berobat di dua tempat dan terdapat 3 orang (1.8%)
yang berobat di ketiga tempat pengobatan tersebut. Kemungkinan jarak tempat asal
pasien ke fasilitas pengobatan mempengaruhi tempat mereka berobat serta pasien
berpendapat bahwa penyakitnya akan sembuh sekiranya berobat di beberapa tempat
dan tidak teratur berobat di satu tempat. Menurut Ti T et al. (2006), menyatakan
bahwa orang yang melakukan pengobatan tidak teratur memiliki risiko terkena
TB-MDR lebih besar dibandingkan dengan yang melakukan pengobatan teratur (Sarwani
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang di peroleh, maka kesimpulan yang dapat
diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat sejumlah 111 penderita TB-MDR dengan pengobatan OAT lini
pertama.
2. Penyakit TB sering terjadi pada laki-laki sebanyak 79 kasus (71.2%) yang
berusia 41-50 tahun sebanyak 38 kasus (34.2%). Mayoritas pasien sudah
bernikah sebanyak 89 kasus (80.2%) dan berprofesi sebagai wiraswata
sebanyak 33 kasus (29.7%).
3. Jumlah penderita yang teratur berobat adalah sebanyak 58 kasus (51.8%).
4. Jumlah pengobatan TB terbanyak terdapat di Puskesmas atau RS Pemerintah
sebanyak 154 kasus (65.2%).
5. Jumlah penderita TB-MDR dengan riwayat pengobatan sebanyak 2 kali
pengobatan TB sebelumnya berjumlah 71 kasus (64.0%).
6.2Saran
Sehubungan dengan tingginya angka kejadian TB MDR, maka pasien dengan
riwayat pengobatan lebih dari 2 kali pengobatan TB sebelumnya harus
disuspek terjadi TB MDR.
Jika pasien tidak mengambil pengobatan yang tuntas maka pasien beresiko
untuk mendapat infeksi TB kembali jadi pasien haruslah mengambil
pengobatan seperti yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan agar pasien dapat
sembuh sepenuhnya dan dapat mencegah infeksi kembali.
Dokter harus bertanya kepada pasien apakah pasien tersebut pernah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya setelah dokter menegakkan
diagnosa.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TUBERKULOSIS PARU 2.1.1 DEFINISI
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari seluruh
kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
extrapulmonar. Diperkirakan bahawa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi
kuman M.Tuberkulosis (Djojodibroto, 2009).
2.1.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena
1. Tuberkulosis paru
:
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis extra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
1. Tuberkulosis paru BTA positif
Klasifikasi berdasarkan dahak pemeriksaan mikroskopis:
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman tuberkulosis
positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru positif
Kriteria TB paru negatif harus meliputi yang berikut:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian obat antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk pemberian obat.
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1.Tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas.
2.Tuberkulosis ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
i. Tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe, tulang
ii. 2) Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis tulang belakang,
tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih dan alat kelamin.
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4.Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
2.1.3 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta
adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang
terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis (Menkes RI, 2011).
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat
TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah
dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan
pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap
tahunnya.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara
pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian
yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan
pengobatan pada tahun 2006.
Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan
diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+.
Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000
selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai
91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB nasional yang utama (Aditama, 2011).
2.1.4 MORFOLOGI
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan
ukuran 0,2 - 0,4 x 1 - 4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk
identifikasi bakteri tahan asam.
Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2 minggu bahkan
kadang-kadang setelah 6-8 rninggu. Suhu optimum 37°C, tidak tumbuh pada suhu
25°C atau lebih dari 40°C. Medium padat yang biasa dipergunakan adalah
Lowenstein-Jensen. PH optimum 6,4- 7,0.
Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6°C selama 15-20 menit. Biakan
dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat
bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8
– 10 hari. Biakan basil ini dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat
disimpan dalam lemari dengan suhu 20oC selama 2 tahun (Hiswani, 2004).
2.1.5 CARA PENULARAN
Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang terdapat dalam paru–paru penderita, persebaran kuman tersebut diudara melalui
dahak berupa droplet. Penderita TB- Paru yang mengandung banyak sekali kuman
dapat terlihat langung dengan mikroskop pada pemeriksaan dahaknya (penderita BTA
positif) adalah sangat menular.
Penderita TB paru BTA positif mengeluarkan kuman–kuman ke udara dalam bentuk
droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini
mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis
dan dapat bertahan si udara selama beberapa jam.
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika kuman
tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka kuman
mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang ke
orang lain (Hiswani, 2004).
2.1.6 PATOGENESIS
2.1.6.1 TUBERKULOSIS PRIMER
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 90% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirupnya dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi proses
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Gohn.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe ( limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus (perihilier), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gambungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi
selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa
inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10³-10⁴, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular (Werdhani).
2.1.6.2 TUBERKULOSIS SEKUNDER
TB sekunder berasal dari reaktivasi fokus yang dorman. Pada 5% populasi yang
terinfeksi TB, reaktivasi endogen dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer.
Reaktivasi TB ini biasanya terjadi di apeks paru. Lesi di apeks ini didapatkan melalui
penyebaran hematogen selama infeksi primer beberapa tahun sebelumnya. Segmen
apikal dan posterior dari lobus superior serta segmen apikal lobus inferior merupakan
tempat reaktivasi sering terjadi. Hal ini diakibatkan tekanan oksigen di tempat
Penjelasan lain adalah sistem pengaliran limfatik di daerah tersebut yang kurang baik.
Lesi di apeks tersebut merupakan kelanjutan dari fokus Simon yang terjadi setelah
infeksi primer. Setelah reaktivasi, lesi di fokus Simon akan berkonfluens, dan
mengalami likuefaksi serta ekskavasi. Infeksi sekunder juga dapat terjadi akibat
reinfeksi, walaupun hal ini jarang terjadi bila pasien berdomisili di negara-negara
maju (Werdhani).
2.1.7 FAKTOR RESIKO
Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti: status sosial ekonomi, status gizi, umur jenis kelamin, dan faktor toksis untuk
lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini :
1. Faktor Sosial ekonomi
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan,
lingkungan dan sanitasi tempat bekrja yang buruk dapat memudahkan penularan
TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena
pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi
syarat – syarat kesehatan.
2. Status Gizi.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain – lain
akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit
termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di
negara miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak – anak.
3. Umur.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif
harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem
imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit,
termasuk penyakit TB Paru.
4. Jenis Kelamin.
Penyakit TB-paru cenderung lebih tinggi pada jenis pada jenis kelamin laki –laki
dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-paru, dapat disimpulkan bahwa
pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru
dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin
laki–laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol
sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah
dipaparkan dengan agent penyebab TB-Paru (Hiswani, 2004).
2.1.8 MANIFESTASI KLINIS
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat.
Gejala sistemik/umum:
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul
Penurunan nafsu makan dan berat badan Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
“mengi”,suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya,
pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang (Werdhani).
2.1.9 PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,suhu demam,badan kurus atau
berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama
pada kasus-kasus dini atau sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Bila dicurigai
adanya infiltrate yang agak luas, maka di dapatkan perkusi yang redup dan auskultasi
suara napas bronchial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki
basah,kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate diliputi oleh penebalan pleura, suara
napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberi suara hipersonar atau timpani dan akultasi bersuara amforik (Crofton,
2.1.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.1.10.1 PEMERIKSAAN SPUTUM
Pemeriksaaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaaan dahak untuk
penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpul 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S(Sewaktu)
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
• P(Pagi)
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidue. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas Fasyankes.
• S(Sewaktu)
Dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari
faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien
sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008). Untuk interpretasi
pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) yaitu :
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
2.1.10.2 PEMERIKSAAN FOTO TORAKS
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi
tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai
berikut:
• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru
BTA positif.
• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,
efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis
2.1.10.3 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto rontgen
toraks, tetapi ada beberapa gambaran yang karakteristik untuk tuberkulosis paru
yaitu:
apabila lesi terdapat terutama di lapangan atas paru bayangan berawan atau beracak
terdapat kavitas tunggal atau multipel terdapat kalsifikasi
apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang
beberapa minggu kemudian (Crofton, 2002)
2.1.10.4 BRONKOSKOPI
Pemeriksaan bronkoskopi adalah pemeriksaan sistem pernapasan dengan
menggunakan endoskop. Endoskop adalah alat untuk memeriksa rongga di dalam
organ. Endoskop yanh digunakan untuk pemeriksaan organ paru disebut bronkoskop.
Pemeriksaan bronkoskopi termasuk dalam golongan tindakan invasive. Ada dua
macam pemeriksaan bronkoskopi, yaitu pemeriksaan dengan bronkoskop rigid dan
pemeriksaan dengan bronkoskop serat-optik lentur dapat terlihat 85% dari
keseluruhan jumlah bronkus subsegmental turunan ke-5 dan 55% dari keseluruhan
humlah bronkus subsegmental turunan ke-6. Visualisasi dan washing (cuci bronkus)
merupakan prosuder standar pemeriksaan bronkoskopi. Prosedur lain yang dapat
dilakukan adalah: biopsi transbronkial(TBB), broncho alveolar lavage(BAL),
transbronkial needle aspiration(TBNA),ultrasonografi bronkoskopik, dan
Indikasi dilakukan bronkoskopi,yaitu:
• Pemeriksaan hemoptysis,mencari asal pendarahan
• Pengambilan benda asing(corpus alienum)
• Terapi pada atelectasis
• Penggunaan di ICU: Intubasi intratrakea, menghisap secret
• Mendiagnosis dan menentukan staging kanker paru
• Mendiagnosis nodul di perifer dan infiltrate
• Mendiagnosis penyakit paru interstial
• Mendiagnosis pneumonia dengan cara mendapatkan sekret atau mucus di trakea atau bronkus
• Mendiagnosis penyebab batuk
• Mendiagnosis penyebab efusi pleura
Walaupun penggunaan bronkoskop dinilai dapat ditoleransi oleh pasien, terdapat
kemungkinan timbulnya komplikasi, yaitu hipoksemia, pendarahan, demam, aritmia
kordis, bronkospasme, pneumonia, dan pnuemotoraks. Pemeriksaan bronkoskopi
yang sampai menyebabkan kematian kejadiannya sangat kecil, yaitu 0,01%,
sedangkan penyebab komplikasi mayor, jumlahnya kurang dari 1%. Pemeriksaan
bronkoskopi dapat menyebabkan penurunan Pa02 antara 15-20mmHG (Djojodibroto,
2009).
2.1.10.5 Bronchoalveolar Lavage (BAL)
Bilas bronkoalveolar dilakukan (Bronkoalveolar Lavage) dilakukan untuk
memperoleh konstituen alveolus. BAL berbeda dengan bronkial washing. Pada
bronkial washing, cairan garam fisiologik yang digunakan untuk mendapatkan sel
bronkus hanya beberapa mL. Pada BAL, diperlukan 150-300mL cairan garam
untuk diperiksa. Cairan yang disemprotkan pertama sebanyak 20-30mL, dibuang
karena banyak mengandung sel bronki. Untuk menghindari sampling errors, dan
menghindari kontaminasi oleh darah, BAL dilakukan sebelum brushing atau TBB.
Bronkskop langsung mengarah ke perifer,yaitu ke bronkus subsegmental turunan
ke-4 atau turunan ke-5. Garam fisiologik disemprotkan dan langsung diisap kembali.
Komplikasi BAL adalah hipoksemia, demam, bronkospasme, dan pendarahan
(Djojodibroto, 2009).
2.1.11 DIAGNOSIS
Diagnosis TB Paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Diagnosis TB ekstra paru
• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang
(gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
• Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai
berikut:
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. 2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran
klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB
positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena. (Menkes RI, 2011)
2.1.12 PENATALAKSANAAN
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Tabel 2.1: Pengelompokkan OAT
Kanamycin (Km) Amikacin (Am)
(Strategi Nasional Pengendalian TB, 2011)
Tabel 2.2 : Efek Samping OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Minor
Tidak nafsu makan,mual dan
sakit perut
Rifampisin Obat diminum malam sebelum
tidur
Nyeri sendi Pyranazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sehingga rasa
terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 (piridoksin)
100mg perhari
Warna kemerahan pada air
seni
Rifampisin Beri penjelasan,tidak perlu
diberi apa-apa
Mayor
Gatal dan kemerahan pada
kulit
Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik Hampir semua
OAT
Hentikan semua OAT
sehinnga ikterik hilang
Binggung dan muntah-muntah Hampir senua obat Hentikan semua OAT dan Golongan-4/Obat
belum terbukti efikasinya dan
lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Purpura dan renjatan (shok) Rifampisin Hentikan rifampisin
(Pedomen Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia)
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
Tabel 2.3 : Dosis Obat AntiTuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap
BB
Fasa Intensif Fasa Lanjutan
2 bulan 4 bulan
Harian Harian 3X/minggu Harian 3X/minggu
>71 5 5 5 5 5
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia.)
Available from:
Tahap Pengobatan TB Paru menurut Program Nasional Penanggulan TB di
Indonesia:
1. Tahap intensif
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT Yang Digunakan di Indonesia paduan pengobatan yang digunakan oleh
program nasional Penanggulangan TB oleh pemerintah Indonesia:
1. Kategori 1: 2 (HRZE) / 4 (HR)3
Tahap intensif diberikan untuk penderita baru TB paru BTA Positif, penderita TB
paru BTA negatif rontgen positif dan penderita TB ekstra paru terdiri dari Isonazid
setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri
dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
2. Kategori 2: 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5 (HR)3E3
Tahap intensif diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure),
dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) diberikan selama 3
bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan streptomisin (S),
diberikan setelah penderita selesai menelan obat. setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan
dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5
bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
3. Kategori 3 : 2(HRZ) / 4(HR)3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif
sakit ringan dan Penderita TB ekstra paru ringan.
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat serta evaluasi keteraturan berobat.(PDPI,2006)
2.1.12.1 EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU
Evaluasi Klinik
• Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
• Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi Bakteriologik (0-2-6/9)
• Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
• Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
• Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)
Evaluasi Radiologik (0-2-6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
• Sebelum pengobatan
• Setelah 2 bulan pengobatan
• Pada akhir pengobatan
Evaluasi Efek Samping Secara Klinik
• Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
• Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
• Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
• Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.
• Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri
• Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
Evaluasi Keteraturan Berobat
• Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah
keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka
sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan
• Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Kriteria Sembuh
• BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
• Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/perbaikan
• Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
2.1.13 PENCEGAHAN
Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. Tersedia sarana-sarana
kedokteran, pemeriksaan pnderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan,
pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit
inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan. BCG, vaksinasi
diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan
keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa
tempat pencegahan. Memberantas penyakit TBC pada pemerah air susu dan tukang
2.2 MULTI DRUG RESISTANCE/MDR (RESISTEN GANDA)
2.2.1 DEFINISI
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis
dibagi menjadi :
• Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
• Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
• Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan sebelumnya (PDPI, 2006).
Drug Resistance TB dikonfirmasi melalui uji laboratorium yang menunjukkan bahwa
isolate Mycobacterium Tuberculosis dapat tumbuh secara invitro meskipun dengan
adanya satu atau lebih obat antituberkulosis(OAT). Empat kategori resistensi OAT
dapat dibedakan atas:
Mono-resistance: resistensi terhadap salah satu dari OAT
Poly-resistance: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid
(INH) dan rifampisin secara bersamaan
Multidrug-resistance: resisten terhadap sekurang-kurangnya INH beserta
rifampisin
Extensive drug-resistance: Multidrug-resistance ditambah resisteni terhadap
salah satu golongan fluroquinolon, dan sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini
2.2.2 PATOGENESA TB-MDR
Kejadian resistensi M.Tuberculosis terhadap OAT adalah akibat mutasi alami.
Amplifikasi M.Tuberculosis yang resisten selanjutnya terjadi akibat kesalahan
manusia seperti:
Kesalahan pengelolaan OAT Kesalahan manajemen kasus TB
Kesalahan proses penyampaian OAT kepada pasien Kesalahan hasil uji DST
Pemakaian OAT dengan mutu rendah
Kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang tidak selesai
TB yang rentan OAT dan TB yang resisten menular dengan cara yang sama yaitu
melalui droplet saluran nafas yang menyebar di udara (Yunita, 2011).
2.2.3 PENYEBAB
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,yaitu :
• Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal
pengobatan, maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi
yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin
dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut
sudah cukup tinggi
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian
seterusnya
• Fenomena “addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.
• Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjang nya daftar obat yang resisten
• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat
• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
• Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan
• Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB
• Belum menggunakan strategi DOTS (PDPI, 2006)
2.2.4 FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor resiko untuk terjadinya kasus TB-MDR adalah:
Pengobatan TB yang sebelumnya tidak berhasil(kasus kambuh, gagal, kronik) Kontak erat dengan penderita TB-MDR
Orang dengan daya tahan tubuh yang rendah
Tinggal/lahir di tempat prevalensi TB-MDR yang tinggi
Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat (Yunita, 2011)
2.2.5 MEKANISME RESISTENSI OAT Mekanisme Resistensi Terhadap INH
Isoniazid merupakan hdyrasilasi dari asam isonikotonik, molekul yang larut air
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting
pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
seperti rekasi katase peroksidase.
Mutan M.Tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan
kecepatan 1 dalam 10⁵-10⁶ organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan
oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau
promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi
katG berkaitan dengan berkurangya aktivitas katalase dan peroksidase (Syahrini,
2008).
Mekanisme Resistensi Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun extraseluler. Obat ini menghambat
sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase
yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan
gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,
biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frequensi 1: 10⁷ atau
lebih.
Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barrier atau
adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin menghambat RNA
polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA
bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai
(chain elongation), terapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi
rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frequensi tinggi
dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10ˉ ⁷ sampai 10ˉ³, dengan akibat terjadi pada
gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan
Mekanisme Resistensi Terhadap Pirazinamid
Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif
terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan
pH netral, pirazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan
bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana
asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil
tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pirazinoat.
Mekanisme resistensi pirazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pirazinamidase sehingga pirazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam
pirazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pirazinamid ini berkaitan dengan mutasi pada
gen pncA, yang menyandikan pirazinamidase (Syahrini, 2008).
Mekanisme Resistensi Terhadap Etambutol
Etambutol merupakan turunan ethlyenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria. Etambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar.
Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang
memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.
Resistensi etambutol pada M.Tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi
missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltranferase. Mutasi ini
telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam
Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomisin
Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menggangu
fungsi ribosomal.
Pada 2/3 strain M.Tuberkulosis yang resisten terhadap streptomisin telah
diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S
rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target
diyakini terlibat pada ikatan streptomisin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada
rpsl. Mutasi pada rpsl telh diindentifikasi sebanyak 50% isolate yang resisten
terhadap streptomisin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang
menjadi lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frequensi resisten mutan terjadi
pada 1 dari 10⁵ sampai 10⁷ organisme. Strain M.Tuberculosis yang resisten terhadap
streptomisin tidak mengalami resisten silang terhadap capreomisin maupun amikasin
(Syahrini, 2008).
2.2.6 DIAGNOSA SUSPEK TB-MDR
Menurut Menkes RI, (2011):
1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
6. Pasien TB kambuh.
7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
2.2.7 PENATALAKSANAAN
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah
berikut:
• Pengobatan menggunakan minimal 4 macam obat OAT yang masih efektik
• Jangan menggunakn obat yang kemungkinan menimbulkan resisten silang (cross-resistance)
• Membatasi penggunaan yang tidak aman
• Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus
dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
• Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
• Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari.
• Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan panduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah panduan
standar ( standardized treatment), yaitu:
Panduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila (Menkes RI, 2011):
a. Etambutol
sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap etambutol.
b. Panduan
OAT disesuaikan panduan atau dosis pada:
Pasien TB
MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.
Bila ada
riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.
Terjadi efek
samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi penyebabnya.
Terjadi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan satu dari sepuluh penyakit didunia penyebab kematian.
Tuberkulosis ialah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis masih menjadi permasalahan kesehatan
masyarakat dunia dimana setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 9 juta penderita
baru dengan kematian 3 juta orang (Oktaviani, 2011).
Menurut Departmen Kesehatan, kini penanggulan TB di Indonesia menjadi lebih
baik, data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan Indonesia turun
dari peringkat tiga menjadi ke peringkat lima dunia dengan jumlah insiden terbanyak
TB pada tahun 2009 setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Beberapa hasil
dan pencapaian program TB, menurut Tjandra Yoga angka keberhasilan pengobatan
TB di Indonesia naik sebesar 91% pada tahun 2008. Target pencapaian angka
penemuan kasus TB paru Case Detection Rate ( CDR) tahun 2009 sudah mencapai
73,1%. Insiden TB paru sejak tahun 1998 hingga 2005 trennya menurun dan rata-rata
penurunan insiden TB paru positif pada tahun 2005-2007 adalah 2,4% (Tirtana,
2011).
Namun masih terdapat tantangan dalam pengobatan TB di dunia dan di Indonesia,
antara lain kegagalan pengobatan,putus pengobatan, pengobatan yang tidak benar
sehingga mengakibatan terjadinya kemungkinan retensi primer kuman TB terhadap
MDR-TB merupakan bentuk TB yang tidak merespon terhadap standar 6 bulan
pengobatan yang menggunakan obat standard atau first-line(resisten terhadap
isoniazid dan rifampicin). Dibutuhkan waktu 2 tahun untuk diobati dengan obat yang
100 kali lebih mahal dibandingkan pengobatan dengan obat standard (first-line)
(Mapparenta, 2013).
Menurut Tjandra Yoga dalam Tanggap,B (2011),pada perokok terjadi gangguan
makrofag dan meningkatkan resistensi saluran nafas dan permeabilitas epitel paru.
Rokok akan menurunkan sifat responsif antigen. Insiden dan beratnya TB
berhubungan dengan penggunaan rokok. Penderita TB paru yang masih merokok
sejak terdiagnosis TB paru akan berisiko 1.204 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian TB paru resisten dibanding yang tidak merokok sejak terdiagnosis TB paru
(Mapparenta, 2013).
Setyarini dalam Tanggap, B (2011) yang mendapati bahwa sebagian besar pasien TB
yang resisten OAT memiliki status gizi kurang (61.5%). Infeksi TB dapat
menyebabkan penurunan berat badan,status gizi yang buruk meningkatkan risiko
infeksi dan penyebaran penyakit TB. Selain itu, gizi kurang akan menyebabkan daya
tahan tubuh rendah sehingga pertahanan tubuh terhadap kuman TB akan berkurang.
Studi Tanggap (2011) bahwa peningkatan status gizi selama 6 bulan saat pengobatan
berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan (Mapparenta, 2013).
Obat tuberculosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama 6 bulan
berturut-turut tanpa henti. Kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu
diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah. Apabila pengobatan
terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali
penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya
Tahitu (2006) kegagalan pengobatan TB disebabkan oleh kebiasaan pasien meminum
obat. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak patuh meminum
obat akan berisiko 41,8 kali mengalami kegagalan konversi BTA(+) dibandingkan
responden yang patuh meminum obat. Resisten terhadap OAT disebabkan pasien
tidak meminum obat secara teratur selama periode waktu yang ditentukan sehingga
dapat mempengaruhi dalam upaya penyembuhan (Aditama dalam Setyowati 2011).
Risiko kejadian TB paru resisten dengan ketidakpatuhan minum obat yaitu 3,5 kali
lebih besar dibandingkan penderita TB paru yang patuh minum obat (Mapparenta,
2013).
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah profil pemberian pengobatan OAT (Obat Anti-Tuberkulosis) lini
pertama pada penderita TB-MDR”.
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil pemberian OAT ( Obat Anti-Tuberkulosis) lini pertama
pada penderita TB-MDR.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui jumlah penderita TB-MDR dengan pengobatan OAT lini
pertama
2. Mengetahui demografi (umur, jenis kelamin, pekerjaan dan status
perkahwinan) penderita TB-MDR
3. Mengetahui keteraturan pengobatan OAT lini pertama
5. Mengetahui frequensi pemberian OAT lini pertama
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bidang Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi tambahan dalam
meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang kesehatan khususnya dalam
mengevaluasi pemberian OAT pada penderita TB supaya tidak terjadi TB
MDR.
1.4.2 Bidang Pelayanan Masyarakat
Data atau informasi hasil penelitian ini dapat memberi informasi tentang
penyakit TB dan TB MDR.
1.4.3 Bidang Akademis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan bacaan untuk