A.Wanprestasi Secara Umum
Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang
membuatnya. Hubungan hukum itu menimbulkan kewajiban dan hak yang timbale
balik antara pihak-pihak. Hubungan hukum itu terjadi karena peristiwa hukum
yang berupa perjanjian salah satunya adalah jual beli.132
Perjanjian yang dilakukan menimbulkan hubungan hukum yang mengikat
antara para pihak yang membuatnya, pada prinsipnya setiap perjanjian yang dibuat
oleh para pihak harus memenuhi kewajibannya secara timbal balik. Dengan kata
sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian, maka kedua pihak mempunyai
kebebasan untuk menentukan sendiri bentuk perjajian. Hal ini sesuai dengan
sistem terbuka yang duanut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pada umumnya bukti adanya kesepakatan seperti akta otentik dalam
perjanjian tidak terlalu diperlukan, yang terpenting bagi para pihak yang
melakukan perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak, ada itikad baik dan
saling percaya satu sama lain, sehingga menganggap bahwa kedua belah pihak
yang terkait dalam perjanjian akan menepati janji sesuai dengan yang
diperjanjikan.
132
Yang dimaksud melaksanakan perjanjian dalam hal ini adalah
melaksanakan prestasi, dan ada 3 (tiga) jenis prestasi, menurut Pasal 1234 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :
a. Memberi sesuatu;
b. Berbuat sesuatu;
c. Tidak berbuat sesuatu.
Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat:133
a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban,
b. kesusilaan, dan Undang-Undang.
c. Harus tertentu atau dapat ditentukan.
d. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia
Ketika prestasi tidak dilaksanakan maka timbullah wanprestasi.
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan (prestasi) seperti
yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur
disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban
maupun karena kesalahan;
2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, terjadi diluar
kemampuan debitur, sehingga debitur tidak bersalah. Keadaan memaksa
(force majeure) yaitu salah satu alasan pembenar untuk membebaskan
seseorang dari kewajiban untukmengganti kerugian (Pasal 1244 dan Pasal
133
1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Menurut Undang-Undang ada
tiga hal yang harus dipenuhi untuk adanya keadaan memaksa, yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi,
b. Ada sebab yang terletak di luar kesehatan debitur,
c. Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan
wanprestasi, perlua ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur sengaja atau
lalai tidak memenuhi prestasi.134
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan
kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara
kreditur dengan debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat
terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.135 Seorang debitur
dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat
memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.
Wanprestasi adalah kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan, yang
terdiri dari dua macam sifat. Pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi
itu masih dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya sedang yang kedua adalah
terdapat hal-hal yang disitu prestasinya tidak dilakukan pada waktu yang tepat.136
134
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 203. 135
Adalah wujud dari tidak memenuhi perikatan itu, wujud dari tidak
memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu:137
a. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan
b. Debitur terlambat memenuhi perikatan
c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan
Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatan tidak
memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian
pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan
di dalam perikatan dimana waktu untuk melaksanakan prestasi itupun tidak
ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk
menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu. Apabila orang itu melakukan perbuatan yang dilarang
tersebut maka ia tidak memenuhi perikatan.138
Akibat yang sangat penting dari tidak terpenuhinya perikatan ialah bahwa
kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya.
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka Undang-Undang
menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam
keadaan lalai (ingebrekestellling). Lembaga pernyataan lalai ia adalah
137
Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 18-19. 138Ibid.,
pakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan
ingkar janji (wanprestasi).139
Hal ini tercantum dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak
dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah
dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya
dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Jadi maksud berada dalam keadaan lalai ialah peringatan atau pernyataan
dari kreditur tentang saat sela,bat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi.
Apabila saat ini dilampaui, maka debitur ingkar janji (wanprestasi).140
Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur cara
pemberitahuan itu dilakukan yang berbunyi debitur dinyatakan Ialai dengan surat
perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan
sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Pernyataan lalai diperlukan dalam hal seseorang meminta ganti rugi atau
meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji.
Menurut ilmu hukum perdata kalau kreditur menuntut adanya pemenuhan, maka
lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan, sebab hak untuk mendapatkan
139
Ibid.
pemenuhan itu sudah ada dalam perikatan itu sendiri sedangkan hak untuk
meminta ganti rugiatau pemutusan, ialah sudah dilakukannya wanprestasi oleh
debitur. Karena itu, disini lembaga pernyataan lalai diperlukan sekali. Namun
demikian kenyataannya didalam praktek pengadilan apabila kreditur menuntut
pemenuhan, lembaga pernyataan lalai juga diperlukan.141
Sebabnya diperlukan karena untuk menjaga kemungkinan agar debitur
tidak merugikan kreditur, misalnya debitur digugat di peradilan karena
wanprestasi, sedangkan sebelumnya tidak ada lembaga itu, maka debitur dapat
menyatakan bahwa sebelumnya terhadap debitu belum dilakukan pemberitahuan
oleh kreditur. Sehingga lembaga pernyataan lalai perlu dilakukan dalam hal
kreditur menuntut ganti rugi dari debitur. Apabila debitur hanya menuntut
pemenuhan prestasi, ataupun menuntut debitur secara patut memenuhi perikatan,
maka lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan.142
Apabila debitur keliru malakukan prestasi dan kelirunya itu adalah
dengan itikad baik, maka pernyataan lalai diperlukan, tetapi kalau kelirunya itu
terjadi dengan itikat jahat, maka disini tidak diperlukan lagi pernyataan lalai.
Lembaga itu tidak diperlukan apabila peringtan diadakan untuk jangka waktu
tertentu, oleh karena dengan dilampauinya waktu itu, maka berarti debitur telah
tidak memenuhi perikatan. Pernyataan lalai diperlukan untuk perikatan yang
tidak dipenuhi pada waktunya karena sebenarnya debitur masih bersedia
141
Ibid., hal. 20. 142Ibid
memenuhi prestasi, hanya saja terlambat. Dengan lembaga itu debitur masih
diberi kesempatan untuk memenuhi perikatan.143
Apabila debitur tidak memenuhi perikatannya ataupun pada
perikatan-perikatan dimana pernyataan lalai tidak disampaikan kepada debitur, tetapi tidak
diindahkannya, maka debitur tidak memenuhi perikatan.144
B. Penyelesaian Wanprestasi
Perjanjian yang telah dibuat secara sah dan telah disepakati oleh para
pihak mengikat para pihak untuk mentaati seluruh isi perjanjian yang telah
disepakati tersebut dan setiap tindakan wanpretasi dari perjanjian tersebut dapat
menimbulkan tindakan tuntutan hukum dari pihak lain yang merasa dirugikan
atas perbuatan wanprestasi tersebut. Setiap perjanjian yang telah disepakati dan
telah ditandatangani oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut
harus dilaksanakan dengan itikad baik dan dengan kejujuran untuk memenuhi
segala hak dan kewajiban yang termuat di dalam perjanjian tersebut. 145
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak
pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu
pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. 146
( Jakarta, Kencana Media, 2010), hal. 50. 146
Hak-hak kreditur adalah sebagai berikut:147
a. Hak menuntut pemenuhan perikatan;
b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal
balik, menurut pembatalan perikatan;
c. Hak menuntut ganti rugi;
d. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Hak-hak debitur dalam wanprestasi adalah :
a. Mekanisme tertentu untuk memutuskan kontrk, terdiri dari dua yaitu
kewajiban melaksanakan somasi sesuai Pasal 1238 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Kewajiban memutuskan kontrak timbal balik lewat
pengadilan sesuai Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Pembatasan terhadap pemutusan kontrak, jika salah satu pihak telah
melakukan wanprestasi maka pihak lainnya dalam perjanjian tersebut berhak
untuk memutuskan perjanjian yang bersangkutan. Akan tetapi terhadap hak
untuk memutuskan perjanjian oleh pihak yang telah dirugikan akibat
wanprestasi ini berlaku beberapa hal antra lain:148
1. Wanprestasi harus serius;
2. Hak untuk memutuskan perjanjian belum dikesampingkan;
3. Pemutusan pejanjian tidak terlambat dilakukan;
147
Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 21. 148
4. Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan.
Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi,
dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu :149
a. Menuntut pemenuhan perikatan,
b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat
timbal-balik, menurut pembatalan perikatan,
c. Menuntut ganti rugi,
d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi,
e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Tujuan untuk mendapat ganti rugi dari wanprestasi suatu perjanjian
menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut tidak
terpenuhi dengan demikian ganti rugi tersebut berupa kehilangan keuntungan
yang diharapkan. Dalam penyelasaian wanprestasi tersebut, walaupun perjanjian
tersebut tunduk pada hukum perjanjian dalam prakteknya tidak dipermasalahkan
bila menggunakan hukum lain, karena dalam hal ini obyeknya adalah tanah,
maka yang dimaksud dalam hal ini adalah hukum agraria di Indonesia.
Asas Pacta Sun Servanda yang dianut dalam Pasal 1388 Ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku dalam penyelesaian perjanjan
jual beli. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Artinya jual beli yang telah dilangsungkan
149
dan telah mengikat dengan tercapainya kata sepakat mengenai kebendaan yang
akan dijual dan harga beli antara penjual dan pembeli, tidak dapat dibatalkan
secara sepihak oleh pembeli dan penjual.150
Ada beberapa asas-asas penyelesaian wanprestasi dalam hal untuk
mencapai keadilan yang responsif, dalam hal ini adalah penyelesaian dalam hal
memberi ganti rugi, yaitu:151
a. Asas keadilan, asas ini mengkehendaki bahwa ganti rugi tanah yang diberikan
tersebut dapat diteima oleh semua pihak. Asas ini terkandung dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Pasal 2 .
b. Asas musyawarah, asas ini mengkehendaki kegiatan ganti rugi tanah terlebih
dahulu harus saling mengenal dengan sikap saling menerima pendapat dan
keinginan yang didasarkan kepada kesukarelaan antara pemilk tanah dengan
pihak yang membutuhkan tanah untuk memperoleh suatu kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.
c. Asas langsung, asas ini mengkehendaki bahwa gantti rugi tanah itu dapat
dilakukan secara langsung oleh pihak yang membutuhkan tanah kepada
pemilik tanah dengan maksud agar kedua belah pihak tidak saling dirugikan.
150
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 125.
151
d. Asas manfaat, asas ini mengkehendaki agar dalam setiap ganti rugi yang
dilaksanakan baik untuk kepentingan umum atau kepentingan pribadi dapat
bermanfaat bagi kedua belah pihak.
e. Asas kepastian hukum, asas ini mengkehendaki bahwa ganti rugi tanah itu
sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
f. Asas itikad baik, asas ini mengkehendaki dalam proses pelaksanaan
pemberian ganti rugi perlu adanya itikad baik serta kejujuran kedua belah
pihak mengenai maksud kedua belah pihak, sehingga hasilnya dapat diterima
dan diketahui dengan baik oleh kedua belah pihak, sehingga tidak ada yang
dirugikan.
g. Asas keseimbangan, asas ini mengkehendaki setiap ganti rugi dan besarnya
ganti rugi yang diberikan, harus adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban para pihak dan diharapkan dengan ganti dapat mendatangkan
kesejahteraan bersama dan disesuaikan dengan keadaan yang nyata.
h. Asas kepatutan, asas ini mengkehendaki agar ganti rugi yang diberikan
kepada pihak yang dirugikan nilainya harus layak dan patut,
i. Asas kesejahteraan, asas ini mengkehendaki dalam ganti rugi dapat
memperbaiki keadaan ekonomi pihak yang dirugikan dari keadaan yang
sebelumnya.
Menurut Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1245
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1246 Kitab Undang-Undang
dimaksud dengan biaya adalah setiap biaya yang secara nyata dikeluarkan oleh
pihak yang dirugikan, dalam hal ini sebagai akibat dari wanprestasi.152
Sedangkan bunga yang dimaksud adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh
tetapi tidak jadi diperoleh karena adanya tindakan wanprestasi.153 Tentang rugi
yang akan dimaksud dalam penelitian ini adalah:
a. Pengertian rugi (schade)154
Apabila Undang-Undang menyebutkan rugi (schade) maka yang dimaksud
adalah sebagai berikut kerugian nyata (feitelijknadee) yang dapat diduga atau
diperkirakan pada saa perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat
ingkar janji. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara
keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan kekayaan seandainya
tidak terjadi ingkar janji.
b. Hubungan sebab akibat.155
Pada umumnya debitur hanya memberikan ganti tugi kalau kerugian itu
mempunyai hubungan langsung dengan ingkar janji, dengan perkataan lain
antara ingkar janji dengan kerugian harus ada hubungan sebab akibat (kausal),
hal ini disebutkan dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang berbunyi bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh
tipu daya debitur, maka penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang
Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 21. 155Ibid.,
menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya
mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya
perikatan itu.
Dari Pasal tersebut muncul 2 (dua) pernyataan, yaitu :
a. Apabila kerugian itu merupakan suatu akibat dari ingkar janji;
b. Apabila kerugian itu merupakan akibat langsung dari ingkar janji.
Undang-Undang tidak memberikan penjelasan tentang ukuran-ukuran
yang dipergunakan untuk menentukan adanya hubungan sebab akibat. Dalam
hal ini ajaran yang lazimnya dianut adalah teori adequate dari Von Kries.
Ajaran ini mengemukakan bahwa ukuran untuk menentukan sebab di dalam
pengertian hukum apabila suatu peristiwa itu secara langsung menurut
pengalaman manusia yang normal dapat diharapkan (naar redelijkheid)
menimbulkan akibat tertentu. Suatu peristiwa adalah merupakan akibat
langsung dari suatu peristiwa lainnya apabila menurut pengalaman manusia
yang normal dari eristiwa tadi diharapkan timbul akibat tertentu.
Ada beberapa penyelesaian wanprestasi yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata antara lain:
1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
(Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini berlaku
untuk semua perikatan.
2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak
membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
3. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237
ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku
bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
4. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim Debitur yang
terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini
berlaku untuk semua periakatan.
5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian
sertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.
Dari akibat hukum tersebut di atas, kreditur dapat memilih diantara
beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur yaitu dapat menuntut pemenuhan
perikatan atau pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian, atau menuntut
ganti kerugian saja atau menuntut ganti kerugian saja atau menuntut pembatalan
perjanjian lewat hakim atau menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti
kerugian.156
Dalam perkembangannya banyak muncul cara-cara dalam penyelesaian
wanprestasi antara lain bisa dilakukan dengan cara:
1. Pihak dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi
156
Permintaan ini harus diajukan dengan menunjukkan dasar-dasarnya, karena
suatu permintaan renogosiasi tidak dapat diterima apabila kontrak (perjanjian)
itu sendiri telah memuat suatu klausul yang memberikan perubahan otomatis
dari kontrak (perjanjian).157
2. Permintaan renegosiasi harus diajukan segera
Permintaan regonisiasi harus diajukan segera setelah saat terjadinya kesulitan
yang didugakan terjadi, pihak dirugikan tidak begitu saja kehilangan haknya
untuk meminta regonisiasi karena lalai melakukan dengan segera karena
keterlambatan bisa terjadi karena terlambat menemukan unsur-unsur
kesulitannya yang benar-benar telah terjadi dan juka terjadi pihak yang
dirugikan harus dapat mengaitkan akibatnya terhadap kontrak (perjanjian).158
3. Renegosiasi harus dengan itikad baik
Regonisiasi harus dilakukan dengan itikad baik dan prinsip kewajiban bekerja
sama, sehingga pihak yang dirugikan harus secara jujur mempercayai bahwa
masalah kesulitan secara nyata ada dan tidak meminta renegosiasi
semata-mata untuk taktik manuver saja.159
4. Mengajukan Ke Pengadilan atas kegagalan mencapai kesepakatan
Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan tentang perubahan kontrak
(perjanjian) disesuaikan dengan keadaan yang berubah dalam jangka waktu
yang layak, sehingga para pihak diberi kewenangan untuk para pihak untuk
157
Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 217. 158
Ibid., hal. 218. 159Ibid.,
mengajukan ke pengadilan.160 Keadaan tersebut dapat ditimbulkan baik
karena pihak yang tidak dirugikan sama sekali mengabaikan permintaan
renegosiasi atau karena renegosiasi, walaupun dilakukan oleh kedua pihak
dengan itikad baik, tidak mencapai hasil yang positif.
Pada asasnya bentuk ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang oleh
karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan
alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam
menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang, masih ada bentuk-bentuk lain yang
diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu pemulihan ke keadaan semula dan
larangan untuk mengulangi. Keduangan ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat
dengan uang paksa. Jadi, haruslah diingat uang paksa bukan merupakan bentuk
atau wujud ganti rugi. Ada juga terjadi kerugian dinilai dalam bentuk benda. Dan
keditur dapat juga menuntut diperhitungkan kerugian yng akan datang.161
Ganti rugi itu disebut adil apabila ganti rugi yang diberikan tidak
membuatnya pemiliknya menjadi sengsara dari sebelumnya, demikian juga
sebaliknya tidak menjadi kaya raya.162
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang ganti rugi
dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang,
dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immaterial, tidak
berwujud (moral, ideal). Namun demikian sebagian dari ahli Hukum Perdata dan
160
Ibid., hal. 220. 161
Ibid.,hal. 23. 162
Yurisprudensi menyetujui diberikannya ganti rugu terhadap kerugian immaterial,
misalnya harus dikabulkan tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa
dirugikan karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan
tetangganya.163
Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi, Undang-Undang
memberikan beberapa pedoman, yaitu besarnya ganti rugi itu ditentuka sendiri
oleh Undang-Undang, misalnya Pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan
pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, kerugian dan bunga yang timbul
karena keterlambatan pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan
oleh Undang-Undang tanpa mengurangi berlakunya peraturan undangundang
khusus. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu wajib dibayar, tanpa perlu
dibuktikan adanya suatu kerugian o!eh kreditur. Penggantian biaya,. kerugian
dan bunga itu baru wajib dibayar sejak diminta di muka Pengadilan, kecuali bila
Undang-Undang menetapkan bahwa hal itu berlaku demi hukum.
Jumlah ganti kerugian bisa ditentukan dengan cara : 164
a. Pihak-pihak sendiri menentukan besarnya jumlah ganti kerugian,
sesuai Pasal 249 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Jika tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang para pihak sendiri
juga tidak menentukan apa-apa, maka besarnya ganti kerugian ini
163
Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 23-24. 164Ibid.,
harus ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi,
atau dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan dari si
berpiutang harus sama seperti seandainya si berutang memenuhi
kewajibannya. Kerugian yang jumlahnya melampaui batas yang dapat
diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitur. Dalam hal ganti rugi
tanah harus mempunyai nilai tambah bagi kelangsungan hidup yang
menerima ganti rugi serta tidak berakibat memelaratkan penerima
ganti rugi tersebut.165
C. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Penyelesaian Wanprestasi Yang Terjadi Karena Perjanjian Urusan Pengadaan Tanah Tapak Rumah
Wanprestasi yang terjadi selama perjanjian urusan pengadaan tanah tapak
rumah ini berjalan adalah calon pembeli tidak lagi melaksanakan kewajibannya
yaitu tidak membayar angsuran kepada calon penjual, sehingga muncul
wanprestasi. Wanprestasi muncul ketika salah satu pihak tidak menjalankan
prestasi yang telah disepakati bersama. Wanprestasi ini biasanya terjadi karena
keadaan ekonomi.
Ketika wanprestasi ini terjadi, maka proses penyelesaiannya menurut
perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ada dua yaitu denda Rp.2.000.-
perhari dan bila sudah 60 hari sejak hari keterlambatan maka calon pembeli
dianggap tidak sanggup membayar. Namun dalam praktek yang terjadi
penyelesainya adalah sebagai berikut:
165
calon penjual memberi tenggang waktu kepada pembeli agar segera malaksanakan kewajibannya yaitu membayar angsuran tanah kapling tersebut. Apabila sudah diberi tenggang waktu dan tidak terlaksana juga, maka calon penjual akan mencari calon pembeli baru untuk mengganti kerugiannya, sehingga calon pembeli yang lama dianggap batal perjanjiannya dengan calon penjual, dan calon penjual akan membuat perjanjian yang baru dengan calon pemberi baru dengan catatan atas tanah yang sama dan calon penjual akan mengembalikan uang angsuran calon pembeli yang lama setelah dikurangi biaya administrasi.166
Tenggang waktu yang dilakukan calon penjual bisa disebut sebagai cara
musyawarah disini ada calon penjual memberi kesempatan kepada calon penjual
untuk melaksanakan kewajibannya atau mengingkari wanprestasi misalnya
dikarena keadaan memaksa. Calon penjual dalam hal ini menerapkan penyelesaian
wanprestasi sesuai hukum perjanjian yang ada, serta sesuai dengan asas pacta sunt
servanda yang berlaku dalam perjanjian jual beli.
Dalam prakteknya, ketika calon penjual mencari calon pembeli yang
baru, keadaan atau kedudukan calon pembeli yang lama tidak jelas karena tidak
ada ketetapan waktu dalam proses ini. Hal ini tentu tidak sesuai dengan asas
langsung dalam penyelesaian wanprestasi yang dijelaskan diatas, jadi walaupun
calon pembeli wanprestasi maka kedudukan hukumnya harus tetap seimbang, agar
terlindungi kedudukan hukumnya.
Asas penyelesaian wanprestasi yang terlanggar selama proses ini adalah
asas keadilan, adalah :
166
Hasil Wawancara, Dikko Ammar, Pembeli Tanah Kaplingan Secara Mengangsur dengan
calon pembeli dalam hal ini tidak ada keadilan, karena dalam hal melaksanakan kewajibannya untuk membayar angsuran, calon penjual tidak mau tahu bahwa kewajiban tersebut harus dijalankan, tetapi ketika calon pembeli mau menuntut kembali uang angsurannya karena perjanjian dianggap batal, calon pembeli dihadapkan dengan keadaan menunggu.167
Seharusnya calon penjual tidak membuat keadaan menunggu bagi calon
pembeli karena ada ketidakadilan di posisi calon pembeli, sehingga seharusnya
calon penjual harus sudah menyediakan segala penyelesaian (modal usaha) dari
segala resiko yang timbul dalam perjanjian tersebut. Keadaan menunggu ini
membuat pihak calon penjual tidak memiliki tanggung jawab. Karena tanggung
jawab merupakan realisasi dari kewajiban pihak lain.
Sehingga dalam hal ini, ketika ada keadaan menunggu bagi calon
pembeli, maka calon penjual harus melaksanakan sesegera mungkin kewajibannya
terhadap calon pembeli yaitu mengembalikan semua uang angsuran yang telah
disetor, karena telah disepakati perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah
yang telah dibuat dianggap batal , dianggap tidak pernah ada.
Kewajiban calon pembeli selama perjanjian urusan pengadaan tanah
tapak rumah itu berjalan maka menjadi hak calon penjual, namun karena adanya
wanprestasi yang mengakibatkan perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah
itu batal maka kewajiban calon pembeli sebelumnya menjadi haknya demikian
juga sebaliknya, sehingga calon penjual dalam proses keadaan menunggu ini tidak
bertanggung jawab atas kewajibannya terjadap calon pembeli.
167
Hal ini terjadi karena dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak
rumah tersebut yang merupakan perjanjanjian baku dengan memuat klausula baku
yang merumuskan tanggung jawab yang menjadi beban calon pembeli dan
tanggung jawab beban calon penjual. Tetapi apabila di telaah secara cermat,
karena perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini dibuat secara sepihak
oleh calon penjual maka beban tanggung jawab calon penjual diminimalkan
sedemikian rupa.
Ada beberapa prinsip tanggung jawab yaitu :
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinisp umum
berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Udang Hukum
Perdata, khususnya dalam Pasal 1365, 1366 dan 1367. Prinsip ini dipegang
secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi
orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan
kata lain tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian
yang diderita orang lain.
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, maksudnya adalah seseorang
selalu dianggap bertanggung jawab sampai seseorang tersebut dapat
membuktikan bahwa seseorang tersebut tidak bersalah, jadi beban pembuktian
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab, prinsip ini adalah
kebalikan dari prinsip sebelumnya. Prinsip ini dianut dalam hukum
pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi/kabin tangan yang
dibawa dan diawasi oleh penumpang adalah tanggung jawab dari penumpang
tersebut. Dalam hal ini pengangkut tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak adalah tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan sebagai faktor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang mungkin untuk dibebasakan dari tanggung jawab, misalnya
keadaan force majeure. Prinsip ini digunakan secara umum dalam hukum
perlindungan konsumen, misalnya produsen wajib bertanggung jawab atas
penggunaan produk yang dipasarkannya.
5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasannya, umumnya dicantumkan dalam
perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus atau biasa disebut klausula
eksonerasi.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka dalam perjanjian urusan
pengadaan tanah tapak rumah tersebut terdapat tanggung jawab pihak calon
penjual terdapat calon pembeli, karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa bentuk
perjanjian ini adalah perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus.
Tanggung jawab dengan pembatasan tersebut dapat dilihat pada saat keadaan
Walaupun keadaan menunggu ini muncul karena kesalahan calon
pembeli, tetap saja calon penjual harus bertanggung jawab, karena ketika calon
pembeli melakukan kesalahan atau wanprestasi maka calon pembeli akan
bertanggung jawab dalam bentuk pernyataan setuju agar perjanjian tersebut batal
sehingga tanah tapak rumah yang telah dibayar secara mengangsur tidak menjadi
miliknya dan uang angsuran seharusnya dikembalikan kepadanya. Pada saat
pengembalian uang angsuran ini, calon penjual menggunakan prinsip tanggung
jawab dengan pembatasannya.
Calon penjual akan bertanggung jawab mengembalikan uang angsuran
kepada calon pembeli ketika sudah ada calon pembeli baru yang membeli tanah
tapak rumah tersebut. Sehingga calon penjual ada unsur membatasi tanggung
jawabnya, akan bertanggung jawab dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini sangat
merugikan calon pembeli sebagai konsumen.
Prinsipnya calon pembeli dapat menuntut tanggung jawab pihak calon
penjual dengan prinsip menuntut tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.
Namun dalam prakteknya hal tersebut tidak bisa dilaksanakan karena alasan
ekonomi, karena calon pembeli harus terlebih dahulu membuktikan kesalahan
calon penjual dengan proses yang menggunakan uang dan waktu yang banyak
serta akan melibatkan kepolisian. Umumnya calon pembeli tidak mengambil
BAB IV
KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN URUSAN PENGADAAN TANAH TAPAK RUMAH YANG DIBUAT DI BAWAH TANGAN
A.Kekuatan Pembuktian Menurut Hukum Acara Perdata
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum
kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan.168 Dasar hukum pembuktian di Indonesia
adalah Pasal 162 – 177 HIR, Pasal 282 – 314 RBg, Pasal 1885 – 1945 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 74 – 76, 87 – 88 No 7 Thn 1989 jo
UU No. 50 Tahun 2009 .
Dakam pembuktian terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu:
1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel
negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti dalam
proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran
yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan
alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu
harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt.
Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak
meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran
168
hakiki.169 Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan
diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada
dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan
kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan,
hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran
formil.170 Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang
mendukungnya.
a) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan dalam
persidangan. Para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan
atau alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti tersebut diserahkan kepada
hakim. Bahan atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang
didalilkan pihak manapun hanya fakta langsung dengan perkara yang
disengketakan. Apabila bahan atau alat bukti yang disampaikan di
persidangan tidak mampu membenarkan fakta yang berkaitan dengan
perkara yang disengketakan maka tidak bernilai sebagai alat bukti.171
b) Fakta yang terungkap di luar persidangan. Di atas telah dijelaskan bahwa
hanya fakta-fakta yang diajukan di persidangan yang dapat dinilai dan
diperhitungkan untuk menentukan kebenaran dalam mengambil putusan.
Artinya, fakta yang dapat dinilai dan diperhitungkan hanya yang
disampaikan oleh para pihak kepada hakim dalam persidangan. Hakim
169
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (PT. Pradnya Paramita, Jakarta), 2007, hal. 9. 170
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Sinar Grafika, Jakarta, 2005), hal. 498. 171
tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak
diajukan pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim
dari surat kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari
sumber luar, bukan dalam persidangan maka tidak dapat dijadikan fakta
untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan oleh salah satu pihak.
Walaupun sedemikian banyak fakta yang diperoleh dari berbagai sumber,
selama fakta tersebut bukan diajukan dan diperoleh dalam persidangan
maka fakta tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil putusan.
Meskipun banyak orang yang memberitahukan dan menunjukkan fakta
kepada hakim tentang kebenaran perkara yang disengketakan, fakta
tersebut harus ditolak dan disingkirkan dalam mencari kebenaran atas
perkara dimaksud. Fakta yang demikian disebut out of court, oleh karena
itu tidak dapat dijadikan dasar mencari dan menemukan kebenaran.172
c) Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian.
Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses
persidangan, fakta yang bernilai sebagai pembuktian, hanya terbatas pada
fakta yang konkret dan relevan yakni jelas dan nyata membuktikan suatu
keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang
disengketakan. Dengan kata lain, alat bukti yang dapat diajukan hanyalah
yang mengandung fakta-fakta konkret dan relevan atau bersifat prima
facie, yaitu membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung
172
berkaitan erat dengan perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan fakta
yang abstrak dalam hukum pembuktian dikategorikan sebagai hal yang
semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan
sesuatu kebenaran.173
2. Pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah
satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi
pokok perkara. Walaupun menurut pertimbangan hakin tersebut bohong atau
meragukan, majelis hakim harus tetap menerima pengakuan tersebut terutama
apabila pengakuan tersebut sudah menjawab semua pokok permasalahan yang
ingin dicari penyelesaiannya oleh para pihak dan hakim di Pengadilan.
Hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan
tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas.174 Akan
tetapi, agar penerapan pengakuan mengakhiri perkara tidak keliru, perlu
dijelaskan lebih lanjut beberapa hal antara lain sebagai berikut: 175
a. Pengakuan yang diberikan tanpa syarat. Pengakuan yang berbobot
mengakhiri perkara, apabila :
1) Pengakuan diberikan secara tegas . Pengakuan yang diucapkan atau
diutarakan secara tegas baik dengan lisan atau tulisan di depan
persidangan.
173Ibid
., hal. 502. 174
Ibid., hal. 505. 175
2) Pengakuan yang diberikan murni dan bulat. Pengakuan tersebut bersifat
murni dan bulat serta menyeluruh terhadap materi pokok perkara,
dengan demikian pengakuan yang diberikan harus tanpa syarat atau
tanpa kualifikasi dan langsung mengenai materi pokok perkara.
Apabila pengakuan yang diberikan bersyarat, apalagi tidak ditujukan
terhadap pokok perkara, maka pengakuan tersebut tidak dapat dijadikan
dasar mengakhiri pemeriksaan perkara.
1) Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri. Apabila tergugat tidak
mengajukan sangkalan tetapi mengambil sikap berdiam diri peristiwa
itu tidak dapat ditafsirkan menjadi fakta atau bukti pengakuan tanpa
syarat, oleh karena itu sikap tergugat tersebut tidak dapat dikonstruksi
sebagai pengakuan murni dan bulat karena kategori pengakuan yang
demikian harus dinyatakan secara tegas barulah sah dijadikan
pengakuan yang murni tanpa syarat, sedangkan dalam keadaan diam
tidak pasti dengan jelas apa saja yang diakui sehingga belum tuntas
penyelesaian mengenai pokok perkara oleh karena itu, tidak sah
menjadikannya dasar mengakhiri perkara.
2) Menyangkal tanpa alasan cukup
Dalam hal ini ada diajukan sangkalan atau bantahan tetapi tidak
didukung dengan dasar alasan ( opposition without basic reaso ) dapat
dikonstruksi dan dianggap sebagai pengakuan yang murni dan bulat
fakta-fakta materi pokok perkara dengan demikian proses pemeriksaan
perkara dapat diakhiri.
Akan tetapi perkembangan praktik memperlihatkan
kecenderungan yang lebih bersifat lentur, yang memberikan hak
kepada pihak yang berdiam diri atau kepada yang mengajukan
sangkalan tanpa alasan ( opposition without basic reason ) untuk
mengubah sikap diam atau sangkalan itu dalam proses persidangan
selanjutnya, dan hal itu merupakan hak sehingga hakim wajib
memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengubah dan
memperbaikinya. Lain halnya pengakuan yang diberikan secara tegas
di persidangan. Pengakuan tersebut langsung bersifat mengikat (
binding ) kepada para pihak, oleh karena itu tidak dapat dicabut
kembali ( onherroeppelijk ) dan juga tidak dapat diubah atau
diperbaiki lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 1926 KUHPerdata.176
3. Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan kembali
Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada
kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan
sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu
segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.177 hal-hal yang tidak
perlu dibuktikan dalam pemeriksaan perkara perdata antara lain adalah:
176
Ibid., hal. 507. 177
1. Hukum positif tidak perlu dibuktikan
2. Fakta yang diketahui oleh umum tidak bisa dibuktikan
3. Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan
4. Fakta yang ditemukan selama proses persidangan tidak perlu dibuktikan
Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang
dikemukakan oleh para pihak dalam hal sesuatu yang belum jelas atau
menjadi sengketa. Jadi yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan
kejadiannya yang telah dikonstatir dan dikualifisir. Peristiwa atau kejadian
yang dikemukakan oleh para pihak belum tentu semuanya penting bagi hakim
sebagai dasar pertimbangan hukum putusannya. Peristiwa atau kejadian yang
ditemukan dalam persidangan itu harus disaring oleh hakim, mana yang
relevan bagi hukum dan mana yang tidak. Peristiwa atau kejadian yang
relevan itulah yang harus dibuktikan oleh hakim dalam persidangan untuk
dijadikan dasar putusannya.178
4. Bukti Lawan
Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak
kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan. Pasal 1918 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan suatu putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak, dengan pelanggaran, di dalam suatu perkara
178
perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah
dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. “
Pasal 1918 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini memberi hak
kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap
pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti
lawan atau tegenbewijs.
Dalam teori maupun praktek, bukti lawan selalu dikaitkan dengan
pihak tergugat. Oleh karena itu, bukti lawan selalu diartikan sebagai bukti
penyangkal (contra-enquete ) yang diajukan dan disampaikan oleh tergugat di
persidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak
lawan. Adapun tujuan utama pengajuan bukti lawan selain untuk membantah
dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga dimaksudkan untuk
meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan pihak
lawan tersebut.
Teori Pembuktian yang berlaku ada 3, yaitu :179
a. Teori pembuktian babas yaitu eori ini tidak menghendaki adanya
ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian
pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim.
179
b. Teori pembuktian negatif dalam teori ini hakim terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang bersifat negatif sehingga membatasi hakim untuk
melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan oleh undang-undang.
c. Teori pembuktian positif dalam teori ini diwajibkan untuk melakukan
segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam
undang-undang.
B.Alat Bukti
1. Alat bukti tertulis atau pembuktian dengan surat dasar hukum penggunaan
surat atau tulisan sebagai alat bukti adalah pasal 164 HIR, pasal 284, 293, 294
ayat (2), 164 ayat (78) R.Bg, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal
1867-1880 dan pasal 1874, menentukan keharusan ditandatanganinya suatu
akta sebagaimana tersebut dalam pasal 165 dan 167 HIR, serta pasal 138-147
Rv.Surat sebagai alat bukti dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta.
Akta dapat dibedakan menjadi akta autentik dan akta dibawah tangan. Jadi,
dalam hukum pembuktian ini dikenal paling tidak tiga jenis surat yaitu, akta
autentik, akta di bawah tangan, surat bukan akta yang dikenal dengan alat
bukti surat secara sepihak.
a) akta autentik yaitu terdapat dalam Pasal 165 HIR, 285 R.Bg, dan pasal
1868 BW, di sebutkan bahwa akta autentik adalah akta yang dibuat oleh
atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan
bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka
dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan
belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang
dibritahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta autentik
tidaknya suatu akta tidak cukup dilihat akta tersebut dari cara
membuatnya apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh undang-undang.180 Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna sepanjang tidak dapat dibuktikan lain. Akta otentik
misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain-lain.
b) Akta di bawah tangan, di dalam HIR tidak diatur tentang akta di bawah
tangan, tentang hal ini dapat ditemukan pada pasal 289-305 R.Bg dan
juga diatur dalam pasal 1874-1880 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, di mana di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan akta di bawah
tangan yaitu surat-surat, daftar atau register, catatan mengenai rumah
tangga da surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan dari pejabat yang
berwenang. akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang
berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui
oleh para pihak, apabila isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka
pihak yang mengajukan bukti harus menambah dengan bukti lain
misalnya saksi.
180
c) Surat secara sepihak, ketentuan tentang alat bukti surat secara sepihak
diatur dalam pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pasal
291 R.Bg. Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang berisi
pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia
akan membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan
melakukan sesuatu kepada seseorang tertentu.
d) Surat lain bukan akta, yaitu berupa surat -surat lain bukan akta diatur
dalam pasal 294 ayat (2) R.Bg dan pasal 1881 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, bentuknya dapat berupa surat biasa, catatan
harian dan sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai
surat bukti atau tidak sengaja dibuat untuk alat bukti. Nilai kekuatan
pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim.
2. Alat bukti saksi181, diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR, pasal 165-179,
306-309 RBg, pasal 1895 dan 1902-1912 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Tentang keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah
menurut hukum harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yang dialami, dilihat
atau didengar sendiri, dan harus disertai alasan-alasan bagaimana
diketahuinya peristiwa yang diterangkan oleh saksi-saksi tersebut. Pendapat
dan kesimpulan yang diperoleh dengan jalan menggunakan buah pikiran
bukanlah kesaksian pasal 171 HIR dan 308 R.Bg. Jadi saksi itu yang
181
mengalami, mendengar, merasakan, dan melihat sendiri suatu peristiwa atau
kejadian dalam perkara yang sedang disengketakan
3. Alat bukti persangkaan, adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa
yang telah dikenal atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak
dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan undang-undang atau
kesimpulan yang ditarik oleh hakim. Persangkaan diatur dalam pasal 173
HIR, 1916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Persangkaan dapat dibagi
menjadi dua macam sebagaimana berikut.
a. Persangkaan Undang-Undang adalah suatu peristiwa yang oleh
undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal
pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali
berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
b. Persangkaan Hakim yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan
membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan
dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah
tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya
mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah
terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam
keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama
Alat bukti pengakuan, (bekentenis, confession)adalah pernyataan
seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan
persetujuan pihak lain. Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174, 175,
176 HIR, pasal 311, 312, 313 R.Bg, dan pasal 1923-1928 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Ada beberapa macam bentuk pengakuan yaitu, pengakuan murni,
pengakuan dengan kualifikasi, dan pengakuan dengan klausula. Ada dua macam
pengakuan yaitu :
a. Pengakuan di depan sidang.
Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh
salah satu pihak dengan membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian
saja. Pengakuan di depan sidang merupakan pembuktian yang sempurna.
Pengakuan di depan sidang tidak dapat ditarik kembali kecuali pengakuan
yang diberikan terdapat suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi.
Pengakuan dapat berupa pengakuan lisan dan tertulis, pengakuan dalam
jawaban dipersamakan pengakuan lisan di depan persidangan.
b. Pengakuan di luar sidang.
Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan
pembuktiannya bebastergantung pada penilaian hakim yang memeriksa.
Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang
pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan pembuktian
4. Alat bukti sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat
Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau
janji yang tidak benarakan dihukum oleh-Nya. Ada dua macam sumpah yaitu:
a) Sumpah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang
disebut sumpah promissoir. Sumpah promissoir dilakukan oleh saksi atau
ahli. Sumpah promissoir mempunyai fungsi formil yaitu sebagai syarat
sah dilakukannya suatu tindakan yang menurut hukum harus dilakukan di
atas sumpahnya itu.
b) Sumpah atau janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa
sesuatu itu benar demikian atau tidak benar, yang disebut sumpah
assertoir. Sumpah assertoir dilakukan oleh para pihak dalam perkara guna
mengakhiri sengketa, untuk meneguhkan suatu peristiwa atau hak. Jadi
sumpah assetoir mempunyai fungsi meteriil yaitu sebagai alat bukti di
muka Pengadilan untuk menyelesaikan sengketa.
Mengenai alat bukti mengalami beberapa perubahan perkembangan
menjadi lebih luas karena perkembangan masyarakat salat satunya adalah alat
bukti yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 5 menentukan bahwa :
a) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
b) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
c) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
d) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
1) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
2) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
C.Kekuatan Pembuktian Perjanjian Pengadaaan Urusan Tanah Tapak Rumah
Yang Dibuat Di Bawah Tangan
Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini adalah suatu perjanjian
pendahuluan untuk membantu dalam melakukan perjanjian jual beli hak atas tanah
tersebut, namun ternyata terhadap perjanjian pengadaan urusan tapak rumah ini
sendiri dalam penerapannya hanya memakai asas umum perjanjian yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan bentuknya mendekati perjanjian
Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini dibuat secara tertulis dan
dibawah tangan sehingga bentuknya bebas, terserah para pihak yang mebuat dan
tempat membuatnya diperbolehkan dimana saja dan perjanjian dibawah tangan ini
dibuat semata-mata untuk kepentingan para pihak.
Maka dengan demikian terhadap Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak
rumah yang dilakukan oleh Sunggul Panjaitan selaku pimpinan CV. Putra Agung
dengan DIkko Ammar selaku pembeli tanah tapak rumah termasuk perjannjian
yang dilakukan dibawah tangan karena kesepakatan perjanjian tersebut hanya
dilakukan antara CV. Putra Agung dengan Dikko Ammar selaku konsumennya
dan dibuat tidak dihadapat Pejabat Umum seperti notaris atau pejabat pembuat
akta tanah.
Tapak tanah yang diperjualbelikan adalah milik pribadi Sunggul Panjaitan
selaku direktur di CV. Putra Agung, sehingga Sunggul Panjaitan menggunakan
CV. Putra Agung untuk mengelola jual beli tanah pribadi, tidak kuasa khusus
karena itu harta pribadi Sunggul Panjaitan. 182 Surat Kuasa khusus tidak diperlukan
karena ketika Dikko Amar selaku pembeli melunasi angsurannya, maka dalam
pengurusan peralihan hak atas tanah Sunggul Panjaitan akan bertindak sendiri
tidak mewakilkan kepada siapapun karena kedudukannya sebagai pemilik tanah
yang sah. 183 Mengenai identitas tanah tersebut tidak dicantumkan secara jelas
182
Hasil Wawancara dengan Sunggul Panjaitan, Direktur CV. Putra Agung, pada tanggal 16 Nopember 2015.
183
dalam perjanjian tersebut, hanya lokasi, luas dan batas tanah tentang identitas
pemilik tanah tidak dicantumkan, dengan alasan tanah tersebut adalah milik
pribadi Sunggul Panjaitan selaku Direktur CV. Putra Agung, jadi pemilik tanah
adalah direktur atau pimpinan CV. Putra Agung selaku pihak pertama dalam
perjanjian tersebut.
Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah hanya bersifat sebagai
perjanjian pengikat semata atau perjanjian pendahuluan apabila semua kewajiban
pembeli sudah dilaksanakan maka CV. Putra Agung akan membuatkan peralihan
hak atas tanahnya sesuai dengan peraturan yang ada. Kedudukan hukum atas
Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah tetap mempunyai kekuatan hukum
sesuai Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu perjanjian yang
dibuat dan disepakati menjadi undang-undang bagi yang membuatnya walaupun
dibuat dibawah tangan.
Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini memiliki kekuatan
pembuktian yang lemah karena dilihat dari tanda tangan saksi yang terdapat dalam
perjanjian tersebut hanya satu orang saksi yang menandatangani perjanjian
tersebut. Kekuatan pembuktian suatu akta yang berisi tentang perjanjian memiliki
kekuatan pembuktian sebagai berikut:
a) Kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu
sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta autentik. Kemampuan ini
menurut Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat
berlaku sah yakni apabila berasal dari orang-orang yang terhadap siapa akta
ini dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari
tanda tangannya itu sebagai telah diakui oleh orang yang bersangkutan.
b) Kekuatan pembuktian formal, ini dibuktikan bahwa pejabat yang
bersangkutan telah menyatakn dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum
dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh
pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikan di dalam
menjalankannya. Dalam arti formal, maka terjamin kepastian
kebenaran/kepastian tanggal akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapt
dalam akta iru, identitas dari orang-orang yang hadir, dan demikian juga
dimana tempat akta itu dibuat.
c) Kekuatan pembuktian materil, ialah suatu kepastian bahwa apa yang tersebut
dalam akta tersebut merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak
yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku umum,
kecuali berlaku sebaliknya. Kekuatan pembuntian materil tercantum dalam
Pasal 1870, 1871 dan 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akta ini
memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari pada yang
tercantum dalam akta terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dari para ahli
waris serta penerima hak, dengan pengecualian apabila yang tercantum
didalamnya hanya berlaku sebagai pemberitahuan belaka yang tidak
mempunya hungan langsung dengan apa yang menjadi pokok perkara akta
Namun ada beberapa tulisan yang bukan akta yang oleh undang-undang
ditetapkan sebagai alat bukti yang mengikat artinya harus dipercaya oleh hakim,
yang disebut dalam pasal 1881 ayat (1) sub 1 dan 2 serta pasal 1883 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :
(a) Surat-surat yang dengan tegas menyebut tentang suatu pembayaran yang telah
diterima
(b) Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat
adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu alas hak (title)
bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan
(c) Catatan-catatan yang dicantumkan oleh seorang kreditur pada suatu atas hak
yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu
pembebasan terhadap debitur
(d) Catatan-catatan yang dicantumkan kreditur pada salinan suatu alas hak atau
tanda pembayaran, asal saja salinan atau tanda pembayaran ini berada dalam
tangannya debitur.
Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini hanya memiliki
kekuatan pembuktian materil karena tidak memenuhi kriteria-kriteria kekuatan
pembuktian lahiriah dan formal yaitu hanya dibuat di bawah tangan dan tidak ad
pejabat umum yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
a) Daya bukti lemah yaitu Bukti lemah adalah alat bukti yang dikemukakan
penggugat yang sedikitpun tidak memberikan pembuktian atau memberikan
pembuktian tetapi tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerima
dalil-dalil gugatan, artinya alat bukti ini hanya mempunyai daya bukti
permulaan ( kracht van begin bewijs ). Jadi derajat bukti yang dibutuhkan
belum tercapai oleh karena itu gugatan harus ditolak dan penggugat sebagai
pihak yang kalah. Daya bukti permulaan saja tidak dapat menjadi dasar hakim
bagi penerimaan suatu gugatan.184
b) Daya bukti yang sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang
bersangkutan telah sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat
bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti
sangkalan ( tengen bewijs). Jadi dengan bukti sempurna yang diajukan
tersebut, memberikan kepada hakim kepastian yang cukup, akan tetapi masih
dapat dijatuhkan oleh bukti sangkalan. Dengan demikian, bukti sempurna
mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan
harus diterima kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya ( tengen bewijs )
berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti cukup guna
menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.185
c) Daya bukti pasti atau menentukan, akibat diajukan pembuktian dengan alat
bukti yang mempunyai daya bukti pasti/menentukan, maka terhadap
184
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, (CV Mandar Maju, Bandung, 2005), hal. 19.
pembuktian tersebut tidak diperbolehkan untuk memajukan bukti sangkalan.
Pembuktian dengan alat bukti pasti/menentukan, mengakibatkan bagi
penggugat atau tergugat yang mengemukakan alat bukti tersebut, suatu posisi
yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan demikian tuntutan yang
diajukan dianggap benar, beralasan dan dapat diterima. Peluang pihak lawan
untuk mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.186
d) Daya bukti yang mengikat, dengan adanya alat bukti yang mempunyai daya
bukti mengikat, maka hakim wajib untuk menyesuaikan keputusannya dengan
pembuktian tersebut. Contoh dalam hal ini adalah dalam hal adanya sumpah
pemutus ( sumpah decissoir ).187
e) Daya bukti sangkalan adalah alat bukti yang dipergunakan dalam bantahan
terhadap pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan.
Pembuktian ini bertujuan untuk menggagalkan gugatan pihak lawan. Pada
prinsipnya segala bukti dapat dilemahkan dengan bukti sangkalan, kecuali
undang-undang sendiri secara tegas melarang diajukannya suatu alat bukti
sangkalan, misalnya terhadap sumpah pemutus ( sumpah decissoir )yang
diatur dalam Pasal 1936 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 188
Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini memiliki daya bukti
yang lemah karena dibuat dibawah tangan dan bukan merupakan daya bukti yang
186
Ibid., hal. 20. 187
Ibid.
sempurna karena bukan termasuk akta autentik, sehingga untuk mendukung
1. Bentuk perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah adalah berbentuk
perjanjian baku yang memuat klausula khusus karena memenuhi
karateristik-karateristiknya yaitu bentuk, format, syarat-syarat perjanjian,
konsumen (pembeli) hanya memiliki dua pilihan yaitu menerima atau
menolak dan penyelesaian sengketa melalui musyawarah atau pengadilan
negeri medan.
2. Wanprestasi yang terjadi selama perjanjian urusan pengadaan tanah tapak
rumah berjalan adalah calon pembeli tidak lagi melaksanakan
kewajibannya yaitu tidak membayar angsuran kepada calon penjual,
sehingga muncul wanprestasi, dimana wanprestasi terjadi ketika salah satu
pihak tidak lagi menjalankan kewajiban yang telah diperjanjikan di
perjanjian tersebut, dan tanggung jawab calon pembeli adalah membayar
denda dan harus berada dalam posisi keadaan menunggu, dalam keadaan
keadaan menunggu ini calon penjual memiliki tanggung jawab dengan
pembatasan terhadap calon pembeli sehingga merugikan keadaannya.
3. Kekuatan Pembuktian perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini
hanya memiliki kekuatan pembuktian materill karena tidak memenuhi
pejabat yang berwenang dan pembuktian lahirian seperti bukan
merupakan akta autentik melaikan adalah akta di bawah tangan sera
memiliki daya bukti yang lemah.
B. Saran
1. Ada perhatian khusus yang harus diberikan oleh beberapa pihak yang
secara langsung terkait dalam jual beli tanah yang benar, diantaranya
adalah oleh Camat, Kepala desa selaku pihak yang paling dekat dengan
masyarakat. Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat yang telah
diberikan wewenang pemerintah dalam hal pembuatan akta jual beli tanah.
2. Peran Notaris sebagai pejabat umum dipertegas dan diperjelas seperti ada
suatu kewajiban bagi suatu notaris untuk terlibat langsung dalam suatu
perjanjian, agar para pihak yang membuat perjanjian terlindungi posisi
hukumnya, atau disarakan kepada Notaris untuk melakukan penyuluhan
hukum kepada masyarakat ditempat Notaris tersebut menjalankan
tugasnya.
3. Agar dibuat suatu aturan yang dengan tegas menjelaskan tentang
pembatasan pembuatan perjanjian baku dengan menggunakan
klausula-klausula khusus atau dibuatnya lembaga pengawas terhadap