• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Angsuran yang Dibuat Dibawah Tangan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Angsuran yang Dibuat Dibawah Tangan Chapter III V"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

A.Wanprestasi Secara Umum

Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang

membuatnya. Hubungan hukum itu menimbulkan kewajiban dan hak yang timbale

balik antara pihak-pihak. Hubungan hukum itu terjadi karena peristiwa hukum

yang berupa perjanjian salah satunya adalah jual beli.132

Perjanjian yang dilakukan menimbulkan hubungan hukum yang mengikat

antara para pihak yang membuatnya, pada prinsipnya setiap perjanjian yang dibuat

oleh para pihak harus memenuhi kewajibannya secara timbal balik. Dengan kata

sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian, maka kedua pihak mempunyai

kebebasan untuk menentukan sendiri bentuk perjajian. Hal ini sesuai dengan

sistem terbuka yang duanut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pada umumnya bukti adanya kesepakatan seperti akta otentik dalam

perjanjian tidak terlalu diperlukan, yang terpenting bagi para pihak yang

melakukan perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak, ada itikad baik dan

saling percaya satu sama lain, sehingga menganggap bahwa kedua belah pihak

yang terkait dalam perjanjian akan menepati janji sesuai dengan yang

diperjanjikan.

132

(2)

Yang dimaksud melaksanakan perjanjian dalam hal ini adalah

melaksanakan prestasi, dan ada 3 (tiga) jenis prestasi, menurut Pasal 1234 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :

a. Memberi sesuatu;

b. Berbuat sesuatu;

c. Tidak berbuat sesuatu.

Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat:133

a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban,

b. kesusilaan, dan Undang-Undang.

c. Harus tertentu atau dapat ditentukan.

d. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia

Ketika prestasi tidak dilaksanakan maka timbullah wanprestasi.

Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan (prestasi) seperti

yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur

disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :

1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban

maupun karena kesalahan;

2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, terjadi diluar

kemampuan debitur, sehingga debitur tidak bersalah. Keadaan memaksa

(force majeure) yaitu salah satu alasan pembenar untuk membebaskan

seseorang dari kewajiban untukmengganti kerugian (Pasal 1244 dan Pasal

133

(3)

1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Menurut Undang-Undang ada

tiga hal yang harus dipenuhi untuk adanya keadaan memaksa, yaitu:

a. Tidak memenuhi prestasi,

b. Ada sebab yang terletak di luar kesehatan debitur,

c. Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan

wanprestasi, perlua ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur sengaja atau

lalai tidak memenuhi prestasi.134

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan

kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara

kreditur dengan debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat

terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.135 Seorang debitur

dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat

memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.

Wanprestasi adalah kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan, yang

terdiri dari dua macam sifat. Pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi

itu masih dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya sedang yang kedua adalah

terdapat hal-hal yang disitu prestasinya tidak dilakukan pada waktu yang tepat.136

134

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 203. 135

(4)

Adalah wujud dari tidak memenuhi perikatan itu, wujud dari tidak

memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu:137

a. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan

b. Debitur terlambat memenuhi perikatan

c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan

Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatan tidak

memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian

pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan

di dalam perikatan dimana waktu untuk melaksanakan prestasi itupun tidak

ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk

menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk

tidak berbuat sesuatu. Apabila orang itu melakukan perbuatan yang dilarang

tersebut maka ia tidak memenuhi perikatan.138

Akibat yang sangat penting dari tidak terpenuhinya perikatan ialah bahwa

kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya.

Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka Undang-Undang

menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam

keadaan lalai (ingebrekestellling). Lembaga pernyataan lalai ia adalah

137

Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 18-19. 138Ibid.,

(5)

pakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan

ingkar janji (wanprestasi).139

Hal ini tercantum dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang berbunyi penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak

dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah

dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang

harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya

dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

Jadi maksud berada dalam keadaan lalai ialah peringatan atau pernyataan

dari kreditur tentang saat sela,bat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi.

Apabila saat ini dilampaui, maka debitur ingkar janji (wanprestasi).140

Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur cara

pemberitahuan itu dilakukan yang berbunyi debitur dinyatakan Ialai dengan surat

perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan

sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai

dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Pernyataan lalai diperlukan dalam hal seseorang meminta ganti rugi atau

meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji.

Menurut ilmu hukum perdata kalau kreditur menuntut adanya pemenuhan, maka

lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan, sebab hak untuk mendapatkan

139

Ibid.

(6)

pemenuhan itu sudah ada dalam perikatan itu sendiri sedangkan hak untuk

meminta ganti rugiatau pemutusan, ialah sudah dilakukannya wanprestasi oleh

debitur. Karena itu, disini lembaga pernyataan lalai diperlukan sekali. Namun

demikian kenyataannya didalam praktek pengadilan apabila kreditur menuntut

pemenuhan, lembaga pernyataan lalai juga diperlukan.141

Sebabnya diperlukan karena untuk menjaga kemungkinan agar debitur

tidak merugikan kreditur, misalnya debitur digugat di peradilan karena

wanprestasi, sedangkan sebelumnya tidak ada lembaga itu, maka debitur dapat

menyatakan bahwa sebelumnya terhadap debitu belum dilakukan pemberitahuan

oleh kreditur. Sehingga lembaga pernyataan lalai perlu dilakukan dalam hal

kreditur menuntut ganti rugi dari debitur. Apabila debitur hanya menuntut

pemenuhan prestasi, ataupun menuntut debitur secara patut memenuhi perikatan,

maka lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan.142

Apabila debitur keliru malakukan prestasi dan kelirunya itu adalah

dengan itikad baik, maka pernyataan lalai diperlukan, tetapi kalau kelirunya itu

terjadi dengan itikat jahat, maka disini tidak diperlukan lagi pernyataan lalai.

Lembaga itu tidak diperlukan apabila peringtan diadakan untuk jangka waktu

tertentu, oleh karena dengan dilampauinya waktu itu, maka berarti debitur telah

tidak memenuhi perikatan. Pernyataan lalai diperlukan untuk perikatan yang

tidak dipenuhi pada waktunya karena sebenarnya debitur masih bersedia

141

Ibid., hal. 20. 142Ibid

(7)

memenuhi prestasi, hanya saja terlambat. Dengan lembaga itu debitur masih

diberi kesempatan untuk memenuhi perikatan.143

Apabila debitur tidak memenuhi perikatannya ataupun pada

perikatan-perikatan dimana pernyataan lalai tidak disampaikan kepada debitur, tetapi tidak

diindahkannya, maka debitur tidak memenuhi perikatan.144

B. Penyelesaian Wanprestasi

Perjanjian yang telah dibuat secara sah dan telah disepakati oleh para

pihak mengikat para pihak untuk mentaati seluruh isi perjanjian yang telah

disepakati tersebut dan setiap tindakan wanpretasi dari perjanjian tersebut dapat

menimbulkan tindakan tuntutan hukum dari pihak lain yang merasa dirugikan

atas perbuatan wanprestasi tersebut. Setiap perjanjian yang telah disepakati dan

telah ditandatangani oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut

harus dilaksanakan dengan itikad baik dan dengan kejujuran untuk memenuhi

segala hak dan kewajiban yang termuat di dalam perjanjian tersebut. 145

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak

pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk

memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu

pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. 146

( Jakarta, Kencana Media, 2010), hal. 50. 146

(8)

Hak-hak kreditur adalah sebagai berikut:147

a. Hak menuntut pemenuhan perikatan;

b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal

balik, menurut pembatalan perikatan;

c. Hak menuntut ganti rugi;

d. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Hak-hak debitur dalam wanprestasi adalah :

a. Mekanisme tertentu untuk memutuskan kontrk, terdiri dari dua yaitu

kewajiban melaksanakan somasi sesuai Pasal 1238 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Kewajiban memutuskan kontrak timbal balik lewat

pengadilan sesuai Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Pembatasan terhadap pemutusan kontrak, jika salah satu pihak telah

melakukan wanprestasi maka pihak lainnya dalam perjanjian tersebut berhak

untuk memutuskan perjanjian yang bersangkutan. Akan tetapi terhadap hak

untuk memutuskan perjanjian oleh pihak yang telah dirugikan akibat

wanprestasi ini berlaku beberapa hal antra lain:148

1. Wanprestasi harus serius;

2. Hak untuk memutuskan perjanjian belum dikesampingkan;

3. Pemutusan pejanjian tidak terlambat dilakukan;

147

Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 21. 148

(9)

4. Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan.

Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi,

dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu :149

a. Menuntut pemenuhan perikatan,

b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat

timbal-balik, menurut pembatalan perikatan,

c. Menuntut ganti rugi,

d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi,

e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Tujuan untuk mendapat ganti rugi dari wanprestasi suatu perjanjian

menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut tidak

terpenuhi dengan demikian ganti rugi tersebut berupa kehilangan keuntungan

yang diharapkan. Dalam penyelasaian wanprestasi tersebut, walaupun perjanjian

tersebut tunduk pada hukum perjanjian dalam prakteknya tidak dipermasalahkan

bila menggunakan hukum lain, karena dalam hal ini obyeknya adalah tanah,

maka yang dimaksud dalam hal ini adalah hukum agraria di Indonesia.

Asas Pacta Sun Servanda yang dianut dalam Pasal 1388 Ayat (2)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku dalam penyelesaian perjanjan

jual beli. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh

Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Artinya jual beli yang telah dilangsungkan

149

(10)

dan telah mengikat dengan tercapainya kata sepakat mengenai kebendaan yang

akan dijual dan harga beli antara penjual dan pembeli, tidak dapat dibatalkan

secara sepihak oleh pembeli dan penjual.150

Ada beberapa asas-asas penyelesaian wanprestasi dalam hal untuk

mencapai keadilan yang responsif, dalam hal ini adalah penyelesaian dalam hal

memberi ganti rugi, yaitu:151

a. Asas keadilan, asas ini mengkehendaki bahwa ganti rugi tanah yang diberikan

tersebut dapat diteima oleh semua pihak. Asas ini terkandung dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Pasal 2 .

b. Asas musyawarah, asas ini mengkehendaki kegiatan ganti rugi tanah terlebih

dahulu harus saling mengenal dengan sikap saling menerima pendapat dan

keinginan yang didasarkan kepada kesukarelaan antara pemilk tanah dengan

pihak yang membutuhkan tanah untuk memperoleh suatu kesepakatan

mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.

c. Asas langsung, asas ini mengkehendaki bahwa gantti rugi tanah itu dapat

dilakukan secara langsung oleh pihak yang membutuhkan tanah kepada

pemilik tanah dengan maksud agar kedua belah pihak tidak saling dirugikan.

150

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 125.

151

(11)

d. Asas manfaat, asas ini mengkehendaki agar dalam setiap ganti rugi yang

dilaksanakan baik untuk kepentingan umum atau kepentingan pribadi dapat

bermanfaat bagi kedua belah pihak.

e. Asas kepastian hukum, asas ini mengkehendaki bahwa ganti rugi tanah itu

sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

f. Asas itikad baik, asas ini mengkehendaki dalam proses pelaksanaan

pemberian ganti rugi perlu adanya itikad baik serta kejujuran kedua belah

pihak mengenai maksud kedua belah pihak, sehingga hasilnya dapat diterima

dan diketahui dengan baik oleh kedua belah pihak, sehingga tidak ada yang

dirugikan.

g. Asas keseimbangan, asas ini mengkehendaki setiap ganti rugi dan besarnya

ganti rugi yang diberikan, harus adanya keseimbangan antara hak dan

kewajiban para pihak dan diharapkan dengan ganti dapat mendatangkan

kesejahteraan bersama dan disesuaikan dengan keadaan yang nyata.

h. Asas kepatutan, asas ini mengkehendaki agar ganti rugi yang diberikan

kepada pihak yang dirugikan nilainya harus layak dan patut,

i. Asas kesejahteraan, asas ini mengkehendaki dalam ganti rugi dapat

memperbaiki keadaan ekonomi pihak yang dirugikan dari keadaan yang

sebelumnya.

Menurut Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1245

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1246 Kitab Undang-Undang

(12)

dimaksud dengan biaya adalah setiap biaya yang secara nyata dikeluarkan oleh

pihak yang dirugikan, dalam hal ini sebagai akibat dari wanprestasi.152

Sedangkan bunga yang dimaksud adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh

tetapi tidak jadi diperoleh karena adanya tindakan wanprestasi.153 Tentang rugi

yang akan dimaksud dalam penelitian ini adalah:

a. Pengertian rugi (schade)154

Apabila Undang-Undang menyebutkan rugi (schade) maka yang dimaksud

adalah sebagai berikut kerugian nyata (feitelijknadee) yang dapat diduga atau

diperkirakan pada saa perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat

ingkar janji. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara

keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan kekayaan seandainya

tidak terjadi ingkar janji.

b. Hubungan sebab akibat.155

Pada umumnya debitur hanya memberikan ganti tugi kalau kerugian itu

mempunyai hubungan langsung dengan ingkar janji, dengan perkataan lain

antara ingkar janji dengan kerugian harus ada hubungan sebab akibat (kausal),

hal ini disebutkan dalam Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang berbunyi bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh

tipu daya debitur, maka penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang

Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 21. 155Ibid.,

(13)

menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya

mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya

perikatan itu.

Dari Pasal tersebut muncul 2 (dua) pernyataan, yaitu :

a. Apabila kerugian itu merupakan suatu akibat dari ingkar janji;

b. Apabila kerugian itu merupakan akibat langsung dari ingkar janji.

Undang-Undang tidak memberikan penjelasan tentang ukuran-ukuran

yang dipergunakan untuk menentukan adanya hubungan sebab akibat. Dalam

hal ini ajaran yang lazimnya dianut adalah teori adequate dari Von Kries.

Ajaran ini mengemukakan bahwa ukuran untuk menentukan sebab di dalam

pengertian hukum apabila suatu peristiwa itu secara langsung menurut

pengalaman manusia yang normal dapat diharapkan (naar redelijkheid)

menimbulkan akibat tertentu. Suatu peristiwa adalah merupakan akibat

langsung dari suatu peristiwa lainnya apabila menurut pengalaman manusia

yang normal dari eristiwa tadi diharapkan timbul akibat tertentu.

Ada beberapa penyelesaian wanprestasi yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata antara lain:

1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur

(Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini berlaku

untuk semua perikatan.

2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak

(14)

membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata).

3. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237

ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku

bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

4. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim Debitur yang

terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini

berlaku untuk semua periakatan.

5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian

sertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.

Dari akibat hukum tersebut di atas, kreditur dapat memilih diantara

beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur yaitu dapat menuntut pemenuhan

perikatan atau pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian, atau menuntut

ganti kerugian saja atau menuntut ganti kerugian saja atau menuntut pembatalan

perjanjian lewat hakim atau menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti

kerugian.156

Dalam perkembangannya banyak muncul cara-cara dalam penyelesaian

wanprestasi antara lain bisa dilakukan dengan cara:

1. Pihak dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi

156

(15)

Permintaan ini harus diajukan dengan menunjukkan dasar-dasarnya, karena

suatu permintaan renogosiasi tidak dapat diterima apabila kontrak (perjanjian)

itu sendiri telah memuat suatu klausul yang memberikan perubahan otomatis

dari kontrak (perjanjian).157

2. Permintaan renegosiasi harus diajukan segera

Permintaan regonisiasi harus diajukan segera setelah saat terjadinya kesulitan

yang didugakan terjadi, pihak dirugikan tidak begitu saja kehilangan haknya

untuk meminta regonisiasi karena lalai melakukan dengan segera karena

keterlambatan bisa terjadi karena terlambat menemukan unsur-unsur

kesulitannya yang benar-benar telah terjadi dan juka terjadi pihak yang

dirugikan harus dapat mengaitkan akibatnya terhadap kontrak (perjanjian).158

3. Renegosiasi harus dengan itikad baik

Regonisiasi harus dilakukan dengan itikad baik dan prinsip kewajiban bekerja

sama, sehingga pihak yang dirugikan harus secara jujur mempercayai bahwa

masalah kesulitan secara nyata ada dan tidak meminta renegosiasi

semata-mata untuk taktik manuver saja.159

4. Mengajukan Ke Pengadilan atas kegagalan mencapai kesepakatan

Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan tentang perubahan kontrak

(perjanjian) disesuaikan dengan keadaan yang berubah dalam jangka waktu

yang layak, sehingga para pihak diberi kewenangan untuk para pihak untuk

157

Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 217. 158

Ibid., hal. 218. 159Ibid.,

(16)

mengajukan ke pengadilan.160 Keadaan tersebut dapat ditimbulkan baik

karena pihak yang tidak dirugikan sama sekali mengabaikan permintaan

renegosiasi atau karena renegosiasi, walaupun dilakukan oleh kedua pihak

dengan itikad baik, tidak mencapai hasil yang positif.

Pada asasnya bentuk ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang oleh

karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan

alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam

menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang, masih ada bentuk-bentuk lain yang

diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu pemulihan ke keadaan semula dan

larangan untuk mengulangi. Keduangan ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat

dengan uang paksa. Jadi, haruslah diingat uang paksa bukan merupakan bentuk

atau wujud ganti rugi. Ada juga terjadi kerugian dinilai dalam bentuk benda. Dan

keditur dapat juga menuntut diperhitungkan kerugian yng akan datang.161

Ganti rugi itu disebut adil apabila ganti rugi yang diberikan tidak

membuatnya pemiliknya menjadi sengsara dari sebelumnya, demikian juga

sebaliknya tidak menjadi kaya raya.162

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang ganti rugi

dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang,

dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immaterial, tidak

berwujud (moral, ideal). Namun demikian sebagian dari ahli Hukum Perdata dan

160

Ibid., hal. 220. 161

Ibid.,hal. 23. 162

(17)

Yurisprudensi menyetujui diberikannya ganti rugu terhadap kerugian immaterial,

misalnya harus dikabulkan tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa

dirugikan karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan

tetangganya.163

Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi, Undang-Undang

memberikan beberapa pedoman, yaitu besarnya ganti rugi itu ditentuka sendiri

oleh Undang-Undang, misalnya Pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang berbunyi dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan

pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, kerugian dan bunga yang timbul

karena keterlambatan pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan

oleh Undang-Undang tanpa mengurangi berlakunya peraturan undangundang

khusus. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu wajib dibayar, tanpa perlu

dibuktikan adanya suatu kerugian o!eh kreditur. Penggantian biaya,. kerugian

dan bunga itu baru wajib dibayar sejak diminta di muka Pengadilan, kecuali bila

Undang-Undang menetapkan bahwa hal itu berlaku demi hukum.

Jumlah ganti kerugian bisa ditentukan dengan cara : 164

a. Pihak-pihak sendiri menentukan besarnya jumlah ganti kerugian,

sesuai Pasal 249 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Jika tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang para pihak sendiri

juga tidak menentukan apa-apa, maka besarnya ganti kerugian ini

163

Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 23-24. 164Ibid.,

(18)

harus ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi,

atau dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan dari si

berpiutang harus sama seperti seandainya si berutang memenuhi

kewajibannya. Kerugian yang jumlahnya melampaui batas yang dapat

diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitur. Dalam hal ganti rugi

tanah harus mempunyai nilai tambah bagi kelangsungan hidup yang

menerima ganti rugi serta tidak berakibat memelaratkan penerima

ganti rugi tersebut.165

C. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Penyelesaian Wanprestasi Yang Terjadi Karena Perjanjian Urusan Pengadaan Tanah Tapak Rumah

Wanprestasi yang terjadi selama perjanjian urusan pengadaan tanah tapak

rumah ini berjalan adalah calon pembeli tidak lagi melaksanakan kewajibannya

yaitu tidak membayar angsuran kepada calon penjual, sehingga muncul

wanprestasi. Wanprestasi muncul ketika salah satu pihak tidak menjalankan

prestasi yang telah disepakati bersama. Wanprestasi ini biasanya terjadi karena

keadaan ekonomi.

Ketika wanprestasi ini terjadi, maka proses penyelesaiannya menurut

perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ada dua yaitu denda Rp.2.000.-

perhari dan bila sudah 60 hari sejak hari keterlambatan maka calon pembeli

dianggap tidak sanggup membayar. Namun dalam praktek yang terjadi

penyelesainya adalah sebagai berikut:

165

(19)

calon penjual memberi tenggang waktu kepada pembeli agar segera malaksanakan kewajibannya yaitu membayar angsuran tanah kapling tersebut. Apabila sudah diberi tenggang waktu dan tidak terlaksana juga, maka calon penjual akan mencari calon pembeli baru untuk mengganti kerugiannya, sehingga calon pembeli yang lama dianggap batal perjanjiannya dengan calon penjual, dan calon penjual akan membuat perjanjian yang baru dengan calon pemberi baru dengan catatan atas tanah yang sama dan calon penjual akan mengembalikan uang angsuran calon pembeli yang lama setelah dikurangi biaya administrasi.166

Tenggang waktu yang dilakukan calon penjual bisa disebut sebagai cara

musyawarah disini ada calon penjual memberi kesempatan kepada calon penjual

untuk melaksanakan kewajibannya atau mengingkari wanprestasi misalnya

dikarena keadaan memaksa. Calon penjual dalam hal ini menerapkan penyelesaian

wanprestasi sesuai hukum perjanjian yang ada, serta sesuai dengan asas pacta sunt

servanda yang berlaku dalam perjanjian jual beli.

Dalam prakteknya, ketika calon penjual mencari calon pembeli yang

baru, keadaan atau kedudukan calon pembeli yang lama tidak jelas karena tidak

ada ketetapan waktu dalam proses ini. Hal ini tentu tidak sesuai dengan asas

langsung dalam penyelesaian wanprestasi yang dijelaskan diatas, jadi walaupun

calon pembeli wanprestasi maka kedudukan hukumnya harus tetap seimbang, agar

terlindungi kedudukan hukumnya.

Asas penyelesaian wanprestasi yang terlanggar selama proses ini adalah

asas keadilan, adalah :

166

Hasil Wawancara, Dikko Ammar, Pembeli Tanah Kaplingan Secara Mengangsur dengan

(20)

calon pembeli dalam hal ini tidak ada keadilan, karena dalam hal melaksanakan kewajibannya untuk membayar angsuran, calon penjual tidak mau tahu bahwa kewajiban tersebut harus dijalankan, tetapi ketika calon pembeli mau menuntut kembali uang angsurannya karena perjanjian dianggap batal, calon pembeli dihadapkan dengan keadaan menunggu.167

Seharusnya calon penjual tidak membuat keadaan menunggu bagi calon

pembeli karena ada ketidakadilan di posisi calon pembeli, sehingga seharusnya

calon penjual harus sudah menyediakan segala penyelesaian (modal usaha) dari

segala resiko yang timbul dalam perjanjian tersebut. Keadaan menunggu ini

membuat pihak calon penjual tidak memiliki tanggung jawab. Karena tanggung

jawab merupakan realisasi dari kewajiban pihak lain.

Sehingga dalam hal ini, ketika ada keadaan menunggu bagi calon

pembeli, maka calon penjual harus melaksanakan sesegera mungkin kewajibannya

terhadap calon pembeli yaitu mengembalikan semua uang angsuran yang telah

disetor, karena telah disepakati perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah

yang telah dibuat dianggap batal , dianggap tidak pernah ada.

Kewajiban calon pembeli selama perjanjian urusan pengadaan tanah

tapak rumah itu berjalan maka menjadi hak calon penjual, namun karena adanya

wanprestasi yang mengakibatkan perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah

itu batal maka kewajiban calon pembeli sebelumnya menjadi haknya demikian

juga sebaliknya, sehingga calon penjual dalam proses keadaan menunggu ini tidak

bertanggung jawab atas kewajibannya terjadap calon pembeli.

167

(21)

Hal ini terjadi karena dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak

rumah tersebut yang merupakan perjanjanjian baku dengan memuat klausula baku

yang merumuskan tanggung jawab yang menjadi beban calon pembeli dan

tanggung jawab beban calon penjual. Tetapi apabila di telaah secara cermat,

karena perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini dibuat secara sepihak

oleh calon penjual maka beban tanggung jawab calon penjual diminimalkan

sedemikian rupa.

Ada beberapa prinsip tanggung jawab yaitu :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinisp umum

berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Udang Hukum

Perdata, khususnya dalam Pasal 1365, 1366 dan 1367. Prinsip ini dipegang

secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang

dilakukannya. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi

orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan

kata lain tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian

yang diderita orang lain.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, maksudnya adalah seseorang

selalu dianggap bertanggung jawab sampai seseorang tersebut dapat

membuktikan bahwa seseorang tersebut tidak bersalah, jadi beban pembuktian

(22)

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab, prinsip ini adalah

kebalikan dari prinsip sebelumnya. Prinsip ini dianut dalam hukum

pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi/kabin tangan yang

dibawa dan diawasi oleh penumpang adalah tanggung jawab dari penumpang

tersebut. Dalam hal ini pengangkut tidak dapat diminta

pertanggungjawabannya.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak adalah tanggung jawab yang menetapkan

kesalahan sebagai faktor yang menentukan. Namun ada

pengecualian-pengecualian yang mungkin untuk dibebasakan dari tanggung jawab, misalnya

keadaan force majeure. Prinsip ini digunakan secara umum dalam hukum

perlindungan konsumen, misalnya produsen wajib bertanggung jawab atas

penggunaan produk yang dipasarkannya.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasannya, umumnya dicantumkan dalam

perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus atau biasa disebut klausula

eksonerasi.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka dalam perjanjian urusan

pengadaan tanah tapak rumah tersebut terdapat tanggung jawab pihak calon

penjual terdapat calon pembeli, karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa bentuk

perjanjian ini adalah perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus.

Tanggung jawab dengan pembatasan tersebut dapat dilihat pada saat keadaan

(23)

Walaupun keadaan menunggu ini muncul karena kesalahan calon

pembeli, tetap saja calon penjual harus bertanggung jawab, karena ketika calon

pembeli melakukan kesalahan atau wanprestasi maka calon pembeli akan

bertanggung jawab dalam bentuk pernyataan setuju agar perjanjian tersebut batal

sehingga tanah tapak rumah yang telah dibayar secara mengangsur tidak menjadi

miliknya dan uang angsuran seharusnya dikembalikan kepadanya. Pada saat

pengembalian uang angsuran ini, calon penjual menggunakan prinsip tanggung

jawab dengan pembatasannya.

Calon penjual akan bertanggung jawab mengembalikan uang angsuran

kepada calon pembeli ketika sudah ada calon pembeli baru yang membeli tanah

tapak rumah tersebut. Sehingga calon penjual ada unsur membatasi tanggung

jawabnya, akan bertanggung jawab dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini sangat

merugikan calon pembeli sebagai konsumen.

Prinsipnya calon pembeli dapat menuntut tanggung jawab pihak calon

penjual dengan prinsip menuntut tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.

Namun dalam prakteknya hal tersebut tidak bisa dilaksanakan karena alasan

ekonomi, karena calon pembeli harus terlebih dahulu membuktikan kesalahan

calon penjual dengan proses yang menggunakan uang dan waktu yang banyak

serta akan melibatkan kepolisian. Umumnya calon pembeli tidak mengambil

(24)

BAB IV

KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN URUSAN PENGADAAN TANAH TAPAK RUMAH YANG DIBUAT DI BAWAH TANGAN

A.Kekuatan Pembuktian Menurut Hukum Acara Perdata

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum

kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang dikemukakan.168 Dasar hukum pembuktian di Indonesia

adalah Pasal 162 – 177 HIR, Pasal 282 – 314 RBg, Pasal 1885 – 1945 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 74 – 76, 87 – 88 No 7 Thn 1989 jo

UU No. 50 Tahun 2009 .

Dakam pembuktian terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu:

1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil

Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel

negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti dalam

proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran

yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan

alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu

harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt.

Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak

meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran

168

(25)

hakiki.169 Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan

diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada

dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan

kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan,

hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran

formil.170 Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang

mendukungnya.

a) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan dalam

persidangan. Para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan

atau alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti tersebut diserahkan kepada

hakim. Bahan atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang

didalilkan pihak manapun hanya fakta langsung dengan perkara yang

disengketakan. Apabila bahan atau alat bukti yang disampaikan di

persidangan tidak mampu membenarkan fakta yang berkaitan dengan

perkara yang disengketakan maka tidak bernilai sebagai alat bukti.171

b) Fakta yang terungkap di luar persidangan. Di atas telah dijelaskan bahwa

hanya fakta-fakta yang diajukan di persidangan yang dapat dinilai dan

diperhitungkan untuk menentukan kebenaran dalam mengambil putusan.

Artinya, fakta yang dapat dinilai dan diperhitungkan hanya yang

disampaikan oleh para pihak kepada hakim dalam persidangan. Hakim

169

R. Subekti, Hukum Pembuktian, (PT. Pradnya Paramita, Jakarta), 2007, hal. 9. 170

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Sinar Grafika, Jakarta, 2005), hal. 498. 171

(26)

tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak

diajukan pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim

dari surat kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari

sumber luar, bukan dalam persidangan maka tidak dapat dijadikan fakta

untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan oleh salah satu pihak.

Walaupun sedemikian banyak fakta yang diperoleh dari berbagai sumber,

selama fakta tersebut bukan diajukan dan diperoleh dalam persidangan

maka fakta tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil putusan.

Meskipun banyak orang yang memberitahukan dan menunjukkan fakta

kepada hakim tentang kebenaran perkara yang disengketakan, fakta

tersebut harus ditolak dan disingkirkan dalam mencari kebenaran atas

perkara dimaksud. Fakta yang demikian disebut out of court, oleh karena

itu tidak dapat dijadikan dasar mencari dan menemukan kebenaran.172

c) Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian.

Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses

persidangan, fakta yang bernilai sebagai pembuktian, hanya terbatas pada

fakta yang konkret dan relevan yakni jelas dan nyata membuktikan suatu

keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang

disengketakan. Dengan kata lain, alat bukti yang dapat diajukan hanyalah

yang mengandung fakta-fakta konkret dan relevan atau bersifat prima

facie, yaitu membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung

172

(27)

berkaitan erat dengan perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan fakta

yang abstrak dalam hukum pembuktian dikategorikan sebagai hal yang

semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan

sesuatu kebenaran.173

2. Pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara

Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah

satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi

pokok perkara. Walaupun menurut pertimbangan hakin tersebut bohong atau

meragukan, majelis hakim harus tetap menerima pengakuan tersebut terutama

apabila pengakuan tersebut sudah menjawab semua pokok permasalahan yang

ingin dicari penyelesaiannya oleh para pihak dan hakim di Pengadilan.

Hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan

tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas.174 Akan

tetapi, agar penerapan pengakuan mengakhiri perkara tidak keliru, perlu

dijelaskan lebih lanjut beberapa hal antara lain sebagai berikut: 175

a. Pengakuan yang diberikan tanpa syarat. Pengakuan yang berbobot

mengakhiri perkara, apabila :

1) Pengakuan diberikan secara tegas . Pengakuan yang diucapkan atau

diutarakan secara tegas baik dengan lisan atau tulisan di depan

persidangan.

173Ibid

., hal. 502. 174

Ibid., hal. 505. 175

(28)

2) Pengakuan yang diberikan murni dan bulat. Pengakuan tersebut bersifat

murni dan bulat serta menyeluruh terhadap materi pokok perkara,

dengan demikian pengakuan yang diberikan harus tanpa syarat atau

tanpa kualifikasi dan langsung mengenai materi pokok perkara.

Apabila pengakuan yang diberikan bersyarat, apalagi tidak ditujukan

terhadap pokok perkara, maka pengakuan tersebut tidak dapat dijadikan

dasar mengakhiri pemeriksaan perkara.

1) Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri. Apabila tergugat tidak

mengajukan sangkalan tetapi mengambil sikap berdiam diri peristiwa

itu tidak dapat ditafsirkan menjadi fakta atau bukti pengakuan tanpa

syarat, oleh karena itu sikap tergugat tersebut tidak dapat dikonstruksi

sebagai pengakuan murni dan bulat karena kategori pengakuan yang

demikian harus dinyatakan secara tegas barulah sah dijadikan

pengakuan yang murni tanpa syarat, sedangkan dalam keadaan diam

tidak pasti dengan jelas apa saja yang diakui sehingga belum tuntas

penyelesaian mengenai pokok perkara oleh karena itu, tidak sah

menjadikannya dasar mengakhiri perkara.

2) Menyangkal tanpa alasan cukup

Dalam hal ini ada diajukan sangkalan atau bantahan tetapi tidak

didukung dengan dasar alasan ( opposition without basic reaso ) dapat

dikonstruksi dan dianggap sebagai pengakuan yang murni dan bulat

(29)

fakta-fakta materi pokok perkara dengan demikian proses pemeriksaan

perkara dapat diakhiri.

Akan tetapi perkembangan praktik memperlihatkan

kecenderungan yang lebih bersifat lentur, yang memberikan hak

kepada pihak yang berdiam diri atau kepada yang mengajukan

sangkalan tanpa alasan ( opposition without basic reason ) untuk

mengubah sikap diam atau sangkalan itu dalam proses persidangan

selanjutnya, dan hal itu merupakan hak sehingga hakim wajib

memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengubah dan

memperbaikinya. Lain halnya pengakuan yang diberikan secara tegas

di persidangan. Pengakuan tersebut langsung bersifat mengikat (

binding ) kepada para pihak, oleh karena itu tidak dapat dicabut

kembali ( onherroeppelijk ) dan juga tidak dapat diubah atau

diperbaiki lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 1926 KUHPerdata.176

3. Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan kembali

Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada

kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan

sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu

segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.177 hal-hal yang tidak

perlu dibuktikan dalam pemeriksaan perkara perdata antara lain adalah:

176

Ibid., hal. 507. 177

(30)

1. Hukum positif tidak perlu dibuktikan

2. Fakta yang diketahui oleh umum tidak bisa dibuktikan

3. Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan

4. Fakta yang ditemukan selama proses persidangan tidak perlu dibuktikan

Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang

dikemukakan oleh para pihak dalam hal sesuatu yang belum jelas atau

menjadi sengketa. Jadi yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan

kejadiannya yang telah dikonstatir dan dikualifisir. Peristiwa atau kejadian

yang dikemukakan oleh para pihak belum tentu semuanya penting bagi hakim

sebagai dasar pertimbangan hukum putusannya. Peristiwa atau kejadian yang

ditemukan dalam persidangan itu harus disaring oleh hakim, mana yang

relevan bagi hukum dan mana yang tidak. Peristiwa atau kejadian yang

relevan itulah yang harus dibuktikan oleh hakim dalam persidangan untuk

dijadikan dasar putusannya.178

4. Bukti Lawan

Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak

kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan. Pasal 1918 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan suatu putusan hakim yang telah

memperoleh kekuatan mutlak, dengan pelanggaran, di dalam suatu perkara

178

(31)

perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah

dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. “

Pasal 1918 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini memberi hak

kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap

pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti

lawan atau tegenbewijs.

Dalam teori maupun praktek, bukti lawan selalu dikaitkan dengan

pihak tergugat. Oleh karena itu, bukti lawan selalu diartikan sebagai bukti

penyangkal (contra-enquete ) yang diajukan dan disampaikan oleh tergugat di

persidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak

lawan. Adapun tujuan utama pengajuan bukti lawan selain untuk membantah

dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga dimaksudkan untuk

meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan pihak

lawan tersebut.

Teori Pembuktian yang berlaku ada 3, yaitu :179

a. Teori pembuktian babas yaitu eori ini tidak menghendaki adanya

ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian

pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim.

179

(32)

b. Teori pembuktian negatif dalam teori ini hakim terikat dengan

ketentuan-ketentuan yang bersifat negatif sehingga membatasi hakim untuk

melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan oleh undang-undang.

c. Teori pembuktian positif dalam teori ini diwajibkan untuk melakukan

segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam

undang-undang.

B.Alat Bukti

1. Alat bukti tertulis atau pembuktian dengan surat dasar hukum penggunaan

surat atau tulisan sebagai alat bukti adalah pasal 164 HIR, pasal 284, 293, 294

ayat (2), 164 ayat (78) R.Bg, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal

1867-1880 dan pasal 1874, menentukan keharusan ditandatanganinya suatu

akta sebagaimana tersebut dalam pasal 165 dan 167 HIR, serta pasal 138-147

Rv.Surat sebagai alat bukti dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta.

Akta dapat dibedakan menjadi akta autentik dan akta dibawah tangan. Jadi,

dalam hukum pembuktian ini dikenal paling tidak tiga jenis surat yaitu, akta

autentik, akta di bawah tangan, surat bukan akta yang dikenal dengan alat

bukti surat secara sepihak.

a) akta autentik yaitu terdapat dalam Pasal 165 HIR, 285 R.Bg, dan pasal

1868 BW, di sebutkan bahwa akta autentik adalah akta yang dibuat oleh

atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan

bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka

(33)

dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan

belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang

dibritahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta autentik

tidaknya suatu akta tidak cukup dilihat akta tersebut dari cara

membuatnya apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

oleh undang-undang.180 Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian

yang sempurna sepanjang tidak dapat dibuktikan lain. Akta otentik

misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain-lain.

b) Akta di bawah tangan, di dalam HIR tidak diatur tentang akta di bawah

tangan, tentang hal ini dapat ditemukan pada pasal 289-305 R.Bg dan

juga diatur dalam pasal 1874-1880 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, di mana di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan akta di bawah

tangan yaitu surat-surat, daftar atau register, catatan mengenai rumah

tangga da surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan dari pejabat yang

berwenang. akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang

berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai

kekuatan pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui

oleh para pihak, apabila isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka

pihak yang mengajukan bukti harus menambah dengan bukti lain

misalnya saksi.

180

(34)

c) Surat secara sepihak, ketentuan tentang alat bukti surat secara sepihak

diatur dalam pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pasal

291 R.Bg. Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang berisi

pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia

akan membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan

melakukan sesuatu kepada seseorang tertentu.

d) Surat lain bukan akta, yaitu berupa surat -surat lain bukan akta diatur

dalam pasal 294 ayat (2) R.Bg dan pasal 1881 ayat (2) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, bentuknya dapat berupa surat biasa, catatan

harian dan sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai

surat bukti atau tidak sengaja dibuat untuk alat bukti. Nilai kekuatan

pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim.

2. Alat bukti saksi181, diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR, pasal 165-179,

306-309 RBg, pasal 1895 dan 1902-1912 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Tentang keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah

menurut hukum harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yang dialami, dilihat

atau didengar sendiri, dan harus disertai alasan-alasan bagaimana

diketahuinya peristiwa yang diterangkan oleh saksi-saksi tersebut. Pendapat

dan kesimpulan yang diperoleh dengan jalan menggunakan buah pikiran

bukanlah kesaksian pasal 171 HIR dan 308 R.Bg. Jadi saksi itu yang

181

(35)

mengalami, mendengar, merasakan, dan melihat sendiri suatu peristiwa atau

kejadian dalam perkara yang sedang disengketakan

3. Alat bukti persangkaan, adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa

yang telah dikenal atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak

dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan undang-undang atau

kesimpulan yang ditarik oleh hakim. Persangkaan diatur dalam pasal 173

HIR, 1916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Persangkaan dapat dibagi

menjadi dua macam sebagaimana berikut.

a. Persangkaan Undang-Undang adalah suatu peristiwa yang oleh

undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal

pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali

berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.

b. Persangkaan Hakim yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan

membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan

dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah

tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya

mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan

tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama

bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah

terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam

keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama

(36)

Alat bukti pengakuan, (bekentenis, confession)adalah pernyataan

seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan

persetujuan pihak lain. Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174, 175,

176 HIR, pasal 311, 312, 313 R.Bg, dan pasal 1923-1928 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Ada beberapa macam bentuk pengakuan yaitu, pengakuan murni,

pengakuan dengan kualifikasi, dan pengakuan dengan klausula. Ada dua macam

pengakuan yaitu :

a. Pengakuan di depan sidang.

Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh

salah satu pihak dengan membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian

saja. Pengakuan di depan sidang merupakan pembuktian yang sempurna.

Pengakuan di depan sidang tidak dapat ditarik kembali kecuali pengakuan

yang diberikan terdapat suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi.

Pengakuan dapat berupa pengakuan lisan dan tertulis, pengakuan dalam

jawaban dipersamakan pengakuan lisan di depan persidangan.

b. Pengakuan di luar sidang.

Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan

pembuktiannya bebastergantung pada penilaian hakim yang memeriksa.

Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang

pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan pembuktian

(37)

4. Alat bukti sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau

diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat

Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau

janji yang tidak benarakan dihukum oleh-Nya. Ada dua macam sumpah yaitu:

a) Sumpah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang

disebut sumpah promissoir. Sumpah promissoir dilakukan oleh saksi atau

ahli. Sumpah promissoir mempunyai fungsi formil yaitu sebagai syarat

sah dilakukannya suatu tindakan yang menurut hukum harus dilakukan di

atas sumpahnya itu.

b) Sumpah atau janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa

sesuatu itu benar demikian atau tidak benar, yang disebut sumpah

assertoir. Sumpah assertoir dilakukan oleh para pihak dalam perkara guna

mengakhiri sengketa, untuk meneguhkan suatu peristiwa atau hak. Jadi

sumpah assetoir mempunyai fungsi meteriil yaitu sebagai alat bukti di

muka Pengadilan untuk menyelesaikan sengketa.

Mengenai alat bukti mengalami beberapa perubahan perkembangan

menjadi lebih luas karena perkembangan masyarakat salat satunya adalah alat

bukti yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 5 menentukan bahwa :

a) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

(38)

b) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari

alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di

Indonesia.

c) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah

apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang ini.

d) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

1) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

2) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat

dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat

akta.

C.Kekuatan Pembuktian Perjanjian Pengadaaan Urusan Tanah Tapak Rumah

Yang Dibuat Di Bawah Tangan

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini adalah suatu perjanjian

pendahuluan untuk membantu dalam melakukan perjanjian jual beli hak atas tanah

tersebut, namun ternyata terhadap perjanjian pengadaan urusan tapak rumah ini

sendiri dalam penerapannya hanya memakai asas umum perjanjian yang diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan bentuknya mendekati perjanjian

(39)

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini dibuat secara tertulis dan

dibawah tangan sehingga bentuknya bebas, terserah para pihak yang mebuat dan

tempat membuatnya diperbolehkan dimana saja dan perjanjian dibawah tangan ini

dibuat semata-mata untuk kepentingan para pihak.

Maka dengan demikian terhadap Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak

rumah yang dilakukan oleh Sunggul Panjaitan selaku pimpinan CV. Putra Agung

dengan DIkko Ammar selaku pembeli tanah tapak rumah termasuk perjannjian

yang dilakukan dibawah tangan karena kesepakatan perjanjian tersebut hanya

dilakukan antara CV. Putra Agung dengan Dikko Ammar selaku konsumennya

dan dibuat tidak dihadapat Pejabat Umum seperti notaris atau pejabat pembuat

akta tanah.

Tapak tanah yang diperjualbelikan adalah milik pribadi Sunggul Panjaitan

selaku direktur di CV. Putra Agung, sehingga Sunggul Panjaitan menggunakan

CV. Putra Agung untuk mengelola jual beli tanah pribadi, tidak kuasa khusus

karena itu harta pribadi Sunggul Panjaitan. 182 Surat Kuasa khusus tidak diperlukan

karena ketika Dikko Amar selaku pembeli melunasi angsurannya, maka dalam

pengurusan peralihan hak atas tanah Sunggul Panjaitan akan bertindak sendiri

tidak mewakilkan kepada siapapun karena kedudukannya sebagai pemilik tanah

yang sah. 183 Mengenai identitas tanah tersebut tidak dicantumkan secara jelas

182

Hasil Wawancara dengan Sunggul Panjaitan, Direktur CV. Putra Agung, pada tanggal 16 Nopember 2015.

183

(40)

dalam perjanjian tersebut, hanya lokasi, luas dan batas tanah tentang identitas

pemilik tanah tidak dicantumkan, dengan alasan tanah tersebut adalah milik

pribadi Sunggul Panjaitan selaku Direktur CV. Putra Agung, jadi pemilik tanah

adalah direktur atau pimpinan CV. Putra Agung selaku pihak pertama dalam

perjanjian tersebut.

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah hanya bersifat sebagai

perjanjian pengikat semata atau perjanjian pendahuluan apabila semua kewajiban

pembeli sudah dilaksanakan maka CV. Putra Agung akan membuatkan peralihan

hak atas tanahnya sesuai dengan peraturan yang ada. Kedudukan hukum atas

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah tetap mempunyai kekuatan hukum

sesuai Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu perjanjian yang

dibuat dan disepakati menjadi undang-undang bagi yang membuatnya walaupun

dibuat dibawah tangan.

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini memiliki kekuatan

pembuktian yang lemah karena dilihat dari tanda tangan saksi yang terdapat dalam

perjanjian tersebut hanya satu orang saksi yang menandatangani perjanjian

tersebut. Kekuatan pembuktian suatu akta yang berisi tentang perjanjian memiliki

kekuatan pembuktian sebagai berikut:

a) Kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu

sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta autentik. Kemampuan ini

menurut Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat

(41)

berlaku sah yakni apabila berasal dari orang-orang yang terhadap siapa akta

ini dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari

tanda tangannya itu sebagai telah diakui oleh orang yang bersangkutan.

b) Kekuatan pembuktian formal, ini dibuktikan bahwa pejabat yang

bersangkutan telah menyatakn dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum

dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh

pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikan di dalam

menjalankannya. Dalam arti formal, maka terjamin kepastian

kebenaran/kepastian tanggal akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapt

dalam akta iru, identitas dari orang-orang yang hadir, dan demikian juga

dimana tempat akta itu dibuat.

c) Kekuatan pembuktian materil, ialah suatu kepastian bahwa apa yang tersebut

dalam akta tersebut merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak

yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku umum,

kecuali berlaku sebaliknya. Kekuatan pembuntian materil tercantum dalam

Pasal 1870, 1871 dan 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akta ini

memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari pada yang

tercantum dalam akta terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dari para ahli

waris serta penerima hak, dengan pengecualian apabila yang tercantum

didalamnya hanya berlaku sebagai pemberitahuan belaka yang tidak

mempunya hungan langsung dengan apa yang menjadi pokok perkara akta

(42)

Namun ada beberapa tulisan yang bukan akta yang oleh undang-undang

ditetapkan sebagai alat bukti yang mengikat artinya harus dipercaya oleh hakim,

yang disebut dalam pasal 1881 ayat (1) sub 1 dan 2 serta pasal 1883 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :

(a) Surat-surat yang dengan tegas menyebut tentang suatu pembayaran yang telah

diterima

(b) Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat

adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu alas hak (title)

bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan

(c) Catatan-catatan yang dicantumkan oleh seorang kreditur pada suatu atas hak

yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu

pembebasan terhadap debitur

(d) Catatan-catatan yang dicantumkan kreditur pada salinan suatu alas hak atau

tanda pembayaran, asal saja salinan atau tanda pembayaran ini berada dalam

tangannya debitur.

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini hanya memiliki

kekuatan pembuktian materil karena tidak memenuhi kriteria-kriteria kekuatan

pembuktian lahiriah dan formal yaitu hanya dibuat di bawah tangan dan tidak ad

pejabat umum yang terlibat dalam perjanjian tersebut.

(43)

a) Daya bukti lemah yaitu Bukti lemah adalah alat bukti yang dikemukakan

penggugat yang sedikitpun tidak memberikan pembuktian atau memberikan

pembuktian tetapi tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerima

dalil-dalil gugatan, artinya alat bukti ini hanya mempunyai daya bukti

permulaan ( kracht van begin bewijs ). Jadi derajat bukti yang dibutuhkan

belum tercapai oleh karena itu gugatan harus ditolak dan penggugat sebagai

pihak yang kalah. Daya bukti permulaan saja tidak dapat menjadi dasar hakim

bagi penerimaan suatu gugatan.184

b) Daya bukti yang sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang

bersangkutan telah sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat

bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti

sangkalan ( tengen bewijs). Jadi dengan bukti sempurna yang diajukan

tersebut, memberikan kepada hakim kepastian yang cukup, akan tetapi masih

dapat dijatuhkan oleh bukti sangkalan. Dengan demikian, bukti sempurna

mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan

harus diterima kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya ( tengen bewijs )

berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti cukup guna

menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.185

c) Daya bukti pasti atau menentukan, akibat diajukan pembuktian dengan alat

bukti yang mempunyai daya bukti pasti/menentukan, maka terhadap

184

Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, (CV Mandar Maju, Bandung, 2005), hal. 19.

(44)

pembuktian tersebut tidak diperbolehkan untuk memajukan bukti sangkalan.

Pembuktian dengan alat bukti pasti/menentukan, mengakibatkan bagi

penggugat atau tergugat yang mengemukakan alat bukti tersebut, suatu posisi

yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan demikian tuntutan yang

diajukan dianggap benar, beralasan dan dapat diterima. Peluang pihak lawan

untuk mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.186

d) Daya bukti yang mengikat, dengan adanya alat bukti yang mempunyai daya

bukti mengikat, maka hakim wajib untuk menyesuaikan keputusannya dengan

pembuktian tersebut. Contoh dalam hal ini adalah dalam hal adanya sumpah

pemutus ( sumpah decissoir ).187

e) Daya bukti sangkalan adalah alat bukti yang dipergunakan dalam bantahan

terhadap pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan.

Pembuktian ini bertujuan untuk menggagalkan gugatan pihak lawan. Pada

prinsipnya segala bukti dapat dilemahkan dengan bukti sangkalan, kecuali

undang-undang sendiri secara tegas melarang diajukannya suatu alat bukti

sangkalan, misalnya terhadap sumpah pemutus ( sumpah decissoir )yang

diatur dalam Pasal 1936 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 188

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini memiliki daya bukti

yang lemah karena dibuat dibawah tangan dan bukan merupakan daya bukti yang

186

Ibid., hal. 20. 187

Ibid.

(45)

sempurna karena bukan termasuk akta autentik, sehingga untuk mendukung

(46)

1. Bentuk perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah adalah berbentuk

perjanjian baku yang memuat klausula khusus karena memenuhi

karateristik-karateristiknya yaitu bentuk, format, syarat-syarat perjanjian,

konsumen (pembeli) hanya memiliki dua pilihan yaitu menerima atau

menolak dan penyelesaian sengketa melalui musyawarah atau pengadilan

negeri medan.

2. Wanprestasi yang terjadi selama perjanjian urusan pengadaan tanah tapak

rumah berjalan adalah calon pembeli tidak lagi melaksanakan

kewajibannya yaitu tidak membayar angsuran kepada calon penjual,

sehingga muncul wanprestasi, dimana wanprestasi terjadi ketika salah satu

pihak tidak lagi menjalankan kewajiban yang telah diperjanjikan di

perjanjian tersebut, dan tanggung jawab calon pembeli adalah membayar

denda dan harus berada dalam posisi keadaan menunggu, dalam keadaan

keadaan menunggu ini calon penjual memiliki tanggung jawab dengan

pembatasan terhadap calon pembeli sehingga merugikan keadaannya.

3. Kekuatan Pembuktian perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini

hanya memiliki kekuatan pembuktian materill karena tidak memenuhi

(47)

pejabat yang berwenang dan pembuktian lahirian seperti bukan

merupakan akta autentik melaikan adalah akta di bawah tangan sera

memiliki daya bukti yang lemah.

B. Saran

1. Ada perhatian khusus yang harus diberikan oleh beberapa pihak yang

secara langsung terkait dalam jual beli tanah yang benar, diantaranya

adalah oleh Camat, Kepala desa selaku pihak yang paling dekat dengan

masyarakat. Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat yang telah

diberikan wewenang pemerintah dalam hal pembuatan akta jual beli tanah.

2. Peran Notaris sebagai pejabat umum dipertegas dan diperjelas seperti ada

suatu kewajiban bagi suatu notaris untuk terlibat langsung dalam suatu

perjanjian, agar para pihak yang membuat perjanjian terlindungi posisi

hukumnya, atau disarakan kepada Notaris untuk melakukan penyuluhan

hukum kepada masyarakat ditempat Notaris tersebut menjalankan

tugasnya.

3. Agar dibuat suatu aturan yang dengan tegas menjelaskan tentang

pembatasan pembuatan perjanjian baku dengan menggunakan

klausula-klausula khusus atau dibuatnya lembaga pengawas terhadap

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah PMN kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan pada hari ke-4 maupun hari ke-7 tidak ada perbedaan yang signifikan (p≥0,05); dapat

Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Kata Kunci : Balanced Score Card, Perusahaan. Poliplas Makmur Santosa Ungaran adalah perusahaan manufaktur yang

buku/laporan b.Sistem melakukan pengecekan data peminjaman, dan menampilkan pesan bahwa penon-aktifan anggota gagal, dikarenakan anggota sedang melakukan peminjaman

Kencolepot adalah aplikasi mobile yang dirancang dan dibuat untuk membantu wisatawan, warga Bandung, ataupun pelajar yang sedang menuntut ilmu di Bandung jika mereka

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur memiliki 4 (empat) sasaran strategis dan 30 Indikator Kinerja Utama (IKU) beserta 30 target kinerja yang mendukung

Oleh karena itu peneliti mengambil judul pengaruh penggunaan model pembelajaran problem based learning terhadap motivasi belajar siswa pada kelas IV di SD Muhammadiyah

[r]

Objek penelitian tindakan kelas ini adalah menggunakan metode outdoor study yang akan dibelajarkan pada tema 9 lingkungan sahabat kita subtema 1 manusia dan