• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam, Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam, Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Jantung Kongestif

2.1.1. Pengertian gagal jantung kongestif

Jantung merupakan organ yang terpenting dalam sirkulasi. Pekerjaan jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh pada setiap saat, baik saat istirahat maupun saat bekerja atau menghadapi beban. Dengan bertambahnya kemajuan teknologi kedokteran, sejak tahun 1968 kematian karena penyakit jantung menurun. Hal ini menurut Rilantino, dkk, (2002) disebabkan karena sebagian besar penderita hidup setelah serangan jantung tapi kemudian menderita gagal jantung.

Gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi sistolik atau diastolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien (Mariyono & Santoso, 2008).

2.1.2. Klasifikasi gagal jantung

Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan tampilan klinis dari New York Heart Association (NYHA) yaitu :

(2)

b. Kelas II : timbul gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa. c. Kelas III : timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan. d. Kelas IV : timbul gejala pada saat istirahat.

(Price & Wilson, 1994). b. Klasifikasi Stevenson

Klasifikasi menurut Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena jugularis, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah, dan yang tidak mengalami kongesti disebut kering. Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin dan yang tidak mengalami gangguan perfusi disebut panas (Price & Wilson, 1994).

2.1.3. Etiologi

(3)

pasien dengan PJK. Baik PJK dan hipertensi dapat bekerja sama untuk meningkatkan resiko gagal jantung, begitu pula dengan diabetes mellitus.

Berdasarkan hasil penelitian Framingham cit Lipp, Gibbs & Beevers (2000), menyimpulkan bahwa penyakit jantung koroner merupakan penyebab dari gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu, berat badan dan tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga merupakan faktor risiko independen perkembangan gagal jantung (Smeltzer & Bare, 2002).

Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa hasil penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri berkaitan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Penyebab lain dari gagal jantung adalah minum minuman beralkohol (Smeltzer & Bare, 2002).

(4)

toksik langsung terhadap otot jantung (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.4. Penatalaksanaan gagal jantung

Menurut Smeltzer & Bare, (2002), penatalaksanaan pasien gagal jantung terdiri dari :

a. Penatalaksanaan non farmakologis

1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan dan pertolongan yang dapat dilakukan sendiri.

2. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita kegemukan.

3. Pembatasan asupan garam dan pembatasan asupan cairan. 4. Menghentikan perilaku minum minuman beralkohol.

5. Dianjurkan untuk berolah raga, karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi saraf otonom, endotel serta neuro hormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin.

b. Penatalaksanaan farmakologis

(5)

2.2. Rehospitalisasi Pasien Gagal Jantung Kongestif

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali kerumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua harus dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stress (Wong, 2000). Gagal jantung kongestif merupakan penyakit yang bersifat progresif dengan gejala yang sangat mempengaruhi kondisi vital pasien gagal jantung kongestif. Kondisi ini mengharuskan pasien gagal jantung kongestif untuk menjalani rawat inap. Pasien gagal jantung kongestif rentan untuk mengalami rehospitalisasi, yaitu pasien dirawat ulang di rumah sakit setelah pernah mengalami hospitalisasi (Smeltzer & Bare, 2002).

Rawat inap ulang atau readmission pada penyakit gagal jantung kongestif diakibatkan oleh eksaserbasi dari gejala klinis gagal jantung kongestif. Beberapa dipicu oleh faktor concomitant kardiovaskular seperti takiaritmia, unstable coronary syndrome. Selain itu juga bisa disebabkan oleh gangguan

Serebrovaskular dan ketidakpatuhan dalam diet dan terapi (AHA, 2009).

Rawat inap menjadi salah satu pilihan terapi bagi pasien gagal jantung kongestif. Berdasarkan hasil National Institute for Cardiovascular Outcomes Research (NICOR) tahun 2011 disebutkan bahwa periode April hingga Maret

(6)

durasi rata-rata 11 hari, sedangkan 6.802 pasien menjalani rawat inap ulang atau rehospitalisasi dengan durasi rata-rata 13 hari.

Menurut penelitian Tsuchihashi et. al. tahun 1999 sekitar 40% pasien gagal jantung kongestif menjalani rawat inap ulang dalam 1 tahun setelah rawat inap sebelumnya. 10 tahun berikutnya menurut penelitian Majid (2010) persentase pasien gagal jantung yang menjalani rawat inap ulang sebesar 52%.

Rehospitalisasi menjadi salah satu faktor yang menentukan prognosis gagal jantung kongestif. Pasien yang mengalami rehospitalisasi, 50% meninggal pada 6 bulan setelah rehospitalisasi dan 25-35% meninggal pada 12 bulan setelah rehospitalisasi (AHA, 2009). Menurut studi yang dilakukan Zaya (2012) bahwa setelah menjalani rawat inap yang ke dua atau ketiga resiko kematian bagi pasien gagal jantung kongestif sebesar 30%.

(7)

ketidakmampuan secara ekonomi. Pasien sering kembali melaksanakan terapi pengobatan yang kurang tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan, dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Dharma (2007), yang harus dilakukan untuk membantu penyembuhan gagal jantung adalah menghindari makanan yang terlalu banyak garam dan makanan-makanan bergaram lainnya seperti sayuran atau sup kalengan, pizza dan keripik. Makanan-makanan tersebut dapat menyebabkan retensi cairan dalam tubuh. Jagalah agar tekanan darah selalu terkontrol. Tekanan darah tinggi memberikan beban berlebihan pada jantung dan lama kelamaan berakibat pada lemahnya jantung.

Menurut Harmilah (2001) di dalam skripsinya disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ketaatan berobat klien gagal jantung kongestif dengan rawat inap ulang, yaitu sebanyak 5,88% responden tidak taat berobat dan mengalami rawat inap ulang. Sedangkan penelitian yang dilakukan Subroto (2002) dalam skripsinya disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor ketaatan diet, ketaatan berobat dan intake cairan dengan rehospitalisasi klien dekompensasi kordis. Menurut Philbin & DiSalvo (2004), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pasien dirawat ulang di rumah sakit adalah :

(8)

2. Hipertensi. Hipertensi memberikan kontribusi dalam morbiditas pasien CHF, dengan meningkatkan after load jantung. Hipertensi merupakan faktor risiko didalam perkembangan gagal jantung, karena hipertensi menyebabkan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan perkembangan penyakit jantung koroner. Risiko relatif gagal jantung pada pasien dengan hipertensi adalah 1,4 dibandingkan dengan populasi umum. Hipertensi merupakan prediktor kelangsungan hidup pada pasien dengan gagal jantung kongestif (Kaplan & Rose, 2006). Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel (Mariyono & Santoso, 2008).

(9)

listrik jantung mengalami gangguan. Hanya sekitar 10% sel yang tersisa ketika manusia berusia 75 tahun ketimbang jumlahnya pada usia 20 tahun lalu. Sementara itu, pada pembuluh darah terjadi kekakuan arteri sentral dan perifer akibat proliferasi kolagen, hipertrofi otot polos, kalsifikasi, serta kehilangan jaringan elastik. Meski seringkali terdapat aterosklerosis pada manula, secara normal pembuluh darah akan mengalami penurunan debit aliran akibat peningkatan situs deposisi lipid pada endotel. Lebih jauh, terdapat pula perubahan arteri koroner difus yang pada awalnya terjadi di arteri koroner kiri ketika muda, kemudian berlanjut pada arteri koroner kanan dan posterior di atas usia 60 tahun.

Perubahan fisiologis yang paling umum terjadi seiring bertambahnya usia adalah perubahan pada fungsi sistolik ventrikel. Sebagai pemompa utama aliran darah sistemik, perubahan sistolik ventrikel akan sangat mempengaruhi keadaan umum pasien. Parameter utama yang terlihat ialah detak jantung, preload dan afterload, performa otot jantung, serta regulasi neurohormonal kardiovaskular. Oleh karenanya, orang-orang tua menjadi mudah deg-degan. Akibat terlalu sensitif terhadap respon tersebut, isi sekuncup menjadi bertambah menurut kurva Frank-Starling. Efeknya, volume akhir diastolik menjadi bertambah dan menyebabkan kerja jantung yang terlalu berat dan lemah jantung. Awalnya, efek ini diduga terjadi akibat efek blokade reseptor

β-adrenergik, namun setelah diberi β-agonis ternyata tidak memberikan

(10)

penurunan kerja. Secara otomatis, akibat kurangnya kerja otot atrium untuk melakukan pengisian diastolik awal, akan terjadi pula fibrilasi atrium, sebagaimana sangat sering dikeluhkan para lansia. Masih berhubungan dengan diastolik, akibat ketidakmampuan kontraksi atrium secara optimal, akan terjadi penurunan komplians ventrikel ketika menerima darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel ketika istirahat dan exercise. Hasilnya, akan terjadi edema paru dan kongesti sistemik vena yang sering menjadi gejala klinis utama pasien lansia. Secara umum, yang sering terjadi dan memberikan efek nyata secara klinis ialah gangguan fungsi diastolik.

(11)

Kalsifikasi ini secara umum mengakibatkan gangguan aliran darah sentral dan perifer. Ditambah lagi dengan adanya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah besar dan degenerasi mukoid terutama mengenai daun katup jantung, menyebabkan seringnya terjadi kelainan aliran jantung dan pembuluh darah. Akibat perubahan anatomis pada otot-otot dan katup-katup jantung menyebabkan pertambahan sel-sel jaringan ikat (fibrosis) menggantikan sel yang mengalami degenerasi, terutama mengenai lapisan endokard termasuk daun katup. Tidak heran, akibat berbagai perubahan-perubahan mikroskopis seperti tersebut di atas, keseluruhan kerja jantung menjadi rusak.

(12)

gagal jantung dibanding pria. Natriuretic peptide otak merupakan sebuah biomarker yang digunakan dengan frekuensi lebih untuk mengindetifikasi pasien dengan gejala-gejala gagal jantung dan menstratifikasi pasien dengan risiko tersebut.

5. Dukungan keluarga dan sosial. Dukungan keluarga dan sosial dapat menurunkan kemungkinan terjadinya rehospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Faktor-faktor sosial juga telah terbukti penting sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Pentingnya dukungan sosial telah dikonfirmasi oleh sebuah studi baru-baru ini bahwa tidak adanya dukungan emosional yang kuat, dapat meningkatkan mortalitas dan tingkat rehospitalisasi pada pasien dengan CHF. Menurut Niven (2002) bahwa dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan dukungan emosi dan saran-saran mengenai strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang lain berfokus pada aspek-aspek yang lebih positif. Selain mendapat dukungan dari keluarga, pasien gagal jantung kongestif yang mengalami kecemasan sedang juga melakukan pendekatan religius dengan cara berdzikir, berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing dan melakukan sholat meskipun dengan berbaring. Dengan melakukan pendekatan religius tersebut, kebanyakan pasien dapat merasakan ketenangan batin sehingga mampu mengendalikan kecemasannya dan melakukan mekanisme koping yang adaptif.

(13)

maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya rehospitalisasi.

7. Kunjungan ke klinik secara rutin, Kunjungan ke klinik secara rutin dapat meningkatkan kepatuhan pasien CHF, terutama dalam perawatan medis. Sedangkan menurut Peg Bradke (2009), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif adalah kurangnya pendidikan kesehatan tentang bagaimana perawatan diri di rumah, penggunaan obat-obatan yang tidak tepat, kurangnya komunikasi dari pemberi pelayanan kesehatan (care giver), kurangnya perencanaan tindak lanjut saat pasien pulang dari rumah sakit.

2.3. Kepatuhan Diet Rendah Garam Pasien Gagal Jantung Kongestif

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehinga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakanya (Kemenkes R.I, 2001). Kepatuhan didefinisikan sebagai seberapa baik perilaku seseorang dalam menggunakan obat, mengikuti diit atau mengubah gaya hidup sesuai dengan tata laksana terapi. Pasien dan tenaga kesehatan dapat mempengaruhi kepatuhan. Hubungan baik antara dokter dan pasien merupakan faktor penting untuk meningkatkan kepatuhan (WHO, 2003).

(14)

1000-2000 miligram natrium. Garam itu tidak 100% mengandung natrium, tetapi setiap 1 gram garam mengandung 393 miligram natrium. Nutrisi pada gagal jantung berkaitan dengan kadar kolesterol. Peningkatan kadar kolesterol pada penderita gagal jantung akan menyebabkan kerusakan dan pengerasan pada pembuluh darah sehingga beban jantung yang sudah mengalami kegagalan akan memperparah kerja jantung (Kasron, 2012).

Menurut Kasron, 2012, Syarat-syarat Diet Rendah Garam Penyakit Jantung adalah sebagai berikut:

1. Energi cukup, untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal 2. Protein cukup yaitu 0,8g/kg BB

3. Lemak sedang, yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total, 10% berasal dari lemak jenuh, dan 10-15% lemak tidak jenuh.

4. Kolesterol rendah, terutama jika disertai dengan dislipidemia.

5. Vitamin dan mineral cukup. Hindari penggunaan suplemen kalium, kalsium, dan magnesium jika dibutuhkan.

6. Garam rendah, 2-3 g/hari, jika disertai hipertensi atau edema 7. Makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas

8. Serat cukup untuk menghindari konstipasi.

9. Cairan cukup ±2 liter/hari sesuai dengan kebutuhan.

10.Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit, diberi dalam porsi kecil.

(15)

2.3.1.Jenis Diet dan Indikasi Pemberian Diet Jantung I

Diet jantung 1 diberikan kepada pasien penyakit jantung akut seperti Myocard Infarct (MCI) atau Dekompensasio Kordis berat. Diet diberikan berupa 1-1,5 liter cairan/hari selama 1-2 hari pertama bila pasien dapat menerimanya. Diet sangat rendah energi dan semua zat gizi, sehingga sebaiknya hanya diberikan selama 1-3 hari.

Diet Jantung II

Diet Jantung II diberikan dalam bentuk makanan saring atau lunak. Diet diberikan sebagai perpindahan diet jantung I, atau setelah fase akut dapat diatasi. Jika disertai hipertensi dan/atau edema, diberikan sebagai diet jantung H garam rendah. Diet ini rendah energi, protein, kalsium, tiamin.

Diet Jantung III

Diet Jantung III diberikan dalam bentuk makanan lunak atau biasa. Diet diberikan sebagai perpindahan dari diet jantung II atau kepada pasien jantung denga kondisi yang tidak terlalu barat. Jika disertai hipertensi dan/atau edema, diberikan sebagai diet jantung III garam rendah. Diet ini rendah energi dan kalsium, tetapi cukup zat gizi lain.

Diet Jantung IV

(16)

sebagai diet jantung IV garam rendah. Diet ini cukup energi dan zat gizi lain, kecuali kalsium.

Bahan Makanan Sehari

(17)

2.3.2. Diet Garam Rendah

Yang dimaksud dalam diet garam rendah adalah garam natrium seperti yang terdapat di garam dapur (NaCl), soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoat, dan vetsin (mono sodium glutamat). Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler tubuh yang mempunyai fungsi menjaga keseimbangan cairan dan asam basa tubuh, serta berperan dalam transmisi saraf dan kontraksi otot. Asupan makanan sehari-hari umumnya mengandung lebih banyak natrium daripada yang dibutuhkan tubuh. Dalam keadaan normal, jumlah natrium yang dikeluarkan tubuh melalui urin sama dengan jumlah yang dikonsumsi sehingga terdapat keseimbangan (Kasron, 2012).

Makanan sehari hari biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan, sehingga tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur hingga 6 gram sehari (ekivalen dengan 2400 mg natrium). Asupan natrium yang berlebihan, teutama dalam bentuk natrium klorida, dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan tubuh, sehingga menyebabkan edema atau asites dan/atau hipertensi. Penyakit-penyakit tertentu seperti sirosis hati, Penyakit-penyakit ginjal tertentu, dekompensasio kordis, toksemia pada kehamilan dan hipertensi esensial dapat menyebabkan gejala edema atau asites dan/atau hipertensi. Dalam keadaan demikian asupan garam natrium perlu dibatasi (Kasron, 2012).

(18)

Diet ini mengandung zat-zat gizi. Sesuai dengan keadaan penyakit dapat diberikan berbagai tingkat diet garam rendah (Kasron, 2012).

Diet Garam Rendah I (200-400 mg Na)

Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan/atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak ditambahkan garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.

Diet Garam Rendah II (600-800 mg Na)

Diet garam rendah diberikan kepada pasien dengan edema, asites, dan atau hipertensi tidak terlalu berat. Pemberian makanan sehari sama dengan diet rendah I. Pada pengolahan makanannya boleh menggunakan ½ garam (2g). Hindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.

Diet Garam Rendah III (1000-1200 mg Na)

Diet garam rendah III diberikan kepada pasien dengan edema dan/atau hipertensi ringan. Pemberian makanan sehari sama dengan diet garam rendah pengolahan makanannya boleh menggunakan 1 sdt (4g) garam dapur.

(19)

2.4. Kepatuhan Minum Obat Pasien Gagal Jantung Kongestif

Kepatuhan (compliance) juga dikenal sebagai ketaatan (adherence) adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Pada umumnya sekitar sepertiga dari semua pasien patuh pada pengobatan (Kaplan & Sadock, 1997). Definisi kepatuhan dalam mengkonsumsi obat adalah ketaatan melaksanakan anjuran petugas kesehatan untuk mengkonsusmsi obat. Kepatuhan menurut Sackett pada pasien sebagai “Sejauh mana perilaku individu sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan”. Kepatuhan mengkonsumsi obat diukur dari ketepatan jumlah obat yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi obat, frekuensi konsumsi perhari (Afnita, 2004). Kepatuhan minum obat adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar (Siregar, 2006).

Kepatuhan merupakan suatu hal yang penting agar dapat mengembangkan rutinitas (kebiasaan) yang dapat membantu dalam mengikuti jadwal yang kadang kala rumit dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Kepatuhan dapat sangat sulit dan membutuhkan dukungan agar menjadi biasa dengan perubahan. Dengan mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar (Tambayong, 2006).

(20)

obat dan penghentian obat sebelum waktunya. Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang (Siregar, 2006).

Mengukur kepatuhan dapat menggunakan dua metode baik secara langsung maupun tidak langsung (Osterberg & Blaschke, 2005). Salah satu metode pengukuran kepatuhan secara tidak langsung adalah dengan menggunakan kuesioner. Metode ini dinilai cukup sederhana, murah dan mudah dalam pelaksanaannya. Salah satu model kuesioner yang telah tervalidasi untuk menilai kepatuhan minum obat jangka panjang adalah Morisky scale 8-items. Pada mulanya Morisky mengembangkan beberapa pertanyaan singkat dengan 4 butir pertanyaan untuk mengukur kepatuhan minum obat. Namun saat ini kuesioner Morisky Scale telah dimodifikasi menjadi delapan pertanyaan dengan modifikasi

beberapa pertanyaan sehingga lebih lengkap dalam penilaian kepatuhan. Modifikasi kuesioner Morisky tersebut saat ini telah dapat digunakan untuk pengukuran kepatuhan minum obat yang memerlukan terapi jangka panjang (Morisky, et al, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian dari Bohachick, Burke, Sereika, Murali & Jacob (2002), tentang kepatuhan terhadap minum obat pada pasien gagal jantung, terdapat 71% patuh dengan terapi medis, dan 19% kurang patuh dengan terapi medis. Hasil penelitian Wal et al (2006), kepatuhan responden terhadap minum obat terdapat 5-10% pasien tidak patuh dengan minum obat, 50-60% patuh dan sisanya kurang patuh. Menurut Wal et al (2006), ketidakpatuhan meningkatkan mortalitas, morbiditas dan perawatan di rumah sakit.

(21)

terapi medis. Kepatuhan adalah fenomena multidimensi yang saling berinteraksi, saling berhubungan dan saling mempengaruhi diantara beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah Faktor-faktor pasien, kondisi atau keadaan, terapi, pelayanan kesehatan dan sosial ekonomi. Dari faktor-faktor tersebut, faktor pasien adalah yang paling besar pengaruhnya. Filosofi yang mendasari kepatuhan adalah penyakit itu dapat dikendalikan (dikontrol) jika pasien mematuhi tindakan atau terapi yang telah ditentukan. Komponen penting untuk mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi dan mempengaruhi perilaku perawatan diri pada pasien gagal jantung kongestif adalah pendidikan pasien, kolaborasi dengan tim pelayanan kesehatan dan dukungan psikososial (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Smeltzer & Bare (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam mengikuti minum obat adalah:

1. Faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi dan pendidikan.

2. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit.

3. Faktor program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan.

4. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya/finansial.

(22)

1. Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge), merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. 2. Tingkat Ekonomi

Tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar transportasi. Tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pemilihan metode terapi yang akan digunakan oleh klien.

3. Sikap

Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

4. Usia

(23)

5. Dukungan Keluarga

Didalam melaksanakan program terapi, klien tidak bisa melakukannya sendiri, dia butuh orang yang selalu mendampingi selama pelaksanaan program terapi. Dalam hal pengaturan diet, pembatasan cairan, obat-obatan, dan pengecekan laboratorium juga memerlukan keluarga untuk mencapai target.

6. Jarak dari Pusat Pelayanan

Mereka yang tinggal di daerah yang belum ada fasilitas pelayanan kesehatan tentu saja akan lebih sulit dan memerlukan biaya lebih besar untuk mencapai lokasi.

(24)

2.5. Hipertensi

2.5.1. Defenisi

Hipertensi dapat didefenisikan sebagai tekanan darah tinggi persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001). Wiryowidagdo (2002) mengatakan bahwa hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada pada tingkatan di atas normal. Jadi tekanan di atas dapat diartikan sebagai peningkatan secara abnormal dan terus menerus pada tekanan darah yang disebabkan satu atau beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan tekanan darah secara normal (Hayens, 2003).

Hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu hipertensi esensial (primer) dan hipertensi skunder. Hipertensi esensial (primer) merupakan tipe yang hampir sering terjadi 95 persen dari kasus terjadinya hipertensi. Hipertensi esensial (primer) dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Sedangkan hipertensi sekunder berkisar 5 persen dari kasus hipertensi. Hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi medis lain (misalnya penyakit jantung) atau reaksi terhadap obat-obatan tertentu (Palmer, 2007).

(25)

darah multipel sistolik rerata pada dua atau lebih kunjungan berikut secara konsisten lebih tinggi dari 140 mmHg.

2.5.2. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi dilihat berdasarkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik dalam satuan mmHg dibagi menjadi beberapa stadium. Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Usia Dewasa 18 Tahun dan Lansia

Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik

Normal Di bawah 130 mmHg Di bawah 85 mmHg

Normal Tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg

Hipertensi Ringan

(stadium 1) 140-159 mmHg 90-99 mmHg

Hipertensi Sedang

(stadium 2) 160-179 mmHg 100-109 mmHg

Hipertensi Berat

(stadium 3) 180-209 mmHg 110-119 mmHg

Hipertensi Maligna

(stadium 4) 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih

2.6. Landasan Teori

2.6.1. Konsep Keperawatan Menurut Dorothy Orem

Model keperawatan menurut Orem dikenal dengan model self care. Model self care ini memberi pengertian bahwa dalam bentuk pelayanan keperawatan

dipandang dari suatu pelaksanaan kegiatan yang dapat dilakukan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar dengan tujuan untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan, kesejahteraan sesuai dengan keadaan sehat dan sakit. Model keperawatan ini berkembang sejak tahun 1959-2001.

(26)

keputusan dijadikan sebagai pedoman dalam tindakan. Model Orem ini sudah ditetapkan sebagai model konseptual untuk praktik keperawatan karena tujuan utama dari model ini adalah sebagai panduan praktis (Riehl & Roy dalam Wagnil, et al, 1987).

Pemahaman konsep keperawatan khususnya dalam pandangan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar, Orem membagi dalam konsep kebutuhan dasar yang terdiri dari (udara) yaitu berupa pemeliharaan dalam pengambilan udara, water (air): pemeliharaan dalam pengambilan air, food (makanan): pemeliharaan dalam mengkonsumsi makanan, elimination (eliminasi): pemeliharaan kebutuhan proses eliminasi, rest and activity (istirahat dan kegiatan): keseimbangan antara istirahat dan aktivitas, solitude and social interaction (kesendirian dan interaksi sosial): pemeliharaan dalam keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial, hazard prevention (pencegahan resiko): kebutuhan akan pencegahan risiko pada

kehidupan manusia dalam keadaan sehat dan promotion of normality (Wagnil, et al, 1987).

(27)

pengidentifikasian kebutuhan perawatan diri, perancangan metode tindakan untuk memenuhi kebutuhan, dan totalitas kebutuhan untuk tindakan perawatan diri.

Pemberian perawatan diri, apakah diri sendiri maupun orang lain, disebut ‘agen perawatan diri’. Hal ini merupakan suatu kesatuan yang digambarkan dalam perkembangan dan dapat dioperasionalkan, yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan latar belakang genetik, kultural, dan pengalaman, dan dalam istilah keadekuatan. Hal yang paling terakhir dapat evaluasi dengan mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan perawatan diri, Orem (1991 dalam Andriany, 2007).

2.6.2. Pengertian Self Care

Self Care dalam hai ini merupakan istilah yang lebih luas dari hanya sekedar seperti care behaviors, care performance, care ability, self-care activity, self-self-care compliance, self-self-care skills, dan self-self-care practice. Self

care adalah suatu proses kognitif yang aktif dimana seseorang berupaya untuk

(28)

2.6.3. Dimensi Self Care

Riegel et al, (2004) membagi self care ke dalam 3 (tiga) dimensi yaitu: a. Self Care Maintenence

Aktivitas yang dinilai dalam self maintenence pasien Heart Failure meliputi:

1) Terapi pengobatan sesuai indikasi 2) Diet makanan rendah garam

3) Mempertahankan aktivitas fisik yang teratur 4) Monitoring tanda vital dan berat badan setiap hari 5) Upaya untuk berhenti merokok

6) Menghindari konsumsi alkohol

b. Self Care management

Self Care Management meliputi upaya untuk mempertahankan kesehatan atau gaya hidup sehat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam dimensi ini meliputi:

1) Kemampuan mengenal perubahan yang terjadi (misalnya terjadi edema)

2) Mengevaluasi perubahan yang dialami, mengambil keputusan yang tepat untuk penanganan

(29)

c. Self Care Confidence

Dimensi Self Care Confidence ini menentukan bagaimana kepercayaan diri pasien dalam mengikuti semua petunjuk tentang self care, yaitu meliputi:

1) Kepercayaan diri terhadap perasaan bebas dari gejala penyakit 2) Kepercayaan diri mengikuti petunjuk pengobatan

3) Kepercayaan diri mengenal secara dini perubahan kesehatan yang dialami

4) Kepercayaan diri melakukan sesuatu untuk mengatasi gejala penyakit 5) Kepercayaan diri mengevaluasi keberhasilan tindakan yang telah

dilakukan.

2.6.4. Self Care Pada Pasien Heart Failure

(30)

2.6.5. Aplikasi Teori Self Care Orem’s

Kemampuan self care pasien heart failure dalam penelitian ini mengacu pada teori self care Orem. Pemahaman tentang konsep self care menurut Dorothea Orem adalah tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki kemampuan untuk dikembangkan ataupun mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat digunakan sevara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal (Orem, dalam Tomey & Alligood, 2006). Self Care Requisites merupakan bagian dari teori self care Orem yang didefenisikan sebagai tindakan yang ditujukan pada upaya perawatan diri yang bersifat universal dan berhubungan dengan proses kehidupan manusia serta dalam upaya untuk mempertahankan fungsi tubuh. Orem mengembangkan self care requisites ke dalam tiga jenis yaitu universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri secara umum mencakup kebutuhan dasar

(31)

Developmentself care requisites merupakan upaya yang dilakukan untuk

mendukung proses perkembangan. Kebutuhan akan perawatan diri tersebut secara langsung sebagai akibat proses perkembangan atau dihubungkan dengan kejadian yang terjadi selama proses perkembangan tersebut. Sedangkan health deviation requisites sering dikaitkan dengan kondisi sakit yang dialami pasien, yaitu

bagaimana kemampuan pasien merasakan kondisi sakitnya atau ketidakmampuan melaksanakan fungsi normal. Pada pasien heart failure terdapat enam kategori health deviation requisites self care requisites yaitu (a) kemampuan untuk

(32)

2.7. Kerangka Konsep

Kerangka konseptual ini menggambarkan hubungan antara kepatuhan diet rendah garam, kepatuhan minum obat, riwayat hipertensi dengan kejadian rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif di RSUP H. Adam Malik Medan. Kepatuhan diet rendah garam, kepatuhan minum obat, riwayat hipertensi pada penelitian ini menjadi variabel bebas (independent) sedangkan kejadian rehospitalisasi pasien dengan gagal jantung kongestif menjadi variabel terikat (dependent). Kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam, Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif

Kepatuhan Diet Rendah

Garam Kejadian Rehospitalisasi :

a. Frekuensi Rendah b. Frekuensi Tinggi Kepatuhan Minum Obat

Riwayat Hipertensi

Faktor-faktor Perancu •Umur

•Jenis kelamin •Tingkat pendidikan •Pekerjaan

•Penghasilan

Gambar

Tabel 2.1. Bahan Makanan Sehari Bahan Diet Jantung Diet Jantung
Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Usia Dewasa 18 Tahun dan Lansia Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik

Referensi

Dokumen terkait

Rasio bubur dami nangka dan bubur sirsak berpengaruh nyata terhadap kadar air, derajat keasaman (pH), total padatan terlarut, kadar sukrosa, kadar serat, warna,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, mulai dari perancangan, pembuatan dan evaluasi aplikasi penjadwalan matakuliah di STKIP Widya Yuwana, maka dapat

DNA sequence analysis of the nuclear ribosomal internal transcribed spacer (ITS) region was exploited for its applications in the authentication of Sauropus androgynus (L.) Merr..

Tiga buah no- vel tersebut dipilih untuk menggambar- kan fenomena konstruksi politik tubuh karena: pertama, tubuh menjadi daya dalam cerita rekaan yang dibuat

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membuat Media Pembelajaran yang berbentuk animasi elekronik yang efektif dan efesien serta mudah di mengerti bagi siswa sekolah

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penulis merasa perlu untuk melakukan studi mengenai pengaruh dari pendekatan bermain dan pendekatan pendidikan gerak dihubungkan dengan

Untuk itulah kami bermaksud untuk membuat makanan yang memiliki rasa yang enak dengan harga yang cukup murah dan aman untuk dikonsumsi karna

menelepon divisi pengaduan UPTD PPA secara langsung untuk membuat aduan kekerasan, sedangkan secara tidak langsung yaitu korban/pelapor melaporkan melalui media surat/ email