• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN Studi Kasus Desain Iklan Rokok Amild | H. Istanto | Nirmana DKV03050104

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN Studi Kasus Desain Iklan Rokok Amild | H. Istanto | Nirmana DKV03050104"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL:

SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN

Studi Kasus Desain Iklan Rokok A-mild

Freddy H. Istanto

Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra

ABSTRAK

Dekonstruksi hadir dengan latar-belakang post-modernisme yang berdasarkan pemikiran filsafat bahwa susunan pemikiran yang begitu terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilah sampai ke dasar-dasarnya. Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari posmodernisme yang secara epistemologi atau filsafat pengetahuan, harus menerima suatu kenyataan bahwa manusia tidak boleh terpaku pada suatu sistim pemikiran yang begitu ketat dan kaku.

Tulisan ini mencoba untuk mencari kemungkinan penerapan dekonstruksi pada disiplin Desain Komunikasi Visual utamanya dengan menghadirkan desain iklan rokok A-mild sebagai studi kasus.

Kata kunci: dekonstruksi, desain komunikasi visual, iklan, iklan A-mild.

ABSTRACT

Deconstruction, along with its post-modernism background that rooted in the philosophical thinking, appears to show that the set of the integrated and solid thought is now being sorted into its basis. The existence of the deconstruction can be seen as a part of the post-modernism which epistemologically has to acknowledge the reality that people should not follow inflexible way of thinking.

This writing is trying to seek for the possibility of applying the deconstruction into the Visual Communication Design through analyzing A-Mild, a cigarette commercial.

Keywords: Deconstruction, Visual Communication Design, Advertisement, A-Mild Advertisement.

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini dunia periklanan Indonesia semakin marak saja. Kehadirannya

tidak hanya di media cetak dan media elektronik saja, tetapi bahkan meramaikan wajah

kota. Layar televisi semakin sempit ketika iklan berebut inchi demi inchi, iklan melalui

radio melahap detik demi detik menjelajah ruang angkasa, semarak iklan di media cetak

demikian gencar berebut kolom demi kolom dan dalam bentuk iklan outdoor mereka

(2)

merasuk kedalam wilayah pedesaan. Insan periklanan semakin ditantang mencari

alternatif-alternatif baru untuk lebih menjadi yang terbaik. Para kreatif periklanan di

tuntut untuk mendapatkan solusi-solusi lain desain iklan mereka. Ribuan produk menanti

untuk dipasarkan, lewat tangan-tangan para kreatif mereka menanti untuk dipublikasikan.

Para kreatif di bidang periklanan berlomba, bertarung, beradu untuk berkreasi sebisa

mungkin untuk memenangkan dengan merebut hati masyarakatnya.

Segala kemungkinan bentuk desain iklan diekspresikan dengan berbagai cara agar

tercapai sasaran yang akan dituju. Iklan tidak muncul tanpa hambatan, kaidah-kaidah,

norma-norma, peraturan yang berlaku tertulis atau tidak tertulis, ikut memaksa para

kreator periklanan untuk lebih berkreasi ditengah hiruk-pikuk persaingan idea dan

gagasan. Adalah iklan rokok yang menjadi bahan perbincangan, karena ditengah

carut-marut peraturan yang sangat ketat, muncul berbagai bentuk iklan yang kreatif dan

inovatif. Dengan pembatasan yang sangat ketat, tidak mengurangi munculnya

gebrakan-gebrakan baru, bahkan melawan pakem-pakem yang ada; namun tetap menampilkan

kreatifitas luarbiasa.

Akhir-akhir ini muncul iklan-iklan rokok yang menampilkan gagasan baru yang

mengagumkan. Iklan-iklan yang tampil menunjukan sebuah nuansa yang berbeda dari

kebanyakan iklan yang ada di Indonesia. Sebuah fenomena baru di desain periklanan ?.

Biasanya iklan tampil dengan wajah yang bersih, rapi, teratur, terbaca, terstruktur dengan

norma-norma standar. Kali ini muncul iklan dengan penampilan lain, hadir dengan tulisan

yang tidak bersih, terkesan asal-asalan, penuh dengan lelehan cat seolah hasil kerja

serampangan; bahkan muncul ilustrasi semacam kertas terkoyak dengan bentuk yang

tidak teratur, seolah sebuah robekan kertas dan bagian ini ditempel dengan menggunakan

staples, seolah sebuah elemen desain yang terlupakan (ketinggalan). Hurufpun

diekspresikan dengan kesan guratan benda tajam yang tidak jelas sehingga perlu

diulang-ulang, yang menimbulkan torehan-torehan kasar pada sebuah bidang cat yang tidak rapi

juga. Pada versi lain, muncul pula kesan pewarnaan yang tidak bersih, kasar, tidak teratur

dan tidak rajin eksekusinya. Elemen desain yang lain juga hadir, seperti sebuah pekerjaan

yang tidak rapi, asal-asalan yang tidak seperti iklan-iklan pada umumnya. Gejala apakah

ini ?. Menarik pula untuk disimak bahwa slogan-slogan yang dimunculkan menimbulkan

(3)

dengan plesetan namun disana-sini tampil dengan tingkat humor yang tinggi. Beberapa

iklan menampilkan kalimat-kalimat seperti, “Daripada Curang, Mending Ganti

Peraturannya”, “Ringan Sama Dijinjing, Berat Elo Yang Pikul”, “Jangan Tunda Besok

Apa Yang Bisa Dikerjakan Lusa”, “Jadi Tua Itu Pasti, Jadi Dewasa Itu Pilihan” dan

“Setiap Gue Dapet Jawabannya, Ada Yang Ganti Pertanyaannya”. Sekalilagi kehadiran

iklan A-mild versi ini mampu menghadirkan pertanyaan, gejala apakah ini?. Terlihat

adanya sebuah usaha untuk keluar dari tatanan yang baku, muncul kesan adanya

keinginan untuk keluar dari tatanan formal, dihadirkan rancangan yang acak-acakan,

memunculkan estetika yang tidak lazim, statement-statement yang menimbulkan

kontradiksi-kontradiksi. Ada ketidakaturan atau ‘semrawut’, tetapi apabila diamati

muncul pula adanya keteraturan. Ada pembalikan posisi, yang penting (pesan iklan) tidak

terlihat, tetapi yang tidak penting (kalimat-kalimat yang tidak ada hubungannya dengan

produk yang diiklankan) justru diposisikan untuk menjadi penting. Yang menonjol

(statement-statement) dihadirkan dalam sajian yang tidak teratur; sedang yang tidak

menonjol dihadirkan dengan teratur, jelas dan tajam. Demikian pula serial iklan ini hadir

melalui pemunculan-pemunculan yang cepat dan berganti-ganti. Pembalikan-pembalikan

dan beberapa tampilan beberapa desain iklan ini mengingatkan adanya tanda-tanda suatu

pendekatan desain tertentu. Inikah desain iklan yang hadir dalam roh jaman saat ini yaitu

jaman dekonstruksi ?.

(4)

APA ITU DEKONSTRUKSI ?

Dekonstruksi merupakan reaksi terhadap modernisme dalam perkembangan ilmu

pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme dalam perkembangan filsafat ilmu berdasar

pada rasio, logos dalam intelektual manusia. Dekonstruksi hadir dengan latar-belakang

pos-modernisme yang berdasarkan pemikiran filsafat bahwa susunan pemikiran yang

begitu terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilah sampai ke dasar-dasarnya.

Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari posmodernisme yang secara

epistemologi atau filsafat pengetahuan, harus menerima suatu kenyataan bahwa manusia

tidak boleh terpaku pada suatu sistim pemikiran yang begitu ketat dan kaku.

Filsafat dalam sejarah perkembangannya membuat suatu rumusan yang jelas dan

tepat mengenai apa yang ada di dunia ini. Dalam perumusan ini, hal-hal yang kabur,

pengalaman-pengalaman pribadi harus dibersihkan, yang dalam istilah filsafat disebut

sebagai di-abstraksi-kan; sehingga dapat dicapai suatu bentuk yang benar-benar jelas dan

dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan logis. Sedangkan dalam sikap

dekonstruksi, suatu tatanan yang begitu teratur, yang telah diusahakan oleh modernisme,

ingin dikembalikan ke dasar-dasar yang begitu jamak. Apabila ada sesuatu yang tertutup

(closer) harus ada yang terbuka (discloser), sehingga menjadi majemuk, kembali kedasar.

Dalam kaitan ini, dekonstruksi ingin memilah atau memecahkannya.

Selama ini banyak karya desain komunikasi visual terbatas menggali kapasitas

tersebut melalui komposisi tradisional seperti simetri, keterukuran, unity/kesatuan,

keutuhan dan kestabilan. Sementara kapasitas lainnya seperti unsur-unsur kontradiksi dan

oposisi tidak terangkum. Disinilah tugas dekonstruksi mempertanyakan adanya

kemapanan, netralitas, ketunggalan dan kebakuan definisi. Pertanyaan dekonstruksi

mengajak orang untuk memperhitungkan hal-hal yang semula nampak marjinal dan tak

terkatakan, antara lain yang berada diantara dua posisi yang kontradiktif dan oposisional.

Dekonstruksi menghidupkan wacana segala yang diantara dan bergerak diantara dua

posisi tersebut. Maka keragaman makna menjadi penting dibandingkan konvensi untuk

memegang pemahaman tunggal.

Label “dekonstruksi” secara luas digunakan dalam lingkungan intelektual di

Perancis dan Inggris, berlandas pada asumsi bahwa gejala ‘dekons’ secara langsung atau

(5)

dikukuhkan dalam “International Symposium on Deconstruction” yang diselenggarakan

oleh Academy Group di Tate Gallery, London tanggal 18 April 1988.1 Dari simposium ini diperoleh kesepakatan bahwa “dekonstruksi” bukanlah sebuah gerakan yang tunggal,

meski banyak diwarnai kemiripan-kemiripan formal diantara karya-karya yang ada.

Dekonsruksi lebih merupakan sikap, suatu metoda kritis yang berwajah majemuk,

dekonstruksi tidak memiliki ideologi ataupun tujuan formal, kecuali semangat untuk

membongkar kemapanan dan kebakuan.

DEKONSTRUKSI DERRIDA

Adalah suatu fakta bahwa konsep dasar dekonstruksi secara teoritis dikembangkan

dari sudut pandang bahasa, namun dalam perkembangannya kemudian ternyata

dekonstruksi relevan juga untuk bidang-bidang seni lainnya. Dekonstruksi yang

dipergunakan oleh filsuf Perancis Jacques Derrida, tidak lain merupakan karya-karya tulis

yang berargumentasi filosofis. Gagasan Derrida ini kemudian banyak digunakan oleh

kritikus Sastra, terutama di Amerika. Konsep Derrida ini menggambarkan metoda

membaca teks yang memperlihatkan adanya konflik dalam interpretasi ‘makna’ teks

tersebut; selanjutnya metoda ini bukan hanya digunakan untuk meng-interpretasi teks,

tetapi juga dipergunakan dalam memberikan tafsiran terhadap karya seni visual.

Jacques Derrida mengajukan sebuah konsep penting yang berkaitan dengan bahasa

yaitu ‘under eraser’; yang diturunkan dari Martin Heidegger : being. Kata dianggap tidak

akurat dan tidak memadai, maka harus dicoret, tetapi karena masih dibutuhkan maka

harus tetap dapat dibaca.

Penanda/signifier menurut Derrida tidak secara langsung menggambarkan

petanda/signified seperti kaca memantulkan bayangannya. Hubungan penanda-petanda

tidak seperti dua sisi sehelai mata uang yang digambarkan Saussure,2 karena tidak ada pemisahan yang jelas antara penanda dan petanda. Saussure mengemukakan bahwa tanda

1

Simposium ini membahas masalah dekonstruksi tidak hanya pada seni visual, tetapi juga beberapa tema-tema desain arsitektural. Acara ini diawali dengan tayangan video berupa wawancara Christopher Norris (seorang arsitek) dengan Jacques Derrida. Andreas Papadakis (1988), Deconstructions in Architecture”, Architectural Design, New York, Academy Edition, halaman.7

2

(6)

adalah kesatuan antara pola suara dan konsep, yang oleh Roland Barthes dikembangkan

menjadi penanda dan petanda. Konsep ini dianggap bersifat stabil. Konsep (petanda),

meskipun bukan merupakan bagian intrinsik dari tanda, menurut Saussure ia dianggap

hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari tanda. Konsep itu sendiri mempunyai referensi

pada realitas. Semiotika struktural Saussure dengan demikian, menganggap tanda sebagai

tak lebih dari refleksi dari realitas yang ada. Semiotika dalam pandangan poststrukturalis

tidak lagi menaruh perhatian pada sistim tanda-tanda melainkan dengan pembentukan

subyek serta peranannya dalam perubahan bahasa. Bagi pemikir postrukturalis, bahasa

tidak lagi semata sistim pembedaan (difference) akan tetapi jejak (differance); penanda

dan petanda tidak lagi satu kesatuan bagai dua sisi dari selembar mata uang, melainkan

terpisah; petanda tidak dengan begitu saja hadir, melainkan ia selalu di-dekonstruksi.

Hubungan antara penanda dan petanda tidak lagi bersifat simetris dan stabil berdasarkan

konvensi, akan tetapi terbuka bagi permainan bebas penanda (Piliang 1998:266)

Apabila kita ingin mengetahui makna penanda-penanda, maka kita harus melihat

kamus. Didalam kamus dapat ditemukan penanda-penanda lainnya yang petandanya

harus dicari kembali. Jadi proses interpretasi selalu bersifat tanpa batas dan sirkuler.

Penanda beralih bentuk menjadi petanda, demikian pula sebaliknya, sehingga kita

sebenarnya tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang bukan penanda. Interpretasi,

dengan demikian merupakan aktifitas tanpa akhir dan tanpa dasar. Struktur tanda

ditentukan oleh jejak yang senantiasa absen. Tanda dibawa ke tanda yang lain dan

seterusnya tanpa batas, yang secara bergiliran menjadi penanda dan petanda. Tanda tidak

dapat dipelajari sebagai unit homogen yang menjembatani obyek (referent) dan tujuan

akhir (makna) seperti dianjurkan semiotika,3 tetapi sebagai under eraser karena tanda selalu diisi oleh jejak tanda lain.

Postrukturalis tidak mementingkan kualitas komunikatif pada semiotika.

Tanda-tanda diproduksi bukan dengan tujuan untuk menyampaikan pesan-pesan, dan

konvensi-konvensi sosial, melainkan dilandasi kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda

semata. Model semiotika postrukturalis merupakan model yang tak konvensional, dimana

tanda digunakan secara kreatif, secara anarkis dan terkadang tak bertanggungjawab.

Tanda-tanda yang diproduksi oleh postrukturalis, menurut Richard Hartland mensubversi

3

(7)

sistim makna atau setiap sistim apapun yang dikontrol secara sosial. Tanda-tanda tidak

dibiarkan terpancang pada posisinya sebagai media komunikasi kesepakatan dan identitas

sosial. Tanda-tanda tersebut selalu di dekonstruksi sehingga ia kehilangan sifat

komunikasi sosialnya, kehilangan makna sosialnya.4

Dekonstruksi menurut Derrida adalah metoda membaca teks secara teliti, sehingga

premis-premis yang melandasinya dapat digunakan untuk meruntuhkan argumentasi

yang disusun atas premise tersebut. Derrida mengkaitkan metoda Dekonstruksi dengan

kritik terhadap metaphysics of presence yang menjadi asumsi dasar bagi filosof

tradisional. Derrida menolak gagasan bahwa ada yang disebut present dalam pengertian

suatu ‘saat’ yang terdefinisikan sebagai sekarang (now).

Jonathan Culler (dalam Benedikt,1991) memaparkan sejumlah proses atau prinsip

Dekonstruksi atas pemikiran-pemikiran Derrida.5 Prinsip-prinsip Derrida tersebut antara lain :

Differance

Differance adalah suatu ‘kata dalam kata’ dalam bahasa Perancis, tapi tidak ada

dalam kamus. Kata itu dibentuk sendiri oleh Derrida; yang ada adalah kata difference

(dalam bahasa Inggris) yang berarti perbedaan dan kata differer (dari bahasa Inggris:

differ). Kata differer ini memiliki dua arti, yang pertama sebagai kata kerja intransitif

yang artinya ‘berbeda’ atau ‘bertolak belakang’, sama dengan arti kata difference. Yang

kedua sebagai kata kerja transitif, mempunyai arti ‘menunda’, ‘menangguhkan’ atau

‘mengundurkan waktu’ (Bertens 1985:500). Kata differance menggabungkan kedua kata

asal tersebut sehingga memiliki makna yang mengacu pada adanya perbedaan dan

penangguhan waktu. Namun dalam bahasa Perancis pengucapan differance (dengan huruf

a) tidak berbeda dengan pengucapan kata differance. Derrida memperbandingkan huruf a

yang diam ini serupa dengan diamnya makam Fir’aun, yaitu Piramid di Mesir.

It remains silent, secret and discreet as a tomb 6

4

Oleh sebab itulah Hartland menyebut tanda-tanda berdasrkan konsep postrukturalis ini sebagai ‘tanda anti sosial’ (Piliang 1998)

5

Jonathan Culler dalam bukunya On Deconstruction : Theory and Criticism After Structuralism, dalam Benedikt, Michael,

Deconstructing The Kimbell, New York, SITES Book, 1991

6

(8)

Differance secara harafiah terdiri dari tiga pengertian:

The universal system of differences : berbeda

The process of deferral : menunda, meneruskan

The sense of differing berbeda pendapat/tidak setuju.

Konsep differance digunakan untuk melihat tanda-tanda, artinya makna-makna

suatu tanda dimungkinkan karena setiap tanda berbeda dengan semua tanda lainnya

dalam sistim tanda bersangkutan. Konsep ini sejajar dengan pendapat aliran linguistik

struktural yang menganggap the language is a difference methode of meaning. Dengan

konsep differance proses dekonstruksi merupakan suatu proses men-deferensiasi-kan atau

produksi perbedaan-perbedaan yang merupakan syarat timbulnya setiap makna dan sistim

struktur. Derrida menjelaskan “menunda kehadiran ‘ada’” dalam suatu pencarian terus

menerus makna yang terjalin dalam jaringan ‘tanda’. Dekonstruksi mengandung dimensi

‘waktu ‘(temporization) dan ‘antara’ (spacing) (Sumaryono 1993:115, Setiawan

1994:17). Arti-arti kata yang ada dalam differance hampir sama dengan ‘Ma’ dalam

bahasa Jepang. Suatu kata yang mempunyai arti ‘interval jarak’ (interval in space) dan

‘interval waktu ’ (interval in time); peristiwa, tempat, kejadian dalam suatu waktu. ‘Ma

terletak pada celah diantara batu pijakan, pada saat manusia melangkah dengan

tenangnya. ‘Ma’ bisa juga diartikan ketenangan antara not-not suatu lagu ketika irama

legato dinyanyikan. ‘Ma’ diartikan pula sebagai suatu posisi dimana pendulum mencapai

puncaknya dan berhenti ‘tanpa berhenti’ atau ‘stop without stopping’.7

Menurut Derrida, kata atau tanda kini tidak mampu lagi menghadirkan makna

sesuatu yang dimaksud secara serta-merta. Makna harus dicari dalam rangkaian tanda

yang lain yang mendahului tanda yang pertama. Sifat men-diferensiasi tidak cukup bagi

suatu tanda, realitas makna juga harus dicari dalam tanda-tanda lain yang mendahului dan

saling terkait (tissue of sign) yang mungkin hanya nampak jejak-jejaknya saja (traces).

pencarian ini membutuhkan waktu, karena itu pemahaman makna menjadi tertunda

menanti pengalaman dan konteks lain yang perlu diciptakan.

Untuk memahami differance maka harus ada dua elemen, dua anggota dari suatu

sistim tanda-tanda. Dua ide yang saling melengkapi atau tanda yang sama namun

7

(9)

dipindahkan menuju konteks yang berbeda. Ada perbedaan fundamental dan universal,

perbedaan anatara presence dan absence. Keduanya menunjukan bagaimana ‘perbedaan’

nya adalah juga menunjukan ‘ketergantungannya’. Tidak ada absence tanpa kehadiran

presence, seperti juga tidak ada ‘hitam’ kalau tidak ada ‘putih’. Demikian pula tidak ada

‘naik’ tanpa ‘turun’ dan tidak ada ‘kanan’ kalau tanpa ‘kiri’. Presence tidak memiliki

nilai, tanpa makna kecuali adanya ‘absence’.

Pembalikan Hirarki,

Differance berbicara tentang ruang gerak bermain antara hitam-putih, utara-selatan,

lelaki-perempuan dan seterusnya. Gejala ini selalu hidup dan ada tetapi tidak terangkum

dalam konsp metafisika. Inilah mungkin yang membuat orang lupa akan gejala

‘meng-ada’.8 Derrida mengikuti jalan yang dibuka oleh Heiddeger untuk meniti kembali pemikiran tentang ‘ada’. Derrida melihat konsep ‘ada’, dari sudut pandang metafisika

Barat yang memiliki dua masalah. Pertama, ‘ada’ tidak sesederhana yang dibayangkan,

bahkan merupakan sesuatu yang kompleks. Derrida menolak gagasan bahwa ‘ada’ yang

disebut present dalam pengertian suatu ‘saat’ yang terdefinisikan sebagai ‘sekarang’/now.

The present bagi hampir semua orang adalah daerah yang dikenali. Manusia tidak pernah

yakin tentang apa yang terjadi dimasa lampau dan apa yang akan terjadi di masa depan,

atau apa yang terjadi di tempat lain. Manusia mengandalkan diri pada pengetahuan yang

ada sekarang dan disini, dunia perseptual yang dialami sekarang. Kedua, idealisasi dari

‘ada’ menyebabkan semua sistim kategori menjadi ber-hirarki, dalam arti yang satu

mendominasi yang lain. ‘Ada’ lebih berarti dibandingkan dengan ‘tidak ada’ meskipun

secara logika dibutuhkan dan menjadi prasyarat. Dalam hal ini dekonstruksi bertujuan

untuk (1) meng-identifikasi apa yang disepelekan/disembunyikan sehingga (2) hirarki

yang terjadi dapat dibatalkan, dibalik atau diproses mundur.

8

(10)

Pusat dan Marjinal

Pusat dan marjinal dapat diartikan sebagai ‘yang tidak-penting’ dan ‘yang penting’.

Perbedaan antara ‘pusat’ dan ‘marjinal’ merupakan konsekuensi dari adanya hirarki yang

ditimbulkan oleh oposisi binari. Yang ‘marjinal’ adalah yang berada pada batas atau

dekat dengan batas, pada tepian, berada diluar (outside) karena itu dianggap tidak

penting. Sementara ‘pusat’ menunjukan sesuatu yang terdalam, yang di jantung, daya

tarik dan makna dimana setiap gerakan berasal dan merupakan tujuan gerakan dari yang

marjinal. Pusat dan marjin hanya masalah posisi dalam geometrika, namun apabila

‘pusat’ dan ‘marjin’ saling bergerak untuk bertukar tempat, dipertentangkan atau

disembunyikan secara dekonstruksi, maka semuanya akan mempunyai arti. Derrida

mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep ‘parergon’, dalam kasus ini Derrida

mengambil contoh bingkai suatu lukisan. Bingkai lukisan, menurut Derrida, lebih penting

posisinya dibandingkan dengan lukisannya sendiri.9 Mendekonstruksi yang marjinal menjadi pusat berarti mengangkat yang ‘ekstra’, yang merupakan ‘tambahan’ pada posisi

yang setara dengan yang utama dan mempunyai otonomi sendiri serta merta dengan

keabsahan yang utama atau yang asli.10

Pengulangan (Iterabilitas) dan Makna

Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang (iteratif)

pada konteks yang berbeda dimana secara konotatif maupun denotatif artinya akan

memperoleh struktur yang stabil. Karakter bahasa memungkinkan penciptaan

kalimat-kalimat baru yang tak terbatas pada aturan permutasian kata-kata. Kata itu sendiri sebagai

kata atau ‘berfungsi sebagai kata’ harus berbunyi sama dan tetap, dapat beradaptasi dan

digunakan kembali dalam bermacam konteks (kalimat). Untuk itu juga diperlukan

stabilitas dari konotasi serta mudah-dikenalinya sebagai kata yang sama. Dengan

penundaan permaknaan tanda, terbuka kemungkinan yang lebih luas dalam suatu

permainan penelusuran jejak-jejak tanda yang lain dalam konteks yang berbeda-beda.

9

para’ berarti tepi, ergon diartikan sebagai karya., Benedikt (1991)

10

(11)

Penggunaan metafor secara berulang-ulang akan membuka pemahaman yang lebih baik

terhadap makna yang dimaksudkannya.11

PEMBACAAN DEKONSTRUKSI ATAS KARYA DESAIN IKLAN A-MILD

Didalam situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang masih belum sepenuhnya

baik di Indonesia saat ini, hadir fenomena baru yakni munculnya iklan-iklan A-mild yang

dalam penampilannya mengundang beragam pertanyaan. Desain Iklan ini terkesan

‘urakan’ serta corat-coret bergaya grafiti. Sajian iklan yang dihadirkan tidak

memperlihatkan adanya hubungan antara pesan-pesan yang disampaikan dengan produk

yang dipasarkan, sesuatu yang terlihat janggal dalam dunia iklan pada umumnya. Iklan

ini seolah menghadirkan keterkaitannya antara isi dan pesan iklan tersebut dengan kondisi

keseharian bangsa ini, apakah demikian maksud kehadiran iklan ini ?

Gambar 3. Gambar 4. (repro. Poster asli) (repro. Poster asli)

11

(12)

Tulisan ini akan membahas fenomena tersebut yang dalam pembacaannya atas

karya-karya desain iklan A-mild yang dipublikasikan sekitar Agustus-Oktober 2002, akan

digunakan tema-tema dekonstruksi. Tema-tema tersebut dirangkum oleh Benedikt (1991)

sebagai hasil pemikiran filosofi Derrida, seperti (1) konsep (non konsep) differance, (2)

proses pembalikan hirarki, (3) permainan Pusat dan Marjinal serta (4) fungsi Iterabilitas

dan Fungsinya dalam membangkitkan makna. Dalam bulan-bulan sekitar Agustus sampai

Oktober 2002-an bermunculan iklan-iklan A-mild yang silih berganti dengan penampilan

yang berbeda dari iklan-iklan biasa. Iklan-iklan hadir baik melalui iklan di media cetak,

elektronik, maupun di media outdoor. Beberapa tampilan iklan versi ini sangat menarik

perhatian bahkan menimbulkan banyak pertanyaan.

Sebagai media promosi Desain Komunikasi Visual, menurut Christine Suharto

(1999:5) dimaksudkan untuk menyampaikan pesan, mendapatkan perhatian (atensi) dari

mata (secara visual) dan membuat pesan tersebut dapat diingat. Penggunaan gambar dan

kata-kata mempunyai makna dan mengesankan. Untuk mencapai tujuan ini digunakan

gambar dan kata-kata yang bersifat persuasif dan menarik, karena tujuan akhirnya adalah

menjual suatu produk atau jasa.12

KERAPIAN VERSUS KETIDAK-RAPIAN

Dekonstruksi menurut Wiryomartono (1995:50) mempertanyakan adanya

kemapanan, netralitas, ketunggalan dan kebakuan definisi. Pertanyaan dekonstruktif

mengajak orang untuk memperhitungkan kembali hal-hal yang semula nampak marjinal

dan tak terkatakan, antara lain yang berada diantara dua posisi yang kontradiktif dan

oposisional. Dekonstruksi menghidupkan wacana segala ‘yang diantara’ dan bergerak

diantara dua posisi tersebut. Maka keragaman makna menjadi penting ketimbang

konvensi untuk memegang pemahaman tunggal.

Penghadiran oposisi binari pada desain iklan A-mild segera terlihat antara

‘kerapian’ dan ‘ketidak-rapian’. Banyak sekali unsur oposisi binari dimunculkan pada

desain iklan ini. Pesan-pesan iklan dihadirkan dalam ketidak-rapian, contoh pada tulisan

‘Daripada Curang, Mending Ganti Peraturannya’ (lihat gambar 1). Tipografi pada pesan

12

(13)

iklan dihadirkan dengan teknik ‘awut-awutan’ (tidak rapi), terkesan asal-asalan,

dihadirkan dengan teknik visualisasi yang tidak lazim, sedang logo produk dihadirkan

dengan sangat rapi dan elegan. Pada versi yang lain muncul juga ilustrasi (background

ilustrasi tanda seru dan tanda tanya) yang teknik visualisasinya dihadirkan dengan kesan

sangat tidak rapi. Hal ini juga terlihat pada garis-garis yang dimunculkan pada ilustrasi ini

yang terkesan tidak rapi, putus-putus, tidak selesai, tidak lurus (lihat gambar 5) sedang

pada background desain iklan ini ada garis-garis yang lurus, rapi dan teratur. Pada versi

lain (lihat gambar 3 dan 4), ilustrasi ini juga dihadirkan dengan kesan teknik airbrush

yang tidak rajin, tidak rapi dan asal-asalan. Dalam teknik penggambaran juga dihadirkan

oposisi antara garis-garis yang teratur sebagai latar, dengan kehadiran cat yang seolah

meleleh (yang terkesan sebagai pekerjaan yang jorok/tidak bersih, berlepotan dan tidak

rajin. Oposisi binari (antara kerapian dan ketidak-rapian) ini memperlihatkan kepaduan

dengan konsep dekonstruksi seperti yang dihadirkan dalam konsep ‘Im’ dan ‘yang’.13

Gambar 5. Gambar 6. (repro. Poster asli) (repro. Poster asli)

13

(14)

Penghadiran dua elemen (teknik kerapian dan ketidak-rapian) ini mempertunjukan

bahwa dekonstruksi menawarkan kekayaan dalam dunia desain, bahwa estetika atau

teknik penyajian dalam Desain Komunikasi Visual tidak hanya berkutat dalam kerapian,

kebersihan, hasil kerja yang mempertunjukan kehati-hatian, tetapi juga pengkayaan

teknik lain atau bahkan Dekonstruksi menawarkan yang tidak rapi, penyajian yang tidak

rajin, kesan yang asal-asalan adalah suatu yang sah-sah saja. Dengan demikian desain

iklan A-mild ini menjadi menarik ketika keragaman teknik penyajian disajikan demikian

vulgar dan kaya ketimbang konvensi untuk memegang pemahaman tunggal. Dengan

Dekonstruksi akan disadari bahwa cat tidak harus bersih rapi, tetapi yang meleleh dan

berlepotan merupakan sisi lain dari sebuah desain yang perlu digarap dan dikembang

serta diberi peluang sebagai elemen penting (juga) dalam Desain Komunikasi Visual.

Dengan demikian, dengan berdekonstruksi kita belajar tentang kekayaan dalam

mendesain, dimana unsur-unsur terkecil (teknik penyajian) sekalipun berpeluang untuk

self-referensial dan sekaligus menjadi unsur integral dalam Desain Komunikasi Visual.

Penghadiran dua posisi kontradiktif secara bersamaan, namun dengan tema-tema,

kondisi-kondisi yang berbeda menghasilkan oposisi binari dalam suatu keadaan; namun

‘perulangan yang berbeda’ merupakan suatu ‘iterabilitas’ seperti yang diisyaratkan oleh

dekonstruksi. Oposisi binari antara ‘kerapian’ dan ‘ketidak-rapian’ menghidupkan

wacana segala yang diantara dan bergerak diantara dua posisi tersebut.14

MARJINALITAS-SENTRALITAS DAN PEMBALIKAN HIRARKI

‘Membaca’ desain iklan A-mild ini membangkitkan banyak pertanyaan bukan

hanya pada ‘statement-statement’-nya yang menarik perhatian, tetapi kaidah-kaidah

perancangannya yang patut juga dipertanyakan. Dalam kaidah perancangan, bagian

utama (yang terpenting) biasanya sangat ditonjolkan baik melalui pewarnaan yang

menyolok, dimensi yang berbeda (kontras) ataupun teknik penyajian yang menarik.

Namun dalam tampilan iklan A-mild ini justru dihadirkan dengan komposisi yang tidak

biasa. Pesan (slogan-slogan yang tidak ada hubungannya dengan produk) yang dalam

14

(15)

konteks pesan iklan berada pada posisi yang tidak penting (marjinal) diberi tempat utama,

ditengah bidang desain (poster, brosur, baliho). Sedang produk yang di-iklan-kan (logo)

di posisikan di pinggiran. Dalam pembacaan ini segera terlihat adanya pembalikan hirarki

antara ‘yang penting’ (ilustrasi/logo produk ) diletakan di pinggiran, sedang pesan ‘yang

tidak penting’ justru diutamakan. Yang utama, yakni logo produk, adalah titik utama atau

fokus iklan (sentral) diberi tempat di pinggiran, sedang pesan atau slogan yang ‘tidak

terbaca’ memiliki keterkaitan dengan produk (pinggiran/marjinal/tidak penting) justru

diletakan sebagai ‘point of interest’. Yang marjinal (pesan seperti pada contoh versi: ‘Jadi

Tua itu Pasti, Jadi Dewasa itu Pilihan’, terbaca tidak ada kaitannya dengan produk yang

di-iklan-kan) menjadi penting, sedang yang di-iklan-kan, yang penting –sentral-- (ilustrasi

logo A-mild) justru dipinggirkan. Keberadaan moda marjinalitas dan sentralitas serta

pembalikan hirarki ini juga dimunculkan dalam sajian dimana pesan atau slogan menjadi

bagian yang dominan (dengan huruf yang tidak teratur, terkesan kotor, tidak rapi,

asal-asalan) tetapi tampil dengan skala besar dan mendominasi; sedang logo atau produk yang

di-iklan-kan yaitu ilustrasi A-mild dibuat dalam bentuk dan tipografi yang rapi, bersih,

teratur dan masih diperkuat lagi dengan kesan ilustrasi ini adalah barang tempelan,

dilekatkan dengan klip. Ilustrasi logo ini terkesan ‘sesuatu yang ketinggalan’, ‘darurat’

dan ‘asal tempel’ dan terkesan seolah berasal dari kertas yang kumal. Bahkan tampilan

iklan ini dengan berani menunjukan bahwa desain atau garapan yang salah, tidak perlu

diperbaiki dan dibiarkan hadir apa adanya (perhatikan bagian kanan bawah iklan A-mild

yang memperlihatkan beberapa saputan cat darurat seolah sebuah usaha menutup

kesalahan, lihat pada gambar 8). Tampilan seperti tumpahan cat, lelehan cat yang belum

kering, luberan semburan cat yang tidak terkontrol menghadirkan pengkayaan elemen

desain, bahkan mempertanyakan kembali sampai kedasar-dasarnya baik tentang

kaidah-kaidah desain termasuk didalamnya kaidah-kaidah-kaidah-kaidah estetika. Desain iklan A-mild ini

sekalilagi memperlihatkan dan menimbulkan pertanyaan akan sikap dekonstruktif yang

mengajak orang untuk memperhitungkan kembali hal-hal yang semula tampak marjinal

(slogan yang terbaca tidak terkait dengan tujuan iklan) dan tak terkatakan (desain yang

tidak rapi, tidak selesai, terkesan asal-asalan, berlepotan yang sering dianggap bukan

(16)

Pembacaan kritis pada iklan A-mild ini, menunjukan pula sebuah bentukan yang

umum dari sebuah surat. Kertas surat yang bergaris, sapaan ‘dengan hormat’ (diwakili

oleh ilustrasi ‘Bukan Basa-Basi’), isi surat (slogan atau ungkapan, kalimat-kalimat) dan

pengirim (ilustrasi A-mild). Dalam perkembangan model pemasaran akhir-akhir ini,

beberapa pakar marketing menawarkan model promosi yang tidak lagi bersifat umum

(kepada masyarakat) tetapi kembali pada pendekatan personal. Kehadiran iklan A-mild

versi-versi ini menunjukan adanya usaha pendekatan personal (dalam bentuk

surat/pribadi), tetapi jejak oposisional dan kontradiktifnya tetap dimunculkan, yaitu

dihadirkan secara terbuka dan umum (untuk khalayak ramai). Dalam konteks parergon,

nampak sekali bahwa garis-garis lurus yang ‘hanya’ terlihat berfungsi latar desain saja,

mampu mensejajarkan diri sebagai yang utama.

Gambar 7. Gambar 8.

(repro. Poster asli) (repro. Poster asli)

PEMBACAAN MAKNA DAN ITERABILITAS

Desain iklan A-mild terbaca menampilkan kesamaan-kesamaan yang selalu

(17)

interest) slogan-slogan iklan versi ini juga menawarkan pernyataan yang oposisional dan

kontradiktif. Dalam versi pertamanya muncul slogan ‘Daripada Curang, Mending Ganti

Peraturannya’, orang akan sangat kesulitan membaca apa makna dibalik statement itu.

Orang bisa sambil lalu mengamati iklan ini, tetapi ada juga yang mengkaitkan dengan

kondisi sosial-politik di Indonesia utamanya tentang peraturan atau hukum, dimana

produk hukum di Indonesia saat ini oleh berbagai pihak dinilai sangat kacau. Dan

iklan-pun mempertanyakan keberadaan kondisi ini dalam pesan-pesan ke masyarakatnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, iklan A-mild ini ternyata tidak semata-mata

mempunyai fungsi untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang produk

yang diiklankan (yang mempunyai nilai-guna sebuah iklan saja) melainkan iklan ini

menghadirkan sebuah perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-suara, dari teks-teks

lain dan kode-kode lain, karena sebuah teks masakini (iklan A-mild) bukanlah sebuah

produk yang dihasilkan melalui suatu aturan atau kode yang kaku, yang bukan menjadi

model yang tunggal. Sebuah teks pos-modern (iklan A-mild), menurut Barthes (dalam

Piliang 1998), bukanlah sebuah produk (Desain Komunikasi Visual umumnya dan desain

Iklan khususnya) yang menghasilkan makna yang tunggal atau pesan pengarangnya

melainkan sebuah ruang yang multidimensional, yang didalamnya bercampur aduk dan

berinteraksi berbagai macam tulisan, yang tak satupun diantaranya orisinal.15

Dalam lingkup terbatas (di kalangan mereka yang bergerak di bisnis periklanan dan

rokok atau pengamat yang lain), iklan A-mild versi ‘Daripada Curang, Mending Ganti

Peraturannya’, ada yang mengkaitkannya dengan kasus tergusurnya iklan A-mild versi

kepiting (bentuk iklan yang kartunal). Dimana iklan tersebut akhirnya harus ditarik

kembali, ketika muncul berbagai kritik dari masyarakat. Saat itu ‘sebagian’ masyakarat

mempermasalahkan bahwa bentuk-bentuk kartunal diasumsikan hanya cocok untuk

anak-anak; sehingga di khawatirkan akan mengajak anak-anak mengkonsumsi rokok. Padahal

pendapat tersebut belum teruji kebenaranya (Bing Bedjo Tanujaya 2002:170). Untuk

menghindari polemik maka akhirnya iklan tersebut ditarik baik iklan di media cetak,

maupun di media elektronik dan juga iklan di media ruang luar (outdoor).16 Kasus ini

15

Baca juga ‘Iklan Dalam Wacana Postmodern, Studi Kasus Iklan Rokok A-mild’, Freddy H Istanto (1999), NIRMANA, Jurnal Desain Komunikasi Visual UK Petra, volume satu nomor satu Januari 1999.

16

(18)

tentu berdampak kerugian yang sangat besar bagi perusahaan rokok A-mild yang dengan

mudah orang akan mengkaitkan masalah ini dengan produk iklan A-mild yang

mempertanyakan ‘keabsahan peraturan’ lewat iklannya ‘Daripada Curang, Mending

Ganti Peraturannya’. Apabila ditelusuri melalui pendekatan iterabilitas, maka dapat juga

ditemukan sebuah struktur makna yang stabil, ketika dalam beberapa versi lainnya bisa

dikaitkan antara ‘ketidak puasan’ perusahaan rokok A-mild atas masalah iklan versi

kepiting tersebut. Beberapa versi seperti ‘Jadi Tua Itu Pasti, Jadi Dewasa Itu Pilihan’,

apabila dikaitkan bisa dimunculkan makna bahwa peraturan di Indonesia itu sudah bisa

dikategorikan tua (beberapa bahkan masih produk Belanda), tetapi produk dan pranata

hukum itu bisa dibaca belum cukup dewasa. Untuk menjadi dewasa memang sebuah

pilihan. Yaitu apakah pelaksanaan hukum (juga dan terutama yang berlaku di dunia

periklanan) mau untuk menjadi dewasa, maka itu adalah pilihan.

Pada versi yang lain, ‘Jangan Tunda Besok Apa Yang Bisa Dikerjakan Lusa’,

inipun bisa dikaitkan dengan problematika utama bangsa ini, yaitu agar bangsa ini segera

berbenah dalam menangani produk hukumnya. Konteks tersebut juga sangat relevan

dikaitkan dengan peraturan-peraturan tentang periklanan (yang juga berlaku untuk

penghakiman atas iklan A-mild versi kepiting). Demikian juga A-mild versi ‘Setiap Gue

Dapat Jawabannya, Ada Yang Ganti Pertanyaannya’, statement ini mampu dibaca sebagai

tidak konsistennya peraturan di Indonesia, sehingga banyak orang yang telah menemukan

jawaban atas permasalahannya, menjadi kecewa karena ternyata hal itu tidak menjamin

kebenaran atas jawaban tersebut. Itulah yang disebut oleh Derrida bahwa Dekonstruksi

menawarkan kata atau tanda yang akan memperoleh maknanya dalam suatu proses tanda

yang berulang (iteratif) pada konteks yang berbeda dimana secara konotatif maupun

denotatif artinya akan memperoleh struktur yang stabil.

Keberadaan/presence ‘slogan-slogan oposisional yang kontradiktif’ tersebut

memang bukanlah sesuatu yang sederhana. Menurut Derrida, keberadaan/presence adalah

sesuatu yang sangat kompleks, tidak ada petanda/signified oleh suatu penanda/signifier,

bahkan oleh penanda/ signifier itu sendiri. Keberadaan slogan-slogan iklan A-mild

versi-versi ini sebagai penanda menimbulkan bermacam-macam interpretasi, sehingga

‘hadir’nya slogan-slogan tersebut sebagai signifier tidak mampu menghadirkan signified

(19)

signifier itself”, claims Derrida. Orang dapat mengkaitkan apapun slogan-slogan tersebut

dan menggabungkan dengan serial-serial lainnya sesuai interpretasi yang berkembang di

alam pikirnya dan sesuai pula dengan segala intelektual dan konteks dari dirinya

masing-masing. Demikian pula makna harus dicari pada tanda-tanda yang lain, karena

dekonstruksi tidak menawarkan petanda riel, karena semua penanda mengalami proses

penundaan (differance yang berarti the process of defferal, menunda).

Slogan-slogan iklan A-mild sebagai penanda/signifier menurut Derrida tidak secara

langsung menggambarkan petanda/signified seperti kaca memantulkan bayangannya.

Menurut Derrida :

Hubungan penanda-petanda tidak seperti dua sisi sehelai mata uang yang digambarkan Saussure,karena tidak ada pemisahan yang jelas antara penanda dan petanda. Apabila kita ingin mengetahui makna penanda-penanda, maka kita harus melihat kamus. Didalam kamus dapat ditemukan penanda-penanda lainnya yang petandanya harus dicari kembali. Jadi proses interpretasi selalu bersifat tanpa batas dan sirkuler. Penanda beralih bentuk menjadi petanda, demikian pula sebaliknya, sehingga kita sebenarnya tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang bukan penanda. Interpretasi, dengan demikian merupakan aktifitas tanpa akhir dan tanpa dasar. Struktur tanda ditentukan oleh jejak yang senantiasa absen. Tanda dibawa ke tanda yang lain dan seterusnya tanpa batas, yang secara bergiliran menjadi penanda dan petanda. Tanda tidak dapat dipelajari sebagai unit homogen yang menjembatani obyek (referent) dan tujuan akhir (makna) seperti dianjurkan semiotika, tetapi sebagai under eraser karena tanda selalu diisi oleh jejak tanda lain.

Dekonstruksi menurut Derrida adalah metoda membaca teks secara teliti, sehingga premis-premis yang melandasinya dapat digunakan untuk meruntuhkan argumentasi yang disusun atas premise tersebut.

Dalam tampilan iklan A-mild, terbaca jejak-jejak yang ada yaitu disamping

slogan-slogan yang oposisional dan kontradiktif, pembalikan hirarki serta moda

marjinal-sentralitas terlihat bahwa kata atau tanda kini tidak mampu lagi menghadirkan makna

sesuatu yang dimaksud secara serta-merta. Makna harus dicari dalam rangkaian tanda

yang lain yang mendahului tanda yang pertama. Sifat men-diferensiasi tidak cukup bagi

suatu tanda, realitas makna juga harus dicari dalam tanda-tanda lain yang mendahului dan

saling terkait (tissue of sign) yang mungkin hanya nampak jejak-jejaknya saja (traces).

pencarian ini membutuhkan waktu, karena itu pemahaman makna menjadi tertunda

menanti pengalaman dan konteks lain yang perlu diciptakan. Serial iklan A-mild ini

(20)

tidak dimunculkan tanda atau seri yang lain, akan sulit membaca makna dari tanda

tersebut. Jejak-jejak itulah yang membuat makna menjadi tertunda, karena orang akan

mengkaitkan satu versi dengan versi yang lain dan akan menafsirkan arti dari tanda atau

slogan tersebut.17

PARERGON

Dalam pemikiran Dekonstruksinya Derrida memperkenalkan konsep ‘parergon’,

dalam kasus ini Derrida mengambil contoh bingkai suatu lukisan. ‘Para’ berarti tepi,

ergon diartikan sebagai karya..18 Bingkai lukisan, menurut Derrida, lebih penting posisinya dibandingkan dengan lukisannya sendiri. Pembacaan teks (iklan A-mild)

dekonstruksi harus dilakukan secara teliti dan membuka cakrawala pemikiran yang

seluas-luasnya. Dalam desain iklan A-mild versi-versi ini, selalu terbaca adanya

garis-garis lurus seperti garis-garis-garis-garis di buku tulis. Dari konteks parergon, garis-garis lurus

sebagai latar sebuah desain terlihat menonjol; karena kehadirannya mampu memperkuat

tampilnya elemen ilustrasi yang lain. Dengan latar garis-garis yang lurus, teratur dan rapi

maka elemen yang berseberangan akan tampil secara nyata. Kehadiran garis lurus,

membuat ilustrasi yang acak-acakan, tidak lurus, tidak rapi menjadi lebih terbaca.

Demikian pula dengan saputan cat yang tidak rata, berlelehan, berlepotan serta semburan

cat (semacam teknik airbrush) yang tidak rajin, semakin mencatatlan kehadirannya ketika

disampingkan langsung dengan garis-garis rapi tersebut. Garis-garis mendatar ini juga

mengingatkan kembali keberadaan iklan A-mild yang selalu tampil dengan ciri tertentu

ini. Sehingga kehadiran garis-garis lurus tersebut menjadi penting ketika dia menjadi

bagian aktif dari jejak masa lalu. Disamping ilustrasi ‘bukan basa-basi’ dan logo

‘A-mild’, maka kehadiran garis-garis lurus adalah bagian dari citra A-mild secara

keseluruhan.19 Dengan demikian latar (garis-garis lurus) menjadi penting dalam desain iklan tersebut.

17

Jejak-jejak secara riel juga dihadirkan oleh A-mild sebagai suatu identifikasi adalah jejak-jejak khas A-mild yaitu ilustrasi ‘bukan basa-basi’, ‘logo A-mild’ dan ‘garis-garis lurus sebagai latar’. Ketiganya sebenarnya juga elemen penting sebagai suatu iklan tetapi justru ditampilkan secara sederhana, tidak rapi, asal-asalan bahkan kabur.

18

Benedikt (1991)

19

(21)

PARODI

Meskipun langkah serial dari iklan a-mild ini dapat dianalisa dan dibaca dengan

cermat (sifat teks dekonstruksi menurut Derrida adalah membaca dengan teliti teks-teks

yang ada), namun peluang untuk membuka interpretasi pada slogan-slogan yang

dihadirkan oleh iklan A-mild ini sangat besar. Dalam pendekatan kaitan penanda-petanda

(signifier-signified) postmodern, Baudrillard menyatakan bahwa petanda itu sudah mati;

demikian pula dengan iklan A-mild versi ini yang membuka interpretasi yang demikian

besar bagi mereka yang mengamati. Makna dalam sajian iklan A-mild tersebut tidak

memiliki ikatan-ikatan yang ideologis, stabil dan mapan, bahkan yang ditampilkan

cenderung untuk ironis (kontradiktif dan oposisional). Dalam beberapa versi ini

slogan-slogan tersebut memiliki unsur-unsur humor yang tinggi, yang terkadang absurd. Piliang

(1998:307) menguraikan tentang bahasa estetik postmodernisme. Salah satu bahasa

estetika tersebut adalah parodi, menurut Piliang parodi adalah sebuah komposisi dalam

karya sastra, seni atau arsitektur yang didalamnya kecenderungan pemikiran dan

ungkapan khas dalam diri seorang pengarang, seniman, arsitek atau gaya tertentu yang

di-imitasi sedemikian rupa untuk membuatnya humoristik atay absurd. Efek-efek kelucuan

atau absurditas biasanya dihasilkan dari distorsi atau plesetan ungkapan yang ada.

Meskipun parodi adalah suatu bentuk imitasi, akan tetapi imitasi yang ditandai oleh

kecenderungan ironik. Parodi adalah penggunaan kembali karya masa lalu yang dimuati

dengan ruang kritik, yang menekankan pada kritik, sindiran, kecaman, sebagai ungkapan

rasa tidak puas atau sekedar menggali rasa humor dari karya rujukan yang bersifat serius.

Pembacaan tanda pada iklan A-mild memang tidak sederhana, karena untuk memahami

makna tanda, kita harus menarik kembali atau menelusuri jejak-jejak tanda yang lain

seperti yang diamanatkan dekonstruksi. Pada serial versi iklan A-mild ini dihadirkan

slogan “Ringan Sama Dijinjing, Berat Elo Yang Pikul”,20 ungkapan ini menawarkan

sejenis pesaingnya) yang lebih rendah, A-mild mengusung slogan baru ‘Bukan Basa-Basi’ Muncul kemudian slogan baru ‘Other Can Only Follow’ dan tahun (2002) ini menggunakan banyak tagline untuk para remaja.

20

menurut majalah SWA no.20 30 September-9 Oktober 2002, iklan A-mild versi-versi ini menggambarkan perang sesungguhnya menghadapi musuh-musuh baru A-mild. Kutipan hasil wawancara SWA dengan Go Siang Chen, Direktur

(22)

distorsi sikap sosial manusia sekaligus mampu membuat orang tertawa karena ungkapan

ini telah diplesetkan dari ungkapan aslinya “Ringan Sama Dijinjing, Berat Sama

Dipikul”. Misi parodi ini jelas dapat dibaca sebagai kritik, sindiran kecaman atau bahkan

rasa tidak puas. Beberapa slogan yang dihadirkan pada serial versi ini tidak hanya dapat

dibaca sebagai plesetan, tetapi kalimat demi kalimat juga menghadirkan kesan

oposisional dan kontradiktif (Sahabat Setia Selalu Berbagi, Memang Pacar Dapat Dibagi)

atau kecaman (Kalau Dia Bilang Kaya, Coba Tanya Hasil Kerja Keras Siapa? ). Parodi

lain sangat menonjol muncul dalam versi ‘Kalau Cinta Itu Buta, Buat Apa Ada Bikini?’

SIMPULAN

Berdekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual (yang salah satunya adalah

desain iklan) bukanlah semata-mata menunjukan bahwa Desain Komunikasi Visual

adalah permainan elemen-elemen desain yang bersandar ada bentuk-bentuk standar,

nilai-nilai estetika yang baku saja, tetapi berdekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual

adalah ber- Desain Komunikasi Visual dengan menggunakan dekonstruksi sebagai

metoda atau strategi penanganan Desain Komunikasi Visual. Kehadiran dekonstruksi

dalam Desain Komunikasi Visual diarahkan agar Desain Komunikasi Visual dapat

memiliki makna yang lebih kaya; dapat menjadikan Desain Komunikasi Visual lebih

Siapa?). Go Siang Chen juga menterjemahkan salah satu versi yang lain sebagai : “Cepat Luncurkan Produk Baru Mild-mu, Gudang Garam Jangan ditunda-tunda” (Jangan Tunda Besok Apa Yang Bisa Dikerjakan Lusa.). Dalam interpretasi yang demikian terbuka di era postmodernisme, maka pembacaan makna oleh Go Siang Chen ini menjadi wajar dan mampu menjawab pandangan Rosalin Coward (dalam Piliang 1998:276), juga menurut Richard Hartland. Dalam dekonstruksi dikenal istilah diseminasi. Diseminasi adalah keadaan kehampaan makna disebabkan telah dibongkarnya petanda/logos. Dengan membongkar petanda –dan dengan demikian makna- maka lenyap pula fungsi komunikasi dari bahasa. Dalam ketiadaan petanda/logos maka bahasa berkembang lewat energi dan kreativitasnya sendiri (Hartland 1987 dalam Piliang 1998). Melalui diseminasi, bahasa menolak tanggungjawab sosialnya, yakni tangungjawab sebagai media penyampaian pesan dan makna-makna (ideologis, mitologis, spiritual). Dalam diseminasi sistim bahasa yang telah dibongkar atau didekonstruksi, berubah menjadi suatu penjelajahan anarkis melalui ungkapan bahasa. Bahasa menjadi sebentuk subversi dan parodi terhadap semua makna-makna yang dianggap mapan pada tingkat kontrol sosial yang biasa. Dekonstruksi telah mampu membongkar pandangan dominan dalam semiotika (tanda-makna-konsep) tak dapat memfungsikan bahasa sebagai satu wacana sosial, yaitu wacana komunikasi bermakna diantara subyek-subyek. Interpretasi Go Siang Chen menjadi wajar (dalam konteks dekonstruksi) yang membuka bebas sebuah interpretasi, penundaan makna (makna dapat dibaca dari makna-makna lain yang tertunda) juga menjadi kontekstual ketika dibaca dalam lingkaran subyek-subyek tertentu (orang-orang periklanan atau (orang-orang-(orang-orang yang terlibat dalam industri rokok atau menjadi berkembang dalam konteks keterikatan subyek-subyek tertentu). Tanda-tanda dekonstruksi disebut Hartland sebagai tanda anti sosial. Antisosial yang dimaksudkan oleh Hartland tidak sama dengan kecenderungan antisosial pada konteks seni modernisme, yang menjauhkan dirinya dari konvensi dan makna sosial yang ada sebelumnya, dalam rangka membangun konvensinya sendiri yang bersifat otonom. Menurut Piliang (1998) antisosial yang dimaksud adalah wacana seni dan kebudayaan tidak menolak konvensi dan makna-makna sosial serta ideologis, akan tetapi menyelusup ke dalam sistimnya dalam rangka mensubversi dan mendekonstruksinya.

(23)

komunikatif dan menawarkan makna-makna yang lebih beragam dan variatif. Dengan

mendekonstruksi diharapkan Desain Komunikasi Visual dapat memberi penghargaan atas

keberadaan dan kekuatan yang dimiliki unsur-unsur yang membentuk Desain Komunikasi

Visual. Dengan demikian, dengan ber-dekonstruksi kita belajar tentang kekayaan yang

dimiliki Desain Komunikasi Visual, dimana unusr-unsur terkecilnya sekalipun atau

elemen-elemen yang terpinggirkan dapat berpeluang untuk self-referensial dan sekaligus

menjadi unsur integral Desain Komunikasi Visual.

Iklan-iklan A-mild versi ini menunjukan pula kehadirannya yang keluar dari pakem

iklan yang selalu menekankan pada komunikasi-sosialnya. Tampilan iklan versi ini

menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat beragam dan kadang sulit dimengerti

apa maksud (pesan-pesan)-nya. Dengan dekonstruksi, bahasa memang menolak

tanggungjawabnya sebagai media penyampaian pesan dan makna-makna. Dengan

dekonstruksi, sistim bahasa telah dibongkar atau di-dekonstruksi, berubah menjadi suatu

penjelajahan anarkis melalui ungkapan bahasa. Bahasa menjadi sebentuk subversi dan

parodi terhadap semua makna-makna yang dianggap mapan pada tingkat kontrol sosial

yang biasa.

KEPUSTAKAAN

Benedikt, Michael, Deconstructing The Kimbell, New York, SITES Book, 1991

Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1990

Istanto, Freddy H., Rumah Tinggal Frank O. Gehry, Sebuah Tinjauan Dari Sudut Dekonstruksi, Makalah Isyu Rancangan Kiwari, Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Sepluluh Nopember Surabaya, 1997.

__________, ‘Iklan Dalam Wacana Postmodern, Studi Kasus Iklan Rokok A-mild”, NIRMANA, Jurnal Desain Komunikasi Visual UK Petra, volume satu nomor satu Januari 1999.

Noth, Winfried, Handbook of Semiotics’, Indiana University Press.1990.

(24)

Piliang, Jasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga Dan Matinya Modernisme, Penerbit Mizan, Bandung, 1998

__________, Jurnal Seni Rupa, Volume I/95, 1995

Setiawan, A.J, Konsep Derridean Dan Non-Derridean Dalam Dekonstruksi Arsitektur,

Seminar Dekonstruksi Arsitektur, Jurusan Arsitektur FTSP Universitas Kristen Petra Surabaya.

Sudjiman, Panuti & Aart Van Zoest ‘Serba-serbi Semiotika’, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.1992

Suharto, Christine, Elemen-elemen Dalam Desain Komunikasi Visual, NIRMANA Jurnal Ilmiah Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra. Volume 1 nomor 1 Januari 1999.

SWA, Majalah, ‘Perang Badar Produk Massal’, no.20, edisi 30 September-9 Oktober 2002

Tanudjaja, Bing Bedjo, ‘Bentuk-bentuk Kartunal Sebagai Medium Penyampaian Pesan Dalam Iklan’, NIRMANA Jurnal Desain Komunikasi Visual UK Petra, volume 4 nomor 2 Juli 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah membangun suatu tes diagnostik dalam bentuk tes pilihan ganda tiga tingkat yang dapat digunakan untuk mendeteksi kekuatan dan

ivalen pada struktur gedung tidak beraturan. Suatu cara analisis statik 3 dimensi linier dengan meninjau beban- beban gempa statik ekuivalen yang telah dijabarkan

Tahap validasi bertujuan untuk memastikan bahwa aplikasi Dolanan Gambang ini telah sesuai dengan tujuan awal yakni dapat memperkenalkan, memberikan informasi dan

Cimerak Tahun 2019 11 Keuangan Laporan Keuangan Semesteran Tersedianya Laporan Akhir Tahun Tersedianya laporan perencanaan program dan kegiatan SKPD Tersedianya

Bagi pemegang sijil sekolah-sekolah yang mendapat pengiktirafan tersebut, mereka boleh melanjutkan pelajaran di universiti tersebut dalam pelbagai fakulti pengajian

Rataan akurasi antara klasifikasi dengan menggunakan seleksi fitur dan tanpa menggunakan seleksi fitur (fullsets) untuk setiap nilai threshold yang berbeda dapat dilihat pada

Berdasarkan hasil observasi dari guru kelas V MI Sunniyyah dan observer, pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran snowball throwing pada siklus I pertemuan