• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. A. Latar Belakang"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB I

1 A. Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance) merupakan prasyarat untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa negara. Untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntabel, dikembangkan suatu sistem pertanggungjawaban penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN menyatakan akuntabilitas sebagai salah satu asas umum dalam penyelenggaraan negara. Azas akuntabilitas ini menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Laporan kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran. Penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja dan evaluasi serta pengungkapan secara memadai hasil analisis terhadap pengukuran kinerja. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Kesehatan merupakan tolok ukur keberhasilan dalam pelaksanaan program kebijakan dan pengembangan kesehatan masyarakat. Informasi yang diharapkan dari Laporan Kinerja adalah penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan secara efesien, efektif dan responsif terhadap masyarakat, sehingga menjadi masukan dan umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan serta dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi suatu lembaga. Laporan kinerja ini akan memberikan gambaran pencapaian kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali dalam satu tahun anggaran beserta dengan hasil capaian indikator kinerja dari masing-masing Program yang ada di lingkungan Satuan Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali (229000) di tahun 2019.

B. Maksud dan Tujuan

Penyusunan laporan kinerja Dinas Kesehatan provinsi Bali (229000) merupakan bentuk pertanggungjawaban kinerja pada tahun 2019 dalam mencapai target dan sasaran program seperti yang tertuang dalam rencana strategis, dan ditetapkan dalam dokumen penetapan kinerja Dinas Kesehatan provinsi Bali oleh pejabat yang bertanggungjawab.

(3)

BAB I

2 C. Visi, Misi dan Strategi Organisasi

 Visi yang hendak dicapai dalam periode Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2019-2023 adalah : ” Melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana”

 Untuk mewujudkan visi tersebut ditempuh melalui 22 (dua puluh dua) misi yaitu 1. Memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan dalam

jumlah dan kualitas yang memadai bagi kehidupan Krama Bali.

2. Mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan petani.

3. Mengembangkan pelayanan kesehatan masyarakat yang terjangkau,

merata, adil dan berkualitas serta didukung dengan pengembangan

sistem dan data base riwayat kesehatan Krama Bali berbasis kecamatan. 4. Memastikan tersedianya pelayanan pendidikan yang terjangkau, merata,

adil, dan berkualitas sertamelaksanakan wajib belajar 12 tahun.

5. Mengembangkan sistem pendidikan dasar dan pendidikan menengah berbasis keagamaan Hindu dalam bentuk Pasraman di Desa Pakraman/Desa Adat.

6. Mengembangkan sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi yaitu berkualitas dan berintegritas: bermutu, profesional dan bermoral serta memiliki jati diri yang kokoh yang dikembangkan berdasarkan nilai- nilai

kearifan lokal Krama Bali.

7. Mengembangkan sistem jaminan sosial secara konprehensif dan terintegrasi bagi kehidupan Krama Bali sejak rnulai kelahiran, tumbuh dan berkembang sampai akhir masa kehidupannya.

8. Menghasilkan tenaga kerja yang kompeten, produktif, berkualitas dan memiliki daya saing tinggi serta memperluas akses kesempatan kerja di dalam dan di luar negeri.

9. Mengembangkan sistem jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja yang komperhensif, mudah dijangkau, bermutu, dan terintegrasi bagi Krama Bali yang bekerja di dalam dan di luar negeri.

10. Memajukan kebudayaan Bali melalui peningkatan pelindungan, pembinaan, pengembangan dan pemanfaatan nilai-nilai adat, agama, tradisi, seni, dan budaya Krama Bali

11. Mengembangkan tata kehidupan Krama Bali secara sekala dan niskala berdasarkan nilai-nilai filsafat Sad Kertih yaitu Atma Kertih, Danu Kertih, Wana Kertih, Segara Kertih, Jana Kertih, dan Jagat Kertih

12. Memperkuat kedudukan, tugas dan fungsi Desa Pakraman/ Desa Adat dalam menyelengarakan kehidupan krama Bali yang meliputi Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.

13. Mengembangkan destinasi dan produk pariwisata baru berbasis budaya dan berpihak kepada rakyat yang terintegrasi antar kabupaten/kota se-Bali. 14. Meningkatkan promosi pariwisata Bali di dalam dan di luar negeri secara

bersinergi antar kabupaten/kota se- Bali dengan mengembangkan inovasi dan kreatifitas baru.

15. Meningkatkan standar kualitas pelayanan kepariwisataan secara konprehensif.

(4)

BAB I

3

16. Membangun dan mengembangkan pusat-pusat perekonomian baru sesuai dengan potensi kabupaten/kota diBali dengan memberdayakan sumber daya lokal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam arti luas.

17. Membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah berbasis budaya (branding Bali) untuk memperkuat perekonomian Krama Bali.

18. Meningkatkan pembangunan infrastruktur (darat, laut dan udara) secara terintegrasi serta konektivitas antar wilayah untuk mendukung pembangunan perekonomian serta akses dan mutu pelayanan publik di Bali.

19. Mengembangkan sistem keamanan terpadu yang ditopang dengan sumber daya manusia serta sarana prasarana yang memadai untuk menjaga keamanan daerah dan Krama Bali serta kearnanan para wisatawan.

20. Mewujudkan kehidupan Krama Bali yang demokratis dan berkeadilan dengan memperkuat budaya hukum, budaya politik dan kesetaraan gender dengan memperhatikan nilai-nilai budaya Bali.

21. Mengembangkan tata kehidupan Krama Bali, menata wilayah, dan lingkungan yang, hijau, indah, dan bersih.

22. Mengembangkan sistem tata kelola pemerintahan daerah yang efektif efisien, terbuka, transparan, akuntabel dan bersih serta meningkatkan pelayan publik terpadu yang cepat, pasti dan murah

 Sasaran

Sasaran Dinas Kesehatan Provinsi Bali, adalah meningkatnya ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh masyarakat.

 Indikator Kinerja

Indikator kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali satker 229000 yaitu : terdapat 28 indikator dari 6 program/kegiatan yang ada

D. Tugas Pokok dan Fungsi

Mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2016, tentang “Pembentukan Susunan Perangkat Daerah” dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 103 Tahun 2016, menyebutkan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi Bali merupakan unsur pelaksana pemerintahan Bidang Kesehatan dipimpin kepala Dinas, berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dinas Kesehatan memiliki tugas membantu Gubernur melaksanakan urusan pemerintahan bidang kesehatan yang menjadi kewenangan daerah, serta melaksanakan tugas

(5)

BAB I

4

dekonsentrasi sampai dengan dibentuk Sekretariat Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dan melaksanakan tugas pembantuan sesuai bidang tugasnya (Pasal 5 Bab III Peraturan Gubernur 103 Tahun 2016).

Dinas Kesehatan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada pasal 6 Bab IV Peraturan Gubernur Nomor 10Tahun 2016, menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan; 2. Pelaksanaan evalusasi dan pelaporan di bidang kesehatan masyarakat,

pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan;

3. Pelaksanaan administrasi dinas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan

4. Pelaksanaan fungsi lain yang di berikan oleh Gubernur terkait dengan bidang kesehatan.

Susunan organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Bali, sesuai pasal 3 Bab II Bagian Kedua Pergub Nomor 103 Tahun 2016 adalah sebagai berikut :

a. Sekretariat; b. Bidang; c. Sub Bagian; d. Seksi;

e. Kelompok Jabatan Fungsional; dan f. UPT.

Salah satu bidang yang ada pada Dinas Kesehatan Provinsi Bali adalah Bidang Kesehatan Masyarakat (229000). Bidang ini memperoleh Dana Dekonsentrasi (APBN) yang pelaporannya ke direktorat Kesehatan Masyarakat Kementrian Kesehatan RI. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dijalankan oleh :

a. Seksi Kesehatan Keluarga Dan Gizi

b. Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olahraga; c. Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. .

E. Potensi dan Permasalahan

Potensi dan permasalahan pembangunan kesehatan akan menjadi input dalam menentukan arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan.

Angka Kematian Ibu diukur melalui jumlah kematian ibu dibagi dengan jumlah kelahiran hidup kemudian hasilnya dibagi dengan 100.000 Kelahiran Hidup. Kematian

(6)

BAB I

5

Ibu merupakan kematian ibu pada masa kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh faktor obstetrik dan non obstetrik. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) serta Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan indikator pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2015-2019 dan Sustainable Development Goals (SDGs). Menurut data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), Indonesia sudah mengalami penurunan Angka Kematian Ibu pada periode tahun 1994-2012 yaitu pada tahun 1994 sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 1997 sebesar 334 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2002 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup namun AKI pada tahun 2012 meningkat kembali menjadi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk Angka Kematian Bayi dapat dikatakan mengalami penurunan on the track (terus menurun) dan pada SDKI 2012 menunjukkan angka 32 per 1.000 kelahiran hidup. Dan pada tahun 2015, berdasarkan data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 baik AKI maupun AKB menunjukan penurunan dimana AKI menjadi 305/100.000 KH dan AKB 22,23 / 1000 KH.

Untuk Provinsi Bali, jumlah kematian ibu pada tahun 2017 mencapai 45 kematian dengan jumlah kelahiran hidup sebesar 63.513 kelahiran hidup (68,64/100.000 KH). Tahun 2018, jumlah kematian ibu secara absolut di Provinsi Bali sebesar 35 kasus, sedangkan di tahun 2019 kematian ibu di provinsi Bali mengalami peningkatan sebanyak 45 kasus. Bila dibandingkan dengan target, AKI di Provinsi Bali pada Tahun 2017 telah mencapai target, bahkan Angka Kematian Ibu lebih kecil dari target yang ditentukan yaitu 95/100.000 KH. Bila dibandingkan dengan tahun 2016 terjadi penurunan jumlah kasus kematian ibu, dimana tahun 2016 mencapai 50 Kematian sedangkan di tahun 2017 mencapai 45 Kematian. Sehingga dari sisi indikator, Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Bali sebagai bagian didalam upaya penurunan AKI dan AKB juga menunjukan keberhasilan tetapi pencapaian ini juga masih memberikan gap bila dibandingkan dengan seluruh sasaran penduduk. Upaya yang terus dilakukan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu antara lain dengan meningkatkan akses untuk kesehatan ibu dan calon ibu.Hal ini juga sangat didukung terhadap pelayanan ibu hamil saat K1 dan K4. Dan sangatlah penting bidan-bidan didesa mengetahui berapa terdapat ibu hamil di wilayah kerjanya dan sudahkah terakses pelayanan kesehatan.

Indikator persentase balita malnutrisi (gizi buruk) dan gizi kurang memberikan gambaran tentang keadaan gizi balita. Balita gizi kurang merupakan balita yang memiliki berat badan kurang -2 SD menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U). Kondisi ini diharapkan untuk segera dapat diatasi dalam rangka mewujudkan pondasi sumber daya manusia yang berkualitas. Balita yang mengalami gizi kurang berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 lebih rendah (0,4 %) dibandingkan dengan

(7)

BAB I

6

tahun 2016 sebesar 8,6 %. Indikator persentase bumil KEK menggambarkan risiko yang akan dialami ibu hamil dan bayinya dalam masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi masalah kekurangan gizi, masalah kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus kita tangani dengan serius. Selain itu kita dihadapi dengan masalah stunting. Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan. Seribu hari pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis yang menentukan masa depannya, dan pada periode itu anak Indonesia menghadapi gangguan pertumbuhan yang serius. Yang menjadi masalah, lewat dari 1000 hari, dampak buruk kekurangan gizi sangat sulit diobati. Untuk mengatasi stunting, masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak balita. Secara aktif turut serta dalam komitmen global (SUN-Scalling Up Nutrition dalam menurunkan stunting, maka Indonesia fokus kepada 1000 hari pertama kehidupan (terhitung sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun) dalam menyelesaikan masalah stunting secara terintegrasi karena masalah gizi tidak hanya dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan saja (intervensi spesifik) tetapi juga oleh sektor di luar kesehatan (intervensi sensitif). Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.

Pelaksanaan UKS harus diwajibkan di setiap sekolah dan madrasah mulai dari TK/RA sam pai SMA/ SMK/MA, m engingat UKS m erupakan wadah untuk mempromosikan masalah kesehatan. Wadah ini menjadi penting dan strategis, karena pelaksanaan program melalui UKS jauh lebih efektif dan efisien serta berdaya ungkit lebih besar. UKS harus menjadi upaya kesehatan wajib Puskesmas. Peningkatan kuantitas dan kualitas Puskesmas melaksanakan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang menjangkau remaja di sekolah dan di luar sekolah. Prioritas program UKS adalah perbaikan gizi usia sekolah, kesehatan reproduksi dan deteksi dini penyakit tidak menular.

(8)

BAB I

7 F. Sistematika

Sistematika penulisan laporan kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali adalah sebagai berikut :

 Ringkasan Eksekutif  Kata Pengantar  Daftar Isi

 BAB I

Penjelasan umum, penjelasan aspek strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issued) yang sedang dihadapi.

 BAB II

Menjelaskan uraian ringkasan/ ikhtisar perjanjian kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2019.

 BAB III

Penyajian capaian kinerja untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis sesuai dengan hasil pengukuran kinerja, dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut: Membandingkan antara target dan realisasi kinerja tahun 2019; Analisis penyebab keberhasilan/kegagalan atau peningkatan/penurunan kinerja serta alternatif solusi yang telah dilakukan; dan melakukan analisa realisasi anggaran.

 BAB IV

Penutup, Pada bab ini diuraikan simpulan umum atas capaian kinerja serta langkah di masa mendatang yang akan dilakukan untuk meningkatkan kinerjanya.

 LAMPIR AN

(9)

8

A. Perjanjian Kinerja

Perjanjian kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali satker 229000 telah ditetapkan dalam dokumen penetapan kinerja yang merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan target kinerja tertentu dengan didukung sumber daya yang tersedia.

Indikator dan target kinerja yang telah ditetapkan menjadi kesepakatan yang mengikat untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sebagai upaya mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat Indonesia. Perjanjian penetapan kinerja tahun 2019 yang telah ditandatangani bersama oleh kepala Dinas kesehatan Provinsi Bali dan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat berisi Indikator, antara lain:

B. Indikator Kinerja Program Kesehatan Masyarakat

Indikator kinerja program Kesehatan Masyarakat terdiri dari 6 program yang masing-masing mempunyai indikator yang dianggap dapat merefleksikan kinerja program, yang meliputi:

1) Program Pembinaan Gizi Masyarakat

a) Persentase Ibu Hamil KEK yang mendapat makanan Tambahan b) Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) c) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat asi

Esklusif

d) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) e) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan

f) Persentase remaja putri yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)

2) Program Pembinaan Kesehatan Keluarga

a) Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)

b) Persentase Ibu Hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal ke empat (K4)

c) Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 1

(10)

9 d) Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan

untuk peserta didik kelas 7 dan 10

e) Persentasi puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja

f) Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil g) Persentase Puskesmas yang melakukan Orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) 3) Program pembinaan upaya kesehatan kerja dan olahraga

a) Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan Kerja Dasar

b) Jumlah Pos UKK yang terbentuk di daerah PPI/TPI

c) Persentase fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi standar

d) Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya

4) Penyehatan Lingkungan

a) Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan STBM b) Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan c) Persentase Tempat-tempat Umum (TTU) yang memenuhi syarat

kesehatan

d) Persentase RS yang melakukan pegelolaan Limbah Medis sesuai standar

e) Persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan

f) Jumlah kabupaten/kota yang menyelenggarakan tatanan kawasan sehat

5) Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

a) Persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS b) Persentase desa yang memanfaatkan dana desa untuk UKBM c) Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSRnya untuk program

kesehatan

d) Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya untuk mendukung kesehatan

(11)

10 6) Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada

Program Pembinaan Kesehatan Masyarakat

a) Persentase realisasi kegiatan administrasi dukungan managemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya program pembinaan

kesehatan masyarakat

Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Upaya perbaikan status gizi masyarakat akan memberikan kontribusi nyata bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional terutama dalam hal penurunan prevalensi gizi kurang pada balita dan anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) serta Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Pemberian suplementasi gizi merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mencukupi kekurangan kebutuhan gizi dari konsumsi makan harian yang berakibat pada timbulnya masalah kesehatan dan gizi pada kelompok rawan gizi. Salah satu program suplementasi yang saat ini dilaksanakan oleh pemerintah yaitu Pemberian Makanan Tambahan pada balita, anak SD/MI dan ibu hamil.

Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12 gr% (Winkjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar <10,5 gr% pada trimester II (Saifuddin, 2002). Anemia dalam kehamilan yang disebabkan karena kekurangan zat besi, jenis pengobatannya relatif mudah, bahkan murah. Yang sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi

serum (Serum Iron = SI) dan transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron

Binding Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta di tempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali. Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi merupakan penyempurnaan sekaligus pengganti dari Kepmenkes Nomor 224/Menkes/SK/II/2007 Tentang Spesifikasi Teknis Makanan Pendamping

(12)

11 Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Kepmenkes Nomor 899/Menkes/SK/X/2009 Tentang Spesifikasi Teknis Makanan Tambahan Anak Balita 2-5 Tahun, Anak Usia Sekolah Dasar dan Ibu Hamil, disesuaikan dengan perkembangan hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan zat gizi pada tiap sasaran berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 serta perbaikan tampilan produk Makanan Tambahan (MT) telah pula dilakukan perubahan terhadap bentuk kemasan menyesuaikan dengan aturan pemberian.

Penilaian terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita pada KMS dapat digunakan untuk menentukan status Gizi dengan indikator BB/U yang sifatnya untuk mendeteksi awal terhadap permasalahan gizi balita

Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) menggambarkan

keberlangsungan neonatal pada 6 jam sampai dengan 48 jam. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi atau skreening diawal kehidupan bayi.

Untuk indikator kinerja pada program promosi kesehatan menggambarkan bagaimana gerakan masyarakat hidup sehat merupakan salah satu upaya menggerakkan dan memberdayakan masyarakat agar senantiasa melakukan pola hidup sehat. Demikian juga untuk pemanfaatan dana desa yang dapat menggunakan dana tersebut untuk kemajuan dan perkembangan UKMB

(13)

12

A. Capaian Kinerja Organisasi

Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan

instrumen baru, pemerintahan yang baik (good governance) untuk memastikan bahwa

manajemen berjalan dengan baik. Selain itu, budaya organisasi turut mempengaruhi penerapan pemerintahan yang baik di Indonesia. Pengukuran kinerja dalam penyusunan laporan akuntabilitas kinerja dilakukan dengan cara membandingkan target kinerja sebagaimana telah ditetapkan dalam penetapan kinerja pada awal tahun anggaran dengan realisasi kinerja yang telah dicapai pada akhir tahun anggaran.

Laporan kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran. Hal terpenting yang diperlukan dalam penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja

dan evaluasi serta pengungkapan (disclosure) secara memadai hasil analisis terhadap

pengukuran kinerja

1. Indikator Kinerja Program Gizi

a) Persentase Ibu Hamil KEK yang mendapatkan pemberian makanan Tambahan

Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Upaya perbaikan status gizi masyarakat akan memberikan kontribusi nyata bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional terutama dalam hal penurunan prevalensi gizi kurang pada balita dan anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) serta Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Kegiatan pembinaan gizi masyarakat yang akan dicapai dalam rangka pencapaian sasaran RPJMN 2015-2019, telah menetapkan 6 sasaran dan indikator kinerja yaitu : 1) Persentase ibu hamil KEK yang mendapat makanan tambahan, 2) Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) 90 tablet selama masa kehamilan, 3) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif, 4) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD), 5) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan, 6) Persentase remaja puteri yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD).

(14)

13 Pemberian suplementasi gizi merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mencukupi kekurangan kebutuhan gizi dari konsumsi makan harian yang berakibat pada timbulnya masalah kesehatan dan gizi pada kelompok rawan gizi. Salah satu program suplementasi yang saat ini dilaksanakan oleh pemerintah yaitu Pemberian Makanan Tambahan pada balita, anak SD/MI dan ibu hamil.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi merupakan penyempurnaan sekaligus pengganti dari Kepmenkes Nomor 224/Menkes/SK/II/2007 Tentang Spesifikasi Teknis Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Kepmenkes Nomor 899/Menkes/SK/X/2009 Tentang Spesifikasi Teknis Makanan Tambahan Anak Balita 2-5 Tahun, Anak Usia Sekolah Dasar dan Ibu Hamil, disesuaikan dengan perkembangan hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan zat gizi pada tiap sasaran berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 serta perbaikan tampilan produk Makanan Tambahan (MT) telah pula dilakukan perubahan terhadap bentuk kemasan menyesuaikan dengan aturan pemberian. Pemberian Makanan Tambahan diberikan ke[ada sasaran utama yaitu Ibu hamil KEK (LilA , 23,5 cm) serta balita Kurus (BB/TB<-2SD) selama 3 bulan (90 hari Makan). ibu hamil KEK maupun balita Kurus, maka PMT dapat diberikan kepada seluruh sasaran (ibu hamil dan balita) maksimal selama 1 bulan sebagai PMT penyuluhan. , namun jika di wilayah tersebut tidak terdapat sasaran Pemberian Makanan Tambahan pada Balita Kurus dan Ibu Hamil KEK sudah dilakukan mulai tahun 2016. PMT tersebut di droping dari pusat ke provinsi, selanjutnya langsung di kirim ke puskesmas secara proporsional. Untuk tahun 2018, barang sudah didistribusikan pada Bulan Maret.

Pada kelompok ibu hamil baik di pedesaan maupun perkotaan lebih dari separuhnya mengalami defisit asupan energi dan protein. Berdasarkan hal tersebut pemberian makanan tambahan yang berfokus baik pada zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita dan ibu hamil sangat diperlukan dalam rangka pencegahan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan balita pendek (stunting).

(15)

TABEL.1 PERSENTASE IBU HAMIL KEK MENDAPAT PMT 1 JEMBRANA 2 TABANAN 3 BADUNG 4 GIANYAR 5 KLUNGKUNG 6 BANGLI 7 KARANGASEM 8 BULELENG 9 DENPASAR B A L I NO KAB/KOTA Berdasarkan grafik Kronis (KEK) yang Selama 3 bulan.

Faktor pendukung : 1. Kerjasama dan k 2. Peran serta mas

97.5 98.0 98.5 99.0 99.5 100.0 98.6

GRAFIK PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN

PERSENTASE IBU HAMIL KEK MENDAPAT PMT

JEMBRANA 276 272 TABANAN 488 488 BADUNG 677 677 GIANYAR 413 413 KLUNGKUNG 232 232 185 185 KARANGASEM 444 444 BULELENG 1282 1282 DENPASAR 707 707 4704 4700 KAB/KOTA

PMT IBU HAMIL KEK

Jumlah Ibu Hamil KEK Jumlah bumil KEK dapat MT % bumil KEK dapat GRAFIK.1

diatas, terlihat bahwa masih ada ibu hamil Ku ang ada sudah mendapat Makanan Tambahan

koordinasi lintas program yang baik asyarakat

100 100 100 100 100 100 100 100 99.9

GRAFIK PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN

IBU HAMIL KEK

14 98,6 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 99,9 % bumil KEK dapat MT urang Energi bahan Pemulihan 99.9

(16)

15 3. Tersedianya makanan tambahan sesuai kebutuhan

Faktor penghambat : 1. Geografis

2. Sarana transportasi

Upaya mengatasi :

1. Melakukan kegiatan surveilans gizi

2. Adanya kunjungan dokter spesialis kandungan dan kebidanan ke puskesmas

b) Persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD)

Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan

kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi

ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40% kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi.Oleh karena itu, pemerintah memberikan tablet tambah darah pada seluruh ibu hamil minimal 90 tablet selama kehamilan.

Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) merupakan satu intervensi untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu selama proses kehamilan. Sebaiknya ibu hamil mulai mengonsumsi TTD sejak konsepsi sampai akhir trimester III. Indikator ini sebagai evaluasi kinerja apakah TTD sudah diberikan kepada seluruh sasaran. Definisi Operasional

1) TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi

setara dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan oleh pemerintah maupun diperoleh sendiri.

2) Ibu hamil mendapat 90 TTD adalah jumlah ibu hamil usia kehamilan

akhir trimester III yang selama kehamilan mendapat minimal 90 TTD terhadap jumlah sasaran ibu hamil usia kehamilan akhir trimester III dikali 100%

(17)

16

TABEL 2. CAKUPAN IBU HAMIL MENDAPAT TABLET TAMBAH DARAH 90 TABLET 1 JEMBRANA 4348 4250 97,7 2 TABANAN 5710 5310 93,0 3 BADUNG 11502 11152 97,0 4 GIANYAR 7775 6761 87,0 5 KLUNGKUNG 2734 2805 102,6 6 BANGLI 3686 3319 90,0 7 KARANGASEM 6978 6865 98,4 8 BULELENG 11013 10365 94,1 9 DENPASAR 17187 17135 99,7 70933 67962 95,8 % bumil dapat TTD min 90 tablet NO KAB/KOTA B A L I Ibu Hamil Bumil dapat TTD min 90 tablet Grafik 2

GRAFIK CAKUPAN IBU HAMIL MENDAPAT 90TABLET TAMBAH DARAH TAHUN 2019

Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa cakupan pemberian tablet tambah darah 90 tablet pada ibu hamil di tingkat provinsi sudah mencapai 95,4% dan terendah terdapat di Kabupaten Gianyar (87,0%)

97.7 93.0 97.0 87.0 102.6 90.0 98.4 94.1 99.7 95.8 75.0 80.0 85.0 90.0 95.0 100.0 105.0

GRAFIK IBUU HAMIL MENDAPAT 90 TABLET

TAMBAH DARAH

(18)

17 Faktor pendukung :

1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik 2. Peran serta masyarakat

3. Tersedianya tablet tambah darah

Faktor penghambat : 1. Geografis

2. Sarana transportasi

3. Kurangnya tingkat pegetahuan ibu tentang pentingnya mengkonsumsi tablet tambah darah

Upaya mengatasi masalah :

1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil

c) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI Esklusif

ASI eksklusif adalah intervensi yang paling efektif untuk mencegah kematian anak. Hanya sepertiga penduduk Indonesia secara eksklusif menyusui anak-anak mereka pada enam bulan pertama. Ada banyak hambatan untuk menyusui di Indonesia, termasuk anggota keluarga dan dokter yang tidak mendukung. Beberapa ibu juga takut menyusui akan menyakitkan dan tidak praktis, tapi salah satu kendala terbesar adalah kesalahpahaman dari istilah 'eksklusif'.

Anak-anak yang diberi diberi ASI eksklusif 14 kali lebih kecil kemungkinannya untuk meninggal dalam enam bulan pertama dari pada anak yang tidak disusui. ASI juga dapat mengurangi kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut dan diare (Lancet, 2008). WHO merekomendasikan ibu diseluruh dunia untuk menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal. selanjutnya, mereka harus memberi makanan pendamping yang bergizi dan terus menyusui hingga bayi berusia dua tahun atau lebih.

Definisi Operasional

1) Bayi umur 6 bulan adalah seluruh bayi yang mencapai umur 5 bulan 29 hari

2) Bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulanadalah bayi sampai umur 6 bulan yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain kecuali obat, vitamin dan mineral sejak lahir

(19)

18 3) Persentase bayi umur 6 bulan mendapat ASI Eksklusif adalah jumlah

bayi mencapai umur 5 bulan 29 hari mendapat ASI Eksklusif 6 bulan terhadap jumlah seluruh bayi mencapai umur 5 bulan 29 hari dikali 100%

PERSENTASE BAYI UMUR KURANG 6 BULAN MENDAPAT ASI EKSKLUSIF

1 JEMBRANA 1736 1483 85,4 2 TABANAN 5482 3713 67,7 3 BADUNG 5135 3628 70,7 4 GIANYAR 5776 4485 77,6 5 KLUNGKUNG 2633 1896 72,0 6 BANGLI 3164 2809 88,8 7 KARANGASEM 3265 2526 77,4 8 BULELENG 4110 2894 70,4 9 DENPASAR 2501 1500 60,0 33802 24934 73,8 PERSENTASE ASI EKSKLUSIF B A L I NO KAB/KOTA Jumlah Bayi lahir hidup Jumlah bayi <6 bulan dapat ASI Ekslusif Tabel 3 Grafik 3 85.4 67.7 70.7 77.6 72.0 88.8 77.4 70.4 60.0 73.8 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0

GRAFIK BAYI <6 BULAN MENDAPAT ASI

EKSKLUSIF

(20)

19 Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa cakupan ASI Eksklusif pada bayi umur 6 bulan di Provinsi Bali sebesar 73,8%, sedang cakupan terendah terdapat di Kota Denpasar yakni 60%.

Faktor pendukung :

1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik 2. Kemauan ibu dalam memberikan ASI eksklusif

3. Dukungan keluarga dalam mendukung pemberian ASI eksklusif

Faktor penghambat :

1. Gencarnya promosi susu formula 2. Kurangnya pengetahuan ibu

Upaya mengatasi masalah :

1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil dan keluarga

d) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

IMD atau Inisiasi Menyusui Dini merupakan langkah yang harus segera dilakukan setelah bayi lahir dengan cara meletakkan bayi di atas perut (rahim) sang ibu. Proses ini akan membuat bayi mencari puting ibu secara alamiah dengan upayanya sendiri, untuk merangsang keluarnya ASI pertama kali.

IMD sangat erat kaitannya dengan kemampuan ibu untuk menghasilkan ASI sebagai sumber nutrisi si kecil.ASI yang keluar karena IMD memberikan segala macam nutrisi yang dibutuhkan bayi di awal kehidupan terutama untuk pembentukan sel-sel otak. Bayi yang mendapatkan cukup ASI akan tumbuh

menjadi anak hebat yang memiliki kemampuan IQ dan

EQ. Kemampuan IQ (intelegensi) misalnya kemampuan berhitung, berbahasa

dan mempunyai memori kuat. Sedangkan, kemampuan EQ

(emosional) seperti memiliki rasa peduli terhadap sekitarnya, cepat

tanggap pada informasi baru juga mudah bersosialisasi.

Inisiasi Menyusu Dini dilaksanakan dengan tahapan, setelah bayi lahir dan dipotong tali pusatnya, dengan tidak menghilangkan vernik (lender) pada tubuh bayi kecuali di bagian wajah, bayi ditengkurapkan di perut ibu. Selanjutnya dibutuhkan waktu paling cepat 1 jam hingga bayi menenukan putting susu ibunya.

(21)

20 Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam waktu 1 jam setelah kelahiran, melindungi bayi yang baru lahir dari tertular infeksi dan mengurangi angka kematian bayi baru lahir. IMD merupakan salah satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan pada ibu hamil.

Definisi Operasional

1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD)adalah proses menyusu dimulai segera

setelah lahir. IMD dilakukan dengan cara kontak kulit ke kulit antara bayi dengan ibunya segera setelah lahir dan berlangsung minimal 1 (satu) jam

2) Persentase bayi baru lahir yang mendapat IMDadalah jumlah bayi

baru lahir hidup yang mendapat IMD terhadap jumlah bayi baru lahir hidup dikali 100%

PERSENTASE BAYI BARU LAHIR MENDAPAT INISIASI MENYUSU DINI

JUMLAH % 4 5 6 1 JEMBRANA 3.954 2.338 59,1 2 TABANAN 5.752 2.551 44,3 3 BADUNG 10.560 7.087 67,1 4 GIANYAR 6.593 2.910 44,1 5 KLUNGKUNG 2.665 1.433 53,8 6 BANGLI 3.262 1.848 56,7 7 KARANGASEM 6.878 4.680 68,0 8 BULELENG 9.338 5.661 60,6 9 DENPASAR 16.538 8.819 53,3 65.540 37.327 57,0 NO KAB/KOTA B A L I

BAYI BARU LAHIR

JUMLAH MENDAPAT IMD

(22)

21 Grafik.4

GRAFIK BAYI BARU LAHIR MENDAPAT INISIASI MENYUSU DINI

Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa cakupan bayi mendapat Inisiasi Menyusu Dini sudah mencapai dicapai target yang ditetapkan yaki 50%. Namun demikian, masih ada beberapa kabupaten/kota dengan capaian dibawah target yakni Kabupaten Tabanan, dan Gianyar dengan capaian terendah.

Faktor pendukung :

1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik 2. Pengetahuan ibu hamil

Faktor penghambat :

1. Kurangnya informasi tentang IMD kepada masyarakat 2. Kurangnya pengetahuan ibu

Upaya mengatasi masalah :

1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil dan keluarga saat pemeriksaan kehamilan

2. Meningkatkan penyuluhan dan pendampingan ibu hamil melalui kader dan mahasiswa

3. Melakukan sosialisasi pada tenaga pelayanan kesehatan untuk melakukan IMD sesuai standar yang ditetapkan

59.1 44.3 67.1 44.1 53.8 56.7 68.0 60.6 53.3 57.0 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0

(23)

22

e) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan

Gambaran prevalensi status gizi Balita diperoleh dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menjadi salah satu dasar untuk menetapkan kebijakan berbasis bukti hanya dilakukan 3-5 tahun sekali. Hasil yang berhasil dipotret adalah

prevalensi gizi kurang/kekurangan gizi (underweight) pada anak usia di bawah lima

tahun (Balita) serta prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) pada anak

usia di bawah dua tahun (Baduta).

Untuk mengawal upaya perbaikan gizi masyarakat sejak tahun 2014 telah dilaksanakan surveilans gizi berupa Pemantauan Status Gizi (PSG) pada 34 provinsi, sebagai alat untuk monitoring dan evaluasi kegiatan dan dasar penentuan kebijakan dan perencanaan kegiatan berbasis bukti yang spesifik wilayah. PSG sebagai upaya monitoring dan evaluasi keberhasilan progam perbaikan gizi guna memberikan petunjuk apakah program yang dijalankan sudah berdampak pada penurunan masalah gizi seperti yang diharapkan yaitu menurunkan

prevalensi stunting, underweight dan wasting. Oleh karena itu, PSG perlu

dijalankan setiap tahun.

Pada 2014, PSG diselenggarakan di 134 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, sementara PSG 2015 dilaksanakan di 496 Kabupaten dan Kota di 34 Provinsi. Pada 2016, PSG berhasil ditingkatkan lagi cakupannya, berhasil dilaksanakan di 514 kabupaten dan kota di 34 Provinsi.

PSG menyediakan data dan informasi status gizi Balita, remaja, dewasa, WUS, ibu hamil dan nifas serta konsumsi Ibu hamil secara cepat, akurat, teratur, dan berkelanjutan untuk penyusunan perencanaan dan perumusan kebijakan program gizi.

Secara singkat, berikut adalah beberapa data yang terdapat di dalam Hasil PSG

2017 tersebut, antara lain: Informasi mengenai status gizi pada

anak Balita

1. Balita yang memiliki tinggi badan dan berat badan ideal (TB/U normal dan BB/TB normal) jumlahnya 61,1%. Masih ada 38,9% Balita di Indonesia yang masing mengalami masalah gizi, terutama Balita dengan tinggi badan dan berat badan (pendek – normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan mengalami kegemukan.

2. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada Balita, terdapat 3,4% Balita dengan gizi buruk dan 14,4% gizi kurang. Masalah gizi buruk-kurang pada Balita di Indonesia merupakan masalah

(24)

23 kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori sedang

(Indikator WHO diketahui masalah gizi buruk-kurang sebesar 17,8%).

3. Prevalensi Balita pendek cenderung tinggi, dimana terdapat 8,5% Balita sangat pendek dan 19,0% Balita pendek. Masalah Balita pendek di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat masuk dalam kategori masalah kronis (berdasarkan WHO masalah Balita pendek sebesar 27,5%).

4. Prevalensi Balita kurus cukup tinggi dimana terdapat 3,1% balita yang sangat kurus dan 8,0% Balita yang kurus. Masalah Balita kurus di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori akut (berdasarkan WHO diketahui masalah Balita kurus sebesar 11,1%.

Tabel 5 Hasil PSG. Hasil PSG di Provinsi Bali

NO KABUPATEN/

KOTA

PREVALEN SI

BURUK/KURANG KURUS/WASTED PENDEK/STUNTED

Masalah Gizi 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 1 JEMBRANA 11,8 13,0 12,8 5,4 6,8 12,9 25,5 23,1 25,2 Akut+Kronis 2 TABANAN 9,0 5,9 7,7 2,8 5,0 6 19,0 15,8 16,2 Akut 3 BADUNG 4,7 2,6 7,4 5,6 4,3 7,8 13,6 11,5 14,8 Akut 4 GIANYAR 7,9 6,0 7,7 7,4 4,7 5,5 15,8 13,6 22,5 Akut+Kronis 5 KLUNGKUNG 8,0 12,2 5,2 5,5 8,9 3,9 13,1 20,3 16,3 - 6 BANGLI 10,1 11,9 10,2 6,2 6,0 4,3 28,6 25,7 28,4 Akut+kronis 7 KARANGASEM 9,4 14,4 13,5 6,8 5,7 5,2 27,5 26,1 23,6 Akut+Kronis 8 BULELENG 12,2 8,8 14,4 7,0 3,8 8,9 25,3 24,2 29,0 Akut+Kronis 9 DENPASAR 8,2 7,4 3,5 6,1 5,5 3,8 18,4 16,1 9,5 - BALI 9,0 9,1 8,6 5,9 5,5 6,3 20,7 19,7 19,1 Akut

(25)

24 Indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U) memberikan indikasi masalah gizi secara umum karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Berat badan menurut umur rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau menderita atau menderita penyakit infeksi (masalah gizi akut).

Berdasarkan data diatas terlihat bahwa prevalensi balita gizi kurang (BB/U<-2SD) menunjukkan terjadi peningkatan sebesar 0,1% dari tahun 2015 ke 2016, sedangkan pada tahun 2017 menurun sebesar 0,5%. Jika dilihat prevalensi per kabupaten/kota menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang cukup tajam di kabupaten Badung serta Buleleng; penurunan yang cukup drastic juga ditunjukkan di Kabupaten Klungkung dan Kota Denpasar.

Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makanan (kelaparan) yang menyebabkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dapat juga digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada resiko berbagai penyakit degenerative pada saat dewasa (Teori Barker).

Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah indikator sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Prevalensi balita sangat kurus secara nasional berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, 2010 dan 2013 berturut-turut adalah 6,2%; 6,0% dan 3,4%.

Dalam diskusi selanjutnya digunakan masalah kurus untuk gabungan kategori sangat kurus dan kurus. Besarnya masalah kurus pada balita yang masih merupakan masalah

kesehatan masyarakat (public health problem) adalah jika prevalensi kurus > 5%.

Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,1% - 15,0%, dan dianggap kritis bila prevalensi kurus sudah di atas 15,0% (UNHCR).

Berdasarkan data diatas terlihat, bahwa prevalensi balita kurus pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 0,4% dan meningkat sebesar 0,8% bila dibandingkan tahun 2016 dan tahun 2017. Kondisi ini menunjukkan bahwa prevalensi Balita kurus sudah tergolong masalah kesehatan.

Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan

(26)

25 yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.

Gambar diatas menunjukkan bahwa prevalensi balita pendek (sangat pendek + pendek) di Provinsi Bali masih baik, walaupun tahun 2015 sebesar 20,6% yang tergolong masalah ringan (20 – 30%) dan tahun 2016 sebesar 19,7% tergolong baik (<20%) (Batasan Masalah Kesehatan Masyarakat Indikator Gizi Menurut WHO), demikian juga dengan prevalensi tahun 2017 sebesar 19%.

Suatu wilayah tergolong tidak ada masalah, akut, kronis serta akut kronis dengan criteria sebagai berikut :

Masalah Gizi Prevalensi pendek Prevalensi Kurus

Masyarakat

Tidak Ada Kurang dari 20% Kurang dari 5%

Masalah

Akut Kurang dari 20% 5% atau lebih

Kronis 20% atau lebih Kurang dari 5%

Akut + 20% atau lebih 5% atau lebih

Kronis

Tabel.6

Bila dilihat tabel diatas, Provinsi Bali tergolong memiliki masalah kesehatan akut yang artiny perlu lebih ditingkatkan serta dimaksimalkan kegiatan lintas program di sector kesehatan, sedangkan untuk kabupaten/Kota yang memiliki masalah akut dan kronis memerlukan upaya penyelesaian masalah kesehatan baik dari sector kesehatan maupun dari sector terkait seperti PUPR, Agama, Pendidikan, Sosial, Pertanian, perikanan dan kelautan dan lain-lain. Sebagaimana kita ketahui, kontribusi sector kesehatan hanya 30% mengatasi masalah kesehatan, sedangkan kontribusi lintas sector sebesar 70% untuk mengatasi masalah kesehatan.

Di banyak negara, kurang dari seperempat anak balita usia 6-23 bulan dengan frekuensi makan dan kriteria keragaman makanannya sesuai untuk usianya. Berdasarkan data Survei Diet Total (SDT) tahun 2014 diketahui bahwa lebih dari separuh balita (55,7%) mempunyai asupan energi yang kurang dari Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Pemberian makanan tambahan khususnya bagi kelompok rawan merupakan salah satu strategi suplementasi dalam mengatasi masalah gizi.

(27)

26 Definisi Operasional :

1) Balita kurus adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan 59 bulan 29 hari

dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB - 3 SD sampai dengan < - 2 SD)

2) Makanan Tambahan adalah makanan yang dikonsumsi sebagai

tambahan asupan zat gizi diluar makanan utama dalam bentuk makanan tambahan pabrikan atau makanan tambahan bahan pangan lokal

3) Persentase balita kurus mendapat makanan tambahan adalah jumlah

balita kurus yang mendapat makanan tambahan terhadap jumlah balita kurus dikali 100%.

TABEL 7. PERSENTASE BALITA KURUS DAPAT PMT DI PROVINSI BALI TAHUN 2019 1 JEMBRANA 276 272 98,6 2 TABANAN 488 488 100,0 3 BADUNG 677 677 100,0 4 GIANYAR 413 413 100,0 5 KLUNGKUNG 232 232 100,0 6 BANGLI 185 185 100,0 7 KARANGASEM 444 444 100,0 8 BULELENG 1282 1282 100,0 9 DENPASAR 707 707 100,0 4704 4700 99,9 B A L I Jumlah Balita Kurus Jumlah Balita kurus dapat MT % Jumlah Balita kurus dapat MT NO KAB/KOTA

(28)

27 GRAFIK 5

Berdasarkan grafik tersebut, menunjukkan bahwa semua balita kurus yang ditemukan, telah mendapat makanan tambahan.

Faktor pendukung :

1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik 2. Peran serta masyarakat

3. Tersedianya makanan tambahan sesuai kebutuhan Faktor penghambat :

1. Geografis

2. Sarana transportasi

3. Masih sering terjadi interpretasi hasil penimbangan salah di posyandu 4. Banyaknya tugas rangkap bagi pelaksana gizi puskesmas

5. Kurangnya sarana antropometri kit di posyandu

6. Belum semua kabupaten kota dan provinsi memiliki kebijakan/regulasi khususnya terkait stunting

7. Kurangnya dukungan pemegang kebijakan daerah dalam penanganan masalah gizi

8. Kurangnya peran serta masyarakat dalam penimbangan balita di posyandu Upaya mengatasi masalah :

1. Melakukan kegiatan surveilans gizi melalui kegiatan operasi timbang 2. Meyusun regulasi penanganan stunting di kabupaten/kota dan provinsi

100 100 100 100 93.0 100 100 100 100 99.9 88 90 92 94 96 98 100 102

(29)

28

f) Persentase remaja putri yang mendapat tablet tambah darah (TTD)

Anemia Gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Remaja putri adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa , ditandai dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai dengan berfungsinya alat reproduksi seperti menstruasi (umur 10-19 th). Wanita usia subur adalah wanita pada masa atau peroide dimana dapat mengalami proses reproduksi . Ditandai masih mengalami menstruasi (umur 15-45 th).

Dampak apabila remaja puteri tidak diberikan tablet tambah darah akan berdampak terhadap anemia. Anemia akan berdampak pada :

1. Menurunnya kesehatan reproduksi.

2. Terhambatnya perkembangan motorik, mental dan kecerdasan. 3. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar

4. Konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan dapat menurunkan produktivitas kerja.

5. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal. 6. Menurunkan tingkat kebugaran.

Berdasarkan data capaian pemberian tablet tambah darah pada remaja puteri di Provinsi Bali dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Prevalensi anemia di Indonesia pada perempuan usia 15 tahun keatas sebesar 22,7%. Remaja yang menderita anemia akan mengalami gangguan kehamilan jika tidak segera ditangani. Pemberian TTD pada remaja putri (rematri) usia 12 – 18 tahun sebagai upaya pencegahan anemia sejak dini. Pemberian TTD rematri yang diikuti dengan KIE gizi dan kesehatan diharapkan akan memperbaiki masalah-masalah pada periode berikutnya. Perlu dilakukan monitoring pemberian TTD, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan TTD pada remaja putri. Dalam kegiatan ini, diasumsikan seluruh remaja putri wajib sekolah.

Definisi Operasional

1) Remaja Putri adalah remaja putri yang berusia 12 -18 tahun yang

bersekolah di SMP/SMA atau sederajat

2) TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara

dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan

(30)

60

3) Remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri yang

mendapat TTD secara rutin setiap minggu sebanyak 1 tablet.

4) Persentase remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri

yang mendapat TTD secara rutin setiap minggu terhadap jumlah remaja putri yang ada dikali 100%

1 JEMBRANA 16.333 16.333 100,0 2 TABANAN 16.962 16.708 98,5 3 BADUNG 25.494 25.405 99,7 4 GIANYAR 22.488 22.488 100,0 5 KLUNGKUNG 9.139 9.139 100,0 6 BANGLI 9.933 9.933 100,0 7 KARANGASEM 16.680 16.680 100,0 8 BULELENG 32.374 32.374 100,0 9 DENPASAR 38.182 38.007 99,54 187.585 187.067 99,7 BALI NO KABUPATEN / KOTA JUMLAH REMAJA PUTRI JUMLAH REMAJA PUTRI YANG % REMAJA PUTRI YANG MENDAPAT Tabel 8 Grafik 6 100 98.5 99.7 100 100 100 100 100 99.5 99.7 97.5 98 98.5 99 99.5 100 100.5

GRAFIK PERSENTASE REMAJA PUTRI MENDAPAT

TABLET TAMBAH DARAH

(31)

60 Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa capaian remaja putri mendapat tablet tambah darah di Provinsi Bali mencapai 99, 7%, Kabupaten Tabanan memiliki capaian terendah yakni 98,5%.

Faktor pendukung :

1. Kerjasama dengan koordinasi lintas program dan linta sektor yang baik 2. Ketersediaan tablet tambah darah

Faktor penghambat :

1. Kurangnya informasi tentang manfaat pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri

2. Terbatasnya SDM di tingkat puskesmas

Upaya mengatasi masalah :

1. Melakukan sosialisasi di sekolah, media maupun workshop.

Saran :

Masih tingginya prevalensi masalah gizi yang ada di Provinsi Bali terutama stunting, perlu dilakukan upaya – upaya sebagai berikut :

1. Penetapan regulasi penanganan stunting baik di kabupaten/kota maupun provinsi

2. Pelaksanaan terintegrasi dalam penanganan stunting, baik yang dilakukan oleh sektor kesehatan maupun diluar sektor kesehatan 3. Pemenuhan SDM yang sesuai di tingkat

puskesmas

4. Pemenuhan sarana antropometri kit di tingkat posyandu

(32)

2. Indikator Program Kesga

a) Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)

Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau yang dikenal

KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang untuk mengurangi risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6

lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan) dan Hepatitis B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan kunjungan neonatal pertama dengan jumlah selu

yang kemudian dikonversi dalam bentuk persentase. Analisa Capaian Kinerja

1. Faktor Pendukung

a. Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal b. Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang

Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,

Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu

esga

Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)

Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau yang dikenal dengan sebutan dengan KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang

untuk mengurangi risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6 - 48 jam setelah lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan) B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan kunjungan neonatal pertama dengan jumlah seluruh bayi baru lahir di wilyahnya yang kemudian dikonversi dalam bentuk persentase.

Analisa Capaian Kinerja

Grafik 7

Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu

dengan sebutan dengan KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang dilakukan 48 jam setelah lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan) B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan ruh bayi baru lahir di wilyahnya

Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang

Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu

(33)

60 c. Pelaksanaan Kelas Ibu (Kelas Ibu Hamil dan Kelas Balita)

d. Dukungan kegiatan luar gedung untuk kunjungan bayi dari dana BOK, dll e. Monitoring dan evaluasi secara berjenjang

2. Faktor Penghambat

a. sistem pencatatan dan pelaporan yang belum sesuai seperti yang diharapkan misalnya penolong persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan tidak mencatat dengan benar pelayanan yang telah diberikan dan juga belum optimalnya

pemakaian form Manajemen Terpadu Bayi Muda pada kunjungan

neonatalmerupakan kendala dalam pencapaian KN1

b. masih kurangnya pemberdayaan keluarga/masyarakat terhadap penggunaan buku KIA

c. kurangnya kepatuhan petugas dalam menjalankan pelayanan sesuai pedoman.

3. Upaya Pencapaian

Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelaksanaan KN 1 di integrasikan dan menjadi satu kesatuan dengan kegiatan upaya mendorong persalinan difasilitas kesehatan. Melalui persalinan di fasilitas kesehatan maka diharapkan bayi yang dilahirkan juga akan mendapatkan pelayanan sesuai standar.

Selain kegiatan yang telah diintegrasikan beberapa kegiatan terkait kunjungan neonatal ini antara lain :

a. Sosialisasi kepada masyarakat saat event nasional sebagai contoh adalah saat Perayaan Hari Anak Nasional Tahun 2017

b. Evaluasi pelaksanaan kunjungan neonatal dalam kaitannya dengan penurunan AKB. Untuk menambah jumlah SDM kesehatan yang memahami kunjungan neonatal maka dilaksanakan juga orientasi tim pengkaji AMP, Orientasi Skrining Bayi Baru Lahir, dan Orientasi Tenaga Kesehatan dalam MTBM MTBS.

b) Persentase Ibu Hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal ke empat (K4)

Perssentase ibu hamil yang mendapatkan Pelayanan Antenatal <inimal 4 kali K4) Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). Sedangkan tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal kepada ibu hamil antara lain dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat. Pelayanan antenatal disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar. Ditetapkan bahwa distribusi frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan 1 kali

(34)

60 pada triwulan pertama, 1 kali pada triwulan kedua, dan 2 kali pada triwulan ketiga. Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan komplikasi (Kemenkes RI, 2010).

Pelayanan antenatal diupayakan agar memenuhi standar kualitas, yaitu : a. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;

b. Pengukuran tekanan darah;

c. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA); d. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundusuteri);

e. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status imunisasi;

f. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan; g. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (djj);

h. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk keluarga berencana);

i. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb), pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan sebelumnya); dan

j. Tatalaksana kasus.

Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator Cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit 4 kali sesuai jadwal yang dianjurkan, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah dalam kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan.

(35)

Analisa Capaian Kinerja

Sumber : KomdatKesga2019

Dilihat dari grafik diatas, cakupan K1 dan K4 terendah ada di Kabupaten yaitu K1 sebanyak 85,95%, K4

karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan) sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dima standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan dua kali kujungan saat triwulan III.

Renja Tahun 2017)

belum dapat dicapai oleh 9 kabupaten kota

triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator prioritas (K1,K4,PF dan Kn1) capaian teren

keseluruhan di provinsi Bali capaian rata

belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes. Analisa Capaian Kinerja

Grafik 8

cakupan K1 dan K4 terendah ada di Kabupaten Karangasem terendah 83,83% Kabupaten Gianyar, hal ini disebabkan karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan) sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dima standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan dua kali kujungan saat triwulan III. Target 99 % untuk K1 dan 97% untuk K4 (sesuai target

belum dapat dicapai oleh 9 kabupaten kota. Selain karena belum semua ibu hamil akses di triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator prioritas (K1,K4,PF dan Kn1) capaian terendah ada di kabupaten Gianyar, sedangkan untuk keseluruhan di provinsi Bali capaian rata-rata diatas 95%. Untuk Provinsi Bali, capaian K1 belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes. Karangasem hal ini disebabkan karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan) sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dimana standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan Target 99 % untuk K1 dan 97% untuk K4 (sesuai target

arena belum semua ibu hamil akses di triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator dah ada di kabupaten Gianyar, sedangkan untuk rata diatas 95%. Untuk Provinsi Bali, capaian K1 belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes.

(36)

Kesenjangan pencapaian K1 ke K4 tidak

lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian persalinan faskes terjadi di semua

kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil dan sisa persalinan tahun sebelumnya.

Cakupan K1 dan K4 di Provinsi Bali dalam

Dari grafik 7 diatas dapat terlihat bahwa secara umum relatif stabil namun terjadi penurunan cakupan K4

meningkat menjadi 94,49%. walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4

kesenjangan tertinggi terjadi tahun 2017 yaitu sebesar antara cakupan K1 dan K4 sebes

Kesenjangan antara cakupan K1 dan K4 menunjukkan angka

lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan kunjungan pertama pelayanan antenatal

pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat meminimalisir kematian ibu melahirkan. Berikut

Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2014

Kesenjangan pencapaian K1 ke K4 tidak melebihi 10%, namun kinerja nakes dituntut harus lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian persalinan faskes terjadi di semua kabupaten/kota, bahkan ada yang melebihi 100%, hal ini kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil dan sisa persalinan tahun sebelumnya.

Cakupan K1 dan K4 di Provinsi Bali dalam enam tahun terakhir dapat dilihat dibawah ini; Grafik.7

diatas dapat terlihat bahwa secara umum relatif stabil untuk capaian K1 penurunan cakupan K4 mulai tahun 2014 sampai akhir 2017

walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4

kesenjangan tertinggi terjadi tahun 2017 yaitu sebesar. Pada tahun 2015 terjadi selisih antara cakupan K1 dan K4 sebesar 5,4% dan pada tahun 2016 sebesar

Kesenjangan antara cakupan K1 dan K4 menunjukkan angka drop out K1-K4, dengan kata

lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan kunjungan pertama pelayanan antenatal selalu berkunjung ke pelayanan kesehatan sampai pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat meminimalisir kematian ibu melahirkan. Berikut trend capaian K4 dalam Renstra Dinas Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2014-2018 :

Grafik 9

melebihi 10%, namun kinerja nakes dituntut harus lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian kabupaten/kota, bahkan ada yang melebihi 100%, hal ini kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil

ibawah ini;

untuk capaian K1, mulai tahun 2014 sampai akhir 2017,tahun 2018 walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4 dengan . Pada tahun 2015 terjadi selisih ar 5,4% dan pada tahun 2016 sebesar 7,3 %. K4, dengan kata lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan berkunjung ke pelayanan kesehatan sampai pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat dalam Renstra Dinas

(37)

60 Mengacu pada dokumen Renstra Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013-2018, Terlihat pada grafik.9 diatas bahwa cakupan K4 sudah mencapai target pada tahun 2014, namun pada tahun 2015-2016 mengalami penurunan, walaupun sampai tahun 2016 cakupan sudah diatas 90%. Rendahnya cakupan K4 pada tahun 2017 seperti yang telah dijelaskan pada grafik.5, masih jauh dari target Renstra, sehingga diperlukan perbaikan strategi pelayanan ibu hamil termasuk pemantauan mulai di triwulan I kehamilan sehingga ibu hamil bisa mendapat pelayanan standar selama masa kehamilannya.

Faktor Pendukung

a. Adanya peningkatan kapasitas, pelatihan untuk tenaga kesehatan dalam

upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan antenatal terpadu dan kelas ibu

b. Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang

Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu

c. Pelayanan antenatal sesuai standar minimal 4 kali selama kehamilan

merupakan komponen dari Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Kabupaten/Kota

d. Pelaksanaan Kelas Ibu (Kelas Ibu Hamil dan Kelas Balita)

e. Dukungan dana pelacakan ibu hamil, dan kegiatan luar gedung untuk pemeriksaan ibu hamil dari dana BOK, dll

f. Adanya surveilans melalui PWS KIA g. Monitoring dan evaluasi secara berjenjang

Faktor Penghambat

1. Ibu hamil masih ada yang datang tidak pada di trimester I karena:

a. Pengetahuan ibu hamil dan keluarga yang kurang, partisipasi masih belum optimal

b. Faktor budaya setempat (belum ke tenaga kesehatan jika perut belum kelihatan besar, takut hamilnya tidak jadi disebabkan keguguran yang membuat malu)

c. Kondisi geografis yang sulit (daerah perbukitan dan pegunungan)

d. Kurangnya peran serta perangkat desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama dalam memberikan promosi kesehatan khususnya informasi pemeriksaan antenatal rutin ke tenaga kesehatan dan mendorong ibu hamil mengikuti kelas ibu hamil

e. keterjangkauan di daerah sulit dan terpencil untuk mengakses ke fasilitas dan tenaga kesehatan

Gambar

GRAFIK PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN PERSENTASE IBU HAMIL KEK MENDAPAT PMT
GRAFIK IBUU HAMIL MENDAPAT 90 TABLET  TAMBAH DARAH
GRAFIK BAYI &lt;6 BULAN MENDAPAT ASI  EKSKLUSIF
GRAFIK BAYI BARU LAHIR MENDAPAT  INISIASI MENYUSU DINI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat penjadwalan pada bagian satu dengan kasus dimana semua permintaan tidak melebihi kapasitas kapal tanker masih ada kedatangan yang tidak tepat waktu yaitu pada

dikembangkan melalui konsultasi dan diskusi dengan seluruh kelompok yang terdampak dalam komunitas tersebut, dan bahwa informasi telah diberikan ke seluruh kelompok yang

Gambar 4.12 Diagram Jalur Sub-struktur 1 Dengan demikian dapat diperoleh persamaan struktural untuk sub-struktur 1 sebagai berikut: Y= + Y= 0,589 X + 0,8087 dimana R2 =

(2) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi pemerintah terkait atau

Di Amerika Serikat, 55% populasi mengalami kelebihan berat badan dan 22% diantaranya obesitas (Ganong, 2008). Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk

Indikator respon fisiologis, penyusutan bobot badan dan metabolit darah menunjukan perubahan pada ternak kambing dan domba setelah transportasi namun masih dalam batas

BANK berhak mendebet rekening Tabungan Mudharabah/ Wadi’ah atau Giro Wadi’ah atas nama MUSTA’JIR yang ada pada BANK untuk pembayaran angsuran Uang Sewa atau

Hasil penelitian ini dpat disimpulkan bahwa rendemen tepung kimpul 28% sedangkan kacang tholo 91%, penerimaan konsumen terhadap mie kering yang disukai Kimpul fortifikasi tholo