• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konsep Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konsep Lupus Eritematosus Sistemik (LES)"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

13

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lupus Eritematosus Sistemik (LES) 1. Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio dkk, 2009).

LES adalah suatu penyakit multisystem yang berkaitan dengan sejumlah

kelainan imunologik, termasuk pembentukan autoantibodi,

hipergamaglobulinemia, kelainan sel T penekan, penurunan kadar komplemen serum, dan peningkatan kadar kompleks imun dalam darah (Harrison, 2012).

Lupus adalah penyakit sistemik yang menampilkan spektrum yang luas dari manifestasi klinis dan imunologi. Penyakit ini disebabkan oleh satu set kompleks interaksi antara gen, hormon dan lingkungan, yang mengakibatkan kelainan utama dari sistem kekebalan tubuh (Koroma A, 2012).

LES adalah penyakit sistemik yang menyerang system jaringan ikat dan vaskular dengan karakteristik adanya antinuclear antibody (Siregar, 2013).

(2)

LES merupakan kelainan reumatik autoimmune dengan etiologinya yang belum jelas benar dengan gambaran klinik yang sangat bervariasi dari kelainan berupa rash (kemerahan) pada kulit, anemia, trombositopenia, glomerulonephritis dan dapat mengenai organ lainnya dalam tubuh. (Suntoko, 2015)

Perjalanan penyakitnya LES bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda - beda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibody yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.

2. Etiologi

Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti, ada dugaan melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara hormone, variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan paling penting dalam predisposisi penyakit ini. Banyak kasus LES yang terjadi secara sporadic tanpa identifikasi dari tanda dan gejala, ada juga kasus dimana seseorang terkena LES yang sembuh dengan sendirinya (Isbagio dkk, 2009). Penelitian epidemiologis telah dilakukan pada hampir semua penyakit autoimmune mengarah pada kerentanan genetic paling penting berada pada

(3)

histokompabilitas mayor (major histocompability complex) MHC, merupakan suatu seri gen kromosom 6 yang mengkode untuk antigen, termasuk system human leukocyte antigen (HLA) (Grennstein & Wood, 2010).

Serangan pertama kali LES pada wanita jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause, LES lebih banyak menyerang wanita usia produktif antara 15-45 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat adanya hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun (Suarjana, 2015). Salah satu peranan penting estrogen dalam kehidupan seorang wanita adalah selama masa pubertas. Selama periode ini, peningkatan kadar estrogen mendorong perkembangan karakteristik seksual pada wanita. Estrogen atau hormone wanita juga dapat meningkatkan autoimmunity dan secara tidak langsung menimbulkan peradangan serta meningkatkan resiko terjadinya LES. Sifat estrogen berkebalikan dengan hormone androgen atau hormone pria yang berfungsi untuk menekan autoimmunity (Wallace DJ, 2007) dan (Mansjoer dkk, 2009). Konsenstrasi testosterone plasma yang rendah dan meningkatnya luitenizing hormone (LH) ditemukan pada laki-laki, estrogen yang berlebihan dengan aktifitas androgen yang tidak adekuat pada laki-laki dan perempuan ditengarai bertanggung jawab terhadap perubahan proses imun. Estrogen diproduksi oleh ovarium selama maturasi folikel, dan menstimulasi proliferasi kelenjar pada bagian dalam atau endometrium uteri dengan cara FSH (follicle stimulating hormone) yang memacu pertumbuhan folikel dan menginduksi reseptor LH (luteinizing hormone) selanjutnya menstimulasi produksi estrogen (Grennstein & Wood, 2010). Hormone estrogen selain

(4)

berfungsi sebagai pendorong perkembangan karakteristik seksual pada wanita, estrogen juga berfungsi untuk mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES (Murray & May, 2003). Selain itu estrogen juga memperburuk penderita LES dengan memperpanjang hidup sel-sel autoimun, meningkatkan produksi sitokin sel T dan menstimulus sel B untuk memproduksi autoantibodi (Suarjana, 2015).

Persentase kejadian LES yang juga dilaporkan lebih tinggi terjadi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi LES pada keluarga penderita LES dibandingkan dengan control sehat dan peningkatan prevalensi LES pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis LES (Suarjana, 2015). Menurut Hahn dalam Isselbacher dkk (2012) frekuensi terjadinya LES akan semakin besar apabila pasien memiliki lebih dari satu anggota keluarga berpenyakit serupa dan korelasi gen tertentu juga mempengaruhi, terutama dengan penyakit dan autoantibodi.

Ada penelitian yang menunjukkan bahwa ada banyak sekali gen (lebih dari 100 gen) yang berperan, terutama pada gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Dugaan yang berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 (ras Asia/Jepang) dan HLA-DR3 (ras Kaukasia) serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang

(5)

mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Mok & Lau, 2003 dan Wachjudi dkk, 2006). LES ditandai oleh banyaknya gangguan dalam system imun yang meliputi sel B, SEL T dan turunan dari sel-sel monositik yang mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel inilah yang memproduksi antibody, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun (Suarjana, 2015). Autoantibodi yang lain seperti anti-Sm(small nuclear ribonuclear protein) dan anti-nRNP (nuclear ribonuklear protein) muncul hanya dalam beberapa bulan sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi anti-dsDNA berada dipertengahan antara kedua kelompok autoantibodi tersebut (Isbagio dkk, 2009 dan Suarjana, 2015).

Sifat sel T pertama kali diperlihatkan dengan jelas adalah sifat yang membantu sel B untuk membentuk autoantibodi. Bantuan oleh sel T diperlukan untuk sekresi sebagian besar antibody oleh sel B, salah satunya adalah untuk mengaktivasi makrofag guna membunuh pathogen intraselular (Playfair & Fair, 2012). Ditemukan juga bukti bahwa aktivasi sel B oleh sel T pada penderita LES lebih sensitive terhadap efek stimulasi dari sitokin seperti IL-6 (mediator penting dalam respon fase akut inflamasi) dibandingkan dengan sel B bukan penderita LES, sitokin sangat berperan penting dalam regulasi aktivitas penyakit dan terlibat dalam organ yang berbeda pada LES (Suarjana, 2015).

Faktor lingkungan juga dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, bahan kimia, bakteri dan virus. Ada

(6)

keterkaitan erat antara lupus dan sinar matahari. Matahari memancarkan sinar ultraviolet dalam tiga berkas yang dikenal dengan A, B, dan,C. dua yang pertama, ultraviolet A (UVA) dan B (UVB) sangat berbahaya bagi penderita lupus. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ketika berkas-berkas sinar ultraviolet tersebut mangenai kulit, mereka bisa merusak lapisan atas DNA (Wallace, 2007).

Simard JF (2011) dalam Suntoko (2015) mengatakan paparan sinar UV akan mencetuskan flare up penyakitnya termasuk didalamnya foto sensitifitas, demam, dan gejala sistemik lainnya. Hahn (2012) dalam Isselbacher dkk (2012) juga menuturkan bahwa radiasi sinar UV bisa mencetuskan dan mengekserbasi ruam fotosintesis pada LES, telah ditemukan bukti bahwa sinar UV memang dapat merubah struktur DNA yag menyebabkan terbetuknya autoantibodi sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang menghasilkan blebs nuclear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel (Suarjana, 2015).

Aromatic amine atau amino lipogenik aromatik adalah perantara kimia yang dapat menyebarkan atau memeprburuk penyakit pada LES, termasuk didalamnya adalah asap rokok, pewarna rambut, dan tartazine (pewarna makanan atau bahan pengawet makanan. Sifat dari aromatic amine yang mudah melebur di dalam tubuh melalui sebuah proses yang dinamakan acetylation. Mekanisme pasti dimana aromatic amine menyebabkan reaksi

(7)

imunologis kurang dipahami dan hanya sebagian kecil orang yang terkena aromatic amine mengalami penyakit kekebalan klinis (Wallace, 2007).

Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. NSAIDS (Nonsteroidal Anti inflammatory Drugs) tertentu membuat pemakainya sesnsitif dengan sinar matahari dan radiasi racun telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Berhati-hatilah terhadap penggunaan piroxicam (feldene), senyawa phenylbutazone dilaporkan telah menyebabkan reaksi hipersensitif pada pasien lupus, yang mungkin mengakibatkan kekambuhan (Wallace, 2007). Penderita LES juga harus diingatkan untuk menghindari pemakaian antibiotika tertentu seperti sulfonamide, Echinacea (obat flu alternative yang berupa stimulant system imun) karena dapat menimbulkan flare up (Wachjudi, 2006).

3. Klasifikasi

Klasifikasi lupus eritematosus menurut Myers SA and Mary HE, (2001) lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu: pertama Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe Discoid Lupus Erythematosus (DLE) dibagi kembali dalam tiga subtipe yang jarang terjadi, palmar-palmar lupus erythematosus, oral discoid lupus erythematosus dan lupus erythematosus panniculitis dan subtype kedua dari CCLE adalah Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE). Kedua Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) memiliki subtipe yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE). Ketiga Systemic Lupus

(8)

Erythematosus (SLE) dan yang terakhir Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE).

Sedangkan Menurut European Assosiation of Oral Medicine, (2005) lupus eritematosus diklasifikasikan menjadi 9 jenis : Discoid Lupus Erythematosus (DLE), Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Bullous form, Neonatal form (NLE), Acute Cutaneous form (ACLE), Subacute Cutaneous form (SCLE),

Chronic Cutaneous form (CCLE), Childhood onset (CSLE) dan Drug Induced

(DILE)

4. Manifestasi klinis

Penyakit LES atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus”, memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah, sekitar 30-50% melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis arteri dan vena (Manzi S, 2001). Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan awal tidak dikenai sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifesati klinik penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosintesitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau musculoskeletal dijumpai pada 90% kasus LES, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. Kecurigaan akan penyakit

(9)

LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :

a. Gejala konstitusional

Gejala seperti demam, lesu, nafsu makan turun, dan penurunan berat badan adalah kondisi yang dialami pasien LES pertama kali dan sangat sering dijumpai (Wallace, 2007). Keluhan demam pada pasein LES menurut Dubois (2011) dalam Suntoko (2015) berkiar antara 41-83%, kasus-kasus LES yang dikumpulkan selama periode tahun 1950-1980an terlihat kecenderungan demam semakin menurun pada tiap dekede ini dikarenakn kemampuan dokter dalam memahami penyakit dan kesempatan menggunakan obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Keluhan lainnya pada penderita LES adalah atralgia (pegal dan linu di dalam sendi) bisa juga terjadi artritis akut pada dua atau lebih sendi perifer, biasanya berlangsung selama beberapa hari, lokasi terjadinya artritis biasanya pada sendi tangan, pergelangan tangan, lutut dan biasanya simetris pada satu tubuh (Mansjoer dkk, 2000). Kelelahan dan malaise (rasa tidak enak badan) sering timbul bila keadaan penyakitnya yang masih aktif, penderita cepat lelah dan tidak enak badan merupakan proses dari inflamasinya yang sedang berjalan (Isbagio dkk, 2009 dan Suntoko, 2015)

b. Manifestasi muskuloskeletal

Hampir 90% pasien LES memiliki keluhan nyeri sendi, sendi kaku, dan encok pada pinggang (Wallace, 2007). Kekakuan sendi pada pasien LES

(10)

banyak muncul pada pagi hari (Smeltzer dkk, 2008). Keluhan nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak jelas adanya bukti inflamasi sendi (Isbagio dkk, 2009). Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris (D’Cruz dkk, 2010). Hanh (2005) dalam Isselbacher dkk (2012) dan Sukanto (2015) mengungkapkan bahwa 10% pasien LES mengalami deformitas leher angsa (swan neck) hal ini terjadi bukan karena kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada kapsul sendi yang mengalami kekenduran jaringan ikat sendi. Nyeri yang muncul karena adanya inflamasi sendi, paling sering mengenai sendi antarfalang proksimal (AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan, pergelangan tangan dan lutut biasa disebut dengan fusiform joint. Pada pemeriksaan radiologi tidak dijumpai kelainan erosi dan destruksi pada sendi meskipun inflamasi sudah berlangsung lama hingga bertahun-tahun.

c. Manifestasi kulit

Gejala yang paling khas yang diderita lebih dari 50% pasien LES adalah kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES yaitu fotosensitivitas, butterfly rash, lesi discoid serta lesi mukokutan pada mulut (Smeltzer dkk, 2008). Kelainan kulit paling ringan adalah fotosensitivitas dimana dapat dirasakan langsung oleh penderita seperti rasa terbakar. Paparan langsung sinar matahari juga dapat menmunculkan rash atau ruam pada kulit terkhusus pada wajah, mulai dari pipi hingga ke pangkal hidung terkadang meluaas ke dagu dan telinga, ruam tidak menimbulkan jaringan parut tapi

(11)

dapat menimbulkan talangiektasia, ruam akan berkurang sampai hilang setelah paparan sinar matahari dihindari (Sukanto, 2015). Menurut Hanh (2005) dalam Isselbacher dkk (2012), lesi discoid yang diderita oleh penderita LED (lupus Eritematosus DIskoid) merupakan ruam kronis yang dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak tertangani secara tepat, lesi ini terjadi pada sekitar 20% penderita LES. Lesi discoid mempunyai ciri khusus berbentuk lingkaran berwarna kemerahan dan ditandai oleh batas eritematosus yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan talangiektasia. Lesi ini bisa muncul di kulit kepala, telinga, wajah, dan bagian terpajan dari wajah, leher, kulit belakang kepala, lengan, punggung, dan dada. Lesi discoid dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut dan perubahan pigmentasi kulit (Smeltzer dkk, 2008). Lesi kulit pada penderita LES yang lebih jarang adalah vaskulitis, eritema, tromboplebitis, petekie, purpura, psoriasis, bulae, urtikaria, ulkus kaki, alopesia, dan sklerodaktili (Wallace, 2007, Siregar, 2013 dan Sukanto, 2015).

d. Manifestasi paru

Manifestasi LES pada paru sangat bervariasi dari pleuritis lupus, pneumonitis (radang interstitial parenkim paru), perdarahan paru, emboli paru dan hipertensi pulmonal. Pleuritis merupakan manifestasi tersering pada penderita LES sekitar 41-56%, ciri khas gejala adanya demam, batuk, sesak, nyeri dada baik pada satu atau pada kedua sisi, umumnya akan menjadi efusi pleura (Sukanto, 2015). Penyebab tersering terjadinya

(12)

infiltrate paru pada pasien LES adalah infeksi. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di daerah basal paru. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak (Isbagio, 2009). Perdarahan pada paru sebenarnya terjadi karena adanya vaskulitis yang massif pada kapiler paru dan arteri kecil paru. Meskipun jarang dilaporkan kasus pada penderita LES tetap saja perdarahan paru merupakan keadaan yang sangat serius dan merupakan salah satu penyebab kematian 50-90% pada penderita LES, meskipun tidak signifikan perdarahan paru pada penderita LES ditandai dengan sesak secara mendadak, batuk, demam dan ronkhi menyeluruh pada lapang paru serta hemoglobin yang turun dengan cepat disebabkan adanay perdarahan intraalveolar masif. (Smeltzer dkk, 2008) dan (Sukanto, 2015). Hanh dalam Isselbacher dkk (2012) dan Kasron (2012), Hipertensi pulmonal mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung yang pada akhirnya akan meningkatkan beban kerja jantung, hipertensi pulmonal merupakan manifestasi yang paling berat dan paling jarang terjadi pada penderita LES, namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi karena menyebabkan distress pernapasan pada penderita. Sepertiga pasien lupus juga memiliki antibodi antiphospolipid, dan sepertiga dari jumlah tersebut memiliki gumpalan atau fase thrombolytic selama masa penyakit mereka gumpalan darah yang bergerak melalui pembuluh darah di paru disebut sebagai pulmonary emboli atau emboli paru, dilaporkan bahwa 5-10%

(13)

penderita LES akan mengalami emboli paru. Manifestasi klinik dari pasien yang mengalami emboli paru akan mengeluhkan sesak napas, sianosis, dan nyeri dada akut, dalam beberapa hari akan menunjukan adanya infarction (jaringan sel yang mati) (Wallace, 2007).

e. Manifestasi kardiologi

Kelainan kardiovaskular pada LES dapat mengenai pericardium, miokardium, system kelistrikan jantung, katup jantung dan pembuluh darahnya (Sukanto, 2015). Pericarditis merupakan gejala yang paling banyak muncul pada penderita LES dengan berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan pericardial. Pada pericarditis, cairan pericardial mngandung ribuan sel darah putih dan pada beberapa bagian membrane menunjukan bahwa limfosit dan sel plasma muncul di jaringan sel pericardial, pemeriksaan dengan menggunakan auskultasi dokter bisa mendengar adanya suara gesekan (Wallace, 2007).

Hanh dalam Isselbacher dkk (2012) menjelaskan bahwa trombosis pada pembuluh darah dengan segala ukuran dapat menimbulkan masalah serius, ada penelitian yang menunjukan vaskulitis merupakan penyebab dasar dari thrombosis. Perubahan degenerative pada pembuluh darah setelah bertahun - tahun terpajan kompleks imun dalam darah bisa menimbulkan arteri coroner degenerative. Dalam penelitain yang dilakukan oleh Diaz dkk (2012) mengatakan coronary artery calcifications (pengerasan pembuluh darah arteri coroner) bisa menyerang siapa saja baik laki-laki

(14)

maupun wanita penderita LES, wanita yang sudah mengalami post menopaused merupakan kelompok paling beresiko tinggi. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang (Isbagio dkk, 2009).

f. Manifestasi renal

Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal. Namun demikian adanya proteinuria, piuria serta buruknya bersihan kreatinin dapat diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomerulonephritis, efek toksik obat pada ginjal (Isbagio dkk, 2009). Ciri khas lupus pada ginjal adalah adanya pembengkakan ringan pada pergelangan kaki, para pasien mungkin mengeluhkan bengkak yang tidak nyaman pada keaki mereka. Pemeriksaaan laboratoirum protein pada urine penderita LES dalam 24 jam terjadi kenaikan 3,5 gram, pemeriksaan lain yang menandakan seseorang terkena syndrome nefrotik adalah kadar albumin yang jatuh di bawah 2,8 gram perdesiliter (Wallace, 2007)

(15)

g. Manifestasi gastrointestinal

Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis, inflamantory bowel syndrome (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun (Isbagio dkk, 2009). Pada beberapa kekeluhan nyeri abdomen ditemukan pre-rektum baik pada usus besar maupun usus halus dan bila ini terjadi diperlukan investigasi lebih seksama untuk mencegah terjadinya perforasi (Kasjmir dkk, 2015). Wallace (2007 menambahkan 1% dari penderitaa LES mengalami malabsorpsi nutrisi, diare serius dengan jumlah serum protein (albumin) yang sangat rendah jarang dialami pasien LES, akan tetapi bila ini terjadi dan tidak segera di obati pasien tersebut akan menderita protein losing enteropathy (protein hilang melalui malabsorpsi).

h. Manifestasi hematologik

Anemia akibat penyakit kronik terjadi pada sebagian penderita LES yang aktif dibuktikan dengan Coombs test (pemeriksaan antibody pada sel darah merah) menunjukan hasil positif. Leukopenia juga sering ditemukan tetapi jarang menyebabkan infeksi rekuren dan tidak memerlukan terapi ditandai dengan penurunan leukosit <4.000/mm3. Trombositopenia ringan sampai berat disertai perdarahaan dan purpura terjadi pada 5% pasien, ditandai dengan penurunan trombosit dibawah 100.000/mm3, dan harus dilakukan

(16)

terapi glukokortikoid dosis tinggi, untuk perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian globulin gama intravena (Hahn dalam Isselbracher, 2012) dan (Wahjudi 2007). Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain (D’Cruz dkk 2010).

Diperkirakan sepertiga pasien LES memiliki antibodi antiphospolipid karena adanya faktor-faktor kecenderungan yang unik itulah menyebabkan penggumpalan abnormal pada penderita LES, sepertiga dari mereka juga mengalami komplikasi akibat antibody ini, karena antibody ini bisa menyebabkan penggumpalan darah dulu penyakit ini disebut sindrom anticardiolipin. Antibodi antiphospolipid dan lupus anticoagulant bisa menyebabkan penggumpalan darah dan penggumpalan darah bisa terjadi di bagian tubuh mana saja, khususnya pada pembuluh darah vena dan arteri. Jika gumpalan terjadi di otak bisa mengakibatkan stroke (Wallace, 2007).

(17)

i. Manifestasi neuropsikiatrik

Manifestasi neurologi pada LES yang sering adalah disfungsi kognitif (gangguan daya ingat, abstrak, dan pengambilan keputusan) hal ini cukup seering terjadi pada pasien lupus, untuk mengetahuinya bisa dilakukan tes batere neuropsikologi. Stroke juga menjadi salah satu manifestasi neurologi pada penderita LES, stroke pada penderita LES disebabkan oleh suatu antibody antiphospolipid beberapa literature menyebutkan kebanyakan serangan stroke ini muncul dalam lima tahun pertama penyakit (Smeltzer dkk, 2008). Wijaya (2015) juga menyebutkan manifestasi lain yaitu kejang terjadi pada 10-20% pasien, kejang yang terjadi dapat berupa kejang umum dan parsial kejang dapat merupakan manifestasi awal lupus atau dapat muncul dalam perjalanan penyakitnya, penyebab kejang sangat bervariasi dapat diakibatkan oleh adanya inflamasi atau kerusakan jaringan cerebri. Nyeri kepala, gangguan neuropati, psikosis adalah gangguan proses berpikir yang aneh diiringi dengan sering munculnya delusi atau halusinasi (Wachjudi, 2007).

Gejala lain seperti ansietas dan depresi juga sering muncul pada penderita LES terutama pada mereka yang belum bisa menerima penyakit tersebut. Depresi dan kecemasan akan merefleksikan reaksi atau pandangan pasien terhadap penyakit kronis dan konsekuensi yang akan dia hadapi dalam hidupnya, keterbatasan gaya hidup yang harus dijalani, ketegantungan dengan orang lain, termasuk kesulitan kehamilan, mudah lelah, keterbatasan dengan dengan paparan sinar matahari serta pemikiran untuk

(18)

minum obat setiap hari seumur hidup. ODAPUS (orang dengan lupus) biasanya akan membaik dalam kurun waktu 1 tahun, tentu saja dengan dukungan dari keluarga, pemberian informasi mengenai dari dokter, perawat dan petugas kesehatan lainnya (Wallace, 2007) dan (Isbagio dkk, 2009).

5. Diagnosis

Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) menuturkan bahwa kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.

c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis

d. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi pada parenkhim paru. h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.

i. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegaly j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

(19)

Tabel 2.1 kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik menurut American

College of Rheumatology (ACR) yang sudah di revisi pada tahun (1997) dalam

Baratawidjaja & Rengganis, (2014) adalah sebagai berikut :

No Kelainan Batasan

1 Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.

2 Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik

3 fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. 5 Artitritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau

lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.

6 serositis

a. Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa

(20)

b. Perikarditis

atau terdapat bukti efusi pleura.

Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium

7 Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. atau Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

8 Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit). atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh

obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).

9 Gangguan hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. atau

b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih.

atau

(21)

pemeriksaan atau lebih. atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan

10 Gangguan imunologik a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal. atau

b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm.

atau

c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes

lupus anti koagulan positif

menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis sekurangkurangnya selama 6 bulan dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal.

11 Antibodi antinuclear positif (ANA)

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoreseni

(22)

atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa obat.

Klasifikikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan (Kasjmir, 2015)

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring yang direkomendasikan oleh, Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) :

a. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) khusus pemeriksaan LED dlakukan setiap 3-6 bulan bila stabil.

b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.

c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid) dilakukan setiap 3-6 bulan sekali bila stabil.

(23)

e. Serologi ANA (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring), anti-dsDNA (Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif), komplemen †(C3,C4).

f. Foto polos thorax

ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.

Pemeriksaan Serologi pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES) meliputi tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES adalah tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan / diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES (Kasjmir, 2015) pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal (Kavanaugh dkk, 2000).

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Beberapa

(24)

tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES (Kavanaugh dkk, 2000 dan Wachjudi, 2006)

Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis (Kavanaugh dkk, 2000 dan Kasjmir, 2015)

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) juga menyatakan bahwa test ANA

merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk LES. Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap LES. Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis LES, namun jika negatif tidak menyingkirkan diagnosis LES.

(25)

7. Penatalaksanaan

Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) baik untuk LES ringan, sedang ataupun berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan LES ini sseharusnya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Tiga faktor penting pilar pengobatan lupus eritematosus sistemik tersebut adalah edukasi dan konseling, program rehabilitasi dan pengobatan medikamentosa, seperti yang sudah dijelaskan dibawah ini :

a. Edukasi/konseling

Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi, karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE, maka penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obatan sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa (Kasjmir, 2015 dan Wallace, 2007) Perlu pengaturan diet agar tidak terjadi kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi

(26)

organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Profilaksis antibiotika juga diperlukan dan harus dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasive lainnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE terutama penderita yang mendapat obat-obatan kontraindikasi untuk kehamilan seperti anti-malaria atau siklofosfamid. (Isbagio 2009).

Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan fungsi kognitif sebesar 86,49%. Adanya stigma pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun adanya gangguan•fisik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak buruk bagi pasien didalam lingkungan sosialnya baik ditempat kerja atau dirumah (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

Seperti yang diungkapkan oleh Friedman (2010) salah satu fungsi pokok keluarga adalah fungsi sosialisasi dan fungsi penempatan sosial dimana terjadi proses perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di lingkungan. Secara lebih spesifik keberadaan dukungan social yang adekuat terbukti menurunkan angka mortalitas, memotivasi untuk sembuh dari sakit, mencegah penurunan fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi

(27)

(Hernilawati, 2013) Edukasi pada keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigma psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

b. Terapi rehabilitasi

Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas•fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi adalah istirahat, terapi fisik (umumnya bersama dengan fisioterapi), terapi dengan modalitas, ortotik, dan lain-lain (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

(28)

c. Terapi medikamentosa/Pengobatan

Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang banyak dipakai pada penderita LES serta pemantauannya berdasarkan rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia, (2011) dan Kasjmi dkk (2015) dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini :

Jenis Obat Dosis Jenis

toksisitas Evaluasi Awal Pemantauan Klinis Laborat orik OAINS Tergant ung OAINS Perdarahan saluan cerna, hepatotoksi k, sakit kepala, hipertensi, aseptik meningitis, nefrotoksik. Darah rutin, kretinin, urin rutin, AST/AL T*. Gejala gastrointest inal Darah rutin, kreatini n, AST/AL T* setiap 6 bulan. Kotikosteroid Tergant ung derajat SLE Cushingoid, hipertensi, dislipidemia , osteonekros Gula darah, profil lipid, DXA, Tekanan darah Glukosa

(29)

is, hiperglisemi a, katarak, osteoporosis . tekanan darah. Klorokuin Hidroksikloro kuin *hidroksiklor okuin saat ini belum tersedia di Indonesia 250 mg/hari (3,5-4 mg/kg BB/hr) 200-400 mg/ hari Retinopati, keluhan GIT, rash, mialgia, sakit kepala, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi G6PD. Evaluasi mata, G6PD pada pasien berisiko. Funduskop i dan lapangan pandang mata setiap 3-6 bulan. Azatioprin 50-150 mg per hari, dosis terbagi Mielosupres if, hepatotoksi k, gangguan limfoprolife Darah tepi lengkap, kreatinin , AST / Gejala mielosupre sif Darah tepi lengkap setiap 1-2

(30)

1-3, tergantu ng berat badan.

ratif. ALT*. minggu

dan selanjut nya 1-3 bulan interval. AST tiap tahun dan pap smear secara teratur. Siklofosfami d Per oral: 50-150 mg per hari. IV: 500-750 mg/m2 dalam Dextros e 250 ml, infus Mielosupres if, gangguan limfoprolife ratif, keganasan, imunosupre si, sistitis hemoragik, infertilitas sekunder. Darah tepi lengkap, hitung jenis leukosit, urin lengkap Gejala mielosupre sif, hematuria dan inferti litas. Darah tepi lengkap dan urin lengkap setiap bulan, sitologi urin dan pap smear

(31)

selama 1 jam. tiap tahun seumur hidup. Metotreksat 7.5 – 20 mg / minggu, dosis tunggal atau terbagi 3. Dapat diberika n pula melalui injeksi. Mielosupres if, fi brosis hepatik, sirosis, infi ltrat pulmonal dan fibrosis. Darah tepi lengkap, foto toraks, serologi hepatitis B dan C pada pasien risiko tinggi, AST, fungsi hati, kreatinin . Gejala mielosupre sif, sesak nafas, mual dan muntah, ulkus mulut. Darah tepi lengkap terutama hitung trombos it tiap 4-8 minggu, AST / ALT* dan albumin tiap 4-8 minggu, urin lengkap dan kreatini n.

(32)

Siklosporin A 2.5–5 mg/kg BB, atau sekitar 100 – 400 mg per hari dalam 2 dosis, tergantu ng berat badan. Pembengka kan, nyeri gusi, peningkatan tekanan darah, peningkatan pertumbuha n rambut, gangguan fungsi ginjal, nafsu makan menurun, tremor. Darah tepi lengkap, krea• nin, urin lengkap, LFT*. Gejala hipersensiti fitas terhadap castor oil (bila obat diberikan injeksi), tekanan darah, fungsi hati dan ginjal. Kreatini n, LFT, Darah tepi lengkap. Mikofenolat mofetil 1.000 – 2.000 mg dalam 2 dosis. Mual, diare, leukopenia. Darah tepi lengkap, feses lengkap Gejala gastrointest inal seperti mual, muntah. Darah tepi lengkap terutama leukosit dan hitung jenisnya .

(33)

Keterangan :

OAINS: Obat Anti Inflamasi Non Steroid, AST/ALT: Aspartate Serum Transaminase / Alanine Serum Transaminase, dan LFT: Liver Function Test

B. Peran Dan Fungsi Perawat

Mubarak & Chayatin (2013), Andarmoyo (2012), dan (Friedman, 2010) manjelaskan Peran perawat baik pada individu, keluarga maupun komunitas terbagi menjadi lima peran penting yaitu, perawat sebagai pelaksana kesehatan, peran ini mencakup seluruh kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dan puskesmas dalam mencapai tujuan kesehatan yang komprehensif melalui kerja sama lintas sektoral dengan tim kesehatan lain. Perawat sebagai pendidik, peran ini dapat dilakukan oleh perawat komunitas, perawat keluarga atau petugas kesehatan lain, pembelajaran yang diberikan bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga, maupun masyarakat dari yang tidak sehat menjadi sehat atau menjadi lebih sehat lagi. Perawat sebagai administrator, perawat membantu keluarga dalam melihat masalah objektif akan keuntungan dan kerugian yang ditimbulkan dari maslah tersebut, ia juga bertanggung jawab melakukan pengelolaan suatu kasus atau permasalahan yang terjadi di dalam suatu keluarga atau masyarakat, memecahkan masalah dan mengambil keputusan atas permasalahan tersebut. Perawat sebagai konselor atau konsultan, perawat dijadikan sebagai sumber informasi kesehatan oleh individu, keluarga dan masyarakat guna mengatasi masalah – masalah kesehatan yang ada, sebagai konselor perawat harus menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan klien, serta harus melibatkan sumber-sumber lain (Potter & Perry, 2010). Perawat

(34)

sebagai peneliti, perawat melakukan identifikasi terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat, mencari faktor pencetus dan penyebab yang dapat mempengaruhi penurunan kesehatan bahkan mengancam kesehatan

Fungsi perawat kesehatan keluarga tidak hanya fungsi esensial dan dasar dari keluarga, fungsi yang sebenarnya adalah untuk mengemban fokus sentral dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan sehat. Pemenuhan fungsi keluarga dapat menjadi sulit bilamana mempengaruhi faktor internal dan eksternal seperti struktur keluarga dan system pelayanan kesehatan. Agar keluarga bisa menjadi sumber kesehatan utama (primer), keluarga harus dilibatkan dalam proses terapi dan menjadi bagian tim kesehatan. Sejalan dengan peran perawat sebagai pelaksana kesehatan peran serta keluarga inilah yang sangat dibutuhkan guna peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan terjadinya penyakit (preventif), dan pengobatan (kuratif) (Mubarak & Chayatin, 2013) dan (Friedman, 2010).

Saat perawat melakukan pengkajian pada sebuah keluarga terutama saat ada anggota keluarga yang sakit atau mengalami masalah kesehatan, perawat tersebut harus mengkaji kemampuan keluarga dalam membarikan perawatan diri, motivasi keluarga, dan kemampuan keluarga dalam menangani masalah kesehatan. Keluarga perlu diberi pemahaman mengenai status kesehatan, dan masalah kesehatannya sendiri serta langkah tindakan yang ddiperlukan guna memperbaiki atau memelihara kesehatan keluarga dalam upaya tanggung jawab terhadap perawatan dirinya sendiri (Friedman, 2010)

(35)

C. Definisi Keluarga

Potter & Perry (2010) mendefinisikan keluarga sebagai dua atau lebih individu yang bekerja sama dengan ikatan saling berbagi dan kedekatan emosi dan keluarga adalah unit yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka dan memperlihatkan pembagian kerja menurut jenis kelamin

Menurut Duval, 1972 dalam Zaidin Ali. H, (2010) dan Hernilawati, (2013) menuturkan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dari tiap anggota keluarga.

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok individu yang tinggal bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah, pernikahan, adopsi dan hanya terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedman, 2010).

D. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga menurut Francis dan Satiadarma (2004) merupakan bantuan/sokongan yang diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah keluarga.

(36)

Friedman (2010) menyatakan dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika di perlukan.

Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan (Taylor, 2006).

Pendapat diatas diperkuat oleh pernyataan dari (Commission on the Family, 1998 dalam Dolan dkk, 2006) bahwa dukungan keluarga dapat memperkuat setiap individu, menciptakan kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri sendiri, mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi seluruh keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta mempunyai relevansi dalam masyarakat yang berada dalam lingkungan yang penuh dengan tekanan. Dukungan keluarga juga merupakan suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan (Setiadi, 2008). Dukungan keluarga merupakan juga menjadi salah satu faktor penguat atau pendorong terjadinya suatu perilaku (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2007).

Kaplan (2010) dan Friedman (2010) menyatakan keluarga sebagai sistem pendukung yang berarti sehingga dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan

(37)

mental, fisik dan emosi lanjut usia. Dukungan keluarga itu dapat dibagi menjadi empat aspek yaitu dukungan penilaian/penghargaan, dukungan instrumental (nyata), dukungan informasional dan dukungan emosional.

Komponen pendukung keluarga menurut Friedman, (2010) yaitu : 1. Dukungan penghargaan

Dukungan penghargaan meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini juga merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengaharapan positif individu kepada individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang dan perbandingan positif seseorang dengan orang lain, misalnya orang yang kurang mampu. Dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan strategi koping individu dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek tertentu dengan cara pemberian umpan balik (fedd back) yang positif (Bomar, 2004) dan (Friedman, 2010)

House, (1994) dalam Setiadi, (2008) menuturkan bahwa bantuan penilaian yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita, penilaian tersebut bisa bermakna positif atau negative yang mana pengaruhnya bisa sangat berarti bagi seseorang, akan tetapi penilaian yang sangat berpengaruh adalah penilaian yang positif.

(38)

Friedman, (2010) menunjukan bahwa dukungan penilaian/penghargaan juga merupakan bentuk fungsi afektif keluarga yang meningkatkan status psikososial pada keluarga yang sakit

2. Dukungan nyata (instrumental)

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata (instrumental support and material support), suatu kondisi dimana barang atau jasa yang akan membantu memecahkan masalah, termasuk di dalam dukungan nyata adalah bantuan langsung, seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan tugas sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit ataupun saaat mengalami depresi yang dapat membantu memecahkan masalah. Pada dukungan nyata keluarga sebagai sumber utama untuk mencapai tujuan praktis dan tujuannya (Friedman, 2010). Dukungan instrumental merupakan suatu dukungan atau bantuan penuh keluarga dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, finansial, mapun sarana dan prasarana serta menyediakan waktu luang untuk melayani dan mendengarkan keluarga yang sakit dalam menyampaikan perasaannya (Peterson & Bredow, 2004) dan (Bomar, 2004).

Dukungan instrumental ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan yang tengah dihadapinya, atau menolong secara langsung kesulitan yang tengah dihadapi, misalnya dengan menyediakan obat-obatan yang rutin diminum (Setiadi, 2008). Dengan

(39)

adanya dukungan instrumental ini pada penderita LES ini diharapkan kondisi ODAPUS (orang dengan lupus)dapat terjaga dengan baik sehingga dapat meningkatkan status kesehatannya.

Dukungan instrumental ini termasuk kedalam lima fungsi utama keluarga menurut Friedman, yaitu fungsi kesehatan keluarga dan fungsi ekonomi, yang mana keluarga harus mampu memberikan pemenuhan sandang, pangan, dan papan serta mampu merawat anggota keluarga yang sakit dan sejauh mana keluarga mengetahui tentang masalah kesehatan yang sedang dialami. Dari segi ekonomi keluarga berfungsi untuk menyediakan sumber dana yang cukup, pengalokasian dana dan alokasi efektif misalnya dengan membuat asuransi kesehatan keluarga (Andarmoyo, 2012).

3. Dukungan informasi

Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Individu yang mengalami depresi dapat keluar dari masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari keluarga dengan menyediakan feed back (Sheiley, 1995). Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.

(40)

Bomar (2004) mengatakan dukungan informasi keluarga merupakan suatu dukungan atau bantuan yang diberikan keluarga dalam bentuk memberikan saran atau masukan, nasehat atau arahan, dan memberikan informasi-informasi penting yang dibutuhkan keluarga yang sakit dalam upaya meningkatkan status kesehatannya. Dukungan informasi yang diberikan keluarga merupakan salah satu bentuk fungsi perawatan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit, keluarga memberi promosi kesehatan dan perawatan kesehatan preventif, serta berbagai perawatan bagi anggota keluarga yang sakit (Friedman, 2010).

Bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulani persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan serta ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi tersebut harus bisa disampaikan kepada orang lain yang mungkin saja mengalami permasalahan yang sama (Setiadi, 2008).

Pada penderita LES sangat membutuhkan dukungan dari orang lain dalam arti dukungan informasi bisa diberikan oleh keluarga, masyarakat, dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya, dukungan informasi dapat berupa pemberian informasi yang dibutuhkan terkait dengan kondisi kesehatannya, kapan dan waktu yang tepat minum obat, saran- saran kesehatan hingga informasi mengenai kelompok atau perkumpulan yang memiliki kondisi yang hampir sama.

(41)

4. Dukungan emosional

Dukungan emosional selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara emosional, sedih, cemas, dan kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai. Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat.

Peterson & Bredow (2004) menyatakan dukungan emosional melibatkan aspek kekuatan jasmaniah dan keinginan untuk percaya pada orang lain, sehingga orang tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Seperti yang dikatakan Duvall (1977) dalam Friedman (2010) kebahagian keluarga diukur oleh kekuatan cinta keluarga. Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang anggota keluarganya karena respon kasih sayang satu anggota keluarga ke anggota keluarga yang lain memberikan dasar penghargaan pada kehidupan keluarga.

Memberikan dukungan emosional pada penderita LES merupakan salah satu fungsi afektif keluarga, fungsi afektif ini berhubungan dengan fungsi di dalam keluarga itu sendiri guna memberikan perlindungan psikososial dan dukungan terhadap anggota keluarga yang sakit. Friedman (2010) menyatakan bahwa adanya dukungan emosional dalam keluarga secara positif akan bisa

(42)

mampengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anggota dalam keluarga tersebut.

Nugroho (2000) juga mengatakan bahwa dukungan emosional merupakan bentuk dukungan berupa rasa aman, cinta kasih, memberikan semangat, mengurangi perasaan putus asa, mengurangi rasa rendah diri dan keterbatasan terhadap ketidak kemampuan fisik atau penurunan fisik yang tengah dialami. House (1994) dalam setiadi (2008) mengatakan bahwa bentuk dukungan emosional berupa dukungan simpati, dan empati, cinta, kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian dukungan ini melibatkan ekspresi, rasa empati dan perhatian terhadap seseorang sehingga merasa lebh baik, memperoleh kembali keyakinannya, merasa dimiliki dan dicintai pada saat stress. Komunikasi dan interaksi antar anggota keluarga yang lain sangat diperlukan untuk memahami situasi anggota keluarga. Bila nanti muncul masalah depresi pada pasien bantuan medis atau tenaga ahli mungkin dibutuhkan. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adanya dukungan keluarga mendorong pasien dapat mengendalikan emosi dan waspada terhadap hal yang mungkin terjadi.

E. Definisi Kepatuhan

Sarafino (1990) dalam Slamet B (2007), mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau orang lain.

(43)

Menurut kamus besar bahasa Indonesia patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin (Pranoto, 2007),

Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah ditentukan (Bastable, 2002).

Kepatuhan (obedience) merupakan satu jenis dari pengaruh social, dimana seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan teingkah laku tertentu karena adanya unsur power (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008 dalam Sarwono dan Meinarno, 2009).

Kepatuhan juga dapat didefinisikan sebagai perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi (Degresi, 2005)

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar (Siregar, 2006)

Kepatuhan sebutan ketaatan (adherence) adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan, 1997 dalam Safitri, 2013).

(44)

Jadi dari beberapa definisi kepatuhan diatas peneliti menyimpulkan kepatuhan adalah sikap dan perilaku seseorang baik secara pasrah atau karena unsur paksaan, yang mengikuti dan mentaati anjuran dan saran nasehat medis dalam upaya memperbaiki derajat kesehatan.

Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat diobservasi dan dengan begitu dapat langsung diukur. Dalam literature keperawatan-kesehatan mengemukakan bahwa kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan yang dicapai pada program pengobatan yang telah ditentukan (Bastable, 2002). Menurut Eraker dkk, (1984), Levanthal & Cameron (1987) dalam Bastable (2002), menuturkan bahwa kepatuhan pasien program kesehatan dapat ditinjau dari berbagai perspektif teoritis pertama biomedis yang mencakup demografi pasien, keseriusan penyakit, dan kompleksitas program pengobatan, kedua adalah teori perilaku/pembelajaran sosial, yang menggunakan pendekatan behavioristic dalam hal reward (hadiah), petunjuk, kontrak, dan dukungan sosial, ketiga adalah perputaran umpan balik komunikasi dalam hal mengirim, menerima, memahami, menyimpan dan penerimaan, keempat adalah teori keyakinan rasional, yang menimbang manfaat pengobatan dan risiko penyakit melalui penggunaan logika cost benefit, dan terakhir yang kelima adalah system pengaturan diri, pasien dilihat sebagai pemecah masalah yang mengatur perilakunya berdasarkan persepsi atas penyakit, keterampilan kognitif, dan pengalaman masa lalu yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk membuat rencana dan mengatasi penyakit.

(45)

Secara umum, hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipahami dalam meningkatkan kepatuhan adalah pasien membutuhkan dukungan keluarga bukan disalahkan, konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas suatu system kesehatan, memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan secara efektif suatu penyakit kronis, system kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai tantangan baru, diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan ketidakpatuhan(WHO, 2003)

F. Definisi Ketidakpatuhan

Ketidakpatuhan menggambarkan penolakan seseorang mengikuti program yang telah ditentukan (Bastable, 2002). Menurut Niven (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian :

1. Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Anderson (1986) dalam Niven (2012), mengungkapkan penelitian tentang komunikasi dokter dan pasiennya di Hongkong, mendapatkan bahwa pasien yang rata-rata diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam setiap konsultasi, hanya mampu mengingat sebanyak 31% saja.

(46)

2. Kualitas interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan (Niven, 2012). Pentingnya keterampilan interpersonal dalam memacu kepatuhan terhadap pengobatan di ungkapkan oleh DiNicola dan DiMatteo (1984): Riset tentang faktor-faktor interpersonal yang mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan menunjukan pentingnya sensitifitas dokter terhadap kounikasi verbal dan nonverbal pasien, dan empati terhadap peerasaan pasien, akan menghasilkan suatu kepatuhan sehingga akan menghasilkan suatu kepuasan.

3. Isolasi sosial dan keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2012). Isolasi sosial merupakan suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan dengan orang lain (Anna K, 2006 )

4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Becker et al (1979) dalam Neil Niven (2012) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Mereka menggambarkan kegunaan model tersebut dalam suatu penelitian bersama Hartman dan Becker (1978) dalam Neil Niven (2012)

(47)

memperkirakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk pasien hemodialisa kronis. 50 orang pasien dengan gagal ginjal kronis tahap akhir yang harus mematuhi program pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan cairan, pengobatan dan dialisa. Penelitian tersebut menemukan bahwa pengukuran dari tiap-tiap dimensi yang utama dari model tersebut sangat berguna sebagai peramal dari kepatuhan terhadap pengobatan. Jadi memang ada bukti hasil penelitian yang penting bahwa hubungan antara professional kesehatan dan pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan dan kepribadian seseorang berperan dalam menentukan respon pasien terhadap anjuran pengobatan

Menurut Bastable, (2002) kadang – kadang perilaku ketidakpatuhan mungkin diinginkan dan dapat dianggap sebagai respon defensive yang diperlukan terhadap situasi yang penuh tekanan.

(48)

G. Kerangka Teoritis Lupus Eritematosus Sistemik Etiologi Hormon Genetik

Lingkungan Manifestasi umum

1. Butterfly rush di wajah 2. Kelelahan 3. Fotosensitifitas terhadap matahari Penatalaksanaan 1. Edukasi 2. Rehabilitasi 3. pengobatan Pemeriksaan penunjang 1. Darah Lengkap 2. Urine rutin 3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid 4. Pemeriksaan

masa pembekuan darah

5. ANA test 6. Foto thorax Kepatuhan Minum Obat

Support System Keluarga 1. Dukungan penghargaan 2. Dukungan nyata/instrumental 3. Dukungan

Sumber: Modifikasi: Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), Isbagio, dkk (2015), Friedman (2010), Wallace (2007)

Gambar

Tabel  2.1  kriteria  diagnosis  Lupus  Eritematosus  Sistemik  menurut  American  College of Rheumatology (ACR) yang sudah di revisi pada tahun (1997) dalam  Baratawidjaja &amp; Rengganis, (2014) adalah sebagai berikut :

Referensi

Dokumen terkait

Di samping itu juga struktur kekeluargaan orang-orang Baba dikaji untuk memberi satu gambaran yang jelas lagi lengkap kepada pembaca mengenai ciri-ciri yang

Mengkaji hakekat dan sifat dari ilmu Antropologi Budaya dengan memahami konsep-konsep dasar ilmu tentang pengertian antropologi, konsep dasar antropologi dan

Namun apabila salah satu dari faktor tersebut mengalami kelainan, misalnya keadaan yang menyebabkan his tidak adekuat, kelainan pada bayi, kelainan jalan lahir,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas dan hasil belajar kognitif Sejarah siswa dengan menggunakan model pembelajaran Example dan Non- Example. Metode

Pada Grafik diatas dapat di lihat Daya mengalami penaikan pada saat kecepatan angin bertambah tinggi, Sedang kan tinggi sudu sangat mempengaruhi Daya tersebut

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari makalah studi kasus interaksi obat ini dipandang dari dua sisi, yakni tenakes dan pasien, dari sudut pandang tenakes, hendaknya semakin

Ciátios zigomorfos, solitários ou em dicásios, axilares; pedúnculos 2–5 mm compr.; invólucro campanulado ou algumas vezes hemisférico, 1,6–2,5 × 1,5–2,5 mm,