UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK
RINI JALAN BALAI PUSTAKA TIMUR NO.11 RAWAMANGUN
PERIODE 17 JUNI – 12 JULI DAN
29 JULI – 23 AGUSTUS 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
KANIYA DUMIPTA, S.Far
1206329751
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2014
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK
RINI JALAN BALAI PUSTAKA TIMUR NO.11 RAWAMANGUN
PERIODE 17 JUNI – 12 JULI DAN
29 JULI – 23 AGUSTUS 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar apoteker
KANIYA DUMIPTA, S.Far
1206329751
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan program Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Rini Jalan Balai Pustaka Timur No.11 Rawamangun yang telah dilaksanakan pada tanggal periode 17 juni – 12 juli dan 29 Juli – 23 Agustus 2013, serta dapat menyelesaikan laporan tugas umum ini dengan tepat waktu. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia;
2. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt. selaku Pj.S Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia sampai dengan tanggal 20 Desember 2013; 3. Dr. Harmita, Apt., selaku pimpinan Program Pendidikan Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi UI, sekaligus pembimbing dari Fakultas Farmasi UI;
4. Ibu Murdiana Baskoro selaku pemilik sarana Apotek Rini yang telah memberikan kesempatan melaksanakan PKPA di Apotek Rini;
5. Meta Pramana, S.Si., Apt., selaku wakil pimpinan apotek Rini sekaligus pembimbing di lapangan, yang telah memberikan pengarahan selama pelaksanaan dan penyusunan laporan PKPA di Apotek Rini;
6. Drs. Umar Mansyur, MSc., selaku Apoteker Penggelola Apotek Rini;
7. Seluruh pegawai Apotek Rini atas segala bantuan selama PKPA di Apotek Rini;
8. Seluruh staf pengajar dan bagian Tata Usaha program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, atas ilmu, dukungan, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama ini;
9. Keluarga dan orang-orang terdekat penulis yang selama ini tidak pernah berhenti memberikan dukungan dan doa;
10. Seluruh rekan Apoteker Angkatan 77 Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, atas kerja sama, dukungan, semangat, dan persahabatan yang telah terjalin selama menempuh pendidikan di program profesi apoteker; dan
vi
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalam laporan ini. Oleh karena itu, penulis terbuka untuk menerima saran dan kritik yang membangun untuk memperbaiki penulisan laporan penulis ke depannya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat, baik bagi diri penulis maupun pihak lain yang terlibat dan membaca laporan ini.
Depok, Januari 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv
KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
1. PENDAHULUAN ... … 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
2. TINJAUAN UMUM APOTEK ... 3
2.1 Pengertian Apotek ... 3
2.2 Landasan Hukum Apotek ... 3
2.3 Tugas dan Fungsi Apotek ... 4
2.4 Tata Cara Perizinan Apotek ... 4
2.5 Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek ... 6
2.6 Personalia Apotek ... 7
2.7 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek (APA)... 8
2.8 Pengalihan Tanggung Jawab Apoteker ... 9
2.9 Pencabutan Surat Izin Apotek ... 10
2.10 Pengelolaan Apotek ... 11
2.11 Pelayanan Apotek ... 12
2.12 Pengadaan dan Pengendalian Persediaan Obat di Apotek ... 15
2.13 Penyimpanan Perbekalan Farmasi di Apotek ... 18
2.14 Sediaan Farmasi di Apotek ... 19
2.15 Pengelolaan Narkotika ... 23
2.11 Pengelolaan Psikotropika... 26
3. TINJAUAN KHUSUS APOTEK ... 28
3.1 Lokasi ... 28
3.2 Bangunan dan Tata Ruang ... 28
3.3 Struktur Organisasi ... 31
3.4 Kegiatan-Kegiatan di Apotek ... 32
3.5 Pengelolaan Narkotika ... 36
3.6 Pengelolaan Psikotropika... 36
4. PEMBAHASAN ... 37
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41
5.1 Kesimpulan ... 41
5.2 Saran ... 41
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Penandaan Obat Bebas ... 20
Gambar 2.2. Penandaan Obat Bebas Terbatas ... 20
Gambar 2.3. Penandaan Peringatan pada Obat Bebas Terbatas ... 20
Gambar 2.4. Penandaan Obat Keras ... 21
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Denah Ruangan Apotek RINI ... 44
Lampiran 2. Salinan Resep ... 45
Lampiran 3. Contoh Etiket... 46
Lampiran 4. Contoh Kwitansi ... 47
Lampiran 5. Contoh Surat Pesanan... 48
Lampiran 6. Contoh Faktur ... 49
Lampiran 7. Alur Penjualan Resep Tunai ... 50
Lampiran 8. Alur Penjualan Resep Kredit ... 51
Lampiran 9. Alur Penjualan OTC ... 52
Lampiran 10. Contoh Tanda Terima Tukar Faktur... 53
Lampiran 11. Contoh Surat Pesanan Narkotik ... 54
Lampiran 12. Surat Laporan Penggunaan Narkotik Ke Balai Besar POM .... 55
Lampiran 13. Surat Laporan Penggunaan Narkotik Ke Suku Dinas ... 56
Lampiran 14. Contoh Format dan Isi Pelaporan Narkotik... 57
1 Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sehat merupakan salah satu dari tiga faktor utama kualitas sumber daya manusia. Upaya kesehatan diselenggarakan melalui peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Faktor yang memiliki kontribusi sangat besar terhadap kualitas derajat kesehatan salah satunya adalah pelayanan kesehatan. Apotek merupakan salah satu sarana kesehatan, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi (PP No. 51 Tahun 2009).
Profesi kefarmasian saat ini telah mengalami perubahan orientasi dari orientasi produk (product-oriented) menjadi orientasi pasien (patient-oriented). Hal ini menandakan bahwa profesi kefarmasian saat ini berada pada era praktek kefarmasian yang memperhatikan kebutuhan dan keselamatan pasien yang kemudian dinamakan pelayanan kefarmasian (Niwatananun dan Nilaward, 2005). Dengan adanya pelayanan kefarmasian maka apoteker memiliki tanggung jawab kepada pasien untuk memberikan rekomendasi terapi yang tepat, efektif, aman dan nyaman sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (WHO, 2006).
Apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam mewujudkan kesehatan di masyarakat dengan dengan melaksanakan pekerjaan kefarmasian dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pekerjaan kefarmasian berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009 adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Daris, 2011). Pengelolaan apotek yang baik merupakan upaya yang tepat dalam mendukung program pembangunan kesehatan nasional.
2
Apoteker dalam menjalankan profesinya di apotek harus dapat mengimplementasikan ilmu kefarmasiannya dan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi kegiatan apotek lainnya yaitu pembelian, pelayanan, penjualan, keuangan dan pembukuan. Apoteker juga harus menguasai dan menerapkan ilmu lainnya seperti pemasaran dan akutansi. Dalam menjalankan profesi apoteker di apotek, seorang apoteker tidak hanya berperan sebagai penanggung jawab teknis kefarmasian namun juga prinsip-prinsip operasional yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan (stake holder) tanpa harus menghilangkan fungsi sosialnya di masyarakat (Umar, 2009).
Berdasarkan hal tersebut, Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di apotek bagi calon apoteker. Mahasiswa yang ikut serta dalam program ini diharapkan dapat menimba ilmu sebanyak mungkindari seluruh tenaga kefarmasian di apotek dan melalui setiap keikutsertaannya dalam kegiatan-kegiatan di apotek serta menerapkannya. Tempat pelaksanaan PKPA di Apotek Rini yang dilaksanakan mulai tanggal 17 Juni - 12 Juli dan 29 Juli - 23 Agustus 2013.
1.2 Tujuan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diselenggarakan di Apotek Rini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kegiatan-kegiatan di apotek secara umum.
2. Mengetahui serta memahami fungsi dan tugas profesi apoteker dalam pengelolaan apotek.
3 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian Apotek
Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Pekerjaan kefarmasian didefinisikan sebagai perbuatan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Peraturan Pemerintah Nomor 51, 2009). Perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia (bahan obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetika (KEMENKES No. 1332, 2002). Menurut UU Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
2.2 Landasan Hukum Apotek
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam:
a. Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. b. Undang-Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
c. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. d. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
f. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang Perubahan dan Tambahan atas Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1965 tentang Apotek.
g. Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
h. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
4
Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
i. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1027/MENKES/ SK/ IX/ 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
2.3 Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 Pasal 2, tugas dan fungsi apotek adalah:
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
2.4 Tata Cara Perizinan Apotek
Surat Izin Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan RI kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) untuk membuka apotek di tempat tertentu. Izin apotek diberikan oleh Menteri yang melimpahkan wewenangnya kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin dilaporkan setahun sekali oleh Kepala Dinas Kesehatan kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 Pasal 7 dan 9 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 mengenai Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai berikut:
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1.
b. Dengan menggunakan Formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima
5
permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-3.
d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (b) dan (c) tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4.
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (c) atau pernyataan yang dimaksud ayat (d) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan SIA dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-5.
f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (c) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-6.
g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (f), Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Penundaan.
h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan APA dan atau persyaratan apotek atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya (12) dua belas hari kerja wajib mengeluarkan Surat penolakan disertai dengan alasannya dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-7.
6
2.5 Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 Pasal 6, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin suatu apotek adalah sebagai berikut : apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat dan perlengkapan yang termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain; Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi; Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.
2.5.1 Lokasi
Persyaratan jarak minimum antara apotek tidak dipermasalahkan lagi. Lokasi apotek dapat dipilih dengan mempertimbangkan segi pemerataan dan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dokter praktek dan sarana pelayanan kesehatan lain, sanitasi, berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali dan diakses oleh masyarakat.
2.5.2 Bangunan
Bangunan apotek harus memenuhi persyaratan teknis dan mempunyai luas bangunan yang cukup sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek serta memelihara mutu perbekalan farmasi. Apotek harus mempunyai papan nama yang terbuat dari bahan yang memadai dan memuat nama apotek, nama APA, nomor SIA, dan alamat apotek. Bangunan apotek yang baik hendaknya memiliki ruang tunggu pasien, ruang administrasi, ruang peracikan, ruang penyimpanan obat, ruang penyerahan obat, tempat pencucian alat dan kamar mandi.
Bangunan apotek harus dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang cukup, alat pemadam kebakaran, ventilasi, dan sistem sanitasi yang baik. Lingkungan apotek harus selalu dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga atau pest. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang
7
lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.
2.5.3 Peralatan dan Perlengakapan Apotek
Suatu apotek harus memiliki peralatan apotek yang memadai agar dapat mendukung pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek. Peralatan yang harus tersedia di apotek adalah:
a. Peralatan pembuatan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, lumpang, alu, gelas ukur, dan erlenmeyer.
b. Peralatan dan tempat penyimpanan alat perbekalan farmasi seperti lemari obat, lemari khusus narkotik dan psikotropik, lemari pendingin (kulkas), dan tempat penyimpanan bahan berbahaya beracun
c. Wadah pengemas dan pembungkus seperti etiket dan plastik pengemas. d. Perlengkapan administrasi seperti blanko pesanan obat, salinan resep, faktur
dan kuitansi.
e. Buku standar yang diwajibkan antara lain ISO dan Farmakope Indonesia edisi terbaru serta kumpulan perundang-undangan yang berhubungan dengan kefarmasian.
2.6 Personalia Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.1322/MENKES/SK/X/2002, apotek harus dikelola oleh seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Apotek juga dapat memperkerjakan tenaga pengganti bila diperlukan antara lain :
a. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek disamping APA dan atau menggantikan pada jam tertentu pada hari buka praktek. b. Apoteker Pengganti yaitu Apoteker yang menggantikan APA selama APA
tersebut tidak ada ditempat lebih dari tiga bulan berturut-turut, dan tidak bertindak sebagai APA di tempat lain.
8
Jumlah tenaga kerja di setiap apotek berbeda-beda, tergantung dengan kebutuhan masing-masing apotek. Asisten apoteker, yaitu mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker dan bertugas membantu APA dalam melakukan pekerjaan teknis kefarmasian. Tenaga kerja apotek yang tidak diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan dan perundang-undangan, adalah Juru resep, yaitu petugas yang membantu pekerjaan asisten apoteker; Kasir, yaitu petugas yang mencatat penerimaan dan pengeluaran uang yang dilengkapi dengan kuitansi, nota, tanda setoran, dan lain-lain; Pegawai tata usaha, yaitu petugas yang melakukan administrasi apotek dan kemudian membuat laporan, baik laporan pembelian, penyimpanan, penjualan maupun keuangan apotek; Petugas Keamanan, yaitu petugas yang bertanggung jawab mengamankan lingkungan sekitar apotek.
2.7 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek (APA)
Berdasarkan Permenkes RI No. 1322/MENKES/SK/X/2002 menjelaskan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 35, 37, 52 dan 54) :
a. Memiliki keahlian dan kewenangan. b. Menerapkan Standar Profesi.
c. Didasarkan pada Standar Kefarmasian dan Standar Operasional d. Memiliki sertifikat kompetensi profesi
e. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
f. Wajib memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan Apoteker Pendamping di Apotek.
g. Apoteker Pengelola Apotek (APA) hanya dapat melaksanakan praktek di satu apotek sedangkan apoteker pendamping hanya dapat melaksanakan praktek paling banyak di tiga Apotek.
Surat Tanda Registrasi (STRA) merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada apoteker yang telah diregistrasi. STRA berlaku 5 (lima)
9
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu lima tahun selama masih memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh STRA, apoteker harus memenuhi persyaratan (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 40):
a. Memiliki ijazah apoteker
b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi
c. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji apoteker d. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktek
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi
Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) adalah surat izin yang diberikan kepada apoteker dan apoteker pendamping untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). SIPA dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. SIPA dapat dibatalkan demi hukum apabila pekerjaan kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin. Untuk mendapatkan SIPA, apoteker harus memiliki (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 55) :
a. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
b. Tempat atau ada tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian atau fasilitas kesehatan yang memiliki izin
c. Rekomendasi dari Organisasi Profesi.
2.8 Pengalihan Tanggung Jawab Apoteker
Pengalihan tanggung jawab apoteker diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002 pada pasal 19 dan 24. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila APA dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk apoteker pengganti. Penunjukkan apoteker pendamping dan apoteker pengganti harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat. Pada setiap pengalihan tanggung jawab pengelolaan
10
kefarmasian yang disebabkan karena penggantian APA, wajib dilakukan serah terima resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lainnya, serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika.
Apabila APA meninggal dunia, maka ahli waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut secara tertulis dalam waktu 2 x 24 jam kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat apoteker pendamping, maka dalam pelaporan tersebut wajib disertai penyerahan resep, narkotika, psikotropika, obat keras, dan kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika. Penyerahan dibuat Berita Acara Serah Terima kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Balai POM setempat.
2.9 Pencabutan Surat Izin Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1332/MENKES/SK/X/2002 Pasal 25 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila :
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Apoteker Pengelola Apotek.
b. Apoteker tidak memenuhi kewajibannya dalam menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin dan melakukan penggantian obat generik dalam resep dengan obat paten.
c. Apoteker Pengelola Apotek (APA) berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus-menerus.
d. Terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dibidang obat, yaitu Undang-undang Obat Keras Nomor.St. 1937 No. 541, Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundangundangan di bidang obat dan atau
11
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan harus berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan pencabutan Surat Izin Apotek dilakukan setelah dikeluarkan peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan dengan menggunakan contoh formulir Model APT-12. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek dengan menggunakan contoh formulir Model APT-13. Pembekuan Izin Apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini dengan menggunakan contoh formulir model APT-14, setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksa Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
922/MENKES/PER/X/1993 dalam pasal 28, menyatakan bahwa apabila Surat Izin Apotek dicabut, APA atau apoteker pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengamanan tersebut menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/MENKES/SK/X/2002 dalam pasal 29 yaitu dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, psikotropik , obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di apotek. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci. APA wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi.
2.10 Pengelolaan Apotek
Pengelolaan apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker untuk memenuhi tugas dan fungsi pelayanan apotek. Pengelolaan apotek dapat dibedakan atas pengelolaan teknis kefarmasian dan non teknis kefarmasian yang meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, pajak, personalia, kegiatan dibidang material dan bidang lain yang berhubungan dengan apotek.
12
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993, pengelolaan apotek meliputi pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi meliputi pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya, maupun kepada masyarakat serta pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya. Pelayanan informasi tersebut, wajib didasarkan pada kepentingan masyarakat.
2.11 Pelayanan Apotek
Peraturan yang mengatur tentang Pelayanan Apotek adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 pasal 14-18 yang meliputi: a. Apotek berkewajiban melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab APA, sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. b. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
c. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis didalam resep dengan obat paten.
d. Apabila pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis didalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
e. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
f. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan di atas resep.
13
g. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.
h. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
i. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
j. APA, apoteker pendamping atau apoteker pengganti diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebagai DOWA (Daftar Obat Wajib Apotek), yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek menjelaskan mengenai pelayanan resep adalah sebagai berikut :
2.11.1 Pelayanan resep a. Skrining resep
Apoteker melakukan skrining terhadap resep, skrining resep dilakukan terhadap persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis pada setiap resep. Persyaratan administratif meliputi nama, SIP dan alamat dokter; tanggal penulisan resep; tanda tangan atau paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis dan jumlah obat yang diminta; cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya. Kesesuain farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Sedangkan pertimbangan klinis meliputi adanya alergi, efek samping, interaksi dan kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
b. Penyiapan Obat
Penyiapan obat meliputi peracikan, etiket, kemasan obat yang diserahkan, penyerahan obat, informasi obat, konseling, monitoring penggunaan obat.
14
Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Pemberian etiket pada kemasan harus jelas dan dapat dibaca. Kemasan obat yang diserahkan hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai dengan penberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Seorang apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronnis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya.
2.11.2 Promosi dan edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet, brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lain.
15
2.11.3 Pelayanan residensial (Home Care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).
2.12 Pengadaan dan Pengendalian Persediaan Obat di Apotek
Pengaturan penyediaan obat (managing drug supply) merupakan hal yang sangat penting di apotek. Persediaan obat yang lengkap di apotek merupakan salah satu cara untuk menarik kepercayaan (pasien). Akan tetapi, banyaknya obat yang tidak laku, rusak dan kadaluarsa dapat menyebabkan kerugian apotek. Hal ini disebabkan karena tidak adanya manajemen pengadaan obat yang baik. Untuk mencegah hal tersebut diperlukan keseimbangan antara besar persediaan dan besarnya permintaan dari suatu barang yang disebut pengendalian persediaan barang (inventory control).
Untuk mencapai keseimbangan antara persediaan dan permintaan ditentukan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut yaitu kecepatan gerak atau perputaran persediaan barang, obat yang laku keras hendaknya tersedia lebih banyak dibanding obat yang kurang laku; apabila lokasi Pedagang Besar Farmasi (PBF) jauh dari apotek maka perlu persediaan barang lebih banyak dibandingkan dengan apotek yang lokasinya dekat PBF; penambahan persediaan obat didasarkan atas kebutuhan per bulan atau hasil penjualan sehingga diharapkan persediaan obat setiap saat dapat memenuhi kebutuhan satu bulan.
Untuk mengendalikan persediaan obat diperlukan pencatatan mengenai arus keluar masuk barang sehingga ada keseimbangan antara obat yang terjual dengan obat yang harus dipesan kembali oleh apotek. Pemesanan barang disesuaikan dengan besarnya omset penjualan pada waktu yang lalu.
Perencanaan pembelian harus sesuai dengan kebutuhan apotek yang dapat dilihat dari buku defekta, bagian penerimaan resep dan penjualan obat bebas. Pembelian dapat dilakukan secara tunai, kredit dan konsiliasi. Pada pembelian tunai pihak apotek langsung membayar harga obat yang dibelinya dari distributor. Sedangkan pembelian kredit pembayarannya ditangguhkan sampai jatuh tempo.
16
Pada pembelian konsiliasi, distributor menitipkan barang dimana apotek akan menerima komisi bila barang tersebut laku dan jika barang tersebut tidak laku bisa dikembalikan kepada distributor. Pembelian terhadap barang juga harus mempertimbangkan pemilihan supplier. Ciri-ciri supplier yang baik adalah memberikan barang dengan kualitas yang baik, menepati waktu pengiriman barang, memberikan potongan harga yang cukup menguntungkan, tenggang waktu kredit yang fleksibel dan dapat dipercaya.
Dalam melakukan pengadaan dibutuhkan penentuan prioritas barang yang akan dipesan. Pemelihan prioritas pengadaaan dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain :
a. Analisis VEN (Vital, Essensial, Non-essensial)
Metode ini mengelompokkan obat berdasarkan nilai kepentingan dan vitalitas obat terhadap pelayanan kesehatan untuk melayani permintaan untuk pengobatan.
Vital (V) artinya persediaan tersebut penting karena merupakan obat penyelamat hidup manusia (life saving drug) atau obat yang dapat mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar, sehingga jika tidak tersedia dapat meningkatkan resiko kematian, contoh: epinefrin, obat diabetes dan hipertensi.
Essensial (E) merupakan perbekalan yang banyak diminta untuk digunakan dalam tindakan atau pengobatan penyakit terbanyak yang ada pada suatu daerah atau rumah sakit, contoh: obat-obat fast moving.
Non-essensial (N) adalah perbekalan pelengkap yang sifatya tidak essensial, tidak digunakan untuk penyelamatan hidup amupun pengobatan penyakit, tetapi agar pengobatan menjadi lebih baik, contohnya vitamin, suplemen.
b. Analisis Pareto (ABC)
Analisis pareto disusun berdasarkan penggolongan persediaan yang mempunyai nilai harga yang paling tinggi. Kriteria kelas dalam klasifikasi ABC terdiri atas tiga kelas, yakni kelas A, B dan C.
Kelas A yaitu persediaaan yang memiliki nilai paling tinggi. Kelas ini mewakili 70%-80% dari total nilai persediaan meskipun jumlahnya hanya 20% dari seluruh item. Kelas B yaitu persediaan yang memiliki nilai menengah. Kelas
17
ini mewakili 15%-20% dari total nilai persediaan dan jumlahnya hanya sekitar 30% dari seluruh item. Kelas C yaitu persediaan yang memiliki nilai rendah. Kelas ini mewakili sekitar 5%- 10% dari total nilai persediaan, dan jumlahnya sekitar 50% dari seluruh item.
c. Kombinasi VEN-ABC
Analisis ABC mengkategorikan item berdasarkan volume dan nilai penggunaannya selama periode waktu tertentu, biasanya 1 tahun. Analisis VEN-ABC menggabungkan analisis PARETO dan VEN dalam suatu matrik sehingga analisisnya menjadi lebih tajam. Matrik dapat dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas untuk menyesuaikan anggaran atau perhatian dalam pengelolaan persediaan. Jenis barang yang bersifat vital (VA, VB dan VC) merupakan pilihan utama untuk dibeli. Demikian pula dengan barang yang non essensial tetapi menyerap banyak anggaran (NA dan NB) juga dijadikan prioritas untuk dibelanjakan. Sedangkan barang Non Esensial dan bernilai kecil (NC) dibelanjakan bila ada sisa anggaran.
Parameter pengendalian persediaan yang pertama yaitu persediaan rata-rata yang dihitung dengan menjumlahkan stok awal dan stok akhir kemudian dibagi dua. Berdasarkan data persediaan rata-rata dapat dihitung tingkat perputaran persediaan. Perameter kedua adalah perputaran persediaan yang dihitung dengan membagi jumlah penjualan dengan persediaan rata-rata. Dari data perputaran persediaan, maka kita dapat mengetahui lamanya obat disimpan di apotek hingga barang tersebut terjual. Barang-barang yang perputaran persediaannya cepat (fast moving) harus tersedia lebih banyak dibanding barang yang perputaran persediaannya lambat (slow moving). Parameter yang ketiga adalah persediaan pengaman (safety stock) yaitu persediaaan barang yang ada untuk menghadapi keadaan tidak menentu disebabkan oleh perubahan pada permintaan atau kemungkinan perubahan pada pengisian kembali. Parameter yang keempat adalah persediaan maksimum. Persediaan maksimum merupakan jumlah persediaan terbesar yang tersedia. Jika telah mencapai nilai persediaan maksimum maka tidak perlu lagi melakukan pemesanan untuk menghindari terjadinya penimbunan barang yang dapat menyebabkan kerugian. Parameter kelima adalah persediaan minimum yang merupakan jumlah persediaan terkecil yang masih
18
tersedia. Apabila penjualan telah mencapai nilai persediaan minimum maka langsung dilakukan pemesanan agar kontinuitas usaha dapat berlanjut. Jika barang yang tersedia jumlahnya sudah kurang dari jumlah persediaan minimum maka dapat terjadi kekosongan barang. Parameter keenam yaitu reorder point (titik pemesanan) merupakan titik dimana harus diadakan pemesanan kembali untuk menghindari terjadinya kekosongan barang.
2.13 Penyimpanan Perbekalan Farmasi di Apotek (Umar, 2012)
Tempat penyimpanan obat-obatan memerlukan ruangan tersendiri. Apabila ruangan memungkinkan maka digunakan rak-rak dari kayu atau besi. Penyusunan perbekalan farmasi dapat disusun secara First In First Out (FIFO) dan First Expired First Out (FEFO). Sistem FIFO artinya obat-obatan yang lebih dahulu masuk ke gudang lebih dahulu digunakan, sedangkan sistem FEFO artinya obat-obatan dengan tanggal kadaluarsa terdekat yang lebih dahulu digunakan. Penyimpanan barang juga dilengkapi dengan kartu stok untuk setiap item barang untuk memudahkan pengendalian persediaan. Untuk persediaan obat yang sudah menipis jumlahnya atau sudah habis perlu dicatat dalam buku defekta yang nantinya diberitahukan kepada bagian pembelian.
Berdasarkan sifat obatnya sendiri, maka ruang penyimpanan obat dibagi menjadi dua yakni :
2.13.1 Penataan obat di ruang etikal atau ruang racikan a. Untuk Golongan narkotika dan psikotropika
1) Golongan narkotika di ruang peracikan, disimpan di lemari khusus narkotika ditempatkan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. 2) Golongan psikotropika di ruang peracikan, disimpan di lemari khusus
terpisah dengan perbekalan farmasi lainnya.
b. Untuk golongan obat keras daftar G dan obat etikal lainnya di ruang peracikan, disimpan di lemari yang didesain khusus dan dibagi menjadi empat bentuk perbekalan farmasi, yaitu:
1) Lemari perbekalan obat solid yaitu tempat penyimpanan obat yang berbentuk solid seperti tablet, kaplet, kapsul, dan pil.
19
2) Lemari perbekalan obat semisolid yaitu tempat penyimpanan obat yang berbentuk semisolid seperti salep, krim, pasta, dan jel.
3) Lemari perbekalan obat cair yaitu tempat penyimpanan obat yang harus disimpan di tempat sejuk dan dingin seperti vaksin, suppositoria, ovula dan injeksi.
Penataan letak dan susunan lemari atau rak obat di ruang etikal, agar dapat membeikan kemudahan dan kecepatan kepada petugas dalam menyiapkan obat yang dibutuhkan konsumen, serta dapat menjaga keamanan dan kebersihannya. Adapun contoh beberapa tipe lay out ruang ethical antara lain yaitu dapat berupa: tipe U, tipe L, atau tipe II.
2.13.2 Penataan di ruang penjualan obat bebas
Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan dalam menata perbekalan farmasi OTC antara lain :
a. Estetika yakni seni keindahan dalam menata dan mendesain rak atau lemari obat bebas, bebas terbatas dan obat (OTC) agar dapat menimbulkan rasa ingin tahu dan membeli bagi setiap konsumen yang datang ke apotek b. Layout yang memberikan kenyamanan dan kemudahan
c. Tanda yaitu petunjuk mengenai tempat-tempat golongan fungsi obat yang terdapat di setiap lemari atau rak obat.
2.14 Sediaan Farmasi di Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/ X/2002, yang dimaksud dengan sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan, dan kosmetika. Obat merupakan satu di antara sediaan farmasi yang dapat ditemui di apotek. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 2380/A/SK/VI/83 menggolongkan obat menjadi obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, narkotik dan psikotropik.
2.14.1 Obat bebas
20
resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat golongan ini adalah parasetamol.
Gambar 2.1. Penandaan Obat Bebas
2.14.2 Obat bebas terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat golongan ini adalah klorfenilramin maleat (CTM).
Gambar 2.2. Penandaan Obat Bebas Terbatas
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa kotak berwarna hitam dengan memuat pemberitahuan berwarna putih didalamnya.
21
2.14.3 Obat keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam dan harus mencantumkan kalimat “Harus Dengan Resep Dokter”. . Contoh obat golongan ini adalah asam mefenamat.
Gambar 2.4. Penandaan Obat Keras
2.14.4 Obat Narkotika (Undang-Undang No.35 Tahun 2009)
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibagi kedalam tiga golongan yaitu :
a. Narkotika Golongan I
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : tanaman Papaver somniferum.
b. Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : difenoksilat, metadon, morfin, petidin.
c. Narkotika Golongan III
Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein, dihidrokodein, norkodein.
22
Gambar 2.5. Penandaan Obat Narkotika
2.14.5 Obat psikotropika
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan menjadi empat golongan :
a. Psikotropika Golongan I
Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat mengaki batkan sindroma ketergantungan. Contoh : Psilosibin, lisergida.
b. Psikotropika Golongan II
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengaki batkan isndroma ketergantungan. Contoh : Amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, sekobarbital.
c. Psikotropika Golongan III
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : amobarbital, pentazosin, pentobarbital, siklobarbital.
d. Psikotropika Golongan IV
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat khas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan seta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : alobarbital, alprazolam, barbital, diazepam, fenobarbital, ketazolam.
23
2.15 Pengelolaan Narkotika
Menurut Undang-undang RI No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, adanya pengaturan tentang narkotika memiliki tujuan, antara lain: menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, memberantas peredaran gelap narkotika.
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Oleh karena itu, pengaturan narkotika harus benar-benar terkontrol, baik dalam hal mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan dan menggunakan narkotika harus dikendalikan dan diawasi dengan ketat.
Pengendalian dan pengawasan di Indonesia, narkotika merupakan wewenang Badan POM RI. Untuk mempermudah pengendalian dan pengawasan narkotika maka pemerintah Indonesia hanya memberikan izin kepada PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. untuk mengimpor bahan baku, memproduksi sediaan dan mendistribusikan narkotika di seluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan mengingat narkotika adalah bahan berbahaya yang penggunaannya dapat disalahgunakan. Secara garis besar pengelolaan narkotika meliputi pemesanan, penyimpanan, pelayanan, pelaporan dan pemusnahan.
2.15.1 Pemesanan narkotika
Undang-undang No. 9 Tahun 1976 menyatakan bahwa apotek hanya dapat memesan narkotika melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) tertentu yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Untuk memudahkan pengawasan maka apotek hanya dapat memesan narkotika ke PBF PT. Kimia Farma dengan menggunakan Surat Pesanan (SP) yang ditandatangani oleh APA serta dilengkapi dengan nama jelas, nomor SIPA, nomor SIA dan stempel apotek. Satu SP hanya boleh memesan satu jenis narkotika. Surat Pesanan terdiri dari 4 rangkap, 3
24
rangkap termasuk aslinya diserahkan ke pihak distributor (Kimia Farma) sementara sisanya disimpan oleh pihak apotek sebagai arsip.
2.15.2 Penerimaan dan Penyimpanan Narkotika
Penerimaan narkotika dilakukan oleh APA yang dapat diwakilkan oleh AA dengan menandatangani faktur, mencantumkan nama jelas, nomor SIA dan stempel apotek. Segala zat atau bahan yang termasuk narkotika di apotek wajib disimpan khusus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Pasal 14 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009. Tata cara penyimpanan narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.28/MENKES/Per/V/1978. Dalam Peraturan tersebut dinyatakan bahwa apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan narkotika. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
b. Harus mempunyai kunci yang kuat.
c. Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan. Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika. Bagian kedua digunakan untuk menyimpan narkotika yang digunakan sehari-hari.
d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari dengan ukuran kurang dari 40x80x100 cm maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai. e. Lemari khusus tidak dipergunakan untuk menyimpan bahan lain selain
narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
f. Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh pegawai yang diberi kuasa. g. Lemari khusus ditaruh di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum. 2.15.3 Pelayanan Narkotika
Menurut Undang-undang nomor 35 tahun 2009 pasal 43, apotek hanya dapat melakukan penyerahan narkotika kepada rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, dan kepada pasien berdasarkan resep dari dokter. Apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar resep yang sama dari seorang dokter atau atas dasar salinan
25
resep dokter (Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976) Pasal 7 Pada resep narkotika yang baru dilayani sebagian, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang menyimpan resep asli.
2.15.4 Pelaporan Narkotika
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa apotek wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya. Pelaporan penggunaan narkotika telah dikembangkan dalam bentuk perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika penggunaan Narkotika dan Psikotropika dari Unit Layanan (Puskesmas, Rumah Sakit dan Apotek ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan pelaporan elektronik selanjutnya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan ke tingkat yang lebih tinggi Dinkes Provinsi dan Ditjen Binfar dan Alkes melalui mekanisme pelaporan online yang menggunakan fasilitas internet.
2.15.5 Pemusnahan narkotika
Tujuan dilakukannya pemusnahan narkotika adalah untuk menjamin narkotika yang sudah tidak memenuhi persyaratan dikelola sesuai dengan standar yang berlaku dan mencegah penyalahgunaan bahan narkotika serta mengurangi resiko terjadinya penggunaan obat yang substandar. Berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika bahwa pemusnahan narkotika dilakukan ketika hasil produksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan atau berkaitan dengan tindak pidana. Pemusnahan dilakukan oleh apotek disertai dengan membuat berita acara pemusnahan narkotika dan dilaporkan kepada pihak-pihak terkait. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.28/MENKES/PER/I/1978 Tentang Penyimpanan Narkotika dan Undang- Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, berita acara pemusnahan memuat :
26
a. Keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan. b. Nama pemegang izin khusus, APA dan dokter pemilik narkotika
c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi dari perusahaan atau badan tersebut.
d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan. e. Cara pemusnahan.
f. Tanda tangan penanggung jawab apotek/pemegang izin khusus, dokter pemilik narkotika dan saksi-saksi. Berita acara pemusnahan tersebut dikirimkan kepada dibuat rangkap empat untuk ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan, dan satu disimpan sebagai arsip di apotek.
2.16 Pengelolaan Psikotropika
UU No. 5 Tahun 1997 menyatakan bahwa Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Ruang lingkup pengaturan psikotropika adalah segala hal yang berhubungan dengan psikotropika yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Tujuan pengaturan psikotropika sama dengan narkotika, yaitu menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan memberantas peredaran gelap nakotika.
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa Psikotropika golongan I dan II telah dipindahkan menjadi Narkotika golongan I sehingga Lampiran mengenai Psikotropika golongan I dan II pada UU No. 5 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi pemesanan, penyimpanan, pelaporan dan pemusnahan.
2.16.1 Pemesanan psikotropika
Pemesanan Psikotropika memerlukan SP, dimana satu SP bisa digunakan untuk beberapa jenis obat. Penyaluran psikotropika tersebut diatur dalam UU No.
27
5 Tahun 1997 Pasal 12 ayat (2). Dalam Pasal 14 ayat (2) dinyatakan bahwa penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pasien dengan resep dokter. Tata cara pemesanan dengan menggunakan SP yang ditandatangani oleh APA. Surat Pesanan terdiri dari 2 rangkap, aslinya diserahkan ke pihak distributor sementara salinannya disimpan oleh pihak apotek sebagai arsip.
2.16.2 Penyimpanan psikotropika
Penyimpanan psikotropika sampai saat ini belum diatur oleh perundangundangan. Namun mengingat obat-obat tersebut cenderung disalahgunakan maka disarankan agar penyimpanan obat-obat golongan psikotropika diletakkan tersendiri dalam suatu rak atau lemari khusus.
2.16.3 Pelaporan psikotropika
Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan melalui perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dengan mekanisme pelaporan psikotropika sama dengan pelaporan narkotika selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
2.16.4 Pemusnahan psikotropika
Pada Undang-undang No. 5 tahun 1997 pasal 53 disebutkan bahwa pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal yang berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika, kadaluwarsa, dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita acara.
29 Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN KHUSUS
Apotek Rini merupakan apotek keluarga yang didirikan pada tanggal 14 Desember 1968 oleh kakak beradik Ny. Murdiana Baskoro, H. Slamet Effendi (alm), dan Ny. Murdiati Purnomohadi (alm). Nama apotek ini berasal dari nama adik terkecil mereka yang bernama Rini. Apotek Rini memiliki tiga orang apoteker, yaitu terdiri dari 1 Apoteker Pengelola Apotek (APA) bernama Drs. Umar Mansur, MSc. yang bergabung dengan Apotek Rini sejak tahun 1979 serta dua orang apoteker pendamping bernama Prof. Dr. Maksum Radji, M. Biomed yang bergabung dengan Apotek Rini sejak tahun 1982 dan Ibu Meta Pramana, S.Si, Apt. yang juga menjadi salah satu pimpinan di Apotek Rini.
3.1. Lokasi
Apotek Rini berlokasi di Jalan Balai Pustaka Timur No. 11 Rawamangun, Jakarta Timur. Lokasinya yang strategis, terletak di kawasan yang ramai dan padat penduduk, dengan beberapa Rumah Sakit seperti RS Persahabatan dan RS. Dharma Nugraha, selain itu dekat dengan tempat praktek dokter yang berada di samping apotek Rini serta dekat dengan pusat perbelanjaan Tip Top. Apotek Rini terletak di pinggir jalan dua arah yang dilalui oleh kendaraan umum, sehingga mudah dijangkau oleh pasien. Apotek Rini memiliki halaman parker yang cukup luas, sehingga memudahkan pasien yang membawa kendaraan pribadi untuk parker di depan apotek.
3.2. Bangunan dan Tata Ruang
Bangunan Apotek Rini terdiri dan ruang tunggu, ruang pelayanan, ruang peracikan, ruang administrasi dan keuangan, ruang pimpinan, gudang, ruang sholat, toilet, dan dapur. Desain ruangan Apotek Rini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
30
3.2.1. Ruang tunggu
Ruang tunggu di Apotek Rini cukup luas serta dilengkapi dengen beberapa fasilitas untuk menunjang kenyamanan pasien selama menunggu waktu penyelesaian resep, seperti televisi yang diletakkan di sudut kanan ruang tunggu, bangku panjang serta pendingin ruangan. Selain itu, di sebelah kiri ruang tunggu ini juga terdapat fasilitas ATM, sehingga mempermudah pasien jika ingin mengambil uang.
3.2.2. Bagian Penerimaan Resep, Pembayaran dan Penyerahan Obat
Bagian penerimaan resep, pembayaran dan penyerahan obat terletak di depan ruang tunggu yang dibatasi oleh etalase dan rak-rak display produk OTC (Over The Counter) dan PKRT (Perbekalan Kesehatan dan Rumah Tangga). Produk-produk tersebut dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Pada bagian pembayaran terdapat tiga kasir yang saling terhubung dengan suatu sistem jaringan komputer online. Semua produk yang telah dibayar dan telah selesai disiapkan akan dicap (stempel) dan diserahkan ke bagian penyerahan obat. Sekarang Apotek Rini membuat sistem yang semakin memudahkan pasien untuk mengetahui apakah obatnya sudah selesai di racik atau belum dengan menampilkan nomor resep dilayar televisi ruang tunggu.
3.2.3. Ruang Peracikan
Ruang peracikan berada di bagian dalam terpisah dari ruang tunggu, sehingga terhindar dari pandangan langsung konsumen atau pasien. Ruangan ini juga dilengkapi dengan pendingin ruangan guna menjaga kualitas semua obat di Apotek Rini agar tetap baik sampai ke tangan pasien. Antara ruang peracikan dan bagian penerimaan resep terdapat loket untuk meletakkan resep yang sudah dihargai. Di ruang peracikan terdapat dua buah komputer yang terhubung dengan komputer bagian pemberian harga, bagian pembelian, kasir, gudang, ruang pimpinan dan satu buah mesin fax untuk melayani resep yang diantar untuk daerah Rawamangun dan sekitarnya.
Pada ruang peracikan, obat disimpan dan disusun secara alfabetis dan berdasarkan jenis sediaan (tablet, sirup, krim/salep, obat tetes, obat suntik dan
31
infus) di rak yang bersekat-sekat dan etalase untuk memudahkan pengambilan obat. Obat-obat yang harganya relatif mahal diletakkan secara terpisah pada rak tersendiri dekat meja pemberian etiket. Penyimpanan narkotika dilakukan pada lemari kayu yang menempel di dinding dan dikunci, sedangkan sediaan psikotropik dipisahkan penyimpanannya pada suatu rak tersendiri dekat meja pemberian etiket. Sediaan yang harus disimpan pada suhu dingin seperti suppositoria, insulin, vaksin dan sebagian obat-obat suntik diletakkan di lemari pendingin yang terpisah.
Pada ruangan ini terdapat meja untuk resep racikan dan resep obat paten. Meja untuk menangani resep racikan terdiri dari meja untuk meracik puyer, kapsul, dan meja untuk pemeriksaan obat serta menulis salinan resep. Di dekat meja peracikan juga terdapat timbangan. Untuk pengerjaan sediaan cair dan semi solid dilakukan di meja terpisah yang terletak di belakang ruang peracikan. Sedangkan meja untuk resep obat paten terletak di sebelah meja racik berdekatan dengan bagian penyerahan obat. Meja ini digunakan untuk pemberian etiket untuk obat paten, penulisan salinan resep dan pembuatan kwitansi. Contoh salinan resep,etiket, dan kwitansi dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4.
3.2.4. Ruang Administrasi dan Pembelian
Ruangan ini berada di ruangan terpisah disamping apotek yang dilengkapi seperangkat komputer. Semua urusan kepegawaian dan administrasi perusahaan dilakukan di ruangan ini. Ruang pembelian terdapat di sebelah ruang administrasi dilengkapi dengan komputer yang digunakan untuk mengecek kembali stok obat apabila meragukan, sehingga pemesanan obat sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu juga terdapat meja untuk melaksanakan transaksi pemesanan obat dan penukaran faktur, serta penyerahan giro pada saat waktu pembayaran tiba. Di ruang ini juga terdapat meja untuk APA dalam melakukan kegiatan administrasi.
32
Ruang pimpinan apotek terletak di sebelah gudang obat herbal. Ruangan tersebut dilengkapi dengan seperangkat komputer, meja kerja dan lemari penyimpan dokumen penting apotek. Selain itu, di dalam ruangan ini juga terdapat sebuah ruang tamu yang dilengkapi TV dan DVD Player untuk presentasi distributor atau tamu.
3.2.6. Gudang
Merupakan tempat penyimpanan obat-obat. Obat disimpan dalam rak penyimpanan yang bersekat-sekat di mana obat disusun berdasarkan bentuk sediaan dan secara alfabetis dengan menggunakan sistem FIFO (First In First Out). Ruangan ini juga dilengkapi dengan komputer untuk memasukkan stok barang.
3.2.7. Dapur
Dapur digunakan sebagai tempat penyimpanan dan pembuatan sediaan-sediaan standar (anmaak) seperti obat batuk hitam (OBH), gargarisma khan, rivanol, alkohol 70%, salep ichtiyol, bedak salisilat, dan sediaan standar lain. Dapur juga digunakan sebagai tempat makan, istirahat para karyawan dan penyimpanan resep dalam jangka waktu satu tahun serta terdapat lemari dilengkapi dengan kunci untuk menyimpan barang-barang pribadi karyawan.
3.2.8. Ruang Sholat
Ruang sholat dibuat untuk memfasilitasi ibadah karyawan muslim pria dan wanita. Ruang sholat berada di bagian belakang dekat dengan dapur dan toilet.
3.3. Struktur Organisasi
Apotek Rini dikepalai oleh seorang pimpinan sekaligus sebagai Pemilik Sarana Apotek (PSA) yang memimpin apotek secara keseluruhan. Salah satu pimpinan Apotek Rini adalah juga seorang apoteker, dengan demikian di Apotek Rini mempunyai tiga orang Apoteker yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan di apotek, yaitu Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan Wakil Pimpinan. Kegiatan teknis kefarmasian dibantu oleh
33
asisten apoteker, juru resep dan kasir. Sedangkan untuk kegiatan non kefarmasian seperti pembelian, piutang dagang, hutang dagang, pajak dan laporan keuangan dilakukan oleh bagian administrasi. Apotek Rini juga mempunyai satpam untuk menjaga keamanan di sekitar apotek dan bila diperlukan dapat diperbantukan untuk mengantarkan resep.
Jumlah total karyawan di Apotek Rini adalah 74 orang yang terdiri dari Pimpinan, Wakil Pimpinan, Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping, Asisten Apoteker, Juru Resep, Administrasi, Kasir dan Satpam. Karyawan tersebut dibagi menjadi tiga shift yaitu pagi (sekitar 30 karyawan), sore (sekitar 30 karyawan), dan malam (sekitar 20 karyawan). Satpam di Apotek Rini juga sekaligus bertugas untuk mengantarkan obat pesanan. Karyawan tersebut banyak yang sudah bekerja puluhan tahun di Apotek Rini. Hal disebabkan oleh penerapan nilai kekeluargaan pada hubungan antar karyawan.
3.4. Kegiatan-kegiatan di Apotek
Kegiatan di Apotek Rini dikelompokkan menjadi dua, yaitu kegiatan di bidang teknis kefarmasian dan kegiatan non teknis kefarmasian.
3.4.1 Kegiatan Teknis Kefarmasian
Kegiatan teknis kefarmasian meliputi pengadaan/pembelian perbekalan farmasi, penyimpanan barang, pembuatan obat racikan dan penjualan.
3.4.1.1 Pengadaan/Pembelian Perbekalan Farmasi
Pengadaan perbekalan farmasi dilaksanakan oleh petugas dari bagian pembelian (Asisten Apoteker) dengan menggunakan surat pesanan yang telah ditandatangani oleh APA. Pengadaan perbekalan farmasi ini dilaksanakan melalui pembelian secara tunai maupun kredit.
Petugas bagian pembelian melakukan pemesanan berdasarkan print out pengeluaran barang dalam satu hari. Dari print out ini, petugas bagian pembelian melakukan pemesanan terhadap barang-barang yang jumlahnya sudah di bawah atau mendekati stok minimum serta barang-barang yang bersifat fast moving walaupun stok belum mencapai minimum. Stok minimum ditetapkan berdasarkan hasil penjualan bulan-bulan sebelumnya. Bagian pembelian ini mengelompokkan
34
obat/barang yang dipesan sesuai dengan nama distributor. Surat pesanan (SP) yang dibuat ditandatangani oleh APA dan SP ini akan diambil langsung oleh salesman pada pagi hari. Untuk pemesanan cito disampaikan melalui telepon, dimana SP-nya menyusul ketika barang diantar.
Pada hari yang sama di sore harinya, barang-barang yang dipesan diantarkan disertai dengan faktur sebagai tanda bukti penyerahan barang. Petugas bagian penerimaan barang memeriksa keadaan fisik barang, tanggal kadaluarsa, jenis dan jumlah barang sesuai dengan faktur. Petugas akan menandatangani dan memberikan stempel apotek pada faktur asli dan juga kopinya apabila barang yang diterima sesuai dengan pesanan. Faktur asli diberikan kepada distributor danlembar salinannya diberikan kepada Asisten Apoteker yang bertugas di bagian gudang untuk dilakukan pemeriksaan ulang barang yang diterima. Bila sudah cocok dengan faktur maka barang yang diterima diinput ke komputer untuk selanjutnya dicetak. Contoh surat pesanan dan faktur dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.
3.4.1.2 Penyimpanan dan pengeluaran barang
Perbekalan farmasi yang telah diterima dari distributor dan telah diperiksa oleh bagian pembelian, selanjutnya diperiksa kembali oleh bagian gudang sebelum barang-barang tersebut disusun. Pemeriksaaan yang dilakukan meliputi kesesuaian nama dan jumlah dengan faktur, tanggal kadaluarsa dan kondisi fisik barang. Bila telah sesuai, barang-barang tersebut disusun berdasarkan bentuk sediaan secara alfabetis dan dengan sistern FIFO. Untuk obat bebas disimpan langsung di etalase ruang depan pada bagian OTC dan untuk obat generik tidak diletakkan di gudang, melainkan diletakkan di atas rak obat-obat paten yang ada di ruang peracikan.
3.4.1.3 Pembuatan sediaan standar (anmaak)
Sediaan standar (anmaak) adalah obat yang dibuat sendiri oleh apotek berdasarkan resep standar dari buku resmi untuk dijual bebas ataupun berdasarkan resep dokter. Beberapa obat standar yang diracik oleh Apotek Rini antara lain: OBH, OBP, rivanol 1%, alkohol 70%, gargarisma khan, minyak cengkeh, minyak adas, losio kalamin, ichtiyol, iodium tingtur, bedak salisilat, dan lain-lain. Pembuatan sediaan anmaak ini berdasarkan stok minimum yang ada.